Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 12


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 12




   "Jangan! Oh... jangan bunuh aku! Lojin-ong... maafkan aku! Ampunkanlah diriku...!" kakek itu menangis sambil membenturkan jidatnya semakin keras. Chu Seng Kun dan Chin Yang Kun menjadi bingung. Mereka sungguh tidak mengerti. Semakin halus Yang Kun menyapa, orang tua itu semakin ketakutan. Ternyata mereka berdua tidak mengetahui akan kebiasaan dari tokoh Toat-beng-jin. Di kalangan orang Im-yang-kauw, Toat-beng-jin dikenal sebagai tokoh yang mempunyai sifat aneh. Semakin tidak senang ia terhadap seseorang, justru semakin ramah pula sikap yang ia tunjukkan! Oleh karena itu semakin halus Chin Yang Kun membujuk semakin keras pula tangis orang tua tersebut. Sehingga akhirnya Chin Yang Kun menjadi jengkel juga dibuatnya.

   "Diam! Siapa bilang aku Toat-beng-jin. Sungguh menyebalkan sekali! Ayoh... berdiri!" bentaknya. Heran! Begitu mendengar bentakan Yang Kun orang tua itu langsung bangun! Hup! Wajahnya yang kotor dan penuh air mata itu kelihatan berseri-seri. Bibirnya yang keriput dan tertutup oleh jenggot dan kumis lebat itu tampak tersenyum lega.

   "Terima kasih, Lojin-ong" oh, terima kasih, Lojin-ong! Lojin-ong sungguh sangat bijaksana! Ohh... Thian Yang Maha Agung...!" teriaknya penuh kegembiraan seperti anak kecil yang memperoleh kembali mainannya. Lalu tanpa diperintah orang itu mengambil tongkat yang dibawa oleh Chu Seng Kun dan ikut sibuk membantu mengumpulkan mayat-mayat kawannya. Yang Kun dan Seng Kun mengangkat pundak masingmasing, lalu saling pandang dengan mulut meringis.

   "Yang-hiante... jadi kau ini bukan Toat-beng-Jin?" Chu Seng Kun berbisik dan mendekati kawannya. Keduanya lalu duduk bersama di atas batu sambil menonton orang tua itu memasukkan mayat-mayat kawannya ke dalam lobang yang dibuat oleh Yang Kun.

   "Saya memang hanya berbohong ketika berhadapan dengan gadis itu. Semula saya hanya ingin memberi pelajaran kepadanya. Dan saya mengarang sebuah nama sekenanya" eh, tak tahunya betul-betul ada!" Yang Kun menjawab dengan perlahan pula, takut terdengar oleh orang tua yang sinting itu.

   "Ternyata tebakanku salah...Yang-hiante tidak ada hubungan sama sekali dengan tokoh yang ternama itu. Eh, kalau begitu apa...apakah Yang-hiante ini sungguh-sungguh putera seorang kepala desa yang baru tamat belajar silat?"

   "Bukan juga" " Chin Yang Kun menggelengkan kepalanya.

   "Ohh... lalu?" Yang Kun menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandang matanya ke arah puncak bukit yang terlihat remang-remang di kegelapan malam. Pikirannya melayang tinggi di udara mengingat semua peristiwa yang menimpa diri dan keluarganya. Hingga beberapa saat lamanya ia berdiam diri tak menjawab pertanyaan itu.

   "Yang-hiante, maafkan aku. Tak seharusnya aku terlalu mendesakmu. Setiap orang memang mempunyai urusan pribadi masing-masing..." Chu Seng Kun segera menarik kata-katanya begitu melihat temannya tampak sedikit sukar mengeluarkan isi hatinya. Chin Yang Kun menolak dengan cepat.

   "Ah... tidak apa apa, Chu-Twako. Tidak apa-apa... Engkau tidak bersalah sama sekali. Pertanyaan ChuTwako itu memang wajar sekali. Hanya aku sedang berpikir, mana yang perlu aku ceriterakan kepadamu, karena memang ada sebagian yang sampai sekarang harus aku rahasiakan..."

   "Ah... sudahlah, Yang-hiante. Aku juga hanya bertanya sambil lalu saja. Lupakanlah...!"

   "Tidak, Chu-Twako, mana berani aku bersikap begitu kepadamu. Chu-Twako mempunyai arti tersendiri bagiku. Tanpa adanya Chu-Twako aku sudah tidak mungkin hidup lagi di dunia. Aku tentu sudah mati termakan racun ubur ubur dan tikus laut." Yang Kun cepat memotong perkataan Chu Seng Kun. Lalu dengan nada rendah pemuda itu mengatakan siapa dirinya. Biarpun di dalam pengakuannya kali ini ia masih tetap menyembunyikan nama keluarganya. Ia masih tetap memakai she Yang seperti pengakuannya di depan Liu-Twakonya dahulu.

   Jilid 09
"Chu-Twako, namaku yang sebenarnya memang Yang Kun...Dan sebelum berkelana di dunia kang-ouw aku tinggal bersama orang tuaku di suatu lembah yang terpencil di daerah Ho-pak. Aku belajar silat dari ayah dan paman-pamanku. Kami hidup bersama dengan aman dan damai. Bercocok tanam dan menanam gandum sendiri, mendirikan rumah sendiri. Hanya kadang-kadang aja sekali waktu ayah atau pamanku pergi ke kota untuk berbelanja kebutuhan kami yang tidak dapat kami hasilkan sendiri." Yang Kun menghentikan ceriteranya sebentar untuk mengambil napas. Lalu,

   "Chu-Twako... ternyata kebahagiaan kami itu tidak berlangsung lama. Pada suatu hari paman bungsuku kami dapatkan mati dibunuh orang. Aku tidak tahu siapa pembunuhnya. Kata ayah, musuh keluarga kami telah datang menemukan tempat persembunyian kami itu dan kini telah mulai dengan gerakannya untuk menumpas kami semua. Oleh karena itu ayah membawa kami semua meninggalkan lembah tersebut, pergi menghindar dari kejaran mereka.."

   "Ah... masa! Mengapa tidak dilawan saja mereka? kau saja demikian lihainya, apalagi ayah dan pamanmu. Kukira tidak ada lagi yang mampu melawan keluargamu...!" Chu Seng Kun memotong dengan nada tak percaya.

   "Itulah... Chu-Twako! Akupun dulu berpendapat demikian. Tapi kata ayah lawan kami itu tidak hanya satu dua orang, mereka merupakan sebuah kekuatan besar yang mungkin terdiri dari ribuan orang."

   "Hah? Ribuan orang?" Chu Seng Kun tersentak kaget. Yang Kun mengangguk. Terbayang kembali peristiwa hebat yang sangat melukai hatinya itu. Wajah ibunya yang selalu ketakutan di dalam perjalanan, wajah ayah dan pamannya yang tak pernah tidur dan beristirahat, serta wajah-wajah adiknya yang pucat pias menahan tangis dan lapar! Dan wajah-wajah yang sangat dicintainya itu kini telah tiada. Tak terasa air mata pemuda itu mengalir membasahi pipinya. Tapi dengan cepat disekanya dengan lengan bajunya, sambil meminta maaf kepada Chu Seng Kun atas kelemahannya tersebut.

   "Aku memahami kesedihanmu itu, Yang-hiante...Lalu di manakah keluargamu itu sekarang?" Wajah Chin Yang Kun tertunduk semakin dalam. Suaranya hampir tidak terdengar ketika menjawab.

   "Mereka semua telah pergi..."

   "Pergi? Pergi ke...oh, Yang-hiante maksudmu... maksudmu...?" Sekali lagi Yang Kun mengangguk. Matanya kembali berkaca-kaca.

   "Satu persatu keluargaku dibantai secara menggelap oleh mereka..."

   "Bangsat keji!" Chu Seng Kun terlonjak dari tempat duduknya, sehingga kakek tua yang sedang sibuk menimbun lobang itu tersentak ketakutan.

   "Ssssaya... s-saya..?!" kakek tersebut tergagap dengan tubuh gemetar. Chu Seng Kun menjadi tersipu-sipu.

