Ceritasilat Novel Online

Naga Beracun 26


Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Bagian 26




   "Hi-hik, kau.... kau baik sekali, siauw-te...... kau tampan sekali ."

   Ouw Ling merangkul dan menyandarkan kepalanya di dada yang bidang itu. Tentu saja Siong Ki merasa canggung dan salah tingkah, tidak tahu harus berbuat apa.

   "Enci, engkau mabok, mari kuantar kembali ke kamarmu. Engkau harus beristirahat dan tidur" katanya, mencoba untuk mendorong wanita itu ke pintu.

   Akan tetapi karena dia sendiri juga merasa seolah lantai bergoyang, mereka berdua jatuh terduduk di atas pembaringan. Ouw Ling lalu merebahkan diri.

   "Ouw-cici, pembaringanmu di sana, di kamarmu. Mari kuantar engkau pindah ke kamarmu. sendiri......" kata Siong Ki.

   Ouw Ling menggeliat seperti seekor kucing."Aihh, aku lelah, aku mengantuk.... apa sih salahnya aku tidur di sini? Di sana tidak ada teman, dingin dan kita-kita sudah menjadi sahabat baik, bukan ?"

   Tangannya menangkap lengan Siong Ki dan dengan lembut dia menarik pemuda itu yang terpaksa duduk kembali ke tepi pembaringan karena memang dia agak pening. Rasa aneh menguasainya, kepalanya terasa berat di luar dan ringan di dalam, melayang-layang dan lenyaplah semua ajaran gurunya tentang tata-susila.

   Diapun seperti hanyut dan tidak berdaya, terseret oleh gelora nafsu berahi yang dikobarkan oleh Ouw Ling yang berpengalaman dan cerdik. Dalam keadaan setengah sadar, Siong Ki yang masih hijau dalam pergaulan dengan wanita itu, seolah menjadi lilin lunak yang menyerah saja dibentuk dan dipermainkan oleh Ouw Ling.

   Wanita itu memang berpengalaman dan ahli dalam menjatuhkan hati pria. Usianya sudah empatpuluh tahun, akan tetapi ia nampak tidak lebih dari duapuluh lima tahun. Siong Ki, biarpun amat lihai ilmu silatnya, kini menjadi korban dan mangsa yang lunak bagi Ouw Ling.

   Pada keesokan harinya, ketika terbangun dari tidur dan mendapatkan dirinya berada dalam dekapan Ouw Ling, Siong Ki tersadar dan terkejut, bahkan timbul penyesalan besar dalam hatinya. Namun, Ouw Ling segera dapat menghibur dan merayunya.

   Sebentar saja buyarlah kesadarannya, kalah semua pertimbangan akal sehat oleh nafsu yang telah menguasai dirinya dan Siong Ki menyerah. Sejak malam hari itu, dia telah dicengkeram oleh Ouw Ling, telah menjadi hamba dari nafsunya sendiri. Lenyaplah semua ke sadaran, bahkan dia tidak merasa bersalah, mengejar kesenangan dan pemuasan nafsu. Dituntun oleh Ouw Ling yang berpengalaman.

   Seseorang boleh saja memiliki kepandaian tinggi, dan dapat menandingi dan mengalahkan musuh yang bagaimana kuatpun. Akan tetapi, musuh yang paling berbahaya bukan lain adalah dirinya sendiri, nafsu yang berada di dalam dirinya sendiri.

   Betapapun kuatnya seseorang, belum tentu dia akan mampu menandingi nafsunya sendiri. Betapa banyaknya sudah contoh yang terjadi di dalam sejarah, betapa orang-orang yang kuat dan terkenal bijaksana, akhirnya jatuh oleh nafsunya sendiri.

   Kalau nafsu sudah memperbudak manusia, maka manusia itu akan menjadi pe rmainan nafsu, akan melakukan apa s aj a demi pemuas an nafsu sehingga segala pertimbangan akal sehat tidak akan mampu menghalanginya.

   Kita tidak mungkin mematikan nafsu. Tanpa adanya nafsu, kita tidak akan menjadi manusia, bahkan tidak mungkin dapat hidup. Nafsu sudah diikutsertakan kita ketika kita lahir, dan nafsu merupakan peserta yang teramat penting bagi kehidupan manusia. Nafsu yang membuat kita mengenal enak dan tidak enak, senang dan susah, baik dan buruk, dan selanjutnya. Nafsu yang membuat mata kita mengenal keindahan, telinga kita mengenal kemerduan, hidung kita mengenal keharuman, mulut mengenal kelezatan dan sebagainya.

   Nafsu yang merupakan pendorong sehingga hati akal pikiran kita dapat membuat segala macam kemajuan demi kenyamanan hidup. Tanpa adanya nafsu, kita tidak dapat menikmati makanan dan mungkin kita tidak mau makan sehingga kelaparan. Tanpa adanya nafsu, kita tidak akan melakukan perbaikan-perbaikan dan mungkin kita masih akan tinggal di goa-goa dan jaman kita masih tetap jaman batu. Bahkan tanpa abanya nafsu berahi, pria dan wanita tidak akan saling tertarik, tidak akan saling berhubungan, sehingga mahluk manusia tidak akan berkembang biak lagi.! Jelas, nafsu mutlak perlu bagi kehidupan kita!

   Akan te tapi, nafsu pula yang me nye re t kita ke le mbah ke se ngs araan, nafsu pula yang mendorong kita melakukan kejahatan, yaitu kalau nafsu yang tadinya diciptakan dan diikutsertakan kita untuk menjadi peserta dan menjadi pelayan, berbalik menjadi majikan yang memperhamba kita!

   Kalau nafsu sudah mencengkeram kita, memperbudak kita maka keadaan menjadi berbalik sama sekali. Nafsu mendorong kita menjadi budak yang selalu haus akan kesenangan, dan demi mengejar kesenangan itu kita menghalalkan segala cara. Nafsu mengejar kesenangan melalui uang menghalalkan segala cara pencarian uang melalui korupsi, penipuan, pencurian, perampokan dan sebagainya.

   Nafsu mengejar kesenangan melalui kedudukan menghalalkan segala cara pengejaran kedudukan melalui perbuatan kekerasaan, pengkhianatan, permusuhan, pembunuhan, perang dan sebagainya. Nafsu mengejar kesenangan melalui berahi menghalalkan segala cara pengejarannya melalui perjinahan, pelacuran, perkosaan dan sebagainya.

   Sejak dahulu kala, manusia berusaha untuk menanggulangi perbudakan oleh nafsu ini melalui pelajaran, pendidikan budi pekerti, agama, ilmu pengetahuan. Manusia berusaha untuk menyadarkan diri betapa buruknya keadaan kita kalau diperbudak oleh nafsu. Namun, melihat kenyataan yang ada, daya upaya manusia itu tidak banyak hasilnya.

   Manusia tetap menjadi budak nafsu, sampai sekarang. Bahkan setelah manusia memperoleh kemajuan pesat sekali dalam ilmu pengetahuan, tetap saja manusia tidak berdaya mengatasi nafsunya sendiri. Ilmu pengetahuan sama sekali tidak berdaya mengendalikan nafsu. Hal ini memang tidak aneh. Ilmu pengetahuan dapat maju karena adanya nafsu dalam hati akal pikiran.

   Mengharapkan pengertian dan pengetahuan untuk menalukkan nafsu, merupakan harapan hampa.

   Pengetahuan tidak mungkin dapat menundukkan nafsu. Hal ini banyak buktinya kalau kita membuka mata dengan waspada, melihat kenyataan dalam kehidupan ini, dalam diri sendiri maupun kehidupan manusia di sekeliling kita. Baru cengkeraman nafsu yang amat kecil saja, misalnya merokok, sudah sedemikian kuatnya sehingga tidak dapat ditaklukkan oleh pengetahuan.

   Semua perokok tahu dan mengerti bahwa merokok itu tidak baik untuk kesehatan dan sebagainya, namun mereka tetap tidak berdaya, tidak mampu menghentikan kebiasaan merokok! Bahkan hati akal pikiran yang sudah dicengkeram nafsu muncul sebagai pembela untuk membenarkan kebiasaan merokok itu dengan bisikan-bisikan bahwa merokok itu baik. agar nampak jantan, untuk menenangkan pikiran, untuk mencari ilham, untuk pergaulan dan segala macam pembelaan lagi.

