Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 54


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 54




   "Benar, Hongsiang... inilah anak itu," dengan wajah ketakutan serta dengan suara gemetar pula ln Leng Hoan membungkukkan badannya. Chin Yang Kun melirik dengan kening berkerut. Tak diduganya tempat itu telah dipenuhi dengan perajurit-perajurit kerajaan. Dan selain orang-orang yang ikut menggali lobang tadi, semua penduduk tampak berdiri menggerombol di luar halaman. Wi Yan Cu yang tadi dibawanya keluarpun juga telah berada di antara mereka, isteri Yung Ci Pao itu kelihatan menangis dalam bujukan wanita-wanita tua, sementara Yung Ci Pao sendiri tampak ketakutan di dekatnya. Beberapa kali saudara misannya itu mengawasi isterinya, lalu melirik ke arah perajurit-perajurit yang bertebaran di halaman rumahnya.

   "Oh, benarkah...? Sungguh tak kusangka... Hmm, Yang Kun..., Yang Kun!" tiba-tiba Kaisar Han memeluk Chin Yang Kun dari belakang. Wajah Baginda kelihatan gembira, sedih dan terharu.

   "Oh... makanya begitu melihat anak ini, tanpa sebab dan alasan aku lantas menyukai dan menyayanginya seperti adik atau anakku sendiri. Hmm... ternyata naluri dan perasaanku telah merasakannya sebelum aku sendiri menyadarinya. Yang Kun..., anakku, ayahmu sungguh berdosa sekali kepadamu!"

   "A-a-aapa... apa ini?" Chin Yang Kun tersentak kaget dan meronta dalam pelukan Kaisar Han.

   "Yang Kun, kau... kau jangan kurang ajar di depan ayahandamu! Ayoh, berlututlah!"In Leng Hoan menghardik cucunya.

   "Kong-kong! Liu-Twako! Ada apa ini? Kalian... kalian ini omong apa? Ja-ja-jangan ngawur...!" di dalam kagetnya Chin Yang Kun berteriak keras sekali. Tapi Kaisar Han cepat merangkulnya kembali.

   "Yang Kun, tenanglah. Kami semua tidak ngawur. Marilah kita berbicara yang baik di rumah kakekmu atau di pesanggrahanku!" ajak Kaisar itu.

   "Tidak!! Omong kosong! Kalian cuma mau menipu aku...!" mendadak Chin Yang Kun berteriak marah. "Ayahku, ibuku, pamanku dan adik-adikku sudah mati semua. Aku sebatang-kara di dunia ini. Mana aku mempunyai ayah yang lain lagi?"

   "Apa...? Jadi ibumu sudah meninggal?" In Leng Hoan dan Kaisar Han menjerit hampir berbareng.

   "Benar..."

   "Ohh... Soh Hwa..." lagi-lagi ln Leng Hoan dan Kaisar Han berdesah hampir bersamaan pula. Untuk sejenak semuanya tampak berdiri diam termangu mangu di tempat masing-masing. Dan sinar obor yang terang benderang itu menerpa wajah mereka yang pucat-pucat seperti tak ada darahnya.

   Dan khusus untuk Chin Yang Kun, pemuda itu selain pucat juga kelihatan masih sangat penasaran sekali. Akhirnya Kaisar Han yang arif dan bijaksana itulah yang lebih dulu terjaga dari kebisuan tersebut. Dengan kata-kata yang halus Baginda membujuk dan mengajak Chin Yang Kun ke pesanggrahannya, yaitu di Kuil Ban-lok-si. Para perajurit yang menebar di halaman itupun lalu berkumpul pula untuk mengiringkan Baginda Kaisar Han kembali ke In-ki-cung. Ketika berjalan melewati Wi Yan Cu, Chin Yang Kun berhenti. Dengan tangkas pemuda itu meloncat keluar barisan, lalu meringkus Yung Ci Pao yang masih tetap berdiri ketakutan di tempatnya. Setelah menotok urat-urat pentingnya, sehingga lelaki bopeng itu lumpuh, Chin Yang Kun melemparkannya di depan Wi Yan Cu.

   "Yan Cu, inilah lelaki yang telah mencelakakan hidupmu itu. Dia kuserahkan kepadamu. kau bebas untuk berbuat apa saja terhadapnya. Dia telah kutotok lumpuh agar kau bebas untuk menghukumnya." Chin Yang Kun menggeram, lalu kembali ke samping kakek dan Liu-Twakonya lagi. Sebaliknya In Leng Hoan menjadi terperanjat sekali melihat perbuatan Chin Yang Kun tersebut.

   "Yang Kun... mengapa kau... kau menyerang saudara misanmu sendiri? Apa kesalahannya?" ln Leng Hoan berseru kaget.

   "Ah... kong-kong, kau tentu sudah tahu sebabnya, apa kesalahan si Bopeng itu terhadap keluarga Wi. Kita tidak boleh melindungi pemuda brengsek semacam dia, meskipun dia masih keluarga kita sendiri." Chin Yang Kun menjawab kaku.

   "Eh, bolehkah aku bertanya? Apa sebenarnya kesalahan pemuda itu?" Kaisar Han tidak bisa menahan diri untuk bertanya. Chin Yang Kun menatap Kaisar Han atau Liu-Twakonya, lalu sambil mengangguk ia menjawab halus namun tegas.

   "Saudara misanku itu dengan cara yang licik tidak terhormat telah mengawini wanita itu. Mula-mula ia telah memperkosanya hingga mengandung, setelah itu baru ia melamarnya. Untuk menutupi aib tersebut, ayah wanita itu terpaksa mengawinkan mereka. Tapi aib tersebut tetap merupakan beban yang tidak tertanggungkan oleh keluarga si wanita itu. Satu persatu ayah ibunya lalu sakit dan meninggal dunia."

   "Tapi... mengapa orang seperti itu didiamkan saja? Mengapa ia tidak ditangkap dan dihukum?" Kaisar Han bertanya lagi.

   "Hmm... pemuda itu masih cucu dari orang yang paling berpengaruh di daerah ini. Pemuda itu adalah cucu dari kakekku sendiri. Itulah sebabnya dia berani berlaku sewenang-wenang." Chin Yang Kun menjawab pula seraya berpaling ke arah kakeknya.

   "Hmmh!" Kaisar Han menggeram, teringat akan nasibnya sendiri ketika ia ingin mempersunting ibu Chin Yang Kun dahulu. Bagaimana In Leng Hoan atau kakek Chin Yang Kun itu mengerahkan seluruh kaki tangannya untuk menangkap dirinya.

   "Benarkah perkataan cucumu itu, In Cungcu?" Kaisar Han berdesah seraya berpaling kepada ln Leng Hoan.

   "Be-be benar, Hongsiang...! Hamba... hamba memang telah berlaku salah, membiarkan sepak terjang Yung Ci Pao itu."

   "Hmmm... perajurit!" Kaisar Han berseru.

   "Ya, tuanku...?"

   "Kau tinggal di sini bersama sepuluh orang temanmu. Lindungilah perempuan itu! kau turuti saja apa keinginannya! Kalau dia ingin membalas dendam kepada lelaki itu, kau pun harus membantunya! Mengerti...?"

   "Hamba, tuanku!" perajurit itu mengangguk.

   "Nah, Yang Kun... In Cungcu... marilah kita berangkat!"

   "Ohh... jangan! Jangan! Kong-kong...Piao-te, tolonglah aku! Aku jangan ditinggalkan di sini...!" Yung Ci Pao berteriak-teriak dan menjerit-jerit ketakutan. Tapi Chin Yang Kun bersama rombongan Kaisar itu, tidak mempeduIikannya. Begitu pula dengan In Leng Hoan. Kakek itu sama sekali tidak berani berbuat apa-apa di depan Kaisar Han. Mereka tetap berjalan terus meninggalkan tempat itu.

   "Ohh, Yang Kun... terima kasih!" sambil mengusap air matanya Wi Yan Cu berbisik. Matanya sayu menatap punggung Chin Yang Kun yang semakin lama semakin jauh. Demikianlah, menjelang tengah malam rombongan itu sampai pulalah di Kuil Ban-lok-si di luar desa In-ki-cung. Dan Chin Yang Kun yang sudah tidak sabar lagi untuk mendengar penjelasan kakeknya dan Kaisar Han itu bergegas memasuki kuil tersebut.

