Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 38


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 38




   "Hihihi...kau hebat juga, anak muda! Tetapi meskipun demikian kau jangan lekas lekas berbesar hati karenanya. Seperti telah kujelaskan tadi, orang...eh, mayat-mayat itu takkan bisa mati untuk yang kedua kalinya. Mereka tetap akan hidup meski hanya dengan tubuh atau kepalanya saja. Lihatlah...!"

   "Hah???" Hampir saja Chin Yang Kun terlonjak dan menjerit. Sebuah kepala mayat yang telah terpisah dari tubuhnya, yang sejak tadi berada di dekat kakinya, tanpa disangka-sangka menggelundung mendekati dia dan tiba-tiba menggigit celananya! Saking kaget dan ngerinya Chin Yang Kun otomatis meloncat ke atas, lalu dengan perasaan jijik ia mengayunkan kakinya ke arah dinding. Praaak! Potongan kepala itu pecah berantakan! Tapi bersamaan dengan itu Chin Yang Kun melihat mayat-mayat yang lain bangkit dari tempatnya. Mereka bangkit dari reruntuhan-reruntuhan dengan keadaan tidak kalah seramnya. Ada yang sudah hancur tubuhnya. Ada pula yang sudah terbuka perutnya, sehingga ususnya berceceran keluar! Baunya jangan ditanya lagi.

   "Gila! Ilmu macam apa pula ini...?" Chin Yang Kun berdesah dengan wajah pucat. Ingin benar rasanya dia melarikan diri dari tempat yang menyeramkan itu. Tapi sebelum tubuhnya bergerak, lelaki berbaju putih yang tidak lain adalah Song-bun-kwi itu berteriak. Tampaknya Ielaki itu dapat meraba maksud hati Chin Yang Kun tersebut.

   "Jangan pergi! Tidak ada gunanya! Apakah engkau ingin agar mayat itu mengejar-ngejarmu di tengah-tengah kota? Bagaimanakah jadinya kota ini kalau mayat-mayat itu berkeliaran di dalamnya? Hihihihi..."

   "Ohh!" Tiba-tiba Chin Yang Kun seperti diingatkan tentang sesuatu hal. Mayat-mayat itu bangkit karena mendapatkan perintah dari orang itu. Nah, selama orang itu masih hidup, ia mampu memberi perintah kepada mayat-mayat itu, maka mayat-mayat tersebut tetap takkan bisa mati. Satu-satunya cara untuk menghentikan mayat-mayat tersebut hanyalah dengan membungkam mulut orang yang menghidupkannya.

   Setelah mendapatkan keputusan demikian maka Chin Yang Kun lalu mempersiapkan dirinya. Mayat-mayat yang semula sangat merisaukan hatinya itu kini tak dihiraukannya lagi. Hatinya sudah bulat untuk menghancurkan pusat penggeraknya, yaitu Song-bun-kwi Kwa Sun Tek! Dengan berteriak nyaring Chin Yang Kun meloncat tinggi ke atas, melampaui kepala-kepala mayat yang tersaruk-saruk mendekati dirinya lalu meluncur ke arah Song-bun-kwi yang duduk bersamadhi di meja sembahyang itu. Kedua belah telapak tangan pemuda itu terjulur ke depan, mengarah ke atas kepala dan dada lawannya. Sementara itu kedua kakinya ditekuk ke belakang untuk sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai senjata menyapu lawan. Melihat serangan tersebut Song-bun-kwi tertawamenyeramkan.

   "Hihihahaha...ternyata engkau mempunyai otak juga, anak muda...! Marilah...kita bermain-main sejenak!" Mendadak tokoh dari Tai-bong-pai berdiri di atas mejanya, lalu dengan tergesa meloncat turun untuk menghindari serangan Chin Yang Kun. Ternyata tokoh Tai-bong-pai yang mahir ilmu hitam itu tidak berani mengadu tenaga dengan Chin Yang Kun. Kehebatan tenaga dalam yang telah diperlihatkan oleh Chin Yang Kun ketika melawan mayat-mayat tadi benar-benar menggetarkan hati tokoh hitam itu.

   "Dhuaaar!" Meja sembahyang yang penuh dengan saji-sajian dan dupa wangi itu hancur berantakan. Ratusan batang hio yang menyala itu bertaburan di dalam gelap, sehingga dari jauh kelihatan seperti kembang api yang memercik kemana-mana. Meja yang kokoh kuat itu pecah berkeping-keping dihajar Chin Yang Kun! Song-bun-kwi menepiskan beberapa potong kayu yang melayang ke arahnya, kemudian melesat mendekati Chin Yang Kun. Dan selagi pemuda itu sibuk dengan batang-batang hio yang bertebaran di sekelilingnya Song-bun-kwi menyergapnya dari belakang.

   "Wusss! Plak! Plak! Wuuus!" Dengan jari-jari renggang dan ditekuk seperti kuku harimau Song-bun-kwi menyerang pusar dan pinggang Chin Yang Kun. Geraknya tampak kaku dan canggung, namun pengaruhnya ternyata bukan main hebatnya, dalam juga serangan itu menyentuh kulit Chin Yang Kun. Chin Yang Kun telah merasakan sengatnya yang menyakitkan! Kulit yang menjadi sasaran serangan tersebut seolah-olah telah mengelupas sebelum disentuh jari lawan! Otomatis Chin Yang Kun mengelak dan menangkis, sehingga dua tiga kali telapak tangan kedua orang itu berbenturan di udara. Masing-masing mengerahkan seluruh tenaganya. Akibatnya Song-bun-kwi tergetar mundur beberapa langkah, sementara Chin Yang Kun yang berada dalam posisi bertahan juga terdorong mundur dan hampir terjatuh. Dua-duanya terperanjat.

   Chin Yang Kun tidak menyangka sama sekali bahwa lawannya yang mahir ilmu hitam itu ternyata juga mempunyai tenaga dalam yang sangat tinggi. Rasa-rasanya tenaga dalam orang itu tidak kalah hebatnya dengan lweekang Kehsim Siauwhiap. Untunglah sejak semula dia telah mengerahkan Liong-cu I-kangnya. Coba ayal sedikit saja jiwanya mungkin sudah tak tertolong lagi. Sebaliknya Song-bun-kwi juga tidak kalah kagetnya. Sejak semula, begitu iblis itu mengenali siapa yang berada di hadapannya, ia pun langsung mengerahkan ilmu puncak pula. Meskipun dahulu ia pernah merasakan betapa hebatnya ilmu pemuda itu, tapi sekarang setelah dia sendiri juga telah menyempurnakan ilmunya, ia percaya bahwa pemuda itu takkan sanggup mengelakkan serangan beruntunnya tadi.

   Tapi kenyataannya malah lain. Pemuda itu ternyata tangkas bukan main. Kecepatan geraknya ternyata sangat menakjubkan. Tangkisan tangannya malah mampu menggoyahkan kuda-kudanya. Keduanya segera bersiap-siap kembali. Mereka berdiri berhadapan dalam jarak dua tombak, berselimutkan asap hio yang masih pekat menyelubungi ruangan itu. Kini mereka benar-benar mempersiapkan seluruh kesaktian mereka. Beberapa gebrakan yang mereka lakukan tadi sudah cukup bagi mereka masing-masing untuk menilai kekuatan lawannya. Sampai bergetar rasanya tubuh Song-bun-kwi ketika mengerahkan Hio-yen Sinkangnya yang ampuh. Hawa dingin menyesakkan terasa menebar ke sekeliling tubuhnya sejalan dengan hembusan napas yang keluar dari hidungnya.

   Asap hio yang menyelimuti tubuh tokoh Tai-bong-pai itu seolah-olah juga tampak semakin menebal, sementara bau wangi yang tersebar di dalam ruangan itu juga terasa semakin menyengat hidung. Secara keseluruhanjago muda dari perguruan Tai-bong-pai itu telah mempersiapkan ilmu andalannya, yaitu ilmu silat Mayat Mabuk! Sementara itu Ilmu Memanggil Roh yang ia gunakan untuk menguasai mayat-mayat itu juga belum ia lepaskan pula! Di pihak lain Chin Yang Kun juga tidak ingin berlaku sungkan-sungkan lagi. Pemuda itu tidak mau mengambil resiko termakan oleh keganjilan ilmu lawan sebelum dia nanti sempat mengembangkan ilmu puncaknya sendiri. Oleh karena itu begitu melihat musuhnya mempersiapkan diri, iapun segera bersiap-siap pula dengan ilmu pamungkasnya, Liongcu-i-kang dan Kim-coa i-hoat!