   Coba kita bertanya kepada semua pencuri di dunia ini. Adakah seorang pencuri yang tidak tahu bahwa mencuri itu jahat? Semua pencuri tahu dan mengerti! Akan tetapi, mereka tetap saja mencuri! Karena pengetahuan itu tidak dapat menundukkan nafsu yang mendorongnya untuk mencuri demi memperoleh kesenangan melalui uang!

   Demikian pula para koruptor. Adakah seorangpun di antara para koruptor yang tidak tahu bahwa korupsi itu tidak baik? Semua koruptor tahu dan mengerti! Akan tetapi tetap saja mereka melanjutkan
(Lanjut ke Jilid 30)
Naga Beracun (Seri ke 02 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 30
perbuatan korupsi itu. Dan hati akal pikiran, gudang pengetahuan dan pengertian itu, yang sudah dikuasai nafsu, bahkan menjadi pokrol, membela perbuatan korupsi itu sendiri dengan bisikan bahwa mereka melakukan korupsi untuk menghidupi anak bini, bahwa semua orang juga melakukannya, bahwa atasannya berkorupsi lebih banyak lagi dan sebagainya! Dalam setiap perbuatan yang sebetulnya dimengerti bahwa itu tidak baik, selalu saja pikiran muncul sebagai pembelanya, untuk membe narkan perbuatan j ahat itu, atau setidaknya, mengurangi keburukannya!

   Sekarang kita dihadapkan kepada keadaan yang amat sulit. Nafsu mutlak perlu bagi kehidupan kita. Kita mutlak membutuhkan nafsu untuk kelangsungan hidup di dunia ini. Akan tetapi nafsu pula yang menyeret kita ke dalam lembah kejahatan, menyeret kita untuk melakukan penyelewengan! Lalu apa yang dapat kita lakukan?

   Hati akal pikiran kita tidak berdaya, karena semua pengetahuan tidak dapat menundukkan nafsu yang merajalela Apa yang dapat kita lakukan agar nafsu kembali kepada tugas dan ke dudukannya semula, yaitu me nj adi peserta dan pelayan kita dalam kehidupan ini? Apa yang dapat kita lakukan? Pertanyaan ini sudah bergema sepanjang jaman. Banyak orang pergi bertapa, menyiksa diri, melakukan segala macam tapabrata, semua ini merupakan usaha untuk menanggulangi nafsu, yaitu setan yang berada di dalam diri kita sendiri. Namun, hampir tidak ada yang berhasil. Lalu apa yang dapat kita lakukan?

   Jawaban yang tepat kiranya hanyalah bahwa kita seyogianya tidak melakukan apa-apa! Karena apapun yang kita lakukan, kelakuan itu masih dikemudikan oleh nafsu keinginan. Ingin bebas dari nafsu! Siapa yang ingin itu? Itupun masih pikiran yang bergelimang nafsu. Menginginkan sesuatu, walaupun keinginan itu merupakan keinginan bebas dari pada keinginan sekalipun!

   Tuhan Maha Pencipta! Tuhan maha Kuasa! Tuhan Maha Kasih! Kekuasaan Tuhan pula yang menciptakan adanya nafsu yang diikut"sertakan kita. Karena itu, tidak ada kekuasaan lain di dunia ini yang akan mampu menundukkan nafsu, kecuali kekuasaan Tuhan! Kita tidak perlu melakukan apapun. Kita hanya menyerah, kita hanya pasrah kepada Tuhan, dengan penuh kesabaran, keikhlasan, ketawakalan! Kita tidak pe rlu be rus aha apapun untuk me nundukkan nafsu, karena us aha apapun dari kita itu bahkan memperkuat nafsu, karena usaha itu sendiripun merupakan ulah nafsu.

   Kita menyerah mutlak kepada Tuhan dengan penuh keimanan dan kepasrahan. Penyerahan ini merupakan kuncinya, agar kekuasaan Tuhan selalu membimbing kita. Kekuasaan Tuhan bekerja membimbing kita setelah nafsu tidak lagi membimbing dan menguasai kita. Nafsu menjadi alat untuk hidup, namun kekuasaan Tuhan yang akan menjadi kendali, menjadi penuntun, dalam segala yang kita perbuat.

   Kalau nafsu sudah mencengkeram diri, maka manusia menjadi lupa segala. Seperti halnya Siong Ki. Dia menjadi permainan nafsu yang mengasyikkan. Apalagi nafsu itu digerakkan oleh pandainya Bi Tok Siocia Ouw Ling yang merayunya. Dan Siong Ki jatuh, Diapun kini menuruti apa saja yang dikehendaki wanita itu. Ketika Ouw Ling menyatakan kesediaannya mengawal keluarga pangeran yang akan ke kota raja, Siong Ki hanya setuju saja. Ouw Ling yang mengatur dan memimpin, sedangkan dia hanya ikut saja.

   Pangeran yang menjadi hakim di Lok-yang itu bernama Pangeran Li Yan, masih kakak misan dari Kaisar Tang Tai Cung yang dahulu bernama Pangeran Li Si Bin. Tentu saja setelah pamannya, yaitu ayah Li Si Bin yang bernama Li Gan me nj adi kais ar pe rtama dari Ke raj aan Tang be rj uluk Tang Kao Cu, Li Yan sebagai keponakannya, juga ikut terangkat de raj atnya, bahkan me ndapat s e butan pangeran dan kini me nj abat sebagai hakim di Lok-yang. Pada jaman itu, kedudukan hakim merupakan kedudukan yang terhormat dan tinggi, disegani dan ditakuti para pejabat tinggi lainnya.

   Pangeran Li Yan berusia limapuluh tahun, isterinya yang akan melakukan perjalanan ke kota raja adalah isteri pertamanya yang berusia empatpuluh lima tahun, dan tiga orang anaknya yang ikut dengan ibu mereka ke kota raja adalah dua orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang berusia dari sepuluh sampai limabelas tahun. Isteri Pangeran Li Yan ini masih berdarah bangsawan dan berasal dari kota raja, dan sekali ini kepergiannya ke kota raja, selain menengok keluarga, juga untuk berpe siar bers ama pute ra-puterinya dan juga tentu s aj a membawa surat laporan dari suaminya yang harus disampaikan kepada atasannya di kota raja.

   Demikianlah, pada hari yang ditentukan. Isteri pangeran itu bersama tiga orang anak-anaknya menunggang sebuah kereta dengan dua ekor kuda yang dikendalikan kusir keluarga pangeran itu. The Siong Ki dan Ouw Ling menunggang dua ekor kuda mengawal di belakang kereta.

   Ketika He k I Sin-kai me ngajak mereka me nghadap Pangeran Li Yan, pangeran yang sudah percaya sepenuhnya kepada ketua kaipang itu segera menerima mereka dan menyetujui, bahkan senang sekali karena dua orang yang mengawal keluarganya bukan orang-orang berpakaian pengemis, melainkan seorang wanita cantik dan seorang pemuda tampan.

   Di atas kereta itu sendiri dipasangi sebuah bendera hitam dengan tulisan Hek I Kaipang, sebagai tanda bahwa rombongan ini di bawah perlindungan perkumpulan pengemis itu. Hal ini untuk menjamin agar di dalam perjalanan tidak ada yang berani mengganggu.

   Juga mendengar permintaan Hek I Sinkai, pangeran itu menitipkan sebuah surat untuk pejabat di istana, dengan pesan kepada isterinya bahwa kalau kedua pe ngawal itu te rnyata be ke rj a dengan baik, surat untuk me mintakan pe kerj aan bagi mereka di istana itu dis ampaikan ke pada s audaranya yang menjadi pejabat di istana.

   Kita tinggalkan dulu Siong Ki dan Ouw Ling yang mengawal keluarga pangeran Li Yan dari Lok-yang menuju ke Tiang-an, karena sudah terlalu lama kita meninggalkan Thian Ki. Mari kita mengikuti perjalanan pemuda perkasa ini.

