Pendekar Penyebar Maut 18
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 18
"Maaf, aku sangat terburu-buru! Biarkanlah aku pergi...!" serunya perlahan.
"Eeit! Nanti dulu...!" gadis bertangan buntung itu mencegah. Lengan kanannya yang masih utuh itu tampak melayang ke depan dengan cepat, meraih ujung pakaian gadis berbaju hitam yang mencurigakan tersebut. Tapi dengan gerakan yang sangat aneh gadis berbaju hitam itu mengelak. Tubuhnya yang ramping itu melejit lebih cepat ke depan seperti kuda yang dilecut pada punggungnya, begitu tangan Iawannya hampir mencapai ujung bajunya! Padahal gerakan tersebut dia lakukan ketika tubuhnya masih melayang di udara, jadi tak ada sesuatu benda atau barangpun yang bisa dipakai sebagai landasan kakinya.
Sekejap gadis buntung itu menjadi termangu oleh kehebatan lawannya, sehingga ia sedikit terlambat ketika menyadari bahwa lawannya telah menginjakkan kakinya di atas tanah. Terburu-buru ia mengejar. Tapi belum juga ia meloncat turun dari atas genting, dari bawah tiba-tiba meluncur belasan jarum-jarum kecil yang mengarah kepada dirinya. Terpaksa gadis itu mengurungkan niatnya untuk mengejar. Lebih dahulu ia mengelak dan mengebut serangan jarum itu dengan saputangannya yang lebar. Baru setelah jarum jarum tersebut dapat ia runtuhkan semuanya, ia melayang turun dari atas genting. Tapi bayangan gadis yang mahir berloncatan di udara itu telah lenyap. Di bawah ia justru menjumpai Toat-beng-jin dan Tong Ciak Cu-si.
"Oh, nona Souw! Engkau belum tidur juga?" Dengan terkejut orang tua itu menegur. Lalu dengan dahi berkerut ia melanjutkan, "Apakah yang terjadi? Bukankah kesehatan nona belum pulih kembali?"
"Maafkan siauwte, Lo-Cianpwe...! Bukannya siauwte mau melalaikan nasehat Lo-Cianpwe, tapi aku menjadi tidak enak hati ketika mataku secara tak sengaja melihat berkelebatnya seorang asing di halaman samping dari kuil ini. Maka aku lantas menyongsongnya! Tak kusangka orang itu lihai sekali, sehingga siauwte kehilangan jejaknya." Souw Lian Cu menerangkan.
"Hah?!?" Toat-beng-jin terperanjat, kemudian menoleh kepada Tong Ciak yang berada di sampingnya.
"Tong-hiante, bagaimana...? Perasaanku benar, bukan? Ada seseorang yang datang ke kuil ini mengintai kita!" Tong Ciak mengangguk-angguk.
"Nona Souw... lalu ke mana larinya orang itu?" tanyanya kemudian.
"Dia meloncat turun dari atas genting ketika kukejar, tapi ternyata aku tidak bisa menemukannya kembali..."
"Hmm, kalau begitu..., marilah kita berpencar mencarinya!" Toat-beng-jin berkata.
"Marilah! Tapi kuharap nona Souw lebih berhati-hati bila mendapatkannya, kesehatan nona belum mengijinkan bila dipakai untuk bertempur mati-matian." Tong Ciak menyahut.
"Baiklah, terima kasih!" Mereka lantas berpencar. Dan agar supaya keadaan tidak menjadi ribut dan gaduh, sehingga akan lebih menyukarkan pencarian mereka, maka mereka menyusup kesana kemari tanpa menimbulkan kecurigaan penghuni kuil lainnya. Tapi meskipun sudah berusaha dengan keras, gadis berbaju hitam yang dipergoki oleh Souw Lian Cu tadi ternyata tidak mereka ketemukan. Gadis itu seperti lenyap ditelan bumi. Ketika mereka melayangkan pandangan mereka ke sekitar kuil, mereka juga tidak melihat sebuah bayanganpun yang melintasi tanah berumput di sana.
"Gila! Ke manakah orang itu? Tak mungkin rasanya..."
"Lojin-ong! Tong Ciak Cu-si! Di depan kuil ada tamu dari Mo-kauw yang ingin bertemu..." tiba-tiba dari arah pendapa terdengar suara orang mencari mereka.
"Huh! Ada apa pula dengan orang Mo-kauw itu malam malam kemari?" Tong Ciak yang sedang penasaran itu menggeram.
"Aku benar-benar bisa membunuh orang hari ini...!"
"Tong-hiante! kau bersabarlah! kau jangan terpancing oleh situasi yang belum jelas seperti ini! Salah salah kau bisa menyesal nanti!" Toat-beng-jin memperingatkan rekannya yang agak pemarah itu. Tong Ciak menatap orang tua yang berada di sampingnya itu, dan begitu dilihatnya orang tua tersebut berbicara dengan serius dan juga balas memandang pada dirinya dengan tajam berwibawa, maka hatinya bagai tersentuh dengan tiba-tiba. Ah, benar juga, ia berpikir di dalam hati. Orang tua ini mempunyai mata batin yang sangat tajam, siapa tahu dia memang telah mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang peristiwa ini. Maka dengan menghela napas berat tokoh bertubuh pendek itu mengangguk.
"Maafkan aku, Lojin-ong! Aku memang terlalu mudah marah..."
"Tidak apa, Tong-hiante. kau memang masih muda, itu sudah biasa dan wajar. Nah, marilah kita ke depan untuk menemui mereka! Marilah, nona Souw! kau pun boleh ikut bersama kami, siapa tahu orang itu Pek-i Liong-ong yang melukai dirimu?"
"Terima kasih, Lo-Cianpwe." Gadis itu menjawab dengan bersemangat. Ketiga orang itu lalu berlari ke depan, sehingga tempat itu menjadi sepi kembali.
"Mereka sudah pergi ke depan. Biarlah aku pergi pula meloloskan diri melalui pintu belakang. Terima kasih atas bantuanmu!" tiba-tiba terdengar suara lirih dari kamar Chin Yang Kun. Suara gadis berbaju hitam tadi! Dan beberapa saat kemudian pintu kamar Chin Yang Kun tampak terkuak sedikit, dan di lain saat dari dalam kamar tampak sesosok bayangan hitam melesat keluar dengan cepat sekali. Bayangan itu dengan gesit menerobos semak-semak yang tumbuh di halaman belakang dan sebentar kemudian telah terlihat melompat tembok pagar. Lalu hilang di dalam keremangan malam. Bagaimana gadis itu sampai berada di kamar Chin Yang Kun? Apakah gadis yang lihai dan cerdik itu telah memanfaatkan keadaan Yang Kun yang belum segar benar itu untuk menyembunyikan diri dari kejaran tokoh-tokoh sakti itu?
Setelah melepaskan jarum-jarumnya yang lihai untuk menahan kejaran Souw Lian Cu, gadis itu menyelinap melalui lorong yang berada di muka kamar Chin Yang Kun. Tak terduga dari halaman samping muncul Toat-beng-jin dan Tong Ciak, agaknya juga bermaksud ke ruangan belakang, sehingga langkah gadis itu menjadi terhenti. Untung mereka belum melihatnya. Oleh karena tak ada tempat yang baik untuk berlindung di sekitarnya, maka dengan nekad gadis itu membuka pintu kamar yang berada di sampingnya, dan cepat ia menerobos masuk! Ternyata kamar tersebut adalah kamar Chin Yang Kun! Dan pemuda yang baru saja memasuki kamarnya itu masih tampak duduk di tepi pembaringannya. Melamun. Tentu saja kedatangan gadis asing sangat mengagetkannya. Apalagi ketika dengan tergesa-gesa gadis itu menaruh jari telunjuknya yang runcing itu di muka mulutnya.
"Ssst!" Lalu selagi Yang Kun masih juga terlongong-longong oleh kejadian yang mendadak tersebut, gadis itu telah meloncat ke atas pembaringannya, kemudian dengan kasar menyentakkan lengannya, sehingga tanpa dapat ditahan lagi tubuh Yang Kun terlentang di atas kasur. Selanjutnya, sebelum Yang Kun tersadar juga dari keterkejutannya yang membingungkan itu, si gadis telah memeluk dan menyelimuti tubuh mereka berdua dengan selimut yang tersedia. Hanya bedanya, gadis itu menyelimuti seluruh badannya, sementara Yang Kun masih kelihatan kepalanya.
