Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 2


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 2




   "Ayahhhhhhh...!" Yang Kun berteriak memilukan. Betapapun tidak sukanya dia kepada orang tua itu tetapi toh ia tetap ayahnya, yang mengasuh dan membesarkan dia selama ini. Pemuda itu menubruk mayat ayahnya tanpa menghiraukan apakah tubuh ayahnya beracun atau tidak. Dipeluknya dada yang bidang tapi penuh berlumuran darah itu dengan erat, sehingga muka serta bajunya yang semula telah kotor oleh darahnya sendiri ketika ia akan membunuh diri itu kini semakin kotor oleh lepotan darah sang ayah. Tiba-tiba telinga Yang Kun yang menempel di dada sang ayah itu seperti mendengar suatu gerakan yang lemah pada tubuh yang dipeluknya itu. Sepercik harapan tumbuh di dada Yang Kun. maka diguncangnya tubuh itu dengan bersemangat.

   "Ayah! Ayah! Lihatlah anakmu telah datang! Lihatlah!" Tetapi tubuh itu tetap diam tak bergerak, sehingga pemuda itu semakin penasaran dan mengguncangnya terlebih keras. Baru setelah pemuda itu berhenti karena telah putus harapan, mayat itu tampak dengan susah payah membuka matanya. Girang bukan main hati Yang Kun malihat hal itu.

   "Ayah! Ayah, inilah aku! Anakmu Yang Kun yang datang!" katanya penuh semangat. Mata ayahnya yang redup itu tampak mengecil, seperti biasanya kalau dia selama ini berusaha mengingat-ingat sesuatu. Lalu mata itu tampak bersinar sekejap.

   "...Yang...Kun... Anakku. Ya, Tuhan...Engkau benar... benar... bermurah hati. Kau kirim... anak...ku kemari... te...pat pada waktunya..." bibir yang pucat dan berlepotan darah itu menggumam menyebut nama Tuhan. Yang Kun menggenggam lengan ayahnya yang tinggal sebuah itu dengan erat, seakan mau membantu memberi kekuatan kepada ayahnya.

   "Kuatkanlah sedikit, ayah! Akan kubawa ke kota untuk mencari tabib. Biarlah luka-luka ini mendapat pengobatan..." Tetapi kepala itu menggeleng dengan keras.

   "Ti...dak perlu, Nak! Sudah tak ada guna lagi... Aku sudah merasa... bahwa hari kematianku telah tiba...kau dekatkan telingamu kesini. Akan kuceritakan tentang masalah besar kepadamu... Su...dah tiba masanya engkau... engkau mengetahuinya pula. Hanya engkaulah satu-satunya keturunan keluarga Chin yang... yang masih hidup!" dengan tersendat-sendat orang tua itu berkata. Bukan main pedihnya perasaan pemuda itu. Bagaimanapun bengis dan keras sang ayah itu padanya, tetapi menghadapi saat-saat terakhir orang yang selama ini selalu mengasuhnya, batinnya merasa pilu juga!

   "Sudahlah, yah...! Anakmu sudah tidak ingin mengganggumu lagi mengenai urusan itu. Maafkan aku kalau selama ini selalu membuatmu marah...," Yang Kun memotong perkataan ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Tetapi tangan orang tua itu justru mencengkeram tangan anaknya dengan kuat, alisnya tampak berkerut.

   "Tidak... tidak! Yang Kun... Kini justru engkau... engkau harus... mengetahuinya! Engkau tidak boleh lari dari masalah ini...! Justru engkaulah...orang satu-satunya yang...yang harus meneruskan cita-cita ini... nah... oleh karena itu cepatlah... tempelkan telingamu kesini... ayah akan bercerita sedapat-dapatnya... sebelum kekuatanku habis..." Dan ketika dilihatnya anak itu masih mau membantah, orang tua itu segera menarik lengan puteranya.

   "Ce...cepatlah... kau ja...jangan membantah...!" Terpaksa dengan hati berat pemuda itu menuruti permintaan ayahnya. Telinga kanannya ia tempelkan pada bibir ayahnya yang pucat gemetar itu.

   "Anakku... mungkin aku hanya akan bercerita... yang... yang penting-penting sa...saja... ka...kalau kau ingin lebih jelas la...lagi, kau... kau selidiki sendiri... nanti!"

   "Baiklah, Ayah! Sebenarnya..."

   "Diamlah! kau dengarkan saja...kata-kataku! Kita keluarga Chin langsung dari...Kaisar lama, yaitu Kaisar Chin Si Hong-te! Sedangkan mendiang Kaisar muda, yang digulingkan oleh Kaisar Han yang bertahta sekarang ini yang dahulu... Cuma... Cuma bertahta selama... empat puluh hari menggantikan... mendiang ayah Baginda Kaisar... Kaisar Chin Si Hong-te, adalah... adalah kakak...ku!" orang tua itu berhenti sebentar untuk mengumpulkan kekuatannya kembali. Beberapa saat kemudian ia meneruskan kisahnya lagi.

   "Kakakku itu terbunuh oleh sa...salah seorang teman...teman dari Kaisar Han yang bernama Souw Thian Hai! Sebelum terbunuh beliau meninggalkan pesan ke...kepadaku... bah...bahwa mempunyai... bahwa beliau mempunyai... pusaka warisan yang... yang harus dijaga dengan baik apabila beliau meninggal nanti...! Pusaka dapat dipergunakan un...untuk... meraih singgasana kembali! Dan benda inilah yang... yang sedang di...diincar oleh pembunuh-pembunuh itu... tapi... tapi nak, sebenarnyalah... aku tidak tahu di mana ben...da... benda itu disimpan Kakakku hanya... hanya berpesan bahwa harus... harus berdoa di dalam goa harimau tepat di waktu tengah malam pada saat bulan purnama berada di atas kepala... begitulah pesan... pesannya... apabi...la aku ingin menda...patkan ben...benda itu!" Orang itu berhenti lagi, tetapi ketika sampai beberapa lama dia tidak berbicara lagi Yang Kun menjadi curiga.

   Ternyata ketika pemuda tersebut memeriksa lebih lanjut, orang tua itu sudah tidak bernyawa lagi! Hampir saja Yang Kun menangis sejadi-jadinya. Tetapi peristiwa yang beberapa kali menimpa dirinya selama ini ternyata telah membuat pemuda itu lebih dewasa serta tidak mudah hanyut oleh perasaannya. Cepat ia mengurus mayat ayah dan pamannya dan menguburnya di halaman belakang dari rumah itu. Tanpa adanya air mata yang mengalir dari pelupuk matanya! Baru sesudah semuanya telah selesai. Yang Kun menyesali keadaannya. Biarpun telah mendapat sedikit keterangan tentang masalah yang dihadapi keluarganya tetapi keterangan yang ia dapatkan itu belumlah memuaskan hatinya. Yang ia butuhkan sekarang sebenarnya hanyalah keterangan mengenai siapa sebenarnya yang menumpas seluruh keluarganya itu?

   Segalanya masih gelap baginya! Siapakah yang membunuh paman bungsunya? Siapakah yang meracuni ibu serta keluarganya yang lain-lain itu? Siapakah yang membantai ayah dan pamannya di tempat ini? Tiba-tiba bagai disengat lebah Yang Kun melompat dari tempatnya. Cepat ia berlari ke depan! Baru teringat dia sekarang, bukankah salah seorang diantara pembunuh itu kini telah ia tangkap? Yang Kun berlari melewati ruang tengah pendapa lalu turun melangkahi mayat-mayat yang masih bergelimpangan di halaman depan, menerobos pintu depan yang masih terbuka lebar-lebar itu. Matanya nyalang ke arah di mana dia tadi meninggalkan tawanannya, tapi betapa kagetnya hatinya ketika tempat tersebut telah kosong... Orang itu telah lenyap! Tinggal tali bekas untuk mengikat orang itu yang tertinggal di sana.

