Pendekar Penyebar Maut 45
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 45
"Ah, bodoh benar aku ini! Jangankan cuma perwira-perwira ini, sedang Yap Tai-Ciangkun yang berkedudukan sangat tinggi itu masih menjadi bawahannya juga." Chin Yang Kun berkata di dalam hatinya. "Kalau begitu tidak heran kalau mereka juga sangat menghormati aku..." lima orang pelayan cantik yang mengantar Chin Yang Kun tadi datang membawa cangkir dan minuman. Mereka meletakkan cangkir-cangkir itu di depan Chin Yang Kun dan para perwira tadi dan mengisinya dengan arak putih yang sedap dan harum. Setelah itu mereka membuka tutup makanan yang mereka sediakan di atas meja itu dan mempersilakan semuanya untuk memulainya.
"Terima kasih!" Siangkoan Ciangkun mengangguk, kemudian merogoh saku dan mengeluarkan beberapa keping uang perak untuk hadiah mereka. "Nih, kalian bagi yang rata!"
"Terima kasih, Siangkoan Ciangkun..." gadis-gadis itu tersenyum dengan gembira.
"Nah, Tuan Yang...marilah kita makan dulu seadanya!" setelah para pelayan itu pergi Siangkoan Ciangkun mempersilakan Chin Yang Kun dan yang lain untuk makan. Chin Yang Kun terpaksa menurut juga. Sambil makan mereka berbicara tentang apa saja, sehingga akhirnya mereka berbicara tentang tugas yang sedang mereka lakukan di daerah itu.
"Jadi...peralatan-peralatan perang yang berada di jalan itu memang sengaja Ciangkun bawa untuk menghadapi gerombolan-gerombolan perusuh itu?" Chin Yang Kun bertanya kepada Siangkoan Ciangkun.
"Benar! Menurut laporan Hong-lui-kun Yap Kiong Lee kepada Hongsiang, kekuatan mereka yang terbesar berada di daerah ini. Oleh sebab itu Hongsiang sengaja mengirimkan pasukan-pasukan terbaiknya ke sini, dan dipimpin langsung oleh...eh, oleh Liu-Ciangkun sendiri!" Chin Yang Kun mengangguk-angguk karena diapun beberapa kali melihat pasukan-pasukan tersebut tersebar di beberapa tempat, termasuk pula diantaranya adalah pasukan yang dipimpin oleh Kim Cian-bu itu!
"Jadi...jadi Baginda telah mencium adanya rencana pemberontakan itu dari Hong-lui-kun Yap Kiong Lee? Tapi mengapa...malahan tak kulihat pendekar sakti dan Yap Tai-Ciangkun itu disini...?" sambil lalu Chin Yang Kun menanyakan kakak beradik yang sangat terkenal itu.
"Ah, mereka berdua telah mendapat tugas sendiri dari Hongsiang, dan tugas mereka justru lebih berat dari pada tugas kami disini. Mereka harus melacak dan menangkap para pimpinan gerombolan perusuh itu, yang tempatnya telah diketahui pula oleh Hong-lui-kun Yap Kiong Lee. Dan karena dikhabarkan bahwa pimpinan gerombolan tersebut dan para pembantu utamanya berkepandaian sangat tinggi, maka Hongsiang mengikutsertakan juga pasukan Sha-cap mi-wi untuk membantu gerakan mereka."
Sekali lagi Chin Yang Kun hanya mengangguk-angguk, karena dia juga telah tahu siapa pemimpin gerombolan itu dan para pembantunya. Memang kalau cuma pasukan biasa saja tidak mungkin dapat menangkap Hek-eng-cu dan para pembantunya yang lihai-lihai itu. Pembicaraan itu lalu berhenti untuk beberapa saat lamanya. Masing-masing tampak sedang sibuk menghabiskan bagian-bagian terakhir dari makan malamnya. Hidangan makan malam tersebut benar-benar lezat sehingga Chin Yang Kun dan para perwira itu merasa puas sekali. Seluruh masakan yang berada di atas meja itu betul-betul istimewa sehingga rasa-rasanya mereka segan untuk menghentikan makan malam mereka. Tetapi perut mereka ternyata tidak bisa memuatnya lagi. Sambil mengisi cangkirnya lagi Siangkoan Ciangkun menatap Chin Yang Kun.
"Nah, Tuan Yang...puas bukan? Sekarang marilah kita nikmati sebuah hiburan lagi! Ayoh, kalian mulailah...!" Perwira berkumis lebat itu bertepuk tangan dan tiba-tiba Chin Yang Kun dikejutkan oleh suara kecapi yang mendadak berdenting nyaring memenuhi ruangan pendapa yang luas tersebut.
Dan seperti juga datangnya suara kecapi yang sangat mengejutkan itu, tiba-tiba dari pintu dalam muncul pula dengan mendadak belasan orang penari cantik, berlari berurutan ke tengah-tengah pendapa tersebut. Sambil berlari mereka mengibas-ngibaskan kipas yang mereka bawa ke kanan dan ke kiri bersama-sama, sementara pakaian mereka yang berwarna-warni itu berkibaran seperti bunga mekar yang bergetar tertiup angin. Kemudian mulailah gadis-gadis itu menggerak-gerakkan tubuh mereka dengan indahnya. Berbareng dengan denting suara kecapi yang semakin panas tubuh merekapun bergerak semakin cepat dan menggairahkan. Mereka melangkah, meliuk dan berputar bersama-sama dengan lemah gemulai, membikin semua orang terpaksa menahan napas tanpa berkedip!
"Ahhh...!" Chin Yang Kun berdesah tanpa terasa. Siangkoan Ciangkun menoleh dan...tersenyum melihat air muka Chin Yang Kun yang mulai terbakar itu.
"Tuan Yang, coba kau lihat mereka itu! Cantik-cantik, bukan?" perwira itu mencoba untuk menjajagi hati Chin Yang Kun. "Eeh, manakah yang tercantik menurut pendapat Tuan Yang?" Chin Yang Kun tersentak kaget. Mukanya menjadi merah seketika. Tapi sebaliknya gairah yang mulai menyala di dalam tubuh itu menjadi padam malah!
"Ah...eh...oh, Ci...Ciangkun ini ada-ada saja! Aku...aku tidak sedang memikirkan para penari itu. Aku sedang berpikir tentang..."
"Oooh, aku tahu! Tuan Yang telah terlanjur jatuh hati kepada para pelayan tadi, bukan? Hehehe...jangan khawatir! Mereka akan kusuruh menemani Tuan Yang nanti." Siangkoan Ciangkun cepat-cepat memotong perkataan Chin Yang Kun.
"Ahhhh!" Chin Yang Kun berdesah lagi dengan hati berdebar-debar. Satu persatu wajah para pelayan itu berkelebat di depan matanya. Namun dengan menggeretakkan giginya pemuda itu berusaha menghapus bayangan-bayangan tersebut.
"Terima kasih, Siangkoan Ciangkun. Aku benar-benar tidak sedang memikirkan siapa-siapa. Aku hanya ingin lekas-lekas bertemu dengan Liu-Twako. Dan...sejak tadi Siangkoan Ciangkun belum mengatakan kepadaku, dimana Liu-Twako sekarang berada..."
"Hah? Ooo...benar...benar! mengapa aku menjadi orang linglung begini? Sejak semula seharusnya aku sudah tahu bahwa kedatangan Tuan Yang kemari ini tentu hendak bertemu dengan Liu-Ciangkun, hahaha..." perwira berkumis lebat itu tertawa.
"Maafkanlah aku, Siangkoan Ciangkun..." Chin Yang Kun tersenyum pula.
"Hahaha...akulah yang seharusnya meminta maaf kepada Tuan Yang. Tapi...sudahlah, sebentar juga Liu...Liu-Ciangkun akan datang. Sejak siang tadi beliau ikut Hongsiang pergi berburu."
