Sepasang Naga Lembah Iblis 1
Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Sepasang Naga Lembah Iblis (Seri ke 01-Serial Sepasang Naga Lembah Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo
Setelah mengalami perang saudara yang terkenal dengan sebutan jaman Sam-Kok (Tiga Negeri) antara tahun 221-265, akhirnya Tiongkok dapat dikuasai oleh Kerajaan Wei dan dapat dipersatukan kembali. Namun kedamaian itu tidak lama dinikmati rakyat karena segera di susul oleh kekacauan terjadi terus menerus, perang perebutan kekuasaan di tambah lagi oleh penyerbuan bangsa Suku Nomad dari utara dan barat, maka kehidupan rakyat jelata menjadi amat sengsara.
Bahkan sampai pada abad ke lima, bangsa Tiongkok masih belum dapat menikmati kehidupan yang tentram. Hukum rimba berlaku dimana-mana, siapa kuat dia menang dan siapa menang dia kuasa dan yang berkuasa selalu benar. Kesengsaraan memuncak dan kekacauan menghebat ketika bangsa-bangsa Nomad, yaitu suku Hsiung-nu, Turki, Tibet dan Bangsa Toba mempersatukan diri dan menyerbu ke selatan. Akhirnya seluruh Tiongkok utara dapat dikuasai oleh suku bangsa Toba yang mendirikan Kerajaan Toba (Mongol). Tiongkok kembali terpecah belah dan kekacauan berlangsung terus.
Kisah ini dimulai dalam jaman yang kacau itu, sekitar tahun 545 Masehi. Pada suatu hari, seorang wanita menggendong anaknya yang baru berusia setahun, berlari-lari mendaki bukit dan dengan nekat memasuki daerah Lembah Iblis. Padahal, lembah ini merupakan daerah yang amat di takuti. Bahkan para pemburu yang paling gagah sekalipun tidak berani memasuki lembah ini. walaupun berkawan banyak. Mereka semua percaya bahwa lembah ini di huni oleh iblis-iblis yang jahat.
Akan tetapi wanita itu nekat, lari memasuki lembah sambil menggendong anaknya dan sambil menangis. Ia seorang wanita berusia duapuluh tahun lebih, cantik manis walaupun pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang desa. Anak yang di gendongnya adalah seorang anak laki-laki yang tidak menangis karena ia di dekap di dada ibunya dan mulutnya di sumbat putting buah dada yang penuh air susu. Beberapa kali wanita itu menengok dan ketika melihat bahwa laki-laki itu masih terus mengejarnya, ia berlari semakin cepat memasuki hutan pertama di lembah itu.
Laki-laki yang mengejarnya itu berusia empat puluh tahun, tinggi besar bermuka hitam, di punggungnya terselip sebatang golok yang masih merah karena berlepotan darah. Dia baru saja membunuh suami wanita itu dan kini mengejar si wanita.
Pada masa itu kejadian seperti ini seringkali berlangsung. Perampokan, perkosaan, pembunuhan terjadi dimana-mana tanpa ada pihak penguasa yang dapat menanggulanginya. Suami wanita itu bernama Cian Kim, seorang petani yang tinggi besar dan termasuk jagoan di dusunnya. Akan tetapi hari itu dusun di datangi segerombolan orang kasar dipimpin orang tinggi besar bermuka hitam itu. Mereka merampok dusun dan ketika melihat isteri Cian Kim, kepala perampok itu terpesona dan segera mengejarnya. Suaminya segera turun tangan menghalanginya, akan tetapi kepala perampok itu lalu menyerangnya dengan golok. Terjadi perkelahian tidak seimbang. Karena kepala perampok itu pandai bermain silat dan tak lama kemudian Cian Kim roboh mandi darah dan tewas. Isterinya, Lan Si, lari sambil menggendong puteranya, di kejar oleh kepala perampok itu.
Dan kini mereka memasuki Lembah Iblis. Agaknya nafsu berahi telah naik ke otak kepala perampok itu yang tergila-gila melihat Lan Si yang montok dan manis itu. Maka diapun lupa bahwa dia telah memasuki daerah yang amat di takuti itu.
"Berhenti, manis, ha-ha-ha. Engkau hendak lari kemana lagi? Menyerahlah dan aku tidak akan mengganggu anakmu. ha-ha!" kepala perampok itu tertawa melihat betapa wanita itu sudah mulai kendur larinya.
Mereka tiba di bagian yang banyak pohon-pohon besarnya. Dan wanita yang sudah kelelahan itu akhirnya tersandung akar pohon dan terjerembab jatuh, dan terdengarlah puteranya menangis menjerit-jerit.
"Ha-ha-ha, engkau tak dapat lari lagi..."..! "Si muka hitam tertawa bergelak dan menubruk ke arah wanita yang masih rebah miring itu.
Akan tetapi tiba-tiba semua pohon sekeliling tempat itu bergoyang-goyang dan terdengar suara cecowetan riuh rendah, lalu banyak sekali kera yang besar berlompatan dari atas pohon, ada yang langsung menubruk ke arah laki-laki bermuka hitam itu. Banyak sekali kera itu, puluhan banyaknya dan tinggi mereka kalau berdiri ada yang mencapai satu meter!.
Laki-laki muka hitam itu terkejut sekali karena selagi dia membungkuk, sebelum tangannya dapat menyentuh tubuh wanita itu, punggungnya di timpa beberapa ekor kera yang langsung menggigit tengkuknya.
Dia berteriak dan menggunakan kedua tangan untuk memukul, kemudian dia mencabut goloknya dan mengamuk. Akan tetapi kera-kera itu gesit sekali dan pandai mengelak. Akhirnya, biarpun goloknya mampu merobohkan empat ekor kera, ada kera besar yang menggigit lengan kanannya, ada pula yang memeluk dari belakang menggigit tengkuk, ada yang memegangi kaki dan menggigit kedua kakinya. Tidak kurang dari sepuluh ekor kera mengeroyok dan menggigitnya dan akhirnya si muka hitam itu hanya mampu berteriak melolong-lolong. Akan tetapi teriakannya makin melemah dan ketika ada kera menggigit kerongkongannya, diapun berkelojotan dan tak lama kemudian mati dalam keadaan tubuh penuh luka terkoyak.
Sementara itu, setiap ekor kera yang menjamah wanita itu, menarik kembali tangannya. Kiranya wanita itu telah mati. Ketika tadi jatuh terjerembab, kepalanya terbentur batu demikian kerasnya sehingga kepala itu retak dan wanita itu tewas tak lama kemudian.
Seekor kera betina, yang buah dadanya menggembung karena baru dua hari yang lalu ia melahirkan anak yang mati katika lahir, ketika melihat bayi yang menangis menjerit-jerit membuat kera yang lain ketakutan, segera menyambar bayi itu dan secara naluriah ia mendekap bayi itu, membiarkan mulut bayi bertemu putting susunya yang besar. Seketika bayi itu berhenti tangisnya dan dia sudah menyusu dengan enaknya lalu tertidur dalam pondongan kera betina, jauh tinggi di atas pohon besar. Setiap kali ada monyet lain mendekat, betina yang besar itu menyerengai, memperlihatkan gigi dengan sikap mengancam dan sejak saat itu ia menjadi ibu dari bayi itu. Ia telah memperoleh pengganti anaknya yang mati ketika lahir karena beberapa hari sebelumnya ia terjatuh katika dahan yang diinjaknya patah.
Mayat si muka hitam dan mayat ibu muda itu tak lama kemudian juga menjadi mangsa-mangsa hewan-hewan hutan yang liar sehingga beberapa hari kemudian yang tinggal hanyalah tulang belulangnya saja.
Kematian datang begitu tiba-tiba, kepada siapa saya yang sudah tiba saatnya. Akan tetapi bocah itu, secara aneh sekali dan tidak wajar telah terhindar dari kematian. Siapakah yang mengatur semua ini? Yang mesti mati, matilah. Yang mesti hidup, dengan cara aneh dapat hidup. Sungguh besar sekali kekuasaan yang mengatur segala sesuatu di jagat raya ini. Biarpun dalam pandangan manusia peristiwa yang terjadi di Lembah Iblis itu nampak aneh, namun sesungguhnya hanya merupakan peristiwa kecil tak berarti apa bila di bandingkan dengan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi setiap saat di alam semesta ini. Kekuasaan yang mengatur semua itu, dari peristiwa terkecil sampai peristiwa terbesar, adalah tunggal. Kekuasaan Tuhan menyusup dan mengatur dimana saja, tak terkecuali di manapun juga mendahului yang terdahulu dan mengakhiri yang terakhir.