"Jangan kurang ajar dan berpikir yang bukan-bukan, apalagi mempunyai pikiran kotor! Awas, pisauku telah menempel di ulu hatimu! Sekali engkau bergerak yang mencurigakan nyawamu akan melayang!" bibir merah yang bersuara merdu itu berbisik di telinganya.
Sebenarnya pemuda itu agak merasa tersinggung, apalagi ketika pisau yang ditekan pada ulu hatinya itu terasa menggores kulitnya. Hampir saja, dia bergerak untuk melawan! Tapi niat itu segera batal ketika dilihatnya wajah yang hampir menyentuh ujung hidungnya itu memandang kepadanya dengan muka polos. Sekilas pemuda itu seperti menatap bulan purnama yang sedang memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang, sehingga untuk sejenak dia menjadi terpesona dan terhanyut oleh tatapan mata yang indah berpendar-pendar itu. Apalagi ketika tubuh yang lembut dan hangat itu terasa menempel ketat di badannya. Seperti terkena oleh aliran magnit yang sangat kuat, tubuhnya menjadi gemetar dan darahnya terasa semakin cepat mengalir di dalam urat-uratnya. Otomatis tangannya bergerak ke depan dan mengelus pinggul yang membusung di sampingnya.
"Plaak!" tiba-tiba telapak tangan gadis itu menampar pipi Yang Kun.
"Kurang ajar! Engkau mau apa? Lepaskan tanganmu!" gadis itu berbisik marah.
"Aku... aku..." pemuda itu tergagap kaget dan sadar dari keadaannya penuh gairah tadi, lalu, "Gila! kau juga cantik sekali, sih...!" gumamnya mendongkol sambil mengusap pipinya yang kemerah-merahan. Kemudian dengan gusar ia bangkit dari tempat tidurnya.
"Berhenti!" gadis itu menarik lengan Yang Kun, sehingga yang belakangan ini terjatuh kembali di atas pembaringan.
"Apa maumu sebenarnya?" Yang Kun menjadi marah juga akhirnya. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki menuju kamar mereka.
"Diam! Ada orang datang! Tetaplah engkau berbaring di sini! Kalau nanti ada orang masuk dan bertanya kepadamu, katakanlah bahwa engkau tidak melihat apapun di sini. Awas! kau ingatlah baik baik! Jangan berbuat sesuatu yang mencurigakan! Nah...!" gadis itu menghardik seraya menyelimuti dirinya kembali seperti tadi. Pisaunya menempel pula di ulu hati Yang Kun.
"Tok! Tok! Tok!"
"Siapa...?" Yang Kun segera menyapa ketika pisau tersebut menekan dadanya. Pintu itu segera dibuka dari luar. Gadis cantik bertangan buntung itu tampak berdiri di muka pintu, sehingga Yang Kun yang tidak menduganya benar-benar menjadi terkejut sekali! Coba kalau gadis yang berada di bawah selimutnya itu tidak mencengkeram lengannya, ia pasti sudah melompat menyongsongnya.
"Nona Souw... apa... apa maksudmu kemari?" ia bertanya dengan gugup.
"Huh!" Souw Lian Cu melengos, agaknya ganjalan hatinya terhadap Yang Kun tak pernah bisa hilang dari benaknya.
"Apakah kau melihat seorang gadis berpakaian hitam-hitam masuk ke mari?" Hening sejenak. Yang Kun tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut. Kedatangan gadis buntung yang sangat menarik hatinya itu memang tidak terduga sama sekali olehnya, apa lagi dalam keadaan kikuk seperti itu.
Oleh karena itu tidak heran bila jawaban-jawaban yang telah dipersiapkan tadi menjadi hilang lenyap dari otaknya. Beberapa saat lamanya Yang Kun hanya melotot tertegun mengawasi Souw Lian Cu. Hatinya menjadi bingung, apa yang mesti diperbuatnya. Menunjukkan gadis yang berada di bawah selimutnya itu apa tidak! Sesaat terbesit pikirannya untuk menghukum gadis, "kurang ajar" yang kini sedang memeluk dirinya itu. Tapi di lain pikiran lalu berkelebat untuk melarangnya, bukankah hal itu akan berarti membuat gadis buntung tersebut menjadi semakin benci padanya? Bagaimana tanggapan gadis itu apabila melihat dirinya berpeluk-pelukan dengan seorang gadis di atas tempat tidur? Bukankah gadis itu akan benar-benar mencap dirinya sebagai seorang laki-laki yang suka tidur dengan wanita yang bukan isterinya?
Tapi kesempatan untuk membalas dendam atas perlakuan gadis kurang ajar ini tak boleh disia-siakan. Maka ketika Souw Lian Cu membentak lagi karena ia tidak segera menjawab pertanyaannya, Yang Kun berlagak kaget. Dengan tenang pemuda itu bangkit perlahan-lahan, lalu duduk di atas pembaringannya, sehingga otomatis gadis yang berada di dalam selimutnya terpaksa ikut-ikutan bergeser mengikutinya. Tubuh indah itu meringkuk seperti udang di belakang pantatnya. Dan ketika secara sambil lalu pemuda itu melirik, tampak paha dan pinggul si gadis binal tersebut menjulang tinggi di sampingnya. Dan meskipun tertutup oleh selimut yang rapat, tapi pemandangan itu sungguh amat mempesonakannya. Gila, pemuda itu mengumpat dalam hati, gadis ini memang benar benar hebat!
"Gadis berbaju hitam...? Sebentar...akan kuingat-ingat dahulu..." pemuda itu berlagak dengan memegangi kepalanya, sehingga gadis dalam selimut itu menjadi mendongkol bukan main.
"Kurang ajar! Apa maumu...?" gadis itu menggeram perlahan.
"Kubunuh engkau nanti!"
"Kau bilang apa? Katakan yang jelas! Jangan pringas pringis!" Souw Lian Cu melotot.
"Kumaksudkan... aku seperti mendengar langkahnya... dan sekilas aku juga seperti melihat bayangannya." Yang Kun segera menyahut. Tangannya dengan tenang mengelus-elus bukit dan lereng yang tersembul di sampingnya, seolah-olah mengelus-elus pinggul dan pahanya sendiri. Entahlah, mendadak saja timbul niatnya untuk menggoda gadis itu. Dapat dibayangkan bagaimana perasaan gadis yang melingkar dalam pengapnya selimut itu. Rasa kesal, gemas, mengkal dan mungkin banyak perasaan yang lain lagi. Apalagi ketika dirasakannya tangan pemuda itu mulai menggerayangi paha, pinggul tanpa ia dapat berbuat apa-apa untuk mengelakkannya.
"Sungguh? Lalu kemana bayangan itu berkelebat pergi?" Souw Lian Cu menegaskan. Sedikitpun gadis ini tidak sadar kalau sedang dipermainkan oleh Yang Kun.
"Ehmmm... berkelebat ke arah belakang" Yang Kun menjawab sekenanya.
"Bagus! Terima kasih!" gadis cantik bertangan buntung itu berseru sambil menutup pintu kembali dan berkelebat lenyap ke halaman belakang.
"Plak! Plak! Plok!" Yang Kun menerima tiga kali tamparan lagi begitu Souw Lian Cu telah lenyap dari depan pintu.
"Bandot tua berotak cabul! Berani benar kau mempergunakan kesempatan untuk meraba-raba pinggul dan pahaku, yaa...,? Berani benar kau...?"
"Eh! Gadis buntung itu datang kembali...!" Yang Kun berpura-pura menoleh ke arah pintu dengan kaget, sehingga tanpa berpikir panjang lagi gadis binal itu menyusup kembali ke dalam selimutnya. Tapi setelah sekian lama dinanti, tak seorang yang muncul di depan kamar, apalagi ketika diintipnya pemuda itu tampak tersenyum-senyum sendirian, yakinlah gadis itu bahwa sekali lagi ia telah dipermainkan orang.