   Seperti kita ketahui, Thian Ki meninggalkan ibu kandungnya dan ayah tirinya dengan membawa dua macam tugas. Pertama, dia akan mengunjungi Si Han Beng untuk bertanya kepada pendekar itu, di mana dia bisa bertemu dengan Pek I Tojin atau Hek Bin Hwesio karena hanya kedua orang itulah yang akan dapat menolongnya, yaitu membebaskannya dari pengaruh racun di tubuhnya. Ke dua dia harus mengambil kembali pedang Liong-cu-kiam, yaitu pedang pusaka yang dulu menjadi milik Cian Bu Ong dan kini berada di istana kaisar. Dia diberi waktu dua tahun oleh ibunya dan ayah tirinya.

   Pada pagi hari itu, pagi-pagi sekali, berangkatlah Thian Ki meninggalkan dusun Ke-cung di tepi Sungai Kuning dan di kaki bukit Kim-san. Dia membawa buntalan pakaian di punggungnya, dan tangannya memegang sebuah bungkusan kecil yang berisi makanan yang diberikan oleh Kui Eng kepadanya. Kui Eng! Gadis yang sejak kecil dianggapnya sebagai adik sendiri, kini seketika berubah baginya setelah ayah tirinya dan ibunya menyatakan bahwa dia dan Kui Eng ditunangkan, dijodohkan! Dan terutama sekali perubahan yang besar terjadi dalam sikap Kui Eng.

   Dahulu, gadis itu sayang dan manja kepadanya, menganggap dia sebagai kakak kandung. Setelah gadis itu tahu bahwa Thian Ki bukan kakak kandungnya, bahkan sama sekali tidak ada hubungan darah, berlainan ibu dan berlainan ayah, dan mendengar bahwa pemuda itu menjadi calon suaminya, Kui Eng telah benar-benar jatuh cinta kepadanya. Bukan lagi kasih sayang antara saudara, melainkan cinta kasih seorang wanita terhadap seorang pria! Dan tadi gadis itu menghadangnya untuk menyerahkan bungkusan makanan itu yang dimasak sendiri olehnya tenggah malam tadi.

   Dengan langkah lebar dan cepat Thian Ki menuruni lereng terakhir. Bermacam perasaan teraduk di dalam hatinya. Biarpun kini dia menyadari sepenuhnya bahwa dia tidak bersalah, namun tetap saja hatinya menjadi sedih dan menyesal kalau dia teringat kepada Kam Cin atau Cin Cin, gadis yang telah dia buntungi tangan kirinya itu. Terpaksa dia harus melakukan hal itu secepatnya sebelum racun menjalar naik.

   Andaikata dia tidak melakukan hal itu, sekarang Cin Cin pasti sudah tinggal nama saja, tentu telah tewas. Biarpun membuntungi tangan gadis itu merupakan perbuatan untuk menyelamatkan nyawa Cin Cin, namun bagaimanapun juga, hal itu terjadi karena dia, karena tubuhnya yang beracun sehingga ketika mencengkeram pundaknya, otomatis gadis itu keracunan tangannya sehingga terpaksa dia membuntungi tangan itu dengan pedang. Kalau tidak, maka racun dari tangan itu akan menjalar naik dengan cepatnya dan kalau sudah sampai ke jantung atau otak, nyawa gadis itu tidak dapat ditolong lagi.

   Racun dalam tubuhnya yang dimasukkan oleh mendiang neneknya memang hebat bukan main. Neneknya tidak percuma berjuluk Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun). Thian Ki menghela napas panjang. Masih teringat dia akan pandang mata Cin Cin kepadanya ketika tangan gadis itu dibuntunginya. Pandang mata yang penuh kekagetan, penuh penasaran, penuh kedukaan dan penuh dendam! Terkenang dia akan pertemuannya yang pertama dengan gadis itu di tepi sungai Kiang, melihat gadis itu mandi telanjang, kemudian betapa Cin Cin membalasnya dan melihat dia mandi telanjang dan memakinya seperti monyet! Kenangan ini membuat dia semakin sedih.

   Tiba-tiba Thian Ki menahan langkah kakinya dan berdiri termenung seperti orang terkejut. Memang dia terkejut oleh kenyataan di dalam hatinya. Dia mencinta Cin Cin! Kenyataan ini disusul dua hal yang membuat dia merasa terpukul dan berduka, juga bingung.

   Dia mencinta Cin Cin akan tetapi dia telah membuntungi tangan gadis yang dicintanya, sehingga gadis itu tentu saja mendendam dan membencinya. Dan hal ke dua, dia telah ditunangkan dengan Kui Eng yang mencintanya dengan tulus, padahal dia menyayang Kui Eng sebagai adik. Dia merasa bingung sekali. Cin Cin tidak bersalah ketika hendak membunuh ayah tirinya, yaitu Cian Bu Ong.

   Pertama, karena Cin Cin melaksanakan tugas yang diperintahkan subonya yang disakiti hatinya oleh bekas pangeran itu, dan ke dua, dan ini lebih gawat lagi, akan tetapi agaknya belum diketahui Cin Cin, yaitu bahwa kehancuran Hek-houw-pang yang mengakibatkan tewasnya ayah kandung Cin Cin, ketua Hek-houw-pang yang bernama Kam Seng Hin, adalah akibat serbuan orang-orang Cian Bu Onng! Tidak, Cin Cin tidak dapat disalahkan.

   Setelah menuruni lereng bukit itu, Thian Ki melanjutkan perjalanannya menyusuri Sungai Huai. Dia hendak pergi ke Sin-yang yang berada di lembah sungai itu. Dari Sin-yang dia akan meneruskan perjalanan menuju ke kota raja untuk melaksanakan perintah ayah tirinya atau yang kini ingin disebut guru, karena dia hendak dijodohkan dengan puteri gurunya itu.

   Perintah itu bukan tugas yang ringan. Dia harus mencari dan mengambil pedang pusaka Liong cu-kiam (Pedang Mustika Naga) yang dahulunya milik Kerajaan Sui dan yang kini menjadi pusaka Kerajaan Tang. Berarti, dia harus dapat memasuki gedung tempat penyimpanan pusaka dan mencari pedang itu.

   Pekerjaan ini amat sukar dan berbahaya, karena gedung pusaka itu sudah pasti dijaga ketat, dan dia mendengar bahwa Kaisar Tang Tai Cung yang dahulu bernama Li Si Bin adalah seorang yang lihai dalam ilmu silatnya, dan di istana terdapat banyak jagoan yang berilmu tinggi. Dia harus berhati-hati sekali.

   Menurut dongeng, di hutan"hutan yang lebat seringkali terdapat banyak siluman yang suka menyamar menjadi wanita! Biarpun demikian, dia tetap saja membelokkan langkahnya menghampir arah suara tangis itu. Dari balik semak-semak, Thian Ki mengintai dengan heran. Yang menangis itu adalah seorang wanita muda. Usianya sekitar tiga puluh tiga tahun, akan tetapi ia masih nampak cantik jelita walaupun agak kurus dan mukanya pucat.

   Diantara isak tangisnya, wanita itu mengeluh,

   "Ayah ibu anakmu sudah tidak tahan lagi hidup lebih lama di dunia.. tolonglah, ibu dan ayah, aku hendak menyusul kalian"

   Setelah menangis tersedu-sedu, wanita itu mencabut sebatang pisau yang mengkilap karena tajam dan runcing, dan sekuat tenaga menggerakkan pisau itu untuk ditusukkan ke dadanya sendiri. Akan tetapi ia menjerit karena tiba-tiba tangan yang memegang pisau itu seperti lumpuh dan pisau itu terlepas dari pegangan tangannya! Ia mendengar langkah kaki dan menoleh dengan wajah pucat dan matanya terbelalak ketika melihat Thian Ki melangkah menghampirinya.

   "Ahhhh!" Wanita itu nampak terkejut dan takut sekali, sehingga Thian Ki cepat menghiburnya.

   "Nyonya, harap jangan takut. Aku datang untuk menolongmu, bukan mengganggumu," katanya dan diapun duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari dalam tanah, berhadapan dengan wanita itu yang masih duduk bersimpuh.

   "Kau. kau bukan suruhan suamiku...... ?" tanya wanita itu dengan lirih.