   "Hiyaaaat!!!" Tiba-tiba Song-bun-kwi menerjang ke arah Chin Yang Kun! Tubuhnya yang lurus kaku seperti mayat itu meluncur ke depan bagaikan sebatang tongkat yang melesat di udara, kepalanya yang berambut riap-riapan itu meluncur lebih dahulu bagaikan anak panah ke arah dada Chin Yang Kun! Cepatnya bukan kepalang! Jurus yang dipergunakan oleh Song-bun-kwi tersebut adalah jurus ke sembilan dari Ilmu Silat Mayat Mabuk, yang dinamakan jurus Membentur Bong-pai Menanyakan Jalan! Sepintas lalu jurus itu seperti tidak ada keistimewaannya. Begitu kaku, canggung dan sangat sederhana!

   Padahal jurus itu selain amat sulit sebenarnya sangat kaya akan variasi dan kejutan! Kedua lengan yang terlipat diatas dada itu setiap saat dapat bergerak mencari kelemahan lawan, sementara kedua belah kaki yang terbujur kaku itu setiap saat juga bisa merenggut nyawa! Untunglah Chin Yang Kun pernah melihat kedahsyatan ilmu tersebut ketika tokoh Tai-bong-pai itu bertempur dengan Chu Seng Kun tempo hari. Maka dari itu untuk menghadapinya Chin Yang Kun bertempur dengan sangat hati-hati sekali. Pemuda itu tidak ingin hanya karena kesalahan atau keteledoran kecil membuat dirinya terjeblos ke dalam lobang kesukaran. Oleh sebab itu serangan yang tertuju ke arah dadanya itu tidak dilayani oleh Chin Yang Kun. Dengan jurus Ular Emas Meninggalkan Sarang pemuda itu menggeliat ke samping lalu melangkah tiga tindak ke depan.

   Dengan gerakannya ini Chin Yang Kun menghindari serbuan lawannya. Otomatis serangan Song-bun-kwi menemui tempat kosong, sementara Chin Yang Kun sekarang justru berada di belakangnya malah. Tapi telah dikatakan tadi bahwa jurus-jurus ilmu Silat Mayat Mabuk itu sebenarnya tidak sesederhana dan secanggung penampilannya. Tampaknya saja amat kaku dan jelek gerakannya, tapi sesungguhnya mengandung berbagai macam tipuan dan serangan yang berbahaya. Itulah sebabnya ilmu ini sangat disegani kawan dan ditakuti lawan! Buktinya gerakan Chin Yang Kun itu ternyata juga telah diperhitungkan pula oleh Song-bun-kwi. Begitu lawannya mengelak kesamping dan kini justru berada di belakangnya, jago muda dari Tai-bong-pai itu segera mengurai tangan dan kakinya.

   Gerakannya membuat tubuhnya jungkir balik dan kehilangan daya luncurnya. Dan bersamaan dengan jatuhnya kaki di atas lantai tokoh muda yang mahir ilmu hitam tersebut cepat-cepat berbalik dan menghantam Chin Yang Kun dengan kedua belah telapak tangannya. Gerakannya ini dia lakukan sambil menjatuhkan tubuhnya ke lantai, seakan-akan seperti sesosok mayat yang terhuyung-huyung jatuh karena tak tahan berdiri terlalu lama. Dalam Ilmu Silat Mayat Mabuk jurus ini dinamakan Mendorong Giam-lo-ong Memasuki Peti Mati. Sementara itu Chin Yang Kun juga segera melepaskan serangannya. Sambil membalikkan badannya pemuda itu mengayunkan kaki kanannya ke belakang, ke arah kepala lawan. Dari bawah kakinya berputar setengah lingkaran ke atas dalam jurus Ular Emas Menyabetkan Ekornya.

   Suaranya berdesing saking kuatnya dan batang kaki itu seperti bertambah sejengkal panjangnya! Maka tak dapat dicegah lagi kedua telapak tangan Song-bun-kwi berbenturan dengan kaki kanan Chin Yang Kun! Oleh karena masing-masing telah melandasi serangannya dengan kekuatan penuh maka benturan tersebut menimbulkan getaran yang maha hebat dan mengeluarkan suara berdentam bagai petir menyambar! Dan akibatnya sungguh hebat! Sepatu dan kain celana Chin Yang Kun sebelah kanan hancur bertebaran ditiup angin, sementara pemuda itu sendiri tetap bertahan untuk tidak terdorong jatuh. Meskipun demikian karena kedudukan kakinya memang tidak begitu kokoh, apalagi hanya bertumpu pada satu kaki, maka tubuh pemuda itu terpaksa terhuyung huyung juga menabrak tiang!

   Sedangkan di pihak lain, akibat dari benturan tenaga itu benar-benar hebat bagi Song-bun-kwi! Tokoh Tai-bong-paiyang sejak semula begitu mengagungkan kehebatan ilmunya sendiri itu kini terpaksa harus melihat bahwa di dunia ini ternyata masih ada ilmu lain yang lebih dahsyat dari pada ilmunya. Meskipun telah mengerahkan segala kemampuannya ternyata benturan tenaga itu membuat tokoh ilmu hitam tersebut terlempar dan berguling-guling menabrak dinding. Dari mulutnya menetes darah segar, sementara kedua belah lengannya serasa berpatahan tulang-belulangnya! Menyadari bahwa ilmunya tak mungkin bisa mengatasi lawannya, Song-bun-kwi segera mencari jalan untuk meninggalkan ruangan itu.

   Mula-mula dia beringsut kembali ke tengah ruangan untuk berlindung di tengah-tengah gumpalan asap hio yang masih sangat tebal di sana. Kemudian dari tempat itu ia berusaha mencegah kejaran Chin Yang Kun dengan ilmu hitamnya. Chin Yang Kun bersandar pada tiang yang ditabraknya. Dengan mata sedikit nanar dicarinya Song-bun-kwi yang terlempar oleh pukulannya tadi. Tetapi kepulan asap hio yang amat tebal itu benar-benar sangat mengganggu pandangannya. Tiba-tiba sepasang lengan yang licin dan dingin menyergap pemuda itu dari belakang. Begitu licinnya kulit itu sehingga rasa-rasanya ada lendir yang mengucur dari pori-porinya. Malah sesaat kemudian bagian punggung pemuda itu terasa basah oleh lendir atau keringat orang yang menyergapnya.

   Baunya jangan dikata lagi! Busuk dan amis! Tetapi bukan lendir ataupun bau busuk yang mengejutkan Chin Yang Kun! Yang sangat mengagetkan pemuda itu adalah gerakan yang dilakukan oleh penyergapnya tersebut. Dengan Liong-cu I-kangnya yang sangat hebat ternyata dia tidak bisa menangkap gerak atau langkah kaki penyergapnya itu, tahu-tahu orang itu telah memeluknya dari belakang. Chin Yang Kun meronta. Tumitnya menghantam ke belakang, ke arah lutut penyergapnya kemudian kedua sikunya bergantian menghajar perut dan dada lawan! Gerakan pemuda itu dilakukan dengan amat cepat dan penuh tenaga, dengan maksud agar pelukan itu segera dilepaskan. Tapi penyergapnya yang Iihai itu tampaknya tidak mau mengelak ataupun melepaskan pelukannya.

   Dengan nekad penyergap itu menerima hantaman dan hajaran tumit dan siku Chin Yang Kun. Terdengar suara gedebas gedebus seperti batang pisang busuk ketika siku Chin Yang Kun mengenai perut dan dada lawannya. Saking kuatnya pukulan itu membuat perut serta dada itu hancur bertaburan isinya! Cairan hijau dan kuning muncrat membasahi pakaian Chin Yang Kun. Baunya jangan ditanya lagi! Chin Yang Kun meloncat ke depan dengan cepat, lalu membalikkan tubuhnya. Dan...pemuda itu tersedak mau muntah! Di hadapannya tampak sesosok mayat dengan perut dan dada hancur bersandar pada tiang! Tak ada perubahan pada muka yang telah menjadi kaku dan beku itu. Malah sesaat kemudian mayat itu melangkahkan kakinya, terseok seok menyeret gulungan-gulungan usus yang tercecer di atas lantai.