   Tapi pemuda itu menjadi terkejut sekali ketika di dalam kuil ia disambut oleh nenek serta saudara-saudara ibunya. Keluarga mendiang ibunya yang sudah lama tidak ia jumpai itu tampak menyongsong kedatangannya dengan meriah. Chin Yang Kun menjadi terharu juga melihat mereka. Apalagi ketika dia menceritakan kepada mereka tentang kematian ibunya. Semuanya tampak sedih dan meneteskan air mata. Neneknya yang telah tua itu malah menangis meraung raung. Sementara itu di pihak lain In Leng Hoan kelihatan gelisah dan khawatir sekali menyaksikan seluruh keluarganya berada di tempat itu. Berbagai macam pikiran buruk segera berkelebat di depan matanya. Jangan-jangan dia serta seluruh keluarganya sengaja dikumpulkan oleh Kaisar Han di tempat itu untuk menerima hukuman.

   "Tapi... tapi aku telah menceritakan semuanya, seluruh peristiwa yang menyebabkan keluargaku dan keluarga Chin memburu dia pada dua puluh tahun berselang. Malah aku telah membuka pula rahasia keluargaku tentang anak itu kepadanya. Masakan ia sekarang masih mendendam dan mau membalas sakit hatinya itu?" orang tua itu berkata-kata di dalam hatinya. Apa sebenarnya yang telah terjadi? Mengapa ln Leng Hoan yang semula memenuhi panggilan Kaisar Han di kuil itu tiba-tiba telah berada di rumah Wi Yan Cu di Hoa-ki-cung bersama-sama dengan Kaisar tersebut? Dan bagaimana pula secara tiba-tiba Kaisar Han itu menyebut Chin Yang Kun sebagai puteranya? Apa sebenarnya yang telah terjadi di kuil itu setelah kakek ln Leng Hoan menghadap Baginda Kaisar sore tadi?

   Apa yang telah dibayangkan oleh In Leng Hoan dan isterinya sebelum kepala kampung itu memenuhi panggilan Kaisar Han ternyata meleset. Kepala kampung itu ternyata tidak memperoleh perlakuan buruk seperti yang telah ia duga sebelumnya. Liu Pang yang kini telah menjadi Kaisar itu ternyata cuma menanyakan, apakah dia masih kenal kepadanya. Dan Kaisar itu juga hanya bertanya tentang ln Soh Hwa, ibu Chin Yang Kun yang telah kawin dengan seorang Pangeran Chin itu. Tentu saja ln Leng Hoan tidak berani berbohong di depan Kaisarnya. Dengan menyembah kakek itu menjawab bahwa ia masih tetap mengenal junjungannya itu. Adapun mengenai ln Soh Hwa, karena sejak pecah perang itu ia memang tidak pernah lagi melihat dan mendengar beritanya, maka ia juga menjawab seperti apa adanya.

   Ternyata Kaisar Han mempercayai kata-katanya. Tapi ketika akhirnya Kaisar Han itu bertanya tentang bayi yang dikandung oleh In Soh Hwa sebelum kawin dengan Pangeran Chin itu, ln Leng Hoan menjadi bungkam mulutnya. Kakek itu menjadi gugup dan gelisah. Bagaimanapun juga aib yang menimpa puterinya itu adalah rahasia pribadi keluarganya. Tetapi Kaisar Han itu terus saja mendesaknya. Malahan saking jengkelnya, karena ia tetap saja menutup mulutnya, Kaisar itu sempat membentak serta mengancamnya. Akhirnya karena merasa takut kakek itu terpaksa membuka rahasia itu juga. ln Soh Hwa memang telah mengandung putera Liu Pang selama dua bulan ketika kawin dengan Chin Yang, si Pangeran Chin itu.

   "Dan... anak itu akhirnya lahir dengan selamat, bukan?" Kaisar Han berbisik dengan perasaan tegang.

   "Benar, Ba-Baginda..."

   "Lalu dimanakah puteraku ini sekarang?" saking tegang dan gembiranya Kaisar itu meloncat turun dari kursinya, lalu mengguncang-guncang pundak In Leng Hoan.

   "Anak itu? Eh, dia... dia..."

   "Ya! Di manakah dia sekarang? Lekas katakan!" Kaisar Han berteriak gelisah melihat keragu-raguan kakek itu.

   "Anu... anu... menurut laporan orang-orang hamba anak itu sekarang tertimbun reruntuhan rumah Yung Ci Pao yang roboh! Eh, maksud... maksud hamba..."

   "Apaaa...?" Kaisar Han menjerit. Tiba-tiba tubuh kakek yang sedang berada di lantai itu terlempar ke atas ketika lengan Baginda menariknya. Untunglah seorang perwira dengan cepat menyambarnya, kalau tidak tubuh tua itu mungkin sudah hancur terbanting di atas lantai.

   "Ampun, tuanku...! Hamba... hamba..." In Leng Hoan cepat-cepat menyembah. Lalu dengan gagap dan gemetar kakek itu mencoba menerangkan apa yang telah terjadi pada Chin Yang Kun menurut laporan anak buahnya. Kakek itu juga menerangkan bahwa iapun belum sempat bertemu dengan anak itu. Malah ketika Baginda mengirim utusan untuk memanggil dirinya itu, ia baru memimpin orang-orangnya untuk menggali reruntuhan itu.

   "Kalau begitu... ayoh, tunjukkan tempat itu! Kita harus lekas-lekas menolongnya!" Kaisar Han berteriak. Demikianlah, seperti yang telah diceritakan di depan, Kaisar Han beserta perajurit perajuritnya telah bisa menyelamatkan Chin Yang Kun dan Wi Yan Cu dari lobang di bawah tanah. Dan begitu diberi tahu bahwa pemuda itulah putera yang dikandung oleh ln Soh Hwa itu, Kaisar Han menjadi kaget bukan main.

   Jilid 41
Bagi Kaisar Han atau Liu Pang, Chin Yang Kun bukanlah orang asing lagi. Pemuda itu pernah ditolongnya dari kematian. Pemuda itu sudah dianggapnya sebagai saudara angkat. Dan lebih dari pada itu, Chin Yang Kun telah dianggap sebagai keluarganya sendiri pula. Maka dari itu kenyataan tentang hubungan mereka itu benar-benar sangat mengharukan, sekaligus amat menggembirakan hati Kaisar Han tersebut. Tetapi Chin Yang Kun agaknya masih belum siap untuk menerima semua kenyataan itu. Hal itu terbukti dengan sikap pemuda itu ketika mendengar perkataan kakeknya dan Kaisar Han. Pemuda itu tampak tidak percaya dan bersikap menentang. Oleh karena itu setiba mereka di pesanggrahan Ban-lok-si, Kaisar Han berusaha dengan sekuat tenaga untuk meyakinkan kenyataan tersebut kepada Chin Yang Kun.

   "Yang Kun, engkau memang benar-benar puteraku. Ibumu sudah berhubungan dengan aku, dan telah hamil dua bulan ketika kawin dengan ayahmu. Kalau engkau kurang percaya, engkau dapat bertanya kepada kakekmu ini..." dengan suara haru Kaisar Han berkata kepada Chin Yang Kun.

   "Hal ini... hal ini... se-sebenarnya merupakan rahasia pribadi keluarga kita." In Leng Hoan berkata dengan suara gemetar pula. "...Tapi apa boleh buat, rahasia itu kini terpaksa harus kukatakan juga kepadamu. Keadaan memang sudah berubah, dan aku sungguh berdosa besar kepadamu kalau aku tetap tidak mau membeberkan rahasia ini. kau sudah dewasa. kau berhak untuk mengetahui, siapa sebenarnya orang yang menurunkan dirimu..." Kakek itu berhenti sebentar untuk mengambil napas, lalu seraya menatap wajah Chin Yang Kun lekat-lekat ia meneruskan perkataannya.