"Hongsiang...? Berburu...?" Chin Yang Kun terbelalak matanya. Tiba-tiba pemuda itu teringat pada pasukan besar yang melintasi jalan raya sore tadi. Tapi Siangkoan Ciangkun menyangka bahwa kekagetan tamunya itu disebabkan karena hadirnya Hongsiang di kota Sin-yang. Oleh karena itu diam-diam Siangkoan Ciangkun tertawa di dalam hati. Perwira yang telah diberitahu oleh Baginda tentang sandiwara "Liu-Twako" atau Liu-Ciangkun" itu benar-benar tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan pemuda itu kalau nanti akhirnya tahu bahwa orang yang selama ini ia anggap sebagai "Liu-Twako" itu ternyata adalah Kaisar Han sendiri.
"Maaf...aku tadi belum mengatakan pula kepada Tuan Yang tentang kedatangan Hongsiang kemari." Perwira itu cepat-cepat berkata. "Pagi tadi seluruh pasukan kamipun juga terkejut melihat kedatangan Hongsiang di kota ini! Apalagi Hongsiang hanya dikawal oleh empat orang perwira kepercayaannya..."
"Oooh! Tapi...tapi sore tadi kulihat sebuah pasukan besar dan lengkap menuju ke bukit di sebelah utara kota ini. Dan...aku melihat juga bendera Hong-thian-liong-cu diantara mereka. Masakan untuk berburu saja Hongsiang membawa Liu-Twako dan pasukan sebesar itu?"
"Hei...jadi Tuan Yang telah berjumpa dengan pasukan Hongsiang tadi? Ah, kalau begitu mereka cuma berada di sekitar kota ini saja sekarang," perwira berkumis lebat itu menatap Chin Yang Kun dengan perasaan lega.
"Lhoh...memangnya kemana Hongsiang pergi berburu?" Chin Yang Kun bertanya dengan wajah sedikit curiga. Masakan perwira-perwira itu tak tahu dimana Hongsiang sedang berburu?
"Eh-oh, maaf...Tuan Yang! Berburu itu cuma istilah yang kami pakai untuk gerakan kami dalam menumpas gerombolan perusuh itu. Maaf..." Siangkoan Ciangkun cepat-cepat memberi keterangan.
"Ohh...!" Keduanya lalu menatap ke depan lagi, melihat ke arah para penari yang ternyata telah mulai menutup bagian terakhir dari tari-tarian mereka. Para penari itu tampak berdiri berjajar sambil meletakkan kipas di dada masing-masing, lalu secara berbareng mereka membungkuk ke arah Chin Yang Kun dan para perwira itu. Setelah satu persatu mereka berlari mengundurkan diri ke ruangan dalam lagi. Sekejap kemudian tempat itu menjadi riuh dengan tepuk tangan para perajurit dan pengawal yang ternyata telah memadati pintu pendapa. Mereka berdiri berdesakan di belakang para penjaga yang membatasinya dengan tombak mereka yang panjang.
"Lagi! Lagi! Lagi...!" mereka berteriak. Siangkoan Ciangkun tersenyum memandang Chin Yang Kun.
"Lihat, Tuan Yang...! para perajurit kami itu benar benar haus akan hiburan. Mereka merasa bosan juga tampaknya kalau setiap hari harus bertempur dan berkelahi." Chin Yang Kun tersenyum pula.
"Yaaa...dan tampaknya Siangkoan Ciangkun memang bermaksud untuk menghibur mereka pula."
"Benar. Pertunjukan malam ini selain untuk menyambut Tuan Yang memang kami maksudkan untuk sekalian menghibur mereka juga."
"Pertunjukan malam ini...? Apakah masih ada yang lain lagi?" Chin Yang Kun bertanya dengan kening berkerut.
"Ya! Dan pertunjukan berikutnya malah akan lebih menarik lagi, karena kami akan meminta
kepada Tuan Yang untuk ikut memeriahkannya pula nanti..."
"Apa...? Pertunjukan apakah itu?" Chin Yang Kun bertanya pula semakin tidak mengerti. Lagi-lagi Siangkoan Ciangkun hanya tersenyum sambil menuding ke pintu ruangan dalam.
"Tuan lihat saja nanti...!" katanya menggoda. Chin Yang Kun menjadi penasaran. Dengan hati gelisah dan tak sabar ia menatap ke arah pintu yang ditunjuk oleh Siangkoan Ciangkun. Terbeliak mata Chin Yang Kun ketika dari dalam pintu tersebut tiba-tiba muncul empat orang gadis cantik membawa tombak berkait pada masing masing tangannya. Tetapi bukanlah tombak berukuran pendek dan terbuat dari perak itu yang mengejutkan hati Chin Yang Kun, melainkan gadis-gadis itulah yang membuatnya kaget. Dan perubahan wajah Chin Yang Kun ini tak luput dari pandangan mata Siangkoan Ciangkun yang sedari tadi selalu memperhatikan pemuda tersebut.
"Hahaha, Tuan Yang kali ini benar-benar tak menyangka bukan? Pelayan-pelayan cantik yang telah mampu menarik hati Tuan Yang ini memang bukan pelayan-pelayan biasa. Mereka adalah dayang-dayang istana yang selalu mengikuti kemanapun Hongsiang pergi. Dan mereka adalah dayang dayang yang sangat terlatih dalam memainkan senjata, meskipun tentu saja tidak semahir para pengawal khusus Hongsiang yang lain..." Siangkoan Ciangkun menerangkan dengan suara gembira.
"Aaah...!" Chin Yang Kun tersipu-sipu.
"Lihat...!" Gadis-gadis yang tadi tampak lemah lembut dan halus gerak-geriknya, kini kelihatan tangkas dan garang ketika menarikan tombak pendeknya. Mereka memainkan jurus demi jurus secara mantap, indah dan serempak! Tombak berkait yang seluruhnya terbuat dari besi berselaputkan perak itu kelihatan ringan tanpa bobot di tangan gadis-gadis itu. Setelah mereka memainkan kira-kira sepuluh jurus secara mengagumkan, gadis-gadis itu lalu menyebar. Masing-masing berhadapan dengan pasangannya, sehingga mereka lalu berpisah menjadi dua kalangan. Dan sebentar kemudian masing-masing lantas terlibat dalam pertempuran sengit dengan pasangannya! Masing-masing bertempur seperti dua ekor ayam aduan. Makin lama makin cepat, sehingga banyak dari para penonton yang merasa gelisah dan khawatir terhadap keselamatan mereka. Tiba-tiba...
"Traaaaang! Traaang!" Pertempuran berhenti dengan mendadak. Keempat orang gadis itu tahu-tahu telah berdiri berjajar sambil menjura ke arah meja Chin Yang Kun. Dan empat buah tombak mereka tampak menancap di atas lantai di depan mereka. Ujung ujung tombak itu masih kelihatan bergetar, suatu tanda bahwa tenaga yang mereka keluarkan benar-benar tidak ringan. Sekejap ruangan itu malah menjadi sepi seperti kuburan, semua penonton bagai dicengkam oleh permainan tombak yang sangat mengagumkan itu. Tapi di lain saat merekapun lalu bertepuk tangan dengan gegap-gempita seperti pasukan perajurit yang memperoleh kemenangan di medan perang.
"Terima kasih! Terima kasih...!" gadis-gadis itu menjura pula ke arah penonton.
Wajah mereka tampak segar berseri, sedikitpun tidak terlihat keringat yang mengalir di dahi mereka. Sambil menikmati tepuk tangan kekaguman dari penonton gadis-gadis itu berkali-kali melirik ke arah Chin Yang Kun, seolah-olah permainan mereka itu tadi memang mereka peruntukkan bagi pemuda itu. Tentu saja pemuda yang sejak semula memang telah tertarik kepada gadis-gadis itu menjadi semakin sukar mengendalikan nafsu aneh yang bergejolak di dalam dirinya. Tetapi dengan segera kekuatan jiwa dan batinnya pemuda itu berusaha menindasnya! Tiba-tiba Siangkoan Ciangkun berdiri sambil mengangkat kedua tangannya ke atas, sehingga tepuk tangan dan sorak sorai yang gegap gempita itupun berhenti dengan mendadak. Lalu dengan tersenyum lebar perwira berkumis lebat itu berseru,
"Nah! Siapakah yang ingin bermain-main sebentar dengan mereka? Ayoh...siapa yang berani silakan maju ke depan! Hitung-hitung kalian ikut memeriahkan pertunjukan mereka malam ini...!" Hening sesaat. Semuanya tampak saling menantikan siapa yang hendak maju ke arena untuk menguji kepandaian para dayang istana itu. Sebetulnya banyak juga diantara para perajurit pengawal yang ingin mencobanya, tapi mereka tampaknya masih sungkan dan malu untuk mendahului maju ke depan.