"Plak! Plak!" Lagi lagi Yang Kun memperoleh hadiah tamparan. Cuma kali ini tidak di atas pipi, tapi diatas dada dan bahunya.
"Pemuda cabul! Pemuda kurang ajar! Pemuda tidak tahu aturan! Tidak sopan...!" gadis itu mencecar dengan umpatan dan makiannya. Yang Kun mengelak, lalu meloncat turun dari tempat tidurnya. Bisa hancur badannya kalau dia tidak lekas-lekas menghentikan ulah gadis yang tidak tahu aturan itu.
"Berhenti! Enak saja kau menyakiti tubuhku. Lihat! Siapa yang kurang ajar? Siapa yang tidak tahu aturan? Siapa yang tidak sopan?" Yang Kun berdesis marah. "...Kau atau aku?" ternyata gadis itu tidak kalah gertak. Dengan ringan tubuhnya yang indah itu mencelat ke hadapan Yang Kun. Lalu sambil bertolak pinggang telunjuk jari tangan kanannya menuding-nuding muka pemuda dihadapannya. Bibirnya yang mungil lancip itu berkicau tak henti-hentinya, sehingga Yang Kun yang sedianya mau marah itu justru tidak kebagian tempat malah!
"Kurang ajar! Apa katamu? kau bilang aku tidak tahu aturan? kau bilang aku tidak sopan santun? Begitu? Wah, jaga mulutmu! Jangan kau biarkan dia mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hatiku! Salah-salah aku bisa sungguh sungguh membunuh kamu nanti..."
"Hei, gadis tak..."
"Hah?!? Masih mau membantah? Apakah ingin kutampar lagi mukamu yang jelek itu? Atau kupatahkan dulu lehermu sehingga kau tidak dapat berkutik pula? Atau...?"
"Kurang ajar! Gadis gi..."
"Apa? kau masih saja memaki aku kurang ajar? Kapan aku kurang ajar terhadap nenek moyangmu? Bukankah kau yang kurang ajar mengelus-elus pahaku? Kini mulutmu yang berbau jengkol itu malah menuduhku yang bukan-bukan. Minta ditampar lagi, yaaa..."
"Gadis tak tahu aturan...!"
"Tak tahu aturan... hidungmu!! kau lah yang tidak tahu aturan sama sekali! Ada seorang wanita mendapat kesukaran, kau justru malah menggoda dan menghinanya! Aturan mana itu?"
"Kau...?"
"Seharusnya kau sebagai laki-laki justru harus menolongnya, tidak mengambil kesempatan untuk menggerayangi malah... Huh! Laki-laki apa itu? Enak yaa... Pegang-pegang tubuh orang?"
"Aku..." Yang Kun termangu-mangu seperti orang bisu.
"Apa lagi? Masih penasaran? Kurang ajar! Seharusnya akulah yang masih penasaran atas kekurangajaranmu... enak saja mengelus pinggul orang!"
"Bukankah... bukankah kau sendiri yang memulai...?"
"Bandot tua bermulut lancang! kau malah menuduhku yang memulainya? Engkau menuduh aku yang mulai merayumu? Engkau... menuduh aku menggerayangi lebih dulu tubuhmu yang berkeringat menjijikkan itu? Huh, pemuda yang tak mengenal sopan santun! Pemuda yang tak tahu diri...!" dapat dibayangkan betapa mendongkolnya pemuda itu.
"Diam! Awas, kalau engkau tidak diam, aku akan berteriak keras-keras sehingga semua orang akan datang ke tempat ini!" akhirnya Yang Kun memuntahkan kekesalannya. Benar juga! Gadis yang menggemaskan itu segera menghentikan kicauannya dengan rasa gusar. Ancaman tersebut benar-benar merisaukannya.
"Baiklah... baiklah! aku akan pergi dari sini. Terima kasih atas bantuanmu." Gadis itu beranjak dari tempatnya, lalu keluar meloloskan diri dari tempat tersebut. Yang Kun menghempaskan dirinya ke tempat tidur kembali. Kali ini benar-benar merasa mendongkol bukan main hatinya.
"Gadis cantik tapi tak punya aturan sama sekali...!" geramnya agak keras. Tapi bukan main terperanjatnya dia ketika dari jauh terdengar suara lapat-lapat jawaban gadis itu dalam ilmu mengirim suara dari tempat jauh (coan-im jib-bit).
"Memangnya kau tahu siapa aku? Aku adalah murid dari seorang tua yang tak pernah memperdulikan segala macam aturan di dunia ini. Orang kang-ouw menyebut diriku Put-sia Niocu (Perawan Yang Tak Tahu Adat)...!"
"Ooh... lagi-lagi orang dari aliran Bing-kauw!" Yang Kun menghela napas. Demikianlah malam semakin larut dan pemuda itu segera merebahkan diri pula di atas tempat tidurnya. Beberapa saat lamanya ia masih membayangkan bahwa baru saja tadi disampingnya tergolek gadis cantik yang memeluk dirinya dengan ketat. Kasur serta selimut yang dipakainya masih terasa hangat.
"Orang orang dari kalangan persilatan memang aneh aneh..." pemuda itu membatin.
"Gadis itu demikian cantiknya... tapi karena menjadi murid Put-ceng-li Lojin, wataknya menjadi aneh dan tidak mengenal sopan santun dan adat-istiadat umum. Hmm, enak saja masuk ke kamar orang. Naik ke tempat tidur dan memeluk laki-laki penghuninya malah...!! aturan dari mana itu?" Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Apalagi ketika teringat bagaimana gadis itu tidak mau mengakui atau menyadari kesalahannya, tapi sebaliknya malah menjadi marah dan menyalahkan orang lain. Sungguh amat sayang sekali!
Sementara Yang Kun sibuk dengan pikirannya ternyata di pendapa depan kuil itu telah terjadi sesuatu pula yang tak kalah tegangnya. Tamu yang datang ternyata adalah tokoh-tokoh pimpinan Aliran Mo-kauw sendiri. Mereka terdiri dari orang tua berseragam hitam-hitam ringkas, tapi di luarnya mereka menggunakan jubah hitam pula yang sangat tebal dan lebar. Di belakang kedua orang itu mengiringkan seorang laki-laki berusia setengah baya, dengan seragam ringkas berwarna coklat-coklat serta menutup pula dengan jubah lebar berwarna coklat tua. Sementara di belakangnya lagi berdiri tiga orang berseragam biru-biru, berjubah biru dan usianya juga lebih muda lagi. Mereka berenam tampak terperanjat sekali ketika Toat-beng-jin dan Tong Ciak Cu-si keluar menemui mereka.
"Oh, Toat-beng-jin dan Tong Ciak Cu-si ada disini kiranya..." Salah seorang dari orang yang berjubah hitam itu menyapa.
"Hei! Tumben benar saudara Bhong Kim Cu dan saudara Leng Siau datang ke kuil kami yang sepi ini. Mari... mari, silahkan duduk!" Toat-beng-jin yang agaknya telah mengenal mereka menyahut dan mempersilahkan mereka untuk duduk.
"Terima kasih! Wah, kami hanya merepotkan tuan rumah saja, malam malam berkunjung kemari..." orang yang dipanggil dengan nama Bhong Kim Cu itu berbasa-basi. Seperti telah diketahui bahwa Aliran Mo ini muncul lebih kurang dua atau tiga ratus tahun sebelum cerita ini terjadi, yaitu sekitar 500 tahun sebelum Masehi. Adapun guru besar mereka yang pertama adaIah Mo Ti, yang hidup antara tahun 490-403 sebelum Masehi.
Dengan meminjam nama guru besar mereka itulah para penganut aliran itu menamakan aliran kepercayaan mereka dengan sebutan Mo kauw. Biarpun antara kedua aliran itu, yaitu antara aliran Im-yang-kauw dan Aliran Mo kauw, sebenarnya boleh dikatakan sejalan dalam ajaran ajarannya, tapi dalam praktek penyebarannya ternyata terdapat perbedaan yang menyolok di antara mereka. Kedua buah aliran kepercayaan ini sama sama mengajarkan dan menuntun manusia ke arah kebahagiaan dan kesempurnaan hidup manusia di alam semesta yang maha luas ini. Hanya bedanya, kalau Aliran Im-yang-kauw dalam praktek sehari-harinya banyak bergulat dengan dunia mistik dan hal hal aneh yang sering terjadi di alam semesta, Aliran Mo-kauw lebih bersifat kenyataan dan berdasarkan logika-logika yang masuk akal.