   "Cucuku...! Sebenarnyalah bahwa kau ini bukan putera kandung ayahmu. lbumu telah hamil muda ketika kawin dengan ayahmu. Dan ayahmu yang sebenarnya adalah... seorang petani muda bernama Liu Pang, yang kini telah berkenan duduk di depanmu dan telah menjadi raja junjungan kita semua!" Tiba-tiba Chin Yang Kun berdiri dari tempat duduknya. Wajahnya pucat, matanya terbelalak mengawasi Kaisar Han. Bibirnya gemetar dan komat-kamit seakan ada yang hendak dikatakannya, tapi tak bisa. Kelihatannya apa yang telah diutarakan oleh kakeknya itu benar-benar di luar dugaan dan sangat menggoncangkan hatinya. Memang, selama ini tak seorangpun yang bercerita tentang kenyataan itu kepadanya.

   Mendiang ibunyapun tidak. Sehingga selama ini dia beranggapan bahwa dirinya memang putera dari ayah ibunya, keluarga bangsawan Chin dari Kotaraja. Dan seingatnya, ia seperti tak pernah mendapatkan perlakuan lain seperti halnya seorang anak tiri di rumahnya. Ayahnya memang sangat keras dan kaku terhadap dirinya. Malah kadang-kadang terasa sangat kejam. Tetapi menurut penilaiannya, memang begitulah watak dan sifat ayahnya. Ia tak pernah merasa diperlakukan lain dengan adik-adiknya. Kalau toh ia lebih dekat dengan paman-pamannya, itu hanya karena paman-pamannya tersebut lebih ramah serta pandai mengambil hatinya. Apalagi mereka itulah yang selama ini selalu membimbing dirinya dalam ilmu silat. Membayangkan semuanya itu hati Chin Yang Kun lantas berteriak.

   "Tidaaak...! Kalian semua bohong!" akhirnya pemuda itu menjerit. Semua orang yang berada di dalam kuil itu tersentak kaget. Kaisar Han dengan pandang mata tak percaya, perlahan-lahan bangkit dari kursinya. Para perwira yang duduk di dekat Bagindapun juga ikut berdiri pula. Begitu pula dengan para perajurit yang berjaga-jaga di dalam kuil itu. Mereka tampak bersiap siaga dengan senjata masing-masing. Nenek Chin Yang Kun cepat menubruk serta memeluk cucunya itu, diikuti pula oleh anak-anaknya, atau saudara saudara kandung ibu Chin Yang Kun.

   "Cucuku...! Oh, kau jangan berkata demikian. Itu berdosa! Memang benar apa yang telah dikatakan oleh kakekmu tadi. kau adalah putera Liu... eh, putera kandung Hongsiang...!" nenek itu berseru dan menangis.

   "Benar, Yang Kun. kau memang putera Hongsiang!" paman Chin Yang Kun ikut menegaskan perkataan ibunya.

   "Tidaaaaak...!" sekali lagi pemuda itu berteriak setinggi langit. Lalu tanpa diduga oleh siapapun, tiba-tiba Chin Yang Kun berlari ke arah pintu. Disibakkannya para penjaga yang menghalang-halangi jalannya, kemudian tubuhnya melesat keluar, dan sekejap saja sudah tidak kelihatan bayangannya. Sayup-sayup masih terdengar teriakannya.

   "Tidak...! Tidaaak...!" Kejadian itu benar-benar sangat mendadak dan di luar dugaan siapapun juga. Semua orang, termasuk Hongsiang sendiri seolah-olah telah terkena hipnotis, sehingga mereka cuma bisa melihat saja kepergian pemuda itu. Semuanya terdiam bagaikan patung di tempat masing-masing. baru beberapa saat kemudian Kaisar Han tersadar dari impian buruk itu. Tapi semuanya telah terlambat. Chin Yang Kun, puteranya yang baru saja ia dapatkan, yang selama ini selalu menjadi teka-teki dalam hidupnya, tak mungkin dapat dikejar lagi. Anak yang berkepandaian sangat tinggi itu telah hilang di dalam kegelapan malam.

   "Hong-lui-kun! Yap Tai-Ciangkun! Kejar dia...!" dalam kebingungannya Baginda memberi perintah kepada jago-jagonya.

   "Baik, Hongsiang!" kakak-beradik itu menyahut berbareng, kemudian dengan cepat tubuh mereka berkelebat keluar.

   Tetapi karena mereka berdua tidak tahu arah ke mana Chin Yang Kun tadi berlari, maka usaha mereka pun sia-sia. Meskipun dengan ginkang mereka yang tinggi keduanya menjelajahi hampir seluruh perbukitan di sekitar tempat itu, bayangan Chin Yang Kun tetap tidak dapat mereka ketemukan. Keduanya kembali ke kuil Ban-lok-si dengan tangan hampa. Tentu saja Kaisar Han menjadi penasaran sekali.

   "Yap Tai-Ciangkun! Kerahkan seluruh anggauta Sha-cap mi-wi untuk mencari puteraku tadi sampai ketemu! Bawalah anak itu menghadapku!" Baginda berteriak.

   "Baik, Hongsiang...akan hamba kerjakan!" Demikianlah, malam itu suasana di dalam kuil itu menjadi sibuk bukan main. Yap Tai-Ciangkun memanggil semua anggauta Sha-cap mi-wi yang kebetulan bertugas mengikuti perjalanan Baginda pada malam itu. Dengan singkat panglima muda itu menjelaskan persoalannya dan kemudian memerintahkan kepada mereka untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka itu. Sementara itu malam semakin larut dan suasana di daerah yang berbukit-bukit itu tampak semakin lengang pula. Hanya desau angin dan suara-suara binatang malam saja yang terdengar. Dan bulan yang pucatpun tampak semakin condong pula ke arah barat. Tapi semuanya itu ternyata tak bisa mendinginkan hati Chin Yang Kun.

   Pemuda itu masih tetap terus berlari dan berlari, naik turun bukit dan jurang bagaikan orang gila. Kenyataan yang dihadapi oleh pemuda itu sungguh-sungguh sangat menggoncangkan jiwanya, dan sama sekali tak pernah terlintas dalam hati dan pikirannya. Oleh karena itu meskipun derajatnya sekarang menjadi lebih tinggi, karena ayahnya yang sekarang adalah seorang Kaisar, tapi hati dan perasaan pemuda itu tetap belum bisa menerimanya. Jiwa dan pikiran pemuda itu masih tetap lekat dengan erat kepada ayahnya, apapun yang terjadi. Bayangan ayahnya ketika mau meninggal masih jelas teringat dalam benaknya. Bagaimana sang ayah itu memeluknya, dan bagaimana ayahnya itu memberi pesan-pesan terakhir kepadanya. Apalagi jika teringat akan kebaikan hati paman-pamannya, terutama paman bungsunya.

   "Ooooh...!" pemuda itu berlari terus seraya mengeluh panjang-pendek. Tanpa terasa malam telah berganti pagi. Seperti orang yang tidak mempunyai rasa lelah, Chin Yang Kun masih tetap juga berlari tanpa tujuan. Pemuda itu baru berhenti ketika tiba-tiba ia memasuki sebuah lembah subur yang sangat dikenalnya.

   Lembah itu tidak begitu luas dan terletak di antara gununggunung yang tinggi, sehingga lembah itu sebenarnya hanya merupakan sebuah celah gunung yang agak luas begitu saja. Tempat itu letaknya sangat terpencil dan sedikit sulit untuk didatangi. Namun demikian Chin Yang Kun ternyata telah sampai di tempat tersebut. Ternyata tanpa disengaja dan hanya karena nalurinya saja pemuda itu sampai di lembah tersebut. Lembah yang selama beberapa tahun menjadi tempat persembunyian keluarganya. Dalam kepepatan dan kerisauan hatinya ternyata pemuda itu telah berlari ke lembah itu, seperti ayam pulang ke kandang di sore hari. Hal ini bisa saja terjadi karena lembah itu memang tidak begitu jauh letaknya dari daerah perbukitan di mana desa ln-ki-cung dan Hoa-ki-cung berada.