"Ayoh...mengapa ragu-ragu? Heh, Teng Bo...kau ingin maju tidak?" Siangkoan Ciangkun menuding seorang perajurit berperawakan tinggi besar, yang sejak tadi selalu memilin-milin kumisnya.
"Baik, Siangkoan Ciangkun...Siauwte akan mencobanya!" perajurit itu segera melangkah ke depan. Sebuah goIok besar kelihatan tergantung di pinggangnya. Setelah memberi hormat lebih dahulu ke arah para perwira yang duduk satu meja dengan Chin Yang Kun, Teng Bo meloloskan golok besarnya. Dengan rasa percaya diri yang besar Teng Bo menyilangkan golok itu di depan dadanya.
"Marilah, nona...kita bermain-main sebentar! Aku yang rendah ingin berkenalan dengan ilmu tombak berkait nona yang hebat itu." perajurit itu berkata merendah. Keempat dayang itu tersenyum sambil mencabut tombak masing-masing, kemudian salah seorang diantara mereka, yang berbaju putih-putih, maju ke depan membalas penghormatan Teng Bo.
"Maaf, Tuan Teng...kami berempat ini selalu maju bersama. Maka dari itu agar pertempuran kita nanti menjadi adil, kami harap Tuan Teng mencari kawan lagi untuk melawan kami," katanya.
"Terima kasih, nona...kukira tak usahlah! Akupun sudah biasa bertempur sendiri dalam setiap peperangan."
"Kalau begitu maafkanlah kami terpaksa mengeroyok Tuan Teng..."
"Tak apa! Marilah...!" Sambil berkata Teng Bo memutar golok besarnya, lalu dengan mengandalkan kekuatan tubuhnya yang hebat ia menyabetkan golok tersebut ke depan, ke arah lengan dayang berbaju putih yang memegang tombak itu. Dalam sorotan lampu pendapa yang terang benderang golok yang putih mengkilap itu berkelebat cepat bagai kilatan petir menyambar! Semua penonton menahan napas, mereka khawatir terhadap keselamatan gadis itu! Mereka melihat Teng Bo yang biasa berlaku ganas di setiap pertempuran itu benar benar menyerang lawannya dengan sungguh-sungguh! Tapi dayang berbaju putih itu meloncat ke belakang dengan cepat, sementara ketiga orang temannya yang berbaju merah, kuning dan hijau tampak melesat ke depan melindunginya. Ketiga batang tombak mereka merunduk ke depan, memapaki ayunan golok Teng Bo!
"Traaaang!" Terdengar suara nyaring yang memekakkan telinga ketika golok tersebut menghantam tiga ujung tombak lawannya. Begitu hebat tenaga yang dikeluarkan Teng Bo sehingga ketiga buah tombak itu terpental menghantam lantai.
Perajurit bertenaga raksasa itu memang sangat terkenal di dalam kesatuannya. Dia langsung berada di bawah pimpinan Siangkoan Ciangkun dan mendapat kepercayaan memimpin enam puluh orang perajurit pengawal yang lain. Selain mempunyai tenaga gwakang yang hebat Teng Bo juga mahir mempergunakan golok, sebab dia adaIah murid Kim-to-pai (Perguruan Golok Emas) yang terkenal di daerah Shoa-tang beberapa puluh tahun yang lalu. Empat orang dayang istana itu lalu menyebar ke segala penjuru. Mereka menempatkan diri mereka pada titik mata angin, yaitu Utara, Timur, Selatan dan Barat, sementara Teng Bo mereka tempatkan di tengah-tengah mata angin tersebut. Sambil memutar-mutarkan goloknya di depan dada Teng Bo membiarkan dirinya dikepung oleh lawannya.
Kenyataan bahwa tenaganya masih jauh lebih besar dari pada tenaga perempuan-perempuan cantik itu membuat Teng Bo sangat yakin dapat menundukkan mereka dalam waktu singkat. Oleh karena itu dengan jurus Kai san siu-yi (Membuka Payung Menerobos Hujan), Teng Bo mendahului menerjang! Sekali lagi yang dia serang adalah dayang berbaju putih yang berdiri di titik Utara. Mendadak mata angin itu berputar ke arah kanan seperti jarum jam, dan gadis yang berdiri di titik utara itu tiba-tiba telah berganti dengan gadis berbaju hijau, yaitu gadis yang semula berada di titik barat. Begitu datang gadis berbaju hijau itu lantas menyodokkan ujung tombaknya ke arah putaran golok Teng Bo yang cepat seperti baling-baling itu, sementara teman-temannya yang lain cepat pula membantunya dari arah kanan kiri dan belakang Teng Bo.
Pada waktu yang bersamaan ternyata serangan Teng Bo itu dipapaki dengan serangan pula oleh keempat orang lawannya.Tentu saja keadaan itu sangat merepotkan Teng Bo, karena tidak mungkin kedua tangannya bisa melayani delapan buah tangan sekaligus. Dan apabila dia nekat menyerang si Baju Hijau, maka tubuhnyapun akan menjadi bulan-bulanan serangan tombak tiga orang lawannya yang Iain pula. Maka Teng Bo segera menarik serangannya. Dengan sigap tubuhnya mendoyong ke arah kiri seraya menepiskan mata tombak dayang berbaju kuning yang menusuk ke arah bahunya. Kemudian berbareng dengan gerakannya itu Teng Bo mengibaskan golok besarnya ke arah tombak Si Baju Putih dan Si Baju Merah.
Gerakannya itu dilakukan dengan sangat cepat dan kuat, suatu tanda bahwa ilmu goloknya itu memang telah ditekuninya selama bertahun-tahun. Malahan sekejap kemudian golok itu telah menyerang kembali dengan ganasnya dan kali ini memakai jurus Sao-chiao-teng-toa atau Menyapu Kaki Menara Api. Tujuan Teng Bo adalah membabat kaki lawan-lawannya! Tapi dengan cepat empat orang dayang istana itu menancapkan tombaknya ke lantai. Braaak! Dan tubuh mereka melenting ke atas dengan manisnya, seperti para pemain akrobat yang bertumpu pada sebilah bambu. Malah tidak hanya itu yang diperbuat oleh dayang-dayang istana tersebut. Sambil melenting ke atas kaki mereka segera berputar menghantam kepala Teng Bo! Dan perajurit bertenaga raksasa itupun terpaksa jatuh bangun untuk mengelakkannya!
Demikianlah, pertempuran satu lawan empat itu makin lama makin seru. Teng Bo yang semula menyangka tenaga terlalu berlebihan untuk menghadapi gadis-gadis itu, kini terpaksa harus mengakui bahwa anggapannya tersebut adalah keliru sama sekali. Tenaga luarnya yang hebat itu ternyata tidak berguna dan mati kutu menghadapi kerja sama lawannya yang kompak dan rapi. Malahan beberapa jurus kemudian dialah yang menjadi kewalahan dan tidak bisa mengembangkan ilmu goloknya dengan sempurna. Tombak tombak lawannya yang berkait pada setiap sisinya itu benar-benar cocok untuk menahan atau membatasi gerakan goloknya. Beberapa kali golok besarnya hampir terlepas dari tangannya akibat terjepit oleh kaitan tersebut. Kaitan-kaitan itu sungguh-sungguh seperti catut (jepitan) yang sangat berbahaya dan selalu mengejar goloknya!
"Traaaaang...!" Dan akhirnya golok itu benar-benar terlepas karena tak dapat mengelak lagi dari jepitan tombak Si Baju Putih dan Si Baju Hijau. Dan begitu golok tersebut lepas, tombak-tombak lawannya telah teracung di depan hidungnya.
"Baiklah! Baiklah! Aku mengaku kalah..." Teng Bo berdesah kecewa seraya menyambar goloknya kembali.