   "Bangsat!" Yang Kun berlari sambil mengumpat-umpat ke arah kota, untuk mencari tawanannya yang lolos. Orang itu tentu menuju ke Kota untuk mengobati luka-lukanya. Sementara itu sepeninggal Yang Kun, tiba-tiba salah sebuah mayat yang bergelimpangan di halaman depan tadi tampak bergerak, lalu perlahan-lahan duduk. Baju lebar yang ia pakai untuk menyamar ia buka dan jadilah orang itu sebagai tawanan yang dicari oleh si pemuda tadi. Tertatih-tatih orang itu berdiri dan keluar dari tempat tersebut ke arah hutan untuk menghindari Yang Kun yang pergi ke arah kota.

   "Hmmm, Souw Thian Hai... Souw Thian hai. Engkau benar-benar sial dalam beberapa hari ini. Hampir saja engkau yang telah terkenal dan disegani orang ini mati secara mengecewakan di tangan seorang bocah ingusan yang baru lepas dari pelukan ibunya...!" orang itu bergumam kepada diri sendiri. Tempat itu sepi kembali. Sepi yang mengerikan, karena tempat yang semula bersih dan rapih itu kini penuh dengan mayat yang berserakan!

   * * *

   Siapakah orang yang bernama Souw Thian hai itu? Yang oleh ayah si pemuda juga disebut pula sebagai pembunuh dari Kaisar muda pengganti Kaisar tua Chin Si Hong te itu? Orang yang secara kebetulan tanpa disadari oleh Yang Kun sendiri telah ia ikat dan ia seret kesana kemari itu? Bagi Para pembaca yang telah mengikuti cerita Darah Pendekar karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo, tentu telah mengenalnya dengan baik. Dia adalah seorang pendekar muda yang pernah menderita sakit ingatan, yang menyebabkan ia lupa akan dirinya sendiri. Padahal ia mempunyai kesaktian yang tidak terlawan oleh siapapun juga. Kesaktiannya itu pernah pula dimanfaatkan oleh Kaisar Han yang bertahta sekarang ini, semasa Baginda memimpin barisan para pendekar dalam merobohkan kekuasaan Kaisar Chin.

   Tetapi apabila lelaki gagah itu memang benar-benar Pendekar Souw Thian Hai yang maha Sakti, kenapa demikian mudahnya dikalahkan oleh pemuda yang belum berpengalaman seperti Chin Yang Kun? Apalagi sampai sedemikian tidak berdaya sehingga tubuhnya diikat, diseret dan dihina seperti itu? Benarkah dia Pendekar Souw Thian Hai yang asli, yang tidak terkalahkan yang mampu membunuh Kaisar Chin terakhir padahal Kaisar tersebut ternyata adalah juga seorang jago silat maha sakti pula? Baiklah, untuk sementara kita tinggalkan dahulu "misteri" tentang lelaki yang mengaku pendekar sakti Souw Thian Hai ini. Marilah kita mengikuti terlebih dahulu perjalanan Chin Yang Kun yang sedang menuju ke kota Tie-kwan untuk mencari tawanannya yang ia duga telah membunuh keluarganya!

   * * *

   Pemuda itu berlari bagai dikejar setan, melintasi padang ilalang, menuju ke arah kotaTie-kwan. Ia tak sempat memikirkan keadaan tubuhnya yang "aneh"". Pakaian kolor penuh bercak-bercak darah ayahnya, yang menempel ketika ia memeluk tubuh orang tua itu, wajah dan rambut yang kusut itu seperti seekor jago yang habis berlaga di arena sabung ayam! Maka tidaklah heran ketika berpapasan dengan tiga orang lelaki, mereka menjadi curiga dan menghentikan langkah pemuda itu.

   "Berhenti!" Yang Kun terpaksa berhenti karena ketiga orang itu menghadang serta berdiri menghadang jalannya. Dengan penuh kewaspadaan pemuda memperhatikan para penghadang tersebut. Salah seorang di antaranya, yang berdiri di tengah, tampak membawa sebuah buntalan di tangannya. Sedangkan yang lain tampak menjaga di samping kiri dan kanannya. Mereka berusia antara tiga puluh lima sampai empat puluh tahun, dengan wajah yang kasar dan kejam!

   "Sute anak ini sangat mencurigakan! Dia datang dari arah rumah pendekar Lim yang kita cari. Tubuh serta pakaian anak ini kelihaian kusut dan penuh noda darah, agaknya ada sesuatu yang tidak beres di rumah itu. Coba kau tengok sebentar tempat itu. biar aku dan Pang-sute menahannya disini." orang yang membawa buntalan itu menengok ke arah adik seperguruannya yang bercambang lebat sambil menunjuk ke rumah maut yang baru saja ditinggalkan oleh Yang Kun.

   "Baik!" Adik seperguruannya mengangguk lalu badannya melesat ke depan meninggalkan tempat itu dengan cepat sekali, menuju ke rumah pendekar Lim yang masih kelihatan dari tempat tersebut. Ginkang orang itu sangat hebat! Tentu yang lainpun tidak boleh dipandang enteng, pikir Yang Kun di dalam hati. Aku tidak boleh lengah sedikitpun, siapa tahu mereka ini juga termasuk salah seorang dari pada para pembunuh yang menumpas keluarganya! Teringat kembali akan nasib keluarganya, pemuda itu menjadi beringas lagi, melotot ke arah lawannya.

   "Siapakah kalian? Kenapa menghadang serta menghalang halangi jalanku" tanyanya kasar, ia pikir tak ada gunanya bermanis muka atau berlaku sopan terhadap orang-orang kasar seperti mereka. Orang yang membawa buntalan itu mencibirkan mulutnya yang ditumbuhi kumis dan jenggot pendek kaku secara sangat menghina sekali. Agaknya dia tak memandang sebelah mata terhadap seorang bocah ingusan seperti Yang Kun itu.

   "Huh! Kurang ajar benar! Pang-sute, lihatlah anak ini benar-benar tidak tahu bahaya sama sekali. Berani berlaku tak sopan dihadapan kita!"

   "Haha... Mo suheng harap jangan marah dahulu! Lihatlah keadaannya! Siapa tahu dia kurang waras pikirannya sehingga dia tidak mengenal kita dan telah lari terbirit-birit sejak tadi. Di daarah pantai Timur siapa yang belum pernah mendengar nama Tung-hai Sam-mo? Kecuali kalau anak ini memang telah bosan hidup tentunya..." adik seperguruannya yang dipanggil dengan nama Pang-Sute itu menjawab dengan nada takabur.

   "Manusia sombong! lekas minggir! Jangan salahkan aku kalau aku sampai membunuh orang!" teriak Yang Kun sambil memukul ke depan. Hatinya yang telah menjadi buram karena diliputi dendam itu tak dapat dikendalikan lagi melihat kesombongan mereka. Kedua orang itu meloncat ke samping menghindarkan diri, sehingga angin pukulan Yang Kun yang kuat itu hanya menyerempet baju mereka. Suaranya tajam bersuitan!

   "Mo Suheng, bocah ini agaknya punya isi juga, biarlah aku memberi pelajaran kepadanya!"

   "Baiklah, tetapi hati-hatilah! Engkau nanti jangan sampai salah tangan membunuhnya, siapa tahu anak ini memang gila? Beri saja beberapa pukulan pada mulutnya biar tahu sedikit sopan-santun, sementara kita menunggu kedatangan Lim sute!"

   Yang Kun semakin tidak bisa mengendalikan dirinya. Katakata mereka amat menyakitkan hati dan terlalu memandang rendah dirinya. Maka ia tidak mau sungkan-sungkan lagi, ilmu silat keluarga Chin yang selama ini sangat dibanggakannya ia keluarkan dengan sepenuh tenaga! Suara angin yang mengikuti gerakan tangan dan kakinya terdengar bersuitan seperti suara topan yang bertiup diantara celah-celah perbukitan! Kedua orang itu, terutama Pang-Sute yang kini sedang berhadapan langsung dengan pemuda tersebut, menjadi kaget setengah mati! Mereka tidak menyangka sama sekali bahwa bocah ingusan itu mempunyai ilmu demikian hebatnya.

