Ceritasilat Novel Online

Sepasang Naga Lembah Iblis 11


Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 11




   "Cu-wi yang terhormat, aku tidak mempunyai banyak cakap lagi, dan tidak menjanjikan yang muluk-muluk. Akan tetapi pada dasarnya aku setuju dengan apa yang di utarakan calon pertama tadi. Kita harus membantu pemerintah untuk mendatangkan suasana yang tentram dan Makmur. Kita hancurkan semua pemberontak, karena merekalah yang mendatangkan kekacauan yang membuat kehidupan rakyat tidak tentram. Kita orang kang-ouw harus menggunakan kepandaian untuk membuat jasa dan menjadi pembantu-pembantu pemerintah yang tangguh. Aku akan memeloporinya dan kalau aku menjadi bengcu, aku akan mintakan pekerjaan kepada pemerintah untuk semua tokoh kang-ouw!".

   Kembali anak buah Koksu yang menyambut dengan tepuk sorak. Cu Lokai diam-diam maklum bahwa dua orang itu memang anak buah Koksu dan tentu akan bersekongkol untuk memenangkan pemilihan bengcu ini.

   Kemudian dia mempersilahkan calon ke empat, yaitu Yang Cien, untuk naik ke atas panggung. Semua orang memperhatikan karena banyak di antara mereka yang belum mengenal siapa Yang Cien. Para utusan partai-partai besar juga ingin sekali tahu siapa orangnya. Terutama sekali Akauw sudah lebih dulu mencurahkan perhatian untuk melihat apakah benar orang itu suhengnya.

   Yang Cien melompat ke atas panggung dengan sikap biasa saja. Sederhana dan tidak mengesankan. Semua orang melihat seorang pemuda yang usianya sekitar dua puluh enam tahun, wajahnya berbentuk persegi, gagah dan tampan namun sederhana sekali, matanya mencorong seperti mata naga, mulutnya tersenyum ramah dan sabar. Rambutnya di gelung ke atas dan kepalanya memakai penutup kepala, semacam caping lebar. Bajunya biru potongan baju petani. Kulitnya putih dan nampak kemerahan dan sehat. Alisnya tebal menambah ketajaman matanya, hidung mancung dan dagunya berlekuk. Biarpun pakaiannya sederhana sekali namun sikap dan pembawaannya mengandung wibawa yang kuat. Di punggungnya tergantung sebatang pedang.

   Melihat ini Akauw menahan seruannya. Benar, orang itu adalah suhengnya! Tentu saja dia menjadi girang bukan main. Suhengnya! Orang yang selama ini paling dekat dengannya.

   Yang Cien mengangkat kedua tangan ke depan dadanya, lalu memberi hormat ke empat penjuru, sambil tersenyum dan bersikap tenang saja. Akan tetapi ketika dia sudah mengeluarkan suara, suaranya lantang dan penuh semangat sehingga menarik perhatian semua orang.

   "Cu-wi yang terhormat. Saya di tunjuk oleh para kaipang-cu untuk mencalonkan diri menjadi bengcu. Saya menerimanya dengan rela karena memang perlu sekali adanya seorang bengcu yang akan mempersatukan semua golongan. Seperti cu-wi telah mengetahui, tanah air kita dijajah oleh bangsa lain semenjak puluhan tahun, dan kalau kita semua tidak bersatu dan bertindak, siapa lagi yang akan mampu membebaskan kita? Kita harus bersatu padu. Tidak peduli dari golongan apa, demi kekuatan bangsa. Karena itulah saya menerima menjadi calon bengcu, dan sekiranya cu-wi nanti memilih saya menjadi bengcu, saya akan berusaha sekuat tenaga saya untuk mempersatukan untuk berjuang bersama, membebaskan rakyat jelata dari pada cengkraman penjajah!.

   Semua anggota kaipang dan juga mereka yang merasa suka mendengar ucapan Yang Cien ini bertepuk tangan, termasuk Akauw.

   "He, Akauw, kenapa engkau bertepuk tangan untuk dia?" Tanya Hek-liong-ong dalam hatinya katika melihat murid itu bertepuk tangan mendengar pidato Yang Cien. Dia tidak mengerti mengapa muridnya ikut bertepuk tangan dan hal ini mengherankan hatinya. Memang benar bahwa pemuda itu juga bermaksud menggalang persatuan untuk berjuang melawan penjajah seperti juga yang menjadi maksudnya, akan tetapi bagaimanapun juga, pemuda itu adalah saingannya dalam memperebutkan kedudukan bengcu.

   Sementara itu, Koksu yang mendengar ucapan itu, lalu mengangkat tangan ke atas minta semua orang tenang. Sebagai anggota pimpinan pemilihan bengcu, dia memang berhak bicara dan dia berkata kepada Yang Cien dengan suara nyaring.

   "Tiga calaon terdahulu sudah dikenal semua orang karena mereka memang merupakan tokoh-tokoh besar. Akan tetapi, engkau adalah seorang pemuda yang sama sekali belum di kenal, maka sebaiknya kalau engkau memperkenalkan diri tentang keadaan dirimu kepada kita semua."

   Yang Cien memandang kepada Koksu itu. Inilah musuh besarnya. Inilah orang yang menyebabkan kematian ayaj ibunya, dan yang membuat dia dan kakeknya melarikan diri terlunta-lunta. Akan tetapi dia melupakan semua kenangan itu dan menghadapi semua orang.

   "Nama saya Yang Cien dan saya di pilih oleh para kaipang untuk menjadi pemimpin dan menjadi wakil mereka dalam pemilihan bengcu."

   Semua orang membicarakan pemuda yang tidak terkenal itu, dan banyak wakil pimpinan para perkumpulan besar yang masih meragukan kemampuan Yang Cien yang masih muda sebagai seorang beng-cu. Kalau kemampuan tiga orang yang lain mereka sudah tidak meragukannya lagi. Kini pihak pemilih terbagi menjadi dua golongan. Yang segolongan condong memilih Thian-te Ciu-kwi atau Sin-to Kwi-ong yang akan membawa mereka membantu pemerintah dan memperoleh kedudukan. Akan tetapi mereka yang berjiwa patriot dan membenci penjajah, condong memilih Hek-liong-ong. Akan tetapi karena mereka mengetahui bahwa Hek-liong-ong juga seorang datuk sesat, maka mereka banyak pula yang menoleh kepada Yang Cien. Bagaimanapun juga, tidak enak kalau perjuangan menentang penjajah di pimpin oleh seorang datuk sesat.

   Kini Cu Lokai yang maju dan bicara.

   "Semua ada empat orang calon dan cuwi sudah mendengarkan suara mereka ketika mereka berbicara tadi, mengetahui isi hati mereka. Sekarang, seperti lajimnya dalam pemilihan bengcu, harus dilakukan ujian kepandaian. Siapa yang lebih tangguh dan lebih berhak untuk menjadi bengcu. Kita mengadakan undian siapa yang harus melawan siapa lebih dulu, untuk kemudian pemenang dari dua pertandingan itu di pertandingkan lagi, dan pemenangnya itulah yang berhak mendapat penilaian dan pertimbangan lebih dahulu untuk menjadi bengcu. Dapatkah peraturan ini di setujui?"

   Semua orang berteriak setuju karena di anggap peraturan itu sudah cukup adil. Undian lalu di lakukan dan ternyata hasil undian adalah bahwa peserta pertama, Thian-te Ciu-kwi harus bertanding melawan Hek-liong-ong dan peserta ke tiga, Sin-to Kwi-ong bertanding melawan Yang Cien. Kemudian pemenang dari kedua pertandingan ini akan di pertandingkan untuk merebut kejuaraan dan keluar sebagai pemenang.

   Mendengar ini, Hek-liong-ong tertawa bergelak.

   "Akauw, pinjamkan pedangmu sebentar!" katanya dan Akauw tidak membantah, memberikan pedangnya kepada suhunya yang memegang pedang itu lalu menghadapi Thian-te Ciu-kwi di atas panggung.

   Ketika melihat Hek-liong-ong menggerakkan pedang yang mengeluarkan sinar hitam itu, Yang Cien terkejut bukan main.

   "Hek-liong Po-kiam.....!" katanya dalam hati dan dia merasa heran. bagaimana pedang itu dapat terjatuh ke tangan Hek-liong-ong? Dia sudah mengambil keputusan untuk menarik Hek-liong-ong menjadi rekan seperjuangan karena tujuan mereka adalah sama, akan tetapi begitu melihat Hek-liong Po-kiam, hatinya menjadi ragu. Apa yang terjadi dengan Akauw maka pedangnya terjatuh ke tangan raksasa hitam itu?