"Bagus! Bagus! Nah, siapa lagi yang mau mencobanya?" Siangkoan Ciangkun bertepuk tangan sambil berteriak ke arah penonton yang semakin berjubal di tangga pendapa.
"Siangkoan Ciangkun, kamipun ingin mencoba juga..." dari tengah-tengah penonton yang berdesakan itu tiba-tiba terdengar suara jawaban.
Penonton yang berjejal di depan pintu itu segera menyibak untuk memberi jalan kepada tiga orang perajurit, yang mendesak maju dan kemudian meloncat naik ke atas pendapa. Sebelum pergi ke tengah pendapa untuk menghadapi dayang-dayang istana itu mereka memberi hormat ke arah Siangkoan Ciangkun lebih dahulu. Setelah itu ketiga-tiganya lantas berlompatan ke arena. Begitu mengetahui siapa yang masuk ke dalam arena, para penonton segera bersorak-sorai dengan bersemangat. Setiap perajurit yang bertugas di tempat itu tahu belaka, siapa tiga orang perajurit yang kini hendak mencoba kekuatan dayang-dayang istana itu. Meskipun baru beberapa hari masuk menjadi perajurit, ketiga orang itu telah sering kali menunjukkan kehebatan dan kelebihan-kelebihan mereka di muka perajurit-perajurit yang lain.
Malahan di setiap pertempuran yang terjadi antara pasukan kerajaan melawan gerombolan kaum perusuh, ketiga orang perajurit baru itu selalu membuat kagum kawan-kawan mereka. Mereka bertiga selalu berdiri di baris terdepan sebagai ujung tombak pasukan mereka. Dan apa yang mereka lakukan di dalam menghadapi musuh itu benar-benar sangat menggiriskan dan tak mungkin bisa dilakukan oleh para perajurit yang lain, bahkan tak mungkin bisa dilakukan oleh pemimpin mereka sendiri. Sepak terjang mereka yang hebat itu hanya pantas dilakukan oleh para perwira atau pangIima mereka yang mempunyai kesaktian dan kepandaian tinggi. Oleh karena itu meskipun baru beberapa hari menjadi perajurit, mereka bertiga sudah dikenal oleh para perwira dan semua perajurit yang ditugaskan ke daerah tersebut.
"Nah...sekarang baru sebuah pertandingan benar-benar!" Siangkoan Ciangkun berbisik kepada Chin Yang Kun yang menatap ke arena dengan wajah tegang pula. Dan perwira itu segera tersenyum melihat kegelisahan tamunya.
"Aha, Tuan Yang...kau tak perlu mengkhawatirkan keselamatan gadis-gadis manis itu. Mereka berempat akan tetap melayanimu malam ini. Percayalah...!" bisiknya lagi.
"Siangkoan Ciangkun...?" Chin Yang Kun memotong perkataan perwira itu dengan nada tak senang.
"Sudahlah, Tuan Yang...kau tak perlu khawatir! Meskipun Mo, Lim dan Pang itu sangat lihai tapi mereka takkan berani melukai dayang Hongsiang." Siangkoan Ciangkun menegaskan lagi kata-katanya. Perwira itu tetap salah terka terhadap sikap Chin Yang Kun tersebut. Pemuda itu menghela napas panjang. Dia tak mau berdebat lebih lanjut. Matanya menatap ke arena kembali dan dilihatnya orang-orang itu sudah berhadapan dengan dayang-dayang istana.
"Aku tak mungkin lupa kepada orang-orang itu, karena ulah merekalah yang menyebabkan tubuhku menjadi beracun begini. Hmmm..., Tung-hai Sam-mo! Mengapa mereka bisa berbalik menjadi perajurit kerajaan? Masakan orang seperti Siangkoan Ciangkun ini tidak tahu kalau mereka adalah bekas pemberontak yang dulu pernah menyerang ibu kota (Kotaraja)?" pemuda itu membatin.
Sementara itu pertempuran antara empat gadis melawan tiga lelaki di tengah ruangan pendapa ini sudah berlangsung dengan hebatnya. Tiga orang lelaki yang dikenal Chin Yang Kun sebagai Tung-hai Sam-mo itu bertempur dengan pedang gergajinya yang mengerikan. Mula-mula mereka bertempur dengan serabutan dan tidak memilih lawan. Mereka menyerang siapa saja yang dekat dengan mereka masing masing. Tapi setelah dayang-dayang itu mulai membuka jurus mata angin mereka, Tung-hai Sam-mo juga tidak bisa tinggal diam pula. Ketiga Iblis Laut Timur itu segera mengeluarkan Ang-cio hi-tin pula. Demikianlah, kedua macam barisan itu segera bertarung satu sama lain!
"Ah! Biarpun Barisan Mata Angin dari dayang-dayang itu sangat kuat, tapi gerakan mereka masih terlampau lamban bisa menjaring atau mengepung Tung-hai Sam-mo." Chin Yang Kun menilai pertempuran itu. Memang benar apa yang dikatakan oleh pemuda itu.
Barisan Mata Angin itu memang kokoh kuat dan sukar ditembus lawan. Laksana sebuah benteng istana keempat orang dayang tersebut merupakan pintu-pintu gerbangnya, di mana lawan tak mungkin dapat masuk ke dalam tanpa melewati bangkai penjaganya terlebih dahulu. Padahal pintu gerbang itu selalu berpindah-pindah tempat dan para penjaganyapun juga selalu berganti-ganti setiap saat. Meskipun demikian benteng tersebut ada juga kelemahannya. Sebelum kemampuan dari setiap penjaganya belum bisa diandalkan, gerakan merekapun masih terasa lamban dalam berpindah atau berganti tempat.
Oleh karena itu tidaklah heran kalau Barisan Cucut Merah yang licin dan gesit itu akhirnya bisa menerobos dan menggempur benteng Barisan Mata Angin tersebut. Dan Barisan Mata Angin itu menjadi kalang kabut ketika Cucut Merah itu mulai "berkubang" di dalamnya! Para perajurit yang berdesakan itu semakin riuh bersorak sorak menjagoi Tung-hai Sam-mo yang mulai dapat mendesak lawan mereka. Perasaan mereka yang kecewa akibat kekalahan Teng Bo tadi menjadi terobati sekarang.
Jilid 34
Ternyata tidak semua penonton gembira melihat kemenangan Tung-hai Sam-mo itu. Chin Yang Kun yang sejak semula memang tidak menyukai iblis-iblis itu segera penasaran dan bermaksud untuk membantu dayang-dayang itu. Tapi tentu saja pemuda itu tidak bisa turun ke arena begitu saja.
"Aku harus mencari jalan untuk menghentikan pertempuran mereka selama beberapa saat. Setelah itu aku akan membisiki gadis-gadis itu bagaimana caranya menghadapi Barisan Cucut Merah tersebut..." Pemuda itu berpikir di dalam hati.
Demikianlah, Chin Yang Kun lalu mengambil dua buah biji lengkeng yang tersedia di atas meja. Kemudian setelah yakin bahwa tidak seorangpun yang memperhatikan perbuatannya, pemuda itu lalu mengerahkan Liong-cu I-kangnya. Untunglah suasana di tempat itu sangat riuh dan ramai, sehingga suara gemeretak tulang-tulangnya akibat mengalirnya tenaga sakti dari tan-tian ke seluruh tubuh itu tidak terdengar oleh siapapun. Kemudian bersamaan dengan suara denting senjata di arena, Chin Yang Kun membidikkan biji lengkeng tersebut ke arah tali yang digunakan untuk menggantungkan lampu besar di tengah-tengah ruangan. Srrrt! Srrrrt! Dua buah biji Iengkeng itu melesat seperti kilat ke arah sasaran dan...