   Mereka menjadi sibuk menduga-duga, siapakah sebenarnya anak muda yang kini sedang berada di hadapan mereka itu? Kalau apa yang dikatakan oleh mendiang ayah Yang Kun beberapa saat sebelum meninggal itu adalah benar, yaitu bahwa keluarga mereka adalah keturunan langsung dari Kaisar Chin, maka tidaklah mengherankan kalau ilmu silat pemuda itu begitu hebatnya. Dalam sejarah juga disebutkan bahwa rajaraja Chin yang bertakhta, turun-temurun dari awal sampai Kaisar Chin yang terakhir (yang telah digulingkan oleh Kaisar Han yang bertakhta saat ini), adalah merupakan jago-jago silat yang tangguh pula! Secara turun-temurun pula mereka mempelajari ilmu silat keluarga Chin, yang diciptakan oleh Raja Chin yang pertama yaitu seorang raja yang sangat sakti dan dikenal sebagai manusia setengah dewa pada zamannya.

   Sepuluh jurus telah berlalu dan kedua orang itu masih bertempur dengan sengitnya. Tetapi semakin lama makin kelihatan betapa orang she Pang itu mulai kerepotan. Setiap pertemuan tangan tampak ia tergetar mundur dan meringis kesakitan. Malahan ketika Yang Kun dengan telapak tangan mau miring menebas ke arah lehernya dalam jurus Panglima Yi Po mengatur barisan (jurus yang seharusnya dilakukan dengan memegang golok), dia tidak dapat mengelak lagi. Terpaksa ia mengerahkan tenaga, menangkis serangan itu. Akibatnya kedua tangannya terasa lumpuh! Sehingga ketika sekali lagi pemuda itu menyerang di dalam jurus Raja Chin Miu mematahkan kimpai, yang tertuju ke arah mukanya, ia tak bisa mengelak maupun menangkis lagi. Dengan telak pukulan pemuda itu mengenai mulutnya sehingga dua buah giginya tanggal. Sakitnya bukan main!

   "Nah, kalian lihat sekarang! Siapa yang otaknya miring, sehingga perlu mendapat sedikit pelajaran sopan-santun dengan beberapa buah pukulan pada mulutnya?" Yang Kun berteriak mengejek.

   "Bangsat! Jahanam! Anjing?" orang she Pang itu menyumpah-nyumpah, "...Kubunuh engkau!" Orang itu mengerahkan tenaga untuk menghilangkan rasa kaku pada lengannya, lalu mencabut sebilah pedang yang bergerigi pada kedua belah sisinya sehingga menyerupai moncong ikan cucut!

   Dengan mata berapi-api ia mengayunkan pedangnya yang aneh ke arah leher si pemuda. Ia mengerahkan seluruh tenaganya agar bisa menebas leher itu sekali tebasan. Ia segera ingin menebus rasa malunya dengan cara menjatuhkan lawannya tersebut dan mencincangnya sampai lumat. Tapi Yang Kun tak ingin kehilangan kesempatan pula. Tangannya menarik golok yang tergantung diatas pinggangnya dengan cepat dan melambaikannya beberapa kali di depan tubuhnya dalam jurus Mengayun Tangkai Bendera Menghadapi Panah Lo Biauw! Yaitu jurus yang diciptakan oleh salah seorang Raja Chin pada zaman dahulu ketika berperang menghadapi raja dari suku Biaw di daerah selatan.

   Bunga api memercik ketika kedua buah senjata tersebut beradu di udara. Yang kun merasakan getaran yang kuat pada lengannya, sementara lawannya tampak terdorong mundur dua langkah ke belakang. Masing-masing memeriksa senjata yang dibawanya. Yang kun tersenyum puas melihat goloknya tak kurang suatu apa. Sebaliknya orang she Pang itu nampak berubah air mukanya demi melihat pedang cucutnya mengalami kerusakan pada beberapa giginya. Orang she Mo, orang tertua dari Tung-hai sam-mo melangkah ke depan, memegang bahu adik seperguruannya yang telah bersiap-siap untuk menyerang lawannya. Buntalan kecil yang sejak tadi tidak pernah berpisah dari tubuhnya diserahkan kepada adik seperguruannya tersebut.

   "Pang-sute, kau periksa sebentar. Apakah sute telah kelihatan datang? lama benar dia. Biarlah bocah ini kau serahkan dahulu kepadaku, nanti kukembalikan kepadamu!" katanya menolong muka adik seperguruannya yang kerepotan itu. Ia tidak menginginkan nama Tung-hai sam-mo yang besar dan disegani di daerah pantai Timur selama ini jatuh di tangan seorang "bocah" yang tidak punya nama, hanya karena salah seorang di antara mereka telah dikalahkan oleh anak ini.

   Biarpun dadanya hampir meledak karena kemarahannya yang meluap-luap, orang she pang ternyata tahu diri juga, oleh karena itu dalam hati ia sangat berterima kasih atas majunya sang kakak tersebut. Kali ini ternyata ia salah menilai orang. Ternyata dalam hal tenaga dan ilmu silat, pemuda itu mempunyai kemampuan yang lebih dari pada dia. Hanya dalam hal pengalaman mungkin ia masih menang. Tetapi tentu saja kemenangan di dalam hal pengalaman ini tidak berarti banyak apabila selisih kepandaian ternyata sangat banyak! Sambil pura-pura bersungut-sungut orang she Pang itu mengiyakan perintah kakak seperguruannya, tangannya menyambar buntalan yang diberikan oleh sang kakak, lalu pergi meninggalkan tempat tersebut untuk menengok apakah kakak seperguruannya yang lain telah datang.

   Sementara itu Yang Kun yang kini harus bertempur melayani orang tertua dari tung-hai sam-mo, ternyata kini harus lebih memeras tenaganya pula! sebagai saudara tertua dari tiga serangkai itu, ternyata ilmu silatnya juga lebih hebat dari saudara-saudaranya. Sebaliknya orang she mo itu menjadi berdebar-debar pula hatinya, ia tidak menyangka bahwa anak muda ini mempunyai kemampuan yang jauh di luar dugaannya. Justru dialah yang setiap kali harus berhati-hati apabila mereka terpaksa beradu tenaga tenaga dalam. Bocah itu ternyata selapis lebih kuat dari pada tenaga dalamnya sendiri sehingga akhirnya secara perlahan-lahan iapun menjadi terdesak seperti adik seperguruannya tadi.

   "Gila! Setan mana yang masuk di dalam tubuhmu!" umpatnya sambil berusaha sekuat tenaga menahan desakan lawannya.

   "Jangan mengumpat-umpat terus, tidak baik untuk kesehatanmu! Lebih baik engkau cepat-cepat mengeluarkan kemahiranmu uniuk memberi sedikit pelajaran sopan-santun kepadaku, seperti yang tadi kau perintahkan kepada temanmu yang lari ke hutan itu!" Yang kun yang merasa di atas angin selalu membakar hati musuhnya.

   "Gilaaa! sungguh gilaa...!!"

   "Haha...Engkau memang sudah gila. Sekarang engkau baru mengakui sendiri bahwa engkau tidak waras, sehingga tidak mengenal bahaya yang berada di hadapanmu!"

   Jilid 02
"Tutup mulutmu, anak setaaannn...!"

   "Mo-suheng! Mo-Suheng! Awas, jangan sampai terlepas! Dia telah membantai seluruh keluarga pendekar Li. Ringkus saja bocah ingusan itu!" tiba-tiba dari jauh berkelebat datang dua orang saudara seperguruannya.

   "Bocah ingusan... nenekmu!! Huh!! Kalian betul-betul buta! Ayoh... kita tangkap bocah ini bersama-sama!" teriak suhengnya di antara desah napasnya yang memburu. Sejenak kedua orang yang baru tiba itu tampak bingung dan heran melihat keadaan suhengnya yang terdesak oleh serangan si anak ingusan tersebut! Tetapi serentak mereka melihat suheng mereka hampir saja terkelupas kulit kepalanya akibat sambaran golok lawannya, mereka segera menyadari apa yang telah terjadi.