Sejak anak bayi berusia setahun itu di sambar dari dekapan ibu kandungnya yang tewas oleh sepasang lengan panjang seekor kera betina, maka mulailah riwayat hidup seorang anak manusia yang luar biasa. Keadaan dan cara kehidupan monyet yang serba keras dan sukar, menggemblengnya menjadi seorang mahluk setengah manusia setengah kera.
Jalannya, caranya meloncat, caranya menyerengai, berkelahi, makan apa saja yang biasa dimakan orang-orang hutan itu, persis kera besar. Akan tetapi ada suatu kelebihan padanya yang tidak ada pada kera itu, yaitu akal budi. Dalam hal pertumbuhan jasmani, induk kera itu seringkali merasa tak sabar karena anaknya itu tak kunjung besar dan tidak kunjung kuat. Masih saja lemah dan memerlukan penjagaannya selalu. Kalau tidak, tentu anaknya itu sudah terjatuh dari atas pohon atau kena gigit kera-kera temannya karena gigi anaknya tidak tumbuh kuat runcing seperti kera-kera lain. Namun, setelah anak itu berusia lima enam tahun, ternyata dia dapat mengalahkan semua teman bermainnya.
Dia pandai sekali bagi ukuran kera, naluri dan kepekaannya sama dengan kera, akan tetapi akal budinya seperti manusia. Dia dapat mempergunakan batu, kayu dan benda apa saja yang keras untuk senjata, sedangkan kera-kera lain tidak mampu. Dia juga bukan hanya pandai berayun-ayun dan berlompatan seperti kera, walaupun kalah gesit, akan tetapi dapat pula berlari secepat kijang, hal yang tidak dapat dilakukan kera lain.
Pada suatu hari, selagi anak itu bersama kera-kera lainnya bermain dan bergelut di atas pohon, dibawah sana terdapat sebuah telaga kecil, tiba-tiba anak itu terpeleset dan terjatuh ke dalam air yang dalam. Semua kera kebingungan, juga induk kera menjerit-jerit. Jatuh ke dalam air itu berarti mati, kematian yang menyedihkan.
Akan tetapi, biarpun amat ketakutan, anak itu menggerakkan kaki tangannya, meronta dari pelukan air dan...".. tubuhnya tidak jadi tenggelam, melainkan mengapung ke permukaan airnya. Hanya akal budinya sebagai manusia yang memberitahu kepadanya bahwa dengan menggerakkan kaki tangannya, dia tidak tenggelam dan demikianlah, dia malah bermain-main di air itu dan merasa tubuhnya segar dan nyaman sekali.
Semenjak peristiwa itu anak itu sering kali terjun ke air dan berenang kian kemari, membuat para kera itu tertegun kagum dan juga kuatir.
Namun, setiap mahluk, setiap tumbuh-tumbuhan, semua bertumbuh sesuai dengan kodratnya. Walaupun lingkungan mempengaruhi dan membentuk wataknya, seperti anak itu yang wataknya menjadi mirip watak kera, namun dia tetap saja seorang manusia. Oleh teman-temannya kera-kera muda, anak itu di "panggil "dengan nama kercak. Kercak si kera putih tanpa bulu ini tetap saja seorang manusia yang lain sama sekali daripada kera itu. Dia menyadari hal ini, kadang dia merasa malu melihat keadaan tubuhnya yang tidak berbulu itu. Pernah dia melumuri dirinya dengan Lumpur agar agak sama dengan kawan-kawannya. Akan tetapi setelah Lumpur itu mongering, dia merasa tidak enak sekali dan pergi berenang untuk membersihkan dirinya lagi.
Selain itu, Kercak juga memiliki rasa keadilan yang tidak dimiliki teman-temannya. Kalau ada kera nakal merebut makanan dari kera lain, dia tentu membela kera yang makanannya di rebut itu dan dalam setiap pergulatan, dia selalu keluar sebagai pemenang. Kalau kera-kera itu hanya bisa mencakar dan menggigit, maka kercak dapat memukul dan menendang, juga menggigit.
Pada suatu pagi, dia melihat seekor kera besar mengejar-ngejar para kera muda dan merampas buah-buahan mereka. Kercak melihat ini menjadi marah dan dia menggereng seperti kera marah.
Kera besar itu membalik dan menyerangnya.
Kercak agaknya maklum bahwa kalau berkelahi di pohon, dia akan kalah karena gerakannya tidaklah segesit kera, maka dia lalu mengayun dirinya turun, dikejar oleh kera besar. Setelah keduanya berpijak di tanah, barulah Kercak melakukan perlawanan.
Kera besar itu kuat bukan main. Beberapa kali Kercak melawan terus, memukul dan menendangi dan akhirnya kera besar itu berhasil di usirnya dan kera itu berteriak-teriak sambil lari terpincang-pincang. Sejak itu, Kercak di anggap jagoan dan pemimpin para kera muda. Biarpun dia menang, akan tetapi Kercak harus rebah sampai dua hari karena menderita sakit-sakit oleh gigitan dan bantingan kera besar itu.
Dalam usia sepuluh tahun Kercak telah menjadi pemimpin para kera yang ditakuti. Tidak seperti para pemimpin kera lainnnya, biarpun dia di anggap jagoan, Kercak tidak pernah merampas makanan kera lain, juga tidakpernah mengganggu kera-kera kecil atau kera-kera betina. Hal ini bahkan membuat kera itu tunduk kepadanya.
Pada suatu pagi, rombongan kera yang di kepalai Kercak tiba di tempat dimana dulu Lan Si dan si muka hitam tewas. Kini tinggal tulang belulang saja yang masih ada. Dengan heran Kercak menghampiri kerangka itu dan tertarik melihat benda yang berkilauan. Benda itu adalah sebuah kalung emas yang tergantung di leher kerangka yang lebih kecil. Diambilnya kalung emas itu dan seperti nalurinya memberitahu, kalung itu dia pakai di lehernya, dikalungkan dikepalanya dan tergantung dileher.
Dia senang sekali. Kemudian, dia melihat benda lain yang berkilauan, yaitu sebatang golong milik si muka hitam. Kalau kera lain tidak berani menyentuhnya, Kercak mengambilnya dan bermain-main dengan golok itu sampai golok itu menggores lengan kirinya. Dia menjerit dan melepaskan golok itu, lalu melarikan diri dengan lengan kiri berdarah.
Cepat di hisapnya luka pada lengannya, seperti yang biasa dilakukan pada kera kalau menderita luka dan segera dia mencari getah pohon Liu liar di dalam hutan untuk mengobati lukanya. Dalam beberapa hari saja luka itu sembuh.
Mula-mula, dia takut melihat golok itu. Akan tetapi akal budinya sebagai sebagai manusia membuat dia memberanikan diri mendekat, dan menyentuh sambil ancang-ancang untuk lari apabila benda itu "menggigitnya "lagi. Akan tetapi benda itu diam tidak bergerak. Lalu di ambil, di pegang pada gagangnya. Diayunnya benda itu ke arah sebatang pohon dan batang pohon itu terbacok, terbelah dan tumbang! Dia terkejut akan tetapi juga girang sekali.
Pada saat itu, terdengar kera-kera menjerit-jerit. Kercak terkejut dan cepat berlari ke arah suara. Dan dia melihat seekor kera dibelit seekor ular sebesar pahanya. Kera itu tidak berdaya, mencicit-cicit dank era-kera lain hanya dapat menjerit-jerit ketakutan.