   "Oh, tidak apa-apa. kau teruskan pekerjaanmu...!" katanya sambil duduk kembali di samping Yang Kun. Untuk beberapa saat orang tua itu masih tetap berdiri bengong, tapi begitu terlihat kedua orang pemuda itu kembali asyik berbicara satu sama lain, ia menjadi lega. Perlahan-lahan ia mengambil alatnya kembali dan meneruskan pekerjaannya.

   "Jadi... kau sekarang tinggal sebatangkara saja di dunia ini? Tapi kata Hong... eh, anu... kata orang kau bersama-sama dengan seseorang ketika ditolong dari penjara bawah tanah itu? Siapa dia? Orang tersebut mengaku sebagal gurumu pada saat itu." Hampir saja Chu Seng Kun keseleo lidahnya menyebut Hongsiang (Kaisar Han). Untunglah ia segera teringat pesan Baginda bahwa dia harus turut menutupi rahasia penyamaran Baginda. Dan untuk beberapa saat lamanya pemuda itu menatap wajah Yang Kun. kalau-kalau kata katanya tadi menimbulkan kecurigaan kawannya. Tapi dilihatnya Yang Kun tidak bereaksi apa apa. Pemuda itu kelihatannya masih terlibat dengan kesedihannya. Chu Seng Kun menjadi lega hatinya. Dengan sabar ia berdiam diri menanti jawaban Yang Kun.

   "Dia adalah pembantu ayahku yang paling terpercaya. Dialah satu-satunya orang kami yang sekarang masih tinggal hidup. Besar sekali pengorbanannya terhadap keluargaku. Entah sekarang ada di mana dia..." akhirnya Yang Kun memberikan keterangannya.

   "Yang-hiante, engkau tidak usah bersedih. Pada suatu saat nanti engkau tentu akan berjumpa pula dengannya. Bagaimanapun juga dia tentu akan mencari engkau pula..."

   "Orang itu tidak mungkin mencari aku!" Yang Kun memotong dengan cepat. "Dia telah menganggap aku sudah mati. Bukankah aku diselamatkan oleh Liu-Twako dalam keadaan tak bernyawa?"

   "Hmm...k alau begitu kitalah yang akan mencari dia!" ucap Seng Kun tegas.

   "Kita...?" Chin Yang Kun tersentak kaget.

   "Benar! Aku akan membantu mencari orang itu. Tentu saja kalau engkau memperbolehkan..."

   "Ah, Chu-Twako... mana aku berani menolak uluran tanganmu? Tapi... tapi..." Yang Kun menyela dengan kikuk.

   "Sudahlah Yang-hiante, kau tak perlu sungkan kepadaku. Anggap saja kita bekerja sama dalam hal ini. Kita sama-sama mencari seseorang. kau mencari orangmu itu, aku mencari adikku..."

   "Ya! Ya! Tetapi..."

   "Aku tahu! Jangan khawatir! Aku cukup memaklumi kesulitanmu. Engkau tentu akan mengatakan bahwa selain berusaha mencari orangmu engkau akan mengurus juga sesuatu yang tidak boleh diketahui oleh orang lain. Begitu bukan? Haha, Yang-hiante, percayalah kepadaku. Begitu aku tahu engkau sedang mengurus suatu rahasia aku tentu akan cepat-cepat menghindar untuk sementara dari sampingmu. Bagaimana...?"

   "Terima kasih, Chu-Twako. kau sungguh sangat bijaksana." Chu Seng Kun tersenyum, tapi hanya sebentar, karena wajah itu berubah menjadi tegang dan keruh kembali.

   "Tapi omong-omong... eh... siapakah sebenarnya musuh keluargamu itu? Sudahkah kau menemukannya?" katanya berhati-hati. Perlahan-lahan Yang Kun bangkit dari tempat duduknya, lalu menoleh ke arah kakek tua yang sudah hampir menyelesaikan pekerjaannya itu.

   "Itulah yang sampai sekarang masih tetap membingungkan aku, Chu-Twako! Sebelum meninggal ayah dan pamanku belum pernah memberitahukannya kepadaku, sehingga kini aku mendapatkan kesukaran untuk mengenal mereka." Pemuda itu berkata kesal.

   "Memang, dalam berkelana selama ini aku telah beberapa kali mencurigai orang! Malah di antaranya adalah orang yang kau sebut Hek-eng-cu dan Kwa Sun Tek itu!"

   "Hah?"

   "Ya... tapi kecurigaan itu menjadi kabur kembali. Aku tidak memperoleh bukti yang kuat untuk membuktikan keterlibatan mereka."

   "Ohh...!" Chu Seng Kun bernapas lega. "Tapi... tapi apakah tidak ada petunjuk barang sedikitpun yang dapat kau pakai untuk melacak para pembunuh itu?" Yang Kun menggelengkan kepalanya.

   "Kalau toh ada hal itu tidak cukup kuat untuk membuktikan keterlibatan mereka," keluhnya lirih.

   "Lojin-ong..." tiba-tiba kakek yang telah selesai menimbuni lobang itu menghampiri mereka. Terpaksa kedua pemuda itu mengakhiri pembicaraan mereka.

   "Chu-Twako, semula maksudku datang ke daerah ini hanya ingin melihat para perampok yang katanya sedang mengganggu penduduk desa Hok-cung. Tapi baru sampai disini perjalananku telah terhambat oleh beberapa peristiwa yang datang secara beruntun tadi... maka aku bermaksud..."

   "Baik. Kita berangkat menuju desa Hok-cung sekarang!" Seng Kun memutuskan.

   "Lojin-ong, saya ikut!" kakek itu memohon kepada Chin Yang Kun.

   "Hei, kek! Bukankah kau sudah bebas sekarang? Mengapa engkau tidak lekas-lekas kembali ke kuilmu? Mengapa malah ingin mengikuti kami?" Chu Seng Kun menyela. Orang tua itu menjawab pertanyaan Chu Seng Kun tanpa berani beranjak dari tempatnya. Kepalanya tertunduk, sedikitpun tidak berani memandang Yang Kun.

   "Sudah lama sebetulnya saya ingin mengabdi kepada Lojin-ong. Sejak pengangkatan Tai-si-ong (Raja Kuil Agung) baru, kira-kira empat tahun yang lalu saya sudah berusaha untuk menghadap Lojin-ong, tapi selalu tidak berhasil... Oleh karena itu kesempatan ini tentu tidak akan saya lewatkan begitu saja. Boleh tidak boleh saya akan ikut Lojin-ong!" jawabnya mantap.

   "Kakek yang baik..." Yang Kun berkata dengan halus. Tidak enak juga rasanya membohongi kakek itu terus terusan.

   "Ketahuilah, sebenarnya aku ini..." Tapi bukan main kagetnya Yang Kun ketika tiba-tiba kakek itu menangis meraung-raung kembali begitu mendengar ucapannya yang sopan dan halus tersebut.

   "Lojin-ong, jangan bunuh aku! Ampunkanlah diriku yang tua ini! Aku sangat ingin menjadi pelayanmu! Jangan kau bunuh diriku!"

   "Kurang ajar! Siapa mau membunuh dirimu? Ngaco! Hmmh...terserah! kau boleh mati sekarang atau mau ikut denganku!" Yang Kun berteriak sambil meloncat pergi meninggalkan tempat itu. Menghadapi ulah kakek sinting tersebut hatinya terasa jengkel bukan main. Chu Seng Kun mengangkat pundak. Lalu sambil tersenyum kecut ia juga berlari mengikuti kawannya.

   * * *

   Malam semakin larut. Udarapun terasa dingin sekali. Tapi Yang Kun tidak memperdulikan semua itu. Bagai seekor kijang ia berloncatan cepat sekali menyusuri jalan besar yang menuju ke desa Hok-cung. Sementara tidak jauh di belakangnya, tampak Chu Seng Kun yang mewarisi Pek-in-ginkang dari Bueng Sin-yok-ong, menempel terus seperti bayangan saja!

