Ceritasilat Novel Online

Naga Beracun 9


Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Bagian 9




   Kini, gurunya yang sudah mati itupun melampiaskan dendamnya kepadanya karena kesalahannya tidak mentaati perintahnya menikah dengan Kwa Bi Lan.

   Dan pembalasan dendam ini dilakukan mendiang suhunya melalui Bi Lan! Mungkinkah Kwa Bi Lan setelah menjadi murid dan isteri Liu Bhok Ki, mewarisi pula watak pendendam yang hebat itu?

   Karena tidak adanya Hong Lan, Han Beng menggembleng The Siong Ki dengan sungguh- sungguh. Dan anak ini memang berbakat baik sekali sehingga memperoleh kemajuan pesat.

   Ke manakah perginya Kwa Bi Lan yang membawa lari Si Hong Lan sehingga setelah lewat beberapa bulan, suami isteri perkasa dari Hong-cun itu tidak berhasil menemukan jejaknya?

   Mari kita ikut jejak Bi Lan setelah ia meninggalkan dusun Hong-cun sambil memondong Hong Lan. Biarpun Kwa Bi Lan bersikap manis kepada Hong Lan, menghiburnya sepanjang jalan, bahkan membelikan pakaian dan mainan di toko, tetap saja Hong Lan mulai rewel ketika ia teringat akan ayah bundanya dan merindukan mereka, juga merindukan Siong Ki.

   Berulang kali ia rewel, menangis dan minta pulang. Bi Lan yang tidak mempunyai pengalaman dengan anak -anak, berusaha semampunya untuk menghibur, namun Hong Lan tetap menangis.

   Saking jengkel dan sedihnya, ketika pada suatu malam Hong Lan menangis terus di dalam kamar sebuah rumah penginapan, Bi Lan juga ikut menangis!

   Dan sungguh aneh, begitu Bi Lan menangis, Hong Lan berhenti menangis! Anak itu memandang Bi Lan yang menangis dengan kedua mata merah. Sinar matanya penuh keheranan, bahkan mengandung iba.

   "Bibi.... kenapa menangis" .

   Sungguh aneh, begitu mendengar anak itu berhenti menangis dan bertanya kepadanya mengapa ia menangis, Bi Lan makin mengguguk menangis, merangkul anak itu dan tangisnya menjadi tersedu-sedu!

   Sudah terlalu lama ia tidak menangis, terlalu lama memendam duka yang disembunyikan saja di dalam hatinya, tidak pernah mendapat kesempatan mengeluarkan duka nestapa yang menekan hatinya. Kini ditanya mengapa ia menangis oleh suara kanak-kanak itu, ia menjadi demikian sedih, demikian terharu sehingga ia terguguk seperti anak kecil! Hong Lan semakin kasihan kepada wanita yang selama ini amat manis dan baik kepadanya, yang agaknya bahkan lebih baik dan lebih sayang padanya daripada ibunya sendiri.

   Maka, melihat wanita ini mengguguk, iapun merangkul dan mencium pipi yang basah itu.

   "Bibi, jangan menangis.... bibi, jangan menangis....."

   Ia merengek, agak ketakutan melihat wanita itu menangis begitu sedihnya.

   Mendengar ini, Bi Lan mengerahkan tenaganya untuk menahan dan menghentikan tangisnya. Ia mengangkat mukanya yang masih basah, dan ia memaksa tersenyum sambil memandang wajah anak itu yang juga masih basah.

   "Tidak, aku tidak menangis, Hong Lan sayang, aku tidak menangis......lihat, aku sudah tertawa."

   Hong Lan menatap wajah itu. Wajah yang memelas sekali, nampaknya saja mulut itu tersenyum ramah, akan tetapi dua matanya merah dan pipinya basah mata. Tangis campur tawa yang mengharukan. Namun, anak itu agaknya lega begitu Bi Lan tidak mengguguk lagi.

   Dengan jari tangannya yang kecil-kecil, Hong Lan mengusap bawah kedua mata Bi Lan.

   "Bibi, kenapa tadi menangis?"

   Hong Lan menciumnya penuh kasih sayang. Ia dapat merasakan kehangatan kasih sayang anak itu kepadanya dan lebih dari pada itu, kehangatan rasa cinta kasihnya kepada anak itu! Alangkah melegakan dan membahagiakan, dapat mencurahkan kasih sayang kepada seseorang, apa lagi kalau dibalasnya!

   Dibalas atau tidak, mencurahkan kasih sayang ke seseorang merupakan kebahagiaan yang sejak kematian suaminya tak pernah ia rasakan lagi! Dan kini, seluruh kerinduannya akan kasih sayang, baik memberi atau menerima, ia curahkan kepada Hong Lan!

   "Anakku yang baik. aku menangis karena melihat engkau menangis, aku bersedih kalau engkau menangis, Hong Lan."

   "Aku tidak akan menangis lagi, bibi...." Bi Lan menciumnya dan mendekap muka anak itu ke dadanya.

   "Anakku.... kau anakku yang manis, kenapa kau tidak menyebut ibu kepadaku? Sebut aku ibu, Hong Lan..."

   "Tapi... engkau bukan ibuku......" Hong Lan memandang ragu.

   Bi Lan kembali menciumnya penuh kasih sayang."Anakku, mulai sekarang, aku jadi pengganti ibumu, juga pengganti ayahmu, pengganti suhengmu, pengganti segalanyanya. Sebut aku ibu dan engkau membuat aku senang sekali, Lan Lan!"

   Hong Lan terbelalak girang mendengar sebutan itu."Ibu juga memanggilku Lan Lan!"

   Bi Lan tersenyum."Tentu saja, dan akupun sekarang menjadi ibumu dan memanggilmu Lan Lan. Nah, kau mau bukan menjadi anakku dan menyebutku ibu?"

   Lan Lan tersenyum dan mencium pipi wanita itu," Aku senang sekali, ibu."

   B i Lan mendekap anak itu dan merasa berbahagia bukan ma in. Dan sejak malam itu, benar saja Lan Lan tidak pernah rewel lagi. Bahkan karena pandainya Bi Lan menghiburnya, dan mengajaknya melihat-lihat kota-kota yang ramai, pemandangan yang indah-indah, lambat laun Lan Lan mulai melupakan ayah, ibu dan suhengnya. Mereka itu makin kabur seperti merupakan bayang-bayang dalam mimpi saja.

   Sebulan setelah Bi Lan melarikan Lan Lan dari rumahnya, pada suatu siang jalanannya melalui sebuah hutan di tepi sungai. Ia memang menuju ke barat untuk pulang ke Kim-hong-san, tempat tinggal mendiang suaminya, untuk hidup di sana berdua dengan Lan Lan.

   Karena berjalan ke barat melawan arus air Sungai Huang ho, maka ia melakukan perjalanan lewat darat, menyusuri sepanjang pantai sungai yang amat lebar itu.

   Dan siang itu, sambil memondong Lan Lan yang kini tidak rewel lagi, Bi Lan berjalan memasuki hutan di pantai sungai. Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya karena pendengarannya menangkap gerakan orang di belakangnya.

   Ia menengok dengan cepat dan melihat bayangan orang berkelebat cepat sekali, menyelinap lenyap di antara pohon-pohon. Ia tidak dapat melihat jelas karena gerakan orang itu cepat sekali, hanya tahu bahwa orang itu tentu seorang pria yang berpakaian serba biru. Karena sampai beberapa lamanya ia menanti, tidak ada gerakan yang mencurigakan, iapun melanjutkan perjalanan.

   Baru puluhan langkah ia berjalan, ia berhenti lagi karena terdengar tiupan suling yang amat merdu. Suara suling itu meliuk-liuk, turun naik dengan getaran halus. Bi Lan memejamkan kedua matanya. Suara suling itu demikian indah, melengking halus dan seperti menarik-narik jantungnya, dan tak terasa lagi dua titik air mata tergenang di pelupuk matanya. Tiupan suling itu demikian merdu, demikian indah, akan tetapi juga mengharukan seperti tangis sebuah hati yang mer ana. Sepantasnya orang yang meniup suling seperti itu adalah seorang yang sedang dilanda duka, pikirnya.