"Eh, angin apakah kiranya yang meniup Loheng berdua sampai kemari? Tentu bukan untuk mencari aku dan Tong Ciak Cu-si, bukan...?"
"Sebenarnya memang tidak... Tapi dengan adanya Toat-beng-jin dan Tong Ciak Cu-si disini sungguh suatu kebetulan sekali bagi kami... Kami berdua dengan para murid ini tidak usah jauh jauh pergi ke Gedung Pusat Im-yang-kauw untuk menemui saudara berdua..." Bhong Kim Cu tersenyum.
"Maaf... ada urusan apakah kiranya?" Tong Ciak ikut ambil suara. Kedua tokoh Mo-kauw berjubah hitam itu saling memandang satu sama lain, lalu seperti mendapatkan sebuah aba-aba keduanya menghela napas bersama-sama. Yang bernama Leng Siau yang sejak kedatangannya tadi belum pernah mengeluarkan suara tampak beringsut maju.
"Jiwi Loheng (saudara berdua), sebenarnya urusan ini adalah urusan yang sangat sepele. Tapi karena kami rasa kalau tidak lekas lekas diselesaikan akan bisa berkembang menjadi besar dan berlarut-larut, maka kami berdua terpaksa mewakili Mo cu (Ketua Aliran Mo) untuk menyelesaikannya." orang she Leng itu berkata. "Ah, kami menjadi semakin tidak sabaran untuk mendengarkannya. Leng Loheng, silahkan cepat cepat mengatakannya kepada kami...!" Tong Ciak mendesak.
Kemudian jago Im yang kauw yang terkenal keras dan pemarah ini melirik ke samping, di mana Souw Lian Cu tampak berdiri di antara para penghuni kuil lainnya. Jangan jangan urusan itu adalah urusan yang menyangkut diri gadis buntung itu, pikirnya. Sementara itu Souw Lian Cu masih tetap berdiri tenang di tempatnya. Tadi begitu melihat bahwa yang datang bukan Pek-i Liong-ong sendiri, hatinya sudah menjadi tenang dan tidak merasa tegang lagi. Meskipun begitu karena yang datang itu ternyata juga bukan tokoh rendahan, maka gadis itu tetap berminat untuk menyaksikan apa yang bakal terjadi.
"Karena kurangnya pengertian dan kurangnya mereka mendalami ajaran agama yang diperolehnya, maka banyak di antara para pengikut kami bentrok dan berselisih dengan para pengikut dari aliran lain. Perselisihan itu terutama sering terjadi antara para pengikut kami dengan para penganut Aliran Bing-kauw. Hanya kadang-kala saja sering juga kami dengar persengketaan mereka dengan para pengikut Im-yang-kauw..." Leng Siau memulai ceritanya. Matanya yang berkilat tajam sebagai tanda bahwa lweekangnya benar-benar sangat tinggi tampak beredar mengawasi pihak tuan rumah. Lalu setelah beberapa kali mengedarkan pandangannya, tokoh sakti dari Aliran Mo-kauw tersebut meneruskan penuturannya.
"Perselisihan-perselisihan seperti itu terang tidak baik dan sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran yang kita kumandangkan selama ini...Oleh sebab itulah pihak kami selalu menahan diri dan berusaha mengalah sebisa-bisanya. Beberapa kali orang Bing-kauw selalu membuat gara gara, dan... beberapa kali pula kami selalu menghindar dan mengalah, sehingga biarpun sering bentrok tetapi semua itu hanya terbatas pada perselisihan-perselisihan yang kecil dan ringan saja. Tak pernah perselisihan itu menjadi berlarut larut, apalagi sampai terjadi korban. Tapi..." sekali lagi Leng Siau menghentikan perkataannya, matanya dengan tenang menatap Tong Ciak dan Toat-beng-jin lekat-lekat. Beberapa saat lamanya dia berdiam diri sehingga Tong Ciak menjadi semakin tidak sabar menunggunya.
"Tapi... bagaimana, Leng Loheng?" desaknya. Leng Siau mengalihkan pandangannya ke atas ke arah langit langit pendapa yang tinggi dan terbuat dari kayu pilihan itu, seolah-olah ia ingin mencari pegangan untuk mengeluarkan isi hatinya.
"Maaf! Mungkin jiwi Loheng benar-benar belum mengetahui peristiwanya..." tokoh Mo-kauw itu lekas-lekas menambahkan melihat kekagetan tuan rumah.
"Leng Loheng, jangan berbelit belit lagi! Lekas katakan, apa yang mengejutkan kalian itu!" Toat-beng-jin yang biasanya sangat tenang itu menjadi tegang pula.
"Ji wi Loheng..., silahkan duduk dan menenangkan hati dahulu agar kita tidak menjadi saling bersalah paham nanti. Tentu akan lohu ceritakan peristiwa yang sangat melukai perasaan kami itu. Tapi marilah kita bicarakan secara perlahan-lahan!" Bhong Kim Cu ikut menenangkan hati kedua tokoh Im-yang-kauw tersebut.
"Ahh...!" Akhirnya kedua tokoh Im-yang-kauw itu duduk pula kembali dengan menghela napas berat, ketenangan yang diperlihatkan oleh kedua orang tamunya itu bagai air dingin yang menyejukkan hati mereka, sehingga ketegangan yang menggantung di dada mereka seperti larut pula karenanya.
"Nah, silahkan Bhong Loheng dan Leng Loheng menceritakannya kepada kami...!" Toat-beng-jin menatap penuh perhatian.
"Baiklah! Kami akan bercerita..." Bhong Kim Cu mengangguk. Kemudian berceriteralah kedua tokoh Mo-kauw itu bergantian. Mereka saling melengkapi keterangan temannya, sehingga cerita yang mereka paparkan menjadi semakin lengkap dan jelas. Begitu pandainya mereka bercerita sehingga Tong Ciak yang biasanya selalu mengumbar perasaan, kali ini tampak diam saja terpaku di tempatnya.
Sejak munculnya aliran kepercayaan Mo-kauw di Tiongkok pada abad kelima sebelum Masehi hingga sekarang, para pengikut dan penganut aliran ini belum pernah bersatu dalam suatu wadah atau organisasi yang teratur. Orang-orang mereka yang berjumlah jutaan dan tersebar di seluruh daerah Tiongkok itu masing masing berdiri sendiri-sendiri dalam melakukan kegiatannya. Hanya di beberapa tempat saja terbentuk perkumpulan-perkumpulan, itupun hanya sebuah perkumpulan kecil yang didirikan oleh satu dua orang penganut yang sedikit punya pengaruh diantara teman temannya. Dan diantara masing-masing perkumpulan kecil tersebut juga tidak ada hubungan pula satu sama lain, masing-masing berdiri sendiri.
Dan diantara perkumpulan-perkumpulan kecil itu yang paling terkenal dan punya anggota banyak adalah Liong-Ipang (Perkumpulan Jubah Naga) pimpinan Ouwyang Kwan Ek, murid kedua mendiang Bu-eng Sin-yok-ong. Oleh karena itu tidaklah mengherankan ketika beberapa tahun yang lalu diadakan pertemuan besar para penganut Mo-kauw di seluruh negeri. Tokoh-tokoh Liong-I-pang banyak yang dipilih sebagai tenaga pengurus dalam persatuan yang mereka bentuk. Ketua Liong-i pang Ouwyang Kwan Ek yang bergelar Pek-i Liong-ong malah terpilih sebagai Mo-cu (Ketua Aliran Mo-kauw) yang pertama. Sedang kedua murid utamanya, Bhong Kim Cu dan Leng Siau, diangkat sebagai Siang-Shih-kauw (Sepasang Utusan Agama) yaitu orang yang bertanggung jawab untuk menyebarluaskan pengaruh aliran kepercayaan Mo-kauw di dalam masyarakat.