Melihat seorang kawannya dalam bahaya, Kercak segera melompat dekat dan dia teringat akan golok yang masih terpegang di tangannya dan batang pohon yang terpotong oleh goloknya. Maka, cepat diangkatnya golok itu. Ular yang melihat Kercak berani mendekati, lalu mengangkat kepalanya dan hendak menyerang. Akan tetapi Kercak menggerakkan goloknya dengan kekuatan penuh dan leher itupun putus! Libatannya terhadap kera tadipun melonggar sehingga kera itu dapat melompat dan melarikan diri sambil menjerit-jerit. Kercak sendiri melompat menjauhi, akan tetapi dia memandang dengan hati gembira melihat hasil babatan goloknya. Ular itu mati seketika dengan leher putus!.
Semenjak peristiwa itu, Kercak makin di takuti semua kera, apalagi kemana-mana dia membawa goloknya yang tajam. Dan kini seolah menjadi raja tak bermahkota. Raja Kera!.
Seperti diceritakan dibagian depan, pada waktu itu keadaan Negara amat kacau balau. Banyak raja muda berdiri sendiri dan terjadilah perebutan kekuasaan yang tak kunjung henti. Di tambah lagi dengan penyerbuan Bangsa Toba dan sekutunya dari barat dan utara sehingga pemerintah yang berkuasa di daerah-daerah tidak sempat melakukan penjagaan keamanan terhadap kehidupan rakyatnya. Karena itu, maka rakyat berusaha sendiri untuk melindungi diri dan hamper setiap orang belajar silat untuk menjada dan melindungi keluarga masing-masing. Partai-partai dan kelompok-kelompok persilatan berdiri untuk melindungi anggota masing-masing. Perusahaan-perusahaan pengawalan barang dan orang juga didirikan kaum persilatan di kota besar. Hukum rimba berlaku dimana-mana dan orang mengandalkan kekuatan sendiri untuk hidup.
Pemerintah daerah tidak dapat diandalkan karena pemerintah sibuk dengan urusan sendiri, perebutan kekuasaan dengan daerah-daerah lain.
Pada suatu pagi, serombongan terdiri dari selusin orang memasuki Lembah iblis dengan membawa bermacam barang, buntalan kain-kain dan peti-peti barang. Mereka adalah sekelompok perampok yang baru saja berhasil menghadang serombongan pedagang yang dikawal membawa barang-barang dagangan dan merampas barang dagangan itu, lalu mengerahkan kawan-kawan mereka melakukan pengejaran sehingga para perampok itu nekat memasuki Lembah Iblis untuk menyelamatkan diri dari pengejaran banyak orang.
Akan tetapi pihak pengejar, para piauwsu (pengawal barang) itu, yang bertanggung jawab atas kehilangan barang-barang, melakukan pengejaran terus memasuki lembah yang di takuti itu. Jumlah mereka ada tigapuluh orang maka mereka menjadi berani.
Ketika rombongan perampok itu tiba di tengah hutan lebat, para pengejar dapat menyusul mereka dan karena tidak mungkin melarikan diri lagi, kepala perampok itu memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk melakukan perlawanan mati-matian. Terjadilah pertempuran yang tidak seimbang antara dua belas orang perampok melawan tigapuluh orang piauwsu yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan itu. Para perampok itu mencoba untuk melakukan perlawanan mati-matian, bukan untuk mempertahankan barang rampokan lagi, melainkan untuk mempertahankan nyawa. Namun, terjadilah pembantaian ketika tigapuluh orang piauwsu itu mengepung dan mengeroyok dan seorang demi seorang para perampok itu terbantai, roboh bergelimpangan dan berlumuran darah.
Para piauwsu yang marah itu membunuh semua perampok dan setelah mengambil semua barang rampokan itu, mereka lalu meninggalkan tempat itu dengan girang, penuh kemenangan.
Banyak pasang mata menonton pertempuran itu. Mereka adalah para kera yang ketakutan dan menonton dari pohon-pohon yang tinggi. Diantara mereka adalah Kercak. Anak sepuluh tahun ini menonton dengan penuh perhatian, dengan jantung berdebar tegang dan aneh, tangan memegang golok dan matanya tidak pernah berkedip. Dia melihat mahluk yang seperti dia, kera-kera yang tidak berbulu, bertempur, menggunakan bermacam senjata, banyak pula yang memakai senjata seperti miliknya, saling bunuh memperebutkan barang-barang aneh. Dan semua kera berkulit halus itu menutupi tubuh mereka dengan semacam pembungkus! Setelah pertempuran selesai, semua orang yang menang bertempur pergi meninggalkan sepuluh orang yang sudah menggeletak mandi darah, Kercak turun dari atas pohon, diikuti beberapa ekor kera besar yang masih takut-takut.
Yang menarik perhatian Kercak adalah senjata-senjata itu. Dia berganti-ganti memungut pedang, tombak, ruyung, akan tetapi semua di buangnya kembali dan dia merasa bahwa semua barang itu tidak ada yang lebih baik daripada golok yang dipegangnya. Lalu dia meraba-raba pakaian mereka. Ketika dia meraba seorang yang bertubuh tinggi kurus, orang itu bergerak sehingga dia terkejut, melompat jauh ke belakang dan siap dengan golok di tangan.
Orang itu ternyata belum mati, dan di sangka mati oleh para lawannya. Kini dia bangkit duduk dan melihat Kercak, bocah berumur sepuluh tahun yang telanjang bulat dan memegang golok, rambutnya panjang terurai di punggung, orang itu terbelalak dan menggosok kedua mata dengan tangan untuk mengusirmimpi buruk itu. Akan tetapi, bocah itu masih berada di situ memandang kepadanya dengan aneh, berdirinya agak membungkuk seperti kera.
"Sobat kecil, kau tolonglah aku..."
Orang itu menjulurkan kedua tangannya, lalu terkulai pingsan. Dia adalah kepala perampok yang bernama Boan Ki.
Ketika Boan Ki sadar dari pingsannya, dia mendapatkan dirinya sudah berada di bawah pohon besar tak jauh dari tempat terbunuhnya semua anak buahnya.
Dia membuka mata dan bangkit duduk, melihat bahwa luka di pundaknya sudah di obati dengan semacam getah yang membuat luka itu terasa dingin. Baru saja dia membuka mata dan bangkit, ada orang mengguyur kepalanya dengan air. Dia terkejut dan melihat bahwa yang melakukannya adalah bocah yang di lihatnya tadi. Ternyata anak itu membawa air dalam daun yang amat lebar dan air itu di guyurkan kepadanya.
Kepala dan mukanya basah kutup, akan tetapi dia berterima kasih karena siraman air itu membuat dia merasa sejuk dan nyaman.
"Anak yang baik, engkau siapakah?"
Boan Ki bertanya sambil duduk bersandar batang pohon. Mendengar suara ini. Kercak nampak bingung dan dia mengeluarkan suara kera yang cecowetan, sambil tangannya bergerak-gerak ke kanan kiri.
Kini Boan Ki yang menjadi bingung. Di ulanginya pertanyaannya namun bocah itu hanya dapat mengeluarkan suara seperti kera dan berloncat-loncatan. Dia menghela napas panjang. Selama hidupnya mendengarpun belum dia akan seorang anak manusia yang bersikap seperti kera, telanjang bulat namun telah menyelamatan nyawanya.
Dia lalu menuding ke arah dadanya sendiri dan berkata berulang-ulang.
"Boan Ki, Boan Ki, Boan Ki....
"Maksudnya hendak memperkenalkan namanya kepada anak itu.
Kercak mendengarkan penuh perhatian. Karena suara itu berulang-ulang, dia lalu berusaha menirukan.
"Aki... Aki....!".
Boan Ki tertawa bergelak mendengar namanya di sebut Aki, karena begitulah orang tuanya dulu menyebutnya. Dan melihat Boan Ki tertawa, Kercak juga ikut-ikutan tertawa, walaupun suara tawanya kak-kak-kek-kek seperti suara monyet.
Setelah agak lancer mengucapkan kata Aki, Boan Ki lalu menuding ke arah dada Kercak dan berkata.
"Kauw-Cu, Kauw Cu....! "berulang-ulang. Kembali Kercak menirukan, akan tetapi yang terdengar adalah "Akauw, Akauw, Akauw...."
"Kauw Cu "menunjukkan bahwa anak itu adalah seekor kera, dan kembali Boan Ki tertawa. Agaknya inilah pelajaran pertama bagi Kercak atau Akauw, yaitu bahwa tawa berarti baik dan benar.