   Thian Ki menggeleng kepalanya dan memandangnya. Dari pertanyaan itu saja dia dapat mengam bil kesimpulan, bahwa wanita ini takut kepada suaminya dan mungkin sekali ia hendak membunuh diri karena ulah suaminya, dan bahwa wanita ini sudah ditinggal mati ayah dan ibunya.

   "Nyonya, aku tidak mengenalmu dan tidak mengenal siapa suamimu. Aku hanya ke be tulan saja lewat dan melihat engkau me lakukan perbuatan nekat, terpaksa aku mencegahnya. Maafkan kelancanganku."

   "Kalau begitu, aku mohon kepadamu, tinggalkan aku sendiri, biarkan aku mati menyusul orang tuaku, aku tidak ingin hidup lagi, tidak ingin perpanjang penderitaan yang sudah tak dapat kutahan kan lagi......" wanita itu menangis dan hendak meraih pisaunya yang tadi terlepas dan kini berada di dekatnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja pisau itu lenyap dan telah berada di tangan Thian Ki.

   "Orang muda, bunuhlah aku dengan pisau itu... aku ingin mati!"

   "Tidak, nyonya, engkau tidak boleh mati..."

   "Orang muda, apa kau kira akan dapat mencegah aku mengakhiri hidupku? Sekarang engkau dapat saja memaksaku untuk tidak membunuh diri, akan tetapi setelah kita berpisah, mudah saja bagiku untuk membunuh diri. Menggantung diri, terjun ke jurang, minum racun, membenturkan kepalaku ke batu, banyak jalan untuk membunuh diri!"

   Wanita itu kini merasa marah dan penasaran melihat pemuda yang tidak dikenalnya berkeras hendak menghalanginya mengakhiri penderitaan hidupnya.

   "Maafkan aku, nyonya. Akan tetapi, niatmu itu sungguh salah sekali. Selain engkau akan berdosa kepada Pemberi Hidup, juga usahamu mengakhiri penderitaan itu akan sia-sia belaka. Apakah kaukira bahwa kematian itu mengakhiri penderitaan. Kematian merupakan kelanjutan daripada kehidupan ini, nyonya, dan penderitaan tidak akan hapus begitu saja setelah kita mati. Bahkan mungkin di sana menanti penderitaan yang jauh lebih hebat daripada penderitaan sewaktu hidup?"

   Wanita itu menyusut air matanya dan kini ia mengangkat muka, menatap wajah Thian Ki. Ketika pandang matanya bertemu dengan sepasang mata yang mencorong penuh wibawa, ia terkejut dan maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang bukan orang biasa.

   "Orang muda, kau kira aku tidak tahu akan semua itu? Aku juga pernah membaca kitab. Akan tetapi, aku yakin tidak ada penderitaan yang lebih berat daripada yang kualami selagi hidup ini. Aku ingin mengakhiri semua ini."

   "Nyonya yang baik, hidup memang merupakan medan perjuangan yang berisi suka dan duka, kemudahan atau kesukaran. Kalau sewaktu kita menghadapi kesukaran, tidak semestinya kalau kita pergi menghindarinya, melarikan diri dari kesulitan. Kita harus berdaya upaya untuk menghadapi nya, menanggulanginya dan mengatasinya. Karena itu, kesukaran apapun yang kauhadapi, sepatut nya kalau engkau melawannya, nyonya, bukan melarikan diri dengan jalan membunuh diri. Dan aku berjanji, aku akan membantumu menanggulangi kesukaranmu. Katakanlah, mengapa engkau menjadi berduka dan putus harapan?"

   Wanita itu menggeleng kepala dan menghela napas panjang.

   "Tidak ada gunanya, orang muda. Aku tidak ingin engkau, seorang yang tidak kukenal sama sekali, terseret dan celaka pula karena hendak menolongku. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang akan dapat menolongku, orang muda."

   Thian Ki tersenyum. Dia tidak menyalahkan wanita ini kalau tidak percaya padanya. Dan ketidak-percayaan ini pasti ada hubungannya dengan keadaan wanita itu. Wanita itu tentu mengira bahwa tidak ada orang yang akan mampu menolongnya dan ini berarti bahwa yang membuat dia berduka itu tentulah keadaan yang amat gawat, orang-orang yang agaknya sukar dikalahkan atau ditundukkan.

   "Nyonya, harap jangan memandang rendah kepadaku. Kalau aku menawarkan bantuan, tentu sudah kuperhitungkan dan aku yakin akan kesanggupanku. Aku mampu melawan orang yang bagaimana jahat dan lihaipun!" Dia sengaja bicara sombong untuk menggugah kepercayaan wanita itu kepadanya, atau setidaknya untuk menarik perhatiannya.

   Usahanya berhasil. Wanita itu kini mengamatinya penuh perhatian, matanya yang merah dan masih basah itu, bagaikan matahari yang baru mulai terlepas dari selimut awan tebal, kini nampak agak bercahaya dengan harapan.

   "Kau... kau seorang pendekar?" tanyanya, penuh harapan.

   Kalau dalam keadaan biasa, tidak mungkin dia mau mengaku bahwa dia seorang pendekar yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, dia harus mengaku untuk membesar kan hati wanita yang putus asa itu.

   "Nyonya, aku Coa Thian Ki selalu menjunjung tinggi kegagahan, membela kebenaran dan keadilan dan menentang kejahatan, mengandalkan ilmu kepandaian yang kupelajari sejak kecil. Nah, percayalah kepadaku bahwa aku akan sanggup menolongmu dari tangan orang jahat, dan ceritakan apa yang menjadi penderitaanmu sampai membuatmu putus asa nyonya."

   Agaknya kini timbul kepercayaan di hati wanita itu. Setelah beberapa kali menghela napas panjang, iapun memperkenalkan dirinya.

   "Namaku Li Ai Yin, mendiang ayahku adalah Pangeran Li Siu Ti.........."

   "Ahhh....!" Thian Ki berseru, terkejut.

   "Kalau begitu.. nyonya adalah seorang putri bangsawan istana dan apakah mendiang ayah nyonya adalah Pangeran Tua yang kabarnya..." Thian Ki meragu untuk melanjutkan.

   Li Ai Yin mengangguk.

   "Benar, ayahku sekeluarga telah dijatuhi hukuman mati karena memberontak terhadap Kaisar, enam belas tahun yang lalu. Hanya aku seorang yang berhasil lolos dari hukuman mati karena aku dilarikan oleh........ suamiku dan tinggal di Sin-yang sampai sekarang."

   "Kalau begitu, nyonya termasuk beruntung, dapat meloloskan diri bersama suami nyonya. Lalu kenapa sekarang........"

   "Mula-mula memang aku berbahagia dengan suamiku yang tadinya bekerja sebagai pengawal ayah. Kami saling mencinta dan aku menganggap dia orang yang paling gagah perkasa dan paling baik di dunia ini. Walaupun kami belum mempunyai anak, namun aku tetap berbahagia dan setia kepadanya, membantu semua usahanya yang dimulai dari bawah kembali. Kemudian, dia berhasil mendirikan perkumpulan Koai"liong-pang (Perkumpulan Naga Setan) di Sin-yang. Perkumpulan itu menjadi besar dan berpengaruh, dan membuat kami hidup serba cukup, bahkan kaya. Akan tetapi, barulah nampak belangnya dan baru kuketahui siapa sebenarnya suamiku yang tadinya kuanggap sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa itu. Ternyata dia seorang yang berhati palsu, kejam dan juga mata keranjang. Betapa sakitnya hatiku melihat dia bertindak keji, merampas anak gadis atau isteri orang, memperkosanya di depan mataku, dan dia memperlakukan aku sebagai bujang saja, bahkan seringkali aku dia pukuli dan siksa, demi menyenangkan selir-selirnya. Ahh, untuk apa aku hidup terus seperti itu? Hari ini aku mendapat kesempatan lolos keluar dan menuju ke hutan ini untuk membunuh diri, karena kalau di rumah, aku tidak akan mendapat kesempatan. Engkau, bagaimana mungkin dapat menolongku orang muda? Engkau hanya seorang diri, selain suamiku itu amat sakti, juga dia mempunyai anak buah yang banyak, tidak kurang dari lima puluh orang dan kesemuanya jahat dan kejam. Aku tidak ingin engkau celaka kalau menolongku dan menentang mereka."

