Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 34


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 34




   Untunglah selain mahir dalam ilmu pengobatan Chu Seng Kun juga seorang jago silat yang berkepandaian sangat tinggi, sehingga kerja keras seperti itu tidak pernah mempengaruhi kesehatannya. Sementara itu selain membantu kakaknya bila sedang memberi pengobatan kepada orang yang datang membutuhkan pertolongan mereka, Chu Bwee Hong juga mengerjakan semua pekerjaan di dalam rumah mereka. Dua atau tiga hari sekali gadis itu pergi ke kota untuk membeli segala keperluan mereka sehari-hari. Oleh karena gadis itu juga bukan gadis sembarangan, apalagi sejak kecil telah belajar ilmu silat tinggi, Chu Seng Kun juga tidak mengkhawatirkan keselamatan adiknya tersebut bila pergi ke kota sendirian. Demikianlah, pada suatu hari Chu Bwee Hong juga berangkat ke kota untuk berbelanja seperti biasanya.

   Hanya kali ini keberangkatan gadis itu sungguh sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Kali ini gadis itu kelihatan amat lesu dan tak bergairah sama sekali. Wajahnya selalu tertunduk sedih dan sekali-kali tampak berhenti untuk menghela napas berat. Langkahnya gontai, kadang-kadang seperti tak melihat jalan yang sedang dilaluinya, sehingga gadis yang berkepandaian silat tinggi itu kadang-kadang hampir terjerembab ke depan karena kakinya terantuk batu. Di dalam kotapun gadis itu banyak membuat orang-orang yang telah mengenalnya menjadi terheran-heran ketika mereka berpapasan. Gadis itu berjalan bagaikan sebuah boneka yang tidak bernyawa dan seringkali tidak menjawab tegur sapa yang mereka berikan. Padahal biasanya gadis itu sangat ramah dan baik sekali kepada siapapun juga, apalagi kepada orang-orang yang telah dikenalnya.

   Sebenarnya keadaan Chu Bwee Hong yang aneh tersebut sudah lama dicium oleh kakaknya. Jadi keanehan tersebut telah berlangsung lama. Cuma karena Chu Seng Kun belum tega untuk menanyakannya, apalagi Chu Bwee Hong sendiri tampaknya juga selalu mengelak apabila diajak bicara, maka selama itu pula keanehan tersebut masih belum terungkapkan juga. Dan keanehan yang terjadi pada diri Chu Bwee Hong hari itu adalah puncak dari keanehan sikapnya selama ini. Kalau pada hari-hari sebelumnya gadis itu masih mampu mengendalikan perasaan dan sikapnya, kali ini agaknya sudah tidak bisa lagi. Mungkin beban batin yang selama ini masih dapat ia tahan dengan sekuat tenaga, kini sudah tidak dapat mempertahankan pula lagi. Itulah sebabnya gadis tersebut berjalan bagaikan sebuah boneka yang tidak bernyawa.

   Apakah sebenarnya latar belakang dari sikap Chu Bwee Hong yang sangat aneh itu? Sebenarnya orang tidak akan menganggap aneh lagi apabila sudah mengetahui latar belakang dari sikap gadis yang telah menjadi dewasa tersebut. Malahan orang akan menganggapnya wajar dan biasa bila hal seperti itu menimpa pada gadis secantik Chu Bwee Hong! Sebab hal-hal yang aneh seperti itu tentu akan dialami pula oleh remaja-remaja yang lain. Memang tak ada sesuatu kekuatan pun yang bisa merubah sikap atau watak seseorang selain...cinta kasih! Cinta kasih yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepada ummatNya, termasuk juga semua manusia yang hidup di dunia ini! Seorang pendiam mendadak bisa pandai bicara, atau sebaliknya seorang yang sangat cerewet tiba-tiba berubah menjadi pendiam bagaikan seorang bisu!

   Seorang kasar kadang-kadang berubah menjadi lembut dan suka berkhayal seperti seorang penyair, tapi sebaliknya seorang pujangga tersohor kadang-kadang malah lalu berubah menjadi dungu dan tolol...!

   Jilid 25
Memang, semuanya bisa terjadi apabila cinta kasih mulai menyentuh di relung hati manusia! Dan...demikian pula halnya dengan Chu Bwee Hong pada saat itu. Perasaan cinta terhadap pria yang selama ini selalu dipendam dan disimpan di dalam hatinya, kini tak kuasa ia kekang lagi. Sejalan dengan usianya yang semakin bertambah banyak, gadis ayu itu seperti semakin diburu oleh kebutuhan dirinya akan kasih sayang seorang pria yang amat dicintainya. Dan pria itu sebenarnya sudah ada! Malah pada pertemuan mereka yang terakhir, pria itu telah berjanji untuk lekas-lekas mengunjungi tempat tinggal Chu Bwee Hong dan membicarakan hubungan mereka. Tapi...

   Setahun telah berlalu. Dua tahun juga telah lewat, dan tiga tahunpun telah terlampaui pula. Tapi...pria itu tak kunjung datang juga. Bermacam-macam bayangan dan dugaan yang tidak-tidak berkecamuk di dalam pikiran Chu Bwee Hong, sehingga gadis itu mulai kelihatan sedih dan murung. Dan perubahan inilah yang sebenarnya telah dicium oleh Chu Seng Kun!

   Tapi oleh karena tidak lekas-lekas diurus dan dipecahkan masalahnya, maka hal tersebut lalu menjadi berlarut-larut. Dan beberapa bulan kemudian keadaan Chu Bwee Hong tampak semakin parah. Tampaknya saja gadis itu selalu bersikap biasa dan sehari-harinya juga bekerja seperti biasa, tapi sebenarnya jiwa dan perasaannya telah mulai berpatahan. Gadis yang cantik bagai bidadari itu mulai kehilangan semangat dan gairahnya. Wajah itu mulai sering merenung dan bersedih, apalagi jika melihat kerukunan dan kebahagiaan kakaknya dengan Kwa Siok Eng, calon iparnya yang sering berkunjung dan tinggal beberapa hari di tempat mereka. Maka tidaklah heran apabila gadis itu menjadi gembira bukan main dan hilang seluruh kewaspadaannya ketika seorang laki-laki berkerudung hitam datang menemuinya di kota itu" dan bercerita tentang pria idamannya!

   Rasa gembira dan bahagianya yang meluap-luap itu ternyata membuat Chu Bwee Hong lupa akan keselamatannya sendiri. Gadis itu tidak segera merasakan keanehan dari orang yang datang menjumpainya tersebut, padahal seharusnya dia mesti curiga dengan kedatangan orang yang mendadak dan berpakaian sangat aneh itu! Tapi berita tentang Souw Thian Hai, pria idamannya itu telah membuat Chu Bwee Hong seakan-akan mengesampingkan semua kecurigaannya. Apalagi berita yang dia terima dari orang itu adalah berita duka dari pria yang selalu memenuhi benaknya tersebut. Chu Bwee Hong semakin tidak perduli akan dirinya sendiri. Seluruh perhatiannya hanya tercurah kepada kekasihnya saja!

   "Selamat pagi, nona...!" tiba-tiba Chu Bwee Hong dikagetkan oleh suara seorang laki-laki ketika dia baru saja keluar dari sebuah toko langganannya. Chu Bwee Hong menengadahkan kepalanya yang selalu tertunduk itu dan dilihatnya seorang lelaki jangkung berpakaian serba hitam berdiri di depannya. Beberapa orang yang berjalan di dekat mereka tampak memandang dengan kening berkerut ke arah lelaki tersebut. Chu Bwee Hong sendiri juga tampak menatap dengan perasaan curiga kepada lelaki itu. Selain gadis itu merasa belum pernah bertemu dengan orang tersebut, dia juga tampak curiga melihat ke arah kepala orang yang tertutup oleh kain tipis berwarna hitam itu.

   "Selamat pagi...!" lelaki itu mengulangi tegurannya yang belum mendapatkan jawaban tersebut. Suaranya halus dan ramah, sehingga Chu Bwee Hong menjadi tidak enak hati untuk berdiam diri terus.

   "Selamat pagi...!" dengan ragu-ragu Chu Bwee Hong membalas teguran itu.