   Chin Yang Kun termangu-mangu sejenak ketika lewat di bawah pohon cemara tua, yang tumbuh di mulut lembah itu. Dahulu ketika dia dan keluarganya masih tinggal di situ, setiap hari tentu lewat di bawah pohon tua itu. Begitu seringnya ia lewat di sana, sehingga ia sangat hapal akan lekuk Iiku dan jumlah dahan serta cabang dari pohon cemara tua tersebut. Dia sendiri malah sering menggurat namanya di tempat itu. Chin Yang Kun melangkah mendekati pohon itu dan mencari guratan namanya di sana. Tetapi matanya terbelalak lebar. Bagian di mana ia pernah mengukir namanya ternyata telah rusak dan hancur seperti bekas dihantam dengan benda keras. Dan bekas kerusakan itu seperti masih baru, paling tidak belum lebih dari dua hari yang lalu. Bekas itu masih tampak mengeluarkan getah.

   "Hemm, ada orang yang baru saja datang kemari. Siapakah dia?" Chin Yang Kun tertegun. Pemuda itu lalu melangkah lagi, tapi sekejap kemudian berhenti lagi. Matanya nanar melihat ke arah sebuah benda yang tergolek tidak jauh dari pohon itu, yaitu sebuah guci bekas tempat arak, terbuat dari tanah liat. Tetapi bukan guci itu yang mengejutkan Chin Yang Kun, akan tetapi bekas-bekas cuilan kayu cemara yang menempel di bagian pantatnya. Chin Yang Kun cepat menoleh kembali ke arah pohon yang rusak tadi dan tiba-tiba hatinya tergetar hebat! Rusaknya atau hancurnya kulit pohon itu terang diakibatkan oleh hantaman pantat guci tersebut.

   Hanya anehnya, mengapa guci yang terbuat dari tanah liat itu tidak pecah, tapi justru malah kayu cemara yang keras itu yang rusak? Dari kenyataan itu saja dapat diduga bahwa orang yang memegang guci tersebut tentu bukan orang sembarangan. Chin Yang Kun meningkatkan kewaspadaannya, siapa tahu orang itu masih berada di lembah itu dan kini sedang mengamati seluruh gerak-geriknya? Dan siapa tahu pula orang tersebut adalah lawannya? Maka dari itu dengan sangat hati-hati dan teliti, Chin Yang Kun mengedarkan seluruh pandangannya ke seluruh lembah dan tebing-tebing gunung di sekitarnya. Dicarinya kalau kalau ada sesuatu yang mencurigakan di sana. Tapi tempat itu sepi sekali. Hanya suara kicau burungburung liar saja yang terdengar di telinga Chin Yang Kun.

   "Hmm... sepi benar! Rasa-rasanya ada sesuatu yang tak beres di tempat ini. Perasaanku seperti... eh! Apakah itu?" tiba-tiba pemuda itu berbisik kaget. Segulung asap tipis tampak mengepul dari sebuah jurang di sebelah kirinya. Tapi ketika pemuda itu berlari mendekati, asap tersebut telah hilang tertiup angin.

   "Kelihatannya ada orang di bawah jurang ini. Mungkin orang itu adalah orang yang datang merusak pohon cemara tadi. Ahh...!" Hati-hati Chin Yang Kun mencari jalan turun ke bawah jurang itu. Kakinya berloncatan di antara batu-batu besar yang menonjol pada tebing yang curam.

   "Gila! Di mana aku harus mencari asal asap tadi?" pemuda itu menggerutu sambil berjalan berkelak-kelok di antara serakan batu-batu besar di dasar jurang itu. "Batu-batu ini demikian rimbunnya, dan bertumpuk-tumpuk seperti kueh bak-pao..." Kemudian pemuda itu melangkah menelusuri parit kecil yang mengalir di tengah-tengah jurang itu. Tapi beberapa saat kemudian Iangkahnya terhenti lagi. Hidungnya mencium bau kayu terbakar di dekatnya. Otomatis Chin Yang Kun meningkatkan kewaspadaannya, siapa tahu dia telah berada di dekat orang yang membuat asap tadi? Oleh karena itu dengan sigap ia meloncat ke balik semak-semak. Tetapi betapa terkejutnya pemuda itu ketika kakinya hampir saja menginjak tubuh seseorang yang tergolek di balik semak tersebut. Maka dengan tangkas, sekali lagi pemuda itu meloncat ke samping untuk menghindarinya.

   "Ehh...!?" Chin Yang Kun terpekik perlahan sambil mempersiapkan dirinya. Tapi untuk yang kedua kalinya pemuda itu menjadi terperanjat bukan buatan. Malah kali ini kekagetannya justru ditambah dengan perasaan tidak percaya pula, karena orang yang tergeletak di depannya tersebut adalah...pelayan tua yang menjadi pengasuhnya sejak kecil dahulu!

   "Kakek...!" Chin Yang Kun menjerit seraya mengusap-usap matanya.

   "Oohh...! Tuan... tuan muda... huk-huk-huk!" dalam kagetnya pelayan tua itu terbatuk-batuk.

   "Kek, kau... kau kenapa? Apakah penyakit batukmu kumat lagi?" Begitu tersadar dari perasaan kagetnya Chin Yang Kun lalu bergegas menubruk pengasuhnya itu. Dibangunkannya orang tua itu, lalu didudukkannya di tempat yang baik dan kemudian dipeluknya erat-erat. Tak terasa air matanya meleleh membasahi pipinya.

   "Tuan muda... oh, tuan muda... betapa bahagianya hatiku! Tak kusangka tubuhku yang tua dan sudah keropos ini masih bisa bertemu dengan tuan muda, huk hukhuuk... ah! Tak sia-sia rasanya penantianku selama ini. Ternyata doaku masih dikabulkan juga. Huk-huk-huk...!" kakek tua itu menangis pula di antara batuknya.

   "Kek... tampaknya penyakitmu kumat lagi. kau jangan banyak bicara dulu. Hmm, di mana... di manakah pipa tembakaumu itu? Berikanlah kepadaku! Biarlah aku racikkan obatmu..." Chin Yang Kun yang ingat akan kebiasaan pengasuhnya itu segera menanyakan pipa tembakau milik kakek tua itu. Tapi kakek tua itu segera menggelengkan kepalanya dengan lemah. Beberapa kali bibirnya tampak meringis menahan sakit, seolah-olah ada sesuatu yang sangat menyakitkan di dalam tubuhnya.

   "Tuan... tuan muda, oh... tidak usah! Semuanya sudah tidak berguna lagi. Penyakitku sudah... sudah... sangat parah..."

   "Kakek..." Chin Yang Kun cepat menyela dengan suara serak. "Kau jangan berputus-asa! Mari kau kugendong ke rumah...!"

   "Oh, jangan!" tiba-tiba kakek tua itu berdesah.

   "Di...di rumah ada... ada orang yang akan membunuh kita. Orang itu..., orang itu... ohhh huk huk-huk!"

   "Apa...? Siapa yang berada di rumah kita?" Chin Yang Kun mendesak dengan suara tinggi.

   "Oh, bukan! Anu... ah, tidak! Tidak...!" kakek itu tampak ragu-ragu serta menyesal telah mengatakan hal itu.

   "Apa, kek? Ayoh, katakan! Mengapa kau tiba-tiba tidak mau berbicara? Siapakah yang berada di rumah kita?"

   "Jangan...! Jangan! kau tidak boleh bertemu dengan mereka! Kita lebih baik menyingkir dari tempat ini." kakek itu cepat menjawab dengan suara takut dan khawatir.

   "Heh? Mengapa begitu...?" seru Chin Yang Kun penasaran. "Siapa sebenarnya orang ini? Mengapa kakek katakan... mereka? Ada berapa orang di sana?"

   "Tuan muda... oh... pokoknya tuan muda jangan ke sana! Turutilah perkataan hambamu ini! Sungguh! Huk-huk... tuan muda akan merasa kecewa serta sedih luar biasa bila tidak menurut perkataanku ini..." Chin Yang Kun semakin tidak mengerti maksud pengasuhnya itu.

   "Sudahlah, tuan muda. Marilah kita lekas-lekas pergi dari tempat ini. Siapa tahu mereka pergi ke tempat ini nanti?" Chin Yang Kun terdiam. Dipandangnya kakek tua yang banyak sekali jasanya terhadap dia itu.

   "Baiklah...!" akhirnya pemuda itu menyerah.