"Taaas! Pyaaar...!" Tali tersebut putus dan lampunya jatuh berantakan ke bawah! Semua orang terperanjat sekali. Apalagi ketika pecahan lampu tersebut hampir menimpa orang-orang yang sedang bertempur. Sorak-sorai penonton berganti dengan jerit dan teriakan khawatir! Otomatis orang-orang yang sedang bertempur itu berloncatan mundur menyelamatkan diri. Dan waktu yang sekejap itu dipergunakan oleh Chin Yang Kun untuk melaksanakan niatnya membantu dayang-dayang istana itu. Dibisikkannya kepada Si Dayang Berbaju Putih dengan Coan im-jib-bit, tentang rahasia Ang-cio hi-tin dan cara bagaimana menghadapinya.
"Ohhh!" Dayang Berbaju Putih itu terkejut. Bola matanya melirik ke sana kemari, mencari siapa yang telah berbisik kepadanya. Dan ketika pandangannya sampai kepada Chin Yang Kun, gadis itu segera tahu siapa yang telah memberikan rahasia itu kepadanya. Tapi sebelum gadis itu menjawab isyarat yang diberikan Chin Yang Kun, Tung-hai Sam-mo telah menyerang mereka berempat kembali.
"Aha...cuma sebuah lampu tua yang rontok akibat getaran permainan kita tadi, hahaha! Ayoh...sekarang kita lanjutkan lagi pertempuran kita!" orang she Mo, yaitu iblis pertama dari Tung-hai Sam-mo berteriak seraya menyabetkan pedang gergajinya. Si Dayang berbaju Putih cepat mengelak, Ialu bergegas mengajak kawan-kawannya membentuk Barisan Mata Angin kembali. Sebetulnya dayang-dayang yang lain sudah merasa ragu-ragu melihat kehebatan lawan mereka, tapi menyaksikan Si Baju Putih sudah diserang oleh lawan, terpaksa mereka datang membantunya juga.
"Ah, sudahlah! Kalian tak perlu melanjutkan lagi pertandingan ini! Kita semua sudah dapat meraba siapa yang lebih unggul diantara kalian..." Siangkoan Ciangkun tiba-tiba melompat ke arena dan mencoba melerai mereka. Tapi maksud baik Siangkoan Ciangkun itu disambut dengan keluhan kecewa dari kalangan penonton. Mereka menggerutu dan mengeluh panjang-pendek menyatakan ketidakpuasan mereka bila pertandingan yang belum selesai itu dihentikan. Dengan tangkas Tung-hai Sam-mo melangkah mundur, lalu memberi hormat kepada Siangkoan Ciangkun dengan khidmat. Wajah mereka tampak berseri-seri gembira karena dapat menundukkan dayang-dayang cantik itu.
"Terima kasih atas pujian Siangkoan Ciangkun..." Toa-mo berkata mewakili kawankawannya. Tapi Si Dayang Berbaju Putih cepat maju ke depan. Mukanya kelihatan kecewa dan penasaran ketika memberi hormat kepada Siangkoan Ciangkun.
"Ciangkun, mengapa Ciangkun menghentikan pertandingan yang belum selesai ini? Kami belum merasa kalah, kami justru baru akan mulai malah!"
"Bagus! Bagus...!" penonton berteriak-teriak gembira.
"Eh...tapi..." Siangkoan Ciangkun terkejut. Ternyata tidak hanya Siangkoan Ciangkun saja yang kaget mendengar pernyataan Si Baju Putih tersebut, Tung-hai Sam mo dan...kawan-kawan Si Baju Putih sendiripun juga terperanjat mendengar perkataan itu. Tapi kekagetan kawan-kawan Si Baju Putih itu segera pudar dan hilang ketika secara bergilir mereka mendengar pesan Chin Yang Kun melalui Coan-im-jib-bit. Seperti juga tadi, pemuda itu memanfaatkan waktu luang tersebut untuk memberi tahu cara-cara menghadapi Ang-cio hi-tin kepada dayang-dayang yang lain.
"Maksud kalian...mau meneruskan pertarungan ini?" dengan ragu-ragu Siangkoan Ciangkun menatap ke arah dayang-dayang istana itu.
"Benar, Ciangkun...!" tiba-tiba gadis-gadis itu menjawab serentak.
"Tapi...pertarungan tadi cuma sebuah pertunjukan, bukan? Kalian tidak bermusuhan dan..."
"Kami memang tidak bermusuhan dengan mereka, Ciangkun. Oleh karena itu kami juga tidak akan melukai, apalagi membunuh mereka dalam pertarungan ini. Malam ini adalah malam pertunjukan kami, karena itu kami akan menyuguhkan permainan terbaik kami kepada para penonton" Si Baju Putih berkata mantap.
"Hore...bagus! Bagus!" penonton berteriak-teriak lagi. Tung-hai Sam-mo bergegas maju ke arena kembali.
"Siangkoan Ciangkun, biarlah kami menghadapi nona-nona ini lagi agar supaya semuanya merasa puas," Toa-mo menjura.
"Tapi...kalian jangan melukai mereka! Mereka adalah dayang-dayang Hongsiang..." dengan terpaksa Siangkoan Ciangkun mengangguk, lalu kembali ke tempat duduknya lagi.
"Wah, repot...repot!" Siangkoan Ciangkun berdesah sambil mengawasi Chin Yang Kun yang duduk di sebelahnya.
"Siangkoan Ciangkun tak perlu merasa khawatir. Mereka bukan anak-anak kecil lagi. Mereka tentu masih bisa berpikir bahwa mereka itu masih sama-sama menghamba kepada Baginda Kaisar, sehingga mereka itu tidak mungkin berbuat hal-hal yang akan menyulitkan diri mereka sendiri. Kukira mereka hanya akan mempertunjukkan kebolehan mereka saja kepada kita," Chin Yang Kun berusaha menenangkan hati perwira itu.
Sementara itu Tung-hai Sam-mo dan dayang-dayang itu sudah saling berhadapan lagi di dalam arena. Masing-masing juga telah membentuk barisan mereka. Dayang-dayang itu berdiri dalam posisi segi-empat, sedangkan Tung-hai Sam-mo berdiri berjajar dalam jarak satu setengah langkah. Demikianlah, beberapa saat kemudian merekapun Ialu terlibat ke dalam pertempuran yang seru kembali. Tung-hai Sam-mo yang merasa lebih unggul dari pada lawannya itu sangat meremehkan sekali keampuhan barisan lawan. Beberapa kali mereka sengaja mencegat gerakan gadis-gadis itu, lalu menerobos masuk dan kemudian...keluar lagi! Tampaknya para iblis dari Laut Timur itu memang sengaja mau mentertawakan ilmu kepandaian lawan mereka yang masih jauh di bawah kepandaian mereka itu.
"Biarlah mereka semakin lengah dahulu, setelah itu baru salah seorang dari kalian menempel di samping orang yang berada di tengah barisan itu. Berusahalah dan jangan sampai gagal! Sekali kalian gagal mereka akan tahu bahwa kalian telah menemukan rahasia barisan mereka, selanjutnya mereka akan sangat berhati-hati sekali!" sekali lagi Chin Yang Kun berbisik kepada Si Baju Putih. Benar juga, semakin lama Tung-hai Sam-mo semakin lengah juga. Apalagi ketika mereka semakin menyadari bahwa kepandaian mereka masing masing masih jauh lebih tinggi bila diperbandingkan dengan kepandaian gadis-gadis itu. Tampaknya tanpa mempergunakan sengajapun mereka masih dapat mengalahkan gadis-gadis itu dengan mudah.
Sampai pada suatu saat Sam-mo (iblis ketiga) sambil tertawa berpura-pura ketinggalan langkah dari saudara saudaranya yang lain. Kelihatannya iblis tersebut bermaksud berkelakar sambil menunjukkan bahwa mereka memang lebih hebat. Tapi tidak mereka sangka kesempatan itu dipergunakan dengan cepat oleh Si Baju Putih. Bagai kilat gadis itu melesat ke belakang Ji-mo (iblis kedua), menggantikan kedudukan Sam-mo. Dan dayang-dayang yang lainpun segera menyesuaikan diri. Dengan cepat mereka bergerak membentuk Barisan Mata Angin kembali dan menempatkan Toa-mo dan Ji-mo di dalam barisan, sementara Sam-mo mereka pisahkan di luar barisan. Demikianlah, akibat kesombongan dan kepongahan mereka sendiri Tung-hai Sam-mo terjatuh dalam kesulitan.
