Ceritasilat Novel Online

Harta Karun Kerajaan Sung 6


Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo Bagian 6




   "Bagus sekali!" Kui Lin berseru gembira.

   "Sekarang baru aku percaya bahwa Thai-san-pai adalah perkumpulan para pendekar!"

   "Lo-cianpwe, terima kasih atas kesiapan Thai-san-pai untuk membantu agar harta karun itu dapat dirampas kembali dan diserahkan kepada yang berhak. Sekarang kami mohon petunjuk, siapakah kiranya tokoh di daerah pegunungan ini yang pantas dicurigai."

   "Memang ada beberapa tokoh dari berbagai golongan yang bertempat tinggal di daerah pegunungan Thai-san ini. Akan tetapi, untuk menduga siapa yang kiranya mencuri harta karun itu, memang sukar. Huo Lo-sian (Dewa Api) yang tinggal di Bukit Merah sebelah Barat pegunungan ini memang merupakan datuk sesat. Akan tetapi dia seorang yang kaya raya sehingga meragukan juga kalau menyangka dia yang melakukan pencurian itu."

   "Bagaimana kalau Hek Pek Mo-ko (Sepasang Iblis Hitam Putih) itu, Lo-cianpwe?" tanya Kui Lin.

   "Siancai, agaknya kalian sudah menyelidiki tentang tokoh-tokoh yang berada di pegunungan ini!" kata Ketua Thai-san-pai itu.

   "Sepasang Iblis Hitam Putih itu memang dapat digolongkan tokoh sesat juga. Mereka ganas, kejam, dan tinggal di Bukit Batu sebelah Utara pegunungan. Akan tetapi entahlah, apakah mereka berdua dengan anak buah mereka yang sekitar limapuluh orang banyaknya itu mencuri harta pusaka Kerajaan Sung. Mereka memang terkenal suka memaksakan kehendak sendiri dengan mengandalkan kekuatan dan kekerasan, akan tetapi pinto belum pernah mendengar mereka melakukan pencurian."

   "Dan Ang-tung Kai-pang itu bagaimana, Lo-cianpwe?" tanya Pouw Cun Giok.

   "Mereka itu golongan pengemis dan biasanya mereka itu membenci pencurian. Selain itu, biasanya mereka pun tidak suka kepada Pemerintah Penjajah Mongol. Ketuanya, Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan) merupakan kenalan baik dari kami dan sukar menuduh mereka melakukan pencurian."

   "Selain mereka itu, apakah masih ada tokoh lain, Lo-cianpwe?"

   Ketua Thai-san-pai mengangguk-angguk.

   "Thai-san ini amatlah luasnya, Sicu dan terdapat banyak tempat yang sunyi dan baik sekali bagi mereka yang ingin mengundurkan diri dari dunia ramai dan bertapa. Tentu banyak pertapa di daerah ini yang tidak mau mencampuri urusan dunia dan bukan mustahil kalau di antara mereka itu terdapat banyak orang-orang sakti. Sebaiknya sekarang kalian bertiga mengaso dulu. Pinto melihat kedua orang Nona ini sudah tampak kelelahan." Ketua Thai-san-pai lalu menoleh kepada Song Bu Tosu dan berkata.

   "Sute, ajaklah kedua orang Nona ini ke dalam dan suruh beberapa orang anggauta wanita menyiapkan kamar untuk mereka."

   Song Bu Tosu mengangguk, lalu dia bangkit berdiri dan berkata kepada sepasang gadis kembar itu dengan sikap hormat.

   "Marilah, Nona-nona, pinto antar ke bangunan samping yang memang menjadi bangunan untuk tamu yang kami hormati."

   Sepasang gadis kembar itu memandang kepada Cun Giok dan pemuda itu mengangguk.

   "Sebaiknya kalau kalian beristirahat, Lan-moi dan Lin-moi."

   Dua orang gadis itu lalu mengikuti Song Bu Tosu. Di bangunan samping tosu itu memanggil dua orang wanita yang menjadi anggauta Thai-san-pai, dan dua orang wanita setengah tua ini segera mengantar Kui Lan dan Kui Lin ke sebuah kamar yang cukup rapi dan bersih.

   Kini Thai-san Sianjin berkata kepada lima orang sutenya setelah Song Bu Tosu kembali ke ruangan itu.

   "Sute, kalian lanjutkanlah mengatur penjagaan yang ketat, pinto masih ingin berbincang-bincang dengan Sicu Pouw Cun Giok."

   Setelah lima orang tosu itu keluar dari ruangan, Ketua Thai-san-pai berkata kepada Cun Giok.

   "Pouw-sicu, kalau Sicu tidak terlalu lelah, pinto ingin mengobrol denganmu. Banyak yang ingin pinto tanyakan tentang dunia ramai yang sudah lama sekali pinto tinggalkan. Sebelumnya, pinto ingin sekali mengetahui bagaimana Sicu yang menjadi murid Lo-cianpwe Pak-kong Lojin dapat melakukan perjalanan dengan gadis kembar puteri The Toanio majikan Lembah Seribu Bunga. Maukah engkau menceritakannya kepada pinto, Sicu?"

   Cun Giok hanya menceritakan bahwa dia bertemu dengan gadis kembar itu di tepi sungai tak jauh dari Lembah Seribu Bunga. Mereka berkenalan dan dia diajak naik ke Lembah Seribu Bunga, bertemu dan berkenalan dengan Nyonya The, majikan lembah yang penuh rahasia itu.

   "Ketika mendengar bahwa saya hendak mencari pencuri yang mengambil harta karun Kerajaan Sung, dua orang gadis kembar itu lalu ingin ikut pergi membantu saya. Begitulah, Lo-cianpwe."

   "Siancai, pinto sudah menduga bahwa engkau adalah seorang pemuda yang jujur, polos dan baik hati. Terus terang saja, Sicu, pinto adalah seorang yang sudah banyak pengalaman dan pinto melihat bahwa kedua orang Nona kembar itu menaruh hati cinta kepadamu."

   "Eh? Bagaimana Lo-cianpwe dapat mengetahui atau menduga begitu?"

   "Sicu, dari pandang mata dan sikap mereka saja pinto yakin bahwa kakak beradik itu jatuh cinta kepadamu. Hal ini berbahaya karena mereka dapat bersaing untuk mendapatkan cintamu. Pinto dapat melihat pula bahwa tidak atau belum ada perasaan cinta dalam hati Sicu kepada mereka, hanya rasa suka sebagai sahabat saja."

   "Lo-cianpwe sungguh memiliki pandangan yang tajam dan waspada. Saya sendiri yakin bahwa agaknya tidak mungkin saya jatuh cinta kepada seorang wanita. Tidak lagi......" Cun Giok menghela napas panjang, hatinya terasa hampa.

   "Ah, semuda ini Sicu sudah mengalami gagal cinta agaknya. Apakah Sicu sudah menikah? Atau bertunangan?"

   "Saya pernah ditunangkan kepada seorang gadis oleh mendiang Guru saya. Akan tetapi, tunangan saya itu mati terbunuh. Saya sudah membalaskan kematiannya dengan memberi hajaran keras kepada pembunuhnya. Biarpun ia sudah mati, saya akan tetap menganggap ia itulah isteri saya."

   Tosu tua itu mengangguk-angguk.

   "Sicu, engkau seorang laki-laki yang setia. Akan tetapi kesetiaanmu itu tidak pada tempatnya. Pinto kira tunanganmu itu pun tidak akan tenang melihat engkau menutup dirimu terhadap cinta seorang wanita."

   "Lo-cianpwe, justeru cinta yang membuat saya merasa berdosa dan merana. Saya sudah ditunangkan dengan seorang gadis, akan tetapi saya jatuh cinta kepada seorang gadis lain. Ah, Lo-cianpwe, benarkah pendapat bahwa cinta itu selain mendatangkan kebahagiaan, juga seringkali mendatangkan kedukaan?"