   "Maafkanlah saya...mengganggu nona. Tapi...benarkah saya berhadapan dengan nona Chu Bwee Hong sekarang?" Lelaki itu kembali menundukkan kepalanya dengan sangat hormat di hadapan Chu Bwee Hong.

   "Be...benar! Siapakah tuan...? Mengapa tuan sudah mengetahui namaku?"

   "Ah, mudah saja untuk mengenal nona di kota yang kecil begini. Apalagi aku telah mendapat petunjuk dan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai..."

   "Hah???" Chu Bwee Hong hampir menjerit saking kaget dan gembiranya mendengar nama yang disebutkan oleh orang itu. Tak terasa tangannya menyambar lengan lelaki tersebut.

   "Di...dimanakah dia sekarang? Mengapa...mengapa...oh!" tiba-tiba Chu Bwee Hong sadar akan dirinya dan buru-buru melepaskan pegangannya.

   "Ooh, maafkan kekasaranku..." katanya tersipu-sipu.

   "Ah, nona tak perlu merasa sungkan. Kita semua adalah sahabat-sahabat sendiri..." lelaki berkerudung itu berkata halus. Chu Bwee Hong menatap wajah yang tertutup kain tipis tersebut dengan ragu,

   "Jadi...jadi tuan adalah sahabatnya? Lalu...apa maksud tuan menjumpai aku? Adakah tuan membawa khabar dari...dari dia?" Perlahan-lahan lelaki itu mengangguk dan Chu Bwee Hong sama sekali tidak dapat melihat, betapa wajah di balik kerudung itu tersenyum puas karena tipu daya dan perangkap yang hendak ia lakukan tampaknya berjalan dengan lancar dan mudah.

   "Saya memang disuruh oleh Souw-Taihiap kemari untuk menemui nona Chu. Tapi..." Lelaki berkerudung itu menghentikan kata-katanya dengan menghela napas berat, seolah-olah apa yang hendak ia katakan itu adalah suatu khabar buruk yang tidak menggembirakan. Tentu saja perasaan Chu Bwee Hong menjadi gelisah pula dengan tiba-tiba. Perubahan sikap lelaki itu benar-benar mengagetkannya dan menghapus seluruh seri di wajahnya.

   "Tapi...apa? Mengapa tuan tidak melanjutkannya?" dengan tegang Chu Bwee Hong menatap wajah di balik kerudung tersebut. Dengan gelisah lelaki itu menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu katanya perlahan,

   "Maaf, tidak enak rasanya kita berbicara di pinggir jalan begini. Maukah nona ke tempat yang sepi di luar kota sebentar saja? Kita dapat berbicara panjang lebar tanpa dicurigai orang. Dan...aku akan mengatakan semua pesan Souw-Taihiap kepada nona."

   Lalu tanpa menantikan reaksi dari Chu Bwee Hong, lelaki berkerudung ini membalikkan badannya dan pergi meninggalkan tempat tersebut. Terpaksa dengan gelisah dan tegang Chu Bwee Hong mengikutinya. Kekhawatiran gadis itu terhadap nasib kekasihnya membuat dia tidak mempeduikan lagi bahaya-bahaya yang mungkin akan menimpa dirinya. Mereka berjalan menuju ke luar kota lewat jalan besar yang menuju ke arah pintu kota sebelah timur. Mereka tidak mempedulikan orang-orang yang lalu-lalang dan berpapasan dengan mereka. Saking gugup dan tegangnya, Chu Bwee Hong juga tidak menoleh ke kiri ataupun ke kanan, sehingga banyak orang-orang yang telah mengenalnya menjadi heran.

   Dan keadaan inilah yang dilihat oleh pemilik warung minum she Ciu itu dan kemudian diceritakan kepada Chu Seng Kun ketika mencari Chu Bwee Hong. Lelaki berkerudung itu berhenti di tepi hutan yang melingkari kota kecil tersebut. Suasana di tempat itu benar benar amat sunyi dan sepi. Orang itu segera mencari tempat duduk di atas sebongkah batu besar yang tersembul dari permukaan tanah dan mempersilahkan kepada Chu Bwee Hong untuk mencari tempat duduk sendiri. Ada perasaan sedikit tidak enak di dalam hati Chu Bwee Hong melihat sikap lelaki yang mengaku sahabat dari Souw Thian Hai tersebut. Tampaknya orang itu biasa dihormati dan dilayani oleh orang-orang sekelilingnya. Meskipun tingkahnya halus, tapi gaya dan sikapnya kelihatan benar keangkuhannya.

   "Nah, lekaslah tuan mengatakan pesan dari Hong-gi-hiap Souw Thian Hai itu...!" untuk menutupi kecanggungannya Chu Bwee Hong segera mendesak kepada lelaki itu agar segera mengatakan pesan Souw Thian Hai. Gadis itu tetap berdiri saja di tempatnya dan tidak mau mencari tempat duduk seperti yang diperintahkan oleh lelaki tersebut. Ternyata lelaki itu juga tidak mengacuhkannya. Dengan suara yang dalam ia mulai mengatakan maksud kedatangannya.

   "Maaf, nona...Misalnya ada sesuatu hal yang nanti membuat engkau kurang berkenan di hati, aku harap nona mau memaafkanku. Kedatanganku kemari memang membawa khabar buruk tentang keadaan Hong-gihiap Souw Thian Hai..."

   "Ohhh!" belum juga lelaki itu menyelesaikan kata-katanya, Chu Bwee Hong telah menjerit. "Lekas katakan!" teriaknya gelisah. Wajah di balik kerudung itu menyeringai gembira. Namun kegembiraan itu selalu ditahannya agar supaya Chu Bwee Hong tidak mengetahui dan menjadi curiga karenanya. Bahkan untuk memberi kesan bahwa ia juga ikut bersedih atas khabar buruk yang dibawanya, orang tersebut menarik napas panjang berulang-ulang sebelum melanjutkan ceritanya.

   "Nona, sebenarnya Souw-Taihiap telah menderita sakit beberapa bulan lamanya. Sakitnya cukup parah sehingga ia tidak dapat bangun dari tempat tidurnya..."

   "Oh, Tuhan...!" Chu Bwee Hong berdesah dengan wajah pucat.

   "Meskipun demikian, Souw-Taihiap tak ingin sakitnya itu diketahui oleh orang lain, terutama sahabat-sahabatnya dan...nona Chu, orang yang amat dicintainya!"

   "Oouhh...!?l" Chu Bwee Hong menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya dan merintih, seolah-olah ia ikut merasakan pula rasa sakit yang diderita oleh kekasihnya. Lelaki itu menghentikan ceritanya sebentar, seakan-akan juga ikut merasakan kesedihan itu. Padahal di balik kain tipis yang menutupi mukanya itu ia tersenyum lebar karena rencana yang telah disusunnya berjalan dengan lancar.

   "Lalu...bagaimana keadaannya sekarang? Apakah kesehatannya...menjadi bertambah...bertambah buruk lagi? Itu...itukah yang hendak...hendak tuan khabarkan kepadaku...?" beberapa saat kemudian barulah Chu Bwee Hong bisa mengendalikan perasaannya, tapi ucapan yang keluar dari mulutnya ternyata telah bercampur dengan isak tertahan. Lelaki yang mengaku sahabat dari Hong-gi-hiap Souw Thian Hai itu berbuat seolah-olah tidak tega untuk menjawabnya, sehingga Chu Bwee Hong menjadi semakin gelisah dan tidak karuan pikirannya.

   "Le...lekas katakan, tuan...! Benarkah dugaanku itu?" gadis itu mendesak Iagi dengan suara tinggi. Lelaki itu sungguh pandai sekali bersandiwara. Melihat korbannya sudah tak bisa lagi mengekang dirinya, dia mulai membuka perangkap dan tipu daya yang telah dipersiapkannya. Seolah masih enggan dan berat untuk mengatakannya dia menghela napas sambil berkata,

   "Tetapi...kuharap nona tidak mengatakannya kepada siapapun juga..., sebab Souw-Taihiap sudah memesan dengan sangat kepadaku agar tidak mengatakannya kepada siapapun juga selain nona. Souw-Taihiap tidak ingin kematiannya membikin repot sahabat-sahabatnya...!"

