Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 23


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 23




   "Benar, Put-sia...! Laki-laki berkerudung itu pulalah yang menodaiku..." ucapnya Iirih. Put-swi-kui dan adik seperguruannya Put ming-mo mengajak kawan-kawannya untuk mengurus yang terluka. Yang hanya terluka kecil mereka obati dengan obat bubuk atau mereka olesi dengan cairan obat, sedang yang terluka agak parah mereka balut dan digotong oleh teman-temannya yang lain. Kemudian mereka naik kembali ke atas tebing dan selanjutnya pergi meninggalkan tempat itu.

   "Put-swi-kui dan Put-ming-mo ikut aku ke Pantai Karang! Yang lain boleh pulang membawa yang luka dan melapor kepada Put-ceng-li Lojin...!" Wanita ayu itu memberi aba-aba. Tempat itu kembali sepi. Malam semakin terasa dingin. Anginpun seakan-akan juga bertiup lebih kencang, sehingga kabutpun seolah-olah juga dipaksa untuk turun lebih cepat pula.Yap Kiong Lee yang basah kuyup dan tak berbaju itu juga merasa dingin.

   Sambil terbungkuk-bungkuk memeluk dada ia melangkah mengikuti derasnya aliran sungai itu. Ketika terlihat olehnya secercah sinar api di kejauhan, ia menjadi gembira bukan main. Dengan berlari-lari kecil, kakinya melangkah mendekati. Api itu kelihatannya amat dekat, tapi sudah sekian lamanya ia berlari ternyata belum juga sampai. Baru setelah naik turun jurang dan bukit kecil, sumber api itu kelihatan dengan nyata. Dan kenyataan itu benar-benar sangat menggembirakan hatinya. Sebuah dusun kecil tampak ramai dan terang benderang dengan obor-obor yang menyala di segala tempat. Suara tambur dan gembreng terdengar menggema memeriahkan suasana malam yang dingin. Terdengar suara sorak-sorai gembira di antara riuhnya suara tambur dan gembreng yang ditabuh.

   "Ah, ada keramaian di sana..." Yap Kiong Lee tersenyum gembira, Iangkahnya menjadi lebih cepat. Tapi Iangkahnya berhenti dengan mendadak. Lapat-lapat ia mendengar suara orang bertempur tidak jauh dari tempat itu. Malah di antara dencingnya suara senjata ia mendengar suara tertawa yang dikenalnya.

   "Oh, suara Ceng-ya-kang..." Berindap-indap Yap Kiong Lee mendekati tempat itu, sebuah padang rumput, terletak di antara sungai dan dusun tersebut. Dari jauh ia telah melihat beberapa orang bertempur dengan seru. Dalam keremangan malam bayangan mereka tampak berkelebatan seperti ayam berlaga. Sesekali teriakan mereka menguak memecahkan kesepian malam. Tapi belum juga Yap Kiong Lee dapat datang terlebih dekat, terdengar suara mengaduh beberapa orang yang kesakitan, kemudian...sepi! Dan begitu Yap Kiong Lee tiba di tempat itu, yang ia dapatkan hanyalah mayat-mayat bergelimpangan sementara di kejauhan didengarnya suara derap kaki kuda yang berlari pergi.

   "Uh! Uh!"

   "Hei! Ada yang masih hidup..." Yap Kiong Lee berdesah. Pemuda itu melompat datang. Bau amis yang amat keras merangsang hidungnya, membuat pemuda itu semakin berhati-hati dalam setiap langkahnya. Apalagi ketika dilihatnya mayat-mayat itu berwarna kehijau-hijauan.

   "Uh! Uh!" Yap Kiong Lee berjongkok. Dalam keremangan malam ia melihat orang tersebut merintih sambil mendekap dadanya. Dari sela-sela jari tangannya tampak mengalir darah. Tidak seperti mayat-mayat yang lain, kulit orang itu tidak berwarna kehijau-hijauan.

   "Coba kulihat lukamu..." Yap Kiong Lee membungkuk.

   "Sia...siapakah tu...tuan...? Oh, to...longlah aku! Bawalah aku ke rumah! Biarlah Kam Lojin yang mengobati lukaku..." Yap Kiong Lee menotok beberapa jalan darah di sekeliling luka itu, sehingga darah yang mengalir menjadi berhenti. Kemudian sambil memanggul tubuh itu Yap Kiong Lee bertanya,

   "Dimana rumahmu?"

   "Di pinggir dusun itu...Rumah bes...besar bercat kuning..." Yap Kiong Lee berlari menyeberangi padang berumput tebal itu. Beberapa kali ia berpapasan dengan kelompok kuda yang sedang memakan rumput. Kelihatannya tempat itu merupakan sebuah peternakan kuda. Yap Kiong Lee melihat sebuah rumah besar bercat kuning di pinggir dusun. Rumah itu dikelilingi kandang-kandang kuda yang amat banyak. Rumah itu sebenarnya merupakan rumah yang amat besar dan bagus, sayang di bagian samping dan belakang tampak retak-retak, mungkin diakibatkan oleh gempa bumi yang terjadi beberapa waktu berselang. Empat orang lelaki yang berjaga-jaga di depan rumah menyuruh Kiong Lee berhenti.

   "Siapa...?" salah seorang di antaranya bertanya. "Lo Sam...aku! Aku...aku terluka!" orang yang berada di atas pundak Kiong Lee menjawab.

   "Hei...? Twako? Kenapa engkau?" tiba-tiba keempat orang itu kaget. Berebutan mereka menolong orang yang terluka itu, sehingga hampir melupakan Yap Kiong Lee.

   "Eh, sahabat...marilah masuk!" salah seorang yang mendadak teringat kepada pemuda itu segera mempersilahkannya masuk.

   Rumah itu menjadi gempar seketika. Beberapa orang segera berlari ke belakang, memberi tahu pemilik rumah. Yap Kiong Lee duduk diam di tempatnya. Matanya mengawasi hiasan hiasan dari kertas yang dipasang di pendapa rumah tersebut. Beberapa orang perempuan tampak sibuk di beranda tengah. Kelihatannya mereka sedang merayakan sesuatu di rumah besar ini. Seorang pelayan datang memberi seperangkat pakaian kepada Yap Kiong Lee, dan tentu saja diterima dengan senang hati oleh pemuda tersebut. Bergegas ia mengganti pakaiannya yang basah dan bersamaan dengan itu dari dalam rumah keluar pemilik rumah yang mengenakan pakaian yang gemerlapan. Di sampingnya mengikuti seorang tua yang membuat Kiong Lee mengejap-ngejapkan matanya karena tak percaya apa yang dilihatnya.

   "Kam Lo-Cianpwe...!" desahnya perlahan.

   "Eh? Yap-Siauwhiap (Pendekar Muda Yap)..." orang tua itu tak kalah kagetnya. Orang tua yang tak lain adalah Kam Siong Ki, murid bungsu mendiang Bu eng Sin-yok ong itu segera datang mendekati Yap Kiong Lee. Sambil menggandeng lengan, kakek sakti itu berbisik di telinga Yap Kiong Lee,

   "Eh, Yap-Siauwhiap...! Jangan panggil aku Kam Lo-Cianpwe! Aku cuma dikenal sebagai orang tua yang bisa mengobati orang di daerah ini. Dan aku tak ingin orang-orang di sini mengetahui siapa sebenarnya aku ini. Biarlah mereka tetap menyangka demikian..." Sekali lagi kakek sakti yang tak ingin dikenal orang itu menatap muka Yap Kiong Lee, lalu perlahan-lahan tangannya menarik lengan pemuda ke depan, menghampiri pembaringan yang dipergunakan untuk menidurkan orang yang terluka tadi.Orang yang ada di tempat itu segera menyisih memberi jalan. Dan si pemilik rumah yang ikut memeriksa orang yang terluka itu bangkit menyongsong pula.

   "Kam Lojin (Kakek Kam), dia baru saja berkelahi dengan para pencuri kuda di dekat sungai. Keenam orang kawannya telah tewas terkena racun pencuri-pencuri itu." pemilik rumah itu memberi keterangan.

   "Biarlah aku periksa lukanya..." Kakek Kam menyahut dan memperkenalkan Yap Kiong Lee sebagai keponakannya.