   Tosu itu tersenyum. Pertanyaan yang sebetulnya janggal karena urusan cinta ditanyakan kepada seorang tosu! Akan tetapi sebagai seorang yang banyak pengalaman dalam kehidupan, Ketua Thai-san-pai merasa berkewajiban untuk menerangkan apa yang dianggapnya benar.

   "Sicu, cinta kasih tidak pernah mendatangkan senang maupun susah walaupun cinta kasih tidak pernah terpisah dari setiap mahluk hidup. Yang dapat mengumbang-ambingkan manusia antara suka dan duka bukanlah cinta kasih, melainkan cinta berahi atau cinta nafsu yang tidak didasari cinta kasih."

   "Bagaimana sifat cinta kasih, Lo-cianpwe, dan bagaimanakah yang dinamakan cinta kasih sejati itu?"

   "Cinta kasih sejati menuntun manusia untuk menyerahkan diri sepenuhnya dalam Kekuasaan Tuhan karena Kekuasaan Tuhan itulah ujud cinta kasih sejati. Dituntun cinta kasih, manusia akan merelakan diri sepenuhnya demi kesejahteraan dunia dan manusia pada umumnya, lembut sabar dan tulus setia, tidak mementingkan diri sendiri, seperti halnya sinar matahari, keharuman bunga, kemerduan kicau burung, kesejukan angin, keindahan tamasya alam. Semua itu adalah Kekuasaan Tuhan dan di situ terkandung cinta kasih. Tanpa pamrih untuk diri pribadi dan selalu bermanfaat bagi semua mahluk, terutama manusia. Seluruh alam dan isinya ini dicipta oleh Tuhan dengan cinta kasih. Cinta kasih bekerja setelah nafsu mementingkan diri sendiri tidak hadir dalam hati dan akal pikiran kita. Tindakan yang didasari cinta kasih sudah pasti benar karena dibimbing oleh Kekuasaan Tuhan, mendatangkan perasaan iba dan sayang dalam hati terhadap sesama manusia tanpa pandang bulu. Seperti sinar matahari, mendatangkan kehidupan dan kenikmatan kepada siapa saja, seperti keharuman bunga akan tetap harum ketika dicium siapapun juga tanpa memandang bangsa, agama, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, yang berkedudukan tinggi atau rakyat jelata yang paling bawah sekalipun."

   "Alangkah indahnya, Lo-cianpwe. Lalu bagaimana sifat cinta berahi atau cinta nafsu?"

   "Cinta berahi mengandung nafsu untuk mencari kesenangan diri sendiri dan condong untuk menganggap orang yang dicintanya itu sebagai sumber kesenangan diri sendiri."

   "Alangkah kotornya, Lo-cianpwe. Kalau begitu, untuk apa kita membiarkan diri dikuasai cinta berahi semacam itu? Lebih baik dimatikan saja nafsu berahi seperti itu. Bukankah begitu, Lo-cianpwe?"

   "Siancai......!" Tosu itu tersenyum lebar.

   "Tidak begitu, Pouw-sicu. Tidak ada nafsu yang boleh dimatikan! Nafsu-nafsu memang sudah disertakan kepada manusia sejak lahir dan nafsu-nafsu itulah yang mendorong dan menjamin keberadaan dan kelangsungan hidup manusia. Bahkan nafsu berahi merupakan nafsu yang teramat penting, terutama untuk jaminan perkembang-biakan manusia di dunia. Akan tetapi kalau hubungan antara pria dan wanita hanya dilandasi nafsu berahi saja, tanpa adanya cinta kasih sejati, maka hal itu akan menghancurkan manusia itu sendiri. Nafsu berahi tanpa cinta kasih membuat orang mencari kesenangan sendiri, ingin menguasai, memiliki, mendatangkan cemburu dan dapat mengubah cintanya menjadi benci kalau yang dicinta tidak menyenangkannya lagi! Adapun nafsu berahi yang didasari cinta kasih membuat orang bersikap menghormati, melindungi, menyayangi, menaruh iba, menanamkan kewajiban, kesetiaan dan mendatangkan sikap ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, senang sama dinikmati dan susah sama ditanggung."

   "Terima kasih, Lo-cianpwe. Apa yang saya dengar dari keterangan Lo-cianpwe menerangi hati saya yang selama ini dirundung kegelapan," kata Cun Giok yang teringat akan Ceng Ceng. Dia mencintai gadis itu sepenuh hati, mencinta selengkapnya.

   Memang terasa olehnya ada dua macam cinta dalam hatinya terhadap Ceng Ceng. Yang pertama adalah cinta kasih berahi yang timbul karena kecantikan gadis itu. Adapun yang kedua adalah cinta sejati seperti yang disinggung Ketua Thai-san-pai tadi, yang timbul karena kebijaksanaan dan budi pekerti gadis itu. Cinta berahi dapat saja menguap bahkan beralih kepada gadis lain, sebaliknya cinta sejati akan tetap ada, walaupun dia harus berpisah dari yang dicintanya dan tidak dapat menjadi satu.

   Dia dapat merasakan bahwa cinta kasih Ceng Ceng terhadap dirinya tentu merupakan cinta kasih sejati seperti yang diuraikan Ketua Thai-san-pai tadi. Buktinya, dulu Ceng Ceng pernah mengalah kepada Li Hong yang mencintanya, bahkan biarpun ia diserang oleh Li Hong kemudian dikhianati Li Hong yang memihak Kim Bayan, Ceng Ceng masih tetap membela Li Hong dan rela menyerahkan peta harta karun. Ceng Ceng adalah seorang gadis yang memiliki cinta kasih murni seperti itu!

   Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut yang datangnya dari arah belakang gedung rumah induk Thai-san-pai itu.

   "Hemm, apa yang terjadi di sana?" kata Ketua Thai-san-pai dengan sikap masih tenang, namun alisnya berkerut, agaknya merasa tidak senang oleh gangguan itu.

   "Lo-cianpwe, pasti terjadi sesuatu di sana!"

   Tiba-tiba dua orang murid memasuki ruangan itu, memberi hormat kepada ketua mereka dan melapor.

   "Suhu, beberapa orang liar memasuki perpustakaan dan mengacau di sana, kini dihadapi oleh Lima Suhu."

   "Lo-cianpwe, biar saya yang melihat ke sana!" kata Cun Giok sambil bangkit dari tempat duduknya.

   Ketua Thai-san-pai mengangguk dan Cun Giok segera mengikuti dua orang murid itu menuju ke belakang. Di ruangan tengah dia bertemu Kui Lan dan Kui Lin yang juga mendengar keributan itu dan mereka keluar dari kamar mereka.

   "Ada apakah, Giok-ko?" tanya Kui Lin.

   "Menurut laporan dua orang ini, ada beberapa orang datang membuat kekacauan di sini!"

   "Mari kita pergi lihat!" kata Kui Lan dan mereka bertiga lalu mengikuti dua orang murid Thai-san-pai itu.

   Ketika mereka tiba di luar ruangan perpustakaan yang merupakan sebagian dari taman yang cukup luas, Cun Giok dan dua orang gadis kembar melihat kelima Thai-san Ngo-sin-kiam sedang berkelahi melawan lima orang laki-laki tinggi besar berusia sekitar empatpuluh tahun. Lima orang tinggi besar itu tampak garang dan pakaian mereka serba hijau dan mereka masing-masing memegang sebatang golok besar yang punggungnya bergigi seperti gergaji. Ilmu silat mereka ternyata cukup hebat dan gerakan mereka liar dan aneh sehingga agaknya mereka mampu mengimbangi permainan pedang dari Lima Pedang Sakti Thai-san itu. Di sekitar tempat perkelahian itu tampak belasan orang murid Thai-san-pai yang sudah terluka dan sedang ditolong oleh para murid lainnya.

   Kui Lin yang galak sudah hendak menyerbu dan membantu Ngo-sin-kiam, akan tetapi Cun Giok memegang lengannya.