   "Apa?!? Mati...? Siapakah yang akan mati?" Chu Bwee Hong terlonjak saking kagetnya. Jari-jarinya yang lentik itu menyambar baju Ielaki itu dan mencengkeramnya dengan erat! Wajahnya yang ayu dan cantik bagaikan dewi asmara itu berubah menjadi pucat seperti mayat!

   "Maaf, nona...seharusnya aku tidak mengatakannya..." lelaki itu tidak berani menatap mata Chu Bwee Hong, seolah-olah menyesal telah terlanjur mengatakan khabar yang buruk tersebut. Tapi diam-diam orang itu bersorak di dalam hatinya.

   "Oooh!" Chu Bwee Hong terhenyak, lalu dengan agak menghiba gadis itu memohon kepada lelaki yang mengaku sahabat dari kekasihnya tersebut. "...Tuan, sakit apakah sebenarnya dia? Apakah sakit lamanya itu kambuh kembali? Tuan, tolonglah, antarkan aku kepadanya...!"

   "Nona Chu, aku takut..." lelaki itu pura-pura menolak dengan cepat, padahal hatinya bersorak setinggi langit. Seluruh rencananya berjalan dengan lancar sekali.

   "Tuan, kuminta dengan sangat...kasihanilah diriku. Bawalah aku untuk menemuinya..." gadis itu tetap mendesak.

   "Maaf, aku benar-benar tidak berani...Nah, aku akan meminta diri sekarang." lelaki itu melepaskan bajunya dari pegangan Chu Bwee Hong dan melompat pergi. Tentu saja Chu Bwee Hong tidak mau melepaskan begitu saja.

   "Tunggu...!" gadis itu berteriak, kemudian berlari mengejarnya. Mereka berkejaran menyusup hutan dan melintasi padang ilalang. Ilmu meringankan tubuh lelaki berkerudung tersebut ternyata cukup tinggi sehingga Chu Bwee Hong yang mahir ginkang itu tidak dapat segera mengejarnya. Baru setelah mereka tiba di tanah perbukitan yang sulit dan terjal lelaki itu harus mengakui kehebatan Pek-in ginkang Chu Bwee Hong. Lelaki itu terpaksa berhenti menghadapi Chu Bwee Hong kembali.

   "Nona, mengapa engkau terus mengejar aku?" katanya terengah-engah. Chu Bwee Hong mengusap dahinya yang berkeringat dengan punggung tangannya. Matanya yang kemerahan dan masih berkaca-kaca itu menatap dengan tajam, tapi sedikitpun suaranya tidak terengah engah ketika berkata,

   "Sekali lagi kumohon...antarkanlah aku menemui dia..." Lelaki itu menundukkan kepalanya yang terbungkus kerudung hitam, kemudian...seolah-olah karena terpaksa dan tiada jalan lain lagi, orang itu menganggukkan kepalanya.

   "Baiklah, nona. Kemanapun juga aku berlari, engkau tentu dapat mengejar aku. Aku tak mungkin dapat melarikan diri dari seorang ahli waris Bu-eng Sin-yok-ong. Cuma kuminta dengan sangat kepadamu...berhati-hatilah kalau menemui Souw-Taihiap nanti. kau jangan sampai mengagetkannya, karena amat berbahaya buat kesehatannya..." Chu Bwee Hong mengangguk.

   Demikianlah, karena sangat mengkhawatirkan nasib Souw Thian Hai yang amat dicintainya, Chu Bwee Hong sampai lupa untuk memberitahukan kepergiannya tersebut kepada kakaknya. Juga tidak terbayangkan oleh gadis itu bahwa sepeninggalnya kakaknya menjadi kalang-kabut mencarinya. Tiga hari lamanya Chu Bwee Hong berjalan bersama lelaki berkerudung itu. Mereka berjalan tidak mengenal lelah, menerobos hutan, mendaki bukit, menuruni jurang. Mereka hanya beristirahat apabila merasa lelah, di mana saja, kadang-kadang di atas pohonpun jadilah. Hanya apabila mereka memasuki sebuah kota mereka dapat beristirahat di tempat penginapan dengan sedikit leluasa. Itupun tidak lama, karena Chu Bwee Hong yang selalu merasa gelisah itu tentu segera mengajak untuk meneruskan perjalanan mereka.

   Mereka berdua jarang sekali berbicara satu sama lain. Kalau dalam tiga hari perjalanan tersebut mereka kadang kala berbicara, ucapan mereka hanyalah berkisar tentang arah dan tujuan perjalanan mereka saja, pikiran Chu Bwee Hong hanya dipenuhi dengan bayangan Souw Thian Hai seorang dan tak ada minatnya sama sekali untuk memikirkan yang lain. Sampai-sampai dirinya sendiri tak terpikirkan pula keadaannya. Tak ada minatnya sama sekali untuk berdandan atau merawat badannya, meskipun pakaian yang dia kenakan itu telah kotor dan berdebu. Lain halnya dengan lelaki berkerudung hitam itu. Semakin lama berjalan bersama-sama dengan Chu Bwee Hong yang cantik jelita itu, semakin besar pula perasaan tertariknya kepada gadis tersebut.

   Tapi tentu saja orang itu tidak berani berterus terang, apalagi sampai memperlihatkannya kepada gadis tersebut. Orang itu menyadari, betapa tinggi ilmu silat anak keturunan mendiang Bu-eng Sin-yok-ong. Salah langkah sedikit saja akan bisa menghancurkan seluruh rencananya malah! Oleh karena itu, meskipun hatinya mulai terbakar oleh kecantikan Chu Bwee Hong yang amat mempesonakan itu, orang tersebut masih tetap berusaha menahan dirinya. Demikianlah pada hari ke empat mereka telah sampai di Sungai Ular, yaitu sebuah dari puluhan sungai kecil yang menjadi anak dari Sungai Huang-ho yang besar. Sungai itu adalah sungai yang tidak begitu lebar dan dalam tetapi berbeda dengan anak-anak Sungai Huang-ho yang lain yang sering mengalami kekeringan di musim kemarau, air Sungai Ular benar-benar tidak pernah berhenti mengalir di sepanjang tahun.

   Hal itu disebabkan oleh karena Sungai Ular mempunyai sumber yang tak pernah habis di Pegunungan Kun-lun, yaitu barisan pegunungan luas di daerah propinsi bagian barat dari Tiongkok. Pegunungan tersebut mempunyai banyak puncak-puncak yang tinggi dan jurang-jurang yang sangat dalam, sementara di atas lereng-lerengnya yang curam dan terjal itu hampir seluruhnya diselimuti oleh hutan belantara yang amat lebat. Untuk memintas jalan, Chu Bwee Hong dan lelaki berkerudung itu menyusuri sungai tersebut ke arah hulu. Tetapi dengan jalan demikian terkadang mereka berdua terpaksa harus mendaki tebing dan merayapi jurang yang amat terjal. Untunglah mereka berdua mempunyai ilmu yang tinggi, sehingga medan yang sangat sukar itu tidak menyulitkan mereka.

   "Sebentar lagi kita akan sampai di tempat tujuan. Rumah Hong-gi-hiap Souw Thian Hai sudah tidak begitu jauh lagi...Hanya aku khawatir kedatangan kita ini sudah terlambat..." lelaki berkerudung itu mulai memanaskan suasana kembali.

   "Ah!" Chu Bwee Hong berdesah, matanya tampak mulai berkaca-kaca lagi. "...Begitu burukkah keadaannya?"

   "Dia cuma ditunggui oleh puterinya, dan ketika kutinggalkan beberapa hari yang lalu...dia sudah tidak bisa menggerakkan anggota tubuhnya."

   "Lalu...penyakit apakah sebenarnya yang ia derita?"

   "Entahlah, nona...Yang terang penyakit tersebut datang menyerang dengan tiba-tiba...! Sore hari Souw-Taihiap belum merasakan apa-apa, tapi bangun tidur keesokan harinya dia sudah tidak bisa turun dari pembaringannya!"

   "Oh" mungkinkah ini disebabkan oleh penyakit lamanya itu?" Chu Bwee Hong berkata serak dan hampir menangis.