   "Gila! Dunia benar-benar sudah gila!" Chin Yang Kun mengumpat-umpat dengan perasaan jijik.

   Baju yang berlepotan darah busuk itu segera dilepaskan, kemudian dibuang jauh-jauh. Mulutnya meludah tak henti-hentinya. Peristiwa itu sungguh amat mencengkam hati Chin Yang Kun sehingga untuk sesaat pemuda itu sampai lupa kepadamusuhnya. Tentu saja Song-bun-kwi yang selalu mengintai dari balik asap itu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dengan sebat kedua tangan tokoh Tai-bong-pai itu berkelebat melemparkan senjata rahasianya. Setelah itu dengan telapak tangan terbuka iblis tersebut melancarkan pukulan jarak jauhnya. Senjata rahasia yang terdiri dari batang-batang hio itu benar-benar sangat mengejutkan Chin Yang Kun! Pemuda itu jungkir balik menghindarinya, sehingga waktu pukulan jarak jauh itu datang, ia tak mempunyai kesempatan untuk mengelak lagi.

   "Dheees!" Dengan telak pukulan tersebut mengenai punggung Chin Yang Kun. Pemuda itu terhuyung-huyung menahan sakit. Kemudian sambil bersandar di atas pecahan meja pemuda itu mengawasi sekitarnya. Dicarinya iblis Tai-bong-pai yang licik itu, tapi tidak ketemu. Gumpalan asap hio yang masih amat tebal itu menghalangi pandangannya. Tiba-tiba pemuda itu mengumpat lagi dengan keras. Sambil mengumpat pemuda itu bergegas meloncat tinggi ke atas. Kakinya terayun keras ke arah dinding dan...sesosok mayat yang menggigit kakinya melayang membentur tembok! Terdengar suara gemeretak ketika kepala mayat-mayat itu hancur berantakan.

   "Bangsat menjijikkan! Song-bun-kwi, dimana kau? Ayoh, keluarlah! Jangan bersembunyi kau...!" Chin Yang Kun berteriak marah. Sambil berteriak pemuda itu mengawasi dengan waspada ke sekelilingnya, jangan-jangan ada mayat lagi di dekatnya. Tapi ternyata Song-bun-kwi sudah kapok untuk meneruskan pertempuran itu. Kenyataan yang dilihatnya membuat tokoh itu sangat yakin bahwa ia tak mungkin bisa mengalahkan Chin Yang Kun. Oleh karena itu saat asap yang menguntungkan dirinya itu terlanjur habis dan ia tak bisa menyembunyikan diri lagi, maka dia lekas-lekas keluar dan meloloskan diri.

   Sepeninggalnya tentu saja mayat-mayat yang berada di ruangan itu kembali tergeletak tak berdaya seperti keadaannya semula. Beberapa saat lamanya Chin Yang Kun mencari lawannya di antara asap dan puing-puing yang berserakan di tempat itu. Tetapi sampai seluruh asap yang memenuhi ruangan itu hilang ditiup angin Song-bun-kwi tetap tidak diketemukannya. Iblis mengerikan itu telah pergi meninggalkan ruangan itu. Yang sekarang tertinggal di tempat itu hanyalah mayat-mayat yang tadi mengeroyok dia. Dan dalam keadaan terang kini dapat dilihat bahwa mayat-mayat tersebut adalah mayat para pendeta yang tinggal di kuil itu. Hal itu kuat diduga melalui pakaian yang mereka kenakan. Semua mayat itu mengenakan pakaian pendeta yang amat sederhana dan dibuat dari kain kasar.

   "Uhh...! Uhhhh! Uhh!" Tiba-tiba telinga Chin Yang Kun dikejutkan oleh suara keluhan orang di atas kepalanya. Ketika pemuda itu mendongak ke atas, matanya terbelalak kaget. Di atas penglari ruangan itu terlihat empat orang pendeta meringkuk dengan tubuh diikat erat-erat menjadi satu.

   "Saudara, tolonglah kami..." salah seorang dari pendeta itu merintih.

   "Hah? Mengapa kalian berada disitu? Dan...mengapa pula dengan pendeta-pendeta itu?" Chin Yang Kun menunjuk mayat-mayat pendeta yang bergelimpangan itu.

   "Mereka...mereka dibunuh oleh pemuda berbaju putih itu! Saudara, tolonglah...nanti kuceritakan semua yang telah terjadi di kuil ini..." pendeta itu merintih lagi. Chin Yang Kun mengerahkan ginkangnya. Tubuhnya yang jangkung itu melenting tinggi kemudian hinggap di atas kayu penglari dimana empat orang pendeta itu diikat. Dan dengan cekatan jari-jarinya melepaskan ikatan mereka.

   "Apakah kalian bisa ilmu silat?" Chin Yang Kun bertanya. Empat orang pendeta itu saling pandang kemudian dengan ragu-ragu mereka mengangguk.

   "Ya, sedikit..." Bisik mereka perlahan.

   "Kalau begitu marilah kita turun dan berbicara di bawah!" Chin Yang Kun berkata. Mereka lalu turun bersama-sama. Seorang pendeta itu dengan sedih melihat mayat-mayat yang berserakan. Mayat-mayat kawan mereka yang secara tidak sengaja dihancur-leburkan oleh Chin Yang Kun.

   "Nah, kalian tunggu disini sebentar, aku akan mencari iblis keji itu dahulu..." Chin Yang Kun berseru kepada para pendeta itu.

   "Iblis berbaju putih itu? Ah, saudara sudah terlambat...Iblis itu telah meloloskan diri dari pintu belakang sejak tadi. Dari tadi kami melihatnya..." salah seorang dari pendeta itu memberi tahu kepada Chin Yang Kun.

   "Meloloskan diri melalui pintu belakang?" Chin Yang Kun berteriak, lalu meloncat dan berlari ke arah pintu belakang. Pintu itu memang telah terbuka. Chin Yang Kun menerobos keluar, kemudian berlari-lari ke halaman belakang, mencari iblis itu di antara bangunan-bangunan yang banyak terdapat di sana. Tapi iblis itu benar-benar telah menghilang. Semua bangunan yang ada di halaman belakang itu sunyi sepi.

   Tak seorangpun kelihatan, apalagi Song-bun-kwi yang dicari oleh pemuda itu. Yang terdapat di tempat tersebut hanyalah binatang piaraan seperti ayam dan kambing. Tiba-tiba Chin Yang Kun teringat kepada kawannya, si Pemuda Tampan yang berada di halaman depan. Hati Chin Yang Kun menjadi berdebar-debar, telinganya seperti tidak mendengar sama sekali suara pertempuran mereka. Jangan jangan telah terjadi sesuatu dengan temannya itu. Jangan jangan musuhnya yang lihai itu telah datang selagi ia berada di dalam kuil. Chin Yang Kun cepat berlari ke depan melalui halaman samping. Dan kekhawatirannya benar juga! Tempat itu telah sepi. Kawannya sudah tidak ada di tempat itu, begitu pula dengan musuh-musuhnya. Hanya bekas-bekas pertempuran mereka saja yang kelihatan di sana.

   "Kemana bocah bengal itu? Dan...kemana pula orang orang itu bersama dengannya?" Chin Yang Kun bertanya dengan gelisah. "Mungkinkah mereka memasuki kuil selagi aku berada di halaman belakang?" Chin Yang Kun bergegas meloncati tangga, lalu berlari cepat melintasi lantai pendapa. Untuk kedua kalinya pemuda itu memasuki ruangan sembahyang dari pintu depan. Matanya nanar mengawasi ruangan yang kini telah terang benderang itu. Lagi-lagi ia tak menemukan kawannya disana. Pemuda itu hanya menjumpai keempat pendeta yang tadi ditolongnya itu. Para pendeta itu telah mengumpulkan mayat kawan-kawan mereka dan berdiri menyambut kedatangannya. Wajah mereka tampak lesu dan pucat.