   Akan tetapi, sungguh mengherankan. Siapa pula yang pandai meniup suling seperti itu di tengah hutan lebat yang sunyi ini? Bi Lan melihat pula betapa Lan Lan juga memperhatikan suara itu.

   "Ibu, suara apakah itu?"

   "Itu suara suling, Lan Lan. Suara suling yang ditiup oleh seorang ahli, amat indahnya."

   "Seperti ada yang menangis, ibu," kata anak itu.

   Betapa tajam dan peka perasaan anakku ini, pikir Bi Lan dengan bangga. Memang tak salah lagi, peniup suling itu dilanda kesedihan dan tangis dari hatinya keluar melalui tiupan sulingnya.

   Maka, iapun mempergunakan kepandaiann dan berlari cepat ke arah suara itu dan melihat si penyuling! Jantungnya berdebar. Seorang pemuda yang tampan berpakaian seperti seorang pelajar atau sastrawan, sedang duduk di bawah pohon dan meniup sulingnya.

   Yang membuat ia berdebar bukan karena pemuda itu tampan sekali, wajahnya yang dilindungi caping lebar itu memiliki hidung yang besar mancung, dan bibir yang nampak sayu. Yang membuat Bi Lan terkejut adalah pakaian sasterawan muda itu.

   Serba biru! Ia teringat akan orang yang tadi berkelebat di belakangnya. Bagaimana kini tahu - tahu orang itu telah berada jauh di depannya dan meniup suling? Ia tidak melihat orang berlari melewatinya! Kalau benar peniup suling ini orang yang tadi berkelebat di belakangnya, alangkah cepatnya orang itu dapat berada di situ.

   Biarpun hatinya tertarik, akan tetapi karena ia tidak mengenal orang itu, tidak sepantas nya kalau ia terlalu lama memperhatikan seorang laki-laki asing, maka iapun berjalan terus meninggalkan tempat itu sambil memondong Lan Lan yang terus memandang ke arah si peniup suling yang agaknya juga tidak memperdulikan mereka, melainkan asyik meniup suling sambil menundukkan mukanya.

   Sambil berjalan terus meninggalkan pemuda itu sampai suara sulingnya tidak terdengar lagi, mau tidak mau Bi Lan masih terkenang kepada si peniup suling. Harus diakuinya bahwa pria muda itu tampan sekali, dan nampaknya seperti seorang sasterawan muda yang lemah. Akan tetapi, iapun tahu bahwa di dunia kang-ouw terdapat banyak orang yang nampaknya lemah akan tetapi sesungguhnya memiliki kepandaian tinggi.

   Mendiang gurunya yang juga suaminya pernah memesan agar dia berhati-hati dan tidak memandang rendah kepada empat macam orang, yaitu pertama wanita yang tampaknya lemah walaupun memiliki ilmu yang tinggi, ke dua kaum pendeta yang juga kelihatan lemah lembut, ke tiga pengemis yang nampaknya saja lemah dan sengsara, dan ke empat sastrawan, karena mereka ini kadang-kadang menyembunyikan ilmu yang tinggi dan merupakan lawan yang amat berbahaya.

   Yang amat mengesankan hatinya bukan ke tampanan pria itu, melainkan tiupan sulingnya. Biarpun kini sudah tidak terdengar lagi suara sulingnya, namun masih terngiang di telinganya suara yang meliuk-liuk merdu dan mengharukan itu.

   Lamunan Bi Lan dan kantuk Lan Lan dalam pondongannya terganggu ketika mendadak muncul sepuluh orang yang berloncatan dari balik batang pohon-pohon di kanan kiri jalan setapak itu. Begitu melihat, Bi Lan mengerti bahwa ia berhadapan denagn gerombolan penjahat! Sikap mereka saja sudah jelas menunjukkan bahwa mereka bukan orang baik-baik dan termasuk gerombolan yang suka memaksakan kehendak mengandalkan kekerasan.

   Juga mereka semua itu menyeringai menjemukan dengan sepasang mata yang membayangkan kecabulan. Seorang di antara mereka yang gendut dan segala-galanya bundar, kepalanya, hidungnya, matanya, bentuk mulutnya, perutnya, semua bundar, melangkah maju. Sebatang golok besar tergantung di pinggangnya dan sejenak dia mengamati wajah dan tubuh Bi Lan, kemudian tertawa bergelak dengan girang.

   "Ha-ha-ha, inilah orangnya yang pantas menjadi isteriku! Kawan-kawan, bagaimana pendapat kalian? Sudah patutkah perempuan ini kalau duduk bersanding denganku sebagai isteriku?"

   Sembilan orang anak buahnya juga tertawa-tawa dan menyengir-nyengir dengan sikap ceriwis sekali.

   "Sudah cocok sekali, toako! Akan tetapi hati-hati, ia membawa anak dan di punggungnya ada sepasang pedang!"

   "Ha-ha-ha, anak inipun mungil sekali. Kalau anaknya, anak ini menjadi anak isteriku yang manis. Kalau adiknya, kebetulan! Dan tentang sepasang pedangnya, ha-ha-ha, itu hanya untuk menakut- nakuti orang saja. Bukankah begitu, manis?"

   Dapat dibayangkan betapa marahnya Bi Lan melihat sikap dan mendengar ucapan yang amat menghina itu. Kalau saja ia tidak sedang memondong Lan Lan, tentu ia sudah mengamuk dan membunuh semua orang itu. Akan tetapi, ia memondong Lan Lan yang kini sudah terbangun dari kantuknya. Ia harus berhati-hati dan melindungi anak itu.

   Maka ia menahan sabar, karena kemarahan hanya akan merugikan dirinya, mengurangi kewaspadaannya.

   "Kalian adalah sepuluh laki-laki, kenapa begitu rendah menghadang dan mengganggu seorang wanita yang sedang melakukan perjalanan? Minggirlah, aku tidak ingin mencari keributan."

   Katanya dengan nada suara yang dibikin setenang mungkin.

   "Ha-ha-ha, manis. Siapa yang akan mengganggumu? Aku bahkan meminangmu. Aku ingin melamarmu menjadi isteriku, sayang. Marilah ikut baik-baik denganku dan kita merayakan hari perkawinan kita. Anakmu itu akan menjadi anakku juga," kata si gendut dengan keramahan yang dibuat-buat.

   "Aku tidak mau menikah denganmu atau dengan siapapun. Minggirlah!" kini dalam suara Bi Lan terdengar bentakan.

   "Nona manis, aku harus menjadi suamimu. Engkau mau atau tidak, harus menjadi isteriku. Nah, tinggal kaupilih saja. Engkau menurut dengan baik-baik atau ingin dipaksa?" kini si gendut mengancam.

   "Sudah kuduga. Kalian tentu segerombolan anjing yang suka mempergunakan kekerasan melakukan kejahatan! Majulah kalau engkau minta mati!" bentak Bi Lan dan ia menggunakan sabuk suteranya untuk menggendong Lan Lan di punggung setelah melolos sepasang pedangnya dan menggantungnya di pinggang.

   Anak itu duduk di atas buntalan pakaian dan diikat dengan sabuk sutera yang biasanya menjadi senjata pula bagi Bi Lan. Kini, kedua tangan wanita itu bebas, walaupun gerakannya tentu saja kurang leluasa dengan adanya Lan Lan di punggungnya.

   Yang membuatnya kagum, anak itu tidak menangis, tidak kelihatan takut walaupun menghadapi sepuluh orang laki-laki yang kelihatan beringas dan Kejam. Pantas memang Lan Lan menjadi puteri suami isteri pendekar besar.

   "Ho-ho-ha-ha-ha! Perempuan ini bernyali juga! Aku makin tergila-gila kepadanya!" kata si gendut."Aku paling jemu dengan kuda betina yang jinak, aku ingin yang liar seperti ini, ha-ha-ha!"

   Dia masih tertawa ketika tubuhnya tiba-tiba menyerbu ke depan. Sungguh merupakan serangan yang amat curang, menggunakan kesempatan selagi dia masih tertawa sehingga lawan akan menjadi lengah. Akan tetapi, Bi Lan sama sekali tidak lengah.