Merekalah kini yang kena tempur habis-habisan dari kanan kiri, muka dan belakang! Gadis-gadis itu tak memberi kesempatan sama sekali kepada mereka untuk bergabung kembali. Yang paling susah dan menderita adalah Toa-mo dan Jimo! Oleh karena mereka berada di dalam barisan lawan, maka mereka terus menerus mendapat gempuran dari penjuru. Beberapa kali mereka hampir tak dapat lagi mengelakkan ujung-ujung tombak yang berseliweran di sekitar tubuh mereka. Malahan beberapa waktu kemudian ujung-ujung kait pada tombak itu mulai menunjukkan keganasannya pula. Berkali kali ujung kait baja itu menjepit, menggantol dan memuntir pedang-pedang gergaji mereka, sehingga akhirnya satu persatu pedang itu terlepas dari tangan mereka! Dan selanjutnya tubuh mereka menjadi bulan-bulanan tangkai tombak tersebut.
"Nah! Apakah kalian menyerah sekarang? Atau...kita lanjutkan pertarungan ini sampai habis-habisan?" Si Baju Putih mengancam.
"Jangan hiraukan kata-katanya. Twako...! Ji-ko...! Nantikanlah, aku akan masuk ke dalam barisan reyot ini dan bergabung dengan kaIian untuk mengobrak-abrik mereka!" Sam-mo berteriak-teriak dari luar barisan.
"Tutup mulutmu, Orang Goblog (Bodoh)! Lekas kerjakan! Jangan omong saja...!" Toa-mo yang sedang kerepotan mempertahankan dirinya itu berseru marah-marah. Berkata memang mudah, tapi untuk melaksanakannya ternyata sangat sulit. Dengan bekerja sama dalam satu barisan, kekuatan mereka memang menjadi berlipat ganda dan sukar untuk dikalahkan. Tapi dengan keadaan yang sudah tercerai-berai seperti sekarang, kemampuan mereka tak lebih dari kekuatan diri mereka masing-masing. Dan celakanya, yang mereka hadapi sekarang bukanlah lawan perorangan yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri, tetapi yang mereka hadapi adalah sebuah kerja sama pula yang terhimpun dalam satu barisan kuat! Setiap serangan atau pertahanan dari barisan itu merupakan hasil himpunan kekuatan mereka secara berbareng.
Maka bagaimanapun juga Sam-mo itu berusaha dengan segala kemampuannya, ia tetap tidak mampu menerobos barisan tersebut. Sementara itu di dalam barisan Toa-mo dan Ji-mo semakin kewalahan dan sukar bertahan lagi! Perubahan yang sangat mendadak itu benar-benar sangat mengejutkan semua orang, termasuk pula Siangkoan Ciangkun dan para perwira yang duduk satu meja dengan Chin Yang Kun. Perwira-perwira tersebut hampir tak percaya bahwa perimbangan kekuatan yang amat jauh itu tiba-tiba bisa berbalik sedemikian rupa secara mendadak. Para penonton pun tiba-tiba menjadi diam, mereka hampir tidak mengerti apa yang telah terjadi. Tapi dengan cepat Siangkoan Ciangkun menyadari suasana yang rawan itu. Tubuhnya segera melesat ke depan untuk memisahkan mereka.
"Perajurit Mo, Lim dan Pang...! Berhenti! Kalian mundurlah!" serunya lantang. Pertempuran itupun lalu berhenti dengan segera. Masing masing saling berhadapan dengan sikap tegang. Apalagi Tung-hai Sam-mo, wajah mereka tampak merah padam menahan marah dan penasaran!
"Ciangkun, kami belum kalah! Hanya karena keteledoran adikku gadis-gadis itu bisa menang. Berilah kami kesempatan sekali lagi, niscaya mereka akan kami kalahkan!" Toa-mo menggeram dengan nada marah.
"Sudahlah! Kalian tak perlu menyesal atau marah-marah lagi! Kalau kalian sampai menderita kekalahan itu karena akibat kelalaian atau kesalahan kalian sendiri. Kalian tak perlu menggerutu atau menyalahkan orang lain," Siangkoan Ciangkun membentak. Sekilas wajah tiga orang itu tampak membara. Sebagai iblis yang selama ini selalu ditakuti dan disegani orang belum pernah mereka dibentak-bentak sebegitu rupa. Apalagi kepandaian orang yang membentak itu jauh lebih rendah dari kepandaian mereka.
"Gila! Kita bunuh saja perwira yang sombong ini, Twako...!" Ji-mo menggeram sambil berbisik kepada Toa-mo.
"Hah? kau yang gila!" Toa-mo berbisik pula perlahan-lahan. "Apakah kau ingin dikepung dan dikeroyok oleh ribuan orang perajurit di sini? Jangan gegabah! Kita turuti saja perkataannya..."
"Hei! Kalian tidak mau mundur juga?" Siangkoan Ciangkun membentak lagi.
"Ah-eh...ya-ya, Ciangkun! Kami akan mundur..." Toa-mo menjawab dengan suara gemetar karena terlalu menahan perasaan. Demikianlah, tiga iblis dari Laut Timur itu segera mundur dan pergi meninggalkan ruangan tersebut. Para penontonpun lalu bubar pula dengan wajah kecewa karena jago mereka kalah semua. Beberapa orang perajurit berusaha menghibur hati Tung-hai Sam-mo, tapi ketiga iblis itu cepat pergi dan tak mau diganggu.
"Awas! Hatiku benar-benar penasaran malam ini! Suatu saat orang-orang itu akan kuberi pelajaran agar tahu rasa...!" Toa-mo melangkah sambil menggeretakkan giginya.
"Orang-orang itu...? Siapa yang toa-ko maksudkan?" Ji-mo bertanya.
"Perwira sombong itu! Siapa lagi?" Toa-mo berteriak kesal.
"Ohhhh...,.!" Ji-mo dan Sam-mo berdesah perlahan. Sementara itu sepeninggal Tung-hai Sam-mo, dayang dayang itu bergegas memberi hormat kepada Siangkoan Ciangkun dan kemudian juga menyatakan perasaan terima kasih mereka kepada Chin Yang Kun.
"Eeeee...ada apa pula ini? Mengapa kalian mengucapkan terima kasih kepada Tuan Yang segala?" Siangkoan Ciangkun yang tidak mengetahui adanya "permainan" di dalam pertempuran tadi menjadi salah sangka kepada para dayang itu. "Aha...tampaknya kalian sudah benar-benar terjerat pada jaring Tuan Yang, hahaha...! Tapi tak apa! Jangan takut! Aku akan mengaturnya nanti..." katanya lagi seraya tertawa keras-keras. Gadis-gadis itu tertunduk dengan muka merah sekali. Menghadapi orang seperti Siangkoan Ciangkun yang selalu ceplas-ceplos mengatakan apa adanya, tanpa memperdulikan perasaan orang itu, benar-benar membuat mereka menjadi kikuk sekali. Oleh karena itu untuk menghilangkan rasa malu dan canggung mereka, Si Baju Putih segera melangkah maju ke depan perwira tersebut.
"Ciangkun, lalu...bagaimana dengan pertunjukan kita selanjutnya?" tanyanya. Perwira itu tersenyum penuh arti. Sambil menepuk-nepuk pundak gadis itu Siangkoan Ciangkun berbisik,
"Ahh...tak usah diteruskan! Kalian teruskan saja nanti di dalam kamar Tuan Yang Kun, hehehe...!"
"Ciangkun...?" gadis itu mengangkat wajahnya yang merah dadu.
"Ssst! Kalian berempat boleh melayani Tuan Yang malam ini! Awas, jangan sampai dia kecewa! Kalian harus ingat bahwa dia adalah saudara angkat Hongsiang!"
"Aaah...Ciangkun!" Si Baju Putih berbisik pula dengan sikap agak genit.
"Nah, sekarang kalian boleh mengundurkan diri...!" Siangkoan Ciangkun berkata dengan suara keras. Si Baju Putih melirik sekejap ke arah Chin Yang Kun, kemudian berlari masuk diikuti oleh kawan-kawannya. Sedang Siangkoan Ciangkun segera melangkah pula kembali ke kursinya. Wajahnya tampak berseri-seri ketika menatap Chin Yang Kun.