   Melihat lawannya sudah maju dengan pedang hitam di tangan, Thian-te Ciu-kwi juga mencabut pedangnya dan diapun meloncat ke depan Hek-liong-ong dengan marah.

   "Hek-liong-ong, engkau telah mencuri pedang muridku, kembalikan pedang itu kepadaku atau pertempuran ini akan ku buat menjadi pertempuran mati-matian memperebutkan pedang."

   "ha-ha-ha, Ciu-kwi, jangan tekebur. Pedang ini sekarang milik muridku dan bukan milikmu, maka engkau tidak berhak memiliki. Kita memperebutkan kedudukan bengcu, bukan pedang. Hayo, mulailah memperlihatkan kepandaianmu!".

   "Bagus, jangan di kira aku takut menghadapimu, Hek-liong-ong! Haaiiittt... yaahhhh....! "Thian-te Ciu-kwi mulai menyerang dengan dahsyat, menggunakan pedangnya yang juga merupakan sebatang pedang pusaka untuk menusuk ke arah perut lawan, Hek-liong-ong mengelak dan membalikkan tubuh, membalas serangan itu dengan bacokan ke arah leher. Bacokan ini di lakukan sambil membalikkan tubuh sehingga cepat sekali datangnya, akan tetapi Thian-te Ciu-kwi tidak menjadi gugup. Dengan tenang dan kuat pedangnya menangkis dari samping.

   "Crringgg....!" Bunga api berhamburan ketika ke dua senjata bertemu dan keduanya merasa betapa tangan mereka bergetar. Akan tetapi, getaran pada tangan Thian-te Ciu-kwi lebih keras dari pada getaran yang di rasakan Hek-liong-ong dan hal ini membuktikan bahwa dalam hal tenaga, Hek-liong-ong masih lebih unggul sedikit dibandingkan lawannya.

   "Hyaatttttt.....!" Thian-te Ciu-kwi kini memainkan Thian-te Sin-kiam (Pedang Sakti Langit Bumi) yang dilakukan dengan gerakan cepat bukan main. Pedang di tangannya menyambar-nyambar kadang-kadang dari atas kadang-kadang dari bawah dan pedang itu telah lenyap bentuknya berubah menjadi gulungan sinar kebiruan yang amat hebat, mengeluarkan suara berdesingan dan mendatangkan angina bersiutan.

   Akan tetapi, dengan tenang Hek-liong-ong mengimbangi permainan pedang lawannya dengan ilmu pedang Hai-liong-kiamsut (Ilmu Pedang Naga Laut). Juga pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar hitam yang bergelombang pasang yang dahsyat.

   Semua orang memandang dengan penuh kagum. Pertandingan antara dua orang datuk ini memang hebat sekali. Kedua memiliki gerakan cepat dan memang sepasang pedang yang ampuh. Maka, dapat dibayangkan betapa hebatnya pertandingan itu. Akan tetapi, setelah lewat lima puluh jurus, nampaklah bahwa dalam hal tenaga, Hek-liong-ong lebih unggul. Beberapa kali, setelah kedua pedang yang mengandung tenaga sinking bertemu, nampak Thian-te Ciu-kwi terhuyung. Dan semakin lama, ayunan pedang hitam Hek-liong-ong semakin kuat saja. Hal ini adalah karena Thian-te Ciu-kwi memiliki kebiasaan minum arak yang secara berlebihan sehingga hal ini sedikit banyak merusak kesehatan tubuhnya.

   "Heeiiittttt....!" Dengan penasaran Thian-te Ciu-kwi menusukkan lambung kanan lawan.

   "Hyeeehhhh...!" Hek-liong-ong Poa Yok Su mengelak dan pedang terayun cepat sekali menyambar ke arah leher Ciu-kwi. Ciu-kwi terkejut sekali dan terpaksa dia melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang lawan yang hitam. Baru sinar pedang yang hitam itu saja sudah amat berbahaya, apalagi kalau pedang itu mengenai lehernya. Dia terjengkang dan menggulingkan diri, bergulingan mendekati lawan dan pedangnya membabat ke arah kaki Hek-liong-ong.

   Hek-liong-ong melompat ke atas lalu meluncur turun menusukkan Hek-liong Po-kiam ke arah leher Ciu-kwi. Ciu-kwi tidak dapat mengelak lagi dan menangkis pedangnya.

   "Traaannggg....!" pedang itu tertangkis, melewat dan masih menyerempet pundak Ciu-kwi sehingga pundak itu berdarah. Ciu-kwi terhuyung ke belakang dan mukanya berubah merah sekali. Bagaimanapun juga, sudah jelas bahwa pundaknya terluka. Walaupun tidak berat luka itu, namun cukup mengeluarkan banyak darah dan terpaksa dia harus mengakui keunggulan lawan.

   "Hek-liong-ong, engkau memang semakin lihai saja!" katanya dan diapun melompat turun dari atas panggung itu agar jangan menderita malu.

   Sorak-sorai dari mereka yang mendukung Hek-liong-ong menyambut kemenangan itu ketika Cu Lokai yang juga diam-diam merasa girang itu mengumumkan bahwa dalam adu ilmu itu Hek-liong-ong telah keluar sebagai pemenang.

   "Sekarang tiba giliran calon ketiga dank e empat untuk menguji kepandaian masing-masing!" kata Cu Lokai dengan suara lantang. Semua orang kini memandang penuh perhatian. Mereka sudah mendengar tentang kehebatan Sin-to Kwi-ong, ketua dari Perkumpulan Golok Setan itu, yang terkenal sekali dengan ilmu goloknya yang lihai dan tenaganya yang amat kuat. Apakah pemuda yang tidak terkenal itu akan mampu menandingi datuk yang namanya terkenal di sepanjang Sungai Huai itu?.

   Akan tetapi, Sin"to Kwi-ong sendiri tidak kelihatan gembiara mendapatkan lawan pemuda itu. Dia pernah bertanding melawan pemuda itu dan dia tidak dapat menganggap pemuda itu sebagai lawan yang ringan. Sama sekali tidak, bahkan dia pernah di desak oleh pemuda yang memiliki gerakan pukulan aneh yang mendatangkan nagin bergelombang amat dahsyatnya. Dan kini dia harus berhadapan lagi dengan pemuda itu! Akan tetapi, di situ terdapat kawan-kawannya, terutama sekali terdapat Koksu, maka dia tidak takut dan cepat dia mencabut goloknya menghadapi Yang Cien.

   "Bocah she Yang! Kembali kita berhadapan dan sekali ini aku tidak akan melepaskanmu!" bentaknya.

   "Kwi-ong, kita berdua adalah calon-calon bengcu yang hendak menguji kepandaian masing-masing. Tidak perlu banyak cakap lagi dan silahkan mulai!" jawab Yang Cien. Dia tahu bahwa Raja Iblis ini adalah antek penjajah pula, dan dia sudah pernah merasakan betapa lihainya golok setan di tangan kakek tinggi besar yang berwajah bengis itu.

   "Lihat golok, hyaattt....!" Sin-to Kwi-ong sudah menerjang dan memutar goloknya. Begitu menyerang dia langsung saja mengeluarkan jurus-jurunya yang paling ampuh karena dia sudah tahu bahwa lawannya lihai.

   Yang Cien bergerak cepat, mengelak dari sambaran-sambaran golok itu dan ketika dia menangkis, terdengar suara lantang nyaring bertemunya pedang putihnya dan golok, menimbulkan suara berdentingan dan mendatangkan bunga api berhamburan. Mereka lalu saling serang dengan sengitnya. Pertandingan beberapa bulan yang lalu di ulangi, akan tetapi sekarang pertandingan dilakukan satu lawan satu, tidak seperti dahulu yang terjadi dalam sebuah pertempuran keroyokan yang kacau balau. Apalagi pertandingan kali ini adalah merupakan saling uji kepandaian, terjadi di atas saling uji kepandaian, terjadi di atas panggung di saksikan ratusan pasang mata orang kang-ouw sehingga mereka tidak mungkin dapat melakukan kecurangan.