Demikianlah, bertahun-tahun mereka hidup dengan aman dan damai. Biarpun sering berselisih dengan aliran lain, tapi perselisihan itu bukan perselisihan yang berarti. Semuanya dapat mereka atasi dengan musyawarah. Belum pernah sekalipun persengketaan yang telah terjadi itu sampai menimbulkan korban benda ataupun manusia. Tapi peristiwa yang terjadi di pusat perkumpulan mereka beberapa hari yang lalu justru benar-benar diluar dugaan mereka. Sekelompok pendatang yang mengaku dari Kuil Bukit Delapan Dewa, yaitu kuil dari penganut aliran Im-yang-kauw telah membuat keributan dan keonaran yang sangat melukai hati mereka. Padahal saat itu di pusat perkumpulan mereka sedang dalam keadaan kosong. Artinya Pek-I Liong-ong dan semua orang wakilnya sedang pergi meninggalkan Gedung perkumpulan mereka.
Yang ada di gedung mereka hanyalah para anggota dan pengurus harian, yang kepandaiannya masih sangat rendah, sehingga tidak ada yang mampu menghadapi para pendatang tersebut. Kelompok pendatang tadi masuk ke gedung dengan paksa, membunuh belasan penjaga yang ada di sana dan merusak bangunan yang mereka cintai dan mereka hormati! Tidak hanya itu saja. Ada yang sangat melukai hati dan memerahkan telinga mereka. Orang-orang itu menurunkan papan nama yang mereka pasang di halaman depan dan menghancurkannya. Kemudian yang paling brutal adalah pengrusakan yang mereka lakukan terhadap ruang sembahyang, di mana abu cikal-bakal pendiri aliran Mo-kauw disimpan!
"Nah, begitulah ceriteranya..." kedua tokoh Mo-kauw tersebut mengakhiri penuturannya. Tak ada sedikitpun tanda-tanda kemarahan yang masih membekas di wajah mereka berkenaan dengan peristiwa memalukan yang menimpa perkumpulan mereka tersebut. Pembawaan mereka tetap sabar tenang, benar-benar seperti sedang menghadapi sebuah masalah yang ringan dan sepele saja. Tapi kesan seperti itu justru amat mendebarkan bagi jago jago tingkat atas seperti Toat-beng-jin dan Tong Ciak! Karena hanya orang-orang yang sudah betul betul dapat dikatakan mencapai kesempurnaan saja yang bisa bersikap seperti itu. Kalau misalnya peristiwa serupa menimpa Im-yang-kauw, mungkin mereka sudah tidak tahan lagi, terutama Tong Ciak Cu-si.
"Oleh karena itu jiwi Loheng-tentu sudah bisa memakluminya sekarang, kenapa malam-malam begini kami terpaksa datang merepotkan Kuil Delapan Dewa ini... Kami hanya ingin meminta keterangan dari pemimpin kuil di sini, saudara Han Su Sing dan Hu Ki, yang memimpin para pendatang dan perusak gedung perkumpulan kami itu!" Leng Siauw mengakhiri ucapannya dengan tandas dan tegas.
"Hei?!? Apa?! Aku...?" tiba-tiba Ciong Hu Ki yang duduk di belakang Toat-beng-jin mencelat berdiri.
"Heh, pembohong! Enak saja menuduh orang! Kapan aku dan Han suheng pergi ke sana?" Lalu dengan wajah tak percaya ia menghadap ke arah Toat-beng-jin dan Tong Ciak Cu-si.
"Lojin-ong... Tong Ciak Cu-si! lni...ini bagaimana? Ini... terang fitnah! Aku dan Han-suheng tak... tak pernah meninggalkan kuil kita ini, apalagi sampai ke gedung perkumpulan Mo-kauw yang jauh itu. Lojin-ong dapat bertanya kepada semua penghuni kuil ini." Leng Siau dan Bhong Kim Cu saling memandang dan mengerutkan keningnya.
"Ah, maaf... kami belum mengenal saudara. Bolehkah kami mengetahui gelar saudara?" Bhong Kim Cu bertanya.
"Dialah salah seorang yang namanya telah Loheng sebutkan tadi." Tong Ciak menyahut.
"Oh! Siapa...?"
"Ciong Hu Ki! Wakil pimpinan kuil Delapan Dewa ini."
"Ohhh...!" kedua tokoh Mo-kauw itu membuang napas hampir berbareng. Mata mereka yang bersorot tajam itu tampak berkilat sekejap, membuat hati Toat-beng-jin dan Tong Ciak kembali bergetar. Bhong Kim Cu tampak menggeser duduknya, lalu menoleh ke belakang, kearah para pengikutnya yang sedari tadi hanya berdiam diri saja di tempat masing-masing.
"Coba katakan, Hwa Siu! saudara inikah yang dahulu memimpin para pendatang itu?" Salah seorang pengikutnya yang berjubah hijau tampak berdiri dari kursinya. Dengan suara ragu ia menjawab pertanyaan Bhong Kim Cu tadi.
"Maafkan Siauwte, Bhong Tai-shih (Utusan Bhong). Peristiwa itu terjadi pada waktu tengah malam, sehingga kami tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Tapi perawakan salah seorang dari mereka memang tinggi kurus seperti saudara ini... cuma pada saat itu pakaian yang dipakai tidak kelabu seperti ini, tetapi putih bersih dan mengkilap seperti sutera."
"Tinggi kurus berpakaian sutera putih bersih..." tanpa terasa Toat-beng-jin bergumam. Begitu juga dengan Tong Ciak. Keduanya segera teringat penuturan anak buahnya yang dilukai orang dilereng bukit siang tadi.
"Maaf, Loheng mengatakan apa?" Bhong Kim Cu yang tidak begitu jelas mendengar perkataan yang digumamkan oleh Toat-beng-jin itu menegas. Orang tua itu tidak segera menjawab, sebaliknya ia malah bertanya kepada tamunya.
"Bhong Loheng, apakah pimpinan para pendatang yang mengaku sebagai Han Su Sing dan Ciong Hu Ki itu yang satu mempunyai bentuk tubuh tinggi kurus seperti dia..." Toat-beng-jin memandang ke arah Ciong Hu Ki.
"...Dan yang lain tinggi besar berbulu lebat pada tangan dan mukanya?"
"Benar...!" Bhong Kim Cu mengangguk. Lalu matanya melirik ke arah rombongan tuan rumah yang tersebar di dalam pendapa itu, tapi tak dilihatnya seorang bertubuh tinggi besar berbulu lebat di antara mereka.
"Ah! Mengapa kami tak melihat saudara Han Su Sing disini? Apakah ia sedang pergi?" Toat-beng-jin menarik napas dalam dalam.
"Bhong Loheng... Leng Loheng, saudara berdua sungguh bijaksana sekali dalam mengurus persoalan ini. Meskipun dada saudara hampir terbakar oleh kemarahan, tapi saudara berdua tak pernah mengungkapkannya di hadapan kami, sehingga kami menjadi kagum dan malu terhadap saudara." Tokoh Mo-kauw itu menatap Toat-beng-jin dengan dahi berkerut, sedikitpun tak tahu apa yang dimaksudkan jago Im-yang-kauw dengan kata pujian itu.
"Apakah maksud Loheng?" tanyanya pelan. Toat-beng-jin bangkit dari kursinya, lalu diikuti oleh Tong Ciak dan yang lain-lain.
"Marilah Bhong Loheng dan Leng Loheng. Mari kita lihat saudara Han Su Sing! Dia ada di ruangan samping." Ajak orang itu kepada tamunya.
"Marilah! Bukankah jiwi ingin bertemu dengan dia?" katanya lagi begitu melihat tamunya masih ragu-ragu.
"Biarlah kami berada disini saja." Leng Siau mewakili teman-temannya.
"Kalau saudara Han Su Sing merasa keberatan untuk menemui kami, biarlah kami tak usah menemuinya. Dengan adanya jiwi disini kukira sudah lebih dari cukup bagi kami." Agaknya Toat-beng-jin melihat keragu-raguan dan kecurigaan tamunya, dan hal itu tentu saja dapat ia maklumi. Oleh karena itu ia menoleh ke arah Tong Ciak yang berdiri di sampingnya. Dan ketika pengurus agama itu menganggukkan kepalanya, diapun segera duduk kembali di tempatnya.