   "Saudara bisa menemukan iblis itu?" Chin Yang Kun tidak menjawab, kepalanya menggeleng, sementara mulutnya balik bertanya kepada mereka.

   "Apakah kalian melihat seorang pemuda tampan memasuki ruangan ini sepeninggalku tadi?"

   "Pemuda tampan...?" empat orang pendeta itu berdesah hampir berbareng. "Tidak! kami tidak melihat pemuda itu. Tak seorangpun memasuki ruang sembahyang ini sepeninggal saudara tadi..." Entah mengapa tiba-tiba Chin Yang Kun amat mengkhawatirkan nasib kawannya itu. Jangan-jangan pemuda bengal yang berwatak polos dan usianya masih sangat muda itu telah terperangkap oleh jebakan atau tipu muslihat para penunggang kuda tadi.

   "Ohh...!" Chin Yang Kun mengeluh dengan hati gelisah. Perasaannya seperti telah mencium bahaya yang mengancam kawannya. Bagaikan orang yang sedang bingung Chin Yang Kun membalikkan tubuhnya, lalu melesat ke luar ruangan lagi. Dari atas pendapa kuil pemuda itu sekali lagi mengawasi halaman depan yang sepi. Tak ada petunjuk sama sekali kemana perginya kawannya itu. Tiba-tiba wajah yang kusut itu tampak bersinar-sinar penuh harapan kembali. Mata yang sayu itu tampak bergairah dan bersemangat lagi.

   "Ah, roda pedati itu...!" bisiknya penuh harapan. Sekali berkelebat Chin Yang Kun telah berada di halaman. Dengan mata nanar pemuda itu meneliti bekas roda pedati yang ditarik menuju ke jalan raya. Alas dari roda pedati itu terbuat dari besi baja, oleh karena itu bekas yang ditinggalkan di atas tanah sungguh jelas sekali. Tanpa berpamitan lebih dahulu kepada empat orang pendeta yang menantinya di dalam kuil Chin Yang Kun pergi meninggalkan tempat itu.

   Kakinya melangkah dengan cepat mengikuti jejak roda pedati. Untunglah hari belum terlalu siang sehingga jalan itu belum banyak dilalui orang, dan bekas pedati itu masih tetap jelas serta belum terganggu dengan jejak kaki yang lain. Ternyata jejak itu berbelok ke arah jalan menuju ke luar kota. Tapi di jalan besar menuju pintu gerbang kota sebelah timur Chin Yang Kun kehilangan jejak roda itu. Di tempat itu lalu lintas sangat ramai sehingga Chin Yang Kun tak bisa membedakan lagi dengan bekas-bekas jejak roda yang lain. Pemuda itu melangkah lebih cepat dengan harapan bisa menyusul dan melihat yang diburunya. Tapi sampai di pos penjaga pintu gerbang kota, pedati itu tetap tak ditemukannya juga. Pedati itu seolah olah lenyap begitu saja dari jalan raya.

   "Hmm, jangan-jangan pedati itu menuju ke jalan kecil..." pemuda itu berpikir dalam hati. Seraya melihat ke sekelilingnya Chin Yang Kun berjalan perlahan-lahan ke pintu gerbang. Dari jauh pemuda itu melihat dua orang perajurit penjaga berdiri di bawah pintu gerbang. Kedua orang perajurit tersebut tampak bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas mereka. Dengan tombak panjang di tangan masing-masing mereka mengawasi orang orang yang lewat di depan mereka.

   "Baiklah aku bertanya kepada perajurit itu," akhirnya Chin Yang Kun memutuskan di dalam hati. Kemudian pemuda itu bergegas mendekati kedua orang penjaga tersebut. Lalu dengan hati-hati dia bertanya. "Maaf, saya sedang mencari sebuah pedati dengan muatan sebuah kotak persegi besar dari kayu...Eh, apakah tuan melihatnya?"

   "Pedati...?" salah seorang dari penjaga itu mengerutkan dahinya, kemudian lanjutnya, "Saudara maksudkan sebuah pedati kecil yang dibawa oleh sepuluh atau sebelas orang berkuda?"

   "Sepuluh atau sebelas orang berkuda? Eh, banyak benar...!" Chin Yang Kun ragu.

   "Ya, sebelas orang berkuda...! Kalau pedati itu yang saudara maksudkan, mereka membawanya ke luar kota," penjaga pintu ini memberi keterangan sambil menatap wajah Chin Yang Kun lekat-Iekat. "Ehm...apakah engkau kehilangan pedati itu?"

   "Oh, tidak! Tidak!" Chin Yang Kun cepat-cepat menjawab.

   "Mengapa tuan bisa berprasangka demikian...?" Kedua orang perajurit itu saling memandang dengan muka cemberut. Nada suaranya terdengar penasaran ketika memberi jawaban.

   "Kesebelas orang berkuda itu tampaknya bukan orang baik-baik. Tingkah laku mereka seperti perampok. Huh, mereka sampai berani pula mempermainkan petugas negara..."

   "Mempermainkan seorang petugas Negara? Apakah maksud tuan...?" Chin Yang Kun bertanya tak mengerti.

   "Hmh, lihat...!" penjaga itu menggerutu seraya memperlihatkan pakaian seragam yang kotor kepada Chin Yang Kun. "Secara licik orang-orang itu memperdayakan kami, sehingga aku terjatuh ditertawakan orang padahal aku hanya bertanya tentang pedati yang mereka bawa..."

   "Hei? Seorang pemuda tampan yang kelihatan masih amat muda? Pakaiannya bagus, mulutnya ceriwis?" Chin Yang Kun tersentak kaget. Kaget bercampur gembira karena merasa bahwa pemuda yang dimaksudkan penjaga itu tentulah kawannya yang Bengal itu. Begitu gembiranya pemuda itu sehingga ia lupa bahwa ia sedang berada di jalan raya. Tentu saja tingkah laku pemuda itu tak luput dari perhatian kedua penjaga tersebut. Dengan pandang mata bingung mereka mengawasi Chin Yang Kun.

   "Apakah saudara mengenal pemuda tampan yang dibawa oleh para penunggang kuda itu? Siapakah mereka?" penjaga itu balik bertanya kepada Chin Yang Kun. Chin Yang Kun tergagap.

   "Anu...eh, yaa...ya! pemuda itu memang saudaraku. Dia...dia telah diculik dan dibawa pergi oleh orang-orang jahat itu," Chin Yang Kun terpaksa berbohong.

   "Oh?! Jadi...saudara ini sedang mengejar mereka?" Penjaga itu menegaskan.

   "Benar!"

   "Hmm, kalau begitu...lekaslah! mereka baru saja lewat. Mungkin belum ada lima lie dari sini. Tapi...hati-hatilah! Tampaknya orang-orang jahat itu mempunyai kepandaian yang tinggi."

   "Yaa...ya, terima kasih...! Kalau begitu saya akan berangkat saja sekarang." Chin Yang Kun menganggukkan kepalanya lalu melesat keluar pintu gerbang, menuju ke jembatan gantung yang melintang di atas parit kota, yaitu parit dalam dan lebar yang mengelilingi tembok kota. Gerakannya lincah dan cepat bukan main, membuat dua orang penjaga pintu tersebut terlongong-longong kagum. Dan kekaguman mereka semakin bertambah lagi ketika menyaksikan Yang Kun mendemonstrasikan ginkangnya di atas kereta, gerobak dan pedati, yang pada saat itu secara kebetulan berjejal di atas jembatan. Tanpa mempedulikan keheranan atau kekaguman orang orang yang melihatnya Chin Yang Kun berlari bagai dikejar setan.