   "Tring-tring-traanggg....!" Untuk kesekian kalinya golok itu bertemu dengan pedang dan kini Yang Cien mulai menggunakan pukulan-pukulan jarak jauh dengan tangan kirinya, yaitu pukulan dari ilmu Bu-tek Cin-keng. Biarpun Sin-to Kwi-ong sudah siap menghadapi pukulan aneh itu, dan menangkis, tetap saja dia terhuyung oleh gelombang hawa pukulan yang amat dahsyat itu. Dia terkejut sekali dan berusaha untuk memutar goloknya sambil bergulingan untuk menghindarkan pukulan dan mendesak lawan sambil berguling goloknya membuat bacokan-bacokan dari bawah seperti seekor ular menyerang lawannya. Yang Cien terkejut dan cepat dia berlompatan untuk menghindarkan diri dan ketika mendapat kesempatan, selagi dia menangkis dan pedangnya menempel ketat dengan golok lawan, dia pun membarengi dengan dorongan tangan kirinya. Itulah jurus ampuh sekali dari Bu-tek Cin-keng yang di sebut Tangan Dewa Keluarkan Kilat.

   Hawa pukulan sinkang yang amat kuat mencuat dari telapak tangan itu. Kwi-ong masih berusaha untuk menyambut dengan tangan kirinya, akan tetapi dia mengeluh dan tubuhnya terjengkang ke belakang dan diapun roboh dan muntah darah!.

   Yang Cien tidak melanjutkan serangannya, melainkan berdiri menunggu dengan pedang di tangan. Sin-to Kwi-ong merangkak bangun dan Lai Seng sudah meloncat ke atas panggung untuk membantu mertuanya bangkit berdiri lalu keduanya meninggalkan panggung. Sorak sorai bergemuruh menyambut kemenangan ini yang di umumkan oleh Cu Lokai.

   Diam-diam Cu Lokai dan para pejuang yang menentang penjajahan merasa gembira bukan main. Yang menang adalah Hek-liong-ong dan Yang Cien, justeru dua orang calon yang berpihak kepada pejuang dan menentang penjajahan, Koksu berdiri dengan muka sebentar merah sebentar pucat. Dia merasa terpukul sekali karena dua orang jagoannya telah kalah. Dia sendiri sebagai Koksu tentu saja tidak dapat mengajukan diri sebagai calon bengcu dan yang menang adalah dua orang yang berjiwa pemberontak.

   Sementara itu, Hek-liong-ong yang haus kemenangan itu, melihat betapa Yang Cien keluar sebagai pemenang, langsung tanpa menanti pengumuman Cu Lokai lagi lalu menantang Yang Cien.

   "Orang muda, pemenangnya adalah engkau dan aku. Marilah kita berdua mengadu kepandaian untuk menentukan siapa di antara kita yang berhak menjadi bengcu!" Setelah berkata demikian, dia mengangkat Pedang Pusaka Naga Hitam yang di pinjamnya dari muridnya.

   "Suhu, jangan!" Tiba-tiba Akauw meloncat ke atas panggung dan melihat pemuda ini, Yang Cien kaget dan heran, juga girang bukan main.

   "Sute.....!"

   "Suhu, dia adalah suhengku sendiri. Harap suhu suka mengalah dan menyerahkan kedudukan bengcu kepada suheng! "kata Akauw kepada suhunya.

   "Ha-ha, dia harus mengalahkan aku lebih dulu kalau mau menjadi bengcu," bentak Hek-liong-ong.

   Yang Cien girang melihat kenyataan bahwa sutenya bukan menjadi antek Kerajaan Mongol seperti yang pernah di dengarnya dari Thio Cid an Thio Kui, melainkan sutenya menjadi murid seorang datuk yang juga berjiwa pejuang!.

   Pada saat itu, terdengar teriakan panjang dan nyaring.

   "Hek-liong-ong dan Yang Cien, kalian hendak menggerakkan dunia kang-ouw untuk memberontak kepada pemerintah. Atas nama kaisar kami akan menangkap kalian. Menyerahlah, tempat ini sudah di kepung!" Ternyata yang berteriak itu adalah Koksu dan benar saja, tempat itu kini telah dikepung pasukan yang agaknya telah dipersiapkan secara diam-diam oleh Koksu.

   "Curang!" teriak Hek-liong-ong melihat ini.

   "Toat-beng Giam-ong, urusan pemilihan bengsu tidak ada hubungan dengan pemerintah!" kata pula Cu Lokai dengan marah melihat kecurangan Koksu yang menggunakan kesempatan itu untuk mengerahkan pasukan, bukan saja mencampuri pemilihan bengcu di dunia kangouw, bahkan hendak melakukan penangkapan.

   "Saudara-saudara sekali, siapa yang membantu kami menangkapi pemberontak, akan mendapat pahala, sebaliknya yang membantu pemberontak akan di tangkap dan di hokum berat!" berulang-ulang Koksu berteriak dan pasukan mulai mengepung tempat itu dengan ketat.

   Dengan sendiri nya Lai Seng, Bong Kwi Hwa, Sin-to Kwi-ong, Thian-te Ciu-kwi, Gu Moko, Huangho Sam-houw dan para anak buah Koksu sudah siap dengan senjatanya masing-masing untuk melakukan pengeroyokan dan penangkapan.

   Melihat ini, Hek-liong-ong marah sekali. Dia menyerahkan pedangnya kepada muridnya dan sebagai gantinya Pedang Pusaka Naga Hitam, dia menggunakan pedangnya sendiri yang panjang besar.

   "Kauw Cu, mari kita hajar antek-antek Mongol ini!".

   Akauw mengeluarkan suara gerengan dahsyat dan dia sudah menerjang ke arah Koksu dengan keberanian luar biasa. Akan tetapi Thian-te Ciu-kwi, bekas gurunya. menghadangnya dengan pedang di tangan sehingga terpaksa Akauw menyerangnya. Bekas guru dan murid ini bertanding sendiri, akan tetapi sebentar saja Akauw sudah di keroyok banyak orang. Hek-liong-ong juga sudah di keroyok oleh Sin-to Kwi-ong yang di bantu puterinya, Bong Kwi Hwa. Para pasukan juga mulai bergerak hendak menangkap Yang Cien.

   Melihat keadaan ini, banyak wakil para perkumpulan besar yang tidak mau melibatkan diri lalu meninggalkan tempat itu. Akan tetapi banyak pula yang mebela kaum pemberontak sehingga terjadilah pertempuran sengit di tempat itu.

   Im-yang To-kouw melihat kesempatan ini, sudah menggerakkan kebutan dan pedangnya, menyerang Lai Seng dengan kemarahan meluap-luap karena ia teringat akan muridnya yang menjadi korban kejahatan pemuda ini sehingga tewas.

   "Jahanam busuk, engkau harus menebus dosamu terhadap murid pin-ni Kwe Sun Nio!" bentaknya dan kebutan serta pedangnya menyerang dengan dahsyat sehingga Lai Seng terdesak mundur. Akan tetapi isterinya yang tadinya membantu ayah mertuanya, sudah meninggalkan orang tua itu untuk membantunya sehingga To-kouw itu di keroyok dua, Sin-to Kwi-ong yang di tinggalkan puterinya, terdesak oleh Hek-liong-ong, akan tetapi segera dia di bantu oleh Huang-ho Sam-houw sehingga keadaan mereka berimbang lagi.

   Lui Koksu sendiri tidak mau melepaskan Yang Cien. Dia melihat bahwa pemuda itu amat berbahaya, agaknya mendapatkan banyak sekali pendukung, oleh karena itu harus lebih dulu di tangkap atau di bunuh. Maka dia sendiri yang meloncat dan dia sudah memainkan golok gergajinya dengan hebat sekali menyerang Yang Cien. Yang Cien menggunakan Pek-liong Po-kiam menyambut dan terjadilah pertandingan yang paling hebat di antara mereka.

   Biarpun semua anggota Hek I Kaipang juga bangkit dan melakukan perlawanan, namun jumlah pasukan jauh lebih banyak sehingga Yang Cien maklum bahwa pertempuran itu tidak akan menguntungkan pihaknya kalau di lanjutkan.