   Dan tak seorangpun dari kedua orang itu yang mau memikirkan keadaan si kakek tua lagi. Sekejap saja dusun yang mereka tuju telah berada di depan mata. Biar malam sudah mulai larut, ternyata suara gelak ketawa para perampok itu masih saja terdengar dengan ramainya. Sinar obor yang mereka sulut kelihatan terang benderang menerobos rimbunnya daun dan pepohonan yang melingkari dusun kecil tersebut. Dari jauh kadang-kadang terlihat beberapa orang sedang hilir mudik dengan obor besar di tangan mereka. Yang Kun berhenti tidak jauh dari mulut jalan yang membelah desa itu. Tampak tujuh atau delapan orang laki-laki kasar berdiri di mulut jalan tersebut, lengkap dengan senjata mereka masing-masing.

   "Agaknya mereka menempatkan para pengawal juga di setiap mulut jalan. Kalau begitu mereka memang bukan perampok biasa. Mereka tentu pernah mendapatkan latihan latihan khusus." Yang Kun berkata kepada Chu Seng Kun yang telah berdiri pula di sampingnya.

   "Selain itu orang-orang ini sungguh berani sekali. Desa ini hanya beberapa puluh lie dari Kotaraja, meskipun begitu mereka seakan-akan tidak memperdulikan bahaya itu." Chu Seng Kun mengiyakan.

   "Tapi menurut pembicaraan Hek-eng-cu dan Kwa Sun Tek tadi, perampok ini justru datang dari Kotaraja. Mereka menyerbu istana kira-kira dua atau tiga hari yang lalu..." Yang Kun mengatakan apa yang didengarnya dari kedua tokoh sesat itu.

   "Hah? Kalau demikian itu pemberontakan namanya..."

   "Benar! Chu-Twako, hatiku rasanya jadi ingin sekali bertemu dengan Liu-Twako." Chu Seng Kun tersenyum penuh arti. Untunglah suasana sangat gelap di sekitar mereka, sehingga senyum itu tak terlihat oleh siapapun juga.

   "Yang-hiante, lalu apa yang akan kita kerjakan sekarang? Menggasak para penjaga ini atau langsung masuk menemui pimpinan mereka?"

   "Bagaimana kalau kita masuk dulu secara rahasia agar kita bisa menilai keadaan sebaik-baiknya?" Chin Yang Kun mengajukan usul.

   "Bagus sekali! Itu memang jalan yang terbaik. Dan untuk dapat memperoleh gambaran yang lebih lengkap dan luas, sebaiknya kita masuk secara berpencar. Yang-hiante masuk dari sebelah utara, aku masuk dari sebelah selatan. Kita masing-masing harus berusaha mengumpulkan keterangan sebanyak-banyaknya agar kita dengan mudah dapat menentukan apa yang mesti kita lakukan nantinya. Kita bertemu di tempat mereka berkumpul dan bersuka-ria. Bagaimana, Yang-hiante?"

   "Setuju! Mari kita berangkat!" jawab Yang Kun tegas. Keduanya lalu berpisah. Yang Kun berlari ke arah utara, sedang Chu Seng Kun menyelinap ke arah selatan. Sebentar saja mereka telah lenyap ditelan kegelapan malam. Yang Kun melangkah perlahan-lahan menyusuri selokan kecil yang mengalir di tepi dusun.

   Lalu dengan tenang ia mendekati tembok halaman seorang penduduk yang hanya diterangi oleh lampu minyak, sehingga di antara rimbunnya tanam-tanaman di sekitarnya sinar itu hampir tidak berarti sama sekali. Melihat tempat itu sepi sekali dan tak seorang penjagapun yang kelihatan Yang Kun segera meloncat ke atas tembok. Matanya yang tajam lalu mengawasi seluruh halaman rumah yang luas di bawahnya. Tampak olehnya halaman yang remang-remang karena cahaya beberapa buah lampu minyak yang ditaruh di beberapa tempat itu benar-benar sangat bersih dan terawat rapi. Suatu tanda bahwa penghuni rumah itu adalah seorang yang berkecukupan serta suka akan kebersihan. Yang Kun meloncat turun, kemudian berlari menyelinap di antara pohon-pohon perdu dan bergegas melintasi halaman samping.

   Pemuda itu lalu berhenti sebentar di dekat kandang kuda. Agak lama ia berdiri di tempat itu. Hatinya merasa bergetar. Perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres, yang mungkin dapat membahayakan jiwanya di sekitar halaman itu. Tapi ia tidak dapat mengetahui, bahaya apakah itu? (Seperti telah diceriterakan di bagian depan, secara tidak sengaja Yang Kun telah berlatih semacam ilmu yang biasa disebut orang Lin-cui Sui-hoat ketika sedang mengobati kakinya di istana. Ilmu kesaktian ini didasarkan pada ketajaman perasaan dan kesempurnaan panca indera manusia. Sehingga apabila ilmu ini telah dipelajari dengan sempurna, orang akan mampu mencium dengan perasaannya, segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya atau yang bakal terjadi di sekitarnya, tanpa melibatkan kelima panca-inderanya secara langsung!)

   Ketika Yang Kun akan berkonsentrasi seperti yang dahulu biasa ia lakukan di istana apabila ingin mendengarkan suara hantu seruling, tiba-tiba telinganya mendengar desah napas seseorang di tempat penimbunan rumput. Secepat kilat Yang Kun menjejakkan kakinya ke atas tanah dan di lain saat tubuhnya telah melayang ke tempat itu. Hampir saja kakinya menginjak tubuh seseorang ketika Yang Kun mendaratkan kakinya di tumpukan rumput tersebut. Untunglah dengan sangat cekatan pemuda itu segera menggeser kakinya ke samping lalu meloncat selangkah lagi ke depan.

   "Bangsat! Anjing busuk! Apakah kau tidak bisa menunggu giliranmu sebentar lagi...?" dari dalam tumpukan rumput itu tiba-tiba muncul tubuh seorang laki-laki kasar, bertelanjang bulat mengumpat-umpat ke arah Yang Kun. Badannya yang kekar berbulu lebat itu tampak berkilat-kilat karena peluh. Sebelum Yang Kun menjawab makian itu, dari dalam timbunan rumput telah muncul lagi sesosok tubuh wanita, juga bertelanjang bulat, berdiri dengan menangis tersedu sedu.

   "Diam kau, perempuan!!" laki-laki itu menghardik. Tangan kirinya tampak melayang.

   "Plaaakk!" Wanita itu tersungkur kembali ke dalam tumpukan rumput. Lalu dengan beringas ia menghadapi Chin Yang Kun dengan bertolak pinggang.

   "Kau belum enyah juga? Babi kotor! Apakah ingin kuremukkan dahulu kepalamu hingga hancur? Hah? kau!" Mendadak laki-laki itu menghentikan sumpah serapahnya. Baru tersadar kalau yang dia hadapi bukan kawannya. Tiba-tiba terdengar suara derit pintu dibuka orang. Yang Kun menjadi terkejut dan agak panik. Dilihatnya pintu samping rumah besar itu terbuka perlahan-lahan. Karena tidak ingin usahanya gagal. Yang Kun menjadi mata gelap. Kedua tangannya yang penuh tenaga Liong-cu i-kang itu terayun ke depan dengan dahsyatnya. Laki-laki kasar itu berusaha mengelak, tapi mana mampu ia lolos dari tangan yang penuh sinkang tersebut?

   "Prakkk!!" Tanpa sempat berteriak lagi laki-laki yang sedang memperkosa wanita itu terlempar dengan kepala hancur berantakan!

   "Hei, Lo-go (Buaya Tua)...! Sudah selesai? Lekaslah! Mengapa kau hanya berteriak-teriak saja sejak tadi? Apakah kuda binal itu belum dapat kau tundukkan juga, he...?"seorang lelaki tampak melongok keluar dari pintu yang dibuka tadi. Dalam saat yang begitu mendesak Yang Kun sudah tidak dapat berpikir banyak lagi. Sambil terjun ke dalam timbunan rumput ia berteriak kasar, menirukan suara laki-laki yang baru saja dibunuhnya tadi.

   "Diam kau, bangsat...!" Tak terduga karena tergesa-gesa pemuda itu jatuh persis di atas tubuh si wanita yang malang tadi dan tanpa dia sengaja pula tangannya memegang persis pada buah dada wanita tersebut. kontan saja perempuan itu menjerit kaget! Mendengar jerit perempuan itu orang yang melongok tadi segera tertawa tergelak-gelak.