   Thian Ki merasa iba sekali. Seorang puteri pangeran, bahkan masih adik sepupu kaisar yang sekarang, yang ketika kecil tentu hidup serba mewah dan dimuliakan orang, sekarang merasa sengsara karena keliru memilih suami dan ingin membunuh diri. Mendengar bahwa suami wanita itu sakti, pendiri Koai-liong-pang, hati Thian Ki tertarik sekali.

   "Nyonya, siapakah suami nyonya itu?"

   "Pertanyaanmu membuktikan bahwa engkau bukan orang dari daerah Sin-yang. Karena kalau demikian halnya, pasti engkau tahu siapa ketua Koai-liong-pang. Namanya Can Hong San."

   Thian Ki merasa terkejut bukan main, akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu. Tentu saja dia tahu siapa Can Hong San itu! Ibunya telah menceritakan nama tokoh besar dan datuk persilatan, dan menurut ibunya, Can Hong San adalah putera mendiang Cui-beng Sai"kong pendiri perkumpulan penyembah Thian-te Kwi-ong (Raja Setan Langit Bumi). Can Hong San, menurut ibunya, amat lihai akan tetapi juga amat jahat. Bahkan orang itu merupakan seorang di antara para penyerbu Hek-houw-pang dan dia pula yang membunuh ayah kandungnya, Coa Siang Lee, dalam penyerbuan itu. Can Hong San adalah pembunuh ayahnya dan dia suami nyonya ini!

   "Jangan khawatir, nyonya. Aku siap untuk menolongmu. Nah, katakan saja, apa yang harus kulakukan untuk menolong nyonya?"

   Wanita itu termenung, dan sebelum ia menjawab, tiba-tiba terdengar suara gaduh dan Thian Ki berkata,

   "Duduk sajalah, nyonya. Ada beberapa orang datang ke sini, biarkan aku yang menghadapi mereka."

   "Aih, celaka mereka pastilah orang-orang yang disuruh suamiku untuk mencariku. Mereka itu lihai dan kejam sekali. Larilah, orang muda, tinggalkan aku sendiri!" Ai Yin yang sudah putus asa itu tidak ingin melihat orang lain dibunuh karena membelanya.

   "Tenanglah, nyonya. Aku akan menghajar mereka kalau mereka berani mengganggumu."

   Muncullah empat orang laki-laki yang bertubuh kokoh kuat dan bersikap bengis. Mereka berteriak-teriak ketika melihat Li Ai Yin.

   "Itu ia di sana!"

   "Bersama seorang pemuda lagi! Tentu pemuda itu biangkeladinya sehingga ia melarikan diri!"

   Dengan tenang sekali Thian Ki berdiri menghadang ke depan Ai Yin, akan tetapi sebelum dia bicara, dia didahului Ai Yin yang berkata dengan lantang.

   "Mau apa kalian mencariku? Pergi dan jangan ganggu aku!" Suaranya terdengar memerintah dan hal ini wajar karena empat orang itu adalah para pembantu suaminya.

   Akan tetapi, Ai Yin melihat perubahan besar dari sikap mereka. Biasanya, mereka menghormatinya sebagai isteri ketua mereka, akan tetapi sekarang mereka tertawa ha-ha-hi-hi mendengar bentakan wanita itu.

   "Kami diutus pang-cu (ketua) untuk mencari, nyonya," kata seorang di antara mereka yang berkumis tebal.

   "Pergilah kalian, aku tidak mau pulang. Katakan kepada ketua kalian bahwa aku tidak sudi pulang, dan lebih baik aku mati daripada harus kembali kesana!" Suaranya penuh kemarahan dan kebencian.

   Akan tetapi, empat orang itu tetap tertawa-tawa, menyeringai dengan sikap kurang ajar, sama sekali tidak menghormati nyonya ketua mereka. Si kumis tebal yang agaknya menjadi pembicara dan pemimpin mereka, melangkah maju dan matanya melotot seperti hendak menelan nyonya itu bulat-bulat.

   "Heh-heh, nyonya manis, kami tidak disuruh menjemputmu, melainkan disuruh membunuhmu, ha-ha-ha!"

   Akan tetapi ancaman yang disusul tawa empat orang itu, sama sekali tidak membuat sang nyonya menjadi ketakutan seperti yang mereka duga. Ai Yin bahkan bangkit berdiri dan menegakkan leher menatap mereka dengan pandang mata menantang.

   "Bunuhlah, lebih baik aku mati daripada harus kembali ke sana!"

   Empat orang itu tertegun, dan untuk melenyapkan rasa kecelik itu, si kumis tebal tertawa lagi.

   "Ha-ha-ha, kami tidak akan membunuh begitu saja, manis. Kami akan bersenang senang dulu denganmu, nyonya manis!"

   "Jahanam busuk, berani kau........!!" Ai Yin membentak dan mukanya berubah merah saking marahnya.

   Empat orang itu tertawa.

   "Sayang kalau dibunuh begitu saja. Sudah lama engkau membuat kami seringkali mengilar. Marilah, manis, mari bersenang-senang dengan kami!"

   Ketika empat orang itu melangkah maju untuk menangkap Ai Yin, Thian Ki sudah maju menghadang.

   "Empat orang laki-laki pengecut dan rendahbudi, beraninya hanya mengganggu wanita lemah!" kata Thian Ki, suaranya dingin akan tetapi pandang matanya bernyala.

   "Eh, eh.........! Siapa kau, anak kecil berani mencampuri urusan orang? Apa engkau sudah bosan hidup?"

   "Kalian ini manusia-manusia yang sudah dikuasai iblis yang sudah bosan hidup kalau kalian tidak cepat pergi dan jangan mengganggu nyonya ini," kata Thian Ki.

   Mata si kumis tebal melotot dan hampir dia tidak percaya ada seorang pemuda berani bersikap dan berkata seperti itu kepadanya! Seluruh penduduk kota Sin-yang dan sekitarnya, tak seorangpun berani bersikap kasar kepadanya!

   "Bocah gila, apa engkau tidak tahu bahwa engkau berhadapan dengan aku, Harimau Kumis Tebal?" bentaknya dan mengamangkan tinju kanannya yang sebesar kepala anak-anak itu ke arah Thian Ki.

   "Hemm, manusia sombong. Aku akan membuat engkau menjadi anjing tanpa kumis!"

   Kemarahan si kumis tebal tak dapat ditahan lagi.

   "Jahanam!" bentaknya dan dengan gerengan seperti beruang marah, diapun menyerang Thian Ki sedangkan tiga orang lainnya hanya menonton sambil menyeringai, karena mereka semua yakin bahwa dalam segebrakan saja rekan mereka akan dapat melumatkan tubuh pemuda itu dan mereka ingin menikmati tontonan itu.

   "Wuuuut.......!" Kepalan tinju besar itu menyambar ke arah muka Thian Ki. Akan tetapi dengan gerakan otomatis dan mudah sekali Thian Ki menarik mukanya ke belakang pada saat tinju itu hampir menyentuh pipinya, dan pada saat tinju itu lewat di depan mukanya, tangannya yang kiri menyambar ke arah pipi lawan.

   "Plakk!! Aduhh!" Si kumis tebal hampir tersungkur, dan dia meludahkan beberapa buah gigi bercampur darah keluar dari mulutnya, meringis dan kemarahannya meluap.

   "Jahanam!" bentaknya pelo karena mulutnya membengkak, dan begitu tangan kanannya bergerak, dia sudah mencabut sebatang golok dan mengamuk seperti orang gila, menghujankan bacokan golok ke arah Thian Ki.

   Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Akan tetapi, yang nampak olehnya hanya bayangan berkelebatan ke kanan kiri. Dia menyerang dengan ngawur saja, mengejar bayangan itu dengan sabetan goloknya. Tiba-tiba, lengan kanannya terpukul dari samping membuat lengan itu terasa lumpuh dan nyeri, dan goloknya terlepas.