   "Jangan, Lin-moi. Membantu mereka tanpa diminta akan menyinggung harga diri mereka, dan lihatlah, mereka tidak terdesak oleh lawan."

   Dicegah oleh Cun Giok yang memegang lengannya, Kui Lin tidak jadi menyerbu dan jantungnya berdebar, mukanya berubah kemerahan karena pegangan tangan itu pada lengannya seolah mengandung getaran yang menjalar ke seluruh tubuhnya! Ia menyimpan kembali pedangnya dan menonton perkelahian Ngo-sin-kiam melawan lima orang musuh mereka itu.

   Benar seperti yang dikatakan Cun Giok, biarpun lima orang berpakaian hijau itu memiliki gerakan yang amat aneh dan dahsyat, golok mereka menyambar-nyambar bagaikan naga mengamuk, namun ilmu pedang Ngo-sin-kiam memang hebat. Mereka berlima telah menguasai ilmu pedang Thai-san-pai dengan baik sehingga mereka bukan saja mampu menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan terhadap serangan lawan, bahkan kini mereka mulai dapat mendesak orang-orang berpakaian hijau itu. Cun Giok melihat betapa Ngo-sin-kiam itu memiliki gerakan pedang yang teratur, saling dukung baik dalam pertahanan maupun penyerangan. Mereka merupakan barisan pedang yang amat tangguh, jauh lebih tangguh daripada kalau mereka maju sendiri-sendiri.

   Setelah terus mendesak lawan, akhirnya Ngo-sin-kiam dapat merobohkan lima orang penyerbu itu. Ada yang terluka lengan atau pundaknya, ada yang terlempar goloknya, ada pula yang terkena pukulan tangan kiri atau tendangan. Ketika Thai-san Ngo-sin-kiam hendak melanjutkan serangan untuk menangkap lima orang penyerbu itu, tiba-tiba ada angin bertiup dibarengi suara gerengan seperti binatang buas. Entah darimana datangnya, tahu-tahu di depan lima orang tosu Thai-san-pai sudah berdiri seorang raksasa berusia sekitar limapuluh tahun dan keadaannya sungguh amat menyeramkan.

   Laki-laki tinggi besar ini mempunyai muka yang seperti singa bentuknya, penuh berewok dan yang mengerikan, rambut, kumis dan jenggotnya berwarna merah! Lalu sambil membentak dengan suara melengking, raksasa itu mendorongkan kedua tangannya yang besar beberapa kali dan lima orang tosu Thai-san-pai itu seolah terdorong angin yang amat kuat sehingga mereka berlima terhuyung-huyung ke belakang!

   Ketika Ngo-sin-kiam dapat menguasai diri, baru saja mereka hendak maju menghadapi lawan yang tinggi besar itu, Si Raksasa rambut merah kembali mendorongkan kedua tangannya sambil mengeluarkan bentakan melengking-lengking. Dan, angin pukulan yang amat kuat kembali melanda lima orang tosu itu, membuat mereka yang sudah mempersiapkan diri itu tetap saja terdorong ke belakang, sehingga ada yang menjatuhkan diri dan bergulingan agar terhindar dari bantingan.

   "Hayo, serahkan harta karun itu kepadaku, kalau tidak, seluruh Thai-san-pai akan kubasmi habis!" Kakek rambut merah itu berteriak dan kini dia berdiri tegak sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang lebar. Kedua telapak tangan yang saling digosokkan itu kini berubah merah seperti api membara dan asap putih membubung ke atas. Melihat ini, Ngo-sin-kiam terkejut dan Song Bu Tosu berkata heran.

   "Kiranya Huo Lo-sian (Dewa Api) yang sedang berkunjung! Di antara pihakmu dan pihak kami tidak pernah ada permusuhan, mengapa hari ini anak buahmu datang membuat kacau dan melukai beberapa orang murid kami?" Ngo-sin-kiam sudah lama mendengar akan nama besar Huo Lo-sian, akan tetapi baru sekarang mereka melihat orangnya yang sungguh menyeramkan.

   "Ho-ho-hoh! Thai-san-pai mendapatkan rejeki besar, sudah sepatutnya membagi-bagi rejeki itu dengan teman-teman sepegunungan. Serahkan harta karun itu, setidaknya setengah bagian, dan kami akan tetap tinggal menjadi tetangga yang baik. Kalau kalian murka dan hendak memilikinya sendiri, aku akan membasmi Thai-san-pai dan merampas harta karun itu!"

   Tiba-tiba Kui Lin yang sejak tadi sudah menahan-nahan rasa penasaran dan kemarahannya, melompat ke depan kakek rambut merah itu. Matanya yang jeli melotot, alisnya berkerut, mulutnya cemberut dan tangan kanan bertolak pinggang, telunjuk tangan kiri menuding ke arah muka singa itu.

   "Hei, siluman jelek dan sombong! Jangan ngoceh asal membuka mulutmu yang lebar itu saja! Siapa yang mendapatkan harta karun? Andaikata ada yang mendapatkan sekalipun, siapa sudi membagi dengan siluman sombong macam engkau? Boleh jadi engkau dapat menakut-nakuti anak-anak kecil, akan tetapi aku The Kui Lin, puteri Lembah Seribu Bunga, sama sekali tidak gentar kepadamu!"

   Terlambat bagi Kui Lan maupun Cun Giok untuk mencegah gadis pemberani yang galak itu mengeluarkan ucapan menantang. Mereka berdua hanya maju mendekati Kui Lin untuk melindunginya karena mereka tahu betapa lihai dan berbahayanya raksasa itu.

   Huo Lo-sian (Dewa Api) terbelalak memandang kepada Kui Lin. Datuk ini lebih merasa heran daripada marah. Bagaimana mungkin seorang gadis remaja semuda ini berani menantangnya! Dengan sikap dan kata-kata sombong pula! Saking herannya datuk ini sampai berdirl tercengang, kemudian kemarahannya mulai berkobar, membuat dia sukar mengeluarkan suara. Wajahnya yang seperti singa itu tampak semakin menyeramkan, rambut, kumis dan jenggotnya yang merah itu seperti bangkit berdiri!

   Sebagai seorang datuk besar, walaupun kini jarang terjun ke dunia persilatan, dia sudah mendengar akan nama besar Lembah Seribu Bunga. Akan tetapi sesuai dengan wataknya yang tekebur dan selalu mengagulkan diri sendiri memandang rendah orang lain, tentu saja dia tidak gentar. Apalagi yang muncul dari Lembah Seribu Bunga hanya seorang gadis remaja yang masih ingusan!

   "Kamu...... kamu bocah setan! Apa kamu sudah bosan hidup!?" bentaknya dengan mata melotot dan seperti mengeluarkan sinar berapi.

   Kui Lin tersenyum mengejek.

   "Kamulah yang bosan hidup! Memang kamu layak mampus karena selain sudah tua, juga dosamu sudah bertumpuk-tumpuk! Setan-setan sudah menunggumu di neraka!"

   "Lin-moi......!" Kui Lan menegur adiknya. Ia menganggap adiknya itu seolah menyulut permusuhan dengan Dewa Api yang tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Buktinya, Thai-san Ngo-sin-kiam yang berilmu tinggi itu pun tadi kewalahan menghadapi dorongan tangan yang mengandung tenaga sakti amat kuatnya dari datuk itu.

   "Biarkan aku, Lan-ci (Kakak Lan)! Aku akan menghajar siluman tua ini agar dia tidak berani sombong lagi!" kata Kui Lin yang terlampau berani namun kurang perhitungan itu.

   Huo Lo-sian sudah habis kesabarannya.

   "Bocah gila, mampuslah kamu!" bentaknya dan dia sudah mendorongkan kedua tangannya yang merah membara itu ke arah dada Kui Lin!

   Dasar gadis muda yang hanya mengandalkan keberanian, seolah seekor burung muda yang baru keluar dari sarangnya, Kui Lin tidak menjadi gentar menghadapi serangan dahsyat itu. Ia malah mengerahkan seluruh tenaga saktinya dan memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, lalu mendorongkan kedua tangan pula menyambut serangan lawan!