   "Kwan-kawan, munduuuurrrr..."".!" bentaknya berulang-ulang dan dia sendiri sudah meloncat meninggalkan Koksu, mengamuk di antara pasukan musuh, merobohkan banyak orang. Perbuatannya ini di turu pula oleh Akauw, Hek-liong-ong, Im-yang To-kouw, para kai-pangcu dan semua yang membela pihak pejuang sehingga pasukan yang tadinya mendesak terpaksa mundur. Kesempatan ini dipergunakan mereka untuk melarikan diri dan pasukan tidak berani mengejarnya. Juga Koksu tidak berani mengejar sendiri-sendiri karena di pihak musuh terdapat banyak sekali orang pandai. Pengejaran hanya di lakukan oleh pasukan yang terpimpin dan ini sukar sekali karena para pemberontak itu melarikan diri cerai berai.

   Jauh dari tempat itu, para pejuang berkumpul kembali. Hek-liong-ong sudah lenyap seleranya untuk menjadi beng-cu. Dia memang tadinya terbakar semangatnya oleh sikap muridnya saja, setelah melihat betapa sukarnya mengurus dan memimpin dunia kang-ouw menghadapi pemerintah penjajah, dengan rela dia mengalah dan menyerahkan kedudukan beng-cu kepada Yang Cien, sesuai dengan permintaan muridnya.

   "Orang muda, engkau cukup gagah dan bijaksana untuk menjadi bengcu. Baiklah, aku mengundurkan diri dari kedudukan bengcu dan ku serahkan kepadamu. Kalau kelak usahamu sudah berhasil, menghimpun kekuatan untuk mengusir penjajah dari tanah air, aku Hek-liong-ong akan membantumu sekuat tenaga."

   "Terima kasih lo-cian-pwe. Saya harap lo-cian-pwe merelakan sute Cian Kauw Cu menjadi pembantuku."

   "Baik, dia memang sudah selesai belajar dariku. Kauw Cu, jangan mengecewakan aku yang pernah menjadi gurumu. Jadilah pejuang yang gagah perkasa dan kelak mengangkat pula namaku yang menjadi gurumu."

   "Harap suhu jangan khawatir. Di samping suheng Yang Cien, aku akan berkerja sebaik mungkin," jawab Akauw yang merasa gembira sekali dapat berkumpul kembali dengan suhengnya.

   Im-yang To-kouw juga menyatakan mendukung Yang Cien dan siap dengan anak buahnya kalau saat perjuangan sudah tiba, kemudian To-kowu ini meninggalkan tempat itu sambil berpesan.

   "Yang-taihiap, harap engkau cari kesempatan untuk membunuh Lai Seng demi muridku. Aku telah gagal membunuhnya karena dia di bantu banyak orang."

   "Jangan khawatir, lo-cian-pwe, Tanpa adanya urusan penasaran dari nona Kwe, orang yang bernama Lai Seng itu memang pantas untuk di lenyapkan dari permukaan bumi dimana dia hanya membuat kotor dengan kejahatannya saja," jawab Yang Cien.

   Para tokoh lain yang tadi ikut membela para pejuang juga pamit dan mereka semua menyatakan mendukung Yang Cien sebagai beng-cu dan berjanji akan membantu kalau saat perjuangan tiba. Yang tinggal hanyalah para kaipang-cu, termasuk Akauw tidak mau berpisah lagi dari suhengnya.

   Sementara itu, Koksu membuat beng-cu tandingan. Dia mengangkat Thian-te Ciu-kwi sebagai bengcu dari golongan orang kang-ouw yang memihak pemerintah. Dan terutama para tokoh kang-ouw golongan sesat banyak yang mengakui Thian-te Ciu-kwi sebagai bengcu dan mereka merupakan segolongan orang kang-ouw yang siap melakukan tugas yang diberikan Koksu melalui Thian-te Ciu-kwi.

   Dan mulailah Koksu menyebar pasukan dengan di bantu orang-orang kangouw untuk mengejar mereka yang berpihak kepada pejuang untuk di tangkapi atau di bunuh. Terjadilah perpecahan di dunia kang-ouw karena ulah Koksu ini. Akan tetapi, para pimpinan perkumpulan-perkumpulan silat yang besar tidak mau terseret dalam permusuhan antara dua kelompok orang kang-ouw ini. Mereka hanya menanti dan diam-diam di antara mereka banyak yang siap kalau tiba waktunya mengadakan perlawanan terhadap penjajah. Mereka pun sebagian besar tidak rela melihat tanah air di jajah oleh bangsa Toba.

   "Sute, sudah lama sekali aku mencarimu dan beruntung kita bisa bertemu di pemilihan beng-cu itu. Kemana saja engkau selama ini, sute?" Tanya Yang Cien ketika dia sempat bicara berdua saja dengan Akauw.

   "Ah, panjang sekali ceritanya, suheng. Aku telah mengalami banyak sekali peristiwa yang aneh-aneh. Bahkan aku pernah berguru kepada dua orang, yang pertama adalah Thian-te Ciu-kwi, dan yang kedua adalah Hek-liong-ong itulah.

   "Lalu dengan panjang lebar Akauw menceritakan semua pengalamannya sejak dia meninggalkan Lembah Iblis.

   "Dan engkau pernah menjadi panglima yang membantu kaisar Kerajaan Toba?".

   "Itulah, Suheng. Karena aku menjadi murid Thian-te Ciu-kwi, maka aku di ajak ke kota raja dan menghadap Koksu dan Perdana Menteri Ji. Disana aku diangkat menjadi panglima. Akan tetapi sama sekali aku tidak melupakan pesanmu, juga tidak pernah melakukan kejahatan, juga tidak sewenang-wenang. Memang ketika aku melakukan penyelidikan atas gerakan para pemberontak. Akan tetapi kemudian aku menyadari bahwa yang di sebut para pemberontak itu bukanlah penjahat, melainkan mereka yang hendak berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkraman penjajah.

   Karena itu, aku lalu meninggalkan Thian-te Ciu-kwi, meninggalkan kedudukanku. Ketika itu, Thian-te Ciu-kwi tidak keberatan aku mengundurkan diri akan tetapi dia minta agar aku menyerahkan Hek-liong Po-kiam kepadanya. Tentu saja aku menolak permintaannya itu dan pada saat itu, po-kiam itu terampas dari tanganku oleh Hek-liong-ong yang amat lihai. Aku lalu mengejarnya sampai ke Pulau Naga, tempat tinggalnya setelah mengalami banyak hal yang luar biasa. Ternyata dia bukanlah orang yang terlalu jahat, bahkan dia suka kepadaku dan mengangkatku sebagai muridnya. Pedang itu pun dia kembalikan kepadaku dan akhirnya aku berhasil membujuknya untuk menjadi seorang pejuang yang menentang pemerintah penjajah."

   "Ah, begitukah? Tadinya aku sudah heran sekali bahkan tidak percaya kalau engkau menjadi panglima, menjadi antek penjajah. Sungguh melegakan hati mendengar ceritamu, sute. Sekarang kau bentulah aku menyusun kekuatan. Kita tidak boleh tergesa-gesa memimpin mereka untuk berjuang menentang pemerintah. Pasukan pemerintah terlalu kuat untuk dapat di kalahkan begitu saja, kita harus menyusun kekuatan, mempersatukan segenap kekuatan dari empat penjuru. Aku sudah mempunyai kekuatan yang mendukungku, dan kekuatan itu cukup besar, terdiri dari semua kaipang (perkumpulan pengemis) di empat penjuru. Kalau mereka itu di latih berperang, tentu akan merupakan kekuatan yang hebat. Dan kita pun di dukung oleh partai-partai persilatan besar yang sudah menjanjikan bantuan kalau saat perjuangan tiba.

   "Dan bagaimana dengan engkau sendiri, suheng? Apa saja yang terjadi denganmu setelah kita berpisah?".

   Yang Cien menceritakan pengalamannya. Dia belum lama meninggalkan Lembah Iblis dan begitu tiba di dunia ramai langsung saja dia bertemu dengan para kaipang yang kemudian mendukungnya, bahkan meilih dia menjadi calon beng-cu, mengangkatnya menjadi pemimpin besar para kai-pang.

   "Aku mempunyai tugas penting untukmu, sute."

   "Katakanlah, tugas apa itu? Aku akan senang sekali melakukannya untukmu, suheng."

   "Aku minta engkau menyeberang ke selatan dan menyelidiki keadaan kerajaan Sun di selatan. Kerajaan itu kecil saja akan tetapi aku mendengar bahwa Kerajaan Sun memiliki pasukan yang cukup kuat. Ku rasa, di selatan itu dapat kita jadikan pangkalan pertama yang amat baik untuk menghimpun kekuatan."

