Pendekar Penyebar Maut 55
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 55
"Sebenarnya maksud Ongya itu telah mendapatkan sambutan yang meriah di kalangan rakyat. Buktinya dalam setahun saja kekuatan yang diperoleh telah mencapai puluhan ribu orang. Itu belum yang diperoleh di dalam kalangan perajurit Kaisar Han sendiri. Tetapi sayang..." tiba-tiba ucapan Hek-mou-sai semakin merendah.
"Tetapi sayang kekuatan yang belum terbina dengan baik itu buru-buru tercium oleh kaki tangan Kaisar Han sehingga Kaisar Han segera mengerahkan bala tentara untuk menumpasnya. Dan kini... kekuatan itu telah tercerai-berai kembali. Meskipun tidak hancur seluruhnya, tapi untuk menghimpunnya lagi dibutuhkan waktu yang lama." Sekali lagi Hek-mou-sai menghentikan ceritanya. Matanya menerawang jauh ke depan. Namun demikian dari sikap dan raut wajahnya dapat dibaca bahwa ia masih mempunyai keyakinan untuk memperbaikinya lagi.
"Hmmh! Menurut Ongya kegagalan tersebut disebabkan oleh karena beliau dan kami semua telah mengabaikan atau melupakan syarat utama dari perjuangan itu sendiri. Telah disabdakan oleh para cerdik-pandai dan para bijaksanawan zaman dulu melalui nenek-moyang kita, bahwa siapa saja akan bisa menduduki takhta apabila ia dapat menyimpan dan memiliki benda pusaka yang berwujud Cap Kerajaan...! dan ternyata sampai sekarang Ongya belum juga memiliki benda pusaka tersebut. Itulah sebabnya perjuangan besar gagal di tengah jalan." Hek-mou-sai mengambil napas, seolah-olah menyesali kegagalan itu. Tetapi sesaat kemudian matanya telah berapi-api kembali.
"Tapi untuk selanjutnya kegagalan itu tak boleh terulang kembali! Oleh karena itu, sebelum langkah untuk menghimpun kembali kekuatan yang tercerai-berai itu dilaksanakan, Ongya telah menetapkan untuk mencari benda pusaka itu terlebih dahulu! Nah... itulah sebabnya aku dan Ongya berada di lembah ini! Kami ingin mencarinya lagi yang lebih teliti..."
"Dan... kalian secara tidak terduga menjumpai kakek tua itu disini, begitu, bukan? Lalu kalian beranggapan pula bahwa kakek itu tentu menyimpan benda pusaka itu, atau setidak-tidaknya tentu mengetahui di mana benda tersebut disimpan, sehingga kalian lalu menyiksanya agar mau mengaku serta menunjukkan tempatnya..."
"Benar! Tapi orang tua itu ternyata membandel. Selain tidak mau mengakui bahwa dia menyimpan benda itu, dia malahan berani menasehati Ongya secara panjang lebar. Ternyata selain telah mengenali penyamaran Ongya, orang tua itu juga sudah tahu tentang sepak-terjang Ongya selama ini, termasuk diantaranya adalah pembasmian keluarga Chin itu." Mendengar penjelasan Hek-mou-sai itu Chin Yang Kun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tahulah sudah pemuda itu sekarang, siapa sebenarnya pembunuh ayah dan pamannya, serta latar belakang apa yang menyebabkannya. Semua itu ternyata adalah tanggung jawab Hek-eng-cu!
"Jadi... jadi... Hek-eng-cu juga yang membunuh Paman Bungsuku?" dengan hati berdebar Chin Yang Kun menegaskan. Hek-mou-sai tertawa terbahak-bahak. Matanya sampai berair ketika memandang kepada Chin Yang Kun.
"Tentu saja, anak bodoh! Siapa lagi yang dapat membunuh atau menyingkirkan paman bungsumu itu selain Hek-eng-cu di dunia ini? Hahaha..." Sekarang Chin Yang Kun benar-benar sudah tidak bisa mengendalikan dirinya lagi.
"Bangsat! Sekarang pertanyaanku yang terakhir...siapakah sebenarnya Hek-eng-cu itu? Apakah dia itu Putera Mahkota Kaisar Chin Si yang kini bersembunyi di Pegunungan Kun Lun bersama Yap Cu Kiat dan Siang-houw Nio-nio itu?"
"Hahaha... jangan merengek-rengek seperti itu! Tidak ada gunanya! Aku tidak akan menjawabnya, hahahah...!"