   Mereka mencabut pedang cucut mereka masing-masing dan seperti yang diperintahkan oleh kakak seperguruan mereka segera menerjunkan diri mengeroyok Yang Kun. Sekarang keadaan menjadi berbalik. Yang Kun yang semula berada di atas angin kini harus melawan tiga buah pedang cucut sekaligus. Apalagi mereka bertiga agaknya telah biasa bermain pedang secara berpasangan, sehingga pemuda itu terpaksa harus mengerahkan seluruh kepandaiannya Untunglah, ilmu silat keluarga Chin yang terdiri dari tiga puluh enam jurus itu benar-benar hebat dan sukar diduga perkembangannya. Kelihatannya sangat sederhana, tetapi ternyata mengandung berbagai macam variasi yang sulit ditebak oleh lawan.

   Sehingga biarpun pada permulaannya pemuda tersebut bisa didesak oleh ketiga lawannya, tetapi lambat laun akhirnya dapat juga mengimbangi permainan mereka. Hal itu tentu saja membuat Tung-hai Sam-mo menjadi heran dan tak habis mengerti. Anak muda yang semula mereka anggap sebagai bocah ingusan yang belum hilang bau pupuknya itu, ternyata mampu mengimbangi Tung-hai Sam mo, tokoh yang telah ternama dan ditakuti orang. Dan sedikitpun mereka tidak bisa menebak dari aliran manakah atau murid siapakah anak muda ini? Oleh karena itu setelah sekian lamanya mereka tidak dapat menundukkan pemuda itu, akhirnya orang she mo itu memberi isyarat kepada dua orang sutenya agar mundur.

   "Sute, siapkan ang-cin lu-tin (barisan cucut merah)!"

   "Baik!" kedua orang sutenya menjawab berbareng. Yang kun melihat ketiga lawannya tersebut berdiri berderet seperti anak kecil main sepur-sepuran, orang she mo sebagai saudara tertua berdiri di depan, lalu diikuti dua orang saudaranya yang lain. Masing-masing masih tetap memegang pedang cucutnya, cuma bedanya kini orang she lim yang berdiri di tengah tampak mengeluarkan lagi sebuah pedang, yang dipegang dengan tangan kirinya.

   "Hah!" Orang tertua dari Tung-hai Sam-mo membentak sambil meloncat menyerang lawannya dan seperti lengket saja, kedua saudaranya mengikuti di belakangnya.

   "Traang!" Yang Kun menangkis dengan goloknya dan sungguh heran kini goloknya terdorong mundur dengan kuatnya. Padahal ia tahu bahwa tenaga dalam dari orang pertama Tung-hai Sam mo tersebut masih di bawah dirinya! Dan kekagetan pemuda ini atas kejadian tersebut benar-benar dimanfaatkan oleh ketiga orang lawannya. Sebelum ia sempat memperbaiki kedudukan kakinya yang tergoyah, tiba-tiba orang ketiga dari Tung-hai Sam-mo yang berdiri di belakang kedua kakaknya tampak membalikkan tubuh serta menyerang dia dengan pedang cucutnya. Dalam gugupnya Yang Kun mengangkat goloknya ke atas untuk menangkis ujung pedang lawan, tetapi lagi-lagi ia terkecoh! Serangan itu ternyata berhenti di tengah jalan dan sebagai gantinya pedang si orang she Mo kembali menebas ke depan, ke arah perutnya. Kelihatannya serangan ini sukar untuk dielakkan lagi.

   Maka dari itu secara untung-untungan Yang Kun melempar tubuhnya ke belakang dalam posisi terlentang, sebuah gerakan yang sangat sulit dari jurus Jendral Yin Tu Terjatuh dari Punggung Hung-ma. Jurus ini amat sukar dipelajari dan Yang Kun hampir tak pernah mempergunakannya! Tubuh pemuda tersebut jatuh ke atas tanah dengan punggung lebih dahulu, lalu dengan cepat berguling ke kiri. Gerakan itu dilakukan dengan manis dan cepat, tapi toh masih terasa sebuah goresan yang pedih pada kulit perutnya! Dan ketika ia meloncat berdiri serta memeriksa perutnya, tampak ditempat itu dua lapis bajunya telah menganga bagai diiris pisau tajam. Darah juga kelihatan menetes dari kulit perutnya yang turut tergores! Mereka berdiri berhadapan kembali. Masing-masing tak berani memandang rendah lagi.

   Yang Kun tidak berani pula mengejek seperti tadi, apa lagi ia masih dikejutkan oleh kenyataan tentang menjadi berlipatgandanya kekuatan masing-masing orang itu setelah memainkan Ang-cio hi tin! Pertempuran selanjutnya adalah pertempuran yang sangat berat bagi Yang Kun. Dia yang miskin akan pengalaman bertempur itu dibuat bingung dan tak berkutik oleh cara bertempur mereka yang aneh tapi ampuh tersebut! Secara perseorangan sebenarnya ia jauh lebih kuat dari pada kepandaian setiap orang dari mereka itu, tetapi setelah mereka memainkan ilmu silat berpasangan mereka, dia benarbenar repot dan mati kutu! Darah mulai mengalir dari lukaluka yang diakibatkan oleh pedang cucut mereka! Celakanya luka tersebut semakin lama semakin terasa gatal sehingga mengganggu gerakannya. Beberapa kali ia kepingin menggaruknya!

   "Ha-ha-ha... anak muda, agaknya engkau belum mengenal keistimewaan pedang kami ini. Ketahuilah, pedang kami ini memang sengaja kami olesi racun dan lendir uburubur laut yang hidup di daerah kami. Racun itu memang bukan racun yang mematikan, tetapi akibatnya dapat kau rasakan nanti seumur hidupmu, ha-haa..." sekarang ganti mereka yang mengejek Yang Kun.

   "Penjahat kejam!"

   "Kejam? Ha-ha... jangan asal omong. Siapa yang lebih kejam di antara kita? Engkau atau kami? Siapa yang membantai seluruh keluarga pendekar Li di sana itu?" orang ke dua dari Tung-hai Sam-mo turut berbicara.

   "Aku tidak membunuh mereka!" teriak pemuda itu sambil menghindari serangan lawan yang tertuju ke arah lututnya.

   "Ho-ho, mana ada seorang pencuri mengakui perbuatannya..."

   "Bangsat kurang ajar... aduhhh!" tiba-tiba Yang Kun memekik kesakitan. Pedang bergerigi dari orang she Mo menancap dalam pada paha kirinya dan darah mengalir dengan deras dari luka yang semakin melebar akibat ulah pedang yang seperti gergaji itu. Rasanya juga gatal sekali! Tentu saja keadaan itu membuat Yang Kun semakin lemah daya perlawanannya, sehingga akhirnya sebuah tusukan lagi pada kakinya yang lain membuat pemuda tersebut jatuh terduduk tak berdaya. Dan beberapa buah luka lagi pada tubuhnya membuat pemuda itu hanya bisa melotot marah kepada lawannya.

   "Jangan dibunuh...!" seru orang she Mo kepada sutenya yang termuda, ketika yang terakhir ini mau mengayunkan pedangnya ke arah leher Yang Kun.

   "Kita bawa dia ke rumah pendekar Li kembali... kita adili dia di sana!"

   "Wah, bagaimana cara kita membawa dia? Aku tak mau kalau harus memanggulnya." kata sutenya bersungut-sungut.

   "Hmm, kenapa repot-repot, seret saja habis perkara...!" Langit biru bersih, hampir tak ada segumpal awanpun yang tampak lewat, sehingga matahari yang telah mulai bergulir ke arah barat itu dengan hebat melemparkan panasnya yang terik ke tempat tersebut. Semuanya telah berangkat menuju ke rumah pendekar Li, di mana telah terjadi pembantaian yang mengerikan oleh orang orang yang belum diketahui oleh mereka.