   "Ah, sungguh kebetulan sekali saudara Yap yang menolong orangku. Kam Lojin ini sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Itulah sebabnya beliau kami undang ke sini untuk menghadiri pernikahan anak lelakiku malam ini. Sungguh tak kusangka pencuri pencuri kuda itu mempergunakan kesempatan selagi kami sekeluarga sedang sibuk mempersiapkan perayaan ini."

   Yap Kiong Lee membalas penghormatan tuan rumah tapi dia tidak berkata sepatahpun. Pemuda itu tak ingin menakut-nakuti tuan rumah dengan mengatakan bahwa yang mencuri kuda mereka bukanlah pencuri biasa, melainkan seorang iblis dari Ban-kwi-to. Hanya kepada Kam Song Ki pemuda itu mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Kam Lojin memeriksa luka orang itu dan mengobatinya.Biarpun banyak mengeluarkan darah, tapi luka itu tidaklah berbahaya. Hanya merupakan luka luar saja. Oleh karena itu setelah diberi obat dan dibalut, Kam Lojin hanya menyuruhnya beristirahat saja untuk beberapa hari.

   "Loya, utusan dari pihak pengantin perempuan telah tiba." tiba-tiba seorang pelayan masuk memberi laporan. "Katanya pengantin laki-laki telah ditunggu kedatangannya...,!"

   "Hah? Mana mereka? Wah, celaka...aku belum siap." pemilik rumah itu gugup. Sekali lagi rumah itu menjadi ribut. Mereka bergegas mempersiapkan pengantin lelaki dengan segala upacaranya, sehingga semuanya melupakan kehadiran Yap Kiong Lee di tempat itu. Kakek Kam yang ikut menjadi wakil pihak pengantin lelaki juga tak punya waktu lagi untuk mendampinginya. Tapi Yap Kiong Lee menyadari kesibukan mereka. Sedikitpun pemuda sakti itu tidak berkecil hati karenanya.

   "Ayoh! kau ikut sekalian dalam rombongan pengantin ini...,!" Kam Song Ki mengajak Kiong Lee sebelum iring-iringan itu berangkat.

   "Ah, terima kasih Lo...eh, Lojin!" Pemuda itu menolak.

   "Wah, kalau begitu kau mampirlah di rumahku kalau ada waktu. kau carilah aku di dusun Ho-ma cun...sepuluh lie dari tempat ini."

   "Baik!" Begitu rombongan pengantin itu berangkat, Yap Kiong Lee juga berpamit untuk meneruskan perjalanannya. Mula mula orang yang berada di dalam rumah itu melarangnya, begitu juga orang yang ditolongnya itu. Tapi karena Yap Kiong Lee bersikeras juga untuk berangkat, mereka terpaksa melepaskannya.

   Yap Kiong Lee berjalan menyusuri jalan besar yang membelah dusun kecil itu. Ia bermaksud menengok keramaian itu pula. Beberapa orang laki perempuan tampak berbondong bondong bersama anak-anak mereka. Tampaknya mereka juga ingin menonton keramaian yang diadakan oleh Kepala Kampung mereka, sehubungan dengan hajatnya mengawinkan anak perempuannya yang sulung. Keramaian itu tentulah sebuah keramaian yang diadakan secara besar besaran, mengingat besannya adalah Lo-Wangwe, peternak kaya di dusun mereka. Rumah kepala kampung itu persis berada di perempatan jalan, dan tempat tersebut telah padat dengan penonton yang ingin menyaksikan pertunjukan wayang. Karena panggung tempat pertunjukan itu didirikan di pinggir jalan, maka praktis para penontonnya menjadi tersebar memenuhi jalan raya.

   Sementara para pedagang kecil memanfaatkan keramaian itu dengan menjajakan dagangannya di tepian jalan. Yap Kiong Lee membaurkan dirinya di antara penonton yang bertebaran di tengah jalan. Sambil menyilangkan kedua lengannya di dada, pemuda itu bersandar pada gerobag kecil yang diparkir di tepi jalan. Gerobag itu tertutup semua pintu dan jendelanya, mungkin pemiliknya ikut pula bercampur di antara penonton. Sedangkan kedua ekor keledai penariknya dibiarkan mengorek-ngorek kotak tempat makanan yang disediakan di depannya. Upacara perkawinan telah selesai dilakukan. Sepasang pengantinnya telah dipersandingkan di atas kursi yang disediakan. Para tamu mulai menikmati makanan yang disuguhkan, sementara di ruangan depan juga telah dimulai dipertunjukkan tari tarian rakyat yang amat mempesonakan.

   Pihak tuan rumah memang sengaja mendatangkan para penari itu dari kota. Semakin malam penonton semakin banyak, apalagi ketika acara tari-tarian sudah selesai dan pertunjukan wayang telah mulai dipertontonkan. Para penonton mulai berdesak-desakan berebut tempat di depan panggung sehingga suasana menjadi hingar-bingar dan ramai bukan main! Apalagi ketika para pemain wayangnya telah mulai mempertunjukkan kebolehannya di atas panggung, para penonton mulai bersuit-suit dan bertepuk tangan dengan riuhnya. Yap Kiong Lee tetap saja bersandar pada gerobag itu. Ia enggan untuk ikut berdesakan di antara mereka. Sambil menonton, sesekali ia memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di dekatnya. Siapa tahu ia berjumpa dengan seseorang yang telah dikenalnya. Tiba-tiba pemuda itu tersentak kaget.

   Sekilas matanya melihat Tee-tok-ci dan Ceng-ya-kang di antara kerumunan orang di depannya. Tapi ketika ia menegaskan lagi, kedua orang itu telah hilang dan tak kelihatan lagi bayangannya

   Jilid 17
Sesaat Yap Kiong Lee menjadi termangu-mangu. Benarkah apa yang dilihatnya tadi? Ataukah semuanya itu hanya karena bayangannya sendiri saja? Ingin benar rasanya dia mencari serta membuktikannya. Tapi bagaimana mungkin? Kedua orang itu dapat bergerak gesit dan cepat seperti iblis, padahal di situ berjubel demikian banyak orang! Dan misalkan orang itu benar-benar ada di antara mereka, akibatnya justru akan sangat berbahaya. Karena kalau kedua iblis itu menjadi marah dan merasa terganggu kebebasannya, keduanya bisa menjadi pembunuh-pembunuh yang sadis. Bisa saja keramaian yang demikian meriahnya ini berubah menjadi arena berdarah yang mengerikan!

   "Uh...uh!" Mendadak gerobak yang dipakai untuk bersandar Yap Kiong Lee itu bergoyang-goyang. Dari dalam terdengar suara keluhan lirih wanita, yang nada suaranya persis seperti orang yang baru bangun dari tidur. Setelah itu terdengar pula suara laki-laki yang menyahut dengan perlahan pula. Dan beberapa saat kemudian kedua buah suara itu terlibat dalam bisikan mesra yang amat panas, sehingga Yap Kiong Lee yang mendengarkannya menjadi merah padam mukanya. Gerobak itu bergoyang semakin lama semakin keras serta disertai suara tertawa yang semakin lama juga semakin keras, sehingga akhirnya para penonton yang berada di sekitarnya menjadi heran dan merinding.

   Beberapa orang di antaranya mulai menyingkir dengan takut-takut. Mereka takut kalau kalau dari dalam gerobak itu tiba-tiba muncul sesosok hantu yang menakutkan. Mendadak suara tertawa itu berhenti dengan tiba-tiba dan sekejap kemudian terdengar suara gedubrakan yang keras, disertai suara maki-makian kotor yang mendirikan bulu roma! Dan sesaat kemudian terdengar perang mulut yang seru diikuti dengan suara gedebag gedebug orang berkelahi. Semua penonton yang berada di dekat gerobak itu segera menyingkir ketakutan. Tinggal Yap Kiong Lee yang masih tertegun di tempatnya. Dengan sikap waspada pemuda itu bersiap-siap untuk menjaga segala kemungkinan yang terjadi.