   Biarpun Kui Lan juga seperti adiknya, tidak mempunyai banyak pengalaman bertanding, namun ia lebih cerdik dan hati-hati. Ia dapat menduga bahwa tidak mungkin adik kembarnya mampu menahan serangan tenaga sakti lawan yang amat kuat itu dan bukan tidak mungkin nyawa adiknya terancam maut, maka cepat ia lalu menjulurkan kedua telapak tangannya, menempel punggung adiknya dari belakang dan menyalurkan sin-kangnya membantu adiknya sehingga kini yang menyambut serangan Huo Lo-sian adalah tenaga sinkang gabungan dua saudara kembar itu.

   "Wuuuuuttt......plakkk!" Kedua telapak tangan Huo Lo-sian yang seperti membara itu bertemu dengan kedua telapak tangan Kui Lin.

   Kalau saja gadis ini tidak dibantu encinya dan tenaga sepasang gadis kembar itu tidak bergabung, memang amat berbahaya bagi keselamatan Kui Lin. Namun gabungan dua tenaga itu cukup kuat untuk menahan gempuran lawan. Akan tetapi, bagaimanapun juga, setelah mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan tenaga raksasa rambut merah itu, tetap saja tubuh kedua orang gadis kembar itu tergetar. Dari dua pasang telapak tangan yang saling menempel itu kini keluar asap, dan dua orang gadis kembar itu mandi keringat!

   "Wah, panas...... panas......!" Kui Lin menjerit-jerit ketika merasa betapa kedua telapak tangannya seperti menempel pada besi membara yang amat panas!

   Cun Giok maklum bahwa saatnya tiba baginya untuk turun tangan membantu dan menyelamatkan dua orang gadis itu. Dia menjulurkan kedua tangannya dan kedua telapak tangannya menempel pada punggung Kui Lan. Dia mengerahkan sinkangnya dan berseru,

   "Lin-moi, dorong!"

   Kui Lin yang merasa kepanasan segera mendorong. Kekuatannya bergabung dengan kekuatan Kui Lan dan Cun Giok, maka dorongannya mengandung sin-kang yang amat kuat.

   "Wesss......!!" Tubuh Huo Lo-sian terpental dan dia terhuyung ke belakang sampai tujuh langkah! Sepasang matanya terbelalak kaget dan heran karena tadi dia merasa betapa dari telapak tangan halus dan kecil dari gadis remaja itu keluar tenaga yang amat dahsyat, yang bukan saja membuat kedua lengannya tergetar dan nyeri, bahkan membuat dia terpental ke belakang seperti dilontarkan! Dia merasa gentar juga. Baru tiga orang muda itu saja sudah demikian kuatnya. Apalagi Ketua Thai-san-pai! Maka, dia laiu menoleh kepada lima orang pembantunya.

   "Kita pergi!" Dan dia pun melompat jauh, diikuti lima orang berpakaian hijau itu dan sebentar saja mereka lenyap dari perkampungan Thai-san-pai.

   "Heii, siluman rambut merah! Mau lari ke mana kamu!" teriak Kui Lin yang hendak melakukan pengejaran, merasa seolah ia yang mengalahkan datuk tadi!

   Akan tetapi Kui Lan segera memegang lengannya.

   "Jangan dikejar!" katanya.

   "Wah, Enci Lan, siluman seperti dia itu yang amat sombong sebaiknya dibasmi saja. Kalau engkau tidak menahanku, tentu ia dapat kukejar dan kupenggal lehernya, betul tidak, Giok-ko?" kata Kui Lin sambil memandang pemuda itu.

   Cun Giok tersenyum.

   "Lin-moi, aku kagum akan keberanianmu."

   "Bukan berani, melainkan nekat dan ngawur!" Kui Lan mengomel karena ia tahu benar bahwa kalau tadi tidak dibantu Cun Giok, tenaga mereka berdua tidak cukup untuk mengalahkan Huo Lo-sian dan bukan tidak mungkin nyawa mereka terancam maut.

   Mereka bertiga lalu kembali ke dalam gedung induk bersama Ngo-sin-kiam, menghadap Ketua Thai-san-pai, dan lima orang tosu itu melaporkan kepada suheng mereka tentang munculnya Huo Lo-sian.

   "Siancai......! Urusan harta karun mulai menimbulkan kekacauan. Pinto kira ekornya akan menimbulkan persaingan dan perebutan."

   "Siapa tahu, kakek siluman itu malah yang menjadi pencurinya!" tiba-tiba Kui Lin berseru.

   "Kiranya hal itu tidak mungkin, Lin-moi," kata Kui Lan lembut.

   "Kalau dia yang mencuri harta karun, untuk apa dia dan para pembantunya menyerbu ke sini dan mencari di perpustakaan Thai-san-pai?"

   "Mungkin sekali, Enci Lan! Dia melakukan penyerbuan ke sini untuk mengalihkan perhatian agar yang disangka mencuri harta karun adalah Thai-san-pai! Huh, dikira aku tidak tahu akan akal bulusnya itu!" Kui Lin lalu memandang Cun Giok.

   "Betul tidak, Giok-ko?"

   "Memang segala kemungkinan bisa terjadi. Bisa seperti yang disangka Lin-moi bahwa dia pencuri harta karun dan ingin mengalihkan perhatian kepada Thai-san-pai. Akan tetapi mungkin juga benar seperti yang dikatakan Lan-moi, dia hanya menduga bahwa Thai-san-pai yang mengambil harta karun maka dia ingin mencari dan merampasnya." Cun Giok lalu memandang Ketua Thai-san-pai.

   "Lo-cianpwe, kami yang muda-muda hanya bingung dengan dugaan kami masing-masing. Bagaimana kalau menurut pendapat Lo-cianpwe. Harap suka memberi petunjuk kepada kami."

   "Siancai......!" Kakek itu mengelus jenggotnya.

   "Memang semua kemungkinan itu bisa saja terjadi. Akan tetapi, Huo Lo-sian adalah seorang datuk sesat yang kasar dan mengandalkan kekuatan dan kelihaian ilmu silatnya. Orang berwatak kasar seperti dia, kiranya tidak akan dapat menggunakan cara-cara yang mengandung muslihat rumit. Maka, pinto kira bukan dia pencuri harta karun itu."

   "Kalau begitu, Lo-cianpwe, kita sudah mendapatkan dua kenyataan, yaitu dua di antara penghuni Thai-san, yang pertama Thai-san-pai dan kedua Huo Lo-sian, bukan pencuri harta karun. Dengan demikian, kita dapat menjuruskan penyelidikan kita kepada pihak lain yang berada di Thai-san ini," kata Cun Giok.

   "Wah, aku tahu sekarang! Sudah pasti yang mencurinya adalah sepasang iblis yang berjuluk Hek Pek Mo-ko itu! Bukankah sisa para tokoh di sini hanya tinggal dua, yaitu Hek Pek Mo-ko dan Ang-tung Kai-pang? Menurut keterangan Lo-cianpwe tadi, perkumpulan Pengemis Tongkat Merah itu tidak biasa bahkan membenci pencurian dan mereka juga menentang penjajah Mongol sehingga tidak sangat mencurigakan. Tinggal Hek Pek Mo-ko yang patut kita curigai," kata Kui Lin.

   "Hemm, pendapat Lin-moi itu benar sekali. Aku setuju dengan pendapatnya," kata Kui Lan.

   Hati Kui Lin gembira sekali. Biasanya, encinya itu selalu menegur dan menyalahkannya, akan tetapi sekali ini mendukung pendapatnya! Ia berseru girang dengan wajah berseri.

   "Nah, betul bukan pendapatku? Giok-ko, mengapa kita tunggu lebih lama? Mari kita pergi menyelidiki Iblis Hitam Putih itu!"

   "Tidak perlu tergesa-gesa, Nona," kata Ketua Thai-san-pai.