   Perjalanan ke tempat itu sebenarnya tidak begitu jauh, tetapi bagi Yang Kun yang diseret dalam keadaan terluka agak parah serta mengalami siksaan rasa gatal yang tak tertahankan tersebut, memang merupakan suatu penderitaan yang hebat sekali. Apalagi ketika beberapa kali tubuhnya membentur batu ataupun tongguk-tonggak pohon yang runcing, rasa-rasanya luka-luka itu semakin bertambah parah saja. Dalam hati ia mengumpat-umpat ketiga orang yang berbuat kejam kepadanya itu. Tetapi sekilas ia teringat akan perbuatannya sendiri yang juga menyeret seseorang dari pinggir Sungai Huang-ho ke tempat tersebut pagi hari tadi. Tidakkah perbuatannya itu juga sangat kejam?

   Tapi kenapa sedikitpun ia tidak merasakannya pada saat itu? Padahal orang yang diseretnya pagi tadi tubuhnya juga penuh luka akibat goresan-goresan goloknya! Tapi orang itu layak menerima perlakuan seperti itu, karena dia adalah salah satu dari para pembunuh ibunya, ia membela dirinya. Itulah manusia. Jarang yang dapat melihat noda-noda pada dirinya sendiri, apalagi mengakuinya dengan sportip. Kalau toh kadangkala merasakannya juga, tentulah akan cepat-cepat mencari seribu satu macam alasan untuk menghapus atau menguranginya. Mereka tiba di rumah bergenting merah tersebut tidak lama kemudian. belasan ekor burung pemakan bangkai tampak terbang berputar-putar di atas genting, menanti saat yang tepat untuk berpesta pora di antara bangkai yang berserakan di bawahnya.

   Yang Kun diseret masuk melalui pintu halaman yang terbuka, lalu dilemparkan begitu saja di dekat pintu. Tubuhnya membentur patung singa-singaan dan jatuh tertelungkup di atas kaki salah sebuah mayat yang berada di sana. Karena masih dalam keadaan tertotok maka ia tidak bisa berkutik sama sekali. Jangankan untuk bergeser dari mayat yang dihadapannya, sedang untuk menggaruk siksaan rasa gatal pada tubuhnya saja ia tidak mampu. Maka dengan sangat terpaksa ia menahan rasa mual pada perutnya akibat bau mayat yang sudah mulai membusuk tersebut. Sementara itu sebelum melemparkan Yang Kun di dekat pintu, Tung-hai Sam-mo bergegas menaiki tangga pendapa dengan hati-hati.

   "Apakah engkau tadi telah masuk dan menyelidiki keadaan di dalam sana?" tanya orang she Mo kepada adik seperguruannya yang ke dua.

   "Sudah. Tapi aku tidak menyelidikinya dengan teliti di semua tempat. Aku khawatir suheng menungguku terlalu lama."

   "Baiklah, mari kita sekarang menyelidikinya bersama-sama! Tapi apakah semua mayat ini adalah keluarga pendekar Li semuanya? Kudengar keluarganya cuma terdiri dari sepuluh orang saja, kenapa sedemikian banyaknya mayat yang bergelimpangan di sini?"

   "Mungkin beberapa di antaranya adalah mayat pihak lawan yang mati terbunuh disini," adik seperguruannya menjawab lagi.

   "Atau orang yang mati ini sebenarnya dipersiapkan oleh pendekar Li untuk menghadapi pertemuannya dengan kita?" sutenya yang termuda ikut berbicara.

   "...Dan mereka ternyata telah dibantai oleh pihak ke tiga sebelum kita keburu datang, begitukah maksudmu?" Suhengnya meneruskan.

   "Benar! Dan pihak ke tiga itu mungkin telah merampas peta wasiat yang selama ini dibawa oleh pendekar Li."

   "Kau benar! Kalau begitu mari kita geledah anak itu terlebih dahulu!" bergegas suhengnya turun kembali ke halaman diikuti kedua orang sutenya menuju ke tempat di mana Yang Kun tergeletak. Tetapi...

   "Hah??? Di mana anak itu?" orang itu berteriak hampir berbareng. Tempat itu telah kosong. Pemuda itu telah lenyap. Bagai kilat ketiga orang itu meloncat menerobos pintu keluar lalu berpencar mencari di sekitar tempat itu. Tetapi sampai bosan mereka berputar-putar, pemuda itu tetap tidak mereka ketemukan. Sambil menyumpah-nyumpah ketiga orang itu kembali memasuki halaman rumah.

   "Bangsat! Anak setan! Kenapa kita sampai terkecoh olehnya? Seharusnya kita tidak boleh terlalu meremehkan dia!" Mereka menaiki tangga pendapa kembali.

   "Apa yang mesti kita kerjakan sekarang suheng? Kita kehilangan jejak tentang separuh dari peta itu lagi." orang termuda dari ketiga bersaudara seperguruan itu mengeluh.

   "Jangan cepat berputus-asa. Bagaimanapun juga separuh peta itu telah ada pada kita, maka siapapun yang telah merampas separuh peta yang lainnya tentu akan mencari kita pula akhirnya," kata suhengnya sambil menepuk-nepuk buntalan yang sedari tadi selalu dibawanya.

   "Lalu apa yang harus kita kerjakan sekarang? Tetap menunggu di sini ataukah kita cari lagi bocah setan itu?" tanya adiknya lagi.

   "Kita jangan sembrono lagi sekarang. Kita harus teliti dalam segala hal agar tidak mengalami peristiwa-peristiwa yang membuat kita menyesal seperti tadi. Sekarang kita geledah seluruh rumah ini, siapa tahu peta yang separuh itu masih tersembunyi di sini! Cari mayat pendekar Li dan para anggauta keluarganya! Geledah tubuhnya, siapa tahu bocah itu juga belum mendapatkannya."

   "Baik, suheng!" Mulailah ketiga iblis dari laut timur itu mengobrak-abrik tempat tersebut untuk mencari separuh dari peta wasiat yang semula berada di tangan orang yang mereka sebut sebagai pendekar Li. Semua mayat yang berada di tempat itu mereka bolak-balik dan mereka geledah seluruh tubuhnya. Mereka bekerja sampai matahari mau terbenam tanpa mengenal Ielah, tetapi benda yang mereka cari tetap tidak ketemu.

   "Hei, kenapa kita tidak menemukan mayat dari pendekar Li! Adakah ia masih hidup dan lolos dari tempat ini?" orang pertama dari tiga sekawan itu keheranan.

   "Wah, repot juga kalau benar demikian." tambahnya lagi.

   "Memang repot juga," adik seperguruannya yang ke dua menyambung, "...Paling tidak kita harus mencari pula orang itu disamping tugas kita mencari bocah setan itu."

   "Twa suheng! Ji-suheng! Di halaman belakang ada beberapa buah gunduk tanah bekas galian baru! Agaknya baru saja untuk menanam sesuatu?" tiba-tiba dari tanah belakang rumah terdengar seruan dari saudara mereka yang termuda.

   "Tunggu!" Bergegas kedua orang itu berlari ke belakang menghampiri saudara mereka yang berjongkok di antara beberapa buah gundukan tanah di bawah rumpun pohon bambu.

   "Hemm, seperti sebuah kuburan baru."

   "Aku juga berpikir demikian. Suheng, apakah kita perlu..."

   "Tentu. Kita tidak boleh teledor. Kalau kita pergi dari sini, itu berarti bahwa kita sudah yakin benda tersebut memang sudah dibawa pergi dari tempat ini. Nah, bongkar saja kuburan ini!" Dengan harapan untuk memperoleh barang yang mereka cari selama ini, mereka menggali gundukan tanah tersebut dengan cepat.

   "Heh! Benar-benar sebuah kuburan!" mereka berdesah begitu pacul mereka mengenai tubuh mayat yang masih baru. "Keluarkan mayat-mayat itu!" orang pertama dari Tung-hai sam-mo memberi perintah kepada adik seperguruannya.