   "Grobyaak! Bluuuk...!" Pintu gerobak itu jebol. Daun pintunya yang terbuat dari kayu tebal terlempar dengan keras ke depan, menimpa keledai penariknya! Tentu saja binatang itu menjadi kaget dan kesakitan, sehingga otomatis kakinya meloncat ke depan sekuat kuatnya! Bagai dihentak oleh tenaga raksasa, gerobak kecil itu melayang ke depan, menerjang kerumunan penonton yang memadati jalan raya tersebut. belasan orang penonton langsung menggeletak, terkapar luka parah! Sebagian besar anak-anak dan wanita!

   Penonton-penonton lainnya langsung berlari cerai berai, berusaha menyelamatkan diri mereka masing-masing. Beberapa orang wanita dan anak-anak kembali menjadi korban lagi, mereka jatuh terinjak-injak penonton lainnya. Teriakan-teriakan ketakutan, jeritan-jeritan putus-asa dan panik, serta tangisan anak anak yang terlepas dari orang tuanya, berkumandang bersahutan, mengalahkan ributnya suara tambur dan gembreng yang ditabuh oleh para pemain wayang! Suasana yang kacau itu membuat si keledai semakin menggila. Bersama dengan gerobak yang dihelanya, binatang itu berputar-putar menerjang kemana saja, menceraiberaikan para penduduk yang memadati jalan raya tersebut. Korban bergelimpangan, baik yang disebabkan oleh amukan keledai tersebut, ataupun yang disebabkan karena terinjak-injak penonton lainnya!

   Dan suasana menjadi makin kacau dan mengerikan ketika dari dalam gerobak yang terguncang guncang itu berjatuhan segala macam botol-botol, bumbung bambu, guci-guci, kantong kulit dan sebagainya! Benda benda tersebut pecah begitu jatuh atau terinjak, dan dari dalamnya keluar segala macam binatang beracun seperti ular, kalajengking, kelabang, lebah, ulat dan lain-lainnya! Binatang-binalang itu langsung menyerang dan menggigit pula karena kaget dan takut! Korbanpun berjatuhan pula lagi! Apalagi ketika beberapa buah di antara guci-guci itu ternyata berisi bubuk-bubuk atau cairan-cairan beracun yang mematikan! Benda-benda berbahaya itu menyiram tanah memercik ke mana-mana, mengenai orang-orang yang menginjaknya! Bau amis, bacin dan busuk bertebaran menyelimuti seluruh tempat pertunjukan itu.

   Belasan penonton Iangsung tergeletak begitu menyedot hawa atau udara beracun tersebut! Mayat-mayat bergelimpangan, berserakan memenuhi arena pertunjukan! Para tamu yang berada di halaman rumah Kepala Kampung juga tak luput dari musibah tersebut, ketika gerobak maut itu menabrak pagar dan berputar-putar di antara jajaran kursi yang tersedia. Tapi sebelum gerobak itu sempat menerobos pagar, dua sosok bayangan lelaki perempuan tampak melayang keluar dari gerobak. Keduanya berkejaran, meloncat ke sana ke mari sambil sesekali berhenti untuk saling mengadu kepalan. Mulutnya yang kotor itu tetap saling mencaci dan memaki juga. Dan bersamaan dengan saat gerobak maut itu mengobrak-abrik para tamu, sepasang iblis lelaki perempuan itu juga meloncat kearah panggung wayang, dan membubarkan para pemainnya.

   "Lelaki busuk! Lelaki lemah tak berdaya! Kurus berpenyakitan...! Kubunuh kau!"

   "Huh! Perempuan tua! Perempuan gembrot seperti kerbau! Perempuan jelek...!"

   "Oh, kau berani berkata begitu...? Suami macam apa itu? Awas, akan kukuliti kulitmu dan akan kumakan jantungmu!"

   "Hei, siapa sudi jadi suamimu? Kapan kita menikah? Huh, enaknya...!"

   "Bangsattt...! Kubunuh kau! Kubunuh kaaauuuu...!" Si iblis wanita yang bertubuh gemuk besar itu menyerang kalang-kabut! Jari-jari tangannya yang berkuku panjang itu menaburkan pasir beracun yang ganas. Akibatnya beberapa orang pemain wayang yang belum sempat pergi menjadi korban pula.

   "Wah, suami-isteri Im-kan Siang-mo (Sepasang Iblis dari Neraka) dari Ban-kwi-to..." Yap Kiong Lee bergumam marah. Pemuda itu terpaksa bertengger di atas pohon di pinggir jalan untuk menghindari arus penonton yang kacau balau tadi. Dari tempat itu ia dapat melihat dengan jelas amukan gerobak yang ditarik keledai tersebut. Gemetar sudah tangannya untuk menghentikan gerobak tersebut, tapi mengingat arena itu sudah penuh dengan racun dan binatang-binatang berbahaya, apalagi selain Im-kang Sian-mo tampak juga adanya Tee-tok-ci dan Ceng-ya-kang pula, maka ia mengurungkan niatnya untuk sementara.

   Terlalu berbahaya baginya! Sebentar saja tempat pesta yang amat meriah itu berubah menjadi arena berdarah yang sangat mengerikan! Mengingatkan orang pada zaman peperangan besar beberapa tahun yang Ialu. Mayat bergelimpangan di jalan, jerit tangis memilukan dan suasana yang porak-poranda! Yang amat mengherankan Yap Kiong Lee ialah mengapa tak seorangpun dari pihak tuan rumah maupun besannya, yang keluar untuk turun tangan mengatasi huru-hara tadi. Sampai pada Kakek Kam yang ia tahu sangat sakti itupun juga tidak kelihatan batang hidungnya. Baru setelah gerobak beserta keledainya terjerumus di dalam parit dalam dan Sepasang Iblis Im-kan Siang-mo berkelebat pergi, orang tua itu tampak berlari-lari keluar rumah.

   "Awas! Semua orang jangan menyentuh benda-benda yang terkena racun iblis tadi! Tanah, pohon, kayu, kursi, meja dan sebagainya...!" kakek itu memperingatkan semua orang yang masih selamat. Sementara itu melihat Kam Song Ki sudah keluar, Yap Kiong Lee segera berkelebat pergi, menyusul Sepasang Iblis Neraka tadi.

   Hampir saja pemuda itu kehilangan jejak buruannya. Sepasang iblis itu lenyap ditelan kegelapan malam ketika tiba di tepian sungai. Kedua orang itu bagaikan hantu yang secara tiba-tiba menghilang begitu saja. Tepian sungai itu banyak ditumbuhi semak-semak lebat yang menjorok sampai ke tebingnya. Oleh karena itu Yap Kiong Lee menyelusurinya dengan hati-hati sekali, siapa tahu kedua tokoh Ban-kwi-to tersebut bersembunyi di dalamnya. Dan ternyata dugaannya memang benar. Sepasang telinganya segera menangkap gemerisiknya daun yang diinjak orang. Seorang laki-laki gemuk berkepala gundul tampak melintas di hadapannya. Ceng-ya-kang! Hm, iblis itu lagi. Yap Kiong Lee menggeram di dalam hati. Bukankah iblis gundul itu telah membawa pergi kuda-kuda curian itu?

   Mengapa sekarang dia berada di tempat ini lagi? Mengapa orang itu tidak lekas-lekas pergi ke Pantai Karang? Ada urusan apa dia disini? Yap Kiong Lee semakin meningkatkan kewaspadaannya. Untunglah baju pemberian peternak kuda tadi berwarna agak gelap, sehingga sangat menolong dia dalam kegelapan malam itu. Dengan leluasa dia menyusup-nyusup mengikuti iblis Ban-kwi-to tersebut. Tiba-tiba Ceng-ya-kang berhenti di bawah pohon siong tua yang berada di dekat tebing yang menjorok ke tengah sungai.Sekejap kemudian dari atas pohon meluncur turun seorang kakek bertubuh kecil, yang tidak lain adalah Tee-tok-ci. Mereka saling berbisik satu sama lain, sehingga Yap Kiong Lee tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan. Sementara itu Yap Kiong Lee malah mendengar suara caci-maki Im-kan Siang-mo di atas tebing yang menjorok ke tengah sungai itu.

   "Nah! Bagaimana sekarang...perempuan busuk? Kendaraan kita telah tiada. Benda-benda kesayangan kita yang kita kumpulkan selama bertahun-tahun ikut lenyap pula." Bouw Mo-ko memarahi isterinya.