"Pertunjukan telah selesai. Sebenarnya kami ingin sekali mengundang Tuan Yang yang selama ini telah sering kami dengar. Tapi tampaknya Tuan Yang sudah lelah dan capai. Maka kami juga tidak ingin mengganggu lebih lanjut. Para dayang yang tadi sudah kami perintahkan untuk menyiapkan sebuah kamar buat Tuan Yang..." perwira itu berkata kepada Chin Yang Kun.
"Ah! Tapi saya..." Chin Yang Kun cepat-cepat memotong.
"Liu-Ciangkun?" Siangkoan Ciangkun tertawa. "Jangan khawatir, Tuan Yang! Kami akan segera memberi tahu Tuan Yang apabila beliau datang nanti."
"Ah, terima kasih...Tapi bukan itu yang saya maksudkan! Saya memang sangat berterima kasih sekali atas penghormatan dan kebaikan Siangkoan Ciangkun yang sangat memperhatikan kebutuhan saya di sini. Tapi..."
"Yaaa...?" perwira itu mendesak. Chin Yang Kun menghela napas panjang, ia tidak segera mengatakan jawabannya.
"Siangkoan Ciangkun...! Sebetulnya kedatangan saya kemari ini bukan untuk menemui Liu-Twako, tapi untuk menyelesaikan sebuah urusan. Urusan pribadi antara saya dengan seseorang yang tinggal di dalam kota ini."
"Urusan? Urusan apakah itu? Eh, maaf...tentu saja kalau Tuan Yang tidak berkeberatan untuk mengatakannya kepadaku." Sekali lagi Chin Yang Kun menghela napas panjang sekali.
"Seseorang telah menuduh saya membunuh muridnya. Padahal ketika pembunuhan tersebut dilakukan, saya sedang berada jauh dari tempat pembunuhan itu. Dan saya benar benar mempunyai bukti yang kuat tentang hal itu."
"Oooh...begitu!" Siangkoan Ciangkun mengangguk-angguk. "Lalu...apa yang hendak tuan lakukan sekarang?"
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya akan menemui orang itu. Dan akan saya jelaskan kepadanya bahwa bukan saya pembunuhnya." Chin Yang Kun menjawab dengan suara berat dan mantap.
"Tapi...kalau orang itu masih tetap juga tidak percaya pada penjelasan tuan dan tetap juga menuduh tuan sebagai pembunuhnya?" Siangkoan Ciangkun yang sangat berpengalaman dalam soal-soal seperti itu mendesak. Chin Yang Kun tertawa kecut,
"Kalau memang demikian halnya, hmmm...mereka benar-benar akan menyesal nanti!"
"Ah, kalau begitu biarlah saya dan beberapa orang perajurit menemani Tuan Yang ke sana. Siapa tahu orang itu menjadi sadar melihat kami."
"Jangan, Ciangkun! Tidak usahlah!" Chin Yang Kun cepat-cepat menolak.
"Saya malah menjadi khawatir urusan ini akan bertambah ruwet kalau Siangkoan Ciangkun turut campur pula. Biarlah saya berangkat sendirian saja ke sana. Ciangkun tetap di sini menunggu kedatangan Hongsiang dan Liu-Twako. Siapa tahu beliau berdua itu segera datang...?"
"Oh, benar!" perwira itu mengangguk-angguk. "Tetapi...kuharap Tuan Yang segera kembali ke sini kalau semuanya sudah beres."
"Tentu saja. Sayapun ingin berjumpa juga dengan Liu-Twako nanti," Chin Yang Kun tersenyum, lalu tiba-tiba. "...eh, Siangkoan Ciangkun? Kapan Ciangkun menerima tiga orang yang bertempur dengan dayang-dayang itu sebagai perajurit di sini?"
"Maksud Tuan Yang...tiga orang perajurit berpedang gergaji itu?"
"Benar!"
"Ah, belum lama. Tapi karena kepandaian mereka sangat tinggi dan selalu menunjukkan kemampuan mereka di dalam setiap pertempuran, mereka cepat dikenal diantara para perajurit lainnya. Eh, ada apakah...?" Siangkoan Ciangkun menjawab dengan terheran heran melihat sikap Chin Yang Kun yang mendadak berubah serius itu.
"Ah...tidak apa-apa! Tapi saya mohon Siangkoan Ciangkun berhati-hati bila berhadapan dengan mereka."
"Berhati-hati...?" perwira itu semakin bingung dan tidak mengerti apa yang dimaksudkan Chin Yang Kun. Chin Yang Kun mengangguk dan tersenyum.
"Saya tak ingin menjelek-jelekkan orang lain di depan Siangkoan Ciangkun. Siapa tahu orang itu telah menjadi baik dan sadar sekarang? Dan kini mereka benar-benar ingin menjadi perajurit yang baik! Maaf...pada saatnya nanti Ciangkun akan mengerti juga.Sudahlah! Saya mohon diri dahulu!" Dengan wajah masih dipenuhi oleh berbagai macam pertanyaan perwira itu terpaksa melepaskan Chin Yang Kun pergi. Seorang perajurit diperintahkannya ke belakang untuk mengambil Si Cahaya Biru. Begitulah, dengan naik di atas punggung Cahaya Biru Chin Yang Kun keluar dari halaman rumah penginapan itu.Perlahan-lahan pemuda itu mengendarai kudanya di jalan raya. Suasana masih tampak riuh dan ramai. Orang-orang yang hilir-mudik berlalu lalang di jalan itu semakin bertambah banyak juga.
"Gwa-mia (Ramal atau Nujum)...! Gwa-mia...!" Tiba-tiba dari pinggir jalan terdengar Iantang suara seorang Tukang Nujum atau ramal menjajakan kepandaiannya. Chin Yang Kun terpaksa menoleh juga untuk melihatnya. Dan seorang kakek tua dengan topi lebar bergegas mendatangi. Tongkat besinya yang panjang terdengar gemerincing ketika diseret di atas jalan yang berbatu. Chin Yang Kun menghentikan kudanya. Sungguh sangat kebetulan bagi pemuda itu, ada yang bisa dia mintai keterangan, di mana letaknya gedung Kim-liong Piauw-kiok itu. Dan peramal keliling tersebut tentu tahu belaka setiap pojok dan pelosok kota itu.
"Nasib mujur...nasib beruntung, nasib sedih atau...celaka! Berdagang selalu merugi...berdagang selalu bangkrut, semuanya tidak perlu terlalu dimasukkan ke dalam hati! Setiap orang mempunyai peruntungan atau nasib sendiri-sendiri. Semuanya telah digariskan Thian sejak mereka dilahirkan. Oleh karena itu berbahagialah orang yang pagi-pagi telah bersiap-sedia menghadapi kehidupannya, baik itu sedih, gembira, susah ataupun celaka...! Nah, siapa yang ingin meminta tolong untuk melihat nasibnya?" Peramal itu "berkicau" bagai burung yang menyombongkan suara emasnya. Chin Yang Kun tersenyum mendengarnya.
"Kakek, bolehkah aku bertanya...?"
"Tentu saja, tuan muda...Tentang jodoh? Pangkat? Jabatan? Atau hari depan perkawinan tuan muda? Aha, tuan muda tidak usah takut biayanya. Tanggung murah, murah sekali...," orang tua itu berkicau lagi dengan suara bersemangat.
"Oh, bukan itu yang kumaksudkan." Chin Yang Kun lekas-lekas memotong perkataan kakek itu dengan perasaan tak enak. "Aku...aku cuma mau bertanya kepada kakek, di manakah letak gedung Kim-liong Piauw-kiok itu?"