   "Hai..., suheng! Benar! Mayat pendekar Li ada disini! Tapi tak ada apa-apa di tubuhnya! Eh... kenapa wajahnya menjadi hancur begini?"

   "Uh, ususnya telah keluar pula dari perutnya!" tiba-tiba iblis yang termuda berseru sehingga kedua kakaknya buru buru menghampiri.

   "He... pendekar Li? Benarkah? Ah..., bukan! Benarkah mayat itu mayat dari pendekar Li? Badan serta potongan tubuhnya memang seperti pendekar Li, tapi...bukankah kepala dari pendekar Li telah dipenuhi uban? Kenapa rambut ini masih hitam?"

   "Ah... suheng, bukankah kabarnya pendekar Li sudah kawin lagi dengan seorang gadis yang masih muda? Siapa tahu rambutnya sudah dicat lagi menjadi hitam agar supaya kelihatan lebih muda? haahaa..." Kakak seperguruannya tersenyum.

   "Engkau ini ada-ada saja. Kenapa dia mesti repot-repot bersolek kalau cuma ingin mempersunting seorang gadis saja? Tapi bukan itu yang aku maksudkan. Maksudku, jikalau mayat ini benar mayat dari pendekar Li, lalu siapakah yang menguburkannya disini? Kenapa dia dikubur sendirian di sini sementara anggauta keluarganya yang lain tetap dibiarkan bergelimpangan di sana? Dan ketiga mayat lainnya ini mayat siapa? Kenapa justru mayat-mayat yang bukan keluarganya ini yang turut dikuburkan di sini? Bukankah hal ini sangat aneh?" Kedua saudara seperguruannya mengangguk-angguk membenarkan. Baru terbuka pikiran mereka sekarang, betapa aneh sebenarnya keadaan tersebut bagi mereka!

   "Benar! Memang sungguh aneh! Kenapa hanya empat buah mayat saja di antara belasan mayat itu yang dikuburkan di sini? Siapakah sebenarnya orang yang menguburkannya?" iblis yang termuda berkata perlahan.

   "Mungkinkah anak muda itu yang menguburkannya? Dia tentu datang ke tempat ini bersama-sama dengan temantemannya untuk merampas peta wasiat itu dari tangan pendekar Li. Kebetulan justru pendekar Li sedang bersiap-siap pula menghadapi kita. Nah, kedua kekuatan itu tentu bertempur dengan sengit, di mana akhirnya pihak pendekar Li kalah dan terbunuh semua, termasuk para wanita dan anak anak. Sementara di pihak anak muda itu hanya tinggal dia sendiri yang hidup. Jadi kuburan itu adalah kuburan temantemannya!" orang ke dua dari ketiga iblis itu mengutarakan pendapatnya.

   "Tapi kenapa anak muda tersebut bersusah-susah mengubur pendekar Li pula apabila mereka baru saja saling membunuh?" kakaknya keberatan.

   "Oh... iya! Lalu siapakah menurut pendapat suheng?"

   "Entahlah, akupun menjadi bingung pula. Bila keduaduanya bukan yang mengubur mereka, lalu siapa lagi? Apakah ada orang luar yang lewat dan tidak tega melihat mayat bergelimpangan di sini? Tapi kenapa hanya empat sosok mayat saja yang dikuburkannya? Kenapa tidak semuanya?" Ketiga orang itu berusaha memeras otaknya, tetapi mereka tetap tidak dapat menebak apa yang telah terjadi di tempat itu beberapa saat yang lalu. Mereka hanya dapat menduga bahwa di tempat itu telah terjadi bentrokan hebat antara dua buah kekuatan besar yang sama kuat sehingga kedua-duanya mengalami kehancuran. Hanya mereka bertiga tidak bisa menduga kekuatan dari manakah yang datang menyerang ke tempat pendekar Li ini.

   Satu-satunya orang yang mereka duga sebagai salah seorang anggauta dari pihak penyerang tersebut kini telah lepas dan tangan mereka.Ketiga iblis dari laut timur itu berdiri dengan lesu. Jerih payah mereka selama bertahun-tahun untuk mendapatkan separuh bagian dari peta wasiat itu kini menjadi musnah kembali. Sejak merampas sebuah peta wasiat dari seorang kepala perampok, mereka mengembara dari barat sampai ke timur, naik turun gunung, mencari separuh bagian lainnya dari peta wasiat hasil rampasannya tersebut. Akhirnya jerih payah mereka itu berbuah juga. Beberapa hari yang lalu mereka memperoleh kabar bahwa separuh dari peta wasiat itu kini telah jatuh ke tangan seorang pendekar dari Gunung Bu-tong yang telah mengasingkan diri di dekat kota Tie-kwan!

   Maka dengan gembira mereka menghubungi pendekar itu dengan diam-diam serta mengajaknya untuk bekerjasama dalam mengambil isi dari peta wasiat itu. Hari ini adalah hari yang mereka tentukan bagi mereka untuk saling bertemu dan berunding. Tapi ternyata keadaan telah berubah. Ada lagi pihak ke tiga yang agaknya telah turut campur dengan merampas peta yang berada di tangan Pendekar Li. Celakanya, siapa yang telah datang dan merampas benda tersebut dari tangan pendekar Li, mereka bertiga tidak dapat menduganya, sehingga otomatis urusan tentang peta wasiat tersebut menjadi gelap bagi mereka. Sebuah perjalanan yang panjang dan lama kembali terbayang di depan mata mereka.

   "Satu-satunya kemungkinan untuk mendapatkan peta yang hilang itu adalah bila kita dapat menangkap kembali bocah setan itu. Aku yakin anak muda itu tentu tahu di mana adanya peta tersebut," orang tertua dari ketiga iblis itu berkata pelan.

   "Tapi untuk mencari bocah itu kembali kurasa juga bukan hal yang mudah..." Langit sudah semakin menjadi gelap. Satu dua buah bintang sudah mulai kelihatan di atas langit. Ketiga orang itu telah pergi meninggalkan tempat yang mengerikan tersebut. Mereka biarkan begitu saja mayat-mayat yang telah mereka gali tadi, sehingga suasana di tempat itu benar-benar amat mengerikan!

   * * *

   Kemanakah Yang Kun sebenarnya? Benarkah ia dapat meloloskan diri dari tempat itu? Lalu di mana ia sekarang? Sesungguhnyalah, pemuda itu memang mempunyai bakat serta tulang yang baik untuk belajar ilmu silat. Maka tidaklah mengherankan kalau di antara keturunan keluarga Chin selama ini, hanya dialah satu-satunya orang yang mampu mempelajari ilmu silat keluarga mereka dengan sempurna dalam usia yang masih sangat muda. Padahal rata-rata para kakek dan neneknya, termasuk pula ayah serta para pamannya, baru dapat memahami ilmu silat tersebut dalam usia pertengahan. Mungkin hanya dalam hal tenaga dalam saja pemuda itu harus banyak berlatih, sebab untuk mencapai tingkat kesempurnaan dalam ilmu itu harus secara bertahap.

   Mengenai soal bertulang baik dan berbakat di dalam ilmu silat, pemuda itu pernah diberi tahu oleh paman bungsunya, bahwa selama keluarga Chin berkuasa, dari dahulu hingga sekarang, telah ada dua orang yang mempunyai bakat serta bertulang baik seperti dia. Yang pertama adalah Chin Hoa, hidup pada zaman Raja Chin Bun, lebih kurang seratus tahun yang lalu. Orang ini dapat mempelajari ilmu silat keluarganya secara sempurna dalam usia lima belas tahun. Sayang ketika terjadi malapetaka gempa bumi yang melanda di seluruh negeri, orang itu tewas terkubur di ruang semadhinya. Yang ke dua ternyata masih terhitung keluarga dekat dengan Yang Kun sendiri, karena orang itu adalah kakak kandung dari ayah serta paman bungsunya.