"Kurang ajar...! kubunuh kau pengkhianat!" Chin Yang Kun berteriak, lalu menyerang dengan kepalannya. Hek-mou-sai cepat mengelak,
"Hahaha, anak muda...! jangan salahkan aku kalau nyawamu nanti melayang ke alam baka. Meskipun kau telah menyempurnakan ilmu silatmu, tapi kau tetap bukan lawanku. Aku mengenal ilmu silat keluarga Chin seperti mengenal ilmu silatku sendiri, hahaha...! ayoh, kerahkan seluruh kemampuanmu...!"
Sambil mengeluarkan kata-kata ejekan Hek-mou-sai meluncur ke samping kiri Chin Yang Kun dalam jurus Menyangga Pedati Dengan Kaki Tunggal. Kaki kanannya yang besar dan kuat itu mengait setengah lingkaran ke belakang, sehingga tumitnya menghantam ke arah pusar Chin Yang Kun! Begitu manis dan cepat gerakan itu dilakukan oleh Hekmou-sai, sehingga Chin Yang Kun tak mempunyai banyak waktu untuk berpikir lagi. Tahu-tahu kaki itu telah nyelonong begitu saja di depan perut Chin Yang Kun. Apalagi sejak semula pemuda itu memang telah salah duga dengan gerakan lawannya tersebut. Pemuda itu mengira bahwa Hek-mou-sai mau menerobos ke belakang tubuhnya, untuk kemudian hendak menyerang ke arah punggungnya!
Dalam keadaan terpepet, tiada jalan lain lagi bagi Chin Yang Kun selain menghantam tumit itu dengan siku tangannya! Sementara untuk menghindari serbuan atau serangan beruntun dari lawannya itu. Chin Yang Kun menjejakkan kakinya ke tanah, sehingga tubuhnya segera melenting tinggi melampaui kepala Hek-mou-sai! Dan begitu terlepas dari desakan lawannya, Chin Yang Kun ganti menyerang dengan Jurus Liong-ong sao-te (Raja Naga Menyapu Tanah) ke kaki Hek-mou-sai, yang masih berdiri dengan satu kaki itu. Sayang karena terlalu tergesa-gesa, serangan itu terlalu tinggi sehingga dengan mudah Hek-mou sai dapat mengelakkannya pula. Demikianlah, beberapa saat kemudian mereka telah bertempur dengan sengitnya. Masing-masing berusaha mengungguli lawannya.
Chin Yang Kun mengeluarkan ilmu silat Hok-te ciang-hoatnya, sementara Hek-mou-sai mengeluarkan ilmu silat perguruannya pula. Kedua-duanya sama-sama bergerak dengan lincah dan gesit, bagaikan dua buah bayang-bayang hitam yang sukar dipisahkan. Mereka berkelebatan kesana kemari mengitari halaman gubug itu, seperti dua ekor kupu-kupu yang sedang bercanda di pagi hari. Dan sejalan dengan meningkatnya kemampuan yang mereka keluarkan, maka gerakan merekapun semakin lama juga semakin cepat dan ganas. Angin pusaran yang timbul akibat hembusan tenaga sakti yang keluar dari dalam tubuh merekapun juga semakin menggiriskan hati. Desisan-desisan panjang atau letupan-letupan kecil yang diakibatkan oleh pergeseran atau bentrokan tenaga mereka juga semakin sering terdengar pula, sepuluh jurus, dua puluh jurus.
Akhirnya lima puluh juruspun telah berlalu pula. Hek-mou-sai mulai ragu-ragu dan keringatpun mulai keluar membasahi punggungnya. Bekas pengawal pribadi Kaisar Chin Si, yang dulu selalu bersama-sama dengan Siang-hou Nio-nio dalam setiap tugasnya itu, kini mulai berdebar-debar menyaksikan lawannya. Setiap kali ia meningkatkan kemampuannya atau setiap kali ia menambah tenaganya, setiap kali pula ia masih merasakan kekurangannya dalam melayani serbuan lawannya. Dan akhirnya kecemasan mulai timbul di dalam hati Hekmou-sai ketika dalam puncak kemampuannya Chin Yang Kun masih tetap mengungguli juga. Malah beberapa saat kemudian pemuda itu masih juga mampu meningkatkan lagi kepandaiannya, sehingga sedikit demi sedikit dirinya mulai terdesak.