"Oouuw...itu! Baiklah, nanti akan kutunjukkan kepada tuan. Tapi...omong-omong, apakah tuan muda tidak ingin tahu nasib tuan muda nanti? Berilah saya sekeping uang tembaga saja, dan saya akan meramal nasib tuan di kelak kemudian hari," kakek itu tetap mendesak Chin Yang Kun. Tak sampai juga hati Chin Yang Kun untuk menolaknya. Bukan soal uangnya, tapi tentang...ramalan itu! Pemuda itu takut apabila isi ramalan-ramalan tersebut justru akan mempengaruhi sikapnya sehari-hari, yaitu tidak bisa bebas dan wajar seperti biasanya. Padahal ramalan itu belum tentu benar salahnya! Sambil memberikan tiga keping uang tembaga Chin Yang Kun berkata dari punggung kudanya,
"Maaf, kek...aku sangat tergesa-gesa. Tolong tunjukkan saja tempat yang kutanyakan itu. dan...lain hari aku akan menemuimu untuk meramalkan nasibku..."
"Wah...kenapa begitu? Sungguh tak enak rasanya harus menerima pemberian cuma-cuma."
"Tak apalah, kek. Aku benar-benar tergesa kali ini. Maafkanlah...!"
"Baiklah. Silahkan tuan muda berjalan terus sampai di perempatan jalan itu, lalu berbelok ke kiri. Kira-kira setengah Iie kemudian tuan akan melihat sebuah restoran besar di sebelah kiri jalan. Nah...di belakang rumah makan itulah gedung Kim-liong Piauw kiok berada. Memang selain mengusahakan piauw kiok, pemilik gedung tersebut juga membuka restoran pula."
"Oh, terima kasih...kek!"
"Ya, tuan muda...silakan! Dan kuharap kalau Tuan muda nanti masih punya waktu, datanglah ke tempat ini! Aku akan tetap menunggu, karena tak enak rasanya memperoleh uang secara cuma-cuma."
"Baiklah, kek."
"Dan...berhati-hatilah, tuan muda! Kulihat ada kabut gelap yang menyelimuti tuan malam ini." Chin Yang Kun mengangkat alisnya. Beberapa kali mulutnya mau bertanya, tapi tidak jadi. Akhirnya sambil menghela napas panjang pemuda itu menghentakkan kendali kudanya dan pergi meninggalkan kakek itu. Sambil berjalan pemuda itu masih juga memikirkan kata-kata kakek tersebut.
Sampai di perempatan jalan Chin Yang Kun berbelok ke kiri seperti yang dikatakan oleh kakek peramal tadi. Jalan di situ lebih lebar dan lebih ramai. Di sebelah kanan kiri jalan hanya terdapat toko-toko dan warung-warung saja. Tampaknya memang itulah jalan utama dari kota Sin-yang! Benarlah, setengah lie kemudian Chin Yang Kun melihat sebuah rumah makan besar di pinggir jalan. Hanya saja pintu dan jendela rumah makan itu tampak tertutup dengan rapat. Dan di atas pintu depannya dipasang kain putih terjulur panjang menyentuh lantai. Kim liong Piauw-kiok memang sedang dalam suasana berkabung. Oleh karena itu Chin Yang Kun menjadi ragu-ragu, apa yang harus dia lakukan. Langsung masuk melalui pintu depan, atau...secara diam-diam lewat pintu belakang dan menemui Kim-liong Lojin!
"Hmm, apapun yang akan terjadi aku harus menunjukkan dadaku lewat pintu depan," pemuda itu akhirnya berkata di dalam hatinya. Di depan pintu halaman Chin Yang Kun dihentikan oleh empat orang penjaga, yang semuanya mengenakan kain pembalut berwarna putih di lengannya.
"Tolong katakan kepada Kim-liong Lojin bahwa di luar ada seorang pemuda bernama Yang Kun mau bertemu...!" Chin Yang Kun berkata kepada para penjaga tersebut.
"Ooh?!?" Tiba-tiba para penjaga itu menjadi tegang. Nama Yang Kun itu tampaknya benar-benar mengejutkan mereka. Dua orang diantaranya bergegas berlari ke dalam, sementara yang dua lagi dengan gelisah dan gemetaran menyambut Chin Yang Kun.
"Oh, tuan...! Ma-marilah...! Kami...kami memang telah me-menantikan tuan sejak...sejak tadi," penjaga itu mempersilakan Chin Yang Kun masuk. Yang satu, mengambil kuda Chin Yang Kun, sementara yang seorang lagi mengantar pemuda itu ke dalam. Di bawah tangga pendapa Chin Yang Kun disambut oleh barisan penjaga yang berdiri di kanan kiri tangga masuk. Semuanya mengenakan kain putih pada lengan masing-masing, sehingga tergetar juga rasanya hati Chin Yang Kun melihatnya. Setelah naik ke pendapa Chin Yang Kun dipersilakan duduk di kursi yang tersedia. Beberapa orang lelaki muda yang tadi sore membawa gerobag gerobag jenazah tampak bergegas keluar menyambutnya.
"Ah. ternyata saudara Yang telah datang kemari. Hari telah malam, kami mengira saudara akan datang besok..." lelaki yang dikenal oleh Chin Yang Kun sebagai lelaki yang tadi sore membawa kawan-kawannya menjemput rombongan pembawa jenazah, tampil ke depan dan menyapa Chin Yang Kun.
"Maaf, karena harus menghadiri jamuan makan yang diselenggarakan oleh seorang kawan, aku terpaksa terlambat datang kemari." Chin Yang Kun cepat memberi keterangan.
"Silakan duduk, saudara Yang...!"
"Terima kasih!" Chin Yang Kun mengangguk, tapi tidak segera duduk seperti yang mereka harapkan. Sebaliknya pemuda itu malah menatap pihak tuan rumah dengan tajamnya.
"Terima kasih sekali lagi atas penyambutan saudara saudara semua kepadaku. Tetapi...terus terang aku tidak ingin berlama-lama disini. Setelah hari menjadi malam, akupun masih mempunyai urusan lain yang harus kukerjakan. Maka dari itu, aku ingin segera bertemu dengan Kim-liong Lojin. Di manakah dia...?" Terdengar lapat-lapat suara geram dari orang-orang Kim liong Piauw-kiok yang sedang menyambut pemuda itu. Perlahan-lahan wajah mereka menjadi merah dan tangan mereka kelihatan sudah gemetaran mau meraih senjata yang berada di pinggang masing-masing. Tampaknya sikap Chin Yang Kun yang kaku dan seenaknya sendiri itu benar-benar telah menyinggung perasaan dan hati mereka.
Sejak sore mereka telah menunggu kedatangan pemuda itu dengan perasaan tegang dan gelisah. Tetapi orang yang mereka tunggu ternyata malah menghadiri sebuah jamuan makan. Dan kini setelah mereka sudah mengendorkan syaraf karena mengira pemuda itu akan datang besok, tahu-tahu dia muncul di hadapan mereka. Meskipun demikian mereka berusaha menyambutnya dengan baik. Eeee...tidak mereka sangka pemuda itu malah bersikap demikian kaku dan meremehkan sekali kepada mereka. Malah datang-datang pemuda itu lalu mendesak agar Sucouw mereka yang sakit dan sudah terlanjur kembali beristirahat di dalam kamarnya itu cepat-cepat keluar menemuinya. Siapa yang tidak tersinggung?
"Saudara Yang! Sekali lagi...Silakan duduk! Ketahuilah, sudah sejak sore tadi Sucouw duduk di sini menantikan saudara. Sekarang beliau berada di belakang untuk menemui sahabat akrabnya yang telah bertahun-tahun tidak berjumpa. Oleh karena itu kami diperintahkan untuk sementara menemani saudara di sini..." orang yang mewakili pihak tuan rumah tadi berkata dengan nada kaku pula.
"Hmm...bukankah pihak kalian yang membutuhkan aku? Cepatlah! Kalau tidak, aku akan pergi dari sini!" Chin Yang Kun berkata lagi dengan nada tak sabar. Sedikitpun pemuda itu tidak mempedulikan sikap tuan rumah yang gondok dan mendongkol itu.
"Kurang ajar! saudara Yang, kau benar-benar tidak menghargai kami sebagai tuan rumah di sini!" wakil tuan rumah itu membentak penasaran.
"Benar. Dikiranya kita takut dan gemetar mendengar namanya," yang lain ikut menggeram dengan marah.
Pendekar Tanpa Bayangan Eps 12 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 12 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 1