Demikianlah, setelah kesehatannya pulih kembali, Boan Ki yang tidak berani keluar dari Lembah itu mulai hidup dengan Akauw yang mencarikan buah-buahan untuknya. Boan Ki mulai mengajarkan beberapa patah kata, dan mengajak Akauw untuk melemparkan semua mayat ke dalam jurang setelah melucuti pakaian mereka. Juga dia mengajarkan cara berpakaian kepada Akauw!
Karena semua pakaian itu semua kebesaran, maka Akauw memakai pakaian menjadi kedodoran, akan tetapi setelah mengenakan pakaian, dia nampak lebih sebagai manusia daripada sebagai kera.
Agaknya, naluri dalam diri Kercak atau Akauw memberitahu kepadanya melalui perasaannya bahwa dia telah bertemu dengan bangsanya, maka dia pun menurut saja segala yang di ajarkan Boan Ki kepadanya.
Boan Ki mengajarkan membuat api, menangkap binatang hutan dan memanggang dagingnya dan segala macam cara hidup manusia biasa, walau pun cara itu amat sederhana karena keadaan mereka hidup di lembah yang penuh hutan liar itu.
Boan Ki adalah seorang kepala perampok berusia empat puluh lima tahun yang biasa hidup keras dan tidak mengenal perikemanusiaan. Entah sudah berapa banyak orang di bunuhnya, perempuan di perkosanya. Akan tetapi sekarang dia bersikap baik, seperti seorang guru yang tekun, sabar bagi Akauw. Hal ini bukan saja karena dia merasa telah diselamatkan nyawanya oleh anak itu, melainkan juga dia membutuhkan seorang kawan di tempat yang menyeramkan itu.
Dengan bantuan Akauw, diapun kini membuat sebuah rumah dari daun-daun dan kayu ranting jauh di atas pohon sehingga diwaktu malam dia dapat tidup nyenyak tidak khawatir diganggu binantang buas.
Sang waktu berlalu amat cepatnya dan tahu-tahu tiga tahun telah lewat sejak Boan Ki hidup bersama Akauw di dalam hutan di Lembah Iblis. Selama itu, Boan Ki tidak berani beranjak terlalu jauh dari rumahnya diatas pohon karena beberapa kali dia nyaris celaka di serang binatang buas kalau saja tidak ada Akauw yang membelanya dan menyelamatkannya.
Suatu hari, ketika dia sedang berjalan seorang diri, seekor biruang besar menghadangnya dan menyerangnya. Boan Ki juga seorang yang kuat dan biasa menghadapi kekerasan, bahkan pernah belajar ilmu silat. Dengan pedang di tangan dia melakukan perlawanan mati-matian. Namun biruang itu menggereng-gereng dan menyerangnya dengan ganas sekali. Bacokan pedangnya dapat di tangkis dan pedangnya di renggut lepas oleh kaki depan biruang yang bercakar itu. Kemudian sebuah tamparan dari kaki depan biruang itu membuatnya terpelanting. Dalam keadaan gawat dia menjadi panic dan berteriak-teriak.
"Akauw... toloooongg!".
Pada saat itu, Akauw muncul. Pemuda remaja berusia empat belas tahun ini memang sudah tertarik oleh gerengan-gerengan biruang yang menjadi musuh utama para kera, maka dia sudah berlompatan dari dahan ke dahan, berayun-ayun menuju ke tempat itu. Dia melihat Boan Ki sudah menggeletak dan biruang itu siap untuk menerkamnya.
"Aki, diamlah, pura-pura mati!" kata Akauw yang kini sudah pandai bicara, lalu dia mengeluarkan teriakan melengking panjang, teriakan tantangan sebangsa kera seperti teman-temannya.
Biruang itu melihat lawannya rebah tak berkutik, menjadi sangsi, apalagi mendengar tantangan kera, dia membalik dengan marah. Pada saat itu, Akauw sudah melompat dari atas dan membacokkan goloknya dengan sekuat tenaga ke arah kepala biruang itu.
Biruang raksasa itu menangkis dengan sapokan lengannya, akan tetapi karena bacokan itu kuat sekali, lengannya menjadi tergores dan kulitnya robek. BIruang itu menggereng marah dan kesakitan, lalu menerkam kedepan. Namun dengan tangkas dan gesit sekali Akauw sudah mengelak dengan lompatan ke kiri, kemudian goloknya membacok lagi, sekali ini melukai kaki belakang biruang itu. Setelah berulang kali menerima bacokan yang membuat kulitnya yang tebal tergores luka, biruang itu menjadi ketakutan dan melarikan diri.
Boan Ki bangkit berdiri dan memandang kagum. Anak berusia empat belas tahun yang tubuhnya sudah hamper sama tingginya dengan dia itu, kembali telah menyelamatkan nyawanya. Padahal anak itu sama sekali tidak pandai bersilat. Hanya gerakannya itu demikian ringan dan gesit seperti monyet, namun monyet yang banyak akalnya.
"Aki, lain kali jangan pergi sendiri jauh-jauh, bisa berbahaya," kata Akauw yang biarpun masih agak kaku, namun setelah selama tiga tahun setiap hari belajar bercakap-cakap dengan Boan Ki, dia sudah cukup pandai mengutarakan perasaan hati dan pikirannya.
"Akauw, aku bosan berdiam di atas pohon atau di bawahnya setiap hari. Sudah tiga tahun aku berada di sini dan tidak pernah pergi lebih dari satu li jauhnya dari rumah kita. Aku bosan, Akauw "
"Kalau begitu, mari ku ajak kau jalan-jalan, Aki. Aku mempunyai sebuah tempat yang amat indah, guha-guha yang penuh dengan benda bercahaya."
Wajah Boan Ki menjadi berseri.
"Benarkah, Akauw? Mari kita pergi bermain-main ke sana!".
"Perjalanan itu cukup jauh menyusup lembah, kita harus berangkat pagi-pagi benar agar dapat sampai di sana dan dapat kembali lagi."
Demikianlah, pada keesokan harinya, sebelum terang tanah, baru saja sinar matahari menerangi angkasa, mereka sudah berangkat menuju ke arah mata hari, ke timur. Boan Ki merasa gembira sekali. Karena dia memang sudah bosan setengah mati setiap hari harus tinggal saja di situ. Bahkan berburu binatang untuk dimakanpun dilakukan oleh Akauw, dan dia tidak diperbolehkan meninggalkan tempat itu jauh-jauh. Kini dia melangkah lebar di samping Akauw, seorang tua berusia empat puluh delapan tahun dan seorang pemuda remaja berusia empat belas tahun.
Beberapa ekor kera hendak ikut, akan tetapi Akauw mengusir mereka. Dahulu, sebelum bertemu dengan Boan Ki, dalam perantauannya menjelajahi lembah, dia menemukan tempat itu dan di rahasiakannya. Dia tidak ingin tempat itu dijadikan tempat tinggal para kera dan menjadi kotor.
Setelah matahari naik tinggi, tibalah mereka di lereng yang penuh batu-batu.
"Itu di sana tempatnya!" Akauw menuding. Boan Ki memandang gembira. Perjalanan tadi saja sudah cukup mendebarkan hati. Mereka bertemu dengan binatang-binatang buas. Kalau saja tidak bersama Akauw, entah bagaimana jadinya. Tak mungkin dia dapat melewati binatang-binatang buas seperti biruang, harimau dan ular-ular besar itu. Akauw membawanya naik ke pohon dan melompat dari dahan ke dahan, bergantungan pada akar gantung dan melewati binatang-binatang itu dengan selamat. Kini mereka tiba di bagian yang penuh batu-batuan, dan dari jauh dia melihat bahwa yang di tunjuk Akauw itu adalah sederetan guha-guha besar.
"Mari kita ke sana!" kata Akauw dan mereka berlari-lari menuju ke tempat itu. Ada guha yang penuh dengan arca-arca, sebagian dari arca itu belum sempurna benar, belum selesai dibuatnya. Dan Akauw menarik tangannya di ajak ke sebuah guha yang kecil di sudut.
"Disini tempat batu-batu berkilauan itu!" katanya gembira melihat kawannya gembira.