   "Setan kuburan! Buaya tua itu benar-benar seekor kuda gila...!" serunya sambil menutup pintunya kembali. Lalu terdengar suara ketawanya yang kasar bercampur dengan ketawa teman-temannya yang lain. Yang Kun menjadi lega kembali. Tapi ia segera tersipu-sipu ketika wanita yang ditindihnya itu mendorong dadanya dengan keras. Dengan muka merah ia melepaskan pegangannya dan meloncat berdiri. Dan ia semakin kikuk sekali ketika melihat wanita itu bangkit sambil berusaha menutupi tubuhnya yang telanjang dengan kedua belah tangannya.

   "Aku... aku... oh, maafkan... aku tak sengaja! Sungguh...!" pinta pemuda itu dengan hati tak karuan rasanya. Dan ketika wanita yang ternyata masih sangat muda itu mulai menangisi nasibnya, Yang Kun makin menjadi bingung dan tidak tahu apa yang mesti dikerjakan.

   Maklumlah, selama ini pemuda yang masih hijau itu memang selalu tinggal di daerah terpencil serta belum pernah berhubungan dengan wanita, apalagi melihat seorang gadis bertelanjang bulat sedemikian dekatnya. Maka tak heran kalau keadaan seperti itu benar-benar sangat menggoncangkan jiwanya. Keadaan Yang Kun masih juga seperti orang linglung ketika gadis malang itu sambil menangis melangkah ke arah mayat laki-laki yang tadi dengan biadab telah memperkosanya. Yang Kun juga masih terpaku diam ketika melihat gadis itu mencabut pedang lelaki tersebut dan kemudian dengan buas mencacah cacah tubuh yang sudah tidak bernyawa itu. Barulah ia menjadi tersentak kaget setengah mati ketika gadis itu membalikkan ujung pedang tersebut dan menusukkannya ke dalam lambungnya sendiri.

   "Nonaaaa...!?" serunya sendat. Dengan sigap Yang Kun menyambar tubuh si gadis yang terhuyung-huyung mau jatuh. Darah segar tampak menyembur dari luka akibat pedang itu. Tanpa sadar pemuda itu memeluk tubuh yang telanjang tersebut.

   "Nona... mengapa kau mengambil jalan yang sependek ini? Bukankah..." Gadis itu menggeliat sebentar, lalu membuka matanya.

   "Ti...ada gunanya a-aku hidup...Ke-ke-luargaku telah mereka bu-bunuh s-semuanya.,! A-aku juga sudah ti-tidak la...layak untuk h-hidup lagi! Me-mereka... te...telah meng...hina diriku ohhh...!" Kepala itu jatuh terkulai, nyawanya melayang.

   "Keparat busuk...! Kalian benar-benar harus dilenyapkan!" Yang Kun menggeram dengan marah. Hati-hati tubuh itu diletakkan oleh Yang Kun di atas timbunan rumput, lalu dengan hati-hati pula tubuh yang telanjang tersebut ditutup dengan baju luarnya yang lebar. Kemudian dengan mengangguk kaku pemuda itu menggeram di hadapan mayat yang malang tersebut.

   "Kau beristirahatlah dengan tenang, nona... Akan kubalaskan sakit hatimu ini. Percayalah!" Dengan wajah yang menyeramkan Yang Kun menoleh ke arah pintu yang tadi dibuka oleh kawan si pemerkosa itu. Lalu perlahan-lahan kakinya melangkah mendekatinya.

   Di depan pintu itu tiba-tiba Yang Kun berhenti. Hatinya terasa bergetar kembali. Malah sekarang terasa lebih keras dari pada tadi. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, tapi tidak ada barang sesuatunya yang mencurigakan. Halaman itu tetap sepi. Hanya yang membuat pemuda itu merasa agak aneh ialah suasana di dalam rumah tersebut. Semula dari dalam rumah besar itu terdengar suara percakapan dari beberapa orang teman penjahat yang dibunuhnya tadi, tapi sekarang di dalam rumah itu juga tampak sunyi. Tentu saja keadaan itu menambah keresahan di hati Yang Kun. Dugaannya bahwa ada sesuatu yang aneh telah terjadi di sekitarnya semakin kuat. Berindap-indap Yang Kun mendekati pintu tersebut dan membukanya perlahan-lahan. Ternyata pintu itu tidak dikunci dari dalam.

   "Hah?!?" Yang Kun ternganga di depan pintu. Di dalam rumah tampak beberapa sosok tubuh bergelimpangan tidak teratur.

   Ada yang tertelungkup di atas meja, ada yang terlentang di atas meja, ada yang terlentang di atas kursi dan ada yang terkapar di atas lantai. Semuanya dalam keadaan pingsan dan tertotok lumpuh seluruh anggota badannya! Tanpa mengurangi kewaspadaan Yang Kun memasuki ruangan dan memeriksa tubuh-tubuh yang bergelimpangan tersebut. Dua orang diantaranya, yang tertelungkup diatas meja, masih tampak bergoyang-goyang lengannya di bawah meja, suatu tanda bahwa peristiwa yang membuat mereka berkeadaan seperti itu belum lama berlalu. Yang Kun semakin meningkatkan kewaspadaannya. Ternyata apa yang dia rasakan sejak dia memasuki halaman tadi benar-benar tidak salah. Ada orang lain yang memasuki tempat ini pula dan telah membereskan semua penjahat itu selagi ia sibuk mengurus gadis malang tersebut.

   Yang Kun memeriksa kamar kamar yang lain. Keadaannya sama saja, di sana juga terdapat tubuh-tubuh bergelimpangan di antara makanan dan minuman yang berserakan pula. Mereka tergeletak dalam posisi yang aneh-aneh. Ada yang bersandar di dinding dengan mulut masih menggigit makanan, ada yang terduduk di atas kursi dengan tangan masih memegang cangkir, malah ada empat orang yang terkapar di atas lantai dalam posisi memperebutkan guci arak! Dan ada beberapa benda di tempat itu yang masih kelihatan bergoyang goyang, tanda bahwa peristiwa ini juga baru saja terjadi. Yang Kun berlari memasuki kamar belakang kalau kalau orang tersebut masih berada di sana. Tapi kamar belakang juga sepi, tak seorangpun yang kelihatan di tempat itu. Di dapur Yang Kun malahan mendapatkan keluarga tuan rumah telah menjadi mayat.

   Seorang laki-laki tua dengan istrinya yang berwajah mirip sekali dengan gadis yang bunuh diri itu! Di atas tumpukan kayu juga tampak beberapa mayat anak anak yang semuanya menderita luka bekas siksaan. Untuk sesaat kepala Yang Kun menjadi pening. Bayangan wajah ibu dan adik-adiknya berkelebat di depan matanya. Dendam yang selama ini tersekap di dalam tubuhnya menyala kembali dengan hebatnya. Pemuda itu menggeretakkan giginya. Tiba-tiba terdengar suara gemerisik di luar rumah. Bergegas pemuda itu meloncat keluar. Tapi di luar tetap sunyi sepi. Hanya di pekarangan sebelahnya terdengar suara maki-makian beberapa orang perampok yang sedang mabuk. Agaknya di sana juga sedang dikunjungi oleh kawanan perampok seperti halnya di tempat ini. Dengan perasaan berang Yang Kun melesat ke pekarangan sebelah.

   Tapi ketika meloncati tembok halaman, hati pemuda itu terasa berdesir kembali. Perasaannya mengatakan bahwa ia telah didahului orang lagi. Benarlah! Di rumah itupun ia mendapatkan para perampok telah tertotok pingsan, berserakan di segala tempat! Yang Kun berlari keluar kembali, lalu dengan gesit ia melesat ke rumah sebelahnya lagi. Dan seperti yang terjadi di kedua tempat itu, di sinipun telah terjadi hal yang sama. Para perampok yang bercokol di tempat itu juga telah pingsan tertotok oleh orang yang mendahuluinya! Begitulah, setiap kali Yang Kun melongok ke rumah penduduk yang ia curigai ada kawanan perampoknya, ia hanya menemukan tubuh tubuh yang bergelimpangan di atas lantai. Gila! Macam apa pula orang itu? Gerakannya demikian gesit dan kepandaiannya begitu hebat, pemuda itu membatin.