   Tidak percuma menjadi murid dan isteri Si Rajawali Sakti. Dari suaminya itu ia telah mendapatkan ilmu silat yang tangguh dan kokoh kuat. Begitu si gendut menubruk dengan kedua lengan berkembang, seperti seekor beruang menyerang, tubuh Bi Lan sudah mengelak ke kiri dan kaki kanannya melakukan tendangan ke arah perut gendut itu.

   Demikian cepat geraka Bi Lan sehingga tendangan itu tidak mungkin dapat dielakkan atau ditangkis lagi oleh si gendut.

   "Bukk......! Duuuuuuttt......!" perut itu ternyata kebal, akan tetapi karena tendangannya mengandung sin-kang yang kuat, tidak urung isi perutnya terguncang dan tak tertahankan lagi si gendut kelepasan membuang gas dengan bunyi kentut yang nyaring.

   Mendengar suara kentut itu, Lan Lan berseru."Ihhhh......kentut bau...!" dan dengan lucunya, bukan pura-pura Lan Lan memijat hidungnya dengan tangan kiri.

   Mau tidak mau, kawanan perampok itu tertawa geli, dan baru mereka berhenti tertawa ketika pimpinan mereka yang merasa perutnya agak mulas itu membentak mereka.

   "Apa tertawa! Hayo tangkap perempuan ini.! Awas, jangan lukai, aku tidak ingin pengantinan dengan mempelai yang luka-luka!"

   Sembilan orang anak buah itu menerima perintah ini denga n gembira. Siapa yang tidak ingin menangkap wanita cantik itu? Biarpun akhirnya diserahkan kepada pimpinan mereka, setidaknya yang menangkapnya mempunyai kesempatan untuk merangkul, memeluk dan setidaknya mencolek tubuh yang montok itu! Mereka maju dengan cepat seperti sekumpulan anjing memperebutkan tulang, berlomba untuk dapat menangkap Bi Lan.

   Akan tetapi, kegembiraan mereka segera berubah menjadi teriakan- teriakan kesakitan ketika Bi Lan membagi-bagi tamparan dan tendangan dengan cepat sebelum ada tangan yang mampu menyentuhnya.

   Para pengeroyok itu berpelantingan terhuyung dan biarpun tidak ada yang roboh dan terluka parah, namun sedikitnya mereka menjadi gentar. Ada yang pipinya bengkak membiru, bibirnya pecah atau perutnya mulas seketika karena usus buntunya tercium ujung sepatu Bi Lan.

   Ada yang terpincang-pincang karena sambungan lututnya terkena gajulan yang cukup kuat. Melihat betapa sembilan orang anak buahnya mundur semua, si gendut menjadi marah. Dia lupa bahwa dia sendiri pun tadi terkena tendangan sampai terkentut-kentut walaupun perut gendutnya yang kebal membuat dia tidak jatuh dan memaki-maki anak buahnya.

   "Kalian ini gentong-gentong kosong melompong yang tiada gunanya!" Akan tetapi agaknya dia menyadari bahwa wanita itu ternyata bukan makanan empuk, maka dia menambahkan,"Hayo keroyok, robohkan dengan senjata! Aku tidak perduli berpengantinan dengan mempelai luka!"

   Para anak buahnya yang juga marah mencabut senjata mereka. Ada yang bersenjata golok, ada yang memegang pedang, tombak dan lain-lain. Dan mereka mengepung Bi Lan. Bi Lan merasa khawatir.

   Kalau ia tidak menggendong Lan Lan, tentu pengerokan orang-orang kasar itu tidak membuat ia gentar. Kini ia khawatir akan keselamatan Lan Lan.

   "Lan Lan, rangkul leher ibu kuat-kuat!" teriaknya sambil mencabut sepasang pedang yang tergantung di pinggang. Anak itu memang tabah bukan main. Melihat"ibunya" berkelahi, ia tidak takut sama sekali dan mendengar perintah ibunya, iapun cepat merangkulkan kedua lengannya yang kecil ke leher Bi Lan.

   Sepuluh orang perampok itu menyerang dan Bi Lan memutar kedua pedangnya. Gerakan pedangnya cepat dan juga mengandung tenaga sin-kang yang membuat setiap senjata lawan yang bertemu pedangnya terpental. Semua perampok terkejut dan mereka mengepung dan mengeroyok dengan hati-hati, maklum bahwa wanita cantik ini benar-benar amat lihai.

   Namun, dengan adanya Lan Lan di gendongannya,tentu saja Bi Lan menjadi kurang leluasa dan ia lebih mengutamakan perlindungan terhadap anak itu sehingga daya serangnya berkurang. Si perut gendut melihat hal ini dan diapun berteriak kepada teman-temannya,

   "Serang anak di gendongan itu!" Bi Lan terkejut.

   Kini para pengeroyok menujukan serangan mereka ke arah punggungnya! Tentu saja ia hanya dapat memutar sepasang pedang untuk membentuk benteng sinar yang menjadi perisai dan melindungi punggungnya dari sambaran senjata para pengeroyok! Karena ia hanya bertahan, tidak berani lengah untuk balas menyerang, ia segera terdesak!

   Pada saat itu, terdengar suara halus namun lantang berwibawa,

   "Nona, lemparkan anak itu kepadaku. Biar aku yang sementara menjaganya untukmu!"

   Bi Lan melirik dan melihat bahwa yang berteriak itu adalah seorang pemuda tampan berpakaian biru bercaping lebar. Pemuda peniup suling tadi! Entah mengapa, ia percaya sepenuhnya kepada pemuda itu, dan memang Lan Lan terancam bahaya, maka iapun memutar pedang kanannya, menggunakan tangan kiri untuk menurunkan Lan Lan dari gendongan.

   "Lan Lan, engkau ikut paman itu dulu!" katanya dan sekali ia menggerakkan tangan kiri, anak itu dilemparkan ke arah pemuda peniup suling.

   Dan hatinya lega melihat betapa sigapnya pemuda itu menyambut Lan Lan yang mendarat dengan empuk dalam pondongannya.

   "Nah, di sini lebih enak, kan? Kita nonton pertempuran!" kata pemuda itu sambil menurunkan Lan Lan dan berdiri di situ, menggandeng tangan Lan Lan. Biarpun tadi ia dilempar, Lan Lan tetap tabah dan sama sekali tidak berteriak, apa lagi menangis. Setelah melihat Lan Lan berada dengan pemuda itu dan ia tidak lagi dibebani tugas melindungi Lan Lan, Bi Lan mengamuk.

   Pedangnya menyambar-nyambar dahsyat dan dalam beberapa gebrakan saja, robohlah dua orang pengeroyok dengan pundak dan paha terluka parah.

   "Aih, jangan bunuh mereka, nona..!" Pemuda itu berkata dan tiba -tiba dia memondong tubuh Lan Lan.

   Dia sendiri, dengan Lan Lan di pondongan, bergerak ke depan, kedua kakinya menyambar-nyambar dan setiap kali kakinya menyambar, seorang pengeroyok roboh! Bi Lan merobohkan dua orang lagi, dan selebihnya, yang enam orang, roboh oleh tendangan kaki pemuda itu! Bi Lan yang marah sekali, menggerakkan sepasang pedangnya hendak mengirim serangan maut membunuh sepuluh orang itu, akan tetapi pemuda itu sekali berkelebat sudah berdiri di depannya.

   "Nona, jangan membunuh mereka!" Bi Lan memandang tajam penuh selidik.

   "Hem, kenapa? Bukankah mereka itu orang-orang jahat yang hanya membahayakan kehidupan orang-orang lain? Kalau tidak dibunuh, mereka tentu aka mencelakai orang lain."

   Pemuda itu menarik napas panjang lalu menurunkan Lan Lan. Anak itupun menghampiri Bi Lan dan memegang tangan Bi Lan yang masih memegang pedang.

   "Nona, kalau setiap orang yang melakukan kejahatan di dunia ini kaubunuh, kiraku tidak akan ada yang tinggal hidup. Adakah manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya? Adakah manusia yang tidak berdosa?"

   Bi Lan mengerutkan alisnya."Akan tetapi, tidak semua orang menjadi perampok, pengganggu wanita dan pembunuh!"