Dan begitu memasuki guha itu Boan Ki terbelalak dan cepat lari memasuki guha, meraba dinding guha yang berkilauan.
"Emas...! Emas...! Kita kaya raya....!!! Ahh, banyak emas di sini, Akauw!".
"Emas? Kaya Raya? Apa itu?" Akauw bingung karena belum pernah dia mendengar sebutan emas dan kaya raya.
Boan Ki menjadi diam. Bodoh dia kalau sampai memberitahu Akauw. Mungkin saja pada suatu hari Akauw akan bertemu orang lain dan kalau dia bicara kepada orang itu tentang guha ini, dan tentang emas... ah, dia harus cerdik.
"Tidak apa-apa, Akauw. Ini adalah batu biasa, hanya berkilauan. Dan kita gembira. Aku gembira karena di sini indah sekali. Aku ingin tinggal di sini, Akauw."
"Tidak, Aki. Kita harus pulang ke tempat kita. Di sini kita akan kelaparan, tidak ada buah-buahan, juga jarang ada binatang buruan. mari kita pulang sebelum malam tiba, Aki."
"Tidak, aku tinggal di sini.....!".
Kemudian dia melihat betapa Akauw mengerutkan alisnya. Ah, dia tidak boleh membuat Akauw curiga, maka Boan Ki lalu tertawa.
"Ah, baiklah Akauw, mari kita pulang."
Akauw nampak gembira kembali setelah Boan Kim au di ajak pulang. Malam itu, di atas pohon, Boan Ki gelisah tak dapat tidur. Dia tahu bahwa Akauw tadinya putera manusia biasa, bahkan dari kalung yang di pakainya, yang ada huruf Cian, agaknya orang tuanya bermarga Cian. Kalau sampai ada orang lain yang tahu bahwa tak jauh dari situ, hanya perjalanan setengah hari, terdapat guha penuh dengan emas, tentu akan ada saingan baginya. Tidak boleh, dia harus mendapatkan semua emas itu, lalu berusaha keluar dari lembah ini dan menjadi seorang yang kaya raya. Akan tetapi Akauw menjadi penghalang baginya. Selain mungkin Akauw akan menghalangi dia mengambil emas, juga Akauw perlu di singkirkan, karena dapat memberitahu orang lain.
Benda memiliki daya pengaruh yang amat kuat bagi manusia. Karena dari benda-benda ini manusia memperoleh berbagai kesenangan, maka kalau tadinya manusia mempergunakan benda bagi keperluan hidupnya, kemudian keadaannya malah berbalik. Benda menguasai batin manusia saling bunuh karena benda, bahkan di antara saudara sendiri timbul pertengkaran dan permusuhan karena saling memperebutkan benda. Namanya saja benda mati, akan tetapi daya pengaruhnya sungguh besar, melebihi pengaruh daya lain.
Demikian pula dengan Boan Ki. Tadinya dia menganggap Akauw sebagai teman hidupnya di tempat terpencil itu, selain sebagai penolongnya dalam segala hal. Akan tetapi begitu dia melihat emas, semua itu terlupa. Daya pengaruh emas yang berkilauan itu mempengaruhi dan mencengkramnya, dan untuk mendapatkan emas itu, dia bersedia melakukan apa saja, yang sejahat-jahatnya sekalipun.
Mendapatkan emas itu berarti kesenangan, kemuliaan, karena kaya raya dan untuk mendapatkan itu, jangankan hanya Akauw yang bukan apa-apanya, bahkan andaikata Akauw itu saudaranya sendiri sekalipun, mungkin akan di dikorbankannya juga.
Kalau kita tergesa mengatakan bahwa Boan Ki seorang yang kejam, tidak berperikemanusiaan, maka sebaiknya kita menengok kepada diri sendiri, apakah kita tidak pernah bertengkar karena uang dengan sahabat baik kita, saudara kita, keluarga kita, bahkan isteri atau anak kita sendiri?
Kalau sudah begitu, baru kita tahu betapa hebat dan kuat daya pengaruh benda itu mencengkram batin kita.
Pada keesokan harinya Boan Ki bangun kesiangan karena semalam dia hamper tidak tidur. Ketika dia membuka matanya, Akauw tidak berada di sampingnya. Dia tahu bahwa Akauw pagi-pagi sekali tentu sudah bangun dan kini tentu sedang mencari buah atau berburu kelinci, karena dia sudah melihat api unggun di bawah pohon. Dia lalu merayap turun dan membuat minuman air dengan mencampurkan semacam daun pengganti the yang cukup sedap di dalam air yang sudah mendidih itu. Selama ini dia sudah membuat semacam periuk dari tanah untuk memasak air dan membuat masakan dari daging buruan dan sayuran yang dapat di temukan di hutan itu.
Tak lama kemudian, benar saja Akauw datang membawa buah-buahan dan seekor kelinci yang dapat di tangkap dengan melemparnya dengan batu.
"Aki, aku berhasil menangkap seekor kelinci gemuk!" katanya gembira ketika melihat Aki sedang membuat minuman.
"Bagus, Akauw.
"kata Aki sambil tertawa. Akauw yang tidak mencurigai sesuatu segera mengguliti kelinci seperti yang di ajarkan kepadanya oleh Boan Ki. Dengan sangat asyik die mengerjakan ini, menggunakan goloknya, tidak tahu bahwa Boan Ki mendekatinya dari belakang. Tiba-tiba saja Boan Ki mengerahkan tenaganya dan menghantam tengkuk anak itu dari belakang.
"Dukk!" tanpa dapat mengeluarkan suara Akauw terpelanting dan tak sadarkan diri lagi. Hantaman itu keras sekali, dilakukan dengan tangan terbuka miring. Kalau tengkuk orang lain yang dihantam Boan Ki seperti itu, tentu tulangnya akan patah. Akan tetapi, hantaman itu tidak mematahkan tulang tengkuknya, akan tetapi guncangan hebat pada kepalanya membuat ia roboh pingsan.
Boan Ki mengambil pedangnya dan hendak mengayun pedang itu memenggal batang leher Akauw. Akan tetapi perbuatan ini tidak jadi dilakukan. Akan mengotori tempat ini dan merepotkan harus mengurus mayatnya, pikirnya. Lebih baik dia dikirim ke dalam jurang menyusul mayat-mayat temannya dulu. Maka, diapun tenang-tenang saja mengikat kedua tangan Akauw ke belakang tubuhnya, lalu melanjutkan mengguliti kelinci dengan golok milik Akauw.
Boan Ki adalah bekas penjahat besar yang entah sudah berapa puluh kali membunuh manusia. maka apa yang dilakukannya terhadap Akauw merupakan perbuatan yang baginya kecil artinya.
Tak lama kemudian Akauw mengeluarkan suara rintihan. Kepalanya bagian belakang terasa nyeri sekali, mengentak-entak rasanya dan pening.
Ketika dia membuka matanya, dia melihat Boan Ki sedang memandangnya dengan senyum aneh. Akauw berusaha untuk bangkit akan tetapi terguling kembali. Dia tidak mampu menggerakkan kedua tangannya yang di telikung ke belakang dan di ikat!.
"Aki....! Kenapa tanganku ini? Lepaskan...! Katanya.
Boan Ki tersenyum menyerengai.
"Akauw, engkau harus pergi dari sini. Aku tidak mau lagi tinggal bersamamu."
"Pergi? Kemana? "Tanya Akauw heran dan kini, setelah tahu kedua tangannya terikat, dia mampu bangkit dan berdiri.
"Ke neraka!" kata pula Boan Ki sambil tertawa.
"Neraka? Dimana itu?"
"Ha-ha-ha, mari ku tunjukkan engkau dimana neraka itu. Hayo jalan!." Dengan golok yang berlumuran darah kelinci di tangan, Boan Ki menodong dan mendorong Akauw untuk berjalan. Akauw tidak dapat membantah karena golok itu menusuk punggungnya. Terpaksa dia melangkah maju dengan penuh keheranan. Dia masih belum mengerti apa yang di maukan oleh kawannya itu.
"Hayo, terus maju, jangan menengok ke belakang!" hardik Boan Ki.
Akauw maju terus sampai di tepi jurang yang amat dalam itu. Dia berhenti.