   "Hei? Mengapa engkau malah menyalahkan saya? Bukankah engkau kusirnya? Kalau gerobak sampai tak bisa dikendalikan dan menabrak kesana kemari, bukankah itu karena kegoblogan si kusir?"

   "Benar memang...! tapi bagaimana aku bisa mengendalikan gerobak, kalau engkau terus-menerus memukul dan mau membunuh aku?"

   "Nah! Itulah kegobloganmu...! laki-laki kurus...lemah! mengapa engkau tidak bisa berkelahi sambil mengendalikan gerobak?"

   "Bangsat! Apa kau juga bisa? Huh, perempuan jelek yang mau menang sendiri saja!"

   "Apa katamu? Keparat! Kubunuh kauuuuu...!" Sepasang suami-isteri itu saling berbaku hantam kembali. Kali ini malah lebih seru lagi dari pada tadi. Kalau semula perkelahian mereka Cuma sesaat-sesaat, yaitu mereka lakukan sambil berlari-lari, sekarang mereka benar-benar saling berhadapan beradu dada. Mereka tidak berlari-lari. Mereka sungguh-sungguh bertempur habis-habisan sekarang!

   "Hei! Hei! Berhenti...!" Tee-tok-ci dan Ceng-ya-kang berteriak berbareng. Tapi mana mau kedua manusia sinting itu berhenti? Mereka hanya melirik sekejap, lalu melanjutkan pertempuran mereka lagi. Biarpun mereka tahu bahwa yang datang adalah kedua orang suhengnya sendiri, tapi kedua orang itu tetap tidak ambil pusing! Tentu saja Tee-tok-ci dan Ceng-ya-kang menjadi marah dan merasa diremehkan sekali. Maka tanpa berpikir panjang lagi keduanya langsung terjun ke arena dan ikut bertempur diantara mereka. Tee-tok-ci menghadapi Hoan Moli, sedangkan Ceng-ya-kang menahan Bouw Mo-ko!

   "Kurang ajar! Toa-suheng, menyingkirlah...! Jangan kau halang-halangi aku! Akan kubunuh suamiku itu!"

   "Huh! Bunuh saja perempuan jelek itu, Toa suheng! Jangan sungkan-sungkan lagi! Aku sudah bosan mendengar ocehannya..." Bouw Mo-ko tak mau kalah suara.

   "Diam kau, cacing kurus!" Ceng-ya-kang membentak sambil menangkis serangan Bouw Mo-ko. "Kalau tak mau diam akan kuludahi mukamu yang tak sedap itu!"

   "Heh! Kalian berdua ini benar-benar seperti anak kecil yang tak tahu diri saja. Kalau kalian memang tidak cocok dan saling membenci satu sama lain...huh, mengapa kalian tidak bercerai saja?" Tee-tok-ci ikut pula menghardik.

   "Nah...itu dia! Aku setuju!" Bouw Mo-ko berteriak.

   "Diammm...! kau memang ingin mencoba ludahku, yaa...?

   Hmm, cuh...cuh!" Ceng-ya-kang menyemburkan ludah inti racunnya. Dengan tergesa-gesa Bouw Mo-ko memiringkan mukanya. Meskipun begitu ternyata gerakannya itu belum dapat membebaskannya dari serangan suhengnya. Gumpalan ludah yang meluncur kearah wajah itu memang dapat ia hindari, tapi percikan-percikan yang mengikutinya ternyata masih bertaburan mengenai topinya. Terdengar suara berkeratak seperti suara hujan yang menimpa genting, ketika topi itu terlempar ke atas dengan lobang-lobang kecil pada setiap permukaannya. Dengan wajah pucat Bouw Mo-ko meloncat mundur. Dan sebelum bentrokan diantara mereka berlangsung kembali, Tee-tok-ci tampak mengeluarkan alat tiupnya yang terkenal itu.

   "Semuanya berhenti...! kalau tidak, peluitku ini akan kubunyikan...dan kalian semua akan menjadi santapan tikus tikus sungai." Ancamnya serius.

   "Kalian semua ini memang benar-benar tak tahu diri! saudara seperguruan yang hanya tinggal enam orang saja...tak mau rukun juga. Mana bisa dihargai orang?" tiba-tiba terdengar suara wanita yang datang. Yap Kiong Lee yang berada di tempat persembunyiannya terkejut pula di dalam hati. Dari tempat gelap, cuma beberapa langkah saja dari persembunyiannya, muncul sepasang wanita kembar yang dandanannya sangat menyolok dan berlebih-lebihan.

   "Wah, lengkap sudah mereka kali ini. Tadi Tee-tok-ci, lalu Ceng-ya-kang, kemudian...Imkan Siang-mo, sekarang...Jeng-bin Siang-kwi! Sayang iblis yang nomer dua, Tiat-siang-kwi, sudah meninggalkan dunia..."

   "Sam-sumoi dan Su-sumoi..." Tee-tok-ci menyapa perlahan.

   "Kalian semua ini benar-benar teledor dan tak berhati-hati! Sudah sekian lamanya diintai musuh tidak juga merasakan...!" Jeng-bin Sam-ni mengomel marah.

   "Hah?"

   "Apa? Diintai musuh...?" Semuanya terkejut bukan main. Tak terkecuali Tee-tok-ci, orang tertua dan terlihai di antara berenam saudara seperguruan itu. Mereka memandang tak percaya kepada Jeng-bin Siang-kwi yang kembar tersebut. Tapi melihat kesungguhan nada suara sepasang wanita itu mereka toh menjadi berdebar-debar pula akhirnya. Dengan mata mendelik mereka memandang ke sekeliling tempat tersebut. Sementara itu Yap Kiong Lee yang berada di tempat persembunyiannya ternyata tidak kalah terperanjatnya dari pada mereka.

   Otomatis tenaga saktinya menyebar ke seluruh urat-urat darahnya, siap untuk dikerahkan sewaktu waktu. Tapi sebelum pemuda itu keluar dari tempat persembunyiannya, dari bawah tebing tiba-tiba muncul lima orang tua berseragam pengemis. Mereka rata-rata berusia lima atau enam puluh tahun dan masjng-masing memegang sebuah tongkat besi sepanjang lengan mereka sendiri. Biarpun mengenakan baju lusuh dan penuh tambalan, tetapi sikap dan wajah mereka sedikitpun tidak mencerminkan wajah seorang peminta minta. Dan bersamaan dengan munculnya kelima orang pengemis tersebut dari arah pobon siong dimana Tee-tok-ci tadi bersembunyi, mendadak juga muncul dua orang gadis cantik pula. Kedua orang gadis cantik itu mendaratkan kaki mereka dengan manis di depan keenam iblis Ban-kwi-to tersebut.

   Yang satu berwajah cerah dan bersanggul tinggi, sementara yang lain agak kurus serta pucat! Umur mereka sekitar dua puluh tiga atau dua puluh empat tahun dan...sama-sama cantiknya! Sekali lagi Yap Kiong Lee dibuat terkejut oleh kedatangan mereka. Tapi bukan karena kecantikan mereka yang mempesonakan itu yang mengagetkannya, tapi kenyataan bahwa ia telah mengenal merekalah yang membuatnya terperanjat. Yang berwajah cerah dan amat cantik itu adalah Ho Pek Lian, murid dari Kaisar Han. Sedangkan yang berwajah pucat dan kurus, tapi berbau wangi, adalah Kwa Siok Eng, puteri ketua Tai-bong-pai! Setahun yang lalu kedua orang gadis itu bersama dengan Chu Seng Kun, telah pergi berkelana untuk mencari Chu Bwe Hong yang Ienyap diculik orang!

   "Hah?!?" tiba-tiba Yap Kiong Lee menepuk dahinya. "Ingat aku sekarang! Wanita ayu...wanita ayu yang bersama-sama dengan orang Bing-kauw itu...hah, bukankah...bukankah dia adalah Chu Bwe Hong? Wah, benar! Masa aku sampai lupa juga?" pemuda itu sibuk sendiri dengan pikirannya. Sementara itu suasana tegang dan mencekam telah menyelimuti perjumpaan yang tak disangka-sangka tersebut. Tee-tok-ci segera membelalakkan matanya begitu melihat siapa yang datang.