   "Akan tetapi, apakah Raja Kerajaan itu akan membolehkannya?".

   "Karena itulah, kita harus mengadakan kontak dengannya dan aku mempercayakan kepadamu, sute. Aku akan menulis sepucuk surat untuk Sun Huangte, atas nama seluruh kai-pang. Dan coba kau hubungi kai-pang yang berada di sana, tentu mereka sudah mendengar tentang diriku yang di angkat oleh semua kai-pang menjadi pemimpin besar. Kalau sikap para kai-pang mendukung, tentu mereka akan dapat membantumu di selatan sana."

   Akauw memaklumi betapa penting tugas yang dibawanya, maka dia lalu membuat persiapan.

   "Berhati-hatilah, sute, dan jangan mudah terseret oleh perasaanmu, jangan mudah terpancing ke dalam perkelahian yang tidak ada gunanya. Engkau harus dapat menunjukkan kepada Sun Huang-te bahwa kedatanganmu mengajak kerjasama menentang pemerintah penjajah Toba."

   "Aku mengerti, suheng."

   Beberapa hari kemudian, berangkatlah Akauw seorang diri, membawa bekal surat dari Yang Cien, menyeberang Sungai Huai memasuki daerah Kerajaan Sun yang berada di sebelah selatan sungai itu.

   Setelah sutenya pergi, Yang Cien yang duduk seorang diri di pondoknya sambil memutar otak, tiba-tiba kedatangan dua orang yang pernah di temui beberapa bulan yang lalu. Mereka adalah kakak beradik Yen, yaitu Yen Gun dan Yen Sian, putera dan puteri Gubernur Yen Kan dari Lok-yang yang di tangkap kaisar.

   "Silahkan, kongcu, siocia. Silahkan duduk," kata Yang Cien mempersilahkan. Pernah ketika dia berkunjung ke tempat tinggal Thio Cid an Thio Kui, dia di pertemukan dengan putera puteri Gubernur yang gagah perkasa itu dan dia menghibur mereka untuk bersabar.

   "Perjuangan memang membutuhkan korban.

   "katanya pada waktu itu.

   "Dan kebetulan ayah ji-wi yang menjadi korban. Akan tetapi karena belum terdapat bukti-bukti bahwa ayah ji-wi melakukan pemberontakan kukira beliau tidak akan di hokum, hanya di tahan saja sambil mereka mencari bukti-buktinya dulu. Sekarang hendaknya ji-wi tinggal bersama para anggota kai-pang agar tidak sampai tertangkap, karena tentu kaki tangan Koksu akan mencari ji-wi kemana-mana."

   Demikianlah, kakak beradik itu bersembunyi di dalam perkumpulan pengemis Baju Hitam. Bahkan ketika terjadi pemilihan bengcu di Thai-san, mereka tidak berani muncul karena kalau mereka ketahuan, mereka pasti di tangkap. Mereka di anggap sebagai pelarian, sebagai keluarga Gubernur Yen terdekat.

   "Apa yang membawa ji-wi pagi ini datang ke sini?" Tanya Yang Cien sambil memandang mereka dengan penuh selidik. Dia kagum sekali kepada kakak beradik yang gagah perkasa ini, sebagai pemuda pemudi bangsawan dapat menyesuaikan diri dan hidup di antara para pengemis tanpa merasa risih.

   "Yang-taihiap, kami sudah tidak bersabar lagi!" kata Yen Sian sambil menatap tajam wajah Yang Cien.

   "Kami tidak mungkin dapat membiarkan saja ayah dan ibu merana dalam tahanan. Akan tetapi Thio-pangcu selalu melarang kami untuk bertindak. Karena itu kini kami menghadap tai-hiap untuk mohon pertimbangan. Bagaimana baiknya, apakah kita harus mendiamkan saja ayah dan para ibu meringkuk dalam tahanan tanpa keputusan?".

   "Kalau menurut kehendakmu, apa yang akan kau lakukan, Yen-siocia?", Tanya Yang Cien dengan ramah.

   "Kami minta persetujuanmu untuk bertindak, taihiap. Kalau mungkin, kami akan senang sekali apabila mendapat bantuan beberapa orang teman dari Hek I Kaipang, akan tetapi kalau tidak, kami ingin bertindak sendiri membebaskan ayah dan ibu dari dalam tahanan!".

   "Akan tetapi, tindakan itu berbahaya sekali dan juga tidak ada gunanya, nona. Kalian pasti akan gagal karena penjagaan pada rumah tahanan di kota raja ketat sekali. Katakanlah ji-wi akan berhasil meloloskan Gubernur Yen dari rumah tahanan, akan tetapi bagaimana akan mampu lolos keluar dari kota raja? Usaha itu akan sia-sia bahkan amat membahayakan ji-wi sendiri."

   "Kami tidak takut mati!" kata Yen Sian.

   "Aku percaya, nona, dan aku kagum melihat kebaktian nona dan keberanian, akan tetapi ingatlah bahwa mungkin sekali membahayakan orang tuamu sendiri kalau berusaha lari lalu tertangkap di sana.

   Banyak nasehat diberikan Yang Cien kepada Yen Gun dan Yen Sian, akan tetapi agaknya kakak beradik ini tidak merasa puas. Terutama sekali Yen Sian yang tidak dapat tinggal diam melihat orang tuanya menjadi tawanan di kota raja.

   Akhirnya, seperti yang di khawatirkan Yang Cien, pada suatu pagi, kakak beradik itu pergi tanpa pamit! Yang Cien merasa khawatir sekali. Sebetulnya, hal ini bukanlah urusannya. Dia sudah lebih dari cukup memberi nasehat dan saran, akan tetapi kalau kakak beradik itu bersikeras untuk mencoba melepaskan ayah ibunya dari tahanan, apa yang dapat dia lakukan? Bagaimanapun juga, tidak kuat hatinya membayangkan Yen Sian tertangkap orang-orangnya Koksu. Tak mungkin dia membiarkan saja gadis itu di tawan dan dalam bahaya maut.

   Maka dia pun segera berangkat mengejar.

   Yen Gun dan Yen Sian memang sudah nekat. kakak beradik ini tidak suka makan dan tidak dapat tidur setiap kali mereka teringat kepada ayah dan ibu dan seluruh keluarga yang menjadi tawanan di kota raja. Mereka nekat untuk mencoba membebaskan ayah dan ibu mereka dari tahanan musuh, tidak peduli bahwa kota raja merupakan tempat yang berbahaya sekali bagi mereka. Dengan mengenakan pakaian ringkas mereka berangkat berdua, menggendong buntalan pakaian dan membawa pedang, menuju ke utara.

   Akan tetapi, baru dua hari mereka melakukan perjalanan, mereka sudah menghadapi ancaman bahaya. Pada suatu pagi selagi mereka berjalan mendaki lereng sebuah bukit, tiba-tiba saja di sebuah tikungan muncul belasan orang dan mereka tidak sempat lagi menghindar. Dapat di bayangkan betapa kaget hati mereka melihat bahwa mereka adalah sepasukan perajurit pemerintah yang di pimpin oleh seorang panglima muda dan seorang wanita cantik. Panglima itu adalah Lai Seng bersama isterinya, Bong Kwi Hwa. Betapa girang hati Lai Seng ketika melihat bahwa dua orang muda itu adalah orang-orang pelarian, putera dan puteri Gubernur Yen. Dia sendiri tidak segera mengenal mereka, akan tetapi seorang pembantunya mengenal kedua orang muda itu dengan baik.

   "Lai-ciangkun, merekalah kong-cu dan sio-cia Yen, putera-puteri Gubernur Yen yang di cari-cari."

   "Bagus, kita tangkap mereka!".

   Isterinya yang melihat betapa tampannya Yen Gun, segera berbisik kepada suaminya.

   "Yang laki-laki untuk aku dan yang wanita untukmu, malam ini kita bersenang-senang."

   Lai Seng mengerti apa yang di kehendaki isterinya yang cabul itu. Dia mengerutkan alisnya.

   "Jangan main-main, isteriku. Mereka adalah orang-orang penting dan kalau kita berhasil menangkapnya, hidup atau mati, kita akan mendapatkan pahala besar dari Sri Baginda!".

   Bong Kwi Hwa agak cemberut mendengar penolakan ini, akan tetapi ia tidak lagi membantah. Yen Gun dan Yen Sian tidak sempat menyingkir lagi dan terpaksa mereka menghadapi Lai Seng dan anak buahnya.