   Orang inilah yang disebut-sebut sebagai Kaisar terakhir dari Dinasti Chin oleh mendiang ayah Yang Kun. Orang itu menjabat sebagai Kaisar hanya dalam waktu sampai empat puluh hari saja, karena pemberontak yang dipimpin oleh Liu Pang (Kaisar sekarang) keburu masuk ke Kotaraja dan memaksanya untuk meninggalkan singgasana kerajaan. Orang ini pulalah yang memberi pesan wasiat kepada ayah Yang Kun agar menyimpan benda yang diperebutkan itu secara baik-baik. Tetapi, apabila benar apa yang dikatakan oleh paman Yang Kun bahwa pada usianya yang baru delapan belas tahun tersebut Yang Kun telah mampu meyakinkan ilmu silat keluarganya dengan sempurna, mengapa anak muda itu harus mengalami kekalahan ketika melawan Tung-hai Sam-mo?

   Apakah yang menyebabkannya? Apakah karena mutu ilmu silat keluarga Chin tersebut masih di bawah mutu ilmu silat keluarga ketiga iblis itu? Sehingga biarpun sudah mempelajarinya secara sempurna toh tetap masih kalah kuat? Sebenarnya tidaklah demikian halnya. Bagaimanapun juga ilmu silat keluarga Chin tersebut adalah ciptaan dari Raja Chin yang pertama, yang hidup pada zaman purba dahulu. Yaitu sebuah zaman, di mana hanya seorang yang benar-benar kuat dan sakti sajalah yang mampu bertahta di singgasana kerajaan untuk memimpin negara dan rakyat yang berjuta juta banyaknya! Oleh sebab itu, apabila dalam penampilannya yang pertama itu Yang Kun mengalami kekalahan,

   Hal tersebut bukannya disebabkan karena mutu ilmu silat keluarganya yang terlalu rendah, akan tetapi karena disebabkan oleh kosongnya pengalaman pemuda itu sendiri di dalam hal menghadapi keanehan dari ilmu silat golongan lain. Coba kalau pemuda itu mendapat kesempatan sedikit saja untuk berpikir tentang keanehan dari ilmu silat lawan yang diberi nama Ang-cio hi-tin itu, tidak mustahil kalau ia bisa menguasai lawan-lawannya pula. Hal itu sebenarnya telah terbukti ketika pemuda tersebut ditotok dan diseret ke rumah pendekar Li oleh lawan-lawannya itu. Kekerasan hatinya membuat ia seperti tidak merasakan rasa sakit dan penderitaannya ketika diseret oleh lawannya tetapi pikirannya justru disibukkan oleh rasa penasaran di hatinya karena dikalahkan oleh ketiga orang itu.

   Padahal ia merasa dengan pasti bahwa ilmu silatnya jauh lebih unggul dari pada ilmu silat mereka. Sebentar saja otaknya yang encer dan cerdas itu segera dapat meraba rahasia ilmu silat berpasangan mereka tersebut. Ketiga orang yang berdiri berderet seperti orang main sepur-sepuran itu tentu bermaksud membentuk diri mereka sebagai seekor ikan cucut besar. Di mana orang she Mo sebagai saudara tertua berada di depan sendiri dan bertindak sebagai kepala ikan. Pedang bergerigi yang dibawanya merupakan ujung tombak dari ikan cucut tersebut. Sedang orang she Lim, adik seperguruannya yang ke dua, yang berdiri di tengah, bertindak sebagai tubuh ikan itu.

   Kedua bilah pedang yang dipegangnya, ia mainkan sebagai sirip dari ikan cucut tersebut. Sementara adik seperguruan mereka yang termuda, berdiri paling belakang sebagai ekor ikan cucut. Pedang yang dibawanya ia mainkan sebagai sirip dari ikan tersebut yang terkenal tajam dan berbahaya! Seperti halnya ikan cucut asli, di mana moncong dan sirip ekornya adalah bagian yang sangat berbahaya bagi lawan, begitu pula Ang-cio hi-tin tersebut! Orang pertama serta orang ketigalah yang bertugas sebagai pihak penyerang, sementara orang ke dua hanya bertindak sebagai benteng pertahanan saja bagi keselamatan dari ikan cucut itu. Dan karena mereka itu bergabung sehingga seolah-olah menjadi satu ekor ikan besar, maka otomatis tenaga merekapun selalu bergabung menjadi satu kekuatan pula!

   Itulah sebabnya kenapa tenaga mereka seolah-olah menjadi bertambah besar. Dan seperti menghadapi ikan cucut yang hidup bebas di lautan, maka sangatlah berbahaya pula menghadapi Ang ciohi-tin tersebut dari arah depan ataupun belakang. Tempat satu-satunya yang paling aman adalah di samping tubuh ikan, persis di dekat siripnya. Maka asal pihak lawan selalu bisa berusaha berdiri di tempat itu bagaimanapun ikan tersebut menggerakkan tubuhnya, lalu menyerangnya dan tempat itu pula, niscaya ilmu silat tersebut akan mati kutu. Biarpun takkan mudah pula untuk berbuat seperti itu. Betapa gembiranya Yang Kun bisa memecahkan rahasia ilmu silat lawan itu. Semangatnya menjadi meluap-luap, ingin rasanya ia melepaskan diri dari ikatan yang membelit tubuhnya dan menantang mereka kembali untuk bertanding silat.

   Tapi karena tubuhnya tertotok maka niat itu belum dapat ia laksanakan. Maka ketika tubuhnya dibanting di atas mayat orang setelah mereka tiba di rumah pendekar Li, pemuda itu mulai berusaha memunahkan pengaruh totokan lawan terlebih dahulu. Apalagi ketika ketiga iblis itu pergi meninggalkan dia di halaman, kesempatan yang diperolehnya menjadi bertambah besar. Cepat pemuda itu memusatkan pikirannya untuk berkonsentrasi, lalu disedotnya udara sebanyak-banyaknya melalui hidung. Semuanya ia kumpulkan di pusarnya (tan tian). Baru setelah itu ia pecah menjadi dua bagian. Setelah berputar-putar sejenak, bagian pertama dia dorong ke bawah melalui wa pu hiat terus ke si kang-hiat dan menerobos lu-poh tung-hiat di bawah lutut.

   Setelah berputar-putar sebentar di ujung jempol (Ibu jari) kaki, hawa murni itu didorong kembali ke atas melalui tung-to hiat, go-lo hiat dan Khong ho-hiat, terus kembali ke tan tian. Semuanya berjalan lancar, tak sebuahpun jalan darah dilaluinya mengalami hambatan sehingga sebentar kemudian kedua buah kakinya dapat ia gerakkan kembali. Sementara itu hawa-murni yang sebagian lagi ia tekan ke atas melalui thia-wu-hiat di atas pusar, lalu berhenti sebentar di thinu su-hiat, terus meluncur ke atas melalui sam-le-hiat di atas dada. Tetapi ketika akan menerobos pang-wa-hiat yang berada di bawah leher, hawa murni tersebut mengalami kesukaran. Seperti ada sebuah tonjolan yang menekan jalan darah tersebut dari luar. Betapapun Yang Kun mengerahkan tenaganya, jalan darah itu tetap tak tertembus.

   "Kurang ajar! Benda apa yang berada di balik baju mayat ini? Kenapa persis benar menekan pada jalan darah di dadaku?" pemuda itu mengumpat. Oleh karena tubuh atasnya masih belum dapat digerakkan, Yang Kun berusaha untuk beringsut dari posisinya dengan jalan menjejakkan kakinya. Dan usahanya berhasil, sehingga penyaluran tenaga murninya dapat ia lanjutkan lagi tanpa hambatan. Begitu terbebas dari pengaruh totokan lawan, pemuda itu tidak langsung berdiri, tetapi dengan penasaran ia merogoh saku mayat yang berisi barang menonjol tadi.