   "Sebentar lagi malam tiba dan perjalanan ke Bukit Batu, tempat tinggal Hek Pek Mo-ko dan anak buah mereka yang berada di bagian Utara pegunungan ini, tidaklah mudah dan cukup jauh. Kalian perlu mempelajari perjalanan yang akan kalian tempuh, dan sebaiknya dilakukan besok pagi."

   "Lo-cianpwe berkata benar. Kita tidak perlu tergesa-gesa, Lin-moi," kata Kui Lan.

   Malam itu, Cun Giok, Kui Lan, dan Kui Lin bermalam di markas Thai-san-pai dan mendengarkan keterangan tentang perjalanan ke sana dari para murid Thai-san-pai yang sudah pernah mengenal daerah Utara di mana terdapat Bukit Batu.

   Yauw Tek, Ceng Ceng, dan Li Hong yang melakukan perjalanan jauh dari Pulau Ular yang berada di Lautan Po-hai menuju Pegunungan Thai-san, setelah makan waktu berbulan-bulan menunggang kuda, akhirnya mereka tiba di kaki pegunungan Thai-san. Mereka kini menjadi akrab sekali karena dalam perjalanan panjang yang makan waktu berbulan itu, Yauw Tek memperlihatkan sikap sopan dan budi yang baik sekali. Bahkan Ceng Ceng juga merasa tertarik dan kagum karena ketika beberapa kali mereka dihadang perampok dan diganggu, Yauw Tek selalu mencegah Li Hong kalau gadis itu hendak membunuh para penjahat. Kemudian pemuda itu mengalahkan semua perampok dengan mudah tanpa melukai mereka.

   "Ingat, Hong-moi. Mereka itu menjadi jahat oleh keadaan. Para penjajah itulah yang membuat kehidupan rakyat jelata menjadi susah dan serba kekurangan dan hal ini mendorong mereka untuk merampok! Bagaimanapun juga, mereka itu adalah bangsa kita sendiri, maka bersikaplah murah, jangan sembarangan membunuh mereka. Musuh utama kita adalah penjajah Mongol. Kalau kita sudah berhasil mengenyahkan penjajah, kuyakin kehidupan rakyat kita akan dapat membaik dan kejahatan pun pasti berkurang."

   Ceng Ceng mengagguk-anggukkan kepalanya.

   "Apa yang dikatakan Yauw-twako memang benar, Adik Hong. Banyak sekali kejahatan terjadi karena desakan keadaan, karena kekurangan dan penindasan. Yauw-twako berjiwa patriot dan cinta bangsa, hal itu patut dijadikan contoh."

   "Yauw-twako, bagaimana kalau kita bertemu pasukan Kerajaan Mongol? Apa yang akan kaulakukan?" tanya Li Hong.

   "Tentu bodoh sekali kalau kita menyerang pasukan yang besar jumlahnya, sama dengan bunuh diri. Akan tetapi kalau ada pasukan kecil mengganggu kita, sudah sepatutnya kita basmi mereka."

   Dan Yauw Tek bukan hanya bicara saja untuk menyatakan permusuhannya dengan Pemerintah Mongol. Dalam perjalanan mereka, setiap kali mereka berada di kota atau desa di mana terdengar ada pembesar Mongol yang sewenang-wenang, pemuda itu pasti turun tangan memberi hajaran keras!

   Tiga orang muda itu tiba di kaki Pegunungan Thai-san bagian Selatan. Hari telah menjelang senja ketika mereka memasuki sebuah dusun di kaki gunung itu. Dusun Kok-lo merupakan dusun yang cukup ramai dan memiliki banyak penduduk. Kehidupan di dusun itu cukup makmur karena daerah ini merupakan daerah yang subur tanahnya sehingga para penduduk yang bekerja sebagai petani mendapatkan penghasilan yang lumayan. Bahkan banyak pedagang hasil bumi dan rempa-rempa dari kota berdatangan ke dusun itu untuk membeli dagangan.

   Hal ini membuat dusun itu semakin maju dan selain terdapat pedagang-pedagang barang dari kota raja untuk keperluan keluarga petani, di situ terdapat pula dua buah rumah penginapan yang lumayan besarnya, berikut rumah makannya. Dua buah rumah penginapan berikut rumah makan ini untuk melayani para tamu pedagang yang terpaksa harus bermalam selama beberapa hari di situ.

   Tiga orang itu merasa lega, terutama sekali Li Hong yang selama lima hari ini mengomel terus karena mereka terpaksa bermalam di tempat terbuka karena tidak ada dusun yang menyediakan rumah penginapan dan rumah makan. Dusun-dusun yang mereka lewati selama belasan hari terdiri dari dusun-dusun kecil dan sepi. Kini, memasuki dusun yang cukup besar dan ramai, dan terdapat rumah penginapan berikut rumah makannya, tentu saja Li Hong merasa gembira sekali. Ia mendahului dua temannya dan memimpin di depan menuju ke sebuah rumah penginapan AN HOK.

   Semenjak memasuki dusun itu, mereka bertiga menarik perhatian banyak orang. Memang banyak di situ kedatangan orang-orang kota, namun belum pernah mereka melihat dua orang gadis sejelita itu dan melihat tiga ekor kuda yang besar dan bagus. Tiga orang muda itu memang sudah beberapa kali terpaksa berganti kuda karena kuda mereka sudah kelelahan melakukan perjalanan sejauh itu. Dan setiap kali berganti kuda, Li Hong pasti memilih kuda-kuda terbaik untuk mereka bertiga. Gadis ini membawa bekal yang cukup banyak pemberian orang tuanya di Pulau Ular.

   Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Setibanya di depan rumah penginapan, Li Hong melompat turun dari atas kudanya, diikuti Yauw Tek dan Ceng Ceng yang tersenyum melihat kegembiraan Li Hong. Di dalam hatinya, Yauw Tek dan Ceng Ceng merasa kasihan juga di samping geli melihat sikap Li Hong. Mereka tahu bahwa Li Hong banyak menderita dalam perjalanan itu. Gadis yang sudah biasa hidup enak di Pulau Ular itu, kini benar-benar menderita melakukan perjalanan jauh yang melelahkan. Pantaslah kalau kini ia demikian gembira mendapatkan sebuah dusun yang memiliki rumah penginapan dan rumah makan!

   Tiga orang pelayan rumah penginapan segera menyambut dan mengurus tiga ekor kuda itu yang mereka bawa ke kandang kuda di pekarangan belakang rumah penginapan. Rumah penginapan itu memang mempunyai banyak pelayan untuk melayani para pedagang yang bermalam di situ. Seorang pelayan setengah tua menyambut mereka dengan sikap hormat dan ramah.

   "Selamat datang di rumah penginapan AN HOK kami, Kongcu (Tuan Muda) dan ji-wi Siocia (Nona Berdua). Apakah Sam-wi (Anda Bertiga) ingin menyewa kamar?"

   "Ya, cepat siapkan sebuah kamar biasa dan sebuah yang agak besar untuk aku dan Enciku, akan tetapi pilih kamar yang paling bersih, ganti semua tilamnya dengan yang baru dan bersih!" kata Li Hong dengan sikap keren dan memerintah.

   "Baik, Nona, akan kami siapkan sekarang," kata pelayan itu dengan sikap hormat.

   Li Hong lalu mengambil sekeping uang dari balik ikat pinggangnya dan memberikan kepada pelayan itu. Pelayan itu menerima dengan mata terbelalak karena hadiah ini amat banyak dan tidak seperti biasanya para tamu memberi hadiah setelah akan meninggalkan penginapan.

   "Jangan lupa, sediakan air yang banyak untuk kami mandi, setelah itu siapkan makan malam dengan lauk-pauk komplit dari rumah makan," perintah Li Hong.

   "Baik-baik, Siocia, akan kami siapkan semua," kata pelayan itu yang lalu membawa mereka kedua buah kamar yang kosong. Dia memerintahkan pelayan lain untuk segera mengganti tilam-tilam di kedua kamar itu, bahkan menyuruh bersihkan lantai dan semua perabot dalam dua kamar itu.