   "Sebenarnya setiap tahun sekali dia harus datang untuk kami obati, tapi" sudah tiga tahun ini dia tak datang!"

   "Kukira memang betul dugaan nona. Apalagi yang mampu menjatuhkan Souw-Taihiap yang maha sakti itu selain penyakit Iupa ingatannya dulu?"

   "Ohhhh!" Sungai itu mulai melewati daerah yang datar dan berhutan jarang. Malahan beberapa saat kemudian kedua orang itu telah sampai di sebuah ngarai yang luas, di mana pohonpohonnya sangat rindang dan mulai berbunga. Bunganya berwarna-warni, sehingga dari jauh ngarai itu tampak bagaikan lautan bunga yang mengalun dihembus angin.

   "Nona, kita telah sampai di tempat Souw-Taihiap, sungai ini mulai dangkal dan kelihatan batu-batunya...! Di tempat inilah biasanya Souw-Taihiap dan puterinya mandi serta membersihkan badan mereka."

   "Di manakah rumahnya?"

   "Kita masih harus berjalan satu lie lagi. Di sana ada sebuah air terjun yang amat indah dan menawan, di mana sekelilingnya hanya tumbuh pohon-pohon bunga yang beraneka warna."

   "Oh?" tiba-tiba Chu Bwee Hong terpekik. "Ada orang datang...!"

   "Mana...? Oh, benar! Jangan khawatir mungkin dia adalah salah seorang pelayan dari Souw-Taihiap..." lelaki berkerudung itu tersenyum aneh. Seorang laki-laki tinggi besar dengan kumis dan jenggot lebat tampak berlari melintas di depan mereka. Tapi begitu mengetahui kedatangan mereka, laki-laki tersebut segera menghentikan langkahnya. Dengan pandang mata curiga laki-laki brewok yang saking kelewat subur rambutnya sampai sampai lengannya juga penuh ditutupi rambut itu menghampiri mereka!

   "Berhenti!" hardiknya. Lelaki berkerudung itu melangkah ke depan Chu Bwee Hong untuk menghadapi laki-laki brewok tersebut. Tapi sebelum dia sempat berkata laki-laki brewok tersebut telah merubah suaranya, yaitu tidak lagi sekaku atau segarang tadi.

   "Oh...apakah jiwi (tuan berdua) juga sahabat-sahabat dari mendiang Souw-Taihiap pula? Dan kedatangan jiwi ini...apakah juga bermaksud untuk menengok jenazahnya?"

   "Apa? Ohh, jadi...jadi Souw-Taihiap sudah meninggal?" lelaki berkerudung itu berseru seolah-olah kaget sekali. Kaki kanannya menghentak tanah dan di lain saat tubuhnya melayang ke depan orang itu. Tapi dengan gesit orang brewok itu juga melangkah mundur.

   "Hmm, jadi tuan berdua ini bukan sahabat dari Souw-Taihiap?" Laki-laki brewok tersebut mengerutkan keningnya seakan-akan curiga. "Kalau begitu apa maksud kedatangan jiwi ini...?" Sementara itu mendengar bahwa kekasihnya telah meninggal dunia Bwee Hong tak kuasa lagi menahan tangisnya. Dengan lemas tubuhnya bersandar pada pohon dan menangis tersedu-sedu. Semakin lama tangisnya semakin memilukan, apalagi kalau teringat akan kebaikan budi Souw Thian Hai di masa lalu. Orang brewok dan lelaki berkerudung itu saling pandang untuk beberapa saat lamanya lalu keduanya bersama-sama menoleh ke arah Chu Bwee Hong yang tertunduk dan terisak isak. Kemudian sambil seolah-olah menyesali kecurigaannya yang tidak beralasan, orang brewok itu menjura berkali-kali.

   "Ah, maaf...maaf. Aku ternyata telah terlalu mencurigai jiwi. Hmm, marilah kuantar ke rumah Souw-Taihiap kalau begitu...!" desahnya penuh rasa sesal. Lelaki berkerudung itu mengangguk, lalu menghampiri Chu Bwee Hong. Mendengar langkah kaki seseorang datang mendekatinya Chu Bwee Hong segera menengadahkan kepala. Otomatis dia bersiap-siaga. Bagaimanapun juga kedua orang itu belum begitu dikenalnya. Lelaki berkerudung itu segera menghentikan langkahnya melihat kesiapsiagaan Chu Bwee Hong. Sambil menunjuk ke arah laki-laki brewok tadi ia berkata,

   "Nona, marilah kita menengok jenazah Souw-Taihiap...!" Chu Bwee Hong mengangguk, lalu berjalan mengikuti orang-orang itu. Sementara itu tanpa sepengetahuan mereka bertiga, Souw Lian Cu yang sejak pagi mencuci pakaian di sungai itu, selalu mengawasi gerak-gerik mereka. Sayang, karena berada agak jauh dari tempat mereka, gadis remaja itu tidak bisa mendengarkan percakapan mereka. Gadis itu hanya bisa mengawasi saja tingkah laku mereka bertiga.

   Tapi gadis remaja itu segera menjadi kaget, ketika mengenali wajah Chu Bwee Hong yang cantik itu. Wajahnya segera berubah menjadi kelam dan beberapa saat kemudian lalu berubah lagi menjadi kemerah-merahan. Ternyata hatinya yang dalam beberapa hari ini sedang pepat dan marah terhadap ayahnya, semakin menjadi berang dan kusut! Dan saking tidak kuat hatinya menahan semuanya itu, Souw Lian Cu lalu membanting tempat cuciannya dan kabur dari tempat tersebut. Gadis itu pergi entah ke mana. Laki-laki brewok itu membawa Chu Bwee Hong berdua ke sebuah pondok kecil yang dibangun di tepi sungai. Dari jauh telah tercium bau dupa wangi yang menandakan bahwa di dalam pondok tersebut sedang ada upacara berkabung. Hanya yang agak mengherankan adalah keadaan di sekitar rumah itu. Tempat itu sangat sepi.

   Tak terlihat seorang manusia pun di sana, seolah-olah pondok itu bukanlah tempat tinggal, tetapi kuburan! Tapi Chu Bwee Hong yang sedang bersedih itu tidak merasakan itu semua. Dengan langkah gontai gadis ayu itu berjalan memasuki pondok dan segera bersimpuh di depan peti mayat yang terbujur di sana. Air matanya turun tiada henti-hentinya. Lelaki berkerudung itu mendekati Chu Bwee Hong dan sekali ini gadis itu tidak bersiap-siaga seperti biasanya. Dibiarkannya saja lelaki berkerudung itu berdiri di sampingnya. Sekilas tampak lelaki berkerudung tersebut mengangguk ke arah laki-laki brewok dan laki-laki tinggi besar itu segera membuka peti mati di hadapan mereka. Chu Bwee Hong terbelalak.Terlihat olehnya di dalam peti itu tubuh Souw Thian Hai telah terbujur kaku! Wajahnya yang tampan itu tampak putih dan pucat kebiru-biruan!

   "Hai-ko...!" Chu Bwee Hong menjerit kemudian...pingsan. Cepat bagaikan kilat lelaki berkerudung itu menotok urat-urat penting di badan Chu Bwee Hong, sehingga yang belakangan ini takkan mungkin bisa bergerak meskipun sudah siuman nanti. Dan sekejap kemudian dua orang laki-laki itu saling memandang dan tertawa gembira bersama-sama.

   "Huaha-ha-ha-ha...!"

   "Heheh-hehe-he...! Wan-heng, kau sungguh cerdik sekali...!" lelaki berkerudung itu mengangkat ibu jarinya ke arah laki-laki brewok tersebut. "Kalau tidak dengan tipu daya begini,...sungguh sulit untuk menundukkannya. Kepandaianku saja tak mungkin bisa mengatasinya. Ginkangnya hebat bukan main...!"

   "Lalu apa yang mesti kita kerjakan selanjutnya, Ongya...?" laki-laki brewok itu bertanya sambil mengangkat peti mati itu dan kemudian membuangnya ke Iuar pondok. Peti tersebut pecah berantakan ketika membentur batu, dan...sebuah orang-orangan yang terbuat dari jerami terpental keluar. Sementara kepalanya yang terbuat dari Lilin itu pecah bertaburan di atas tanah.