   "Kau tentu mempunyai alasan yang kuat, mengapa aku tidak kau perbolehkan menemui mereka. Marilah kakek kugendong keluar dari tempat ini! Tapi... kakek harus berjanji. Kakek harus menceritakan pengalaman kakek selama ini! Kakek tentu tahu peristiwa yang menimpa ayah serta paman setelah kutinggalkan di tengah hutan malam itu, bukan?" Kakek tua itu tampak ragu-ragu Iagi. Tapi agar Chin Yang Kun mau dia bawa keluar dari tempat itu dengan cepat, maka kakek itu lalu mengangguk.

   "Baiklah tuan muda..." Chin Yang Kun tersenyum, lalu mengangkat tubuh kakek itu ke pundaknya. Kemudian dengan hati-hati pemuda itu melangkah mengikuti aliran parit kecil itu. Sampai di luar lembah pemuda itu berlari menerobos hutan, menuju ke utara. Pemuda itu masih ingat pada sebuah gubug kecil di tengah hutan, tempat ia dulu sering beristirahat bila sedang berburu binatang.

   "Nah, kek... untuk sementara kita beristirahat saja dulu di sini. Nanti kalau penyakitmu sudah agak baik, kita melanjutkan lagi perjalanan kita," pemuda itu berkata setelah tiba di dalam gubug tersebut.

   "Eh, tuan muda... Gubug siapa ini? Mengapa aku tak pernah melihatnya selama ini?" Chin Yang Kun tersenyum lagi,

   "Tentu saja kakek tak tahu, karena kakek tidak pernah ikut aku berburu sejak dahulu. Gubug ini aku sendiri yang membuat..."

   "Ohh... huk-huk-hukk!" tiba-tiba kakek itu terbatuk-batuk lagi dengan keras. Beberapa tetes darah merah tampak membasahi telapak tangan kakek itu.

   "Hei, kek... kau kenapa?" Chin Yang Kun berseru kaget. Wajah kakek itu tampak semakin pucat, dan batuknyapun juga semakin menjadi-jadi pula. Chin Yang Kun menjadi gelisah sekali. Apalagi ketika dilihatnya kakek itu mengeluarkan darah yang lebih banyak dari dalam mulutnya.

   "Kek, kau...?" Chin Yang Kun berdesah serak dan hampir menangis melihat penderitaan pengasuhnya itu.

   "Tuan muda... huk... aku sudah tidak kuat lagi, huk! Sudah dua hari aku bertahan di jurang itu. Huk! Ada orang yang hendak membunuhku... Ah, tuan muda, kau... kau lekaslah pergi dari tempat ini! Lebih jauh lebih baik...!"

   "Kakek...! kau jangan mati dulu! Ooooh! kau belum bercerita tentang kematian ayah dan pamanku...!"

   "Aaaah... tuan muda lebih baik tak usah mengetahui siapa pembunuhnya. Tuan muda malah akan menyesal selama hidup nanti..." Chin Yang Kun terbelalak memandang pengasuhnya yang hampir sekarat itu.

   "Jadi... jadi kakek tahu siapa pembunuh ayahku? Jadi kakek berada di rumah Pendekar Li pula malam itu?"

   "Hamba... hamba... Uu-huk huk-huu-huk...!" Kakek tua itu kelihatan berat sekali untuk menjawab.

   "Kek...? Mengapa kau diam saja? Mengapa tak kau jawab pertanyaanku? Bu-bukankah kau selalu berada di dalam rombongan itu pula? A-apa yang terjadi di rumah bergenting merah itu?" Di dalam ketegangan dan kegelisahan hatinya Chin Yang Kun sampai lupa mengguncang badan orang tua itu keras keras, sehingga akibatnya kakek itu lalu terbatuk-batuk semakin hebat dan tak bisa menjawab pertanyaannya malah! Tetapi pemuda itu tak menyadari perbuatannya tersebut, malah sebaliknya ia menjadi marah dan semakin merasa penasaran melihat kebandelan pengasuhnya itu.

   "Mengapa engkau tak mau menjawab juga? Ohhh...sungguh heran benar aku!" saking jengkelnya pemuda itu berteriak. Apalagi ketika orang tua itu tetap menutup mulutnya juga.

   "Kek! Berbicaralah! Mengapa kau seperti menyembunyikan sesuatu dan tak mau berterus terang kepadaku?"

   "Tu-tuan muda... uu huk huk-huuuk... maafkan hambamu!" orang tua itu tetap tak mau menjawab. Chin Yang Kun menggeram dengan hebat sehingga debu debu yang menempel di dalam rumah atau gubuk itu berguguran ke bawah.

   "Hmmh, baiklah...! Tampaknya kau memang tidak menyayangi aku! Tampaknya kau memang ingin membuat aku mati penasaran..."

   "Tuan muda..." kakek itu berdesah sedih sekali. Matanya yang kuyu itu menatap anak asuhannya dengan air mata berlinang-linang. Meskipun demikian mulutnya tetap bungkam seribu bahasa. Chin Yang Kun lalu bangkit berdiri.

   "Baiklah, kek...! Kalau begitu, aku akan kembali ke lembah itu. kau tadi melarangku menemui orang itu. Sekarang aku menjadi curiga malah. Jangan-jangan merekalah yang membunuh orang tuaku. Dan jangan-jangan orang-orang itulah yang menyebabkan engkau tidak mau berterus terang kepadaku. Nah, biarlah aku ke sana sekarang juga!"

   "Jangannn...!" tiba-tiba kakek itu menjerit keras sekali, lalu pingsan. Chin Yang Kun terkejut sekali.

   "Kek, kau...?" Bergegas pemuda itu menolong kakek pengasuhnya. Dibawanya orang tua itu ke dalam bilik dan dibaringkannya di atas pembaringan kayu yang telah tersedia di sana. Kemudian dengan lweekangnya yang tinggi pemuda itu berusaha menyadarkan orang tua tersebut. Akhirnya tak lama kemudian orang tua itu sadar pula kembali. Melihat Chin Yang Kun masih berada di sampingnya, orang tua itu menjadi gembira bukan main. Sinar kelegaan tampak membayang di wajahnya yang pucat pasi.

   "Tuan muda...!" kakek tua itu berbisik seraya mencengkeram tangan Chin Yang Kun erat-erat. Chin Yang Kun menatap wajah kakek pengasuhnya itu dengan mata berlinang.

   "Kek, maafkanlah aku...! Aku tak bermaksud menyakitimu. Aku terlalu mementingkan diriku sendiri sehingga aku melupakan penyakitmu."

   "Hu-hu-huuk... tuan muda, kau tak bersalah. Hambamu inilah yang bersalah. Tuan muda tentu telah banyak menderita selama ini. Maka tak seharusnya hambamu ini menyimpan rahasia kematian keluargamu itu. Baiklah, sekarang aku akan menceritakan semuanya. Terserah kepada tuan muda untuk menilainya..." Chin Yang Kun memeluk pengasuhnya dengan perasaan lega.

   "Terima kasih, kek. Tetapi kau pun tak bersalah juga. Sebagai orang yang dengan penuh kasih sayang mengasuhku sejak kecil, engkau tentu mempunyai alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang baik demi aku jua. Hanya saja di dalam persoalan ini, aku memang meminta dengan sangat kepadamu agar kau berterus terang dan menceritakan saja semuanya kepadaku. Apapun yang terjadi, biarlah semua itu menjadi jelas, sehingga tidak menjadi beban batin di dalam hidupku. Kalau kau tahu, bagaimana penderitaanku selama ini, kau tentu akan memaklumi perasaanku ini."

   Kemudian dengan singkat Chin Yang Kun bercerita tentang riwayat hidupnya, semenjak ditinggalkan ayah bundanya sampai ia bertemu kembali dengan kakek pengasuhnya itu. Di dalam ceritanya itu Chin Yang Kun sengaja menekankan seluruh penderitaan yang diperolehnya selama ini, dalam usahanya mencari tahu siapa pembunuh keluarganya itu.

   "Nah, kek... akupun tak tahu, sampai kapan aku bisa bertahan terhadap racun yang mengeram di dalam tubuhku itu. Setiap saat akupun bisa mati karenanya. Dan aku tidak mau mati dalam keadaan penasaran. Oleh karena itu engkau tentu bisa memaklumi semua sikapku kepadamu tadi..." Chin Yang Kun mengakhiri ceritanya.