"Hayo terus jalan, di bawah sana itulah neraka. Engkau harus pergi ke sana!".
Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lebih banyak nalurinya daripada pikirannya yang memberitahu Akauw apa yang sesungguhnya terjadi. Aki hendak membunuhnya! Dia membalik dan terdengar gerengan di kerongkongannya.
"Engkau... engkau jahat!" katanya berkali-kali dan kini dia meronta-ronta dan kedua kakinya menendang-nendang ke arah Boan Ki.
Boan Ki tidak tahu bahwa kalau tadinya Akauw menurut saja, bukan karena Akauw takut, melainkan karena dia tidak tahu apa yang dikehendaki Boan Ki, bahkan belum menyangka jelek. Baru sekarang dia tahu bahwa Boan Ki hendak membunuhnya, maka dia melawan.
Hal ini tentu dilakukan sejak tadi kalau dia sudahmengetahuinya. Dia mengeluarkan teriakna-teriakan seperti kera marah ketika menendang-nendang.
Boan Ki terkejut dan cepat menggerakkan goloknya menangkis tendangan itu.
"Craackk!" kaki kanan Akauw terkena golok dan terluka pahanya berdarah-darah dan diapun roboh terpelanting. Namun dia bangkit berdiri lagi dengan loncatan sigap. Kalau hanya luka kecil itu saja, tidak mungkin dapat membuat Akauw menyerah.
Kembali golok menyambar.
"Trangg...!" golok itu di tangkis sebatang pedang di tangan seseorang kakek tua yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahunan. Namun, ketika pedang menangkis, golok terpental dan Boan Ki merasa tangannya tergetar.
"Eh, siapa engkau? Jangan mencampuri urusanku!" bentak Boan Ki marah.
Sementara itu, seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima belas tahun, cepat melepaskan ikatan tangan Akauw yang terluka paha kirinya.
Kakek itu berkata.
"Sobat, engkau hendak membunuh anak itu, bagaimana kami tidak akan mencampuri?".
"Kalau begitu, aku akan membunuhmu lebih dulu!" Dia menyabitkan golok yang berlumuran darah kelinci itu kepada si kakek yang cepat menangkis dengan pedangnya. Kemudian Boan Ki mencabut pedangnya dan menyerang kakek itu dengan ganasnya.
Kakek itu berpakaian seperti sastrawan, dan walaupun gerakan pedangnya amat indah, namun dia sudah terlalu tua, gerakannya sudah amat lambat sehingga Boan Ki yang keras dan kasar itu menyerang bertubi-tubi, kakek itu mulai terdesak.
Sementara Akauw yang sudah bebas tangannya, menjadi marah sekali kepada Boan Ki. Dia mengeluarkan gerengan seperti kera kalau marah, mendesisi-desis danmelihat goloknya terlempar ketika di sabitkan Boan Kid an di tangkis kakek itu, dia lalu melompat, menyambar goloknya dan melompat ke atas pohon dengan kecepatan seekor kera. Kemudian dari atas pohon itu dia terjun dengan cepat menukik ke bawah, menyerang Boan Ki yang sedang mendesak kakek itu.
Ketika mendengar gerengan yang menakutkan dari atas, Boan Ki mengangkat pedangnya menangkis. Golok itu dengan amat kerasnya bertemu pedang, akibatnya pedang dan golok menjadi patah-patah dan Akauw sudah menerkam kepala Boan Ki.
Boan Ki terkejut sekali ketika tahu-tahu tubuh Akauw sudah berada di atas punggungnya dan dia menronta-ronta, akan tetapi tiba-tiba dia merasa ada gigitan dilehernya dan kepalanya di putar sekuatnya oleh Akauw.
Terdengar bunyi "kreek-krekk!" tulang leher itu patah. Setelah Akauw melepaskannya, tubuh Boan Ki terpelanting dengan kepala miring dan leher terobek gigi Akauw. Akauw berdiri di atas dada Boan Ki dan menepuk-nepuk dadanya sambil menggereng-gereng seperti lagak kera yang menang dalam pertandingan.
Kakek dan pemuda remaja itu memandang dengan bengong, juga ngeri. Setelah melampiaskan kemarahannya seperti seekor kera, Akauw melihat dua orang itu dan baru ia teringat bahwa dia adalah seorang manusia, bukan seekor kera.
Maka dia lalu turun dari dada mayat Boan Kid an menghampiri kakek itu.
"Kalian telah menolongku. Kalian orang-orang baik, tidak jahat seperti Aki." Dia menuding ke arah mayat itu.
"Siapakah dia? Dan mengapa dia hendak membunuhmu dan siapakah engkau?" kakek itu bertanya dengan suaranya yang lembut.
"Dia Aki dan aku Akauw. Dia orang jahat, dulu kuselamatkan sekarang dia malah hendak membunuhku. Jahat.... Jahat..... seperti ular!" Akauw menuding-nuding mayat itu.
Kakek itu menghampiri Akauw.
"Mari kita kuburkan dulu Aki itu, baru kita bicara. Yang Cien, mari bantu aku menggali lubang."
"Nanti dulu, apa yang akan kau lakukan? Menggali lubang? Untuk apa? "Tanya Akauw heran, dan penuh curiga.
Setelah apa yang dia alami dari Aki, dia menjadi curiga pada manusia.
"Dia telah mati, Akauw. Kita harus mengubur mayatnya."
"Mengubur? Apa itu, dan bagaimana?"
"Mengubur mayar adalah menanam mayat itu dibawah tanah, memasukkan kedalam galian dan menimbuni dengan tanah agar tidak membusuk dan tidak di makan binatang buas."
Akauw mengangguk-angguk.
"Akan tetapi, Aki dahulu menyuruh aku membuang mayat-mayat itu ke dalam jurang. Dan dia tadi menyuruhku melompat ke dalam jurang pula."
"Itu jahat sekali, Akauw. Kalau orang mati haruslah dikubur, kalau tidak mayatnya akan dimakan oleh binatang buas dan membusuk, mendatangkan penyakit disekitarnya."
Akauw mengangguk-angguk mengerti lalu dengan tekun dia membantu mereka menggali lubang. Setelah cukup dalam, jenazah itu dimasukkan dalam lubang dan di timbuni tanah, barulah kakek itu mengajak cucunya dan Akauw duduk dibawah pohon tempat tinggal Akauw.
"Akauw, perkenalkanlah. Aku adalah Yang Kok It dan ini cucuku bernama Yang Cien. Kami kakek dan cucu baru saja memasuki daerah ini dan tidak mengenal jalan di tempat yang amat liar ini.
Tadi kami melihat betapa orang yang kau sebut Aki itu hendak membunuhmu, maka kami turun tangan menolongmu.
Sebetulnya siapakah engkau? Dimana rumahmu dan siapa pula orang tuamu?" kakek itu dan cucunya memandang penuh perhatian.
Sebelum menjawab Akauw memperhatikan kedua orang itu. Yang Kok It seorang kakek tua sekali dengan pakaian sastrawan, kurus tinggi dan nampak lemah, sedangkan Yang Cien adalah seorang pemuda remaja yang sebaya dengannya, bertubuh tinggi tegap dan berwajah tampan. Pakaiannya juga seperti seorang sastrawan, dan pandang matanya tajam sekali.
"Namaku Akauw, dan rumahku di sana." Dia menunjuk ke atas pohon besar itu dimana terdapat sebuah gubuk dari ranting dan daun kering, seperti sarang burung yang besar sekali.
"Orang tuaku? Aku tidak tahu siapa orang tuaku. Aku di besarkan di sini, di antara kera-kera itu dan setelah Aki tiba di sini, barulah aku di ajari bicara oleh Aki, memakai pakaian dan banyak hal lain."
Kakek dan cucunya itu saling pandang, merasa aneh bahwa ada anak hidup di antara kera dan sekarang gerak-geriknya, kegesitannya, masih seperti kera.
"Siapa yang memberi nama Akauw itu?".
"Juga Aki, sebelum dia datang, kera-kera itu menyebut namaku Kercak."
Ketika mengucapkan kata Kercak itu, dia persis monyet mengeluarkan suara mirip suara Kercak.