   Tangan kanan Thian Ki sudah menyambar ke arah muka lawan dan sekali renggut terdengar suara"brett" disusul jerit kesakitan dan kini si kumis tebal sudah kehilangan kumisnya dan di tempat itu kini nampak kulit di bawah hidung itu terobek dan berdarah! Si pemilik kumis mendesis-desis saking nyerinya, juga nyeri hatinya karena dia kehilangan kumis yang dia banggakan.

   Tiga orang kawannya terkejut bukan main, juga marah melihat betapa kawan mereka dihina, dan mereka bertiga sudah mencabut golok dan mengepung Thian Ki. Sebaliknya, Ai Yin berdiri terbelalak kagum. Tak disangkanya bahwa pemuda itu dapat membuat Harimau Kumis Tebal yang merupakan pembantu suaminya yang paling lihai, paling galak dan paling kejam, sama sekali tidak be rdaya dan dikalahkan dalam beberapa gebrakan saja. Timbul harapan dan kepercayaan dalam hatinya bahwa pemuda ini akan dapat menolongnya. Akan tetapi tetap saja dia merasa khawatir karena kini tiga orang itu sudah berteriak-teriak sambil menyerang Thian Ki yang bertangan kosong dengan golok mereka.

   Kalau saja Thian Ki belum digembleng mendiang neneknya selama dua tahun dan belum menguasai tenaga saktinya yang beracun, tentu sekali tampar saja dia dapat membuat lawan tewas dengai tubuh keracunan. Akan tetapi kini dia telah dapat menguasai tenaga itu sehingga dia mampu"menyimpan" hawa beracun itu dan hawa itu tidak akan bergerak keluar kalau tidak dikehendakinya. Hanya tentu saja, darahnya masih mengandung racun mengerikan sehingga siapa yang menyerangnya dengan pukulan bertenaga sin-kang, atau mencengkeramnya, orang itu akan keracunan, seperti halnya Cin Cin. Untuk melenyapkan ini, tidak ada jalan lain kecuali membersihkan darahnya dan yang dapat melakukan hal ini hanyalah orang yang benar-benar sakti.

   Kini, menghadapi pengeroyokan tiga orang itu, tentu saja tidak membuat Thian Ki repot. Tingkat ilmu silatnya yang dia dapatkan dari ajaran ayah tirinya, jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian tiga orang itu, maka begitu dia menggerakkan tubuhnya, maka bayangannya berkelebatan di antara gulungan sinar tiga batang golok para pengeroyok.

   Gerakan kedua tangannya jauh lebih cepat ketimbang gerakan tiga batang golok lawan. Thian Ki tidak ingin berkelahi terlalu lama menghadapi orang-orang kasar itu, maka begitu Harimau Kumis Tebal yang kini tidak berkumis itu terjun pula ke dalam medan perkelahian, menahan nyeri pada mukanya dan membacokkan goloknya dengan nekat, Thian Ki sudah mengeluarkan bentakan melengking empat kali dan akibatnya, empat orang itu terpelanting ke kanan kiri, golok mereka terpental entah ke mana dan tulang lengan kanan mereka semua patah-patah! Barulah empat orang itu terkejut dan jerih, dan tanpa diperintah lagi mereka lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu, tidak berani menoleh lagi.!

   Ketika Thian Ki menoleh ke arah wanita itu, dengan kaget dia melihat wanita sudah berlutut di depannya.

   "Taihiap . terima kasih, taihiap. Sekarang aku percaya taihiap kiranya yang akan dapat menolongku" katanya terharu.

   "Aih, nyonya Jangan begitu, bangkitlah dan jangan menghormatiku secara berlebihan. Engkau seorang puteri bangsawan, bangkitlah...." Terpaksa Thian Ki menyentuh kedua pundak wanita itu dan Ai Yin merasakan getaran hebat yang membuat ia terpaksa bangkit duduk. Kemudian iapun kembali duduk berhadapan dengan Thian Ki di bawah pohon besar itu.

   "Nah, sekarang katakanlah, pertolongan apa yang harus kuberikan kepadamu, nyonya? Apakah engkau menghendaki aku menemui suamimu dan memaksanya agar dia bersikap baik kepadamu?"

   "Tidak, tidak! Dan jangan sebut aku nyonya, taihiap. Namaku Li Ai Yin, dan aku bukan lagi puteri bangsawan, juga bukan lagi isteri ketua Koai"liong-pang. Aku tidak sudi lagi kembali kepadanya, lebih baik aku mati daripada harus kembali kepadanya

   "Akan tetapi, kalau dia berjanji akan bersikap baik kepadamu?"

   "Tidak, tidak mungkin! Dia seorang perayu yang palsu, andaikata engkau dapat memaksanya untuk bersikap baik kepadaku, tentu itu hanya tipuan belaka, dan kalau engkau sudah tidak ada, dia pasti akan melampiaskan dendamnya kepadaku. Dia perayu dan kejam seperti iblis, taihiap."

   "Nyonya, kalau engkau tidak ingin kusebut nyonya, jangan sebut aku tai-hiap. Namaku Coa Thian Ki, rasanya kikuk kalau engkau menyebut aku taihiap."

   "Baiklah, siauw-te (adik).... padahal engkau memang pantas disebut pendekar besar. Aku berterima kasih sekali, dan agaknya engkaulah harapanku satu-satunya. Hanya engkau yang kiranya akan dapat membebaskan aku dari derita ini."

   "Akan tetapi, bagaimana caranya, enci Ai Yin?" tanya Thian Ki yang kini tanpa ragu menyebut enci kepada wanita itu."Kalau engkau tidak ingin kembali kepada suamimu, lalu apa yang dapat kulakukan untuk me mbantumu?"

   "Terserah kepadamu, Coa-siauwte. Terserah apa yang akan kau lakukan. Aku hanya ingin hidup terbebas dari Can Hong San. Aku ingin hidup sendiri tanpa terancam oleh dia dan anak buahnya. Mereka itu kejam sekali, bukan hanya kepadaku, akan tetapi kepada rakyat daerah Sin-yang. Ah, engkau tidak tahu apa saja yang mereka lakukan siauwte."

   Ai Yin lalu menceritakan tentang semua sepak terjang suaminya. Setelah terjadi penyerbuan pasukan istana kepada Pangeran Tua Li Siu Ti yang diketahui hendak memberontak, Ai Yin diajak pergi melarikan diri oleh Can Hong San. Wanita ini menurut saja, karena ia telah dikuasai oleh bekas pembantu ayahnya itu, telah menyerahkan diri di luar kesadarannya. Dalam pelarian ini, Can Hong San bersikap baik dan mencinta padanya, maka agak terhiburlah hatinya.

   Setelah merantau berpindah-pindah tempat karena takut akan pengejaran dan pe ncarian dari kota raja, akhirnya be be rapa tahun kemudian mereka menetap di Sin-yang. Keadaan sudah aman dan tidak ada pencarian, maka Can Hong San mulai menata hidupnya. Mengandalkan kepandaiannya yang tinggi, dia menaklukkan para tokoh kangouw dan para jagoan di daerah Sin-yang, dan ketika dia mendirikan perkumpulan yang diberi nama Koai-liong-pang, banyak jagoan yang suka menjadi anak buahnya. Dan perkumpulan ini dalam waktu singkat menundukkan para jagoan, menguasai semua tempat pelesir dan kemaksiatan dengan memungut semacam "pajak" yang besar. Sebentar saja, nama Koai-liong-pang ditakuti orang dan pemilik segala macam perusahaan, terutama sekali yang bersangkutan dengan hiburan tidak berani membantah dan membayar uang pajak atau sumbangan yang dikatakan sebagai biaya penjagaan keamanan.

   Siapa yang tidak mau membayar, tentu akan menjadi tidak aman lagi. Sebentar saja Can Hong San menjadi kaya raya dan setelah memperoleh kekayaan dan kedudukan atau kuasa, mulailah nampak belangnya terhadap Li Ai Yin yang menjadi isterinya.