   Kawanan perampok itu sedemikian banyaknya dan satu atau dua orang di antaranya tentu juga mempunyai kepandaian pula, tapi hanya dalam tempo yang sangat singkat sudah dapat dilumpuhkan oleh orang misterius tersebut. Dan tanpa menimbulkan suara ribut pula! Sungguh menakjubkan! Sementara itu Chu Seng Kun yang menyelidiki dari arah selatan juga telah mengalami peristiwa yang mendebarkan. Pemuda yang berkepandaian tinggi itu menyelinap di antara pohon-pohon rindang yang memagari pinggiran desa sebelah selatan. Hampir di setiap tempat ia melihat kelompok para perampok bersuka ria dengan makan dan minum, dilayani oleh para wanita penduduk desa, sementara para suami dan anak anak mereka menonton dengan wajah ketakutan di antara rumah rumah mereka yang hampir roboh digoyang gempa itu.

   "Kurang ajar! Ini terang bukan perampok lagi. Kekuatan yang demikian besar seperti ini terang membutuhkan waktu lama untuk menghimpunnya. Dan untuk memimpin pasukan besar seperti ini tentulah harus orang yang hebat serta disegani pula oleh mereka." Chu Seng Kun bergumam di antara langkahnya "Lalu... siapakah pemimpin itu?" Chu Seng Kun segera meloncat ke atas pohon dan bersembunyi di antara daun daun yang rimbun ketika sampai di sebuah rumah besar yang berada di pinggir jalan besar yang menghubungkan desa itu dengan desa sebelahnya.

   Rumah tersebut terang benderang dengan sinar obor yang ditaruh di segala tempat. belasan anggota perampok tampak hilir-mudik sambil bersuka-ria dengan cara masing-masing. Rumah yang berada di seberang jalanpun tak kalah ramainya. Selain ramai tempat itu juga kelihatan dijaga ketat oleh pengawal-pengawal bersenjata tombak. Para wanita yang melayani di tempat itu juga lebih banyak dan masih muda-muda, biarpun seperti di tempat lain rata-rata wajahnya mereka juga tampak suram serta sangat menderita. Beberapa di antaranya malah kelihatan pucat dan putus-asa. Tak heran jikalau Yang Kun, kawannya yang masih muda itu sampai bertekad untuk menolong para penduduk itu, demikian pikir Chu Seng Kun di dalam hati.

   Sambil berlindung di antara rimbunnya daun Chu Seng Kun merambat dari dahan ke dahan, sehingga akhirnya ia dapat mencapai di atas rumah di seberang jalan. Lalu tubuhnya melorot turun ke atas genting. Kemudian dengan sangat hati-hati ia membuka sebuah genting untuk dapat mengintai ke dalam. Semua itu dikerjakan oleh Chu Seng Kun tanpa menimbulkan kecurigaan para perampok yang bertebaran di bawahnya. Dengan Pek-in-ginkangnya yang sangat tinggi tak sepotong dahanpun tampak bergoyang ketika diinjaknya dan tak selembar daunpun kelihatan tanggal dari kelopaknya ketika tersenggol badannya. Seperti seekor kucing hitam tubuhnya yang jangkung itu bertengger di atas genting yang telah dibukanya, dan kedua buah matanya yang tajam itu mengawasi ke dalam ruangan yang dijaga ketat pada bagian luarnya tersebut.

   Mula-mula terlihat oleh Chu Seng Kun beberapa orang gadis duduk di dekat pintu masuk. Dengan wajah tunduk mereka bersimpuh di hadapan seorang pemuda yang duduk di atas kursi kebesaran. Gadis-gadis itu juga tampak pucat dan takut. Sesekali mereka tampak melirik dengan takut ke arah laki-laki muda yang kelihatan sedih di atas kursinya itu. Chu Seng Kun tergetar hatinya. Kelihatannya pemuda itulah yang memimpin semua perampok di desa ini. Seorang pemuda halus berusia tiga-puluh tahun dengan pakaian sutera yang sangat mahal! Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendatangi ruangan tersebut. Para pengawal yang berada di depan pintu kelihatan sibuk memberi jalan.

   "Pangeran...! Ah, mengapa pangeran masih juga memikirkan hal itu? Pangeran..." seorang laki-laki kurus berwajah keras dan kasar menyapa pemuda tersebut sambil memasuki ruangan. Sarung pedangnya yang panjang tampak terayun-ayun di pinggang kirinya. Pemuda yang duduk lesu di atas kursinya itu menoleh sekejap, lalu kembali merenung seperti semula.

   "Sam-mo (Iblis ke Tiga), pergilah! Jangan ganggu aku!" katanya perlahan. Tapi seperti seorang hamba yang sudah hapal akan watak tuannya, orang yang dipanggil Sam-mo itu tetap datang mendekat dan berdiri di samping kursi kebesaran itu. Dengan wajah penuh senyuman orang itu menjura.

   "Perjuangan kita kali ini memang menemui kegagalan, pangeran. Tapi bukan berarti bahwa kita tidak mempunyai kesempatan lagi di masa datang. Kalau dipikirkan kembali, gerakan yang kita lakukan beberapa hari yang lalu memang terlalu tergesa gesa. Kita kurang teliti memperhitungkan kekuatan Kaisar Han yang berada di Kotaraja. Ayahanda pangeran belum memperhitungkan jago-jago Sha-cap mi-wi yang ternyata sangat hebat itu!"

   Kali ini Chu Seng Kun benar-benar terkejut sekali. Pangeran? Pangeran dari mana, tanyanya dalam hati. Sejak semula ia dan Yang Kun memang telah bercuriga pada kekuatan yang sangat besar ini, tapi ia benar-benar tidak menyangka kalau kekuatan itu dipimpin oleh seorang pangeran. Apabila demikian kekuatan ini memang telah dipersiapkan oleh seseorang untuk melakukan pemberontakan kepada pemerintahan Kaisar Han! Chu Seng Kun menjadi semakin bergairah untuk mengetahui tentang orang-orang ini. Matanya dengan tajam mengawasi orang orang yang berada di dalam ruangan tersebut.

   "Kau melupakan sesuatu, Sam-mo..." pemuda yang dipanggil dengan sebutan pangeran itu terdengar menukas kata-kata pembantunya yang baru saja tiba tersebut.

   "Ayahanda memang tergesa-gesa dalam melancarkan serangan itu. Tetapi hal itu karena sangat terpaksa. Menurut penyelidikan yang dilakukan oleh Siang-houw Nio Nio Lo-Cianpwe, ada kekuatan lain yang lebih besar dari kekuatan kita juga sedang bersiap-siap untuk menggulingkan kekuasaan Kaisar Han. Kekuatan yang sangat besar itu dipimpin oleh seorang manusia aneh yang selalu menyembunyikan wajahnya di balik topi bertutup sutera tipis. Siang-houw Lo-Cianpwe tidak bisa menebak siapakah orang tersebut, hanya di dalam kalangan persilatan orang aneh itu dipanggil dengan nama Hek-eng-cu... Nah, karena ayahanda tidak ingin didahului oleh orang itu, terpaksa beliau mengerahkan kekuatan kita selekasnya. Sungguh menyesal sekali kita telah gagal dan kekuatan kita menjadi bercerai berai seperti sekarang..."

   Pemuda itu menghela napas berulang-ulang. Tampak benar betapa sedihnya dia. Sebaliknya, orang yang dipanggil dengan sebutan Sam-mo itu tampak menyeringai kurang senang.

   "Pangeran..!" ucapnya perlahan. "Seharusnya ayahanda pangeran harus lebih berhati-hati jikalau mau mengambil keputusan."

   "Hah? Apa maksudmu? kau ingin...?" pemuda itu tersentak marah. Tapi dengan cepat orang itu menyabarkannya.

   "Jangan tergesa gesa marah, pengeran...! Hamba tidak bermaksud apa-apa. Hamba hanya ingin memberi peringatan tentang sesuatu hal yang mungkin telah dilupakan oleh ayahanda pangeran." katanya sambil membungkuk hormat.