   "Wan-heng, tugasmu telah selesai. Sekarang kau kembalilah ke lembah...! Jangan sampai keluarga Chin mencari-cari engkau. Mereka akan menjadi curiga kepadamu bila engkau terlalu lama meninggalkan mereka..."

   "Lalu...bagaimanakah dengan Souw Thian Hai? Orang itu sungguh sangat berbahaya sekali, Ongya..." laki-laki brewok yang tidak lain adalah Hek-mou-sai Wan It itu bertanya ragu-ragu. Lelaki berkerudung itu menyentuh lengan Hek-mou-sai.

   "Kau jangan khawatir, Wan-heng. Dengan adanya gadis cantik ini di tanganku, keparat Souw Thian Hai itu takkan berani menyentuh aku..., Sudahlah, kau pulang sajalah! Biarkan aku menyelesaikan rencana yang tinggal sedikit ini. Besok bila semuanya berjalan lancar, aku tentu akan segera datang menemuimu."

   "Baik! Baiklah kalau begitu...hamba mohon diri."

   "Berangkatlah...!" Hek-mou-sai Wan lt yang tinggi besar itu menjura, kemudian bergegas keluar dan pergi dari tempat itu. Lelaki berkerudung itu memandangnya sampai pembantunya yang setia tersebut hilang dari pandangannya, kemudian dengan menyeringai iblis dia mendekati tubuh Chu Bwee Hong yang pingsan itu.

   "Ohh, betapa cantiknya...! Belum pernah rasanya aku melihat seorang gadis demikian moleknya!" gumam orang itu seraya membawa tubuh Chu Bwee Hong ke dalam kamar. Matahari yang telah sampai di atas kepala itu seolah mematahkan seluruh kekuatannya, sehingga lembab yang semula terasa sejuk menyenangkan itu seakan-akan lalu berubah menjadi sebuah tungku yang menggelegak kepanasan. Angin yang semula bertiup perlahan itu kini rasanya juga menjadi bertambah kencang, sehingga debu debu panas tampak berhamburan ke angkasa. Untuk sesaat lembah itu seperti berubah menjadi tempat di mana para iblis sedang berpesta-pora.

   Akhirnya Chu Bwee Hong siuman juga dari pingsannya. Perlahan-lahan matanya terbuka, lalu mulutnya menyeringai kesakitan. Terasa oleh gadis itu tulang-tulangnya menjadi linu semuanya. Gadis itu berusaha duduk, tetapi betapa terperanjatnya ketika kaki dan tangannya tidak bisa digerakkan sama sekali. Dan gadis itu menjadi semakin kaget ketika menyadari bahwa tubuhnya terbaring tanpa kain penutup sama sekali! Perasaan takut tiba-tiba mencekam benak Chu Bwee Hong! Ketakutan akan sesuatu yang sangat mengerikan! Otomatis gadis itu mencari-cari kelainan yang mungkin ada pada tubuhnya, dan...hatinya mendadak menjadi pedih bukan main! Pangkal pahanya terasa sakit dan perih sekali!

   "Oh, Tuhan...!" Chu Bwee Hong merintih dan otomatis air matanya mengalir dengan derasnya. Gadis itu lalu menangis dengan sedihnya. Kini hancur sudah semuanya...! Terasa gelap dunianya dan...sudah tidak ada gunanya lagi ia hidup di dunia. Musnah sudah seluruh harapannya selama ini!

   "Geriiiiit!" Terdengar pintu dibuka, kemudian muncullah lelaki berkerudung itu di muka pintu kamar. Seraya tertawa perlahan lelaki itu menghampiri pembaringan Chu Bwee Hong. Nada suaranya kurang ajar sekali, lain benar dengan suaranya kemarin.

   "Ha haha,...engkau sudah siuman, bidadariku yang cantik?"

   "Keparat! Iblis biadab! Apa yang telah...telah kau perbuat terhadap diriku?" Chu Bwee Hong memaki dan menjerit seperti orang gila.

   "Hei, mengapa berteriak-teriak begitu, anak manis...? kau belum puas, yaa...?" lelaki itu berusaha membujuk dengan lagaknya yang menjijikkan.

   "Ayuh, kita ulangi lagi kalau begitu...hahaha!" Chu Bwee Hong terbelalak dengan air muka pucat pasi. Bibirnya yang putih pucat ketakutan itu gemetar dan tak bisa mengeluarkan suara sekarang. Dilihatnya iblis yang tak kelihatan wajahnya karena tertutup oleh kerudung hitam itu datang mendekati pembaringannya. Dan gadis itu hampir pingsan tatkala laki-laki yang akhirnya berdiri di tepi pembaringannya tersebut membuka baju dan celana di hadapannya. Kemudian dunia ini seakan-akan diguncang gempa hebat ketika tubuh lelaki yang telah bertelanjang bulat itu meloncat ke atas pembaringan!

   "O-oh...k-kau mau a-apa...?" Chu Bwee Hong menjerit, tapi yang keluar dari dalam mulutnya hanya suara yang serak dan tak jelas. Tenggorokannya terasa tercekik!

   "Tenanglah, manis...! Semuanya akan berjalan dengan menyenangkan. Akan kuajak engkau ke sorga yang luar biasa indahnya..." lelaki itu tertawa perlahan, lalu dengan ganas menerkam Chu Bwee Hong dan menotok urat gagunya, agar gadis tersebut tidak bisa berteriak-teriak lagi!

   Rasa-rasanya dunia mendadak menjadi gelap dan...Chu Bwee Hong lalu pingsan! Lelaki berkerudung hitam itu tidak peduli meskipun korbannya menjadi pingsan. Bagi seorang iblis kejam seperti dia, apalagi pengaruh setan telah menguasai hatinya, keadaan seperti itu bukanlah merupakan suatu penghalang baginya! Dengan sangat kasar ia menerkam tubuh Chu Bwee Hong dan memperkosanya untuk yang kedua kalinya...! Memang sungguh malang nasib gadis ayu tersebut. Sepintas lalu dunia ini rasanya memang tidak adil. Seorang gadis cantik yang baik budi seperti Chu Bwee Hong yang sejak kecil selalu menderita dan hampir tidak pernah mengenyam kebahagiaan seperti halnya gadis-gadis lain, harus pula menerima kekejaman dan kebiadaban seperti itu.

   Tapi semuanya telah terjadi! Nasib memang telah menentukan demikian, dan tak seorangpun yang bisa mengelakkannya. Semua itu adalah rahasia alam, yang tak mungkin seorang manusia dapat menjenguk dan menguraikannya! Hari telah menjadi sore dan tempat itu telah mulai terasa gelap. Lelaki berkerudung tersebut turun dari atas pembaringan dan mengenakan pakaiannya kembali. Kemudian dengan perasaan lega karena nafsu binatangnya telah terpuaskan, lelaki berkerudung tersebut berjalan ke arah pintu dan melongok ke luar pondok. Tiba-tiba lelaki itu menutup pintu pondoknya kembali. Lapat-lapat terdengar suara langkah kaki seseorang mendatangi tempat tersebut.

   "Lian-ji (anak Lian)...! Lian-ji...!" orang yang sedang menuju ke tempat itu memanggil anaknya. Lelaki berkerudung itu cepat kembali ke kamar dan bergegas mengenakan kembali pakaian Chu Bwee Hong yang berceceran di atas lantai. Gadis itu masih belum siuman dari pingsannya, maka dengan mudah lelaki berkerudung tersebut mengenakan dan memasangkan kembali pakaiannya. Lalu dengan tergesa-gesa gadis itu diseretnya ke depan pintu.

   "Hmm, anak ini kemana sih...? Semua cuciannya ditinggalkannya begitu saja...dan sudah petang begini belum juga pulang. Tidur di pondok ini barangkali. Hmm, Lian Cu...! Lian Cu...!" suara dari orang yang baru saja datang itu telah berada di luar pondok. Tiba-tiba orang yang baru datang yang tidak lain adalah Hong-gi-hiap Souw Thian Hai itu mengernyitkan hidungnya.