"Ciong Hu Ki! Ajaklah beberapa orang kawanmu untuk membawa Han Su Sing kemari!" perintahnya kepada wakil kepala kuil itu.
"Lojin-ong?!? Ja-jangan...!" orang itu menjadi pucat mukanya.
"Loheng, sudahlah...! tak usah repot..." Leng Siau menjura. Tapi Toat-beng-jin tetap menyuruh Ciong Hu Ki pergi mengambil Han Su Sing.
"Bhong Loheng! Leng Loheng! Biarlah! Masalah ini bukan masalah kecil. Masalah yang terjadi ini kalau tidak kita selesaikan sampai jernih tentu akan menjadi berlarut-larut. Karena jiwi Loheng tidak mau kubawa ke ruangan samping, biarlah kami saja yang membawanya ke pendapa ini. Akan aku tunjukkan kepada saudara berdua kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam peristiwa ini."
"Kejanggalan...? Jadi maksud Loheng ada orang lain yang...?" Bhong Kim Cu tidak melanjutkan perkataannya.
"Begitulah!" Toat-beng-jin mengangguk. Lalu sambil menanti Ciong Hu Ki yang pergi mengambil Han Su Sing, orang tua itu bercerita tentang peristiwa yang baru saja menimpa anak buah kuil Delapan Dewa di siang hari tadi. Bagaimana dua orang asing yang bertubuh tinggi kurus berbaju putih serta kawannya yang tinggi besar berbulu lebat telah menganiaya dan membunuh tiga orang anggota Im-yang-kauw.
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kedua orang itu mengaku sebagai penganut aliran Bing-kauw! Tapi kukira pengakuan mereka itupun juga tidak benar. Mereka tentu berbohong. Tampaknya mereka itu sengaja ingin mengadu domba kita." Toat-beng-jin menutup ceritanya.
"Nah sekarang akan saya buktikan bahwa para pendatang yang merusak gedung Mo-kauw itu telah berbohong pula..."
"Lojin-ong...!" tiba-tiba dari ruang dalam terdengar suara Ciong Hu Ki.
"Nah... Han Su Sing telah tiba!" Toat-beng-jin menoleh ke arah pintu. Tapi orang-orang Mo-kauw yang berada di pendapa itu menjadi terkejut bukan main ketika melihat yang keluar dari pintu dalam tersebut ternyata bukanlah orang besar berbulu lebat, tetapi... sebuah peti mati besar yang digotong oleh Ciong Hu Ki dan kawan-kawannya! Peti mati itu oleh Ciong Hu Ki diletakkan di tengah-tengah pendapa, persis di depan meja tamu. Kemudian tutupnya ia buka sehingga mayat Han Su Sing yang gemuk pendek itu terlihat jelas oleh semua orang yang hadir.
"Toat-beng-jin Loheng! Permainan apakah yang kau pertunjukkan di hadapan kami ini...?" Bhong Kim Cu dan Leng Siau cepat berdiri dengan kening berkerut. Matanya melirik ke sekitarnya dengan rasa curiga.
"Leng Loheng! Bhong Loheng! Lihatlah! Mayat yang berada di depan kita ini adalah Han Su Sing, ketua kuil Delapan Dewa. Biarpun gemuk dan besar tetapi tubuhnya sangat pendek serta tidak berbulu...! Nah, bukankah orang yang datang serta merusak gedung Mo-kauw itu hanya berbohong dan mengaku-aku saja?"
"Hmh!" kedua tokoh Mo-kauw itu menggeram berbareng. Sepasang mata mereka yang berkilat-kilat itu masih tampak curiga dan tidak percaya pada keterangan lawannya. Mereka bercuriga jangan-jangan pihak tuan rumah Cuma sedang memasang sebuah siasat saja. Sekali lagi Toat-beng-jin seperti dapat menebak apa yang sedang dipikirkan oleh tamunya. Maka dengan lantang iapun berdiri di depan mereka.
"Bhong Loheng! Leng Loheng! Sebenarnya aku tidak ingin memperlihatkan mayat orang kami ini. Karena seperti juga yang terjadi di gedung perkumpulan kalian, di tempat kami sendiripun telah terjadi musibah yang amat memalukan kami pula. Tapi karena kami ingin lekas-lekas menjernihkan masalah ini agar tidak semakin menambah beban kami, maka kami memaksa diri untuk memperlihatkan mayat ini kepada jiwi. Kami berharap dengan menunjukkan mayat Han Su Sing ini, kalian akan segera memaklumi bahwa kalian telah tertipu oleh orang yang menyamar sebagai orang-orang kami." Leng Siau melangkah ke depan mendekati peti mati. Tanpa meninggalkan kewaspadaan dia membungkuk dan mengamatamati mayat yang berada di dalam peti.
"Hm, benarkah orang ini yang bernama Han Su Sing?" ia menegaskan. Kecurigaan dan ketidakpercayaan tamunya itu benar-benar memanaskan perut Tong Ciak. Tanpa menghiraukan isyarat yang diberikan oleh Toat-beng-jin, tokoh Im-yang-kauw yang bertubuh pendek kekar itu telah meloncat maju.
"Maaf Leng Loheng..." katanya dengan muka kemerahan.
"Mengapa kami mesti berbohong? Apakah Im yang kauw sudah sedemikian lemahnya sehingga tokoh-tokohnya telah berubah menjadi penakut dan pengecut yang tidak berani beradu dada dengan orang lain?" Kauwcu-si dari Im-yang-kauw itu menghentikan kata katanya sebentar untuk mengambil napas. Ternyata hatinya yang tersinggung itu telah mulai membara dan menyesakkan dadanya, sehingga rasanya terlalu sukar untuk mengeluarkan isi yang terkandung di dalamnya.
"Semuanya ini kami lakukan di hadapan Loheng, karena kami sangat menghargai dan mengagumi cara-cara Loheng dalam menangani masalah yang menimpa perkumpulan Loheng itu. Biarpun dari rumah jiwi LoHeng-telah membawa bara api kemarahan di dalam dada, tapi sejak menginjakkan kaki di kuil kami, jiwi Loheng selalu bersikap tenang dan sabar. Sedikitpun jiwi Loheng tidak pernah memercikkan bara-bara api itu ke dada kami, yang akan membuat kami ikut terbakar pula...jadi apa yang kami lakukan ini benar-benar bersih. Tapi bila hal yang seperti ini masih Loheng anggap tidak benar... yah apa boleh buat! Tong Ciak bukanlah seorang pengecut yang mudah dihina!"
"Ahh... Tong Ciak Cu-Si, harap bersabar dahulu!" dengan gugup Bhong Kim Cu mencelat pula ke depan, berdiri di antara Leng Siau dan Tong Ciak.
"Maafkanlah Leng-sute! Dia tidak bermaksud menghina siapapun juga. Dengarlah! Kami semua memang belum pernah melihat ataupun mengenal saudara Han Su Sing, maka sudah sewajarnya kalau kami bercuriga dalam hal ini. Coba, kalau hal seperti ini terjadi pula pada Tong Ciak Cu-si, kukira Tong Ciak Cu-si juga tidak akan percaya begitu saja terhadap omongan kami." Toat-beng-jin menyentuh tangan Tong Ciak Cu-si dari belakang.
"Tong-hiante, kata kata yang diucapkan oleh Bhong Loheng itu benar belaka..." bisiknya perlahan.
"Benar, saudara Tong... maafkanlah aku. Aku tidak bermaksud untuk menuduh atau menghina siapapun juga. Aku hanya benar-benar ingin memastikan apakah mayat yang berada di dalam peti mati itu sungguh-sungguh mayat dari saudara Su Sing. Sebab kami memang benar-benar belum pernah melihat ataupun mengenal orang itu sebelumnya." Leng Siaupun ikut menjura kepada Tong Ciak. Sikapnya tidak berubah, tetap tenang dan tegas seperti semula. Sedikitpun juga tidak tampak terpengaruh oleh kemarahan Tong Ciak Cu-si! Sikapnya benar-benar sikap seorang pendekar yang telah begitu yakin terhadap dirinya. Sehingga untuk yang ketiga kalinya perasaan Toat-beng-jin menjadi tergetar karenanya.