   "Hoho hihi...selamat berjumpa nona-nona cantik! Lohu sungguh tak mengira sama sekali kalau dapat bertemu dengan musuh-musuh lama di sini. Haha, nona dulu sungguh beruntung dapat lolos dari lorong jebakan di bawah tanahku..."

   "Ya...! Dan sekarang giliran kami untuk membalas perlakuanmu itu." Ho Pek Lian menjawab.

   "Hihi-hohoho...mau membalas? Ooo...jangan harap! Dulu kalian selamat karena ada Yap Lo-Cianpwe dan puteranya yang sakti (Yap Kiong Lee). Tapi kini kalian cuma ditemani pengemis-pengemis kelaparan seperti ini. Hihi hahaah...!"

   "Bangsat!" tiba-tiba salah seorang dari pengemis itu membentak.

   "Kami tidak ada hubungannya sama sekali dengan kedua orang nona ini...! Kami adalah utusan utusan dari Keh-sim Siauwhiap. Jangan ngawur...!"

   "Ohh, begitu! Wah...jika demikian bakalan ramai, nih! Tiga pihak saling berhadapan dan sebentar lagi kita bisa main bunuh-bunuhan, eh-eh-eh...! Bukankah begitu, koko...?" Hoan Mo-li yang tadi baru saja berhantam dengan suaminya, kini menggelendot manja.

   "Hmm, tentu saja...kita dapat saling berlomba nanti siapa yang paling banyak membunuh orang di tempat ini." Bouw Mo-ko tersenyum senang. Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng juga saling pandang dengan bibir tersenyum, sedikitpun mereka tidak gentar menghadapi tokoh-tokoh iblis dari Bankwi-to yang berdiri lengkap di depan mereka. Ho Pek Lian tampak menghunus pedangnya, sementara Kwa Siok Eng mengeluarkan ikat pinggangnya yang panjang.

   "Tee-tok-ci! Ayuh! Apakah kita akan langsung saja menyelesaikan hutang-piutang kita itu disini...?" Kwa Siok Eng yang kelihatan pucat dan lemah lembut itu menantang.

   "Eh? Oh...hoho, tentu saja!" kakek berperawakan kecil itu sedikit tertegun malah, melihat keberanian si gadis, "Tapi...eh, tunggu sebentar! Aku akan bertanya terlebih dahulu kepada para tukang korek sampah itu..."

   "Manusia bermuka tikus yang menjijikkan! biarpun kami seorang pengemis tapi tak pernah mengorek sampah seperti katamu itu. Kami justru sudah terbiasa memberi ampun kepada musuh-musuh kami. Hanya sekali ini...mungkin kami tidak akan memberikannya kepadamu." Salah seorang dari pengemis itu menggeram marah.

   "Heh? Oh...hohoho, agaknya kalian juga mempunyai keberanian pula. Tapi agaknya kalian belum mengenal siapa kami ini, heheh...heheh!"

   "Persetan! Siapapun adanya kalian, kami kaum Tiat-tung Kai-pang tidak pernah takut!"

   "Wah, celaka...! Kali ini korban kita benar-benar Cuma seorang pengemis! Dan...hanya dari Tiat-tung Kai-pang pula! Huh! Rugi...benar-benar rugi!" Hoan Mo-li yang sangat cerewet itu membuka mulutnya lagi.

   "Babi kurang ajarrrr...! kalian sungguh menghina Tiattung Lokai!" pengemis yang marah tadi meloncat maju.

   "Lo-Cianpwe, hati-hati..." Ho Pek Lian memperingatkan orang itu. "Mereka adalah iblis-iblis dari Ban-kwi-to!"

   "Ooh!" pengemis itu berhenti melangkah. Ternyata nama Ban-kwi-to itu sedikit menggetarkan dadanya juga. Tee-tok-ci tertawa melihat keragu-raguan orang.

   "Nah! Mengapa kalian mengintai dan memata-matai kami, hah?" tanyanya keras.

   "Siapa...siapa memata-matai kalian? Huh! Kamilah yang lebih dahulu berada di tempat ini, baru kemudian...kalian! lihat sampan-sampan kami di tepi sungai itu! Kalau kami datang belakangan, bukankah kalian akan mendengar suara kami?" jawab Tiat-tung Lokai marah, biarpun tidak segarang tadi. Bagaimanapun juga nama Ban-kwi-to tetap mengecutkan hatinya. Bukan kepandaian atau kesaktiannya yang menakutkan dia tetapi kehebatan racun mereka!

   "Kami tidak peduli, kau datang lebih dulu atau datang belakangan. Tapi yang jelas kalian telah mengintai kami. Untunglah aku melihatnya..." Jeng-bin Su-nio mendengus.

   "Dan...hal itu sudah merupakan alasan bagi kami untuk membunuh kalian secepatnya." Jeng-bin Sam-ni menambahkan.

   "Benar! Benar sekali...!" suami-isteri Im-kan Siang mo bertepuk gembira.

   "Nah! Apa yang mesti kalian tunggu lagi? Ayoh, siapa yang ingin mati duluan? Cuh! Cuh!" Ceng-ya-kang yang sejak semula hanya berdiam diri itu tiba-tiba meluncur ke depan, menyerang Tiat-tung Lokai dengan semburan ludahnya yang ampuh! Tiat-tung Lokai mengelak sambil memutar tongkatnya di depan dada, untuk menghalau percikan ludah itu. Tokoh ini sering mendengar bahwa salah seorang dari iblis Ban-kwi-to ada yang gemar mempergunakan air ludah untuk membunuh lawannya.

   "Hai! Hai! Ngo-suheng...!" Hoan Mo-li meloncat ke depan sambil menjerit, diikuti oleh Bouw Mo-ko, suaminya. "Biar aku dulu yang membunuh dia...!"

   "Eh, enaknya...! Aku dulu, dong...!" Bouw Mo-ko segera menyela tak mau kalah. "Ngo-suheng, berikan saja dia padaku!"

   "Kurang ajar, kau mau berebut lagi denganku? Baik! Marilah kita tentukan dulu, siapa yang lebih jago diantara kita...! Heiitt!" Kedua orang suami-isteri itu kembali berkelahi lagi. Tapi Tee-tok-ci segera meniup peluitnya, sehingga kedua orang itu segera menghentikan perkelahian mereka pula.

   "Huh, manusia sinting! Kenapa kalian lanjutkan juga perselisihan itu?" kakek bertubuh kecil itu membentak marah.

   "Habis kami tak punya lawan yang lain lagi, sih"! Satusatunya lawan kita telah diambil oleh Ngo-suheng." Hoan Mo-li yang gendeng itu menjawab sekenanya.

   "Hah, kalian benar-benar buta! Tidakkah kalian lihat di tepi sungai itu masih ada empat ekor tukang korek sampah yang lain?"

   "Apa? Masih...hei, benar! Koko, lihatlah! Disana masih ada yang lain...!" Hoan Moli bersorak gembira. Sepasang iblis itu langsung berebutan menghambur ke arah lawan, yaitu empat orang pengemis yang tidak lain adalah Tiat-tung Su-lo! Mereka segera terlibat dalam pertempuran yang seru dan kasar.

   "Wah, terus bagaimana dengan kita ini, Cici...?" Ho Pek Lian saling pandang dengan Kwa Siok Eng.

   "Kenapa mesti bingung? Marilah kita yang sama-sama wanita ini bermain-main berpasangan!" Jeng-bin Sam-ni dan adiknya Jeng-bin Su-nio melangkah ke depan sambil tersenyum.

   Ho Pek Lian juga tersenyum. Tapi senyumnya mendadak hilang ketika tiba-tiba dilihatnya sepasang iblis kembar itu menaburkan sesuatu dari tempat bedaknya. Baunya sangat harum dan bubuk lembut berwarna putih itu melayang tertiup angin! Belum juga Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng dapat menduga apa sebenarnya maksud sepasang iblis kembar itu menaburkan bedaknya, kedua tokoh Ban-kwi-to tersebut sudah menyusuli gerakannya dengan mengayunkan kaki mereka ke depan. Kaki Jeng-bin Sam-ni terarah ke pusar Ho Pek Lian, sedangkan kaki Jeng-bin Su-nio tertuju ke ulu hati Kwa Siok Eng! Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng tidak mau mendesak lawannya, maka tendangan itu sengaja tidak dielakkan oleh mereka berdua. Dengan mengerahkan lweekang ke lengannya, mereka menyongsong tendangan-tendangan tersebut dengan pukulan!