   "Dua saudara Yen, kalian memang kami cari-cari, hayo menyerah menjadi tawanan kami sebelum kami menggunakan kekerasan! "kata Lai Seng sambil mencabut pedangnya.

   Yen Gun dan Yen Sian juga mencabut pedang mereka.

   "Sebelum mati pantang menyerah!" bentak mereka dan keduanya sudah menerjang ke arah Lai Seng dan Bong Kwi Hwa. Mereka berdua segera di kepung dan di keroyok. Terjadi lah perkelahian yang seru. Sebetulnya, tingkat kepandaian kakak beradik Yen itu sudah cukup tinggi dan seimbang dengan kepandaian Lai Seng maupun Bong Kwi Hwa, akan tetapi karena Lai Seng dibantu oleh tujuh belas orang anak buahnya, maka dua orang kakak beradik itu menjadi terdesak hebat. Mereka berdua memainkan ilmu pedang Gobi-pai yang indah dan cepat gerakannya. Akan tetapi karena suling perak Lai Seng amat lihai, di tambah lagi permainan pedang Bong Kwi Hwa yang berbahaya sekali dengan Kwi-kiam-sut (Pedang Setan) maka kedua orang kakak beradik itu mulai terdesak dan mereka terus mundur.

   Bong Kwi Hwa yang tidak diperbolehkan mempermainkan Yen Gun menjadi marah dan ialah yang mendesak pemuda itu, sedangkan Lai Seng mendesak Yn Sian, di bantu oleh anak buahnya. Yen Sian, mempertahankan diri dengan memutar pedangnya, akan tetapi pada suatu saat, setelah ia bertahan lebih dari lima puluh jurus, suling perak itu menghantam pundaknya dan tubuh gadis itu terhuyung ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Lai Seng untuk menendang dan robohlah Yen Sian!.

   Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Melihat ini, Yen Gun mengamuk untuk melindungi adiknya yang sudah roboh. Akan tetapi dia sendiri di serang habis-habisan oleh wanita cantik itu sehingga dia tidak berdaya untuk melindungi Yen Sian. Pada saat yang amat berbahaya bagi kedua orang kakak beradik itu, tiba-tiba terdengar suara teriakan melengking dan nampak gulungan sinar putih yang datang menyambar-nyambar. Lai Seng dan Bong Kwi Hwa yang menangkis dengan pedang mereka terdorong mundur ke belakang. Mereka terkejut dan melihat bahwa yang muncul adalah Yang Cien, pemuda yang di pilih menjadi beng-cu oleh kaum pemberontak itu!.

   Yang Cien cepat memanggul tubuh Yen Sian yang pingsan dan berkata kepada Yen Gun.

   "Yen-kongcu, pergilah!"

   Yen Gun tahu diri. Pihak lawan terlalu banyak, maka diapun melompat pergi dari situ. Yang Cien yang memanggul tubuh Yen Sian mengikuti dari belakang dan tidak ada yang berani mengejarnya. Lai Seng dan juga Bong Kwi Hwa maklum bahwa mereka berdua bukan tandingan bengcu itu yang sudah pernah mengalahkan ayah Bong Kwi Hwa, yaitu Sin-to Kwi-ong. Apalagi di samping pemuda perkasa itu masih ada Yen Gun yang tidak boleh di pandang ringan. Karena itu, biarpun dengan hati mendongkol sekali, Lai Seng dan isterinya tidak berani melakukan pengejaran dan terpaksa membiarkan Yang Cien membawa pergi gadis yang sudah terluka itu.

   Dua orang penting, putera dan puteri Gubernur Yen dari Lok-yang tidak dapat di tangkap.

   Sementara itu dengan cepat Yang Cien mengajak Yen Gun mencari tempat sunyi di dalam sebuah hutan. Setelah mendapatkan sebuah kuil kosong, dia membawa masuk tubuh Yen Sian yang masih lemah ke dalamnya, lalu dia menyuruh Yen Gun untuk berjaga di depan kuil dan dia sendiri lalu mengobati luka di pundak Yen Sian. Untuk itu, perlu dikerahkan sin-kang karena luka oleh suling perak itu mengandung racun. Dia menurunkan Yen Sian rebah menelungkup.

   Kedua tangannya lalu di letakkan di punggung dan pundak, dan dengan pengerahan sin-kangnya, dia mendorong keluar hawa beracun dari pundak yang terkena pukulan suling itu. Akhirnya luka itu dapat disembuhkan, hanya tubuh Yen Sian masih lemah dan ia menangis sesunggukan setelah sembuh kembali. Yang Cien menghiburnya.

   "Untung engkau dan kakakmu tidak tertawan, nona."

   "Akan tetapi kami gagal...""".."

   Gadis itu menangis.

   "Bahkan kami hamper celaka. Kalau tidak engkau yang menolong, taihiap..."" kami juga menjadi tawanan. Ah, sampai kapan aku akan dapat menolong ayah ibu?".

   "Nona, hal itu jangan di pikirkan dulu. Tidak mungkin menyelidiki ke sana membebaskan tawanan. Sama saja dengan membunuh diri. Di Lok-yang, selama tidak ada gerakan pemberontakan, maka semua tuduhan atas diri ayahmu belum terbukti, maka kurasa Kaisar juga tidak akan menjatuhkan hukuman. Aku juga sudah memerintahkan semua saudara kang-ouw di daerah Lok-yang agar jangan memperlihatkan gerakan apapun. Kita perlu menyusun kekuatan lebih dulu sebelum bergerak. Nona,perjuangan memang menghendaki pengorbanan. Percayalah, pengorbanan keluarga nona tidak akan sia-sia. Ayah nona adalah seorang pahlawan besar bagi perjuangan bangsa kita. Kerajaan Wei yang sesungguhnya adalah Kerajaan Bangsa Toba dan Mongol itu, satu waktu pasti akan dapat kita hancurkan!" Yang Cien mengepal tinju penuh semangat.

   "Tapi, melihat ayah dan ibu menderita di penjara dan aku sebagai anaknya tidak berdaya menolong mereka, sungguh merupakan siksaan batin yang hebat, taihiap....

   "Gadis itu menangis lagi.

   Yang Cien merasa kasihan sekali. Bayangkan saja, seorang gadis puteri gubernur yang biasanya hidup mewah, terhormat, kini tiba-tiba di tinggalkan semua itu, bahkan di tinggalkan ayah ibu dan seluruh keluarga yang menjadi orang tahanan yang sewaktu-waktu nyawanya terancam bahaya maut. Betapa tidak hancur hatinya.

   "Nona," ia menyentuh pundak gadis itu dengan hati yang terharu.

   "Besarkan hatimu, tabahkan hatimu, ini semua nasib dan kita harus mengubah nasib itu dengan perjuangan."

   Yen Sian yang merasa betapa hatinya hancur itu terisak-isak dan entah bagaimana ia sudah jatuh ke dalam rangkulan Yang Cien. Pemuda ini merasa iba sekali dan Yen Sian merasa mendapatkan tempat berlindung dan tempat menyandarkan diri.

   "Sian-moi, jangan bersedih, jangan menangis....

   "Yang Cien tiba-tiba menyebutnya adik, tidak dapat menyebut nona lagi.

   "Cien-ko... bantulah... bantulah aku agar aku dapat menahan semua ini....

   "Yen Sian menangis sambil bersandar ke dada pemuda itu. Dalam keadaan seperti itu, keduanya seperti membuka rahasia hati mereka bahwa mereka itu saling mencinta, cinta yang mungkin dinyalakan melalui rasa iba di satu pihak dan terima kasih di lian pihak. Jalan menuju cinta memang berliku-liku. Dari rasa iba yang mendalam dapat saja timbul cinta. Dari budi kebaikan juga dapat timbul rasa cinta.

   Setelah kedukaannya mereda, mereka lalu keluar dari dalam kuil dan Yen Gun merasa lega melihat adiknya tidak apa-apa.

   "Sukurlah kalau adikku sudah tidak apa-apa, lukanya sudah sembuh. Banyak terima kasih atas pertolonganmu, Yang-taihiap, kalau tidak ada taihiap datang menolong, tentu kami berdua sudah tertangkap musuh," katanya.

   "Koko, sudah bukan waktunya lagi bagi kita untuk bersungkan-sungkan dan menyebut taihiap kepada Cien-ko. Bukankah kita sekarang sudah seperti keluarga sendiri? Bukankah begitu, Cien-ko?".