   Orang tua itu memandang Chin Yang Kun dengan sinar mata sedih. Bagi orang tua tersebut Chin Yang Kun sudah dianggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri. puluhan atau belasan tahun ia memelihara dan mengasuh anak itu seperti anaknya sendiri, sehingga apa yang diutarakan oleh anak itu ia dapat merasakannya pula. Orang tua itu menghela napas panjang. Untuk beberapa saat lamanya ia masih kelihatan ragu-ragu juga. Tampaknya apa yang hendak ia ceritakan itu masih terasa berat untuk dikeluarkan. Tapi akhirnya cerita itu keluar juga dari mulutnya.

   "Tuan muda...! tampaknya Thian telah murka kepada keluarga Chin. Dan entah dosa apa yang telah diperbuat oleh nenek moyangmu, tapi yang terang seluruh keluargamu tampaknya memang akan dimusnakan dari muka bumi ini. Sejak kakek Bagindamu Kaisar Chin Si wafat, semua anak cucunya saling cakar dan saling bunuh sendiri hanya karena berebut harta dan singasana. Sekarang sisa-sisa dari anak keturunannyapun juga berguguran pula satu persatu oleh sebab yang sama. Dan sebentar lagi satu-satunya keluarga Chin yang masih tertinggal juga akan musnah karena dosa dosa yang telah diperbuatnya sendiri..."

   "Kek...? apa katamu? Apa yang kau maksudkan...?" Chin Yang Kun berseru kaget mendengar perkataan pengasuhnya itu. Orang tua itu menghela napas panjang lagi dan entah apa sebabnya kakek tua itu seperti mendapatkan kekuatan baru untuk menceritakan pengalamannya. Penyakit batuknya tiba-tiba
mereda dan tidak begitu mengganggunya lagi.

   "Sudahlah, tuan muda... kelak kau akan mengerti sendiri semua perkataanku itu. Sekarang biarlah aku bercerita tentang kejadian di rumah bergenting merah itu dahulu..."

   "Oooooh!" Chin Yang Kun berdesah dan terpaksa berdiam diri pula. Kakek tua itu lalu mendongakkan kepalanya ke langit-langit kamar, seolah mau mengingat ingat atau mengumpulkan kembali semua ingatannya tentang kejadian di malam yang bersejarah itu.

   "Malam itu... ayahandamu mengajak pamanmu untuk singgah di rumah bergenting merah itu. Sebenarnya waktu itu pamanmu tidak menyetujui maksud ayahandamu itu. Tapi karena ayahandamu tetap memaksanya juga, maka pamanmu terpaksa tidak berani membantahnya. Maka seluruh rombongan, termasuk aku dan Siang-hui-houw, lalu memasuki halaman rumah bergenting merah itu..." orang tua itu berhenti bercerita dan tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Otomatis Chin Yang Kun ikut menjadi tegang pula hatinya.

   "Tak terduga di halaman rumah itu kami disambut dengan... senjata dan kepalan oleh tuan rumah!" sekali lagi orang tua itu menghentikan ceritanya. Napasnya mulai memburu dan wajahnya kelihatan semakin tegang pula. Tampaknya kejadian pada malam itu benar-benar sangat mencekam hatinya.

   "Pada gebrakan yang pertama, aku telah terkena senjata nyasar. Aku menggeletak tak berdaya dan dikira telah mati. Tapi dengan demikian aku justru menjadi selamat malah! Dan dengan menggeletak di tengah-tengah pintu halaman, aku beruntung dapat menyaksikan pertempuran itu dengan jelas. Tampaknya pertempuran itu berlangsung karena salah paham belaka. Dari sumpah serapah mereka selagi bertempur, aku dapat memastikan bahwa kedua belah pihak telah terjadi salah paham. Di malam yang gelap gulita itu pihak tuan rumah telah menyangka kami sebagai musuh yang hendak menyerang rumah mereka, sementara ayah dan pamanmu menganggap mereka sebagai kawanan pembunuh yang selalu mengejar-ngejar keluarga Chin. Sebentar saja korban segera berjatuhan, termasuk pula diantaranya adalah Siang-hui-houw. Kedua harimau pengawal keluarga Chin itu mati terkena pukulan sakti lawannya."

   "Aaaah...!" Chin Yang Kun menjadi tegang sendiri mendengar cerita pengasuhnya itu.

   "Selanjutnya tinggal ayah dan pamanmu saja yang melawan keroyokan pihak tuan rumah. Tapi selagi... selagi pertempuran itu berjalan dengan sengit, tiba-tiba... tiba-tiba... oooh!" mendadak orang tua itu menghentikan ceritanya dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Tentu saja Chin Yang Kun menjadi kaget sekali.

   "Kek... ada apa? Apa yang telah terjadi?" pemuda itu berteriak seraya mencengkeram lengan pengasuhnya. Tapi orang tua itu tampak sukar sekali melanjutkan ceritanya.

   "...Tiba-tiba terdengar siulan nyaring. Dan Tiba-tiba... tiba-tiba... oh, tiba-tiba pamanmu datang! Ooooh...! Maksudku... maksudku..."

   "Maksud kakek... seseorang telah datang pula ke tempat itu, begitukah, kek?" Chin Yang Kun membantu pengasuhnya yang tampaknya mulai bingung itu.

   Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tidak... tidak! Ehh! Ya... ya! Ooooh... apa yang mesti kukatakan kepadanya?" mendadak kakek tua itu mengeluh dan tak tahu apa yang harus dia ceritakan selanjutnya. Tampaknya kakek tua itu telah sampai pada inti ceritanya. Tapi karena inti cerita tersebut sangat mengerikan dan menggoncangkan batinnya, maka kakek itu menjadi terpengaruh dan sulit mengutarakannya. Namun sebaliknya bagi Chin Yang Kun, yang sedikit banyak telah mendengar cerita itu dari mulut Pendekar Li dan Keh-sim Siauwhiap, cerita tentang kedatangan orang yang bersiul nyaring tersebut tidaklah begitu mengagetkannya. Pemuda itu telah tahu bahwa orang yang datang itulah yang telah membantai ayah dan pamannya. Cuma yang masih menjadi pertanyaannya sampai sekarang adalah "siapakah sebenarnya orang itu"?

   "Tenanglah, kek! Marilah kau kubantu menyelesaikan cerita itu! Setelah orang yang bersiul nyaring itu datang, dia lalu bertanya kepada tuan rumah tentang sebuah peta yang terlukis pada potongan emas, bukan?"

   "Ehh! Tuan muda, kau...kau benar! Dari mana kau tahu?" sekarang kakek tua itulah yang terkejut mendengar perkataan Chin Yang Kun.

   "Dan... karena pihak tuan rumah ternyata tidak mau juga memberikan potongan emas itu, maka orang yang baru datang itu lantas mengamuk! Benar tidak, kek...?"

   "Be-benar...! eh, bagaimana tuan muda tahu? Bukankah tuan muda pergi ke tepi sungai Huang-ho pada waktu itu? Apakah tuan muda tidak jadi pergi ke sana dan kembali mengikuti rombongan kami?" Chin Yang Kun cepat menggelengkan kepalanya, lalu meneruskan ceritanya. Yaitu cerita yang ia dapatkan dari Pendekar Li dan Keh-sim Siauwhiap.

   "Sebentar saja pihak tuan rumah telah terdesak oleh amukan orang yang baru datang itu. Untunglah dalam keadaan yang gawat pihak tuan rumah dapat meloloskan diri melalui pintu rahasia. Tentu saja orang yang mengamuk itu marah sekali. Seluruh bagian rumah itu diobrak-abriknya. Setiap orang yang dijumpainya, tidak peduli itu lelaki atau perempuan, orang tua atau anak-anak, semuanya dibunuhnya! Termasuk pula di dalamnya... ayahku dan pamanku!" Chin Yang Kun menutup ceritanya dengan suara berapi-api. Tetapi dengan cepat orang itu menggoyang-goyangkan tangannya di depan Chin Yang Kun.

   "Eh, tuan muda... nanti dulu!" selanya dengan sinar mata agak curiga. "Akhir dari peristiwa pada malam itu memang demikian halnya. Darah berceceran, mayat-mayat bergelimpangan dimana-mana. Sungguh mengerikan sekali...! tetapi jalan peristiwanya tidak begitu... eh, tuan muda! Dari mana kau memperoleh cerita seperti itu?"