   "Dhuuukkk! Dhuuuukk!"

   "Ciiiitt! Ciiittt!"

   "Auuuuuuhgh...!" Sepasang iblis kembar itu terpental ke belakang, kemudian jatuh berguling-guling.

   Sebaliknya Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng tampak terdorong mundur sambil memekik kesakitan. Sambil menyeringai menahan sakit keduanya berusaha mencabut jarum-jarum kecil yang menembus lengan mereka. Sungguh tak disangka sama sekali oleh mereka, bahwa bersamaan dengan beradunya kepalan tadi, dari ujung sepatu lawan meluncur jarum rahasia yang mengenai lengan mereka. Serangan itu demikian mengejutkan, sehingga keduanya tak mampu lagi untuk mengelak. Sementara itu Jeng-bin Siang-kwi segera bangkit kembali dengan tangkas. Meskipun terpental keduanya ternyata tidak mengalami luka apa-apa. Melihat senjata rahasianya dapat mengenai sasaran hatinya gembira bukan main. Dengan tertawa gembira keduanya meloncat ke depan dan menyerang lawannya yang sudah tidak berdaya itu.

   Yap Kiong Lee tertegun seperti patung batu ditempatnya. Pemuda itu sungguh tak mengira kalau Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng dapat terkecoh demikian mudahnya. Terluka pada gebrakan pertama! Sungguh tak masuk di akal! Padahal sebagai murid Kaisar Han, Ho Pek Lian tentu mempunyai kepandaian sangat tinggi. Begitu juga dengan Kwa Siok Eng. Gadis puteri Ketua Tai-bong-pai itu malah memiliki kesaktian yang lebih hebat lagi malah. Tapi hanya dalam satu gebrakan mereka telah dapat dilukai oleh Jeng-bin Siang-kwi. Malahan sekarang jiwa mereka justru terancam oleh lawannya. Betapa mengherankan! Sementara itu pertempuran antara Im-kan Siang-mo dan Tiat-tung Su-lo, benar-benar merupakan sebuah pertempuran yang sangat acak-acakan tapi juga sangat mengerikan!

   Dua orang melawan empat orang! Lazimnya, karena melawan empat orang musuh, suami-isteri itu masing-masing tentulah mengambil dua orang sebagai lawannya. Atau kalau lawan terlalu kuat, mereka tentu memilih berpasangan untuk melawan keempat orang musuhnya sekaligus. Itu yang lazim! Tapi pertempuran yang terlihat kali ini benar-benar lain dari pada yang lain. Ternyata suami-isteri yang tak pernah akur setiap harinya itu masih saja meneruskan persaingan dan perselisihan mereka dalam pertempuran ini. Dasar orang-orang dari golongan sesat, bukannya mereka saling melindungi atau saling menolong, tapi justru saling berebut dan saling menjatuhkan malah. Suami-isteri itu berlomba-lomba untuk dapat membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu mereka saling berebut lawan, masing-masing ingin melawan sendiri keempat orang musuh mereka.

   Kalau yang satu hamper dapat membunuh lawannya, yang lain justru merintanginya. Kalau perlu justru menyerang suami atau isterinya malah! Oleh karena itu pertempuran mereka tersebut amat tepat kalau dikatakan sangat acak-acakan, tapi juga sangat mengerikan! Untung bagi Tiat-tung Su-lo, persediaan racun dan binatang-binatang piaraan kedua suami-isteri itu kini amat terbatas, sebab seluruh harta benda mereka hilang dan hancur bersama gerobak mereka. Coba kalau tidak demikian, mereka tentu sudah mengalami kesukaran sejak tadi. Tee-tok-ci yang menonton di pinggir arena tampak tersenyum lega. Semua saudaranya berada di atas angin. Ceng-ya-kang yang bertempur melawan ketua Tiat-tung Kaipang daerah selatan juga telah dapat mengurung lawannya.

   Tongkat besi yang dipegang oleh Tiat-tung Lokai tidak dapat menahan lagi semburan semburan ludah Ceng-ya-kang sepenuhnya. Beberapa kali pengemis tua itu jatuh bergulingguling menghindari serangan lawannya. Hampir seluruh batang jarum itu terbenam ke dalam daging, sehingga sukar sekali rasanya bagi Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng untuk mencabutnya. Apalagi mereka tidak mempunyai banyak waktu! Belum juga mereka sempat mencabutnya barang sebatang, Jeng-bin Siang-kwi telah datang menyerang lagi. Kali ini sepasang iblis kembar itu menyerang dengan kuku-kukunya yang panjang seperti cakar. Kuku yang tajam meruncing tersebut mencakar ke arah leher dan muka. Lapat-lapat tercium bau harum semerbak, seperti bau bunga mawar yang sedang mekar.

   "Awas, Pek Lian! Kukunya mengandung racun mawar hitam...!" Kwa Siok Eng berteriak. Tanpa mempedulikan lagi pada jarum-jarum yang menancap pada lengannya Ho Pek Lian meloncat ke belakang mengikuti Kwa Siok Eng, sehingga kuku-kuku yang mencakar ke arah dirinya menjadi luput. Lalu dengan gesit kakinya melangkah ke samping, dan pedang yang berada di tangannya ia tusukkan ke depan, mengarah ke pinggang Jeng-bin Samni.

   Sementara ia lihat Kwa Siok Eng juga sedang menyabetkan ikat pinggangnya kearah leher Jeng-bin Su-nio. Tapi tiba-tiba Ho Pek Lian menjadi bingung. Mendadak lawannya, Jeng-bin Sam-ni, berubah menjadi dua, sehingga tusukan pedangnya ia hentikan pula dengan mendadak. Matanya ia kejap-kejapkan, tapi pandangannya tetap tidak berubah. Malah sekarang tidak Cuma Jeng-bin Sam-ni yang berjumlah dua orang, tapi semua benda yang dilihatnya juga berubah menjadi dua buah pula. Ia lihat kawannya, Kwa Siok Eng, juga berubah menjadi dua! Ternyata keanehan yang membingungkan itu menimpa pula pada Kwa Siok Eng. Puteri ketua Tai-bong-pai itu juga mengalami keadaan yang sama dengan Ho Pek Lian. Semua benda yang dilihatnya seperti berubah menjadi dua pula, sehingga otomatis serangan ikat pinggangnya juga berhenti di tengah jalan.

   Kedua gadis itu belum menyadari, bahwa semua itu adalah karena pengaruh bedak wangi yang tadi ditebarkan oleh Jeng-bin Siang-kwi. Bedak wangi itu dinamakan Seribu Wajah. Apabila seseorang menyedotnya melalui lobang pernapasan, maka racunnya akan mengganggu system urat syaraf pada mata orang itu, sehingga pandang matanya menjadi terganggu. Semakin banyak racun yang disedot, semakin parah pula gangguan yang diakibatkan. Bedak ini pulalah yang mengangkat nama Jeng-bin Siang-kwi di dunia persilatan selama ini. Dan senjata andalan mereka terburu-buru mereka keluarkan, karena mereka tahu dengan siapa kini mereka berhadapan. Kalau cuma berkelahi secara wajar, tak mungkin mereka dapat menang melawan kedua orang gadis lihai tersebut. Untuk melawan puteri ketua Tai-bong-pai itu saja mungkin mereka berdua akan mengalami kesukaran.

   "Hi-hi-hi...Kalian berdua telah terkena dua macam racun kami. Bedak seribu wajah dan jarum bulu merak! Bukankah kepala kalian terasa pening sekarang? Nah, sebentar lagi lengan kalian yang terkena jarum itu juga akan lumpuh!" Jeng-bin Sam-ni tertawa gembira.

   "Kurang ajar! Wanita keji!" Ho Pek Lian menjerit marah. Gadis itu tak mempedulikan lagi rasa pening di kepalanya. Dengan sekuat tenaga ia menabas salah satu dari bentuk Jeng bin Sam-ni dengan pedangnya. Wuuuut! Dan wanita iblis itu tak berusaha untuk mengelakkannya, sehingga pedang dengan telak memotong pinggangnya!