   "Hmh! Lekas katakan apa yang kau maksudkan!" pemuda itu membentak. Orang yang dipanggil dengan nama Sam-mo itu tersenyum, kakinya melangkah mendekati pemuda tersebut, lalu berbisik perlahan,

   "Seharusnya ayahanda pangeran tidak boleh percaya seratus persen kepada wanita tua itu. Kita semua telah tahu bahwa dia adalah ibu dari Yap Tai-Ciangkun, panglima besar yang diandalkan oleh Kaisar Han! Siapa tahu ada hubungan rahasia antara ibu dan anak itu? Kelihatannya saja wanita tua itu berada di pihak kita, tapi siapa tahu ia membantu musuh? Dengan mendorong-dorong kepada ayahanda pangeran agar lekas-lekas menggerakkan pasukan, selagi kita belum siap benar, berarti sama saja dengan menjerumuskan kita pada kehancuran. Maaf, pangeran jangan menjadi marah dahulu...! Hamba harap pangeran merenungkan dulu kata-kata hamba ini, baru kemudian kita perbincangkan lagi"!"

   Orang itu menutup ucapannya dengan membungkuk hormat sekali, ketika dilihatnya pemuda tersebut menatap dirinya dengan mata merah. Pangeran muda itu kembali menghela napas panjang. Mukanya tertunduk lagi seperti semula. Dengan acuh ia menggerakkan tangannya.

   "Tinggalkan aku sendiri, Sam-mo! Jangan ganggu aku lagi!"

   "Baiklah, pangeran...!" orang itu menjawab halus. Tapi sebelum dia pergi, dari luar mendadak terdengar suara nyaring dari penjaga pintu yang memberitahukan kedatangan seseorang untuk menghadap.

   "Orang ke dua dari Tung-hai Sam-mo datang menghadap...!"

   "Ji-ko...I" Sam-mo menoleh ke arah pintu. Seorang laki-laki berperawakan tegap dan memelihara kumis dan jenggot tebal tampak memasuki ruangan. Sama dengan adik seperguruannya, Ji-mo (Iblis ke Dua) juga menyandang pedang panjang di pinggang kirinya. Wajahnya yang tertutup kumis dan jenggot itu tampak ganas dan kejam.

   "Maaf, hamba mengganggu sebentar, Pangeran..." katanya membungkuk di ambang pintu.

   "Ji-mo (Iblis ke Dua), ada apa...?" Pangeran itu memandang dengan dahi berkerut.

   "Pangeran..." Iblis itu mendekat dan menjura dengan hormat.

   "Kita harus lekas lekas menentukan sikap, karena orang yang kita kirim ke Kotaraja telah mengirim berita bahwa pasukan Yap Tai-Ciangkun sudah berangkat untuk menumpas pasukan kita disini. Diperkirakan tengah hari besok mereka sudah akan tiba di tempat ini. Twako sekarang sedang berkeliling desa untuk mempersiapkan semua teman teman."

   "Apa? Begitu cepatnya Yap Tai-Ciangkun mengirim pasukan? Apakah suasana di Kotaraja sudah pulih dan baik kembali?" pangeran itu bangkit dari tempat duduknya dengan tegang. Kedua telapak tangannya mencengkeram pegangan kursi kebesarannya hingga hancur. Lapat-lapat tercium bau sangit bagai bau kayu terbakar! Sejenak orang-orang yang berada di dalam ruangan itu tersentak kaget. Begitu pula dengan Chu Seng Kun yang berada di atas genting. Ternyata pangeran yang masih muda itu mempunyai lweekang yang cukup tinggi pula! Tak heran sikapnya demikian keras dan sedikit sombong!

   "Demikianlah khabar yang dikirimkan kepada kita, pangeran!" jawab Iblis ke Dua dengan tegang pula.

   "Kurang ajar...! Lalu bagaimana dengan pasukan ayahanda pangeran yang mundur ke arah barat? Apakah kita sudah mengetahui beritanya?"

   "Belum! Tapi menurut pendengaran orang kita tersebut pasukan ayahanda pangeran untuk sementara akan tetap aman, sebab ayahanda pangeran telah membawa pasukan itu ke arah Pegunungan Kun-lun yang luas. Sangat sukar bagi pasukan Yap Tai-Ciangkun untuk mengejarnya."

   "Lalu... berapa besar kekuatan pasukan yang dikirim oleh Yap Tai-Ciangkun ke tempat ini? Adakah mereka lebih besar dari pada pasukan kita?"

   "Tidak begitu banyak, pangeran! Pasukan itu tidak lebih dari seribu orang, hanya separuh dari kekuatan kita disini. Tapi mereka membawa peralatan yang lebih lengkap dan bahan makanan yang sangat banyak untuk persediaan mereka. Ada lebih dari dua puluh kereta besar yang mereka pakai untuk membawa bahan makanan itu. Agaknya mereka telah bertekad untuk mengejar kita sampai dapat!"

   "Bah! Gila betul! Berarti tiada pilihan lain bagi kita selain bertempur menghadapi mereka. Tak ada gunanya kita lari atau menghindar dari mereka. Mereka akan tetap membuntuti kita dan akhirnya kita toh akan terpaksa berhadapan juga dengan mereka. Kemungkinan kita akan berada di pihak yang lemah malah! Dengan mudah pasukan yang mempunyai persediaan makan lebih dari cukup itu akan menangkap pasukan kita yang lelah dan kelaparan!"

   "Lalu... apa yang mesti kita perbuat sekarang, pangeran?" Ji-mo dan Sam mo bertanya hampir berbareng.

   "Pergilah kalian berdua menyusul Toa-mo. Siapkan seluruh kekuatan kita malam ini juga. Besok pagi akan kita atur persiapan untuk menyongsong pasukan musuh!"

   "Baik!" kedua orang itu menjawab, lalu bergegas mereka meninggalkan ruangan tersebut. Chu Seng Kun melihat pangeran itu dengan gelisah dan tegang berjalan mondar-mandir di dalam ruangan. Hampir saja ia meninggalkan genting itu ketika tiba-tiba pangeran tersebut berseru ke arah penjaga.

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Pengawal! Panggil Hong-gi-hiap Souw Thian Hai kemari! Lekas!" Bukan main terkejutnya Chu Seng Kun mendengar seruan pangeran itu. Pemuda itu sampai lupa bahwa dirinya sedang berada di atas genting dan sedang mengintai orang. Sehingga tanpa terasa ia bergerak dan menyentuh genting yang baru saja ia buka tadi. Terdengar suara gaduh ketika genting tersebut lepas dan meluncur turun ke bawah, kemudian jatuh serta pecah berantakan diantara kumpulan pengawal yang sedang makan minum bersama.

   "Babi! Bangsat! Anjing!" para pengawal itu menyumpah-nyumpah.

   "Siapa berada di atas? Turun!" pangeran itu dengan kaget juga berteriak. Hampir tak terikuti oleh pandangan mata biasa pangeran itu bergerak menyambar kursi kebesarannya, lalu dilontarkan ke atas ke arah di mana Chu Seng Kun berada.

   Terdengar suara gemuruh, lalu diikuti suara ribut yang hebat ketika kursi tersebut menghantam genting dan langit langit kamar, sehingga atap di mana Chu Seng Kun tadi mendekam bagaikan meledak hancur berkeping keping. Para pengawal dan para wanita yang berada di tempat itu bergegas menyelamatkan diri dari reruntuhan kayu dan genting yang berjatuhan ke arah mereka. Chu Seng Kun terpaksa meloncat pula menyelamatkan diri. Rasa kaget ketika mendengar disebutnya nama Hong-gi-hiap Souw Thian Hai tadi masih melekat di hatinya, sehingga ia menjadi salah langkah ketika bermaksud untuk melarikan diri. Bukannya meloncat kembali ke atas pohon, tapi kakinya justru meloncat turun ke atas tanah. Tentu saja sebelum dia menyadari kekeliruannya, para perampok itu dengan sigap telah mengepungnya.