   "Huh, aneh benar...!" gerutunya perlahan. "...Kenapa ada bau dupa wangi disini? Apakah bocah itu sedang bermain-main di sini? Sungguh anak bengal, sudah kukatakan jangan bermain-main di pondok mendiang kakek Souw ini...eh, masih juga nekad! Hei, Lian Cu...hayo keluar!" Tapi tak seorangpun menjawab teriakannya sehingga Souw Thian Hai menjadi tidak sabar.

   "Hah, kau mau mempermainkan ayah, ya...? awas, kugebuk kalau kuketemukan nanti...!" Souw Thian Hai yang sudah biasa bergurau dengan anaknya itu pura-pura marah, lalu dicarinya sebatang ranting untuk alat penggebuknya. Mendadak mata pendekar itu terbelalak! Di bawah pohon besar yang tumbang di samping pondok itu tergolek sebuah peti mati yang telah pecah dan terbuka tutupnya. Dan di dekatnya tergeletak sebuah orang-orangan dari jerami yang diberi pakaian seperti halnya manusia hidup. Hanya kepalanya yang terbuat dari lilin itu telah hancur berkeping-keping, sehingga Souw Thian Hai tidak dapat melihat wajahnya.

   "Hmmh, kelihatannya tempat ini telah dikunjungi orang Iuar...," Souw Thian Hai bergumam perlahan. "...Tapi, siapakah orang itu? Mungkinkah bangsat itu kembali lagi ke sini untuk meneruskan niatnya...meminta peti pusaka mendiang Bit-bo-ong itu? Hmh...tapi apa maksudnya membuat peti mati tiruan seperti itu?"

   Hati Souw Thian Hai menjadi tegang. Dugaannya tentang seorang musuh besarnya yang datang kembali untuk meminta peti pusaka mendiang Bit-bo-ong, membuat perasaannya menjadi gelisah! Jangan-jangan setelah orang itu selalu gagal untuk mendapatkan benda tersebut lalu mempergunakan akal liciknya, yaitu mencelakai Souw Lian Cu, puterinya! Maka Souw Thian Hai segera bersiap-siap, dia tak ingin terjebak oleh perangkap lawan apabila dugaannya tersebut benar. Sambil mengerahkan tenaga dalamnya yang dahsyat dia berseru ke dalam pondok. Suaranya berat dan berwibawa.

   "Siapa pun yang berada di dalam pondok ini...keluarlah! Kalau tidak...hmh, jangan harap bisa menyelamatkan diri dari reruntuhan rumah ini..." Hening sejenak. Tak seorangpun menjawab seruannya. Souw Thian Hai mulai ragu-ragu, jangan-jangan dugaannya keliru. Mungkinkah orang itu telah pergi dari tempat ini? Hampir saja Souw Thian Hai meloncat ke depan untuk menerjang pintu yang tertutup itu. tapi,...tidak jadi! Terlalu berbahaya baginya. Siapa tahu dugaannya benar dan orang itu belum beranjak dari pondok tersebut? Siapa tahu orang itu menanti di dalam pondok dengan perangkapnya?

   "Kau tetap tidak mau keluar juga? Baik! kau lihatlah baik-baik, akan kurobohkan pondok kecil ini hanya dengan tiga kali pukulan...!" Souw Thian Hai mencoba mengancam lagi untuk yang terakhir kalinya.

   Sebenarnya pendekar sakti itu sudah menjadi ragu pula akan dugaannya, tapi sebelum dia benar-benar memasuki pondok tersebut ia ingin meyakinkan diri terlebih dahulu bahwa di dalam rumah itu memang tidak ada siapapun juga. Oleh karena itu sambil memberikan ancaman pendekar sakti itu segera melangkah ke depan pintu pondok. Tetapi hal itu ternyata telah diartikan lain oleh lelaki berkerudung yang menantinya di belakang pintu. Lelaki tersebut mengira bahwa Souw Thian Hai memang benar benar telah melihat dirinya, dan sekarang pendekar sakti itu sungguh-sungguh akan meledakkan rumah kecil tersebut dengan pukulan Tai-lek Pek-khong-ciangnya yang amat terkenal di dunia persilatan itu. Maka sebelum Souw Thian Hai melangkah lebih dekat lagi, lelaki berkerudung itu cepat membuka pintu pondok dan berteriak keras sekali.

   "Berhenti...!!!" Sekarang justru Souw Thian Hai sendirilah yang menjadi kaget! Sejak semula pendekar itu memang hanya menduga duga saja kalau di pondok tersebut ada orangnya. Kalau dia tadi berteriak-teriak mengancam, hal itu hanya untuk meyakinkan dirinya saja bahwa tempat tersebut memang kosong! Tapi tidak dia sangka dugaannya ternyata benar, pondok itu...betul-betul ada orangnya! Dan orang itu juga benar-benar orang yang selalu mengganggu dirinya, yaitu orang yang menginginkan peti pusaka mendiang Bit-bo-ong itu!

   "Souw Thian Hai...! Kebetulan engkau telah datang sendiri ke sini, sehingga aku tak perlu mencari engkau ke rumahmu. Lihatlah siapa yang kubawa ini...!" lelaki berkerudung itu berteriak lagi seraya menyeret tubuh Chu Bwee Hong ke depan pintu.

   Sekali lagi Souw Thian Hai terkejut! Malahan kali ini rasa kagetnya itu demikian hebatnya, sehingga kalau pada saat itu ada petir menyambar mungkin ia takkan bisa mendengarnya lagi! Mata pendekar sakti yang biasanya bersinar tajam dan dalam itu kini tampak terbelalak lebar ke arah Chu Bwee Hong yang lemas tak bertenaga itu. Hampir-hampir pendekar itu tak mempercayai pandangannya sendiri. Beberapa kali matanya dikejap-kejapkannya dengan harapan barangkali semuanya itu hanyalah bayangan atau impiannya saja. Tapi wajah gadis itu tetap tidak hilang dari pandangan matanya, begitu pula dengan lelaki yang menyanderanya itu.

   Kenyataan itu membuat Souw Thian Hai menjadi sadar bahwa semua yang ia hadapi sekarang bukanlah sebuah impian atau bayangannya saja, tetapi benar-benar suatu kenyataan! Suatu kenyataan bahwa lelaki yang telah beberapa kali gagal memperoleh peti pusaka dari dia itu kini datang lagi dengan membawa Chu Bwee Hong sebagai sanderanya. Dan lelaki itu tentu hendak menukarkan keselamatan gadis yang amat dicintainya itu dengan peti pusaka kepunyaan mendiang Bitbo-ong tersebut! Sementara itu Chu Bwee Hong sendiri, yang kini telah siuman dari pingsannya, tampak menatap Souw Thian Hai dengan tidak kalah kagetnya. Gadis ayu itu memandang kekasihnya dengan air mata bercucuran dan apabila urat gagunya tidak ditotok mungkin dia sudah berteriak dan menangis menjerit-jerit!

   "Hong...Hong-moi...!" Souw Thian Hai akhirnya bisa bersuara, meskipun suaranya juga tidak jelas. "Kau...kau..." Pendekar sakti yang sangat disegani dan ditakuti orang itu kini tertatih-tatih dengan hati tak keruan rasa. Hatinya yang selama hampir empat tahun ini selalu ia tekan dan ia paksa untuk melupakan gadis itu kini tak kuasa ia kendalikan lagi! Apalagi begitu bertemu dengan Chu Bwee Hong, kekasihnya itu dalam cengkeraman iblis yang selalu memusuhinya!

   "Berhenti! Jangan dekat-dekat...!" lelaki berkerudung itu membentak lagi. Tangan kanannya yang semula mencengkeram pundak Chu Bwee Hong itu tiba-tiba telah memegang golok kecil dan menempelkannya di atas leher gadis tersebut. Souw Thian Hai cepat menghentikan langkahnya. Dengan air muka tegang dan gelisah matanya menatap ke arah lawannya.

   "A-apa maumu...?" geramnya.

   "Hahah...kau tidak perlu berpura-pura tak mengetahui maksudku..." lelaki berkerudung itu tertawa menyeringai.