   "Lhoh...?" Ho Pek Lian membelalakkan matanya. Tadi ia merasa bahwa pedangnya benar-benar telah mengenai pinggang lawan, tapi...mengapa tubuh yang terpotong itu masih tetap berdiri utuh di depannya?

   "Hi-hi-hi...ayohh! seranglah kami sepuasmu!" Jeng-bin Sam-ni tertawa mengejek.

   "Cici...? bagaimana ini...?" Ho Pek Lian berteriak bingung.

   "Adik Lian! kau hanya menyerang bayangannya!" Kwa Siok Eng yang cerdas itu menerangkan. "Kalau ingin mengenai...tebaslah semuanya!" Sambil menerangkan Kwa Siok Eng sendiri juga menyerang Jeng-bin Su-nio. Ikat pinggangnya yang panjang itu melecut kearah dua bayangan Jeng-bin Su-nio sekaligus! Bau dupa yang sangat wangi keluar dari tubuhnya, menyertai tenaga sakti Hio-yan Sinkang yang ia kerahkan!

   Benar juga! Kedua bentuk bayangan itu meloncat menghindarkan diri, dan kemudian secara berbareng membalas serangan Kwa Siok Eng. Sekejap kemudian mereka telah terlibat kembali dalam pertempuran yang sangat seru. Kwa Siok Eng dengan ikat pinggangnya melawan dua buah bayangan Jeng-bin Su-nio dengan racun-racunnya! Oleh karena setiap menyerang harus mengenai kedua buah bayangan itu sekaligus, maka sebentar saja Kwa Siok Eng menjadi mandi keringat. Demikian juga halnya dengan Ho Pek Lian. Murid dari Kaisar Han ini terpaksa harus mengerahkan tenaga dua kali lipat untuk melawan Jeng-bin Sam-ni. Celakanya, tenaga dalamnya tidak setinggi Kwa Siok Eng, sehingga sebentar saja kepalanya semakin menjadi pening, dan...bayangan tubuh lawan tiba-tiba tampak bertambah banyak.

   Tidak hanya dua...tiga" atau empat, tetapi...belasan! lebih celaka lagi, lengan kirinya yang terkena jarum tadi mendadak tak bisa digerakkan sama sekali. Lumpuh! Tak lama kemudian Kwa Siok Eng menyusul pula, lengannya juga tak dapat digerakkan! Dalam keadaan gawat bagi semua orang itu tiba-tiba terdengar bentakan yang menggeledek menulikan telinga. Dan mendadak saja, tanpa seorangpun tahu dari mana datangnya, di depan Tee-tok-ci telah berdiri membelakangi pertempuran, seorang pria gagah berjubah abu-abu! Pakaiannya sangat bersih dan baik seperti potongan seorang terpelajar (siucai). Cuma karena membelakangi pertempuran, wajahnya tak dapat dilihat oleh Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng.

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Keh-sim Siauwhiap!" Tiat-tung Lokai dan Tiat-tung Su-lo tiba-tiba menjura. Otomatis pertempuran menjadi terhenti.

   "Lokai! Su-lo! Kalian lanjutkan tugas kalian. Biarlah orang-orang ini aku yang mengurusnya..." Keh-sim Siauwhiap memberi perintah kepada para pengemis itu. Tiat-tung Lokai dan keempat pembantunya membungkuk kembali dengan hormat, lalu melangkah pergi kearah sampan mereka.

   "Baik, Siauwhiap...!" Tapi Hoan Mo-li menjadi penasaran sekali. Tak rela rasanya melepas mangsa yang telah berada di depan mulutnya itu. Tubuhnya yang gendut itu berkelebat menghadang mereka.

   "Hei! Berhenti...!" bentaknya.

   "Lokai! Su-lo! Berjalanlah terus! Jangan hiraukan dia!" Keh-sim Siauwhiap berseru.

   "Huh! Coba saja menerobos aku kalau bisa..." wanita gendut itu bersiap-siap. Sesaat kemudian suaminya juga datang mendampinginya. Tiba-tiba...ya, tiba-tiba saja, karena seperti juga tadi, tak seorangpun mengetahui bagaimana pendekar muda itu bergerak, tahu-tahu pendekar tersebut telah berada di depan Im-kan Siang-mo! Sepasang tangannya yang sedari tadi selalu terlipat di atas dadanya, mendadak meluncur ke depan dengan luar biasa cepatnya.

   "Dhees! Dhieess!" Sepasang Iblis Neraka itu terlempar ketika berusaha menangkisnya. Setelah itu dengan cepat pula pendekar muda tersebut kembali ke depan Tee-tok-ci dan...tetap membelakangi arena! Sedangkan kelima orang pengemis itu dengan tenang melanjutkan langkah mereka, seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa di depan mereka. Mereka naik ke atas sampan dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Yap Kiong Lee menggeleng-gelengkan kepalanya. Hatinya kagum bukan main melihat kehebatan ginkang orang itu.

   "Bukan main cepatnya...! Kiranya Bu-eng Hwe-Teng Bokanlah satu-satunya ginkang nomer wahid di dunia ini..." desahnya di dalam hati. Ternyata Tee-tok-ci dan saudara-saudaranya merasa kecut juga di dalam hati. Selama hidup belum pernah mereka menyaksikan ilmu ginkang demikian sempurnanya. Seperti siluman saja.

   "Nah, Tee-tok-ci...Bawalah semua saudaramu pergi meninggalkan tempat ini! Dan jangan coba-coba kalian mengganggu orangku lagi!"

   "Keparat!" Ceng-ya-kang yang berada dibelakang Keh-sim Siauwhiap tiba-tiba menerjang. Tanpa memberi peringatan lebih dahulu, tokoh kelima dari Ban-kwi-to itu menyerang dengan senjata rahasianya. Tujuh buah paku baja yang mengandung racun kelabang hijau melesat dari tangannya, menuju ke tujuh jalan darah terpenting di punggung Keh-sim Siauwhiap. Melihat Ceng-ya-kang sudah memulai, Tee-tok-ci dan Jengbin Siang-kwi juga tidak mau kalah. Mereka menyerang Kehsim Siauwhiap dari segala jurusan. Tee-tok-ci yang secara tiba-tiba telah memegang sebatang cambuk, tampak menyabetkan cambuknya ke arah leher lawan. Sedangkan Jeng-bin Siang-kwi tampak menyerang ke arah perut dan pinggang dengan kuku-kuku mereka. Yap Kiong Lee membelalakkan matanya, takut tak bisa melihat dengan jelas gerakan-gerakan mereka.

   "Taihiap...awasss!" Ho Pek Lian yang masih berkunang kunang itu menjerit tanpa terasa.

   "Traak! Dhug! Tesss!"

   "Oohh...!?!?" Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu Keh-sim Siauwhiap telah lolos dari kepungan iblis-iblis Bun-kwi-to itu.Dengan membelakangi mereka, pendekar muda tersebut telah berdiri di pinggir tebing sungai, tiga tombak dari tempatnya semula. Kedua tangannya tampak memegang tujuh buah paku dan potongan ujung cambuk! Perlahan-lahan benda-benda itu dibuangnya ke tengah sungai. Tee-tok-ci saling pandang dengan adik-adiknya. Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar mereka mengawasi punggung Keh-sim Siauwhiap. Kemudian masing-masing menunduk, melihat senjata yang mereka pergunakan. Tee-tok-ci melihat ujung cambuknya yang telah putus, Jeng-bin Siang-kwi memandang kuku-kukunya yang patah ujungnya dan Ceng-ya-kang menatap paku-pakunya yang belum sempat ia lontarkan! Mereka benar-benar terantuk batu kali ini.

   "Kalian belum juga pergi dari tempat ini?"

   "Hmm, baiklah...Kami mengaku kalah kali ini. Tapi suatu saat kami akan mencari tuan untuk membalas kekalahan ini." Tee-tok-ci menggeram.

   "Jangan khawatir. Aku tak pernah lari dari orang-orang yang mencariku. Pergilah ke Meng-to sepuluh hari lagi! Aku akan menjamu semua musuh-musuhku pada hari itu."