   Dengan heran pemuda itu mengeluarkan sebuah potongan emas yang berkilauan dari balik baju tersebut. Emas itu berbentuk bulat panjang, sebesar ibu jari kaki, dengan panjang kira-kira satu dim. Hampir saja Yang Kun mengembalikan benda itu ke tempatnya semula, sebab ia tak ingin mencuri apalagi mengambil kepunyaan orang yang telah mati. Tetapi ketika matanya melihat goresan-goresan yang menyerupai sebuah peta pada emas tersebut, cepat keinginan itu ia batalkan. Siapa tahu benda tersebut akan berguna baginya kelak? Perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang aneh dan rahasia pada benda itu. Maka dengan hati-hati potongan emas tersebut ia masukkan ke dalam saku bajunya sendiri. Pemuda itu bermaksud bangkit dari tempat itu ketika Tiba-tiba lukanya terasa gatal dan sakit bukan main.

   "Kurang ajar! Luka ini benar-benar sangat mengganggu. Aku tidak boleh tergesa-gesa melawan mereka. Luka-luka ini harus kuobati dahulu sehingga sembuh, baru aku mencari pembunuh ayah ibuku dan mengadakan perhitungan dengan mereka." Sedikit demi sedikit Yang Kun beringsut ke arah pintu halaman. Kedua belah pahanya yang terluka itu sungguh sangat mengganggu jalannya. Sampai di luar pintu rasa sakit itu semakin menghebat sehingga kaki tersebut rasa-rasanya sukar untuk dipakai berjalan lagi.

   "Kurang ajar! Kemana aku harus menyembunyikan diri untuk sementara waktu? Hah, bangsat benar senjata Iblis itu! Awas, sekali waktu akan kubuat mereka menderita dengan senjata mereka sendiri!"
Berdesir dada Yang Kun ketika tiba-tiba dilihatnya sebuah bayangan berlari dengan cepat mendatangi tempat itu. Betapa ringan dan cepat langkah kakinya sehingga sekejap kemudian orang itu telah berada di depan mukanya.

   "Ohh... tuan muda!" tiba-tiba orang itu berseru. Matanya memancarkan sinar aneh, kaget dan seperti tidak percaya pada apa yang telah dilihatnya. Sebaliknya pemuda itu juga tidak kalah pula rasa terkejutnya. Tak terpikir sedikitpun di dalam benaknya bahwa ia akan menjumpai orang itu di tempat ini. Tersembul sedikit harapan di dalam hatinya untuk bisa lolos dari tempat tersebut.

   "Paman Hek-mou-Sai...!"

   "Tuan muda kau? kau masih... eh, kenapa tuan muda berada di sini? Di mana yang lainnya?"

   Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Paman, lukaku sangat parah. Bawalah dulu aku pergi dari sini secepatnya, nanti akan kuceritakan semuanya! Di di dalam ada Tung-hai-Sam-mo!" pemuda itu berbisik.

   "Hah? Tung-hai Sam-mo berada di sini?" Hek-mou sai terkejut pula.

   "Benar, paman!"

   "Baik, mari kita pergi! Ketiga Iblis itu memang sangat berbahaya, apalagi gurunya! Teman-temannyapun sangat banyak!" Maka ketika beberapa saat kemudian Tung-hai Sam mo mencarinya, Yang Kun telah tiada lagi di tempat semula. Dia telah dibawa pergi oleh Hek-Mou-Sai, salah seorang pengawal kepercayaan mendiang ayahnya.

   * * *

   "Demikianlah paman, semuanya terjadi dengan cepat serta di luar dugaan begitu paman meninggalkan kami di tengahtengah hutan itu. Hampir-hampir aku tidak mempercayainya bahwa semua itu telah terjadi pada keluargaku." pemuda itu menutup kisahnya.

   "Sudahlah, tuan muda. Betapapun kita masih harus berterima kasih kepada Tuhan bahwasanya Dia masih melindungi jiwa tuan muda, sehingga tuan muda dapat meneruskan semua cita-cita tuan Chin yang belum terlaksana. Tuan muda, tidakkah ayahmu memberi sesuatu wasiat atau petanya kepadamu?" Hek-mou-sai menghibur. Hampir saja pemuda itu mengatakan semua pesan ayahnya pada saat mau menghembuskan nafasnya yang terakhir itu, tetapi tiba-tiba diurungkannya, biarlah rahasia keluarganya itu ia simpan sendiri di dalam hati, orang luar tak perlu mengetahuinya. Semua urusan tersebut akan ia selesaikan sendiri! Hek-mou-sai merasakan keragu-raguan pemuda putera majikannya itu, tetapi iapun tak enak pula untuk terlalu mendesaknya, biarpun hatinya menjadi sangat kecewa sebenarnya.

   "Maafkan aku, paman. Bukannya aku tak mempercayai engkau yang telah banyak berjasa kepada keluarga kami itu, tetapi sebenarnyalah bahwa pesan ayahku itu hanya diperuntukkan bagiku saja. Pesan seorang ayah kepada anaknya." Yang Kun berusaha menerangkan.

   "Permisi, tuan...!" tiba-tiba terdengar sebuah suara di luar pintu memutus pembicaraan mereka.

   "Siapakah yang datang, paman?" Yang Kun mengerutkan keningnya dengan curiga, Hatinya yang telah dipenuhi perasaan dendam permusuhan itu kini ternyata tidak pernah merasa tenang. Hek-mou-sai tersenyum.

   "Tenanglah tuan muda. Aku telah memanggil seorang tabib untuk mengobati luka-Iakamu itu, terutama untuk menghilangkan perasaan gatal yang kadangkadang datang! Kurasa tabib yang kupanggil itulah yang datang," katanya seraya membuka pintu.

   "Maaf tuan, Aku terlambat datang. Jalan sudah penuh dengan orang, sehingga saya harus berputar-putar melalui jalan kecil."

   "Ah, tak apalah. Kami juga tak tergesa-gesa sekali. Marilah masuk, sinshe (tabib)!" Hek-mou-sai mempersilakan orang itu untuk memasuki kamar mereka.

   "Terima kasih!" Yang Kun memandang orang yang baru datang itu dengan hati yang semakin tidak enak. Nalurinya mengatakan bahwa tabib tua yang berperawakan kecil dengan bola mata kemerah-merahan itu tentulah bukan orang baik-baik. Apalagi ketika orang itu memandang ke arah dirinya dengan senyum yang aneh, ia merasa seperti menghadapi seorang iblis yang siap untuk mencekik lehernya. Tetapi ketika ia berusaha untuk beranjak dari tempat ia berbaring, Hek-mou-Sai menahannya.

   "Sudahlah, tuan muda. Engkau jangan terlalu banyak bergerak. Biarlah Ang-sinshe mengobatimu. Dia adalah seorang tabib yang paling tersohor di daerah Shan-tung ini. Percayalah!" Terpaksa dangan hati berat Yang Kun menuruti anjuran Hek-mou-sai tersebut. Ia percayakan sepenuhnya nasib dirinya kepada pengawal kepercayaan ayahnya itu. Oleh karena itu ia tetap berdiam diri ketika tabib itu memeriksa luka-lukanya.

   "Wah, berat...! Racun yang masuk di dalam luka-luka itu sungguh sangat keji sekali. Sebenarnya racun itu sendiri memang bukan semacam racun yang mematikan, tetapi akibat yang ditimbulkan akan justru lebih kejam malah...! Sebab apabila rasa gatal itu semakin sering datang dan semakin terasa menghebat, alamat kelumpuhan akan segera tiba. Dan penyakit seperti ini kurasa belum ada obatnya di dunia ini!" Tabib itu memandang Hek-mou-sai sambil mengelenggelengkan kepalanya.

   "Tidaaaak...!! Mesti ada obatnya! Oh, aku tidak boleh lumpuh! Aku tidak boleh lumpuuuuh!" Yang Kun berteriak seperti orang gila.

   "Aku harus sembuh kembali! Masih banyak yang harus akan kukerjakan! Aku masih harus membalaskan seluruh dendam kesumat keluargaku!"

   

Pendekar Tanpa Bayangan Eps 12 Darah Pendekar Eps 3 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 17

Cari Blog Ini