   "Mata mata musuh! Mata-mata musuh! Tangkap!" teriak mereka bersama-sama. Berbagai macam bentuk senjata meluncur menyerang Chu Seng Kun! Terpaksa pemuda itu mengerahkan Pek-in ginkang untuk mengelak ke sana ke mari, kemudian dengan Kim-hongkun dia balas menyerang para pengepungnya dengan hebat.

   Terdengar beberapa orang diantara pengepungnya berteriak kesakitan sambil melepaskan senjata mereka, ketika secara aneh kedua tangan dan kaki Seng Kun dapat menerobos pertahanan mereka serta melukai tubuh mereka. Tapi para perampok itu semakin banyak yang datang, sehingga tempat tersebut menjadi penuh sesak oleh mereka. Chu Seng Kun tampak berkeringat juga akhirnya. Rasa rasanya sukar pula untuk melepaskan diri dari kepungan itu. Apalagi para perampok yang baru saja banyak minum arak itu menyerang dengan nekad, tanpa merasa takut sedikitpun. Mula mula Chu Seng Kun hanya berusaha melumpuhkan mereka tanpa melukai badan mereka. Tapi setelah beberapa saat lamanya, mereka ternyata tidak juga jerih, padahal korban serangannya telah bertumpuk-tumpuk berserakan di sekitar tempat itu.

   Bagaikan kawanan semut yang ganas mereka tetap merubung dirinya, kemanapun dia pergi. Beberapa saat kemudian justru dirinya yang mendapat luka karena sambaran pedang salah seorang diantara mereka malah! Akhirnya pemuda itu menjadi marah. Dengan berteriak keras tubuhnya melenting tinggi ke atas. Sekejap terdengar suara gemeretak tulangtulangnya ketika pemuda itu mengerahkan tenaga sakti Pai-hud ciangnya yang hebat! Lalu begitu tubuhnya turun kembali, terasa oleh para pengepungnya itu seakan-akan udara di sekitar mereka menjadi hangat bagai dihembus oleh udara panas. Dan sebelum orang orang itu sadar, kaki dan tangan Chu Seng Kun yang penuh lweekang tersebut telah menghantam ke arah mereka.

   "Plak! Plak! Blukk! Blukk!"

   "Aduuh!"

   "Auughh!"

   "Ohhhh!"

   Bagai rumput alang alang dilanda air bah, beberapa orang di antara para pengepung itu tercabut dari tempatnya dan berpelantingan menimpa kawan-kawannya, sehingga untuk sesaat lamanya Chu Seng Kun terlepas dari kepungan mereka. Tapi sebelum pemuda tersebut dapat memanfaatkan suasana yang kacau balau itu, dari luar telah meloncat tiga sosok bayangan menghadang di depannya. Ketiga sosok bayangan tersebut mengambil tempat di sekitar tubuhnya, agaknya menjaga agar dia tidak dapat melarikan diri. Chu Seng Kun memperhatikan mereka dengan seksama dan ternyata dua di antara mereka telah ia lihat di dalam ruangan tadi. Ji-mo dan Sam-mo dari Tung-hai Sam mo! Dan oleh karena yang datang sekarang adalah tiga orang, pemuda itu segera bisa menebak bahwa yang lain tentulah Toa-mo. Mereka bertiga kini telah lengkap berada di hadapannya!

   "Berhenti!" ketiga orang iblis dari Laut Timur itu berteriak berbareng. Wajah mereka yang bengis dan kasar itu memperlihatkan kemarahan yang tertahan. Melihat sikap mereka, Chu Seng Kun merasa bahwa akan percuma saja bila ia ingin memberi keterangan kepada mereka. Apapun yang akan dia katakan tentu tidak akan mereka percaya. Tampaknya ketiga Iblis yang ganas itu hanya ingin berkelahi dan membunuh, lain tidak! Oleh karena itu Chu Seng Kun tidak berkata sepatahpun. Dia justru mempersiapkan seluruh tenaga Pai-hud ciangnya. Dan sebelum mereka berkata lebih lanjut, kedua belah lengannya telah terayun ke depan dengan dahsyatnya.

   "Wuuuuussss...!" Serangkum angin hangat menerpa ketiga orang lawannya dan membuat hawa malam yang dingin itu menjadi terasa nyaman dan nikmat.

   Begitu nyamannya sehingga ketiga orang lawannya itu seperti sedang dibelai-belai oleh tangan-tangan yang halus. Mata mereka menjadi berat dan rasa-rasanya tadi kepingin tidur. Tetapi sesaat kemudian ketika tangan Chu Seng Kun yang penuh lweekang itu telah berada di dekat tubuh mereka, mereka baru menjadi sadar dan kelabakan setengah mati. Mereka baru sadar ketika dalam kenyamanan suasana itu tiba-tiba dada mereka seperti ditindih oleh barang yang beratnya ribuan kati, sehingga pernapasan mereka rasa-rasanya menjadi tersumbat dan sukar untuk bernapas. Darah mereka bergolak dan otomatis lweekang mereka meronta untuk mengadakan perlawanan. Dan sungguh untung bagi mereka bahwa pada saat-saat terakhir mereka bertiga mampu menghimpun lweekang masing-masing dan melontarkannya secara berbareng!

   "Bummmmm...!" dua buah himpunan lweekang bertemu di udara dan menimbulkan suara menggelegar seperti ombak menghantam gunung karang. Chu Seng Kun terdorong mundur dua langkah ke belakang, sementara ketiga lawannya jatuh terguling-guling beberapa meter jauhnya. Ketiga orang iblis dari Laut Timur itu melenting berdiri dengan cepatnya. Mula-mula wajah mereka menunjukkan perasaan heran dan takjub melihat kekuatan pemuda yang berada di hadapannya itu, tapi sejenak kemudian wajah mereka berubah menjadi gelap dan penuh nafsu membunuh.

   "Bangsat! Anjing busuk yang mau mampus. Setan mana yang mengirim engkau ke mari?" Toa-mo mengumpat umpat.

   "Hai, orang asing! Apa yang ditugaskan oleh Yap Tai-Ciangkun kepadamu? Menyelidiki kekuatan kami di sini?" Ji mo yang garangpun ikut berteriak. Ketika Chu Seng Kun tetap diam dan bahkan telah mempersiapkan lagi serangannya, mereka tidak berani lagi banyak omong. Toa-mo segera memberi isyarat kepada saudaranya untuk membentuk barisan Ang-cio hi-tin.

   "Siapapun adanya dia kita tidak peduli! Karena dia berani memasuki daerah kita, kita harus membungkam mulutnya untuk selama-lamanya. Siapkan Ang-cio hi-tin! Lekas!" Ketiga iblis tersebut cepat mencabut pedang mereka yang aneh. Kecuali Ji-mo yang memegang dua buah pedang, yang lain memegang sebuah pedang di tangan kanan mereka masing-masing. Masing-masing menempatkan dirinya di belakang kakak seperguruannya yang tertua secara berurutan. Chu Seng Kun melangkah setindak ke belakang melihat formasi lawan yang aneh itu. Dalam perantauannya selama ini ia belum pernah melihat atau mendengar bentuk barisan seperti itu. Dipandangnya senjata lawan yang panjang seperti gergaji sambil membayangkan moncong dari ikan cucut yang pernah ia lihat.

   "Ang-cio hi-tin! Barisan Cucut Merah! Apakah itu? Adakah itu sebuah nama ilmu silat andalan mereka yang mereka mainkan secara bersama? Dimanakah letak kehebatannya?" Tapi Chu Seng Kun tidak memperoleh banyak waktu lagi untuk berpikir. Ketiga iblis itu telah meloncat ke arah dirinya dan menyerang dengan pedang gergajinya! Seng Kun melangkah ke samping dengan tergesa-gesa untuk menghindari serangan itu, tapi karena ia tidak membawa senjata apapun, maka untuk selanjutnya ia hanya bisa mengelak saja kesana kemari, sedikitpun tidak berani menangkis.