Kakek itu melihat kalung di leher Akauw, dan melihat betapa kalung itu terukir dengan huruf Cian.
"Ku kira orang tuamu bermarga Cian, Akauw dan tentu namamu yang lengkap Cian Kauw."
Dia tidak mengatakan bahwa Aki menyebutnya Akauw karena dia di anggap monyet atau sebangsa kera. Kauw berarti kera.
"Aku tidak tahu, aku menemukan benda ini di antara tulang-tulang manusia."
"Dan bagaimana datangnya Aki itu ke sini? Apakah dia mengatakan siapa dirinya dan darimana dia datang?"
"Tidakpernah. Dia datang bersama belasan orang, lalu diserang oleh puluhan orang. Semua temannya mati dan dia terluka berat. Aku merawatnya sampai dia sembuh dan selanjutnya dia tinggal di sini bersamaku."
"Kapan terjadinya itu?"
"Kurang lebih tiga empat tahun yang lalu."
Biarpun cara bicara Akauw kagok dan tidak beraturan, namun cukup jelas dan dapat dimengerti.
"Dan kau bilang tadi mayat-mayat semua temannya itu tidak di kubur melainkan dibuang ke dalam jurang?".
"Ya, Aki yang menyuruh demikian."
Dari penuturan ini saja kakek itu sudah dapat menduga bahwa Aki itu bukan orang baik-baik, seperti kemudian ternyata betapa dia hendak membunuh Akauw yang pernah merawatnya ketika dia terluka.
"Akauw,kami berdua ingin tinggal di tempat ini bersamamu. Apakah engkau menyetujui?".
Akauw memandang kepada kakek itu, lalu kepada Yang Cien.
"Apakah engkau tidak akan berbuat jahat seperti Aki?" tanyanya meragu.
"Tentu saja tidak, Akauw. Ketahuilah bahwa di dunia ini memang banyak sekali orang jahat, akan tetapi kami selalu menentang kejahatan. Bahkan kami sembunyi dan hendak tinggal di sini adalah karena kami dikejar-kejar orang jahat. Kami akan tinggal di sini bersamamu, menjadi sahabatmu, bahkan kalau kau suka, engkau boleh memanggil aku kakek dan engkau menjadi cucuku, menjadi saudara Yang Cien. Maukah engkau?".
Akauw tersenyum. Dari wajah kedua orang ini saja, nalurinya mengatakan bahwa wajah mereka sama sekali berbeda dari wajah Aki. Sinar mata Aki liar dank eras, sedangkan kedua orang ini bersinar mata lembut dan tajam.
"Aku mau,kakek. Dan Yang Cien menjadi kakakku."
Demikianlah, sejak hari itu, kakek Yang Kok It dan cucunya, Yang Cien, tinggal di situ bersama Akauw yang nama lengkapnya Cian Kauw Cu atau nama monyetnya Kercak. Kakek itu merasa tidak ada gunanya menceritakan tentang riwayat dia dan cucunya kepada Akauw, karena pemuda yang peradabannya sangat terbelakang itu tentu tidak akan mengerti.
Sesungguhnya Yang Kok It adalah bekas jendral yang sudah mengundurkan diri karena sudah tua. Puteranya yang bernama Yang Koan mewarisi kepandaiannya, baik kepandaian silat, ilmu pedang maupun kesusastraaan dan seperti juga ayahnya, Yang Koan ikut membela Negara dari serbuan para suku Toba dari barat dan utara. Sebagai seorang panglima, Yang Koan amat tangguh dan besar jasanya. Akan tetapi diapun seorang pemberani jujur dan adil. Seringkali, kalau dia melihat rekannya menyeleweng, berkoropsi atau melakukan penindasan terhadap rakyat mengandalkan kekuasaanya, dia akan menentangnya.
Dengan ilmunya yang tinggi dan kedudukannya yang cukup berwibawa, dia merobohkan banyak pejabat tinggi yang menyalah-gunakan kewenangan dan kekuasaannya. Dengan demikian, dia mempunyai banyak musuh.
Pada suatu hari, rumah penglima Yang Koan di kepung orang-orang berkedok yang berilmu tinggi dan mereka itu mengahncurkan rumah, membakar dan membunuh.
Yang Koan dan isterinya melawan mati-matian namun karena banyaknya pihak pengeroyok, akhirnya setelah merobohkan banyak pengeroyok, suami isteri inipun roboh dan tewas.
Untung sekali bagi Yang Cien yang berusia sepuluh tahun, ketika penyerbuan terjadi, dia sedang berada di rumah kakeknya. Seorang anak buah ayahnya berlari memberi kabar tentang penyerbuan itu dan Yang Kok It maklum bahwa nyawa cucunya berada di dalam bahaya. Maka, diapun mengajak cucunya untuk melarikan diri.
Memang benar dugaanya, pihak musuh, yaitu mereka yang bekas pejabat dan mendendam kepada Yang Koan, melakukan pengejaran dan pencarian. Banyak jagoan di sebar untuk mencari dimana adanya kakek dan cucunya itu sehingga kakek Yang Kok It yang sudah tua itu terpaksa harus lari ke sana kemari, berpindah-pindah tempat dan berganti nama untuk menyingkir dari pengejaran musuh-musuhnya. Sementara itu, tak lupa kakek itu melatih Yang Cien dengan ilmu silat dan ilmu sastra. Dalam kedua ilmu ini, ternyata Yang Cien berbakat sekali sehingga dia memperoleh banyak kemajuan".
"Kong-kong," kata Yang Cien ketika dia berusia empat belas tahun dan sudah tahu akan keadaan mereka yang dikejar-kejar musuh.
"Sungguh tidak enak kalau kita harus berpindah-pindah dan melarikan diri. Hidup ini rasanya tidak tenang selalu. Kenapa kita berdua tidak menanti sampai mereka datang dan melawan merwka saja, kong-kong?".
Kakeknya menghela napas panjang.
"Semangatmu untuk melawan itu memang baik sekali, Yang Cien. Akan tetapi kalau hanya dengan semangat dan keberanian saja, maka akhirnya akan mati konyol. Tidak, engkau harus tetap hidup untuk melanjutkan cita-cita ayahmu yang ingin mempersatukan seluruh negeri dan mengusir bangsa Toba dari tanah air."
"Hemmm, engkau tidak tahu. Musuh ayahmu banyak sekali dan musuh utamanya adalah Bong Ji Kun, bekas menteri yang dipecat oleh Raja karena koropsinya di bongkar ayahmu. Bong Ji Kun itu kaya raya dan mampu membayar jagoan yang berilmu tinggi dengan upah besar. Menurut kabar terakhir, dia telah berhasil membujuk Toat Beng Giam Ong untuk melakukan pengejaran terhadap kita dan untuk melawan Toat-beng Giam Ong, tenaga kita tidak akan mampu. Dahulupun ketika aku masih kuat dan muda, belum tentu aku mampu menandingi Toat-beng Giam-ong (Malaikat Maut pencabut nyawa), apalagi sekarang aku sudah tua."
"Kalau kita berdua mengeroyoknya, apakah kita tidak akan mampu mengalahkannya, kek?".
"Aih, kita berdua juga tidak akan menang. Apalagi, datuk sesat itu tentu memiliki banyak anak buah. Sudahlah, hilangkan pikiranmu yang hendak melakukan perlawanan kepada para pengejar dan pencari kita."
"Akan tetapi aku sudah bosan berlari-lari seperti ini. Bagaimana kalau kita mencari tempat yang sepi, yang rahasia, yang tidak akan lagi di datangi orang? Disana kita dapat hidup tenang dan aku dapat mempelajari dan memperdalam ilmu silatku tanpa gangguan."
"Tempat tersembunyi dan rahasia yang tidak akan di datangi orang? Ahhh, aku jadi teringat akan sebuah tempat yang ku rasa cocok dengan yang kau maksuditu, Yang Cien. Akan tetapi kurasa tempat itu juga mengandung bahaya, walaupun bahayanya lain dari bahaya pengejaran musuh-musuh kita."
"Dimana tempat itu, kong-kong?"
"Sebetulnya sudah tidak jauh lagi dari sini, di sebuah puncak di antara puncak-puncak yang banyak terdapat di Thaisan, yang berada dibawah puncak itu dan di sebut Lembah Iblis."