   Kedua buah kakinya yang melangkah dengan cepat sekali itu seperti tidak menyentuh tanah saking cepatnya. Sepintas lalu pemuda itu seperti seekor burung besar yang terbang rendah di atas tanah. Satu lie...dua lie...akhirnya lima lie telah dilalui oleh Chin Yang Kun! Tapipemuda itu tetap tidak menjumpai iring-iringan para penunggang kuda yang menyandera kawannya itu. Chin Yang Kun telah mulai gelisah kembali, meskipundemikian pemuda itu tetap berlari terus mencari orang-orang itu. Dan ketika akhirnya pemuda itu telah mencapai jarak kira-kira sepuluh lie dari kota Sin-yang hatinya mulai ragu. Bagaimanapun cepatnya mengendarai kuda, tak mungkin rasanya dalam waktu singkat bisa mencapai jarak sedemikian jauhnya. Apalagi tidak mungkin berjalan dengan cepat karena harus menyeret pedati pula.

   "Mungkin mereka telah meninggalkan pedati itu di suatu tempat dan kemudian meneruskan perjalanan mereka melalui jalan kecil yang tak biasa dilewati umum," pemuda itu membatin. Chin Yang Kun menghentikan langkahnya. Hari telah siang, tapi oleh karena langit mendung maka suasana masih tetap redup dan lembab. Dan tampaknya hari itu hujan akan turun. Beberapa orang petani kelihatan pulang membawa pacuInya. Mereka melangkah dengan tergesa-gesa seakan akan takut hujan akan segera turun. Ketika lewat di dekat Chin Yang Kun para petani itu menoleh dan mengerutkan keningnya. Keadaan tubuh Chin Yang Kun yang sangat aneh itu sungguh amat menarik perhatian mereka. Mereka menyangka Chin Yang Kun yang hanya memakai celana compang-camping dan sepatu sebelah itu adalah seorang pemuda kampung yang tidak waras otaknya.

   "Ah, agaknya perang besar beberapa tahun yang lalu telah memusnahkan seluruh keluarganya, sehingga anak itu menjadi sinting dan menderita hidupnya..." salah seorang dari petani itu berbisik kepada rekannya.

   "Kasihan...Padahal wajahnya demikian tampan dan bersih." yang Iain menyahut. Para petani itu berjalan terus, meninggalkan Chin Yang Kun yang merah padam mendengar kata-kata mereka. Tetapi kata-kata petani itu sekaligus juga menyadarkan Chin Yang Kun, bahwa pakaian yang melekat di badannya memang sungguh tidak pantas. Masa di tempat umum begini tidak memakai baju. Dan celana yang ia kenakan lebih tidak pantas lagi. Pipa celananya tinggal sebelah karena yang sebelah telah hancur dipukul Song-bun-kwi. Sementara sepatu yang melekat di kakinyapun juga tinggal sebelah saja.

   "Hmm, pakaianku memang tidak pantas. Wajar kalau orang-orang menganggapku gila atau sinting. Aku harus lekas-lekas mencari pakaian yang baik...tapi kemana lagi, aku toh tidak mempunyai uang sama sekali, sungguh repot...!" pemuda itu bergumam dengan hati yang bingung. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi tempat itu dari arah kota. Chin Yang Kun buru-buru menepi. Hatinya berdebar-debar. Kedua tangannya terkepal erat-erat, siap untuk menghajar apabila yang datang ini benar-benar para penunggang kuda yang menyandera kawannya. Debu mengepul tinggi ke udara ketika sebuah kereta penumpang datang berpacu ke tempat itu. Di antara kepulan debu yang beterbangan di belakang kereta itu tampak empat orang penunggang kuda membuntuti.

   Mereka berpacu seolah saling berkejaran atau takut akan turunnya hujan di tengah jalan. Chin Yang Kun tidak dapat segera mengenali kusir kereta ataupun para penunggang kuda yang mengikutinya. Sukar benar rasanya mengenali orang yang bergoncang di atas kereta atau kuda yang sedang berpacu dengan cepat. Apalagi debu selalu berhamburan menutupi sebagian besar dari tubuh mereka. Yang mampu ditangkap oleh mata Chin Yang Kun hanyalah perawakan dan dandanan mereka saja. Chin Yang Kun tak ingin kehilangan orang yang dicarinya,maka dengan tangkas tubuhnya melesat ke tengah-tengah jalan dan berteriak menghentikannya. Pemuda itu berpikir, lebih baik dia nanti meminta maaf bila perlu dari pada harus kehilangan buruannya
.
"Berhenti!!!" Kuda itu meringkik dengan kuatnya dan tarikan kendalinya membuat kuda itu melonjak ke atas bagaikan mau berdiri di atas kaki belakangnya. Otomatis kereta itu berhenti dengan suara derit yang gaduh. Dan suara itu makin bertambah ribut ketika empat orang penunggang kuda lainnya ikut menghentakkan kendali kudanya.

   "Hei! Ada apa ini...? Mengapa saudara berdiri di tengah jalan menghentikan kereta kami?" empat orang penunggang kuda itu maju mengepung Chin Yang Kun. Salah seorang di antaranya yang berbadan tinggi tegap dan berkumis tebal berteriak ke arah Chin Yang Kun.

   Suaranya Iantang dan keras, suatu tanda bahwa tenaga dalamnya sangat tinggi. Chin Yang Kun tidak segera menjawab pertanyaan itu. Lebih dahulu pemuda itu menatap para penunggang kuda itu satu-persatu, kalau-kalau dia bisa mengenali salah seorang di antaranya. Tapi tak seorangpun dari ke-empat orang itu yang wajahnya mirip dengan penunggang kuda yang menyandera kawannya itu. Sementara itu sejak menghentikan keretanya, si kusir yang bertubuh besar dan berjenggot lebat itu tampak menatap wajah Chin Yang Kun dengan mata terbelalak. Beberapa kali orang itu mengusap-usap matanya seolah-olah tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Baru setelah Chin Yang Kun menoleh ke kereta dan mereka saling berpandangan sejenak, pengendara kereta itu tiba-tiba berteriak dan meloncat turun!

   "Yang-hiante...! kau kah ini?"

   "Hah? Liu-Twako...?" Chin Yang Kun berteriak pula dengan kagetnya. Pemuda itu menghambur ke arah pengendara kereta yang tidak lain adalah penyamaran dari Baginda Kaisar Han itu! Mereka berpelukan dengan erat, seakan-akan mereka betul betul saudara kandung yang telah lama tak berjumpa. Tentu saja peristiwa yang tak disangka-sangka ini sangat mengejutkan para pengawal Kaisar Han! Empat orang penunggang kuda dan seorang lagi yang duduk di dalam kereta, turun dari kendaraan mereka dengan mulut terlongong-longong. Semuanya sibuk menduga-duga, siapakah sebenarnya pemuda yang berpakaian seperti gelandangan itu? Mengapa junjungan mereka yang kini sedang menyaru sebagai kusir kereta itu tiba-tiba berpelukan dengan pemuda tersebut?

   "Ah, Yang-hiante...aku sungguh tak percaya bisa bertemu lagi denganmu. Ternyata kau masih hidup. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Kata para perajurit istana itu kau jatuh ke dalam telaga di belakang istana dan kemudian tenggelam tak timbul lagi. Lalu...lalu apa sebenarnya yang terjadi padamu?" dengan nada ingin tahu Kaisar Han bertanya kepada Chin Yang Kun. Kedua sahabat itu saling melepaskan pelukan mereka masing-masing. Kaisar Han meletakkan tangan kanannya di pundak Chin Yang Kun, sementara pemuda itu sendiri tampak malu-malu mengawasi pakaiannya yang compang-camping.

   "Wah, kalau diceritakan...sungguh panjang sekali. Bisa sehari semalam kita berdiri di sini..." Chin Yang Kun menjawab.

   "Ahaa...kau benar, Yang-hiante. Kalau begitu, marilah sekarang kau ikut aku saja! Pengalamanmu tentu hebat sekali. Lihat, kau sampai berpakaian begini rupa...! Hahahaa...kakakmu ini sungguh ingin sekali mendengar ceritamu." Chin Yang Kun terpaksa tertawa juga meskipun agak malu malu. Tapi sekejap kemudian wajah pemuda itu berubah menjadi lesu kembali.

   "Ah, sungguh sayang sekali Twako. Kali ini adikmu belum bisa memenuhi undanganmu. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan."