   "Dia mengambil banyak gadis, bahkan isteri orang, sebagai selir paksaan, bahkan sering dia memaksa seorang wanita di dalam kamar kami, di depan mataku sendiri. Kalau aku mencela, dia memukul dan menyiksaku. Pernah dia dengan terus terang mengatakan bahwa dahulu dia mempersuntingku bukan karena cinta, melainkan karena ingin menjadi mantu pangeran. Sekarang, setelah keluarga ayah hancur, dan aku bukan lagi puteri pangeran, diapun tidak membutuhkan aku lagi. Ahh, siaute, bertahun-tahun aku harus menahan diri terhadap siksaan lahir bathin itu. Penderitaan itu sampai dipuncaknya ketika malam tadi dia memberikan aku kepada para pembantunya! Aku tidak sudi dan karena para anak buahnya masih segan kepadaku, maka aku masih mampu mempertahankan kehormatanku dan pagi ini aku melarikan diri ke sini."

   "Betapa kejam dan jahatnya!" Thian Ki berseru sambil mengepal tinju.

   "Untung bahwa dalam pernikahanku dengannya, kami belum mempunyai keturunan, Coa-siauwte. Nah, sekarang engkau tentu mengerti bahwa satu-satunya keinginanku hanya agar aku dapat terbebas darinya. Aku hanya mau melanjutkan hidup ini kalau terbebas dari cengkeraman manusia iblis itu."

   Thian Ki mengangguk-angguk. Dia mengerti. Li Ai Yin ini bukan seorang isteri yang tidak setia kepada suami."Baiklah, enci Ai Yin. Gerombolan Koai-liong-pang itu tidak boleh dibiarkan saja merajalela dan mencelakai penduduk. Hal ini harus dilaporkan kepada yang berwajib. Mari kau ikut denganku, enci."

   Thian Ki lalu mengajak Ai Yin memasuki kota Sin-yang. Wanita itu tentu saja ketakutan, khawatir kalau sampai diganggu anak buah suaminya, akan tetapi agaknya pihak Koai-liong-pang terlalu kaget mendengar akan nasib tiga orang pembantu utama ketua mereka yang bertemu seorang pemuda yang amat lihai, sehingga Thian Ki dan Ai Yin tidak sempat diganggu sampai mereka tiba di gedung pembesar setempat, yaitu rumah dan kantor kepala daerah Sin-yang yang bernama Gan Hok.

   Gan-taijin adalah seorang yang berusia limapuluh tahun, dan dialah pejabat pemerintah yang paling tinggi kedudukannya di Sin-yang. Seperti kebanyakan pejabat pemerintah di masa itu, Gan-taijin juga seorang pejabat yang kurang memperhatikan keadaan atau kehidupan rakyatnya, hanya memikirkan kesejahteraan keluarganya sendiri saja. Maka, dia tidak begitu tahu akan sepak terjang Koai-liong-pang, bahkan andaikata tahupun, asalkan para anggota Koai-liong-pang tidak mengganggu pemerintah, dan lebih-lebih kalau perkumpulan itu membayar pajak dan sumbangan yang besar, diapun akan pura-pura tidak tahu saja.

   Karena dia tidak mengenal Thian Ki dan Ai Yin, maka diapun menyambut kedatangan mereka dengan sikap dingin dan acuh saja."Hemm, siapakah kalian dan ada urusan apakah sepagi ini sudah mengganggu kesibukanku?" tegurnya dengan sikap ketus.

   Thian Ki mengerutkan alisnya. Sudah terlampau sering dia melihat pembesar yang seperti ini sikapnya, memandang rendah orang lain, akan tetapi bersikap manis kepada orang yang datang membawa hadiah yang besar.

   "Maafkan kalau kami mengganggu, Taijin," kata Thian Ki dengan sikap tenang.

   "Saya bernama Coa Thian Ki dan ini adalah kakak perempuan saya yang bernama Coa Ai Yin. Kami sedang melakukan perjalanan dan kebetulan lewat di Sin-yang. Dan di kota Taijin ini, kami melihat seorang buronan kota raja, bahkan dia telah menyusun kekuatan di kota ini. Kalau hal ini sampai diketahui Sri baginda, tentu nama baik Taijin akan tercemar."

   Seketika wajah pembesar itu menjadi pucat. Kalau ada yang ditakuti, maka satu satunya adalah kota raja, di mana terdapat kaisar dan para atasannya! Sekali gerakan telunjuk para atasan, akan hancurlah kedudukannya dan kehidupannya.

   "Apa kau bilang? Seorang buronan di kota inil? Siapa dia? Hayo ceritakan dengan jelas dan jangan melempar fitnah kepada orang!" bentak pembesar itu dan para pembantunya yang hadir juga terbelalak heran dan terkejut.

   Thian Ki tetap tenang."Ingatkah Taijin akan peristiwa yang terjadi di kota raja enam belas tahun yang lalu ketika Pangeran Tua Li Siu Ti sekeluarga dihukum karena dia melakukan pemberontakan?"

   "Tentu saja! Akan tetapi apa hubungannya dengan kota ini?"

   "Begini, Taijin. Diantara para pembantu utama mendiang Pangeran Tua yang memberontak, pembantu yang paling lihai, telah berhasil meloloskan diri dan sampai sekarang belum tertangkap. Dan kami melihat buronan itu sekarang menjadi penduduk Sin-yang, bahkan memiliki pengaruh dan kekuasaan besar. Kalau hal ini diketahui kota raja, bukankah Taijin akan dituduh bersekongkol dengan buronan itu dan melindunginya?" Thian Ki lalu memberi isyarat kepada Ai Yin dan mereka bangkit.

   "Akan tetapi kalau Taijin tidak percaya kepada kami, sudahlah, kami akan melanjutkan perjalanan dan semua akibat silakan Taijin tanggung sendiri! ."

   "Hei...., eh, nanti dulu....... orang muda, jangan tergesa-gesa dan silakan duduk." Pembesar itu tergopoh-gopoh mencegah Thian Ki dan Ai Yin pergi. Kedua "Kakak beradik" itupun duduk kembali dan kini sikap pembesar itu menjadi lain. Dia memerintahkan pembantunya untuk memanggil komandan pasukan keamanan yang segera muncul, seorang laki-laki tinggi besar dan gagah berusia empatpuluh tahun lebih. Mereka semua duduk mendengarkan laporan Thian Ki.

   "Taijin, orang itu bernama Can Hong San, ketika menjadi pembantu mendiang Pangeran Tua dia memakai nama Siauw Can. Dan dia sekarang berhasil menghimpun para tokoh kangouw, para penjahat keji mendirikan perkumpulan Koai-liong-pang di kota ini!"

   Gan-taijin terbelalak."Koai-liong-pang? Akan tetapi sikap mereka selama ini baik-baik saja, tidak pernah mengganggu petugas pemerintah, bahkan amat baik" tiba-tiba pejabat itu diam karena ingat bahwa tidak semestinya dia menceritakan kebaikan Koai-1iong-pang yang suka memberi sumbangan dan hadiah yang cukup banyak!

   "Maksudku koai-liong-pang tidak pernah memusuhi kami."

   "Mungkin saja begitu, Taijin, karena Can Hong San itu memang licik sekali. Akan tetapi tidak tahukah Taijin akan sepak terjang para anggota Koai-liong-pang termasuk pimpinannya? Mereka seringkali mengganggu penduduk, melakukan pemerasan, bahkan tidak segan merampas barang orang, juga sudah sering mereka memaksa gadis bahkan isteri orang, menjadi selir mereka. Mereka melakukan perkosaan dan penindasan."

   Wajah pembesar itu berubah. Berita ini sungguh amat mengejutkan hatinya. Dia menoleh kepada komandan pasukan keamanan.

   "Benarkan itu, Lui ciangkun?" tanyanya.

   Komandan itu menghela napas panjang.

   "Memang Koai-1iong-pang tidak pernah memusuhi kita, Taijin, akan tetapi mereka memang menguasai semua tempat hiburan, dan memungut pajak dari toko-toko besar. Semua ini pernah saya laporkan kepada Taijin, akan tetapi karena mereka tidak memusuhi kita, Taijin tidak memerintahkan menindak mereka."

   "Brakk!" Pembesar itu memukul meja dengan telapak tangannya.

   "Lui"ciangkun, kalau kami tahu dia itu buronan kota raja, tentu kami sudah sejak dulu menyuruh engkau me nangkapnya. Kenapa kau tidak tahu bahwa dia itu bekas pemberontak? Hayo kerahkan pasukanmu dan tangkapi mereka semua, kalau melawan, gempur dan bunuh mereka agar kita tidak dianggap bersekongkol dengan pemberontak. Kau tahu hukumannya kalau kita dianggap membantu pemberontak? Tolol kau!"