   Padahal serangan lawan hampir tidak pernah berhenti dan memberi peluang bagi dirinya untuk mengambil napas. Tentu saja keadaan itu sungguh membuat ia menjadi repot sekali! Beberapa kali senjata gergaji itu hampir saja mengenai tubuhnya. Untunglah Pek-in Ginkang yang ia kerahkan masih mampu menolongnya. Tapi keadaan seperti itu terang tidak bisa berlangsung lama, apalagi ketika lapat-lapat ia mencium bau amis dari senjata yang aneh tersebut. Pemuda itu melirik ke sekelilingnya, mencari senjata yang dapat ia pakai untuk menahan serangan lawan. Dan ia menjadi gembira ketika beberapa jauh dari tempatnya berdiri tergeletak sebuah golok besar yang tadi ditinggalkan oleh para pengepungnya. Maka sambil mengelak dari cecaran lawannya ia beringsut sedikit demi sedikit ke arah tempat tersebut. Tapi Toa-mo tampaknya mencium maksudnya itu.

   "Singkirkan golok itu!" teriaknya ke arah anak buahnya yang menonton di pinggir arena, sementara pedang gergajinya semakin menekan lawannya. Gila. Chu Seng Kun menyumpah di dalam hati. Tampak beberapa orang perampok mengambil golok yang diincarnya itu. Terpaksa pemuda itu mengerahkan tenaga Pek-hudciangnya untuk mencari tempat-tempat lowong dari ketiga orang musuhnya. Tapi Ang-cio hi-tin tersebut memang benar-benar hebat! ertahanan dari pedang sepasang yang dipegang oleh Ji-mo sungguh kuat sekali, padahal kedua buah pedang yang dipegang oleh Toa-mo dan Sam-mo selalu menyerang secara bergantian.

   "Hahahaha... orang asing! Kini baru terbuka matamu, bukan? Haha...jangan harap kau bisa lolos dari tangan kami! Satu kali goresan saja dari pedang kami, kau akan berjingkrak-jingkrak seperti monyet kena terasi... dan... ginkangmu yang hebat itu tidak akan bisa lagi menolongmu." Ji-mo yang bersuara lantang itu terkekeh kekeh gembira.

   "Eh, pemuda tampan! Sudahkah engkau mendengar Racun Ubur-ubur Laut yang bisa bikin gatal itu? Hihihihi...itulah dia kalau engkau ingin merasakannya! Terimalah sebuah goresan saja dari pedang kami, hohoho...!" Sam-mo yang bertubuh kecil itu ikut mengolok-olok. Dari belakang ia mengayunkan pedangnya dari samping tubuhnya.

   "Racun Ubur-ubur Laut? Bukankah racun tersebut adalah racun yang hampir membunuh Yang Kun, temanku itu? Kalau begitu apakah orang ini pula yang melukainya...?" Dengan kaget Chu Seng Kun berdesah di dalam hati.

   "Chu-Twako!" tiba-tiba terdengar suara memanggil dari luar arena. "Serahkan orang itu kepadaku! Dialah yang hampir membunuh aku dahulu...!" Dan sebelum gema suara itu hilang, dari semak-semak di belakang mereka melayang sesosok tubuh ke tengah-tengah arena. Di lain saat di dalam arena telah bertambah dengan seorang pemuda lagi, Chin Yang Kun! Kali ini giliran dari Tung-hai Sam-mo yang dibuat kaget setengah mati. Tapi rasa kaget itu segera berubah menjadi perasaan gembira bukan main begitu melihat siapa yang datang.

   "Hahaha-hohoho... anak setan! Benar-benar ajaib! Dicari cari kemana-mana tidak ketemu tidak dicari malah datang sendiri! Hohoho...Sudah digariskan oleh takdir bahwa kau memang harus mampus di tangan kami. Nah, lekas berikan benda itu kepada kami!" Sam-mo yang sejak dahulu masih juga takabur itu tertawa berkepanjangan.

   "Benar, engkau agaknya selama ini juga mencari kami untuk mengembalikan benda berharga kepunyaan pendekar Li itu..." Toa-mo menyambung perkataan adiknya.

   "Dan...jangan sampai kami melukai engkau lagi dengan pedang ini," Ji-mo ikut berbicara. Ketiga orang iblis itu benar-benar tidak memandang dengan sebelah mata kepada Chin Yang Kun. Mereka masih meremehkan pemuda itu sebagaimana pada pertemuan mereka setahun yang lalu, dimana pada saat itu mereka dapat melukai dan menawan pemuda tersebut tanpa kesulitan.

   "Yang-hiante, iblis inikah yang dulu melukai engkau...?" Chu Seng Kun menyambut kedatangan kawannya dengan gembira.

   "Benar!" pemuda itu mengangguk. "Oleh karena itu biarkanlah aku membalaskan sakit hatiku itu." Yang Kun berkata mantap.

   "Tapi kuminta Yang-hiante tidak membunuh mereka! Toh dahulu Yang-hiante juga tidak sampai mati di tangan mereka..." Chu Seng Kun yang sangat mengetahui siapa adanya Chin Yang Kun sekarang benar-benar merasa khawatir jikalau pemuda itu akan menyebar kematian di tempat tersebut. Yang Kun menoleh sekejap kepada temannya lalu dengan sedikit mengangguk dia kembali mengawasi lawannya.

   "Asal mereka tidak terlalu mendesakku, aku juga tidak akan membunuh mereka," katanya.

   "Aku hanya ingin membalas perlakuan yang pernah mereka lakukan kepada diriku..." Kedua orang pemuda itu berbicara seenaknya seakan-akan Tung-hai Sam-mo yang mereka bicarakan itu tidak berada di hadapan mereka. Mereka berbicara seolah-olah mereka berdua telah yakin benar bahwa mereka pasti dapat menundukkan lawan-lawannya dengan mudah!

   Tak heran jika iblis itu menjadi marah bukan main. Seakan berdiri semua rambut di kepala mereka mendengar kata-kata yang bernada meremehkan tersebut! Apalagi perkataan itu dikeluarkan oleh dua orang yang mereka anggap berkepandaian di bawah kemampuan mereka.

   "Gila! Benar-benar gila...!" Toa-mo mencak-mencak.

   "Bocah! Apakah engkau telah lupa bahwa kau tadi nyaris mampus di tangan kami? Dan... kau bocah yang dulu juga mau mampus pula! Apakah kau juga telah melupakan pengalamanmu ketika kami seret dari luar kota Tie-kwan sampai ke tempat tinggal pendekar Li itu?" teriaknya sambil melotot ke arah dua pemuda itu berganti-gantian. Tapi sedikitpun kedua pemuda itu tidak menggubris kemarahan iblis tersebut. Keduanya justru saling memandang dengan senyum dikulum. Hampir meledak rasanya dada ketiga iblis yang biasa ditakuti orang itu.

   "Hiyaaaaaat...!" ketiga-tiganya berteriak berbareng. Dengan formasi Ang-cio hi-tin yang pernah mereka pakai untuk menundukkan Chin Yang Kun, Tung-hai Sam-mo kembali menyerang pemuda tersebut. Pedang gergaji yang berada di tangan Toa-mo meluncur cepat ke arah tenggorokan Yang Kun. Gerakan mereka persis gerakan seekor ikan cucut yang sedang menerjang mangsanya. Biarpun hanya Toa-mo yang menyerang, tetapi ternyata kedua orang adiknya juga ikut melayang bagai menempel di badan Toa-mo!

   Tetapi Chin Yang Kun yang mereka hadapi sekarang bukanlah Chin Yang Kun beberapa tahun yang lalu. Selain kepandaiannya telah maju berlipat ganda, pemuda tersebut memang telah mempersiapkan diri jika sekali waktu bertemu kembali dengan musuh lamanya itu. Dan kini cita-citanya tersebut telah terlaksana, tanpa terduga ia dapat berhadapan muka dengan mereka! Tapi untuk menjajagi kekuatan mereka bila bandingkan dengan kekuatannya sekarang, Yang Kun tidak lekas-lekas menginjak tempat kelemahan barisan itu. Beberapa saat lamanya ia masih berusaha mengelak kesana kemari dengan sesekali juga melontarkan serangan balasan. Kadang-kadang terbersit juga pada pikiran Yang Kun untuk mengadu kekuatan tenaga dalamnya yang ampuh itu dengan kekuatan gabungan mereka yang dulu mampu menggempur dan menggencet dirinya.

   

Harta Karun Kerajaan Sung Eps 1 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 11 Darah Pendekar Eps 30

Cari Blog Ini