   "Nona, manusia itu lemah lahir batin. Bukan hanya lahirnya saja, tubuhnya saja yang lemah dan suka diserang penyakit. Juga batinnya lemah dan suka sakit. Semua orang mengalami penyakit batin ini, hanya kadarnya saja yang berbeda, ada yang ringan dan ada yang berat. Orang yang menyeleweng dari kebenaran, yang menjadi penjahat, sebenarnya hanyalah orang yang sedang sakit batinnya. Orang yang sakit harus kita tolong, kita obati, yaitu kalau yang sakit badannya. Kalau yang sakit batinnya, kitapun harus menolong dengan obat berupa nasihat, atau kalau perlu ancaman. Akan tetapi, bukan lalu membunuhnya. Ingat, nona, orang sakit dapat sembuh, dan yang sehat dapat jatuh sakit. Orang yang berbuat jahat dapat sembuh, dan yang sekarang kelihatan baik-baik saja, sekali waktu dapat jatuh dan berbuat jahat. Semua orang pernah sakit, nona. Termasuk aku sendiri. Sakitku amat berat, dan mudah- mudahan sekarang telah sembuh."
(Lanjut ke Jilid 11)
Naga Beracun (Seri ke 02 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11
Ucapan itu berkesan di hati Bi Lan. Bahkan gurunya yang juga suaminya pernah mengakui bahwa gurunya itu dahulu juga pernah"sakit" parah, yaitu menderita sakit batin karena dendam.! Ucapan pemuda berpakaian biru itu sungguh berkesan di hati dan tanpa cakap lagi ia lalu menyimpan kembali sepasang pedangnya, memondong Lan Lan dan membungkuk kepada pemuda itu.

   "Mengingat bahwa engkau telah membantuku, biarlah aku menuruti nasihatmu dan tidak membasmi mereka. Terima kasih atas bantuanmu dan selamat tinggal."

   Setelah berkata demikian, Bi Lan pergi meninggalkan tempat itu. Pemuda itu masih berdiri seperti patung, tersenyum-senyum seorang diri, dan dia seperti tidak melihat atau tidak perduli ketika sepuluh orang perampok itu tertatih-tatih meninggalkan tempat itu dengan hati gentar.

   Sampai lama pemuda itu berdiri, bahkan lalu menjatuhkan diri duduk di atas batu, termenung dan kadang menengok ke arah perginya Bi Lan. Pemuda itu bukan orang sembarangan. Dia memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai karena dia bukan lain adalah Hong San! Putera mendiang Cui-beng Sai kong datuk besar dunia hitam itu, seperti kita ketahui, tadinya membantu pemberontakan Pangeran Cian Bu Ong.

   Akan tetapi karena semua gerakan bekas pangeran itu gagal, Cian Bu Ong membubarkan para pemban tunya dan Can Hong San juga pergi meninggalkan bekas pangeran itu, merantau seorang diri membawa bekal banyak emas yang diterimanya sebagai hadiah dari Pangeran Cian Bu Ong.

   Berbulan lamanya Can Hong San berdiam di puncak bukit merenungi keadaan hidupnya . Segala usaha yang dilakukannya gagal belaka! Hanya kepahitan dan kekalahan yang dideritanya. Mulailah dia melihat bahwa jalan yang ditempuhnya selama ini tidak menguntungkan, menuruti nafsu-nafsunya, hanya menyeretnya ke lembah kegagalan belaka.

   Timbul niatnya untuk mengubah jalan hidupnya untuk meninggalkan jalan sesat dan memilih jalan kebenaran. Mungkin sebagai seorang pendekar, dia akan dapat memanfaatkan kepandaiannya dan mendapatkan nama besar yang harum!

   Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan tanpa menilai, akan tampaklah dengan jelas bagaimana lihai, licin dan liciknya hati akal pikiran bekerja, hati akal pikiran yang sudah diperalat oleh nafsu-nafsu daya rendah.

   Bagaimanapun pikiran berkiprah, selalu tujuannya untuk mencari kesenangan dan menjauhi ketidak senangan. Keputusan apapun yang diambil oleh pikiran, selalu pasti mempunyai pamrih, yaitu demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri. Can Hong San sejak muda hidup bergelimang dosa, mengambil jalan sesat dan menjadi seorang yang terbiasa melakukan segala macam bentuk kejahatan.

   Semua ini hasil dari ulah hati akal pikiran yang bergelimang nafsu, yang sudah dicengkeram oleh nafsu daya rendah yang selalu mengejar kesenangan sehingga dalam pengejaran itu, Hong San tidak memperdu likan lagi caranya. Cara apapun akan ditempuhnya demi tercapainya kesenangan yang dikejarnya. Itulah pekerjaan nafsu daya rendah!

   Kemudian, pikiran melihat betapa semua perbuatan jahatnya tidak menguntungkan, bahkan merugikan! Maka, pikiran yang sudah bergelimang nafsu lalu mencari jalan lain. Untuk menghindarkan akibat yang tidak menguntungkan, untuk dapat mencapai kesenangan melalui jalan dan cara lain, kini pikiran Hong San membujuknya untuk mengambil jalan yang berlawanan menjadi seorang pendekar! Menjadi orang yang melakukan kebaikan, menentang kejahatan, yang tentu saja dengan pamrih agar mencapai kesenangan dan keuntungan!

   Jelaslah bahwa kebaikan yang disengaja, diatur dan direncanakan, bukanlah kebaikan lagi namanya. Itu hanya hasil dari pikiran bergelimang nafsu. Yang dinamakan perbuatan baik hanya dijadikan cara untuk mendapatkan kesenangan belaka. Kebaikan yang direncanakan pikiran adalah kebaikan palsu, pura-pura. Kalau ada orang yang"ingin menjadi orang baik", pada hakekatnya dia hanya ingin mendapatkan balas jasa atas kebaikannya itu.

   Kebaikan atau kebajikan adalah suatu sifat dari perbuatan yang tidak 1agi terdorong nafsu daya rendah. Perbuatan yang tidak didorong oleh pemikiran yang matang, melainkan perbuatan yang spontan, seketika karena terdorong kekuasaan yang murni dan suci, karena terdorong oleh kasih sayang!

   Kasih sayang bekerja selama pikiran sebagai si aku tidak muncul merajalela. Kasih sayang berubah menjadi nafsu menyenangkan diri sendiri begitu si aku masuk dan campur tangan. Aku ingin senang, aku ingin untung, aku tidak mau susah, aku tidak mau rugi, aku ingin.... aku ingin......aku ingin......demikianlah sifat nafsu dari daya-daya rendah yang mencengkeram dan mempengaruhi hati akal pikiran.

   Oleh karena itu, keinginan hati akal pikiran untuk mengubah diri menjadi"orang baik" hanya tipuan belaka, nukan menjadi"orang baik" melainkan menjadi"orang senang melalui perbuatan baik" yang pada hakekatnya hanya membuat kita menjadi munafik! Hati akal pikiran yang bergelimang nafsu tidak mungkin membersihkan diri sendiri! Satu-satunya harapan hanyalah menyerah kepada Tuhan Maha Kasih!

   Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu mengubah seseorang, membersihkan batin seseorang, mengembalikannya ke jalan benar. Kita hanya dapat mohon ampun,.. mohon bimbingan, dan menyerah dengan sabar, ikhlas, dan tawakal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Can Hong San tersenyum gembira.

   Wajahnya cerah karena dia merasa memperoleh jalan yang baik. Setelah mengambil keputusan untuk mengubah cara hidupnya, dia turun gunung dan kebetulan bertemu dengan Kwa Bi Lan yang menggendong seorang anak perempuan yang mungil.

   Begitu bertemu, hati Hong San berdebar dan tertarik sekali. Bukan tertarik yang menimbulkan nafsu berahi seperti yang sudah-sudah. Wanita yang dijumpainya ini lain! Memang cantik jelita dan menggairahkan, akan tetapi dia tertarik bukan hanya karena itu. Bukan gejolak berahi yang timbul di hatinya, melainkan kekaguman yang penuh pesona. Menurut pandangannya, belum pernah selama hidupnya dia berjumpa dengan wanita yang dapat menarik dan mengguncang perasaan hatinya seperti wanita yang mukanya bulat, berkulit putih mulus, berhidung mancung dan bermata tajam itu.