   Tiga orang muda itu lalu mandi dan bertukar pakaian, lalu mereka makan hidangan yang sudah disediakan. Memenuhi pesanan Li Hong, hidangan itu cukup mewah sehingga Ceng Ceng setelah mereka selesai makan, berkata sambil tersenyum.

   "Wah, engkau royal sekali, Hong-moi, dan engkau minum banyak sekali arak. Akan tetapi kulihat engkau sama sekali tidak mabok!"

   "Ih, Enci Ceng, kalau puteri Pulau Ular mabok oleh minuman arak, sungguh memalukan! Bukankah engkau juga sama sekali tidak tampak mabok setelah minum cukup banyak pula? Lihatlah Yauw-twako itu! Mukanya menjadi merah seperti kepiting direbus, hi-hi-hik!"

   Yauw Tek yang memang merah mukanya karena melayani dua orang gadis yang amat kuat minum arak itu, tertawa pula.

   "Ha-ha, tentu saja aku tidak dapat menandingi kalian, Ceng-moi dan Hong-moi! Dahulu, ketika kecil dan menjadi pemuda remaja, aku hidup di antara pertapa dan pendeta, sama sekali tidak diperbolehkan minum arak. Kalian berdua tentu saja kuat minum. Ceng-moi seorang ahli pengobatan, tentu sebelumnya sudah menelan obat penjaga mabok, demikian pula engkau, Hong-moi. Pulau Ular terkenal dengan racun-racunnya yang berbahaya, tentu saja engkau dapat mengatasi pengaruh racun arak yang bagimu kecil tidak ada artinya itu!" kata Yauw Tek dan dari suaranya yang ringan, dua orang gadis itu dapat mengetahui bahwa pemuda itu memang agak teler (mabuk). Mereka berdua tertawa walaupun tawa Ceng Ceng tidak selebar dan selantang Li Hong.

   "Maaf, Yauw-twako, kami hanya berkelakar, bukan mentertawakanmu!" kata Li Hong.

   "Yang membuat aku heran, bagaimana engkau kulihat tidak pernah merasa janggal menanggapi segala kemewahan, seolah engkau sudah biasa dengan kamar yang nyaman dan makanan yang mewah."

   Ceng Ceng juga memandang pemuda itu karena baru sekarang ia teringat bahwa pemuda itu agaknya tak pernah tertarik atau heran menyaksikan kemewahan, bahkan pakaian pemuda ini juga terbuat dari sutera halus, seolah Yauw Tek seorang pemuda kaya raya yang biasa hidup mewah.

   Yauw Tek tersenyum.

   "Ah, itukah yang membuat kalian heran? Ceng-moi dan Hong-moi, ketahuilah bahwa selama tinggal di rumah para Pendeta Lhama di Tibet sebagai murid mereka, aku sudah terbiasa hidup mewah. Kalian tahu, banyak di antara pendeta Lhama itu memiliki gedung yang mewah, kehidupan mereka juga serba mewah dan kaya raya."

   Dua orang gadis itu kini baru mengerti. Tidak heran Yauw Tek bersikap biasa saja menghadapi hidangan mewah, kiranya pernah hidup di rumah para pendeta Lhama yang kaya raya. Mereka merasa heran juga mengapa para pendeta di Tibet dapat hidup mewah dan kaya, tidak seperti para hwesio (Pendeta Buddha) yang berada di kuil-kuil di Cina.

   Pada keesokan harinya mereka mendapat keterangan bahwa di atas bukit di depan, yaitu Bukit Cemara, terdapat pusat Perkumpulan Ang-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah).

   Mereka bertiga berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Karena Ang-tung Kai-pang merupakan satu di antara golongan yang kuat dan mungkin menjadi pencuri harta karun, maka mereka sudah mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan kepada perkumpulan pengemis yang terkenal memiliki cabang di mana-mana. Pagi-pagi sekali tiga orang muda itu sudah keluar dari rumah penginapan dan berada di jalan umum depan rumah penginapan merangkap rumah makan itu. Tadi, mereka sudah sarapan bubur yang disiapkan oleh pelayan.

   Sepagi itu, jalan umum di depan rumah penginapan itu sudah ramai dengan orang-orang yang lalu-lalang. Mereka adalah orang-orang yang memikul barang dagangan berupa hasil bumi daerah itu.

   Selagi mereka berdiri di tepi jalan, memandang ke arah Bukit Cemara yang menurut keterangan menjadi markas Ang-tung Kai-pang, tiba-tiba mereka melihat serombongan orang berpakaian tambal-tambalan, pakaian pengemis, berbondong pergi ke arah timur. Mereka terdiri dari lima orang berpakaian tambal-tambalan dan masing-masing memegang sebatang tongkat yang berwarna merah. Mudah saja bagi Yauw Tek untuk menduga bahwa mereka berlima itu tentulah para anggauta Ang-tung Kai-pang. Karena mereka memang berniat mengunjungi dan menyelidiki keadaan perkumpulan pengemis itu, maka lima orang itu menarik perhatian mereka. Dengan saling pandang saja, ketiganya bersepakat untuk membayangi lima orang pengemis itu.

   Usia lima orang itu antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun. Biarpun di antara mereka, yang tiga orang bertubuh kurus seperti kebanyakan pengemis, sedangkan yang dua orang sedang-sedang saja, namun mereka itu sungguh jauh berbeda dari pengemis biasa. Pakaian mereka memang tambal-tambalan, namun bersih dan mudah diduga bahwa mereka tentu sering bertukar pakaian. Sepatu mereka yang berwarna hitam juga tidak butut seperti pengemis biasa.

   Gerak-gerik mereka ketika mereka berjalan tergesa-gesa itu pun membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak lemah. Terutama sekali tongkat mereka yang berwarna merah itu mencolok dan membuat mereka tampak lebih mirip regu yang berpakaian seragam daripada serombongan pengemis. Juga keberadaan mereka di dusun yang ramai itu agaknya sama sekali tidak menarik perhatian orang-orang yang berlalu-lalang di jalan umum, hal ini menandakan bahwa kehadiran para pengemis di dusun itu merupakan hal yang biasa.

   Selain itu, sikap para penduduk yang tenang saja melihat mereka membuktikan bahwa golongan pengemis itu tidak ditakuti. Ini saja sudah membuat Yauw Tek dan dua orang gadis itu mengambil kesimpulan bahwa para pengemis tongkat merah itu bukan golongan yang suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuatan mereka seperti dilakukan banyak anggauta perkumpulan yang merasa dirinya kuat.

   Lima orang pengemis itu melangkah lebar dan berjalan tanpa bicara. Setelah tiba di pintu gerbang dusun sebelah timur, mereka tidak berhenti dan berjalan terus. Terang bahwa mereka tidak hendak pergi ke Bukit Cemara yang menjadi tempat asrama mereka, karena Bukit Cemara berada di sebelah Barat sedangkan mereka kini melangkah terus menuju ke arah Timur. Tiga orang muda itu tetap mengikuti rombongan pengemis itu dari belakang, agak jauh karena mereka tidak ingin diketahui bahwa mereka sedang membayangi rombongan pengemis itu.

   Setelah keluar dari pintu gerbang dan berada di jalan yang sepi, lima orang pengemis itu mulai berlari! Yauw Tek, Ceng Ceng dan Li Hong juga berjalan cepat, terus membayangi.

   Tak lama kemudian mereka tiba di tepi sebuah hutan kecil dan dari jauh sudah tampak ada dua orang sedang berkelahi! Yang seorang adalah seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun, tinggi kurus, pakaiannya serba putih dan dia menggunakan senjata sebatang pedang. Adapun lawannya adalah seorang pengemis berusia sekitar limapuluh tahun dan dia bersenjatakan sebatang tongkat merah. Jelaslah bahwa yang sedang berkelahi itu seorang anggauta Ang-tung Kai-pang melawan seorang yang berpakaian putih-putih dan yang memiliki ilmu pedang cukup tangguh. Perkelahian itu memang seimbang dan ramai, akan tetapi agaknya pengemis bertongkat merah itu mulai terdesak oleh permainan pedang lawannya.