Apalagi ketika lawannya itu masih juga menambah terus kekuatan tenaga saktinya, maka tanpa ampun lagi ia semakin terperosok ke dalam jurang kesulitan yang dalam. Mulailah Hek-mou-sai menyesali kecerobohannya. Tidak seharusnya ia mengabaikan peringatan kawan-kawannya. Dan tidak seharusnya pula ia menghadapi pemuda itu tanpa senjata di tangan. Begitu cerobohnya dirinya tadi, dan begitu congkaknya dia tadi, sehingga dengan tanpa melaporkan lebih dulu kepada majikannya, ia merasa dapat mengatasi pemuda itu dengan mudah. Kini semuanya telah terlambat. Untuk meloloskan diri dari libatan lawannya sudah tidak mungkin lagi, apalagi mau melapor kepada Hek-eng-cu. Satu-satunya jalan yang tersedia baginya cuma bertempur mati-matian dan mengadu jiwa!
"Hhhaaarrgh...!" Hek-mou-sai menggeram dahsyat dengan ilmu Sai-cu ho-kang (Auman Singa). Siapa tahu suaranya itu bisa terdengar sampai ke lembah?
"Hmmh... Hek-mou-sai! Coba kau katakan sekarang, siapa yang kini berteriak merengek-rengek karena nyawanya hendak melayang ke alam baka? Ho-ho... kau berteriaklah setinggi langit untuk memanggil calon rajamu itu, aku tidak takut! Aku justru hendak membantainya pula di depan mayat kakek tua itu, seperti dia telah membantai seluruh keluargaku!"
Hek-mou-sai tak mampu untuk menjawab lagi. Seluruh pikiran dan kemampuannya telah tercurah habis untuk menghadapi desakan lawannya. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk melayani ejekan-ejekan ataupun kata-kata lawannya itu. Jangankan untuk melayani kata-kata ejekan itu, untuk menyelamatkan diri saja Hek-mou-sai sudah tidak mungkin lagi. Pukulan demi pukulan, tendangan demi tendangan, meskipun belum telak tapi sudah mulai menyentuh kulitnya. Itupun sudah bukan main sakitnya dia rasakan. Malah beberapa saat kemudian rasa sakit itu diikuti pula dengan rasa gatal yang hebat di tempat-tempat ia menerima sentuhan tersebut.
"Gila! Setan mana yang telah merasuk ke dalam tubuh anak ini?" Hek-mou-sai mengumpat di dalam hati begitu menyadari pukulan lawannya ternyata mengandung racun yang berbahaya pula. Demikianlah, racun yang masuk melalui pukulan Chin Yang Kun itu semakin lama semakin mempengaruhi daya tahan dari tubuh Hek-mou-sai. Ketika pada suatu saat Chin Yang Kun secara tidak sengaja membalikkan tangannya ke belakang dalam jurus Naga Melingkar Menjilat Ekor, yaitu salah satu jurus dari Kim-coa ih-hoat, Hek-mou-sai sudah tidak bisa lagi mengelakkan diri. Bekas pengawal Keluarga Chin itu menjadi terperanjat bukan main melihat lawan yang sedang membelakangi dirinya itu tiba-tiba bisa memukul ke belakang seperti layaknya orang yang sedang menghadap ke arah dirinya.
"Bhluuug!"
"Aaarrrgh...!" Hek-mou-sai melenguh seperti kerbau disembelih ketika pukulan itu menimpa ulu hatinya. Tubuhnya yang tinggi besar itu terjerembab ke belakang menghantam pohon, kemudian jatuh terlentang di atas tanah. Dari mulutnya mengalir darah segar berwarna kehitaman.
"Kkkauu... kau...? Ilmu... ilmu a-apa itu...? Uuuhh!" Hek-mou-sai berbisik dengan suara serak, untuk kemudian terkulai menemui ajalnya.Beberapa saat lamanya Chin Yang Kun masih saja berdiri mengawasi mayat bekas pembantu ayahnya itu. Perlahan-lahan kulit orang itu menjadi kehitam-hitaman, sehingga tubuh yang besar dan berbulu lebat itu menjadi sangat mengerikan rupanya.
"Uuuuh...!" Tiba-tiba terdengar suara keluhan tertahan di dalam gubug, sehingga Chin Yang Kun menjadi kaget sekali. Serentak urat-uratnya menegang, dan sekejap kemudian pemuda itu telah melesat bagai terbang cepatnya ke dalam gubug itu.