   Diam-diam Hong San mengikuti, bahkan lalu mendahuluinya dan sengaja meniup suling untuk menarik perhatian gadis itu. Juga untuk menguji bagaimana sikap gadis itu. Akan tetapi, gadis itu hanya melihat sebentar lalu melanjutkan perjalanan, acuh saja.

   Hal ini membuat dia semakin kagum. Gadis yang alim, pikirnya, bertata susila dan menjaga martabat dan kehormatan. Dia membayangi lagi dari jauh. Ketika dia melihat gadis yang menimbulkan rasa kagum luar biasa di hatinya itu dikeroyok sepuluh orang perampok, dia menjadi semakin kagum. Kiranya gadis itu bukan saja cantik jelita dan memiliki harga diri yang tinggi, akan tetapi juga gagah perkasa dan memiliki ilmu silat yang cukup hebat!

   Dia segera turun tangan membantu ketika melihat anak dalam gendongan itu terancam bahaya, dan ketika dia melihat gadis itu hendak membunuh semua perampok, iapun cepat turun tangan mencegahnya dengan merobohkan para perampok dan membujuk gadis itu agar tidak membunuh mereka. Semua ini dia lakukan dengan perhitungan, bukan karena dia merasa kasihan kepada sepuluh orang perampok rendah itu, melainkan karena dia ingin menjadi seorang"pendekar" dan ingin kelihatan baik budi di mata gadis yang dikaguminya itu.

   Mulailah hati akal pikiran dengan cerdik dan liciknya membujuk Hong San menjadi seorang munafik!

   Setelah Bi Lan pergi bersama Lan Lan, Hong San termenung. Gadis hebat! Dia betul-betul baru sekali ini merasa jatuh cinta, bukan jatuh berahi, melainkan jatuh cinta sungguh-sungguh. Kalau saja dia dapat berdampingan selamanya dengan gadis itu, dapat menjadi suami isteri, membentuk rumah tangga berkeluarga! Alangkah akan bahagianya.!"Ihh, khayal!" Hong San mencela diri sendiri dan dia teringat bahwa sudah terlalu lama dia membiarkan gadis pujaan hatinya itu pergi. Dia harus cepat mengejar kalau tidak mau kehilangan.

   Sambil berlari Hong San merasa heran sendiri terhadap perasaan hatinya. Dia merasa seperti pernah bertemu dengan gadis itu, atau setidaknya pernah melihatnya! Akan tetapi dia lupa lagi entah di mana. Sudah terlalu banyak dia bertemu gadis atau wanita muda yang cantik, maka dia tidak ingat lagi di mana dia bertemu dengan gadis itu. Akan tetapi, yang membuat dia merasa pernah bertemu terutama sekali adanya permainan sepasang pedang itu! Bi Lan melanjutkan perjalanan dengan cepat sambil menggendong Lan Lan yang tertidur.

   Hari telah menjelang senja dan ia harus mendapatkan sebuah rumah penginapan, di k ota, atau mondok di rumah penduduk dusun. Juga keributan tadi membuat ia tidak dapat memberi makan kepada Lan Lan, maka sore hari ini mereka harus mencari makanan.

   Ia merasa jengkel terhadap diri sendiri mengapa belum juga bayangan pemuda itu lenyap dari depan matanya. Masih terus terbayang wajahnya, terngiang suaranya. Heran, ia merasa pernah melihat pemuda itu, entah di mana dan kapan. Bi Lan dan juga Hong San lupa bahwa mereka bukan saja pernah saling berjumpa bahkan pernah saling serang!

   Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ketika Hong San berkelahi menghadapi pengeroyokan Lie Koan Tek dan Poa Liu Hwa, muncul Bi Lan yang membantu Lie Koan Tek, pamannya itu. Memang hanya merupakan perkelahian singkat, karena Hong San tidak mau melayani pengeroyokan mereka bertiga dan segera melarikan diri begitu Bi Lan muncul dan membantu dua orang yang mengeroyoknya.

   Matahari telah condong ke barat ketika Bi Lan memasuki kota Peng-lu di pantai selatan Huang- ho. Kota di pantai Sungai Kuning ini cukup besar dan ramai, dan dengan mudah Bi Lan mendapatkan sebuah kamar di hotel yang cukup bersih.

   Ia sudah membelikan pakaian untuk Lan Lan di kota yang dilewatinya beberapa hari yang lalu. Setelah memandikan Lan Lan dan mengganti pakaian anak itu, dan ia sendiripun sudah mandi dan bertukar pakaian bersih, ia mengajak Lan Lan keluar dari rumah penginapan dan mencari rumah makan.

   Kebetulan sekali tak jauh dari rumah penginapan itu terdapat sebuah rumah makan yang tidak begitu penuh tamu. Bi Lan memondong Lan Lan memasuki rumah makan itu disambut oleh seorang pelayan tua dengan ramah. Bi Lan memilih di sudut yang kosong dan memesan makanan, nasi sayur dan minuman teh.

   Tak lama kemudian, ia sudah menyuapi Lan Lan yang makan dengan lahapnya karena anak ini memang lapar, sejak pagi tadi belum makan. Sambil menyuapi Lan Lan, Bi Lan juga makan. Karena asyik makan sambil menyuapi Lan Lan, Bi Lan tidak tahu bahwa sejak tadi ada beberapa pasang mata memperhatikannya.

   Tiga pasang mata mengamatinya secara langsung dari sebuah meja terbesar di rumah makan itu, mata dari tiga orang yang berpakaian seperti perwira yang gagah dan gemerlapan. Ada pula sepasang mata mengamatinya dari tempat gelap di luar rumah makan, yaitu mata dari Can Hong San. Pemuda ini tidak mau memasuki rumah makan karena dia tidak ingin dianggap membayangi gadis itu. Baginya asal dapat melihat dan tahu di mana gadis itu berada sudah cukup.

   Akan tetapi, Hong San juga tahu bahwa tiga orang berpakaian perwira tinggi itu mengamati si gadis dengan sinar mata seperti singa kelaparan. Diapun memperhatikan mereka. Seorang di antara mereka berusia kurang lebih limapuluh tahun, pakaian perwiranya dihias benang emas gemerlapan dan sarung pedang yang tergantung di pinggangnya amat indah, seperti emas pula dan terukir, dengan gagang yang diukir kepala burung dan ada ronce-ronce benang sutera merah.

   Dua orang lainnya berusia kurang lebih empatpuluh tahun, dan agaknya merupakan perwira-perwira yang pangkatnya lebih rendah. Sikap merekapun merendah terhadap perwira tinggi yang lebih tua. Hong San memperhatikan perwira tinggi yang berusia limapuluh tahun itu. Dari sikap dan pandang matanya saja diapun dapat menduga bahwa perwira itu seorang yang cerdik dan agaknya memiliki ilmu kepandaian tinggi, sedangkan dua orang pembantunya juga orang-orang yang berpakaian rapi dan bersikap gagah.

   Perwira tinggi itu bertubuh tinggi, agak kurus dengan tulang pipi menonjol di bawah kanan kiri mata, hidungnya tinggi dan mulutnya yang lebar dengan bibir tebal membayangkan gairah yang besar. Mulut itu sebagian tertutup kumis tebal yang berjuntai ke bawah di kanan kiri mulutnya. Jenggotnya terpelihara rapi, digunting pendek. Kepalanya memakai topi perwira yang dihias sulaman benang emas pula.

   Tiga orang perwira itu sudah berada di dalam rumah makan ketika Bi Lan dan Lan Lan masuk ke situ, dan begitu wanita muda itu masuk, mereka sudah memandang dengan penuh perhatian. Karena pimpinan mereka nampak tertarik sekali, maka dua orang perwira pembantu itupun tertarik dan mereka membicarakan Bi Lan sambil berbisik-bisik. Mereka adalah tiga orang perwira yang datang dari Lok-yang Mereka merupakan perwira-perwira tinggi yang bertugas melakukan inspeksi ke daerah-daerah, dan ketika tiba di kota Peng-lu, mereka kemalaman, bermalam di rumah kepala daerah dan malamnya mereka keluar untuk jalan jalan dan membeli makanan. Andaikata mereka memasuki rumah makan itu bersama kepala daerah, tentu para karyawan rumah makan itu akan menyambut mereka dengan cara lain.