   "Nah, lekaslah kau berikan peti itu kepadaku! Ataukah engkau ingin melihat dulu aku menggorok leher yang indah ini?" Lelaki berkerudung itu menekan sedikit mata goloknya, sehingga Chu Bwee Hong meringis kesakitan! Mata golok yang putih mengkilap itu mulai bersemu merah oleh tetesan darah Chu Bwee Hong, suatu tanda bahwa lelaki tersebut tidak main-main dengan ancamannya!

   "Jangan!" Souw Thian Hai berteriak.

   "Hmm, bagaimana...? kau menyetujui permintaanku?" lelaki berkerudung itu mengangkat alisnya dan mengendurkan tekanan goloknya. Sejenak Souw Thian Hai menjadi bimbang kembali. Peti pusaka itu berisi benda-benda peninggalan mendiang Bit boong yang sakti, termasuk pula buku-buku ilmu silatnya yang dahulu pernah menggegerkan dunia persilatan.

   Peti pusaka tersebut ia dapatkan setelah dia bisa membunuh duplikat Bit-bo-ong yang mengaku masih keturunan Bit-bo-ong asli beberapa tahun yang lalu. Dan peti pusaka itu memang sengaja ia simpan karena ia tak ingin benda tersebut dikuasai oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Ternyata sekarang ada orang yang ingin memiliki benda pusaka itu kembali. Sudah beberapa kali orang yang menyembunyikan wajahnya di balik kerudung itu mencoba memintanya dengan berbagai macam cara, baik dengan cara halus maupun kasar, tapi semuanya tidak berhasil. Dan kini orang berkerudung itu datang kembali dengan caranya yang licik dan pengecut. Entah bagaimana caranya hingga orang licik itu mengetahui hubungannya dengan Chu Bwee Hong, sehingga dengan cara yang kotor gadis tersebut dipakai untuk memerasnya.

   "Bagaimana?" lelaki berkerudung itu membentak lagi.

   "Baiklah. Tapi kau harus melepaskan gadis itu dahulu...!" akhirnya Souw Thian Hai terpaksa mengabulkan permintaan lawannya. Bagaimanapun juga jiwa kekasihnya lebih berharga dari pada yang lain-lainnya. Lelaki berkerudung itu mendengus.

   "Kau jangan mencoba mengelabuhi aku. Kalau aku melepaskan gadis ini kau tentu akan menerjang aku. Huh, tidak...! Gadis ini tidak akan kulepaskan sebelum engkau memberikan peti pusaka itu kepadaku dan berjanji tidak akan mengganggu langkahku ketika keluar dari lembah ini. Bagaimana...?"

   "Pengecut!" Souw Thian Hai menggeram lagi.

   "Apa katamu?" lelaki itu berteriak sambil menekankan kembali golok itu ke leher Chu Bwee Hong sehingga yang terakhir ini meringis menahan sakit.

   "Bangsat! Baik...baiklah, aku berjanji!" Souw Thian Hai menjerit saking tegangnya.

   "Nah, begitu...Sekarang bawa kemari benda itu! Lekas! Sebelum aku mengubah keputusanku...," Lelaki berkerudung itu bernapas lega. Otomatis goloknya mengendor kembali.

   "Ohhh...!" Souw Thian Hai menghela napas panjang, lalu perlahan-lahan melangkah mendekati pondok.

   "Kurang ajar! Apakah kau ingin membunuh kekasihmu ini?" lelaki itu naik pitam.

   "Berhenti...atau kubunuh gadis ini!"

   "Kau sendirilah yang kurang ajar!" Souw Thian Hai membentak pula dengan marahnya. "Katamu aku kau suruh mengambil peti pusaka itu! Mengapa kini kau malah menghalanginya?"

   "Ambil peti itu! Mengapa kau malah hendak memasuki pondok ini?" lelaki itu menjawab dengan berang pula.

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bagaimana aku tak hendak memasuki pondok ini kalau benda yang kau cari itu memang kusimpan di dalam pondok ini?" Souw Thian Hai masih berteriak dalam nada tinggi.

   "Kalau engkau memang tidak mempercayai janjiku dan masih ketakutan bila berdekatan denganku, kau menyingkirlah dahulu dari pintu itu...karena peti pusaka itu kebetulan juga kutanam di bawah pintu tersebut!!!"

   "Apa...? Di bawah pintu pondok ini? Gila! Padahal telah berpuluh-puluh kali aku tidur di dalam pondok celaka ini!"

   "Kau tak menyangkanya, bukan? Hal itu memang kusengaja agar semua orang tidak menyangkanya. Selain itu aku memang bermaksud untuk menempatkan semua benda benda pusaka keluargaku sesuai pada tempatnya yang benar. Hmm, kau tahu siapa sebenarnya Bit-bo-ong asli yang hidup pada zaman keemasan Empat Datuk Besar Persilatan itu?" Lelaki berkerudung itu menggeleng lemah. Souw Thian Hai mendengus melalui hidungnya.

   "Hmmhh! Katamu dulu kau masih mempunyai hubungan keluarga dengan mendiang Bit-bo-ong, mengapa engkau tak tahu siapa sebenarnya dia...?"

   "Jangan banyak bicara! Lekas kau ambil peti itu!" lelaki berkerudung itu menjadi marah. Lalu dengan tergesa-gesa ia menyeret Chu Bwee Hong keluar dari pintu pondok untuk memberi jalan kepada Souw Thian Hai. Sebaliknya dengan tenang pendekar sakti itu tersenyum dan melangkah ke dalam pondok.

   "Awas...! Hati-hati kau memperlakukan gadis itu. Sedikit saja kau mengganggunya...kau akan merasakan kehebatan tanganku!" ancamnya.

   Souw Thian Hai berdiri diam di belakang pintu. Matanya tampak terpejam sebentar, lalu di atas ubun-ubun kepalanya terlihat asap tipis mengepul ke atas, suatu tanda bahwa ia sedang mengerahkan Ang-pek Sinkangnya (Tenaga Sakti Merah dan Putih). Dengan perasaan tegang lelaki berkerudung itu mengawasi Souw Thian Hai dan diam-diam ia juga mengerahkan tenaga dalamnya, untuk berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan. Siapa tahu lawannya tiba-tiba berubah pikiran lagi? Apalagi ketika dilihatnya Souw Thian Hai mengerahkan Ang-pek Sinkang, sebuah tenaga sakti yang tiada duanya di dunia persilatan! Mendadak Souw Thian Hai yang berada di belakang pintu pondok tersebut menghantamkan kepalan tangannya ke atas lantai!

   "Dhuuuuughrr...!" debu tipis tampak berhamburan kemana mana, dan tangan Souw Thian Hai tampak terbenam ke dalam lantai hampir sampai ke sikunya! Lalu bagaikan sebuah cangkul lengan itu mencongkel ke atas, sehingga lantai yang amat keras itu seperti dibongkar oleh sebuah tenaga raksasa.

   "Broool...!" Lantai itu tampak menganga dan terlihatlah sebuah lobang kecil di mana di dalamnya tergolek sebuah peti kayu kecil berwarna hitam mengkilat! Souw Thian Hai bergegas mengambil peti kayu tersebut dan membawanya keluar pondok.

   "Nih, kau terimalah peti pusaka itu!" pendekar itu berkata pendek kepada lawannya.

   "Sekarang kau lepaskan gadis itu...!" Lelaki berkerudung itu tampak termangu-mangu sebentar, agaknya belum percaya seratus persen bahwa benda itu adalah peti pusaka yang selama ini ia idam-idamkan.

   "Nanti dulu...! kau menyingkirlah dahulu, aku akan memeriksanya! Siapa tahu kau hanya mau menipuku?" teriaknya lantang.

   "Bangsat! Jangan kau samakan aku dengan dirimu...!" Souw Thian Hai berseru dengan perasaan mendongkol.

   "Menyingkirlah...!" lelaki berkerudung itu tetap bersitegang.

   "Baik! Tapi...awasss!! Jangan coba-coba berbuat curang terhadapku. Begitu engkau mencobanya...hmm, akan kucerai-beraikan tubuhmu yang kotor itu!" pendekar sakti itu mengancam sambil menyingkir dari peti pusaka itu.