"Kek... kau... kau ma-masih hidup...?" bukan main kagetnya pemuda itu begitu melihat kakek tua pelayannya itu masih bergerak di pembaringannya.
"Uuuuh...!?"
"Kek! Kakek...! Bagaimana...? a-apa yang kau rasakan...?" di dalam kegugupannya Chin Yang Kun justru menjadi bingung malah.
"Tu-tuan muda...? kau... kau se-selamat?"
"Ya-ya... tentu saja, kek! Orang itu telah kubunuh mati! Ba-bagaima...?"
"Ooh, s-s-syukurlah...! d-d-dialah yang men-men...jadi biang ke-ke-keladi semua mala-mala...mala-petaka ini! Dialah ib...iblis penghasut yang...yang...me-memeretakkan Keluarga Chin... oooooh!" Wajah tua itu mendadak tersenyum lega dan matanya perlahan-lahan tertutup kembali. Chin Yang Kun menjerit dan menggoncang tubuh kakek itu keras-keras.
"Kek...! kau jangan mati dulu! Ayoh! Jangan mati dulu! Katakan padaku... be-benarkah aku ini bukan putera ayahku? Benarkah aku ini putera Kaisar Han yang bertakhta sekarang ini?" Tiba-tiba mata yang sudah hampir terpejam itu terbuka kembali, meskipun sudah buram dan tak bersinar sama sekali.
"K-kau sudah me-mengetahuinya...? Ohh...!" bibir yang sudah mulai kaku itu berbisik lemah, kemudian terdiam untuk selama-lamanya.
"Ouuuh...!" Chin Yang Kun berdesah pula dengan lemahnya. Sejenak pemuda itu memandang jenazah pengasuhnya itu. Wajahnya tampak muram dan sedih. Ucapan terakhir yang dikeluarkan oleh kakek itu tadi membuat perasaannya menjadi kosong dan hampa luar biasa. Seakan-akan dirinya yang sebatang kara itu telah dilemparkan ke dalam jurang yang dalam, sepi dan lengang!
"Ooooh... kenapa semuanya ini terjadi pada diriku?" Chin Yang Kun meratap di dalam hati. Air matanya menetes membasahi pipinya. Lama sekali pemuda itu terpekur saja di tempatnya. Sekali sekali terdengar tarikan napasnya yang panjang dan berat. Baru beberapa saat kemudian kakinya melangkah lambat ke luar gubug, untuk mencari tempat yang cocok buat menguburkan mayat-mayat itu. Demikianlah, meskipun lambat kedua sosok mayat itu telah selesai dikuburkan semua. Tempat itu menjadi sepi serta sunyi kembali. Kini tinggallah perasaan lelah yang luar biasa menggayuti tubuh Chin Yang Kun. Pertempurannya tadi ternyata telah menyita seluruh sisa kekuatan yang masih ada di dalam tubuhnya.
"Oh, betapa lelahnya badanku...! telah beberapa hari ini aku kurang makan dan kurang tidur." Chin Yang Kun menguap seraya menjatuhkan dirinya di atas pembaringan yang ada di dalam gubug itu. Dan sebentar saja matanya telah terpejam. Rasa lelah yang amat sangat membuat Chin Yang Kun bermimpi di dalam tidurnya. Pemuda itu merasa seperti sedang berada di tepi pantai bersama-sama dengan Souw Lian Cu. Mereka berdua duduk bersanding di atas pasir, sambil memandang gulungan ombak yang berdebur memecah pantai. Chin Yang Kun meremas jari-jari tengah Souw Lian Cu, sementara matanya menatap wajah gadis itu seperti tiada puasnya. Dan biarpun Souw Lian Cu hanya selalu menundukkan kepalanya, serta tidak pernah menjawab perkataannya, Chin Yang Kun tidak pernah menjadi berkecil hati karenanya.
"Lian Cu...! mengapa kau tidak mau memandangku? Apa sebenarnya yang menyusahkan hatimu? Apakah yang kau pikirkan selama ini? Dengarlah...! kau tidak boleh selalu bersusah hati. kau harus selalu bergembira di dalam hidupmu... aku akan selalu menjagamu. Aku... aku... cinta kepadamu!" Tiba-tiba kepala yang tertunduk itu menengadah dan memandang Chin Yang Kun. Mata yang indah itu terbelalak.