   "Apakah lima orang pengemis itu hendak mengeroyok Si Baju Putih itu?" kata Ceng Ceng lirih.

   "Wah, biarpun aku tidak mengenal Si Baju Putih itu, kalau dia dikeroyok, aku pasti akan membelanya!" kata Li Hong.

   "Ceng-moi dan Hong-moi, kuharap kalian tidak tergesa-gesa bertindak sebelum kita mengetahui permasalahannya maka mereka itu berkelahi. Jangan sampai kita salah tangan," kata Yauw Tek.

   Mereka mendekati lalu mengintai dari balik pohon-pohon. Lima orang pengemis tongkat merah itu kini telah tiba dekat mereka yang bertanding, akan tetapi mereka berlima hanya berdiri menonton pertandingan itu dan agaknya tidak akan turun tangan membantu rekan mereka.

   Laki-laki berpakaian putih itu tampak terkejut ketika dia melihat munculnya lima orang pengemis tongkat merah. Dia agaknya tahu benar bahwa kalau lima orang itu mengeroyoknya, dia pasti akan terancam bahaya maut. Baru melawan seorang ini saja, dia hanya mampu mendesak setelah bertanding lebih dari limapuluh jurus dan ini pun baru mendesak, belum mampu melukai apalagi merobohkannya. Sebaliknya, pengemis yang sedang bertanding itu ketika melihat lima orang rekannya, bangkit semangatnya dan dia kini membalas desakan lawan dengan serangan-serangan maut. Tongkatnya yang berwarna merah itu membentuk gulungan sinar merah yang cepat dan kuat.

   Pria berpakaian putih itu melompat jauh ke belakang.

   "Huh, orang Ang-tung Kai-pang curang. Kalian hendak mengeroyok aku?" bentaknya sambil melintangkan pedang di depan dada.

   Pengemis yang tadi menjadi lawannya menudingkan tongkat merahnya dan menjawab.

   "Ang-tung Kai-pang bukan perkumpulan orang-orang yang curang dan suka main keroyokan!"

   Seorang di antara lima pengemis yang baru datang, berseru lantang.

   "Manusia sombong! Kalau kami melakukan pengeroyokan, apa kaukira sekarang engkau masih hidup?"

   Bagaimanapun Si Baju Putih itu agaknya sudah gentar menghadapi enam orang pengemis tongkat merah, maka dia lalu berkata dengan sikap menantang.

   "Baik, sekarang aku mengajukan tantangan atas nama kedua orang pimpinan kami. Esok lusa, setelah matahari terbit, pimpinan kami akan datang ke tempat ini dan menantang pimpinan kalian. Hendak kita lihat siapa yang lebih unggul dan yang patut mendapatkan harta karun, majikan Bukit Batu ataukan pimpinan Ang-tung Kai-pang di Bukit Cemara! Kalau esok lusa pimpinan kalian tidak muncul, berarti Ang-tung Kai-pang pengecut!" Setelah berkata demikian, orang berpakaian putih itu melompat ke dalam hutan dan melarikan diri.

   Pengemis yang marah tadi mengepal tinjunya dengan marah.

   "Jahanam itu seharusnya tidak kita biarkan pergi!"

   Pengemis yang tadi berkelahi dan lebih tua di antara mereka, berkata.

   "Ah, tidak ada gunanya, Sute (Adik Seperguruan). Bukankah Pangcu (Ketua) berpesan agar kita tidak mengambil sikap bermusuhan dengan siapa saja yang tinggal di pegunungan ini? Sudahlah, tidak perlu penasaran, akan tetapi bagaimana kalian berlima dapat datang ke sini dan mengetahui bahwa aku sedang bertanding?"

   "Seorang rekan memberi tahu kami ketika kami sedang berada di dusun Kok-lo, bahwa engkau sedang bertengkar di sini dengan seorang anak buah Bukit Batu. Maka kami cepat menyusul ke sini, dan melihat Suheng (Kakak Seperguruan) tadi bertanding dengan Si Baju Putih brengsek itu. Suheng, kita tidak pernah bermusuhan dengan orang-orang Bukit Batu, bagaimana Suheng sampai bertengkar lalu berkelahi dengan orang itu?"

   Pengemis yang berjenggot seperti kambing itu menghela napas dan mengelus jenggotnya.

   "Aku pun tahu akan larangan Pangcu agar kita tidak mencari permusuhan. Akan tetapi orang itu ketika bertemu dengan aku di sini, langsung menghinaku dan mengatakan bahwa orang-orang Ang-tung Kai-pang adalah pencuri-pencuri, mencuri harta karun dan tidak tahu malu. Tentu saja aku marah sekali dan kami lalu bertengkar dan berkelahi."

   "Jahanam sombongan itu! Mereka yang tak tahu malu, mereka yang tidak pantang melakukan kejahatan, malah menuduh kita! Biarpun pekerjaan kita mengemis, mencuri merupakan pantangan besar bagi kita. Semua orang juga mengetahuinya!" kata yang lain. Mereka berenam tampaknya marah dan penasaran sekali.

   "Mari, kita laporkan kepada Pangcu. Dikiranya kita takut menghadapi tantangan mereka!"

   Pada saat itu, Yauw Tek yang merasa sudah cukup mengintai, mengajak Ceng Ceng dan Li Hong keluar dari tempat pengintaian mereka tadi. Begitu melihat tiga orang muncul dari balik pohon-pohon, enam orang anggauta Ang-tung Kai-pang ini melompat dengan gerakan ringan dan mereka sudah berdiri di depan tiga orang muda itu dengan tongkat merah siap di tangan untuk menyerang.

   "Hemm, apakah kalian juga ingin mencari gara-gara dengan kami?" tanya pengemis tertua dengan pandang mata penuh kecurigaan.

   Yauw Tek cepat maju dan mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan lalu berkata lembut.

   "Maafkan, kami sama sekali tidak mempunyai niat buruk. Tadi secara kebetulan kami melihat seorang di antara kalian berkelahi melawan orang berpakaian putih itu, maka kami tidak keluar dan bersembunyi di balik pohon. Setelah orang itu pergi, baru kami berani menghampirl kalian."

   Enam orang pengemis itu mengerutkan alisnya.

   "Kalian bertiga ini siapakah dan apa maksud kalian menghampiri dan memperhatikan kami?"

   Li Hong tidak sabar melihat sikap Yauw Tek demikian hormat kepada enam orang pengemis itu.

   "Kami tertarik mendengar ada orang menuduh kalian mencuri harta pusaka! Benarkah kalian mencuri harta karun itu?"

   "Hong-moi......!" Ceng Ceng menegur adik angkatnya.

   "Nona, apakah engkau juga bermaksud menghina kami?" tanya pengemis tertua dengan suara kaku.

   Li Hong membelalakkan mata dan bertolak pinggang,

   "Siapa yang menghina siapa? Aku hanya bertanya, apa salahnya orang bertanya? Kalau engkau bertanya kepadaku apakah aku mencuri harta karun, aku akan menjawab tidak karena aku tidak mencurinya. Kalau aku mencuri, tentu akan kuakui karena aku bukan pengecut!"

   Dijawab seperti itu, pengemis itu gelagapan, tidak mampu bicara. Yauw Tek yang melihat bahwa sikap dan ucapan Li Hong mungkin menyulut kemarahan dan permusuhan, segera memberi hormat kepada enam orang pengemis itu dan berkata dengan lembut.
(Lanjut ke Jilid 07)

   Harta Karun Kerajaan Sung (Seri ke 02 - Pendekar Tanpa Bayangan)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07
"Harap Paman berenam suka memaafkan kami. Sesungguhnya, kami bertiga tertarik sekali mendengar orang baju putih tadi bicara tentang harta karun karena kami bertiga justeru hendak menyelidiki, siapa pencuri harta karun itu. Untuk penyelidikan kami inilah maka kami hendak pergi menghadap Ketua Ang-tung Kai-pang untuk mohon petunjuk."