"Lembah Iblis? "Yang Cien bertanya heran.
"Kenapa disebut Lembah Iblis?".
"Entahlah, sudah ratusan tahun lamanya lembah itu di sebut Lembah Iblis dan menurut kepercayaan orang di situ, memang tempat tinggal iblis dan setan sehingga tidak pernah ada orang berani naik ke sana. Bahkan seorang kangouw sekalipun akan berpikir seratus kali lebih dulu sebelum berani naik ke sana. Hutannya lebat, binatang hutannya banyak dan buas."
"Ah, agaknya baik sekali untuk kita bersembunyi, Kek. Aku lebih senang menghadapi ancaman binatang buas atau iblis sekalipun dari pada ancaman pengejaran yang tidak ada hentinya selama empat tahun ini."
Demikianlah, untuk menghindari pengejaran Toat-beng Giam-ong Lui Tat dan anak buahnya, kakek Yang kok It akhirnya menuruti permintaan Yang Cien dan mereka masuk ke Lembah Iblis. Dan ketika mereka menyusup-nyusup ke dalam hutan lebat itulah mereka melihat betapa Akauw akan di bunuh oleh Boan Ki.
Akan tetapi, semua ini tidak diceritakannya kepada Akauw. Dan sejak hari itu, kakek dan cucunya menjadi pengganti Boan Ki, tinggal bersama Akauw.
Sungguh hal ini amat menguntungkan Akauw, karena barulah dia tahu bahwa bangsanya ada yang berwatak baik sekali seperti kakek dan cucunya ini.
Mereka mengajarkan dia sehingga bahasanya menjadi semakin teratur dan semakin lengkap. Bahkan kakek Yang Kok It yang melihat tenaga alam yang ada pada tubuh Akauw, cekatan dan kuat seperti kera besar, lalu dia mulai mengajarkan ilmu silat kepada Akauw. Dan ketika dia mengajarkan Kauw-kun (Silat Monyet) kepadanya, Akauw dapat melakukan nya dengan baik sekali, bahkan lebih baik dari kakek itu sendiri! Dan memang gerakan-gerakan silat ini inti sarinya atau dasarnya di ambil dari gerakan seekor monyet, sudah dimiliki oleh Akauw. Bahkan Yang Cien sendiri yang sudah belajar sejak kecil, tidak mungkin dapat menandingi Akauw dalam hal kegesitan dan tenaga otot.
Setelah hidup bersama kakek dan cucu ini, Akauw mempelajari banyak tata cara kehidupan manusia dan sopan santun. Banyak pula tahu tentang kesusilaan. Hanya satu hal yang tidak di sukai Akauw, yaitu belajar membaca. Dia merasa sukar sekali dan akhirnya dia menolak untuk belajar membaca dan menulis. Dianggapnya pelajaran itu terlalu mengikat dan memaksa dia mengingat-ingat terus sampai kepalanya terasa puyeng!.
Dari Yang Cien, dia dapat mendengar banyak tentang kehidupan bangsanya, bangsa manusia, di kota-kota besar. Di gambarkan oleh Yang Cien tentang rumah-rumah, tentang pakaian yang indah-indah dan lain-lain dan semua itu amat menarik perhatian Akauw. Biarpun dia lebih banyak bergaul dengan Yang Cien, namun dia tidak pernah melupakan kawan-kawan keranya.
Yang Cien sampai melongo terheran-heran melihat Akauw bergelut dan bermain-main dengan para kera itu jauh tinggi di atas pohon, berayun-ayun, berlompatan, bahkan cecowetan bercakap-cakap!
Dari keterangan Akauw bahwa empat lima tahun yang lalu dia bertemu dengan Boan Ki sebagai manusia pertama yang di jumpainya, maka Yang Cien dapat menduga bahwa Akauw hidup sejak bayi diantara kera sampai berusia kurang lebih sepuluh tahun. Sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali. Dan Yang Cien yang dekat dengan Akauw ini mulai berkenalan dengan kera-kera besar itu dan suka ikut bermain-main pula.
Kalau sedang melakukan latihan ilmu silat dengan Akauw, biarpun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, namun dia merasa betapa cepatnya gerakan pemuda yang kini di sebut sue (adik seperguruan) itu. Akauw juga di ajari untuk menyebut suheng (kakak seperguruan) kepadanya. Bahkan agak sukar baginya untuk mengalahkan Akauw saking cekatannya sutenya itu, kecuali kalau dia mengerahkan sin-kang, barulah dia mampu mengatasi tenaga otot adiknya itu.
Di samping ilmu silat, yang kebanyakan dilatih oleh Yang Cien, kakek Yang Kok It juga mengajari Akauw untuk menghimpun siu-lan (bermeditasi). Akan tetapi, Akauw juga tidak sabar dengan latihan Samadhi itu, maka dia sukar memperoleh kemajuan dalam hal ini.
Tanpa terasa, mereka tinggal di dalam lembah itu selama lima tahun! Dan tak pernah sekalipun ada orang yang melakukan pencarian sampai ke tempat itu. Mereka benar-benar hidup tentram dan penuh damai, akan tetapi juga terasing, tidak pernah bergaul dengan manusia lain.
Pada suati pagi, ketika Yang Cien dan Kauw Cu terbangun dari tidurnya, mereka terheran melihat kakek Yang Kok It masih belum bangun. Biasanya, kakek itu pagi-pagi sekali sudah bangun.
Melihat Yang Cien menangis, Akauw tidak kuat menahan dan diapun mengalirkan air mata, akan tetapi dia belum tahu mengapa suhengnya menangis, dan apa artinya meninggalkan mereka itu. Kakeknya akan pergi kemana?
"Kong-kong, engkau hendak pergi kemanakah, kong-kong?".
"Cucu-cucuku, bahkan para Nabi pun mengalami sakit dan kematian. Aku tidak menyesal, telah mendidik kalian dan ku rasa kalian sekarang sudah memiliki bekal untuk menjaga diri.
Yang Cien sutemu masih belum berpengalaman, juga ilmunya tidak sematang engkau. Jangan membiarkan dia seorang diri, akan tetapi biarkan dia bersamamu. Anggaplah dia itu adikmu sendiri, Yang Cien."
"Baik, kong-kong......"
"Kauw Cu, engkau harus memenuhi pesanku ini. Engkau jangan memisahkan diri dari kakakmu, dalam segala hal engkau harus menaati kata-kata kakakmu.
Kalau aku sudah tidak ada, maka anggaplah suhengmu sebagai penggantimu."
"Ah, engkau belum mengerti, Akauw?. Agaknya... sudah tiba saatnya aku meninggalkan kalian, meninggalkan dunia ini.... Sudah tiba saatnya aku... mati....
"
"Kong-kong....! "Kini baru Akauw mengerti dan dia berteriak sambil menubruk kakeknya, merangkul dan menangis.
"Jangan mati, kong, jangan mati...""!"
Melihat ini, Yang Cien memegang pundak sutenya.
"Tenanglah, sute dan kita biarkan kong-kong beristirahat," mereka lalu membantu kakek itu merebahkan diri.
Kakek itu mendapat serangan penyakit mendadak, penyakit tua dan pada malam hari itu juga meninggal dunia dengan tenang.
Yang Ciean menangis dan Akauw keluar dari gubuk, berayun-ayun dari dahan ke dahan sambil menjerit-jerit seperti kera yang sedang marah.
Sebelum menghembuskan napas terakhir, kakek itu berpesan kepada Yang Cien.
"sekarang sudah tiba saatnya engkau meninggalkan tempat ini, Yang Cien. Ajaklah Kauw Cu memasuki dunia ramai.
Musuh tentu sudah melupakan engkau yang kini telah dewasa, dan usahakan agar cita-cita ayahmu menyatukan seluruh Negara menjadi kenyataan."
Semalam itu mereka berdua tidak tidur, menunggui jenazah kakek Yang Kok It sambil menangis tanpa suara. Keduanya merasa kehilangan sekali. Kehilangan kakek, kehilangan guru, juga pengganti orang tua yang baik sekali.
Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 10 Asmara Si Pedang Tumpul Eps 3 Si Bayangan Iblis Eps 10