   
"Ahhh...!" Kaisar Han tiba-tiba berdesah dengan kecewa sekali. "Sungguh sayang sekali...Tapi apa sebenarnya urusanmu itu? Bolehkah Twakomu ini membantu menyelesaikannya?"

   "Terima kasih, Twako...! Tidak usah! Aku bisa menyelesaikannya sendiri. Percayalah...Dan begitu urusan itu selesai...aku tentu akan lekas-lekas mengunjungimu. Bukankah Twako masih tinggal di istana Kaisar Han?" Kaisar Han tergagap. Wajahnya tampak kikuk, apalagi ketika beradu pandang dengan para pengawalnya yang semakin tampak bingung mendengarkan percakapan mereka.

   "Yaa...yaa, tentu saja. Aku masih tinggal...tinggal di komplek istana seperti dulu. Cuma...cuma, kalau engkau hendak mengunjungi aku...ha...harap kau memberi tahu aku lebih dahulu." Sukar benar rasanya bagi Kaisar Han untuk berbicara tentang dirinya kepada Chin Yang Kun karena sejak semula Baginda telah terlanjur berbohong kepada pemuda itu. Chin Yang Kun menatap Kaisar Han sesaat, kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya dengan pandang mata mengerti.

   "Tentu saja, Twako. Aku tahu kau sangat sibuk dan jarang sekali berada di rumah, karena kau adalah perwira kepercayaan Baginda Kaisar Han yang sering diutus ke luar daerah."

   "Ya...ya...ya!" Kaisar Han mengangguk-angguk pula dengan mulut meringis.

   "Lalu hari ini kau mendapat tugas ke mana, Twako? Menyelidiki pemberontak-pemberontak itu?"

   "Pemberontak-pemberontak? Eh, kau tahu pula tentang para pemberontak itu?" Kaisar Han berseru kaget. Otomatis jari-jari Baginda yang berada di atas pundak Chin Yang Kun itu mencengkeram dengan kuatnya. Pemuda itu meringis sehingga Kaisar Han menjadi sadar.

   "Eh-oh, maafkan...!" Baginda meminta maaf. Chin Yang Kun tersenyum maklum.

   "Twako, sebenarnya akupun tidak tahu menahu pula tentang para pemberontak itu. Aku hanya mendengar berita itu dari Chu-Twako dan dari Yap-Siauwhiap..."

   "Dari Chu Seng Kun dan Yap Kiong Lee maksudmu?"

   "Ya!"

   "Ohh!" Kaisar Han menghembuskan napasnya kuat-kuat. Lalu,

   "Begini, adikku, perjalananku ini selain untuk keperluan pribadiku sendiri, aku memang bermaksud untuk membuktikan sendiri kebenaran laporan Hong-lui-kun Yap Kiong Lee tentang para pemberontak itu."

   "Laporan Hong-lui-kun Yap Kiong Lee? Eh, Twako..., apakah kedudukanmu itu lebih" lebih tinggi dari pada pendekar ternama itu di istana?" dengan sinar mata polos Chin Yang Kun memandang kagum ke arah Liu-Twakonya.

   "Ehh-ooh-eeh...yaa...ya!" Kaisar Han yang hampir saja kelepasan omong itu tergagap hampir tersedak.
"Ohh, lalu urusan pribadi apakah yang hendak kau selesaikan selain urusan para pemberontak itu?" Chin Yang Kun bertanya lagi.

   "Ah, cuma urusan kecil saja. Aku ingin mengunjungi desaku lagi. Telah lama aku meninggalkannya, yaitu sejak aku berangkat ke Kotaraja dan menjadi perwira di istana. Aku kepingin melihat desaku dan mengenangkan kembali masa masa kecilku di sana..."

   "Desa yang pernah kau ceritakan kepadaku itu, Twako? Ah, kau bohong...! Aku tahu kau bukannya mau melihat desamu kembali, tapi kau sebenarnya hanya mau meIihat bekas anak kepala desa itu, bukan? Twako masih penasaran karena lamaranmu dahulu ditolak oleh ayahnya. Kini setelah Twako memperoleh jabatan tinggi, Twako mau kembali ke desa itu untuk membalas dendam kepada orang-orang yang pernah menggagalkan pernikahanmu itu. Bukankah begitu, Twako?" dengan tersenyum Chin Yang Kun menggoda Kaisar Han.

   "Wah, mana aku berani..." Kaisar Han tersipu-sipu malu, apalagi di hadapan para pengawalnya yang tak tahu menahu tentang cerita itu.

   "Hahaha...Twako, kalau begitu...silahkan! Adikmu tidak berani menahanmu lebih lama lagi. Twako tentu sudah tidak tahan lagi untuk lekas-lekas...melihat desa itu. Hahahah...!" Chin Yang Kun meneruskan godaannya seraya meloncat minggir.

   "Ah, kau...!" Kaisar Han terpaksa mengumpat. Chin Yang Kun tertawa lepas.

   "Sudahlah, Twako...aku pergi dulu. Besok saja kalau aku berkunjung ke tempatmu, kau harus bercerita tentang perjalananmu ini kepadaku! Aku benar-benar ingin mendengarnya..."

   "Hei, nanti dulu! Dimanakah pakaianmu? Apakah engkau memang tidak mempunyai pakaian yang lain lagi?" Kaisar Han buru-buru berteriak ketika Chin Yang Kun mulai beranjak untuk meninggalkan tempat itu. Chin Yang Kun tidak jadi melangkahkan kakinya. Tiba-tiba pemuda itu menjadi ingat akan keadaannya. Sesaat kemudian hatinya menjadi ragu-ragu. Ingin benar mulutnya berkata tentang kantongnya yang kosong, perutnya yang lapar dan lain sebagainya. Tapi ketika matanya memandang para pengawal Twakonya, keinginan itu segera menjadi surut kembali. Tapi keragu-raguan Chin Yang Kun itu tampaknya dapat dirasakan juga oleh Kaisar Han. Orang tua itu seperti tahu akan keseganan hati sahabat mudanya.

   "Yang-hiante, terimalah ini untukmu! Dan jangan lupa janjimu untuk mengunjungi aku besok...Awas kalau kau lupa!" Kaisar Han berteriak sambil melemparkan sebuah pundi-pundi uang kepada Chin Yang Kun. Dan sekejap kemudian Kaisar Han telah meloncat ke atas keretanya dan mengajak para pengawalnya pergi. Chin Yang Kun justru menjadi termangu-mangu malah. Beberapa saat lamanya pemuda itu hanya bisa mengawasi kepergian Liu-Twakonya. Baru beberapa saat kemudian pemuda itu tersadar. Segera dibukanya pundi-pundi pemberian Twakonya tadi.

   "Hai...??" pemuda itu berseru tanpa terasa. "Banyak benar? Untuk apa uang sebanyak ini bagiku? Masakan aku harus memborong semua pakaian yang ada di dalam toko?" Pemuda itu ingin berteriak lagi untuk memanggil LiuTwakonya, tapi mereka telah jauh meninggalkan jalan itu.

   "Ah, biarlah...! Besok juga uang kelebihannya akan kukembalikan..." akhirnya pemuda itu berkata di dalam hati. Chin Yang Kun berjalan kembali ke kota Poh-yang. la tetap berniat untuk mencari kawannya yang hilang itu. Di tengah jalan banyak orang yang memperhatikan dirinya, sehingga lama-lama hatinya menjadi risih juga. Maka dari itu ia mempercepat langkahnya, dengan harapan dapat lekas-lekas mencapai kota Poh-yang kembali. Dan di sana ia akan segera membeli pakaian yang bagus.