   "Baik! Kami akan kesana untuk minta pengajaran..." Cengya kang menjawab mewakili saudara-saudaranya. Tee-tok-ci melesat pergi diikuti saudara-saudaranya, termasuk Im-kan Siang-mo yang terluka. Yap Kiong Lee menjadi gugup dan kelabakan. Di suatu pihak dia ingin terus mengikuti para iblis itu, tapi di lain pihak ia juga ingin bertemu dengan gadis-gadis itu barang sebentar. Dan belum juga ia dapat mengambil keputusan, Keh-sim Siauwhiap tiba-tiba terbang ke depan melintasi sungai meninggalkan mereka.

   "Taihiap...!" Ho Pek Lian berseru memanggil. Tapi yang dipanggil tetap berjalan terus seolah tak mendengarnya.Kakinya melangkah enteng di atas permukaan air, seakan akan diatas sungai itu terhampar permadani yang tak kelihatan.

   "Bukan main! Bukan main...! Hanya dengan beralaskan papan kecil ia mampu berjalan di atas permukaan air. Siapakah sebenarnya dia?" Yap Kiong Lee sekali lagi menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Saudara Yap, beritahukanlah kepada gadis-gadis itu bahwa racun yang masuk ke dalam tubuh mereka akan punah apabila diobati dengan cairan merah yang selalu dibawa oleh nona Kwa Siok Eng." Tiba-tiba telinga Yap Kiong Lee mendengar suara Keh-sim Siauwhiap yang dikirim melalui ilmu Coan-im-jib-hit.

   "Gila!" Yap Kiong Lee tersentak kaget. Ternyata orang itu tahu pula kalau dia bersembunyi disana.

   "Hmm, siapakah dia? Mengapa sudah tahu namaku pula?"

   "Cici, lengan kiriku tak bisa digerakkan lagi. Lumpuh. Padahal kepalaku semakin terasa pening, mataku berkunangkunang, sehingga engkau menjadi ber puluh buah banyaknya bila kupandang. Oh, Cici...kita keracunan."

   "Benar, Lian-moi...kita memang terkena racun iblis-iblis itu. Sayang kita bukan seorang ahli pengobatan. Oh, coba kalau Seng Kun toa-ko ada disini...Oh, Tuhan...masih hidupkah dia?"

   "Nona Ho...! Nona Kwa...! maaf, aku yang datang..." Yap Kiong Lee keluar dari persembunyiannya, dan melangkah mendekati kedua gadis yang kena racun itu. Tentu saja kedatangannya benar benar amat mengejutkan mereka.

   "Yap-Twako...!" Ho Pek Lian berseru.

   "Yap-Kongcu...!" Kwa Siok Eng ikut pula menyapa.

   "Yap-Twako! Sungguh kebetulan sekali. Mengapa engkau sampai pula di tempat ini? Oh, Tuhan...Terima kasih...Terima kasih! Engkau agaknya memang belum menghendaki jiwa kami." Ho Pek Lian menengadahkan mukanya ke langit dengan wajah gembira.

   "Sudahlah, nona...Panjang sekali kalau diceritakan. Yang paling perlu sekarang adalah mengobati racun yang masuk ke dalam tubuh nona dulu."

   "Apakah Yap-Kongcu mempunyai obatnya?" Kwa Siok Eng bertanya ragu.

   "Eh, benar...Apakah Twako mempunyai obat pemunahnya?" Ho Pek Lian kembali merasa khawatir.

   "Oo...tentu saja! Hmm, nona Kwa...dimana botol kecil yang berisi cairan merah itu? Botol yang nona peroleh ketika nona memasuki sarang Tee-tok-ci beberapa tahun yang lalu?"

   "Hei, benar! Mengapa aku sampai melupakannya? Yap-Kongcu, engkau benar! Inilah dia botol itu! Aku tak pernah meninggalkan dia barang sekejappun. Heran, mengapa aku sampai melupakannya?" Kwa Siok Eng mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam saku bajunya.

   "Nah, itu dia! Sekarang lebih dahulu hirup udara yang keluar dari dalam botol ini!" Yap Kiong Lee mengambil botol itu dari tangan Kwa Siok Eng dan membuka tutupnya, lalu mendekatkan mulut botol tersebut ke hidung pemiliknya. Setelah Kwa Siok Eng mengisapnya berkali-kali, Yap Kiong Lee ganti membawa botol itu ke hidung Pek Lian.

   "Nah, sekarang rasa pening itu sudah hilang, bukan? Kini tinggal mengobati tangan yang lumpuh..." Yap Kiong Lee menyingkap lengan baju Kwa Siok Eng, sehingga jarum-jarum yang menembus pada kulit gadis itu kelihatan dengan nyata. Kemudian dengan hati-hati Yap Kiong Lee mencabutnya satupersatu, baru setelah itu bekasnya diolesi dengan cairan merah yang berada di dalam botol. Begitu pula yang dilakukan oleh Yap Kiong Lee terhadap Ho Pek Lian, sehingga akhirnya kedua-duanya terbebas dari maut.

   "Terima kasih, Yap-Twako."

   "Terima kasih, Yap-Kongcu."

   "Sebentar, nona...aku tidak mempunyai banyak waktu disini. Aku harus lekas-lekas mengikuti para iblis Ban-kwi-to tadi. Ada sebuah tugas dari Baginda Kaisar yang harus aku selesaikan, yang berhubungan dengan para iblis tersebut." Yap Kiong Lee segera berkata, ketika dilihatnya kedua gadis itu mau mengajaknya mengobrol.

   "Tapi..."

   "Sudahlah! Lain kali saja kita mengobrol! Sekarang dengarkan saja omonganku!" pemuda itu berhenti sebentar untuk mengambil napas.

   "Nona Kwa! Bukankah setahun yang lalu nona bersama dengan nona Ho dan saudara Chu, pergi mencari nona Bwe Hong yang hilang?"

   "Be-benar, Yap-Kongcu! Apa...apakah kau melihatnya?"

   "Eh?Jadi nona belum dapat menemukan dia?" Yap Kiong Lee ganti bertanya.

   "Be-belum!" tiba-tiba gadis itu menunduk sedih.

   "Kami malah telah kehilangan Chu Twako pula..."

   "Berbulan-bulan kami mencarinya, kami serasa telah putus-asa, tapi mereka tak pernah kami ketemukan juga." Ho Pek Lian menyambung perkataan temannya. Yap Kiong Lee seperti ikut pula merasakan kesedihan mereka itu.

   "Dengarlah, nona...! Aku memang benar-benar telah bertemu dengan nona Bwe Hong!"

   "Hah?"

   "Hei? Betulkah?" Kedua orang gadis itu mencengkeram lengan Yap Kiong Lee erat-erat, seakan-akan mematahkannya. Mata yang indah itu terbelalak seakan tak percaya.

   "Nona itu katanya telah menjadi isteri Put-ceng-li Lojin dari Bing-kauw sekarang. Aku secara tak sengaja telah bertemu dengan dia beberapa jam yang lalu, dan pada mulanya aku benar-benar tak mengenalnya...Kini dia beserta rombongannya sedang menuju ke Pantai Karang di dekat teluk Po-hai."

   "lsteri Put-cengli Lojin...?" Kedua gadis itu menyela dengan mulut ternganga.

   "Apakah dia sudah gila?" Yap Kiong Lee melepaskan pegangan gadis-gadis itu, lalu menjura memberi hormat.

   "Nah, aku pergi sekarang! Aku takut tak bisa menemukan jejak para iblis itu lagi." Sekali berkelebat Yap Kiong Lee lenyap dari hadapan Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng. Pemuda itu berlari-lari ke arah mana iblis tadi menghilang. Kini tinggal kedua orang gadis itu yang saling memandang satu sama lain, seolah-olah tak percaya pada apa yang mereka alami.

   "Enci Bwe Hong kawin dengan Tua Bangka yang Tak Tahu Aturan itu? Ohh...Cici, benarkah itu? Ah, tidak mungkin! Enci Bwe Hong cantik seperti bidadari...huh, apakah dia menjadi gila dan dunia ini sudah tidak ada lelaki lain lagi?" Ho Pek Lian mengguncang-guncang lengan Kwa Siok Eng dengan hati penasaran. Kwa Siok Eng tidak segera menjawab. Beberapa kali ia menghela napas berat.

   

Harta Karun Kerajaan Sung Eps 2 Darah Pendekar Eps 6 Darah Pendekar Eps 3

Cari Blog Ini