   Akan tetapi, biarpun pangkat mereka lebih tinggi dari pada kepala daerah Peng-lu, akan tetapi tidak ada yang mengenal mereka, maka mereka dianggap seperti tamu saja dan hanya diberi meja besar di rumah makan itu karena penampilan mereka yang mewah dan berwibawa. Perwira tinggi itu adalah seorang panglima bernama Su Ki Seng, terkenal dengan sebutan Su- ciangkun (perwira Su) dan dia memang terkenal sebagai seorang panglima yang pandai dan juga lihai. Seluruh kepala daerah di wilayah Propinsi He-nan takut belaka kepadanya.

   Panglima ini pandai menemukan kesalahan-kesalahan para kepala daerah dan karena dia berkuasa dan berpengaruh di kota raja, maka para kepala daerah tunduk kepadanya. Mereka selalu menyambut kunjungannya dengan berbagai hadiah untuk menyenangkan hati panglima itu sehingga dia tidak akan mengganggu mereka dan menutup mata saja kalau terdapat kejanggalan atau kesalahan.

   Keadaan seperti itu membuat Su-ciangkun menjadi kaya raya. dan dia hidup sebagai bangsawan yang kaya raya di Lok-yang, dengan rumah gedung besar dan indah megah seperti istana, mempunyai seorang isteri dan belasan orang selir dan dayang. Namun, seperti kebiasaan para pejabat yang suka melakukan tugas keliling ke luar kota dan luar daerah pada masa itu, Su-ciangkun yang biasanya hanya dikawal beberapa orang pembantunya dan tidak membawa keluarganya, dia selalu seperti seekor kucing kelaparan. Harta benda dia sudah punya lebih dari cukup, dan semua hadiah dan sumbangan yang diterimanya dari para pejabat daerah, akan diurus oleh para pembantunya.

   Akan tetapi yang membuat dia kehausan adalah wanita! Su-ciangkun seorang pria yang mata keranjang dan tidak pernah puas dengan isteri dan belasan orang selirnya. Kalau dia sedang melakukan perjalanan ke luar kota Lok-yang, dia selalu mencari sasaran dan korban untuk memuaskan hasrat dan gairahnya.

   Wataknya inipun diketahui oleh para kepala daerah dan setiap kali dia datang, tentu para kepala daerah yang ingin menyenangkan hatinya, menyediakan wanita hiburan untuknya! Akan tetapi, sekali ini Su-ciangkun merasa bosan dengan wanita hiburan.

   Dia mengajak dua orang pembantunya yang juga merupakan pengawal dan pesuruhnya, untuk keluar dari rumah kepala daerah, makan di restoran dan tentu saja mencari kesempatan kalau kalau dapat bertemu dengan wanita yang menarik hatinya. Dan kebetulan sekali, ketika mereka makan di rumah makan, Bi Lan masuk dan segera perwira ynng mata keranjang itu terbetot semangatnya!

   Matanya yang berminyak tak pernah melepaskan Bi Lan, diamatinya wanita itu, wajahnya dan seluruh tubuhnya. Makin diamati, makin tergila-gila. Bahkan ketika Bi Lan makanpun, nampak begitu menggairahkan bagi Su-ciangkun.

   "Apakah tai-ciangkun suka padanya?" bisik seorang pembantunya yang bermuka hitam dan dikenal dengan sebutan Lu-ciangkun.

   "Agaknya dia wanita baik-baik, harus dilakukan pendekatan dengan halus," kata pula Ji- ciangkun, pembantu lain yang matanya sipit.

   Su-ciangkun mengangguk-angguk dan meraba jenggotnya."Hebat, ia sungguh menarik. Aku akan berbahagia sekali kalau malam ini dapat membawanya ke kamarku."

   "Apa sukarnya?" kata pembantu yang mukanya hitam."Beritahu saja kepala daerah, tentu dia akan dapat memaksa wanita ini menemani tai-ciangkun."

   "Hussh, aku tidak mau ramai-ramai," cela Su-ciangkun.

   "Memalukan kalau sampai terdengar umum kita membuat keributan di sini."

   "Memang sebaiknya kita membuat pendekatan. Kita undang ia ke sini atau kita yang mendatangi mejanya untuk belajar kenal. Kalau kita sudah mengetahui keadaannya, baru dilakukan penjajagan apakah kiranya ia dapat dibawa dengan cara halus tanpa paksaan," kata Ji-clangkun si mata sipit.

   Su-ciangkun mengangguk setuju dengan cara itu.

   "Sebaiknya engkau yang pergi mendekatinya dan bicara dengannya secara halus," kata Su-ciangkun kepada pembantunya yang bermata sipit itu.

   Pembantunya ini memang pandai bicara, tidak main kasar seperti rekannya yang bermuka hitam. Ji-ciangkun mengangguk, lalu bangkit dan menghampiri meja Bi Lan yang kebetulan sudah selesai makan. Melihat ada orang menghampirinya, Bi Lan mengangkat muka memandang dan alisnya berkerut ketika melibat bahwa yang menghampirinya adalah seorang yang berpakaian perwira.

   Akan tetapi, perwira yang bermata sipit itu bersikap hormat, mengangkat kedua tangan ke depan dada dan berkata dengan sikap yang sopan.

   "Maafkan saya kalau mengganggu, nona. Bolehkah saya bicara sebentar?"

   Bi Lan adalah seorang gadis kangouw yang tidak pemalu seperti gadis pingitan. Ia sudah berpengalaman dan tabah, maka biarpun ada laki-laki yang tidak dikenalnya mendekat dan mengajak bicara, ia sama sekali tidak merasa sungkan atau kehilangan akal. Ia mengangguk.

   "Silakan, apa yang akan dibicarakan?" tanyanya.

   Ji-ciangkun merasa mendapat hati. Iapun melihat sepasang pedang yang berada di atas meja, dan dia menduga bahwa dia berhadapan dengan wanita kangouw.

   Hal ini akan lebih memudahkan, jauh lebih mudah daripada kalau berhadapan dengan wanita yang pemalu. Maka, dia lalu duduk di depan Bi Lan, terhalang meja.

   "Perkenalkan, nona. Nama saya Ji Kun. Saya pembantu dari panglima yang duduk di sana itu. Beliau adalah Su-tai-ciangkun yang berkedudukan tinggi di kota raja, kaya raya dan bangsawan besar. Yang bermuka hitam itu adalah rekan saya, Lu-ciangkun. Kami bertiga bertugas ke luar kota raja dan sekarang menjadi tamu-tamu kehormatan dari kepala daerah di Peng-lu ini."

   Kerut di antara kedua alis Bi Lan semakin dalam. Biarpun suaranya halus, namun mengandung teguran.

   "Ji-ciangkun, apa artinya semua ini? Mengapa ciang-kun menceritakan semua itu kepadaku? Semua itu tidak ada hubungannya sedikitpun dengan aku. Katakan, apa maksud ciangkun menghampiriku dan bicara denganku? Apa yang perlu dibicarakan?" Sikap tegas ini, walaupun dikeluarkan dengan suara lembut, membuat Ji-ciangkun agak gugup juga.

   Tadinya dia mengira bahwa wanita yang dihadapi nya akan bersikap dua macam, pertama, menerimanya dengan malu-malu kucing dan kedua dengan keras menolak. Akan tetapi wanita ini demikian tenang dan tegas, sama sekali tidak merasa rendah diri walaupun berhadapan dengan seorang perwira tinggi!

   "Maaf, nona. Bolehkah kami mengetahui nama nona yang terhormat?"

   Pertanyaan itu tidak pada tempatnya. Seorang laki-laki asing menanyakan nama gadis yang baru dijumpai nya dan yang tidak dikenalnya. Akan tetapi karena pertanyaan itu diajukan dengan kata - kata yang sopan, dan karena Bi Lan tidak begitu terikat oleh sopan santun palsu, maka hal ini tidak menyinggung hatinya dan dengan tenang iapun memperkenalkan diri, apalagi mengingat bahwa orang itu telah memperkenalkan diri, bahkan juga nama dua orang temannya.