"Kedua orang ini adalah orang ke dua setelah Pek i Liong ong dalam urusan tingkat jabatan Mo-kauw, tentu saja kesaktiannya tidak boleh dipandang ringan. Tentu saja mereka merupakan pasang lawan yang sangat berat bagi Im-yang-kauw apabila mereka sampai berselisih jalan." orang tua itu berpikir di daIam hati. Akhirnya Tong Ciak mau juga duduk kembali, mereka lalu meneruskan kembali pembicaraan yang hampir saja membuat mereka bentrok satu sama lain itu. Dan Toat-beng-jin bercerita pula tentang peristiwa yang sedang dihadapi Im-yang-kauw saat ini, Toat-beng-jin juga mengatakan kecurigaan kecurigaannya tentang dua orang yang mengaku sebagai Han Su Sing dan Ciong Hu Ki tersebut.
"Aku percaya bahwa yang menyamar sebagai Han Su Sing dan Ciong Hu Ki itu tentulah orang yang telah menyaru pula sebagai orang Bing-kauw membunuh orang-orang kami." Toat-beng-jin mengeluarkan pendapatnya.
"Tapi... apa maksudnya mereka mengadu domba kita? Sebelum terjadi perusakan terhadap gedung perkumpulan kami, Mo cu kami juga telah bentrok dengan orang-orang Bing-kauw yang dibantu oleh seorang gadis buntung..." Bhong Kim Cu berkata pula.
"Hmm, agaknya memang benar apa yang diduga oleh Toat-beng-jin Loheng tadi. Kejadian-kejadian beruntun yang menimpa Mo-kauw dan Im-yang-kauw dalam beberapa hari ini rasanya memang sangat aneh. Kelihatannya peristiwa peristiwa itu memang berkaitan satu sama lain dan agaknya juga dikendalikan oleh orang yang sama pula. Agaknya ada orang yang menginginkan terjadinya pertumpahan darah antara Mo-kauw, Bing-kauw dan Im-yang-kauw!" Leng Siau ikut mengutarakan pendapatnya pula.
"Lalu... siapakah orang itu?" Tong Ciak bergumam.
"Itulah yang harus kita selidiki dan kita cari bersamasama...!" Toat-beng-jin menjawab dengan tersenyum.
"Betul! Kunci dari masalah adu domba ini hanya terletak pada orang berbaju putih dan orang berperawakan tinggi besar berbulu lebat. Oleh karena itu... asal kita bisa meringkus kedua orang misterius itu, semuanya akan menjadi beres." Leng Siau melanjutkan.
"Dan... kita akan segera mengetahui, apa yang menjadi latar belakangnya sehingga tiga buah aliran itu mereka adu domba." Bhong Kim Cu mengangguk-angguk.
Sementara itu Souw Lian Cu yang berdiri di antara para penghuni kuil lainnya, tampak sedikit gelisah ketika namanya disebut sebut dalam pembicaraan itu. Untunglah tidak seorangpun diantara para tamu tersebut yang memperhatikannya. Dan agaknya Toat-beng-jin, Tong Ciak dan orang-orang Im-yang-kauw lainnya juga tidak mau repot-repot mengatakan tentang beradanya gadis buntung tersebut di kuil mereka. Mungkin mereka tidak ingin memperburuk lagi suasana yang telah menjadi baik itu. Demikianlah, pertemuan malam itu diakhiri dengan pulangnya para tokoh Mo-kauw dari kuil Delapan Dewa tersebut, dengan suatu tugas bersama untuk mencari keterangan, siapakah sebenarnya kedua orang yang menyamar sebagai Han Su Sing dan Ciong Hu Ki itu.
Udara malam terasa semakin dingin menyentuh kulit. Angin malam yang bertiup Iemah itu juga terasa lembab, sehingga tanaman yang memenuhi halaman tengah kuil itu tampak mengkilap basah ditimpa sinar bulan yang condong ke barat. Ujung-ujung daun yang bergantungan itu terasa menggigilkan ketika menyentuh wajah dan lengan. Toat-beng-jin dan Tong Ciak tampak berjalan perlahan, menerobos pohon-pohon bunga yang tumbuh lebat di halaman tersebut. Di belakang mereka tampak Souw Lian Cu mengikuti dengan kepala tertunduk. Beberapa kali mereka harus menunduk atau menyingkirkan ranting pohon yang menghalangi jalan mereka.
"Nona Souw..." Toat-beng-jin yang berjalan paling depan membuka suara.
"Yaa? Lo-Cianpwe memanggil saya?" gadis buntung itu mengangkat mukanya.
"Nona Souw. maaf... bolehkah kami bertanya sesuatu kepadamu?"
"Tentu saja! Mengapa Lo-Cianpwe masih... menaruh sungkan pula kepadaku?"
"Ah, bukan begitu nona Souw... Soalnya kami sebenarnya tidak ingin mencampuri urusan pribadi nona. Seperti juga telah nona ketahui, sampai saat ini kami tak pernah bertanya siapa sebenarnya nona ini. Dari mana, murid siapa...atau puteri siapa? Dan sampai sekarangpun kami tetap tidak peduli! Nona membutuhkan pertolongan kami... dan karena kami merasa mampu menolong maka kamipun segera memberi pertolongan. Itu saja!" orang tua itu berkata tegas.
"Tetapi... kali ini kami terpaksa mau bertanya sedikit kepada nona... Sebab hal yang akan kami tanyakan kepada nona ini agaknya mempunyai sangkut paut pula dengan masalah penting yang sedang kami hadapi." Souw Lian Cu menghentikan langkahnya, sehingga otomatis Toat-beng-jin dan Tong Ciak turut berhenti pula. Mereka berdiri berhadapan dibawah pohon cemara yang besar dan berdaun rimbun. Meskipun demikian karena bulan bersinar dengan amat terangnya, maka ketiga-tiganya dapat saling memandang dengan jelas sekali.
"Lo-Cianpwe, apakah...apakah yang ingin Lo-Cianpwe tanyakan?" gadis itu menatap orang tua itu dengan wajah tegang. Toat-beng-jin menarik napas dalam-dalam, seolah-olah ingin mengambil ancang-ancang untuk mengeluarkan isi hatinya. Lalu sambil menatap gadis cantik yang berada di depannya, ia mengatakan apa yang ingin diketahuinya.
"Nona Souw, ketika Put gi ho dan Put-chih-to membawamu kemari, mereka mengatakan bahwa nona terluka oleh pukulan Pek-i Liong ong. Kedua orang Bing-kauw itu mengatakan bahwa nona membantu mereka ketika terjadi pertempuran antara mereka dengan para pengikut Mo-kauw. Sekarang yang ingin kami ketahui ialah... apakah nona mengetahui sebab sebab dari perselisihan mereka itu? Maaf, aku mengajukan pertanyaan ini karena kami curiga, jangan-jangan penyebab dari perselisihan mereka juga karena ulah dua orang yang menyaru sebagai Han Su Sing dan Ciong Hu Ki itu!"
Souw Lian Cu menundukkan kepalanya kembali, sehingga gumpalan rambut yang gemuk hitam diatas kening jatuh menutupi dahinya yang licin. Sepasang matanya yang bulat lebar itu tampak mengejap-ngejap, mengakibatkan bulu mata yang lentik itu kelihatan bergetar dalam gemilang sinar bulan.
"Entahlah, Lo-Cianpwe... Sesungguhnya aku memang belum pernah mengenal masing-masing dari mereka. Hanya karena aku kasihan melihat orang-orang itu dikeroyok oleh banyak orang, maka aku berusaha menolong mereka. Ternyata lawan mereka adalah orang-orang Mo-kauw, sehingga saya terpaksa berhadapan dengan ketuanya. Untunglah saya...eh, sebentar... saya ingat sesuatu! Betul! Sebelum saya pingsan, salah seorang dari orang Bing-kauw yang kutolong tersebut sempat menyebut tentang dua orang..."