   "Oh... jadi ceritanya tidak demikian itu? Lalu bagaimanakah...?" Chin Yang Kun yang ternyata telah salah terka itu bertanya dengan suara cemas dan tegang.

   "Ahhh... ini... ini... oh, apa yang mesti kukatakan?" tiba-tiba orang tua itu kembali ragu-ragu dan berat untuk melanjutkan ceritanya. Tentu saja Chin Yang Kun yang sudah tidak sabar lagi untuk mendengarkan cerita itu menjadi kelabakan dibuatnya.

   "Ayolah, kek...! mengapa kau menjadi ragu-ragu lagi?" Sekali lagi orang tua itu memandang anak asuhannya tersebut dengan pandangan sedih. Matanya berlinang-linang, sementara batuknya mulai timbul lagi satu-satu.

   "Baiklah, tuan muda... huk-huk, aku akan bercerita. Tapi kuharapkan tuan muda mempersiapkan diri lebih dahulu secara lahir batin, karena cerita ini sungguh-sungguh akan mengecewakan hatimu. Mungkin kau malah akan merasa menyesal sekali telah mendengar cerita ini dariku... huk-huk!"

   Berdebar hati Chin Yang Kun mendengar ucapan pengasuhnya itu. Berkali-kali kakek tua itu memperingatkan dirinya, dan berulang kali pula orang tua itu kelihatan berat serta ragu-ragu untuk menceritakan jalannya peristiwa berdarah itu. Tampaknya memang ada sesuatu yang aneh atau sesuatu yang akan mengejutkannya dalam cerita kakek pengasuhnya itu. Diam-diam Chin Yang Kun menjadi ketakutan juga hatinya. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, pemuda itu menjadi tenang kembali. Bagaimanapun juga sejak semula ia memang bermaksud membuka tabir rahasia itu. Kalau sekarang telah terbuka kesempatan itu, mengapa ia harus menghindarinya?

   "Silakan, kek... aku sudah siap untuk mendengarkannya," akhirnya pemuda itu berkata dengan suara dalam. Untuk beberapa saat orang tua itu masih terbatuk-batuk di tempatnya. Tampaknya dia juga sedang berusaha untuk menenangkan dirinya pula.

   "...Begitu suara siulan nyaring itu berhenti, tiba-tiba di dekatku telah berdiri seorang lelaki gagah mengenakan sebuah topi lebar, yang dibenamkan dalam-dalam sehingga hampir menutupi seluruh mukanya. Dan begitu ia melihat ayah dan pamanmu sedang bertempur di halaman itu dia lantas menurunkan kain cadar hitam yang terikat di pinggir topinya. Sekejap saja wajahnya telah tertutup oleh kerudung hitam." Sesungguhnya Chin Yang Kun telah mempersiapkan diri secara lahir batin, tapi meskipun demikian perkataan orang tua itu ternyata masih tetap juga seperti petir yang meledak di pinggir telinganya.

   "Lelaki berkerudung hitam...?" serunya bagai disengat lebah.

   "Be-benar...!" kakek tua itu ikut-ikutan kaget dan menjadi gagap pula karenanya.

   "Oooh... Hek-eng-cu... Hek-eng-cu! Tak kusangka kau lah biang-keladinya!" pemuda itu menggeram penuh dendam.

   "Tuan... tuan muda, kau... kau sudah mengenal orang itu?"

   "Hmm, aku memang belum berkenalan. Tapi aku telah beberapa kali bertemu dengan dia..."

   "Apaaa...? Huk-hukk! Tuan muda telah beberapa kali bertemu dengan dia? Dan... tuan muda tidak dapat mengenalnya?" kakek tua itu terbelalak seperti tidak percaya pada anak asuhannya itu.

   "Aku tidak mengenalnya katamu? Hei, memang siapa sebenarnya orang itu...?" Chin Yang Kun bertanya keheranan. Orang tua itu menelan ludah dan mulutnya yang terbuka itu tampak gemetar.

   "Orang itu adalah..." Akhirnya ia berkata. Tapi sebelum kata-kata itu selesai ia ucapkan, tiba-tiba pintu bilik itu terbuka dengan paksa dari luar. Dan pada detik yang sama pula, sebilah pisau kecil melesat menembus dada orang tua itu.

   "Grobyaaag!"

   "Aduuuuuh...!" Kakek tua itu berteriak kesakitan, lalu terkulai diam di pembaringannya. Chin Yang Kun membalikkan badannya dan bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan. Bibirnya berdesis panjang, sementara kedua matanya mencorong ke depan, seakan-akan seperti dua bongkah bara yang menyala dan hendak membakar tubuh seorang lelaki yang secara tiba-tiba telah berdiri di depan pintu bilik gubug tersebut.

   "Kau... kau... paman Wan It?" tiba-tiba pula pemuda itu berdesah tak percaya melihat siapa orang yang berdiri di depan pintu itu.

   "Ya... akulah yang datang, tuan Yang Kun!" Bangsat, Chin Yang Kun mengumpat di dalam hati melihat sikap yang menantang dari bekas pengawal keluarganya itu. Kecurigaan yang telah lama mengeram di dalam hatinya ternyata memang benar-benar terbukti sekarang. Orang bertubuh tinggi besar itu telah membunuh kakek tua itu.

   "Hmmh... tak kusangka kau yang telah bertahun-tahun mengabdi kepada Keluarga Chin ini sekarang telah berbalik memihak musuh." Chin Yang Kun menggeram dengan hebat. " Lalu, apa maksudmu membunuh orang tua ini secara licik?"

   "Hahaha... sungguh garang sekali! Lagaknya masih juga seperti seorang pangeran..." Hek-mou-sai Wan It tertawa dengan lagak yang sangat meremehkan.

   "Diam kau, bangsat pengecut! Sekali lagi kutanya kau, kenapa kau bunuh orang tua sakit-sakitan itu secara licik, hah?" dengan kemarahan yang meluap-luap Chin Yang Kun membentak. Tawa yang berkumandang di dalam gubug kecil itu seketika berhenti, tapi wajah orang tinggi besar berbulu lebat itu perlahan-lahan berubah merah seperti besi yang membara.

   "Anak haram! Jaga mulutmu baik-baik, aku bukan orang upahanmu lagi! Sekali lagi kau membentak aku, kubunuh kau!" orang itu menggeram dengan hebat. Tapi sebaliknya kata-kata umpatan "anak haram" yang dikeluarkan oleh orang itu benar-benar meledakkan kemarahan Chin Yang Kun. Sekilas pemuda itu teringat akan pernyataan kakek luarnya tentang dirinya tadi malam.

   "Kurang ajar...!" Chin Yang Kun menjerit, lalu kedua telapak tangannya bagai kilat mendorong ke depan.

   "Krrraaaak! Grobyag!" Dinding depan yang terbuat dari kayu itu hancur berkeping keping dilanda pukulan Chin Yang Kun. Untunglah sedari tadi Hek-mou-sai Wan It selalu waspada hingga serangan itu dapat dihindarinya. Meskipun demikian bekas pengawal kepercayaan keluarga Chin itu merasa bergetar juga hatinya menyaksikan kekuatan pemuda itu. Sebelumnya Hek-mou-sai memang telah diberitahu oleh Hek-eng-cu dan Song-bun-kwi, bahwa kepandaian Chin Yang Kun sekarang tidak boleh dipandang ringan lagi.

   Pemuda itu pernah beradu tenaga dengan mereka dan pemuda itu ternyata bisa bertahan tanpa mengalami cedera sedikitpun. Tetapi Hek-mou-sai tidak begitu yakin akan peringatan tersebut, sebab dia sangat mengenal ilmu silat Keluarga Chin. Apalagi ia sering melihat anak itu berlatih silat di tempat pengasingan mereka. Tapi setelah melihat sendiri akibat dari pukulan pemuda itu, Hek-mou-sai baru percaya, meskipun belum sepenuhnya. Oleh karena itu bekas pengawal yang dulu pernah menjadi pengawal pribadi Kaisar Chin Si itu bermaksud mencoba kemampuan pemuda tersebut. Apalagi kedatangannya di tempat ini memang atas perintah Hek-eng-cu untuk mencari dan melenyapkan kakek tua yang tahu tentang rahasia mereka itu.