   "Namaku Kwa Bi Lan. Kenapa ciangkun ingin tahu namaku?"

   Ji-ciangkun tersenyum lebar."Nona Kwa, bukankah sudah jamak kalau orang-orang yang saling berkenalan saling bertanya nama? Terus terang saja, nona, aku diutus oleh atasanku, yaitu Su ciangkun yang duduk di sana itu bahwa beliau amat kagum kepadamu. Beliau ingin sekali berkenalan dan kalau nona tidak berkeberatan, nona dipersilakan datang dan duduk semeja dengan beliau, atau beliau yang akan datang ke sini.

   ""

   Bi Lan sudah merasa betapa dadanya mekar dan panas. Dengan cara yang sopan bagaimanapun juga, jelas bahwa undangan itu bermaksud mesum. Mukanya mulai merah dan alisnya berkerut. Melihat gelagat ini, Ji-ciangkun yang cukup berpengalaman segera melanjutkan kata-katanya.

   "Harap nona jangan salah mengerti. Atasan kami itu, Su-ciangkun, selain menjadi panglima tinggi yang berkedudukan tinggi dan berkuasa besar, juga merupakan seorang jagoan istana, seorang ahli silat yang suka sekali berkenalan dengan orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi. Maka, melihat nona tadi masuk sambil membawa siang-kiam (sepasang pedang), beliau sudah tertarik sekali dan ingin berbincang-bincang dengan nona mengenai dunia kangouw dan ilmu silat, terutama ilmu pedang karena beliau juga ahli silat pedang." Memang cerdik sekali Ji-ciangkun itu.

   Dengan ucapan seperti itu, tentu saja tidak ada alasan berniat kurang ajar, melainkan seorang ahli silat yang tertarik kepadanya karena ia membawa pedang, bukan laki-laki kurang ajar tertarik kepada kecantikan wanita dan berniat mesum!

   "Ah, begitukah? Su-ciangkun terlalu merendahkan diri. Aku hanya orang yang pernah belajar sedikit ilmu pedang, tidak ada apa-apa yang patut dibicarakan."

   "Tapi, Kwa-lihiap (pendekar wanita Kwa). Kuharap li-hiap tidak menolak undangan Su-tai- ciangkun, karena menolak berarti memandang rendah kepada beliau. Kalau lihiap merasa sungkan, biarlah kami yang datang ke meja li-hiap. Bersediakah lihiap menerima kunjungan Su-tai-ciangkun ke sini?"

   Bi Lan tersudut dan tidak mampu menolak lagi. Pula, timbul keinginan hatinya untuk mengetahui, apa yang akan dikatakan seorang panglima besar kepadanya! Ia mengangguk dan berkata lirih,

   "Silakan!"

   Dan iapun duduk memangku Lan Lan yang bermain-main dengan sepasang sumpit bersih. Ji-ciangkun menghampiri atasannya dengan wajah berseri, lalu berbisik lirih.

   "Kwa-lihiap sudah setuju untuk menerima paduka di mejanya. Silakan, tai ciangkun!"

   Su-ciangkun girang bukan main. Dia menggunakan tangan kirinya untuk mengusap bibir, kumis dan jenggot agar nampak bersih, lalu menggosok-gosok kedua tangan. Dari ucapan pembantunya tadi saja dia tahu bahwa gadis yang amat menarik hatinya itu adalah seorang wanita kangouw, maka disebut lihiap oleh Ji-ciangkun.! Dia bangkit dan menghampiri meja Bi Lan di sudut, diikuti oleh kedua orang pembantunya.

   Su-ciangkun yang sudah berpengalaman itu mengangkat kedua tangan di dada sebagai penghormatan.

   "Kwa-lihiap maafkan kalau kami mengganggu."

   "Su-ciangkun, silakan duduk dan jangan menyebut lihiap kepadaku karena aku belum tepat untuk disebut pendekar."

   "Aih, lihiap merendahkan diri. Dari gerak-gerik lihiap saja aku sudah dapat menduga bahwa lihiap tentu lihai sekali memainkan siang-kiam ini."

   Dia duduk dan menunjuk ke arah sepasang pedang di atas meja.

   "Siang-kiam ini hanya untuk penjagaan kalau-kalau di tengah perjalanan aku bertemu dengan srigala atau harimau yang ganas, ciangkun."

   "Kalau boleh aku mengetahui, lihiap dari perguruan manakah? Dan siapakah gurumu?"

   Su - ciangkun pura-pura bicara tentang ilmu silat, padahal di dalam hatinya dia tentu saja memandang rendah kepandaian seorang muda seperti Bi Lan yang usianya baru duapuluh tahun lebih itu, dan dia mendapatkan kesempatan untuk mengagumi kecantikan dan kemontokan tubuh wanita itu tanpa mendatangkan kesan kurang ajar.

   Sebetulnya, Bi Lan tidak suka bicara tentang dirinya, dan dia tidak suka pula berbincang-bincang dengan perwira yang tidak dikenalnya ini. Akan tetapi karena tiga orang itu bersikap sopan, apalagi mereka bicara sebagai orang-orang dari dunia persilatan, ia merasa tidak enak juga kalau tidak menanggapi.

   Terlebih lagi, ia tidak suka menyebut nama mendiang gurunya yang juga suaminya, maka dengan sederhana dan sambil lalu iapun menjawab,

   "Aku pernah mempelajari sedikit ilmu silat dari seorang murid Siauw lim-pai......"

   "Ah, kiranya seorang murid Siauw-lim pai yang gagah!" Su-ciangkun berseru, pura-pura kaget dan diapun bangkit berdiri,"Maafkan kalau kami bersikap kurang hormat, Kwa -lihiap.!"

   Bi Lan juga bergegas membalas penghormatan itu.

   "Su-ciangkun terlalu memuji. Aku hanya murid tingkat rendahan saja, mana bisa disamakan dengan ahli-ahli silat yang lihai dari Siauw-lim pai?"

   "Harap Kwa-lihiap tidak terlalu merendah, dan tidak pula terlalu pelit untuk memberi petunjuk tentang ilmu pedang kepadaku. Kupersilakan lihiap untuk singgah di tempat kediaman kami dan memberi petunjuk ilmu pedang, dan untuk itu sebelumnya aku menghaturkan banyak terima kasih." Bi Lan terkejut.

   Orang ini terlalu jauh melangkah, pikirnya."Tapi aku... aku dan......anakku ini ingin beristirahat, besok pagi akan melanjutkan perjalanan......"

   "Kami jemput dan antar dengan kereta, lihiap. Jangan khawatir, karena beliau ini tamu kehormatan dari kepala daerah," kata Ji-ciangkun membujuk.

   "Kwa-lihiap tentu tidak akan tega menolak ajakan Su-tai-ciangkun, mengingat bahwa kita sama- sama dari dunia persilatan yang selalu menghargai orang lain yang ingin menguji ilmu silat."

   Lu- ciangkun ikut pula membujuk. Bi Lan.menjadi serba salah. Melihat keraguan wanita itu, Su-ciangkun lalu membujuk lagi,

   "Nona........eh, nyonya tidak perlu ragu-ragu. Kami mengundang lihiap dengan hormat, pula, lihiap berkunjung ke tempat kami bersama puteri lihiap yang mungil ini. Bagi kita orang-orang kangouw, hal ini sudah wajar, bukan?"

   Ji-ciangkun sudah berlari keluar mempersiapkan kereta dan akhirnya Bi Lan tidak dapat menolak lagi.

   Bagaimanapun juga, perwira itu mengundang dengan sikap hormat, dan iapun tidak takut. Mereka ini bukan perampok, bukan penjahat, melainkan orang-orang berpangkat, orang-orang bangsawan yang terhormat. Tidak mungkin mereka akan melakukan hal-hal yang tidak patut.

   "Baiklah, akan tetapi sebentar saja, hanya untuk menguji ilmu pedang sebentar, karena aku harus segera kenbali ke kamar hotel untuk menidurkan anakku," katanya dan iapun memondong Lan Lan, membawa pedang dan mengikuti Su-ciangkun dan dua orang pembantunya keluar dari rumah makan, naik ke kereta yang sudah disiapkan di depan, lalu pergi ke rumah kepala daerah.