   Yang Cien mengangguk dan tersenyum.

   "Benar apa yang di katakana oleh Sian-moi, Gun-twako."

   Pernyataan ini membuat wajah Yen Gun berseri gembira dan sedikit banyak dia sudah dapat menduga bahwa ada hubungan yang lebih mendalam antara adiknya dan pendekar sakti itu.

   "Ah, banyak terima kasih, Cien-te (adik Cien) atas kehormatan yang diberikan kepada kami. Sekarang kita akan kemana?".

   "Tidak ada lain jalan, kita harus kembali. Aku bermaksud untuk menemui Gubernur Gak dan Coa-ciangkun, melihat bagaimana sikap mereka dalam menghadapi penangkapan Gubernur Yen di Lok-yang, sekalian memperkenalkan diri."

   "Cien-ko, biarkan aku ikut membantumu. Membantu perjuanganmu bagiku sama dengan membantu pelepasan ayah ibuku, karena mereka itu di tangkap demi perjuangan melawan pemerintah penjajah pula."

   "Baik, Sian-moi, engkau boleh ikut denganku agar Gubernur Gak percaya. Dan ku harap Gun-ko suka menyusul Akauw ke selatan, melakukan penyelidikan terhadap Kerajaan Sun. Nanti sehabis menemui Jendral Gak dan Coa-ciangkun, kamipun akan menyusul ke selatan."

   Yen Gun menyanggupi dan berangkatlah mereka ke selatan. Sejak saat itu, hubungan antara Yen Sian dan Yang Cien semakin akrab dan keduanya tidak syak lagi bahwa mereka saling mencinta. bagi Yang Cien, Yen Sian adalah seorang gadis yang bangsawan, gagah perkasa, berbudi dan juga berjiwa pahlawan sehingga pantas untuk menjadi kekasih dan pasangannya.

   Kita tengok keadaan di Kerajaan Sun. Kerajaan ini berada di selatan dengan Sungai Huai, dan kota rajanya adalah Nan king. Sebuah Kerajaan kecil, sisa dari kerajaan yang dulu dikalahkan oleh Kerajaan Wei di jaman Sam-kok Kerajaan Toba masih menggunakan nama Kerajaan Wei, walaupun sesungguhnya yang berkuasa adalah orang-orang bersuku Bangsa Toba, sebuah suku Bangsa Mongol yang besar. Kerajaan Sun dipimpin oleh Sun Huang-te yang sudah berusia limapuluh tahun. Kerajaan ini kecil saja, namun cukup kuat dan telah mengerahkan pasukannya di perbatasan utara untuk membendung gerakan kerajaan Wei atau Toba yang hendak menundukkannya.

   Musuh besar pasukan Sun Huang-te ini adalah pasukan yang di pimpin oleh Coa-ciangkun yang berada di sepanjang Sungai Huai. Coa-ciangkun dengan pasukannya itu selalu menyerang pasukan Sun di sepanjang perbatasan, akan tetapi mendadak saja Sun Huang-te menerima kontak dari Koksu Kerajaan Toba yang aganya menawarkan perdamaian! Bahkan pasukan Coa-ciangkun, walaupun tidak di tarik mundur dari perbatasan, mulai menghentikan serangannya.

   Sun Huang-te adalah seorang kaisar yang lemah pula. Pekerjaan sehari-hari hanya mengejar kesenangan pribadi, pelesir dan mengumpulkan selir yang cantik-cantik sebanyak mungkin. Bagian atau daerah selatan memang terkenal dengan wanita-wanitanya yang lembut dan cantik. Pengejaran kesenangan ini tentu saja membuat pemerintahannya menjadi lemah dan kekuasaan terjatuh ke tangan para thaikam dan para pejabat tinggi. Terutama sekali Ouw-yang Koksu, dia boleh di bilang menjadi penguasa tertinggi karena urusan pemerintahan hamper sebagian besar berada di tangannya! Kaisar yang malas mengurus urusan Negara itu menyerahkannya kepada Ouw-yang Kok-su sehingga kekuasaan Koksu ini amat besar untuk Kerajaan Sun.

   Setelah mendapat kontak dari utusan Lui Koksu dari Kerajaan Wei atau Toba, kaisar segera mengundang Koksu Ouw-yang untuk berbicara tentang hal itu.

   "Harap paduka tidak terkecoh oleh penawaran damai dari pihak mereka," kata Ouw-yang Koksu.

   "Kalau Kerajaan Wei mengajak damai, hal ini tentu dilakukan karena mereka melihat suatu keuntungan dari perdamaian itu. Apa keuntungannya bagi mereka kalau berdamai dengan kita? Sudah jelas, Yang Mulia. Kalau mereka berdamai dengan kita, mereka akan lebih mudah menundukkan kerajaan-kerajaan kecil di seluruh selatan. Dan kalau semua kerajaan sudah di tundukkan, baru mereka akan menghantam kita kembali! Di lain pihak, apakah keuntungan kita? Kita tidak mempunyai keperluan ke utara, seperti mereka mempunyai keperluan menundukkan kerajaan-kerajaan kecil di barat dan selatan.

   Tidak, Sri Baginda, penawaran damai ini hanya merupakan jebakan belaka!" Demikian Ouw-yang Koksu memberi nasehatnya.

   "Akan tetapi kalau kita menolak begitu saja, mereka tentu akan memperkuat pasukan di perbatasan dan menyerang kita. Bagaimanapun juga, kekuatan mereka lebih besar dibandingkan kekuatan kita."

   "Kita tidakmenolak secara keras, juga tidak menerima, kita mengulur waktu sambil mencari siasat untuk mengatasi keadaan ini, Sri Baginda. Bahkan hamba mendengar bahwa pemerintahan Kerajaan Wei mulai ada bentrokan dengan para pejabat di Nam-kiang. Kalau keadaan ini dikembangkan, baik sekali untuk kita. Hamba mendengar bahwa Coa-ciangkun pemimpin pasukan di perbatasan enggan untuk menarik mundur pasukannya, juga Gubernur Gak condong untuk bersekutu dengan Coa-ciangkun. Agaknya para pejabat daerah itu mulai membangkang kepada perintah Kerajaan Wei yang sepenuhnya di pegang oleh Bangsa Toba itu."

   Sun Huang-te mengangguk-angguk.

   "Kalau begitu benar kata-katamu tadi. Kita mengulur waktu sambil melihat keadaan agar dapat bertindak sesuai dengan keadaan."

   Demikianlah, Kerajaan Sun di sebelah selatan Sungai Huai mulai mengatur siasat mereka. Di selatan dan barat memang banyak terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang dulunya dikuasai oleh para gubernur yang kemudian memberontak dan berdiri sendiri-sendiri setelah perang Sam-kok dan Kerajaan Wei keluar sebagai pemenang. Namun, karena kemudian Kerajaan Wei di kuasai oleh Bangsa Toba, maka banyak pejabat memisahkan diri dan mendirikan kerajaan-kerajaan kecil di daerah-daerah, menyusun pasukan sendiri untuk menjaga kedaulatan kerajaan kecilnya. Kerajaan Wei atau Toba menjadi semakin lemah dan tidak berdaya. Cina yang dulunya sudah di persatukan ketika jaman Kerajaan Chin, setelah perang Sam-kok menjadi terpecah belah menjadi ratusan atau puluhan Kerajaan kecil yang berdiri sendiri sendiri.

   Pada suatu hari, di Nan-king muncul seorang pemuda. Dia adalah Can Kauw Cu, atau Akauw. Seperti telah kita ketahui, Akauw ini menerima tugas penting dari suhengnya, yaitu untuk menyelidiki keadaan di Negara atau Kerajaan Sun, bahkan membawa sepucuk surat dari Yang Cien sebagai bengcu dunia kangouw untuk diserahkan kepada kaisar Sun Huang te kalau saatnya tiba.

   Kehadiran pemuda tinggi besar yang agak kehitaman namun nampak gagah perkasa itu tidak mendatangkan banyak perhatian. Akauw memasuki sebuah rumah makan dan memesan makanan dengan kata-kata pendek. Bagaimanapun juga, kalau dia terlalu banyak bicara, tentu logat bicaranya akan di ketahui orang bahwa dia datang dari utara, walaupun di situ terdapat pula tidak sedikit orang yang berasal dari utara.