   "Bagus! Tenagamu sungguh hebat! Marilah kita keluar untuk mencari tempat yang lapang untuk saling mencoba kekuatan kita, hehehe...! Dan kau akan kuringkus serta kubuat tidak berdaya, untuk kemudian akan kupersembahkan kepada Ongya sebagai obat untuk menyembuhkan rasa kecewanya selama ini." Hek-mou-sai menantang seraya meloncat keluar halaman. Chin Yang Kun menatap tubuh pelayannya yang terbujur di atas pembaringan itu sebentar. Kemudian sambil berjanji di dalam hati bahwa ia akan membalaskan dendam orang tua itu Chin Yang Kun lantas mengejar Hek-mou-sai Wan It keluar. Orang tinggi besar itu telah berdiri bertolak pinggang di atas tanah yang lapang di samping gubug tersebut. Sinar matanya kelihatan berseri-seri, menunjukkan keyakinan hatinya.

   "Hahaha... ayolah kemari anak muda! Kita mengukur kemampuan di tempat ini. Hmm, sungguh beruntung benar aku bisa mendapatkan engkau di tempat yang tak disangka sangka ini. Alangkah senangnya Ongya nanti bila tahu akan hal ini. Berbulan-bulan kami mencarimu, sampai akhirnya kami datang kembali ke lembah itu. Hehehe" dan ternyata engkau kami ketemukan pula disini. Ooooh...alangkah senangnya!" sebenarnya Chin Yang Kun sudah tidak dapat mengendalikan kemarahannya lagi.

   Tapi serentak ia mendengar ucapan Hek-mou-sai tentang si Ongya atau Hek-eng-cu itu, ia segera berusaha dengan sekuat tenaga untuk menahan diri. Ia tadi belum selesai dengan cerita si kakek tua pengasuhnya itu. Siapa tahu sekarang ia bisa mengorek keterangan dari bekas pengawal keluarganya itu? Lain dari pada itu diapun harus berhati-hati pula, siapa tahu Hek-eng-cu berada disekitar tempat itu juga? Oleh karena itu sambil menenangkan hatinya Chin Yang Kun berdiri lima langkah di depan musuhnya.

   "Hek-mou-sai! Aku benar-benar tidak menyangka pula bahwa kau dapat berbalik pikiran dengan mengabdi kepada musuh keluargaku. Padahal selama ini kami selalu memperlakukan kau dengan baik, malah boleh dikatakan kami telah menganggapmu sebagai keluarga kami sendiri. Hmm... lalu sejak kapan kau ikut Hek-eng-cu?" orang tinggi besar itu menatap Chin Yang Kun dengan pandang mata kasihan.

   "Sejak kapan? Hahaha" ya tentu saja sejak keluargamu mengasingkan diri di lembah ini. kau tidak menyangkanya, bukan?" ejeknya. Bukan main kagetnya Chin Yang Kun.

   "Jadi...kau selama ini selalu memata-matai kami sekeluarga? Lalu... lalu apa sebenarnya maksudmu dan maksud Hek-eng-cu itu?" pemuda itu bertanya penasaran. Hek-mou-sai tersenyum.

   "Ah... kau jangan berlagak tak tahu. Masakan kau tak mengerti harta kekayaanmu sendiri?"

   "Jangan berbelit-belit! Apa maksudmu...?" Chin Yang Kun menggeram marah.

   "Kaulah yang berbelit-belit dan pura-pura tidak tahu! Apalagi yang lebih berharga di dalam keluargamu selain Cap Kerajaan itu, hah? Itulah yang kami cari selama ini...! Nah... sebelum nyawamu melayang, sekarang katakan saja kepadaku, dimana benda itu kalian sembunyikan?"

   "Oooo... jadi benda itukah yang kau incar selama ini? Hmm, benar-benar tak kusangka. Kalau begitu aku sungguh kagum pada kesabaran dan ketabahanmu selama ini. Demikian hebat pengabdianmu kepada Hek-eng-cu, dan demikian besar keinginanmu untuk mendapatkan benda itu, sehingga kau rela menjadi budak, selama bertahun-tahun di tempatku. Ahhh... benar-benar tak kusangka! Makanya selama itu kami tak pernah bisa bersembunyi dari kejaran orang-orang yang ingin memiliki benda pusaka tersebut, sebab di dalam rombongan itu sendiri ternyata telah bercokol seekor ular berbisa seperti dirimu..."

   "Hahaha... jangan penasaran!" Hek-mou-sai memotong dengan ketawanya yang menyakitkan hati.

   "Aku tidak penasaran. Aku justru kagum kepadamu. Hmm... jadi ketika kau ditangkap oleh anak buah Hek-eng-cu, kemudian dijebloskan ke dalam penjara di bawah tanah bersama-sama dengan aku dulu itu cuma hasil sandiwaramu saja? Dan dalam keadaan tak berpengharapan seperti itu kau ingin mengorek keterangan dariku? Begitukah...?"

   "Benar... hahaha! Sayang kau tak mau menyebutkannya pada waktu itu. kau Cuma menyebutkan Goa Harimau saja. Hmh, sekarang coba kau sebutkan, dimanakah Goa Harimau yang kau maksudkan itu?"

   "Nanti dulu! Aku belum selesai dengan pertanyaanku." Chin Yang Kun memotong pertanyaan Hek-mou-sai. "Aku ingin tahu pula... imbalan apakah sebenarnya yang kau terima dari Hek-eng-cu, sehingga kau rela menuruti segala perintahnya? Dan yang terakhir... apa sebabnya kau sampai di tempat ini sehingga kau membunuh kakek tua itu secara licik?"

   "Ooh... kau ingin mengetahui dengan jelas semuanya sebelum engkau mati, begitukah?" Chin Yang Kun mengumpat di dalam hati, tapi demi untuk menyenangkan hati lawannya dia mengiyakan saja pertanyaan itu.

   "Yaa... kalau aku boleh bertanya," jawabnya sambil menghela napas. Betul juga. Hek-mou-sai tampak puas sekali melihat Chin Yang Kun kelihatan lemas dan tak berdaya seperti itu. Maka dengan senyum yang mengembang di wajahnya bekas pengawal keluarga Chin itu bercerita.

   "Dengarlah...! Ongya yang bergelar Hek-eng-cu itu sebenarnya adalah seorang Pangeran Chin. Dan sebagai keturunan Raja Chin beliau bermaksud untuk mengembalikan lagi kekuasaan Dinasti Chin di Tiongkok ini, maka untuk mewujudkan..."

   "Nanti dulu...! kalau dia memang keturunan Raja Chin dan bercita-cita untuk mendirikan kembali Kerajaan Chin, mengapa dia malah membinasakan ayah serta pamanku?" Chin Yang Kun memotong. Hek-mou-sai mengerutkan alisnya. Jawabannya kaku,

   "Karena... ayah dan pamanmu merupakan penghalang besar bagi seluruh cita-citanya itu. Selain dari pada itu, ayah serta pamanmu dianggap terlalu lemah dan penakut untuk dijadikan sekutu dalam melaksanakan rencana besar ini. Oleh karena itu daripada mereka menjadi dari penghalang di kemudian hari, maka lebih baik mereka dimusnahkan saja...!"

   "Hmmh!" Chin Yang Kun menggeram di dalam hati. Lagi-lagi Hek-mou-sai tersenyum melihat kegeraman lawannya. Lalu dengan senyum yang masih mengembang di wajahnya orang itu meneruskan ceritanya.

   "Dan... untuk mewujudkan cita-citanya itu, Ongya lalu mengajak aku dan beberapa orang kawan untuk menghimpun sebuah kekuatan besar di antara rakyat. Mereka akan dipersiapkan sebagai laskar yang nanti akan dipergunakan untuk menumbangkan kekuasaan Kaisar Han..." Hek-mou-sai menghentikan ceritanya sebentar untuk melihat tanggapan Chin Yang Kun mengenai peranannya di dalam rencana besar tersebut. Tapi karena pemuda itu hanya berdiam diri saja, maka Hekmou-sai lalu meneruskan kembali ceritanya. Cuma sekarang nada suaranya tak selantang dan segembira tadi.

   

Darah Pendekar Eps 2 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 12 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 8

Cari Blog Ini