   Ketika sampai di sebuah tikungan Chin Yang Kun melihat beberapa orang petani yang tadi menyangka dia sebagai gelandangan yang sinting. Mereka berjalan perlahan-lahan beberapa puluh langkah di depannya. Tiba-tiba Chin Yang Kun ingin menggoda mereka. Tapi niat tersebut segera diurungkannya ketika dilihatnya salah seorang diantaranya tidak berjalan seperti biasanya. Orang itu berjalan terpincang-pincang dan dibantu oleh dua orang temannya. Tampaknya orang itu baru saja mendapatkan kecelakaan. Tapi oleh karena langkah pemuda itu sudah terlanjur mendekati mereka, maka pemuda itu terpaksa melanjutkan langkahnya yang cepat, sehingga beberapa saat kemudian petani itu telah dilaluinya. Petani-petani itu menoleh, dan mengawasi Chin Yang Kun. Dan begitu mereka tahu siapa yang lewat, mereka menggerundel,

   "Ah, lagi-lagi si Sinting yang datang. Sungguh menyebalkan dan membuat sial orang saja...!" salah seorang diantaranya berkata sedikit keras sehingga didengar oleh Chin Yang Kun. Gatal juga telinga Chin Yang Kun mendengarnya. Pemuda itu berhenti dengan tiba-tiba, kemudian membalikkan tubuhnya. Matanya yang mencorong bagaikan mata harimau itu menatap para petani itu.

   "Siapakah yang berbicara tadi? Majulah...!" gertaknya. Ternyata petani yang pincang itulah yang maju. Sambil menepiskan lengan kedua orang kawan yang membantunya petani itu bertolak pinggang di depan Chin Yang Kun. Kawan-kawannya berusaha untuk menyabarkannya, tapi si Pincang itu tetap tak mau mendengarkan nasehat mereka.

   "A Yung, sudahlah...tak perlu dilayani! Tidak ada gunanya! Dengarlah, apa kata orang nanti terhadapmu?"

   "Persetan! Karena berjumpa dengan bocah sinting ini nasib kita menjadi sial. Karena nasib sial yang menempel pada kita itu kita lalu memperoleh nasib yang jelek. Coba kalau kita tidak ketularan nasib siaInya, masakan kita sampai dihajar oleh para penunggang kuda itu?" Si Pincang itu tetap ngotot mau melayani Chin Yang Kun.

   "Tapi...apa hubungannya bocab ini dengan mereka? Bukankah kita sendiri yang bersikap kurang sopan terhadap mereka tadi? Jadi..." salah seorang kawan si Pincang masih tetap berusaha menyadarkannya.

   "Diam! Menyingkirlah kalau kau takut! Ingatlah! Kesialan itu akan selalu membuntuti kita kalau kita tidak berusaha menyingkirkan sumbernya...!" Si Pincang berteriak. Tetapi teriakan itu tiba-tiba terputus dan berubah menjadi jeritan ketakutan ketika mendadak tubuh yang pincang tersebut diangkat oleh Chin Yang Kun dan diputar-putar di atas kepala. Gerakan Chin Yang Kun demikian cepatnya sehingga tak seorangpun dari para petani itu yang mampu melihat bagaimana hal itu bisa terjadi. Tahu-tahu pemuda sinting itu telah berada di depan mereka dan...Si Pincang telah berputar cepat seperti baling-baling! Kawau-kawan dari Si Pincang itu mundur ketakutan. Tubuh mereka gemetar dan tak tahu apa yang harus mereka kerjakan untuk menolong Si Pincang.

   "Lekas katakan! Apakah penunggang kuda yang bertemu dengan kalian itu membawa seorang pemuda tampan? Kemanakah mereka sekarang pergi?" Chin Yang Kun membentak keras sekali, sehingga para petani itu semakin ketakutan.Saking kaget dan takut, tak seorangpun yang bisa menjawab malah!

   "Lekas katakan! Atau...kalian ingin melihat kawanmu ini kubanting hancur?"

   "Ja...jangan! Kasihanilah dia!"

   "Kalau begitu cepat jawab pertanyaanku tadi!"

   "Ba...baik! Ka...kami memang bertemu dengan para penunggang kuda itu. Mereka...mereka kami lihat memang membawa se...seorang pemuda tampan. Pemuda itu diikat kedua tangannya..."

   "Cepat! Kemana mereka itu sekarang?" Chin Yang Kun membentak tak sabar.

   "Anu...anu...mereka pergi ke arah bukit itu!" petani itu berkata seraya menunjuk ke arah bukit di sebelah kiri mereka, yaitu sebuah bukit kecil yang diselimuti oleh hutan lebat, jauhnya sekitar lima lie dari tempat itu.

   "Ah! Makanya aku tak bisa menemukan mereka, tak tahunya mereka benar-benar membelok ke arah bukit itu," Chin Yang Kun berdesah sambil menurunkan korbannya. Lalu bergegas meloncat pergi meninggalkan para petani itu. Sebentar saja bayangannya telah hilang ditelan hutan yang masih banyak terdapat di sekitar tempat tersebut. Sepeninggal Chin Yang Kun para petani itu segera tersadar dari keterkejutan mereka. Bergegas mereka menghampiri Si Pincang dan menolongnya berdiri.

   "Nah, apa kataku...? Sudah kukatakan agar kau tidak terburu nafsu tadi..." petani yang tadi berusaha menyabarkan hati Si Pincang menegur kawannya yang sial itu.

   "Yaaa, sungguh tidak kusangka kepandaiannya hebat bukan main. Agaknya justeru lebih hebat dari pada para penunggang kuda tadi," yang lain berkata pula.

   "Untunglah A Yung tidak dibunuhnya..." yang lain lagi ikut menyahut. Sementara itu Chin Yang Kun dengan cepat telah menerobos hutan tipis yang tumbuh di sekitar tempat itu. Dan sebentar kemudian pemuda itu telah tiba di kaki bukit yang tadi dikatakan oleh kawan Si Pincang. Chin Yang Kun berdiri sejenak di bawah sebuah pohon besar. Matanya memandang ke puncak bukit yang tertutup oleh hutan lebat. Puncak itu sebenarnya tidak begitu tinggi, tapi oleh karena dari atas sampai ke bawah bukit tersebut dipenuhi dengan pohon-pohon besar, maka bukit itu tampak angker dan menakutkan. Tiba-tiba pemuda itu tersentak dari lamunannya. Lapat lapat telinganya mendengar denting suara senjata beradu.

   Menilik suaranya Chin Yang Kun bisa memastikan bahwa suara itu tentu berasal dari sebuah pertempuran yang berlangsung tidak jauh dari tempat itu. Oleh karena itu Chin Yang Kun cepat-cepat berlari mendekati. Pemuda itu sudah tidak tahan lagi untuk segera mengetahui nasib kawannya yang dibawa oleh para penunggang kuda itu. Di sebuah tempat yang lapang di lereng bukit itu Chin Yang Kun melihat belasan orang lelaki bersenjata bertempur dengan seru. Tidak jauh dari arena pertempuran tampak empat buah kereta sorong yang biasa digunakan untuk mengangkat barang. Dan diatas salah satu kereta itu tertancap sebuah bendera besar, lambang dari sebuah perusahaan pengangkutan barang atau piauw-kiok, yaitu seekor naga berwarna kuning keemas-emasan di atas dasar kain merah menyala.

   "Kim-liong Piauw-kiok..." Chin Yang Kun berdesah di dalam hati. "Agaknya perusahaan angkutan barang itu sedang bertemu dengan perampok. Biarlah aku tak usah mencampuri urusan mereka...Eh? Siapa itu?"

   Chin Yang Kun mengerutkan dahinya. Setelah mendekati pertempuran pemuda itu segera mengenal siapa yang sedang berkelahi. Di antara belasan orang anggota Kim-Iiong Piauw kiok itu Chin Yang Kun segera mengenal empat orang di antaranya. Mereka adalah murid-murid ketua Kim-liong Piauwkiok sendiri yang dahulu pernah ditolongnya ketika mereka berselisih dengan anak buah Keh-sim Siauwhiap. Sedangkan lima orang lelaki yang bertempur dengan mereka itu segera dikenal pula oleh Chin Yang Kun. Orang-orang itu tidak lain adalah Siauw-ongya dan anak buahnya, yang dahulu juga pernah bertempur dengan Chin Yang Kun di desa Hok-cung, yaitu ketika Siauw-ongya itu bersama ribuan anak buahnya menyerang dan menduduki desa Hok-cung!

   "Huh, pangeran palsu itu sekarang berada di sini pula. Apa hubungannya dengan para penunggang kuda itu? Kenapa dia bertempur dengan rombongan Kim-liong Piauw kiok? Di manakah pengikutnya yang ribuan jumlahnya itu? Dan...di mana pula Si Pendekar Gila Souw Thian Hai?"