   Setelah makan minum, Akauw lalu keluar dari rumah makan dan pergi melihat-lihat. Dari jauh dia melihat serombongan pengemis sedang menuju ke sebuah pasar, tentu untuk minta sedekah. Para pengemis ini jelas dari satu kelompok karena memiliki kesamaan yaitu tongkat mereka.

   Tongkat itu pada ujungnya di pasangi besi dan dia sudah mendengar dari suhengnya bahwa di selatan terdapat sebuah perkumpulan pengemis yang terkenal dengan nama Tiat-tung kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Besi). Agaknya mereka ini adalah para anggota Tiat-tung Kai-pang. Maka, Akauw mempercepat langkahnya untuk mengejar.

   Akan tetapi, ternyata para pengemis yang jumlahnya sembilan orang itu tidak pergi ke pasar, melainkan menghampiri sebuah rumah penginapan. Mereka mendatangi pengurus rumah penginapan dan Akauw dapat mendengar seorang di antara mereka yang agaknya menjadi pimpinan, orangnya tinggi kurus, berkata dengan suara keras.

   "Cepat panggil keluar nona berpakaian hijau yang kemarin malam telah menghajar tiga orang kawan kami, atau kami akan mengobrak-abrik tempat ini!".

   Nada suara nya mengancam dan pengurus rumah penginapan itu menjadi ketakutan.

   "Baik, baik, bersabarlah, akan ku panggilkan nona itu!".

   Akauw pura-pura duduk agak menjauh dan melihat apa yang akan terjadi. Tak lama kemudian, pengurus itu ke luar lagi di ikuti seorang gadis yang membuat Akauw melonjak karena kaget. Ji Goat! Tak salah lagi. Ji Goat lah gadis yang baru muncul itu, dan karena perhatian Ji Goat tertuju kepada para pengemis, maka gadis itu pun tidak melihatnya.

   Gadis itu memang Ji Goat. Dalam perantauannya untuk meluaskan pengalaman, ia telah menyeberangi sungai setelah meninggalkan Yang Cien dan memasuki daerah Kerajaan Sun sampai ke kota raja, yaitu Nan-king. Setelah berhari-hari berada di situ, pada suatu hari ia melihat tiga orang pengemis sedang berbuat kurang sopan terhadap dua orang wanita kakak beradik. Tiga orang pengemis itu minta-minta sambil meraba-raba tubuh orang. Melihat ini Ji Goat menjadi marah dan menegur para pengemis. Akan tetapi tiga orang pengemis itu menjadi marah dan menyerangnya dengan tongkat besi mereka. Ji Goat tentu saja menjadi semakin berang dan ia menghajar mereka sehingga tiga orang pengemis muda kurang ajar itu lari tunggang langgang.

   Itulah sebabnya pagi hari ini sembilan orang pengemis tongkat besi mendatangi rumah penginapan dimana Ji Goat bermalam. Tadi, pengurus rumah penginapan memberitahu bahwa datang banyak pengemis minta bertemu dengannya. Tahulah Ji Goat bahwa hal ini tentu ada hubungannya dengan peristiwa kemarin, maka ia pun sudah siap siaga, keluar sambil membawa pedang di punggungnya. Dan benar saja, di luar rumah penginapan telah menanti sembilan orang pengemis yang wajahnya bengis, di pimpin oleh seorang pengemis jangkung kurus.

   Tanpa ragu-ragu Ji Goat melangkah lebar menghampiri sembilan orang pengemis yang berada di halaman depan itu dan bertanyalah ia dengan suara lantang.

   "Kalian mencari aku?".

   Suara pertanyaannya mengandung tantangan dan memang gadis itu seperti biasanya, pemberani. Si jangkung lalu melangkah maju menghadapinya dengan alis berkerut.

   "Nona, kami mendengar laporan bahwa nona telah memukuli tiga orang anggota kami. Benarkah itu dan mengapa nona melakukan pemukulan?"

   "Ah, itukah? Memang benar. Aku melihat tiga orang pengemis muda berbuat kurang ajar kepada dua orang nona. Mereka itu minta sedekah dengan cara yang tidak wajar, tangan mereka meraba-raba dan mencolek-colek tubuh kedua orang nona itu. Hal ini membuat aku marah dan menegur tiga orang pemngemis muda itu. Eh, mereka tidak menerima kesalahan, malah mereka menyerangku. Siapa tidak menjadi marah? Maka aku lalu menghajarnya. Kalian ini tentu golongan lebih tua dan lebih tahu sopan santun. Mengapa tidak kalian tegur perbuatan saudara muda kalian itu?".

   Si jangkung mengerutkan alisnya.

   "Nona, untuk menyelesaikan urusan ini, nona di panggil oleh pimpinan kami. Marilah nona ikut bersama kami untuk menghadap pemimpin kami sehingga di sana akan di urus siapa yang bersalah dalam hal ini."

   "Hemmm, aku tidak bersalah. Mengapa aku harus menghadap pimpinan kalian? Kalau dia perlu denganku, dialah yang harus datang menemuiku di sini. Aku tidak mau menghadap dia!" kata Ji Goat yang bukan saja merasa tidak enak di panggil seperti itu, akan tetapi juga dara ini menganggap bahwa mendatangi sarang kaipang itu merupakan bahaya besar, berbeda kalau ia menemui pemimpinnya di tempat umum.

   "Nona, pemimpin kami sudah memerintahkan demikian, dan nona tidak boleh menolak."

   "Hemmm, perintah itu untuk kalian. Untukku dia tidak berhak memerintah apapun. Aku tidak bersalah, sebaliknya anak buahnya yang bersalah, maka kalau dia hendak bicara denganku tentang urusan itu, sudah sepatutnya kalau dia yang datang mencariku ke sini, bukan aku yang menghadapnya."

   "Nona, engkau berani membantah kehendak pang-cu kami?" kini si jangkung menjadi marah dan sudah melintangkan tongkat besinya di depan dada.

   "Kenapa tidak berani? Ia bukan pang-cu ku," bantah Ji Goat, nampak tenang dan sedikitpun tidak nampak takut.

   "Kawan-kawan, kita tangkap gadis sombong ini!" si jangkung membentak marah. Pada saat itu Akauw merasa bahwa sudah tiba saatnya dia harus campur karena kalau dibiarkan Ji Goat pasti akan menghadapi pengeroyokan. Bukan dia khawatir, karena gadis itu memiliki kepandaian tinggi pula, akan tetapi sungguh tidak enak kalau terjadi perkelahian di negeri orang!.

   "Tahan dulu.....!" dia berteriak dan lari menghampiri.

   "Akauw.....!" Ji Goat berseru girang sekali melihat pemuda ini, girang dan juga heran karena sama sekali tidak mengira akan bertemu dengan pemuda itu di Negeri Sun.

   "Ji Goat, tahan dulu, jangan berkelahi!" Akauw yang juga girang bertemu dengan gadis yang telah merebut cinta di hatinya itu.

   "Biar aku bicara dengan mereka."

   Sementara itu, si jangkung yang melihat Akauw yang tubuhnya tinggi besar, mengerutkan alisnya dan membentak.

   "Orang muda, harap engkau jangan mencari penyakit dan mencampuri urusan kami dengan gadis muda ini!".

   "Sobat, gadis ini adalah seorang sahabatku, tidak mungkin aku tidak mencampuri. Akan tetapi aku mencampuri. Akan tetapi aku mencampuri untuk mendamaikan. Ketahuilah, kami adalah sahabat-sahabat baik dari Hek I Kaipang di utara, maka dengan memandang para sahabat dari Hek I Kaipang, kami berdua mengharappengertian kalian dan tidak menganggap kami sebagai musuh."

   Si Jangkung nampak ragu ketika mendengar disebutnya Hek I Kaipang, perkumpulan pengemis terbesar di saat itu.

   "Akan tetapi, nona ini tidak mau menerima panggilan pang-cu kami untuk membicarakan urusan ia memukuli tiga orang anak buah kami."

   "Karena ia menaruh curiga kepada kalian. Akan tetapi dengan adanya aku di sini, biarlah kami berdua menghadap pang-cu kalian, karena kebetulan sekali akupun menerima pesan dari beng-cu kami untuk menghubungi kalian."

   "Beng-cu....? "si jangkung semakin ragu.

   "Baiklah, mari kita pergi menghadap pang-cu."

   

Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 12 Asmara Si Pedang Tumpul Eps 17 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 13

Cari Blog Ini