   Komandan itu memberi hormat.

   "Siap melaksanakan perintah, Taijin!"

   "Taijin, Can Hong San itu lihai bukan main. Saya khawatir kalau-kalau dia akan dapat lolos lagi seperti ketika terjadi pembasmian pemberontak di kota raja. Karena itu biar saya yang menghadapinya dan menangkapnya, akan tetapi saya menitipkan kakak perempuan saya ini agar ia aman dari balas dendam Can Hong San yang kami laporkan kepada Tai jin."

   "Baik, baik, silakan masuk, nona." Pembesar itu memberi isyarat kepada seorang pembantu yang segera mengantar Ai Yin masuk ke dalam gedung itu. Pembesar itu tentu saja senang dititipi Ai Yin karena wanita itu bahkan seolah menjadi jaminan akan kebenaran laporan yang disampaikan adiknya!

   Thian Ki mendampingi Lui-ciangkun yang memimpin hampir tiga ratus orang perajuritnya dan gegerlah kota Sin-yang ketika melihat pasukan keamanan mengepung rumah besar yang menjadi pusat Koai-liong-pang. Yang lebih kaget lagi adalah Can Hong San dan para pembantunya. Dengan membawa pedang pusakanya, dan diiringkan para pembantunya, dan para anggota Koai-liong-pang yang ketika itu berada di situ kurang lebih tiga puluh orang, sedangkan yang lainnya berada di luar melaksanakan tugas mengumpulkan sumbangan, dia keluar dengan tabah.

   Can Hong San menganggap bahwa selama ini sudah banyak dia memberi sogokan hadiah kepada semua petugas pemerintah di Sin-yang, maka tidak mungkin dia akan diganggu. Setelah tiba di luar pintu depan, Can Hong San diam-diam terkejut melihat banyaknya perajurit yang mengepung rumahnya. Dan seorang pembantunya, yaitu seorang di antara mereka yang pagi tadi hendak menangkap Ai Yin di dalam hutan menyentuh lengannya.

   "Pangcu, itu dia pemuda yang tadi menolong nyonya."

   Can Hong San mengerutkan alisnya, memandang kepada Thian Ki yang berdiri di antara para perwira yang berada di depan pasukan. Dia tidak mengenal pemuda itu dan tiba-tiba saja jantungnya berdebar tegang. Isterinya, Li Ai Yin telah diselamatkan pemuda itu dan diajak pergi, dan sekarang pasukan keamanan Sin-yang mengepung rumahnya. Apakah Ai Yin telah mengkhianatinya? Akan tetapi, melihat bahwa komandan itu adalah Lui-ciangkun yang tentu saja sudah dikenalnya, diapun menenangkan hatinya dan segera melangkah maju menghadapi komandan itu dan tersenyum ramah.

   "Aih, kiranya Lui-ciangkun yang datang. Apakah yang terjadi, ciangkun? Kenapa ciangkun memimpin pasukan keamanan? Apakah terjadi kerusuhan? Kalau begitu, biar kami akan membantumu!"

   Thian Ki memperhatikan orang itu. Seorang laki-laki yang gagah perkasa dan tampan menarik pikirnya. Usianya tentu sudah empatpuluh tahun lebih, namun masih nampak perkasa dan tampan. Hidungnya mancung dan besar, dan bibirnya merah bergairah seperti bibir wanita. Akan tetapi matanya mengandung kecerdikan yang luar biasa. Biji mata itu bergerak-gerak ke kanan kiri, dan sinarnya tajam, bahkan mencorong ketika mengerling kepadanya. Seorang yang amat berbahaya, pikirnya. Sikapnya ketika menyambut Lui-ciangkun itu saja sudah menunjukkan ke licikannya.

   Sikap itu membuat Lui-ciangkun nampak agak tersipu. Bagaimanapun juga, dia sendiri adalah seorang di antara sekian banyaknya petugas penting memiliki kedudukan yang pernah menikmati hadiah dari ketua Koai-liong-pang ini! Biarpun dia sendiri tidak pernah membantu perkumpulan itu berbuat kejahatan, namun selama ini dia memang, seperti para pembesar lain, agak memejamkan mata pura-pura tidak tahu apa yang telah mereka perbuat. Akan tetapi, mengingat akan kemarahan dan perintah atasannya, apalagi di situ terdapat Thian-Ki sebagai saksi, dan mengingat pula bahwa orang yang nampak ramah dan baik ini adalah seorang kaki tangan pemberontak dan menjadi buronan kota raja, diapun memandang dengan bengis dan suaranyapun lantang dan tegas.

   "Can Hong San, kami datang sebagai utusan pemerintah untuk menangkap engkau dan anak buahmu. Koai-liong-pang harus dibubarkan dan ditutup!"

   Tentu saja Can Hong San menjadi terkejut bukan main mendengar ucapan lantang itu. Seketika dia dapat menduga apa yang mungkin terjadi dan jantungnya berdebar keras.

   Tak salah lagi, pikirnya, setelah ditolong pemuda itu, tentu isterinya telah menceritakan segalanya tentang dirinya ke pada pe muda itu, dan pe muda itu yang melapor ke pada ke pala dae rah, maka kini pemerintah daerah mengirim pasukan untuk menangkapnya dan membubarkan perkumpulannya. Dia marah sekali, akan tetapi masih berusaha untuk membela diri dan berpura-pura kaget.

   "Ahh, Lui-ciangkun. Apa alasannya? Bukankah selama ini perkumpulan kami be rs ahabat de ngan pe me rintah? Bukankah kami j uga me mbantu mengamankan daerah ini dari gangguan penjahat? Kenapa tiba-tiba ciangkun hendak membubarkan Koai-liong-pang dan menangkap kami?"

   Mendengar pertanyaan itu, Lui-ciangkun menjadi semakin tidak enak hati. Maka, dia menoleh kepada Thian Ki yang berdiri di sampingnya, lalu berkata lirih,

   "Coa-sicu, engkau saja yang menjelaskan kepadanya."

   Thian Ki merasa khawatir kalau-kalau perwira atau komandan pasukan keamanan ini akan terdesak oleh ucapan ketua Koai-liong-pang itu, karena jelas kalah wibawa, maka dia melangkah maju dan berkata dengan suara lantang.

   "Can Hong San, pasukan pemerintah ini ditugaskan untuk menangkap kalian semua dan membubarkan Koai-1iong-pang karena engkau adalah bekas pemberontak yang menjadi orang buronan pemerintah. Lebih baik kalian menyerah dari pada harus dipergunakan kekerasan.

   Can Hong San melotot,

   "Orang muda, siapa engkau yang begini lancang? Dan berani engkau melempar fitnah kepada kami? Lui-ciangkun, pemuda ini melontarkan fitnah keji! Kami berbaik dengan pemerintah dan membantu pemerintah, bagaimana dikatakan memberontak? Jahanam ini memfitnah! Jangan percaya kepadanya, Lui-ciangkun. Dialah pengacau yang seharusnya ditangkap, karena dia telah melarikan isteri saya! Nah, dengarlah baik-baik, Lui-ciangkun. Pemuda ini telah berjinah dengan isteri saya dan ketika kami hendak menangkapnya, dia melawan, melukai beberapa orang anggota kami, kemudian melarikan isteri saya!"

   Tentu saja Lui-ciangkun terbelalak kaget dan kini memandang kepada Thian Ki penuh keraguan. Kalau benar apa yang dikatakan ketua Koai"liong-pang itu, berarti mereka semua telah dipermainkan pemuda asing ini! Dan pemuda ini memang datang menghadap kepala daerah bersama seorang wanita cantik, dan baru sekarang dia teringat bahwa wanita itu adalah isteri sang ketua ini. Pernah satu kali dia melihat wanita itu, ketika dia dan para pejabat lain di Sin-yang menghadiri sebuah pesta yang diselenggarakan oleh Koai-liong-pang.

   

Pedang Naga Hitam Eps 11 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 4 Sepasang Naga Lembah Iblis Eps 5

Cari Blog Ini