   Makin lega rasa hati Bi Lan ketika melihat betapa di rumah kepala daerah kota Peng-lu, Su- ciangkun dan dua orang pembantunya benar-benar disambut dengan segala kehormatan. Dan sebagai tamu agung, agaknya Su-ciangkun tidak begitu mengindahkan kepala daerah yang menyambutnya dengan tubuh membungkuk-bungkuk!

   Bahkan Su-ciangkun menyatakan bahwa dia tidak ingin diganggu karena dia hendak menjamu tamunya, yaitu Kwa lihiap! Langsung saja Su-ciangkun bersama dua orang pembantunya memasuki bangunan sebelah kanan yang memang dikosongkan dan disediakan untuk tamu-tamu agung itu.

   Ketika Su-ciangkun memerintahkan pelayan untuk mengeluarkan hidangan, Bi Lan mengerutkan alisnya dan menolak halus.

   "Ciangkun sendiri melihat bahwa aku dan anakku baru saja makan di rumah makan itu, bagaimana mungkin kami dapat menerima hidangan makanan lagi?"

   "Bukan hidangan makanan berat, lihiap, hanya makanan ringan dan terutama sekali anggur yang sedap dan lezat. Kepala daerah kota ini menyimpan anggur yang sudah tua dan enak sekali," kata Su-ciangkun dan Bi Lan tidak membantah lagi.

   Ia tidak begitu suka minum arak, akan tetapi kalau anggur itu tidak terlalu keras, boleh juga ia minum beberapa cawan. Ji-ciangkun dan Lu ciangkun menyuruh pelayan menyingkirkan meja kursi di ruangan belakang yang luas itu, karena tempat itu akan dijadikan tempat mengadu ilmu pedang.

   Ketika anggur dikeluarkan, benar saja anggur itu manis dan tidak terlalu keras, namun halus dan tidak mencekik leher. Bi Lan membatasi diri, hanya minum dua cawan.

   "Sudah cukup, ciangkun. Sebaiknya mari kita cepat menguji ilmu pedang karena sungguh aku tidak dapat berlama-lama di sini. Anakku sudah kelihatan mengantuk." Bi Lan memandang Lan Lan yang ia dudukkan di bangku panjang. Anak itu bermain-main dengan sebuah boneka puteri yang dipakai sebagai hiasan di ruangan itu. Su-ciangkun tertawa.

   "Ha-ha, lihiap tergesa-gesa saja. Dan sungguh mati, lihiap, tadinya kami tidak mengira sama sekali bahwa anak yang manis ini adalah puteri lihiap. Agaknya.....maaf lihiap belum cocok untuk menjadi seorang ibu. Sekali lagi maaf......"

   Ucapan itu agak melanggar susila, akan tetapi karena berkali-kali perwira itu minta maaf, maka Bi Lan tersenyum.

   "Tidak apa, ciangkun. Mari kita mulai. Lan Lan, kau duduk dulu di sini, ya ? Ibu ingin latihan sebentar."

   Lan Lan yang sudah mengantuk itu mengangkat muka memandang ibunya, lalu bertanya,

   "Ibu akan berlatih pedang?"

   Lan Lan sudah biasa melihat orang bersilat, dan ia paling senang kalau ayah atau ibunya berlatih silat pedang.

   "Ha-ha-ha, ibunva pendekar wanita, anaknya yang masih sekecil ini sudah mengerti ilmu pedang. Tentu kepandaian lihiap hebat sekali!" Su-ciangkun memuji, walaupun dalam hatinya tetap memandang rendah.

   Semua ini dia lakukan hanya untuk beramah-tamah dan basa-basi saja, karena pada dasarnya, yang dia inginkan adalah tidur dengan wanita muda itu! Bi Lan yang tidak ingin berlama-lama di tempat itu, sudah meloncat ke tengah ruangan yang telah dibersihkan itu, menjura ke arah tuan rumah dan berkata,

   "Marilah, ciangkun, kita berlatih sebentar seperti yang ciangkun kehendaki agar aku tidak kemalaman membawa anakku ke rumah penginapan."

   "Mengapa lihiap tergesa-gesa? Bermalam di sinipun ada tempatnya, bahkan lebih bersih dan nyaman dibandingkan rumah penginapan. Akan tetapi baiklah, aku ingin sekali mendapat petunjuk ilmu pedang darimu." Setelah berkata demikian, sekali menggerakkan tubuh, Su-ciangkun telah meloncat dan berada di depan wanita itu.

   Gerakannya cukup lincah, tanda bahwa dia memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup baik. Tanpa basa-basi lagi, Bi Lan mencabut sepasang pedangnya dan melihat cara wanita itu mencabut pedang saja tahulah Su-ciangkun bahwa wanita itu menggunakan pedang bukan sekedar untuk pamer.

   Memang cara mencabut pedang itu saja sudah menunjukkan keahlian. Maka diapun mencabut pedangnya yang berkilauan karena pedang itu adalah pemberian kaisar, merupakan sebatang pedang yang terbuat dari baja yang baik sekali.

   "Silakan, ciangkun."

   "Aku adalah tuan rumah dan engkau tamuku, lihiap. Silakan lihiap menyerang lebih dulu."

   "Maafkan aku, ciangkun. Lihat pedang.!" Bi Lan membuka serangan dengan pedang kirinya yang meluncur ke depan menusuk dada, disusul pedang kanan menyambar dari atas membacok kepala dengan jurus Angin bertiup kilat menyambar yang gerakannya cepat dan mengandung tenaga lembut namun kuat.

   "Bagus!" Su Ki Seng yang mahir ilmu pedang campuran Butong-pai dan Kunlun pai, cepat mengelak dengan loncatan mundur sambil menangkis yang membacok dari atas.

   Terdengar suara nyaring dan perwira itu terkejut. Ketika pedangnya bertemu dengan pedang kanan wanita itu, dia merasa betapa lengannya tergetar! Kekagetannya disusul kekaguman ketika Bi Lan memainkan sepasang pedangnya, wanita itu bukan saja memiliki sinkang yang kuat, akan tetapi juga ilmu pedangnya amat hebat! Kalau tadinya Su-ciangkun kagum akan kecantikannya dan merindukan wanita ini karena berahi, kini terjadi perubahan besar dalam hatinya.

   Dia adalah seorang bangsawan yang selalu bisa mendapatkan apa saja yang dia inginkan. Kini, melihat bahwa wanita yang cantik ini memiliki ilmu silat yang amat lihai, diapun membayangkan betapa akan senangnya kalau wanita seperti ini dapat menjadi pengawal pribadinya! Bukan lagi ingin memanfaatkan kecantikannya, melainkan kepandaiannya. Kalau yang pertama untuk memuaskan gairah berahinya, yang terakhir ini untu menjamin keamanan pribadinya.

   "Trang- trang-singg........!"

   Bunga api berpijar-pijar ketika Su-ciangkun memutar pedangnya menangkis sepasang pedang yang mendesaknya bagaikan dua ekor kumbang yang melayang- layang dan siap untuk menyengatnya itu.

   "Bukan main! Ilmu pedang yang hebat.....!"

   Dia berseru dan seruan ini merupakan isyarat kepada dua orang pembantunya. Mereka memang sudah siap dan sejak tadi, mereka menonton pertandingan itu sambil mendekati Lan Lan. Bi Lan ingin cepat menyudahi pertandingan itu, maka sengaja ia mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan semua tenaga untuk mengalahkan perwira itu agar ia dapat segera pergi bersama Lan Lan meninggalkan tempat itu.

   Akan tetapi, Su-ciangkun ternyata bukan orang lemah dan dapat menjaga diri dengan baik sehingga setelah lewat limapuluh jurus, ia hanya mampu mendesak dan tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas. Tiba-tiba Su-ciangkun meloncat jauh ke belakang sambil berseru,

   "Kwa-lihiap, tahan dulu!" Bi Lan menghentikan gerakan pedangnya, berdiri tegak dan memandang kepada perwira itu sambil tersenyum. Tentu perwira itu mengaku kalah dan ia akan segera pergi dari situ.

   

Naga Sakti Sungai Kuning Eps 20 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 17 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 3

Cari Blog Ini