   Chin Yang Kun yang segera mengenali orang itu cepat-cepat menyembunyikan dirinya. Siapa tahu rombongan Siauw-ongya itu berada di sekitar tempat ini juga sekarang. Dari tempat persembunyiannya pemuda itu dapat menyaksikan dengan jelas pertempuran mereka. Orang yang disebut Siauw-ongya itu dikeroyok oleh empat orang murid ketua Kim-liong Piauw-kiok, sementara empat orang anak buah Siauw-ongya tersebut bertempur beramai-ramai melawan sepuluh atau sebelas orang anggota Kim-liong Piauw kiok. Semuanya bertempur mati-matian dengan mempergunakan senjata andalan mereka masing-masing, kecuali orang yang disebut Siauw-ongya oleh anak buahnya tersebut. Meskipun dikeroyok empat orang, Siauw-ongya itu tidak memegang senjata gendewa andalannya.

   Gendewa atau busur panah itu masih tergantung di pinggangnya, lengkap dengan anak panahnya. Biarpun demikian kedua belah lengannya yang telanjang ini ternyata tidak kalah berbahayanya dengan cambuk-cambuk empat orang pengeroyoknya. Sabetan sisi tangannya ternyata juga sama tajamnya dengan sabetan cambuk lawannya. Dan yang semakin membuat lawan-lawannya gemetar ketakutan adalah kemampuan Siauw-ongya itu membakar udara sekeliling mereka. Kadang-kadang begitu panasnya udara yang keluar dari tubuh Siauw-ongya itu sehingga para pengeroyoknyamerasa seperti sedang berada di dalam tungku yang mendidih! Dari tempat persembunyiannya Chin Yung Kun segera dapat menebak apa yang telah terjadi karena pemuda itu juga sudah pernah bertempur dengan Siauw-ongya tersebut.

   Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tampaknya keempat orang jago muda Kim-liong Piauwkiok itu takkan bisa bertahan lebih lama lagi. Kepandaian mereka memang belum bisa disejajarkan dengan kepandaian Siauw-ongya itu..." Sebaliknya belasan anak buah Kim-liong Piauw-kiok yang jauh lebih banyak jumlahnya itu ternyata dengan mudah dapat menindih dan menguasai empat orang lawan mereka. Keempat orang pengikut Siauw-ongya itu benar-benar tak berdaya melawan keroyokan orang-orang Kim-liong Piauwkiok, sehingga beberapa saat kemudian mereka telah sungguh-sungguh berada dalam kesulitan yang hebat.

   Keempat orang itu sudah tidak dapat lagi berdiri berdekatan satu sama lain, sehingga otomatis mereka sudah tidak bisa lagi saling tolong menolong atau membentuk pertahanan bersama. Kini mereka berempat telah tercerai-berai, berjauhan dan harus bertempur sendiri-sendiri melawan beberapa orang musuh mereka. Tentu saja akibatnya sungguh berat bagi mereka. Satu lawan satu saja belum tentu menang, apalagi harus menghadapi banyak orang. Ketika salah seorang dari pengikut Siauw-ongya itu terjengkang ke belakang karena kakinya terperosok ke dalam lobang, maka tiga orang pengeroyoknya segera memanfaatkannya. Tiga bilah pedang secara bersamaan segera menghunjam ke dalam tubuh pengikut Siauw-ongya yang sial itu. Darah memercik berbareng dengan hilangnya nyawa orang itu!

   Dan kematian orang itu ternyata bagaikan sebuah sumbu kematian yang telah disulut untuk mengawali kematian kematian lainnya. Secara berurutan ketiga orang kawannya menyusul pula dengan kematian yang tidak kalah ngerinya. Mendengar jerit-jerit kematian para pengikutnya Siauw-ongya itu segera menyadari kecerobohannya. Tak seharusnya ia membiarkan pengikutnya yang hanya berjumlah empat orang itu menghadapi sekian banyak musuh. la lupa bahwa pengawal setianya, Hong-gi-hiap Souw Thian Hai, sedang ia suruh pergi ke kota Poh-yang. Tapi rasa penyesalannya itu telah terlambat, sehingga sisa-sisa pengikutnya yang tinggal empat orang saja itu kini juga telah meninggalkan dirinya. Dan dengan tidak beradanya Hong-gi-hiap Souw Thian Hai di sisinya, berarti ia sekarang menjadi sebatang kara.

   "Kurang ajar! Kalian memang sudah bosan hidup! Lihat senjata...!" Siauw-ongya itu berteriak marah. Ternyata rasa sesal itu mengakibatkan atau menimbulkan kemarahan yang meluap-luap di hati pangeran tersebut. Sambil menjerit marah orang itu mencabut busur dan panah yang terselip di atas pinggangnya. Kemudian dengan menghentakkan seluruh kekuatannya pangeran yang kini sudah tak mempunyai pengikut lagi itu menyerbu ke arah musuh-musuhnya. Mula-mula empat orang pengeroyoknya itu yang menjadi korban amukannya. Begitu busur panahnya menyapu ke depan dengan jurus Melihat Sasaran di Balik Lautan, anak anak panah yang tergenggam di dalam tangan kanannya tiba-tiba melesat cepat ke arah para pengeroyoknya.

   Semua itu dilakukannya dengan sangat cepat dan dengan kekuatan yang amat dahsyat. Empat orang murid Ketua Kim-liong Piauw-kiok itu masih berusaha untuk mengelakkan sapuan busur lawannya. Tapi hawa panas yang bertiup dari tubuh Siauw-ongya itu sungguh amat menyesakkan napas mereka, sehingga sangat mengganggu juga gerakan mereka. Akibatnya salah seorang diantaranya terpaksa terlambat menggerakkan badannya, sehingga busur panah tersebut sempat menghantam remuk kepalanya. Tapi nasib ketiga orang lainnyapun ternyata juga tidak jauh bedanya dengan kawan mereka itu. Mereka bertiga dengan susah payah bisa meloloskan diri dari serangan tersebut, tetapi melesatnya anak-anak panah itu benar-benar di luar perhitungan mereka. Apalagi kematian saudara seperguruan mereka masih sangat mencekam kesadaran mereka.

   "Crep! Crep! Crep!"

   "Aduh...!"

   "Aaaarrgh!"

   "Ouwghh...!" Ketiga orang itu menggeliat kemudian jatuh terkapar di tanah dengan anak-anak panah yang hampir menembus tubuh mereka. Beberapa saat mereka masih tampak bergerak gerak meregang nyawa. Tapi sebentar kemudian lalu diam. Mati. Tapi mata Chin Yang Kun yang amat tajam segera melihat bahwa salah seorang di antaranya, yang tertancap anak panah di perutnya, sebenarnya belum mati. Orang itu berpura-pura mati agar tidak dibunuh oleh musuh mereka yang lihai itu. Siauw-ongya itu tertawa dengan sombongnya. Tangannya bertolak pinggang, matanya melotot, sehingga belasan orang Kim-liong Piauw-kiok yang kini telah kehilangan para pimpinan mereka itu menjadi gemetar ketakutan.

   Orang-orang yang sebenarnya telah terbiasa hidup dalam dunia kekerasan itu kini terpaksa harus menyaksikan kematian para pimpinan Kim-liong Piauw kiok. Hati belasan orang itu menjadi kecut dan takut, karena selama ini mereka selalu mengandalkan kegagahan dan kehebatan para pimpinan mereka itu. Selama ini mereka selalu melihat para pimpinan mereka itu tak pernah dikalahkan orang, sehingga kenyataan yang mereka hadapi sekarang ini benar-benar sangat meruntuhkan keberanian dan semangat mereka. Delapan orang itu benar-benar telah menjadi ketakutan sebelum mereka maju bertempur. Keadaan orang-orang Kim-liong Piauw-kiok itu bukannya menyentuh hati atau perasaan kasihan dari Siauw Ong ya, tapi sebaliknya justeru semakin membakar kemarahannya.

   

Darah Pendekar Eps 35 Darah Pendekar Eps 3 Darah Pendekar Eps 7

Cari Blog Ini