   Sambil tetap membawa Chu Bwee Hong lelaki berkerudung itu melangkah mendekati peti pusaka. Dengan goloknya ia mencongkel tutup peti tersebut dan menjenguk isinya. Dua bilah pisau panjang dengan hiasan permata pada pangkalnya tampak berkilauan di dalam peti itu. Kemudian di sebelahnya tampak sebuah buku tua yang sangat tebal bertuliskan tiga baris kalimat yang berbunyi Bu-eng Hwe-teng, Kim-liong Sin-kun dan Pat-hong Sin-ciang! Wajah di balik kerudung itu tersenyum puas. Dibukanya lembar demi lembar halaman buku itu dengan ujung goloknya. Lalu dengan ujung goloknya pula lelaki tersebut mengeluarkan sebuah mantel hitam dari dalam peti itu, kemudian membeberkannya di atas tanah. Tiba-tiba goloknya berkelebat ke bawah, menabas kain mantel tersebut!

   "Dhuuug!" Debu dan tanah memercik kemana-mana, tetapi mantel itu sedikitpun tidak terkoyakkan! lelaki berkerudung itu tertawa puas dan memasukkan kembali mantel itu ke dalam peti.

   "Bagaimana...?" Souw Thian Hai bertanya gelisah, hatinya sudah tidak tahan lagi melihat wajah kekasihnya.

   "Baiklah! Nih, kau terimalah kekasihmu...!" lelaki berkerudung itu berseru gembira. Kakinya mencongkel tubuh Chu Bwee Hong, sehingga tubuh gadis itu melayang ke arah Souw Thian Hai. Sementara itu kedua lengannya bergegas menyambar peti pusaka tersebut dan membawanya pergi dari tempat itu.

   Tubuhnya berkelebat dan sekejap saja telah hilang dari pandang mata Souw Thian Hai. Souw Thian Hai segera menyambut tubuh Chu bwee Hong dan membawanya ke dalam pondok dengan terburu-buru. Setelah meletakkannya di atas pembaringan kayu, yaitu satu-satunya tempat tidur yang ada di dalam pondok tersebut. Souw Thian Hai lalu bergegas membebaskan totokan-totokan yang melumpuhkan gadis itu. Begitu terbebas dari totokan, Chu Bwee Hong langsung menjerit dan merangkul kekasihnya. Tangisnya meledak tak terbendungkan lagi. Seluruh kerinduannya selama ini seolah-olah termuntahkan semuanya. Segala macam persoalan yang terkandung di dalamnya selama empat tahun ini seakan saling berebutan untuk dikatakannya, sehingga mulutnya yang sedang terisak-isak itu justru tak bisa berkata apa-apa!

   "Hong-moi...! Hong-moi, sudahlah...!" Souw Thian Hai yang merasa bersalah karena telah mengingkari janjinya kepada gadis itu berusaha membujuk Chu Bwee Hong. la tidak menyangka sama sekali bahwa gadis itu masih mengingatnya meski waktu telah berlalu sedemikian lamanya.

   "Hai-ko...Hai-ko! Sudah empat tahun lamanya...mengapa engkau tidak juga mengunjungi aku? Apa...apakah engkau sudah berubah pikiran dan sudah lupa padaku?" akhirnya Chu Bwee Hong bisa juga berkata di antara tangisnya. Souw Thian Hai menghela napas, mulutnya tak dapat menjawab. Tapi perlahan-lahan pendekar sakti tersebut melepaskan lengan Chu Bwee Hong yang memeluknya, kemudian mendudukkan gadis ayu itu di pinggir pembaringan, sementara dia sendiri juga duduk di sampingnya. Beberapa saat lamanya mereka hanya berdiam diri dan hanya saling berpegangan tangan saja. Kepala Chu Bwee Hong tertunduk, sedangkan dengan perasaan bersalah Souw Thian Hai memeluk pundaknya.

   "Hong-moi, maafkanlah aku...karena aku telah membuatmu merana dan sengsara sekian lamanya. Aku memang orang yang tak mempunyai perasaan dan hati sama sekali. Aku ini benar-benar seorang lelaki yang tak bertanggung-jawab dan sungguh tidak seimbang untuk disejajarkan dengan engkau yang cantik bagai bidadari ini...engkau terlalu mulia untuk lelaki rendah budi dan sudah tua seperti aku ini..." Tiba-tiba Chu Bwee Hong menghentikan tangisnya. Bagaikan mendapatkan sebuah kekuatan baru gadis itu menengadahkan kepalanya. Matanya yang merah karena banyak menangis itu menatap penasaran.

   "Hai-ko, engkau belum tua...engkau belum tua! Siapa bilang engkau sudah tua...? Engkau hanya beberapa tahun saja lebih tua dari pada aku, sehingga kita..." sergapnya dengan suara keras dan serak. Tapi Souw Thian Hai cepat menutup mulut yang bergetar mempesonakan itu dengan jari-jarinya.

   "Sssssst!" pendekar itu berdesah lirih. "...Kau ini ada-ada saja. Siapa mengatakan bahwa umur kita cuma terpaut beberapa tahun saja? kau ini sungguh membuat aku merasa malu saja, Hong-moi...Apakah engkau sudah lupa kepada Lian Cu? Puteriku...? Haaa, kalau yang kau maksudkan itu selisih antara engkau dan dia...itu baru benar!"

   "Tidak! Tidak! Hai-ko, bagiku engkau belum tua...! Sungguh! Engkau masih sangat muda! Kita sungguh sepadan sekali bila..." Chu Bwee Hong menyahut dengan cepat. Air mukanya pucat ketakutan, bagaikan seekor induk ayam yang amat khawatir akan kehilangan anaknya!

   Souw Thian Hai tersenyum sedih, hatinya menjadi perih. Bagaimanapun juga dia tidak bisa membutakan diri terus menerus melihat kasih sayang Chu Bwee Hong yang amat besar dan tulus itu. Ahhh, andaikata puterinya itu bisa mengerti, desahnya di dalam hati. Pendekar sakti itu teringat kembali kepada puterinya yang belum pulang sejak tadi pagi. Kemana sebenarnya anak itu? Siang tadi puterinya berkata bahwa dia akan ke sungai untuk mencuci pakaian, tapi kenapa cuciannya ia tinggalkan dan ia sendiri pergi tak tentu rimbanya? Tiba-tiba berkelebat di dalam benak pendekar sakti itu suatu yang amat mengkhawatirkan hatinya. Jangan-jangan puterinya yang memang tidak menyukai hubungannya dengan Chu Bwee Hong itu telah melihat kedatangan Chu Bwee Hong, sehingga ia menjadi marah dan pergi meninggalkan rumah mereka.

   "Aah!" Souw Thian Hai berdesah sedih.

   "Hai-ko! Hai-ko! Mengapa engkau bersedih? Apakah engkau...engkau tidak bergembira dengan pertemuan kita ini? Apakah engkau tidak menyukai...menyukai kedatanganku? Ouhhh...!?!" Chu Bwee Hong yang mendengar dan melihat kesedihan kekasihnya itu menjadi salah terima. Gadis itu lalu melepaskan diri dari pelukan Souw Thian Hai dan menangis tersedu-sedu kembali. Souw Thian Hai menjadi kelabakan,

   "Hong-moi...kau jajangan berpikiran begitu," bujuknya dengan tergesa-gesa, "bukannya aku...bukannya aku tidak menyukai kedatanganmu, tapi...tetapi aku...eh, sebenarnya kita..." Sukar sekali rasanya bagi Souw Thian Hai untuk mengutarakan kesukarannya, karena hal itu berarti dia harus mengatakan tentang kebencian anaknya kepada gadis itu dan rasa ketidaksukaan anaknya terhadap hubungan mereka. Maka untuk beberapa waktu lamanya pemuda itu hanya gagap-gugup tidak bisa berkata, sementara wajahnya tampak sedih dan serba salah! Celakanya, sikap Souw Thian Hai ini diterima salah oleh Chu Bwee Hong! sikap Souw Thian Hai yang sedih, ragu-ragu dan tidak mau berterus terang itu membuat Chu Bwee Hong semakin yakin akan dugaannya, bahwa Souw Thian Hai memang telah melupakannya dan bermaksud untuk memutuskan hubungan mereka.

   

Darah Pendekar Eps 8 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 7 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 8

Cari Blog Ini