   Ucapan Yauw Tek menyabarkan para pengemis itu. Pengemis tua lalu bertanya, suaranya kini juga halus.

   "Siapakah kalian bertiga dan mengapa pula kalian hendak menyelidiki tentang pencurian harta karun yang menggemparkan dunia kang-ouw itu?"

   "Lo-pek (Paman Tua), harta karun itu adalah peninggalan mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng yang harus diberikan kepada yang berhak, akan tetapi ternyata dicuri orang. Menjadi kewajiban kami bertiga untuk mencarinya. Ketahuilah bahwa Nona ini bernama Liu Ceng Ceng berjuluk Pek-eng Sianli, dan yang ini adalah Nona Tan Li Hong puteri majikan Pulau Ular. Adapun aku sendiri bernama Yauw Tek, seorang pengembara yang membantu kedua orang gadis ini."

   Enam orang pengemis itu terbelalak. Mereka sudah mendengar bahwa harta karun itu kabarnya milik seorang gadis pendekar berjuluk Pek-eng Sianli dan kini gadis berpakaian serba putih di depan mereka itu adalah gadis yang nama julukannya amat terkenal setelah terjadinya geger tentang harta karun itu! Juga mereka mengenal betul Pulau Ular dengan majikannya yang berjuluk Ban-tok Kui-bo dan yang dikenal sebagai seorang datuk wanita yang ditakuti. Pantas gadis itu demikian galak, kiranya puteri majikan Pulau Ular. Hanya nama pemuda itu yang tidak mereka kenal, akan tetapi sikap pemuda itu hormat dan lembut sehingga mendatangkan rasa suka dalam hati mereka.

   "Ah, kiranya kalian bertiga adalah pendekar-pendekar muda yang ternama. Maafkan sikap kami tadi dan kalau Sam-wi (Anda Bertiga) ingin menghadap ketua kami, mari silakan, kami antarkan."

   Mereka bertiga lalu mengikuti enam orang pengemis itu mendaki Bukit Cemara. Ternyata bukit yang ditumbuhi banyak pohon cemara itu merupakan daerah subur dan di situ terdapat banyak sawah ladang penuh dengan tanaman sayur dan buah-buahan. Dari keadaan ini saja tiga orang muda itu dapat mengetahui bahwa para pengemis itu ternyata juga bertani dan tampak belasan orang anggauta Ang-tung Kai-pang sedang sibuk bekerja di sawah ladang.

   Ketika mereka tiba di perkampungan Ang-tung Kai-pang di puncak bukit, mereka pun kagum melihat betapa perkampungan itu tidak seperti daerah kumuh yang biasa merupakan ciri tempat tinggal para pengemis. Perkampungan itu terdiri dari puluhan bangunan rumah yang kecil sederhana, namun teratur dan bersih, di halaman setiap rumah terdapat taman bunga sehingga kampung itu kelihatan indah dan bersih terpelihara. Rumah induk perkumpulan berada di tengah dan merupakan bangunan terbesar. Di situlah tinggal ketua perkumpulan itu dan Yauw Tek bertiga diajak masuk ke dalam rumah besar itu.

   Mereka bertiga diterima Ketua Ang-tung Kai-pang di ruangan depan yang luas. Pengemis tertua yang tadi berkelahi melawan orang berpakaian putih hadir pula dalam pertemuan itu. Yang lima lainnya tidak ikut hadir. Tiga orang muda itu memperhatikan Sang Ketua. Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan) adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus berusia sekitar enampuluh tahun. Wajahnya masih membayangkan ketampanan dan jenggotnya panjang terpelihara rapi. Pakaiannya sederhana, juga tambal-tambalan namun bersih. Sikapnya penuh wibawa seorang yang biasa memimpin banyak anak buah.

   Yauw Tek dan dua orang gadis itu memberi hormat dengan merangkap tangan depan dada, dibalas dengan hormat oleh ketua itu yang lalu mempersilakan mereka duduk berhadapan dengannya. Kemudian dia memberi kesempatan pertama kepada anak buahnya untuk membuat laporan.

   Pengemis itu lalu melaporkan tentang pertemuannya dengan Yauw Tek bertiga, setelah lebih dulu dia berkelahi melawan seorang anak buah dari Bukit Batu dan lawannya itu kemudian pergi sambil menantang agar Ketua Ang-tung Kai-pang berani bertanding melawan ketuanya pada esok lusa pagi hari di tempat di mana mereka berkelahi tadi.

   Kui-tung Sin-kai mengerutkan alisnya. Suaranya mengandung teguran ketika dia berkata kepada anak buahnya.

   "Hemm, bagaimana engkau berani mengabaikan pesanku agar jangan membuat permusuhan, sekarang bahkan menimbulkan pertentangan sehingga aku terbawa-bawa ditantang oleh Hek Pek Mo-ko?"

   Pengemis itu menjawab dengan sikap takut-takut.

   "Mohon maaf, Pangcu. Sesungguhnya saya tidak berani melanggar pesan Pangcu, akan tetapi orang itu muncul dan tanpa sebab memaki bahwa Ang-tung Kai-pang adalah pencuri-pencuri dan katanya perkumpulan kita mencuri harta karun. Dimaki pencuri, saya tentu saja membantah sehingga terjadi pertengkaran yang berekor menjadi perkelahian. Harap Pangcu sudi memaafkan saya."

   "Pangcu, kami yang menjadi saksi! Bukan Paman pengemis ini yang mulai dan menantang untuk mengadakan pertandingan antara pemimpin kedua golongan adalah orang berbaju putih itu!" kata Li Hong dengan lantang.

   Ketua Ang-tung Kai-pang mengangguk-angguk dan menghela napas sambil mengelus jenggotnya yang panjang, lalu berkata kepada anak buahnya.

   "Sudahlah, engkau boleh keluar, aku akan bicara dengan tiga orang tamu ini."

   Setelah pengemis itu keluar, Kui-tung Sin-kai memandang kepada tiga orang muda itu dan berkata,

   "Anggauta perkumpulan kami tadi hanya mengatakan bahwa kalian bertiga adalah pendekar-pendekar muda yang sedang menyelidiki tentang harta karun yang dihebohkan di dunia kang-ouw, dan kalian hendak minta petunjukku tentang pencurian harta karun itu. Coba perkenalkan dulu, kalian ini siapa?"

   Yauw Tek yang menjadi wakil pembicara segera menjawab.

   "Pangcu, ini adalah Nona Liu Ceng Ceng dan yang ini adalah Nona Tan Li Hong. Saya sendiri bernama Yauw Tek."

   "Mengapa kalian hendak menyelidiki dan mencari pencuri harta karun yang kabarnya memperkenalkan diri sebagai penghuni Thai-san?"

   Yauw Tek lalu menceritakan asal mula pencarian harta karun itu. Bagaimana dari peta yang ditinggalkan Liu Bok Eng kepada puterinya, Liu Ceng Ceng, tempat harta karun itu telah ditemukan oleh Panglima Kim Bayan, akan tetapi ternyata hanya tinggal petinya yang kosong dan di dalam peti itu terdapat tulisan THAI SAN.

   "Nona Liu Ceng Ceng ini merasa berkewajiban untuk menemukan kembali harta karun yang ditinggalkan mendiang ayahnya. Nona Tan Li Hong dan saya membantunya dan kami menghadap Pangcu untuk mohon petunjuk, siapa kiranya yang patut dicurigai sebagai pencuri harta karun itu."

   "Nanti dulu, Yauw-sicu. Katakan dulu, untuk apa kalian mencari pencuri harta karun itu!"

   

Naga Beracun Eps 27 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 13 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 14

Cari Blog Ini