"Apa... apa katanya?" Tong Ciak menegasi.
"Nona Souw, apa yang dikatakannya...?" Toat-beng-jin menjadi tegang pula.
"Mereka seperti menyebut tentang dua orang misterius yang berusaha menculik isteri Kauwcu (Ketua Agama) mereka..."
"Dan dua orang itu bertubuh tinggi kurus berbaju putih dan tinggi besar berbulu lebat?" Toat-beng-jin mendesak. Souw Lian Cu menggeleng.
"Mereka tidak menjelaskannya..."
"Ah... aku yakin, tentu orang itu pula!" Tong Ciak menggeram.
"Mungkin juga...!" Toat-beng-jin mengangguk.
"Baiklah, kita selidiki nanti!" Ketiga orang itu lalu melangkah kembali ke belakang menuju kamar masing-masing untuk beristirahat. Sebelum berpisah Toat-beng-jin berpesan kepada Souw Lian Cu.
"Nona, lukamu masih membutuhkan satu kali pengobatan lagi. Padahal sebelum terang tanah aku dan Tong Ciak Cu-si harus berangkat pulang ke Gedung Pusat. Hmm, bagaimana kalau engkau turut kami kesana? Setelah melaporkan semua kejadian ini ke sidang agama nanti, aku dan Tong Ciak Cu-si bermaksud akan menyelesaikan pengobatan itu." Gadis itu tampak ragu ragu sebentar.
"Terima kasih, Lo-Cianpwe. Jiwi Lo-Cianpwe sangat sibuk sekarang. Maka saya tak berani mengganggu pula lagi. Biarlah saya..."
"Eeee...nanti dulu! Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan. Dengarlah, nona! Kami berdua sebenarnya telah mengambil keputusan untuk membawa nona tadi. Sebab kami tetap akan merasa penasaran sebelum dapat mengobati nona sampai sembuh betul. Tapi keinginan kami itu tentu saja tak dapat dilaksanakan begitu saja tanpa mendapatkan persetujuan dari nona sendiri. Oleh sebab itulah kami menanyakan pendapatmu tadi." Ketika Souw Lian Cu masih tampak sungkan untuk menjawab, biarpun dalam hati sudah tidak mempunyai keberatan lagi, Toat-beng-jin segera menepuk bahunya.
"Sudahlah! Besok pagi kita berangkat bersama-sama! Sekarang beristirahatlah!" Gadis itu mengangguk, Ialu pergi meninggalkan tempat itu. Sebelum menaiki tangga, lebih dahulu matanya mengamati keadaan di sekitarnya. Semua pintu telah tertutup, kecuali pintu kamar Yang Kun. Agaknya pemuda itu belum tidur pula. Pintu tersebut tampak bergoyang-goyang hampir tertutup ketika angin bertiup sedikit keras. Dengan cepat Souw Lian Cu berjalan melewati pintu tersebut. Sekejap ia menoleh ke dalam. Tampak pemuda itu melingkar memeluk bantal di pembaringannya. Mukanya yang tampan itu keIihatan tersenyum-senyum menghadap ke arah pintu sehingga sepintas lalu seperti mengajak senyum padanya.
"Hmm, tanggal lima bulan depan tinggal berapa pekan Iagi! Awas, akan kuberi hajaran di Meng-to nanti!" gadis itu menggigit bibir dengan gemas. Sesungguhnyalah, Yang Kun memang belum tidur sama sekali. Bayangan gadis cantik yang baru saja memeluk dirinya masih selalu menggoda pikirannya. Oleh karena itu ia masih mendengar pula ketika Souw Lian Cu melewati kamarnya. Ketika terdengar suara ayam berkokok pertama kalinya, Toat-beng-jin dan Tong Ciak telah mengajak kedua orang muda-mudi itu berangkat.
"Eh, mengapa Yang-hiante belum juga kelihatan?" Toat-beng-jin yang telah siap untuk berangkat itu bertanya heran.
"Lojin-ong, bukankah kita kemarin belum memberitahukan rencana keberangkatan kita kepadanya? Wah, benar..!" Tong Ciak berseru, kemudian dengan tergesa-gesa melangkah ke kamar Yang Kun.
"Yang-hiante! kau sudah bangun...?"
"Oh! Tong Lo-Cianpwe mau pergi ke mana?" Yang Kun bergegas membuka pintunya yang tidak terkunci, lalu dengan heran pemuda itu memandang kepada Tong Ciak, Toat-beng-jin dan Souw Lian Cu yang telah bersiap-siap di depan kamarnya. Masing-masing tampak menjinjing buntalan mereka.
"Yang-hiante. Kami lupa memberitahukan kepadamu kemarin, bahwa kami ingin membawa engkau beserta kami ke Gedung Pusat pagi ini. Ada sesuatu hal yang harus kami laporkan kepada Dewan Penasehat Agama dan Tai-si ong dengan segera. Padahal kami belum selesai mengobatimu. Oleh karena itu lohu dan Lojin-ong memutuskan untuk mengajak engkau saja ke sana pagi ini. Nanti setelah segala urusan itu sudah selesai, kami berdua dengan mudah mau menyelesaikan pengobatan yang belum rampung tersebut. Bagaimana...?" Tong Ciak mengutarakan maksudnya.
"Kami berdua belum merasa puas bila belum dapat menyembuhkan luka dalammu itu. Kami baru akan mengijinkan kau pergi apabila luka itu telah lenyap dari tubuhmu." Toat-beng-jin ikut menekankan.
"Baik, Lo-Cianpwe..." Yang Kun mengangguk setelah lebih dahulu melirik kearah gadis bunting yang sangat menarik hatinya itu. Tapi Souw Lian Cu dengan tak acuh memalingkan mukanya ke halaman, kearah Ciong Hu Kid an anak buahnya yang juga telah bersiap-siap untuk melepas keberangkatan mereka.
"Nah, kalau begitu lekaslah engkau bersiap!" Tong Ciak berkata. Kemudian dengan diantar oleh Ciong Hu Ki sampai di pintu gerbang rombongan kecil tersebut berangkat menuruni bukit, menuju kearah dusun di pinggir sungai yang terlihat oleh Yang Kun kemarin. Demikianlah, dengan sisa-sisa sinar bulan yang masih bergantung di puncak-puncak pohon, rombongan kecil yang terdiri dari empat orang berkepandaian tinggi itu turun dengan hati-hati kearah lembah. Mereka bermaksud mengitari jajaran kelompok Bukit Delapan Dewa itu dahulu sebelum menuju kearah Utara.
Memang jalan yang mereka tempuh tersebut akan lebih panjang dan lebih jauh akan tetapi jalan itu adalah jalan yang terbaik serta mudah dilalui. Selain melalui tanah-tanah datar jalan tersebut juga selalu melintasi perkampungan penduduk yang padat, sehingga apabila mereka membutuhkan sesuatu mereka dengan mudah akan mendapatkannya dengan segera. Apalagi jika diingat bahwa dua orang diantara mereka masih menderita sakit. Ternyata bekas-bekas amukan gempa bumi itu masih terlibat di sepanjang jalan yang mereka lalui. Tanah-tanah yang retak, longsor, maupun pohon-pohon besar yang tumbang, banyak mereka jumpai di lereng-lereng bukit tersebut. Bahkan kadang-kadang mereka juga menjumpai gubug-gubug kosong yang telah roboh dan ditinggalkan penghuninya.
"Sungguh mengherankan sekali! Getaran gempa itu demikian dahsyatnya di daerah yang terpencil ini, tapi mengapa kuil kita tadi masih tetap utuh seperti tak pernah dijangkau oleh getaran gempa tersebut? Seharusnya kuil kita yang bertengger di samping bukit tersebut mendapat goncangan yang lebih kuat dari pada yang berada di tanah datar." Toat-beng-jin bergumam diantara langkahnya.
"Benar, Lojin-ong! Lohu juga heran. Gedung Pusat kita yang besar dan megah itu juga hanya mengalami kerusakan ringan pula. Padahal bangunan lain disekitarnya pada roboh dan hancur dalam sekejap mata." Tong Ciak menyahut pula.
Darah Pendekar Eps 6 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 12 Darah Pendekar Eps 38