"Jangan...!" gadis itu berbisik ketakutan.
"Heh? Jangan? Mengapa...?" Chin Yang Kun mendesak penasaran. Mendadak gadis itu bangkit berdiri, lalu berlari cepat sekali meninggalkan Chin Yang Kun. Tentu saja Chin Yang Kun terperanjat sekali.
"Lian Cu...!" pemuda itu berteriak. Tapi Souw Lian Cu menolehpun tidak. Gadis itu berlari terus menerjang ke tengah laut, menyongsong ombak. Dan sebentar saja tubuhnya telah lenyap ditelan gelombang besar.
"Oh, Lian Cu...!" Chin Yang Kun meratap. Wajahnya tertunduk lesu.
"Yang Kun...!" tiba-tiba pemuda itu dikejutkan oleh suara lirih di dekat telinganya. Chin Yang Kun menoleh dengan cepat, dan hampir saja pipinya menyentuh pipi Tiau Li Ing yang secara tiba-tiba telah berada di dekatnya.
"Li Ing... kau?" pemuda itu berbisik kaget.
"Ya... akulah yang datang! Aku datang untuk mencarimu. Mengapa kau dulu meninggalkan aku seorang diri di rumah penginapan itu? Dan kemana saja kau selama ini? Yang Kun, oh... jangan tinggalkan aku lagi! Aku mau ikut engkau kemanapun kau pergi! Aku tidak mau berpisah lagi denganmu..." gadis binal itu mencengkeram lengan Chin Yang Kun dan merengek manja.
"Li Ing... ini... ini... ahhh!" Chin Yang Kun berdesah gugup sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Tiau Li Ing. Tapi gadis itu tak mau melepaskan tangannya juga, sehingga Chin Yang Kun menjadi kikuk dan salah tingkah.
"Ini... ini... eh! Le-lepaskan dulu..." Chin Yang Kun mendorong tubuh Tiau Li Ing. Tapi tak terduga telapak tangannya persis mendorong ke arah dada gadis itu, sehingga Chin Yang Kun lantas menjadi kelabakan sendiri untuk menarik tangannya.
"Grobyaag!" Chin Yang Kun terjatuh dari pembaringan dan... siuman dari tidurnya!
"Ahhh... kurang ajar! Aku telah bermimpi ini tadi..." pemuda itu bergumam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Chin Yang Kun lalu melangkah keluar gubug. Dilihatnya hari telah menjelang sore. Matahari telah turun mendekati cakrawala, sehingga sinarnya yang kuning kemerahan membentuk bayang-bayang hitam pada pepohonan. Sesaat pemuda itu memandang gundukan tanah tempat ia mengubur Hek-mou-sai dan kakek pengasuhnya tadi, lalu melangkah pergi meninggalkan tempat tersebut. Pemuda itu merasa beruntung bisa tidur agak lama tadi. Sekarang badannya terasa lebih segar serta telah pulih kembali kekuatannya. Dan kini ia telah merasa siap untuk bertarung mengadu jiwa dengan Hek-eng-cu!
"Hemmm... Hek-eng-cu, nantikanlah kedatanganku! Apapun yang telah terjadi padaku, aku tetap tak merubah niatku untuk membunuhmu! Aku masih tetap akan menagih hutangmu kepada Keluarga Chin!" Chin Yang Kun berlari menuju ke lembah lagi. Ia masuk melalui jalan pertama, yaitu celah gunung dimana pohon cemara tua itu tumbuh. Sebab dengan melalui jalan tersebut dia bisa naik ke atas lereng lembah, untuk kemudian dapat berputar mengelilingi rumahnya, sehingga ia bisa turun di bagian belakang rumahnya. Dengan demikian kedatangannya takkan diketahui oleh Hek-eng-cu. Tapi betapa kagetnya pemuda itu tatkala lewat di tempat pohon cemara tersebut tumbuh. Pohon tua yang kokoh kuat itu kini telah tumbang, sehingga batangnya yang tinggi itu melintang menutupi jalan masuk ke dalam lembah.
"Hei... kenapa dengan cemara ini? Tiada hujan tiada angin, tahu-tahu telah tumbang. Padahal pagi tadi pohon ini masih berdiri dengan tegarnya..." Chin Yang Kun berkata di dalam hatinya. Karena merasa penasaran Chin Yang Kun mencoba memeriksa pohon itu.
"Ah, pohon ini tumbang bukan karena lapuk atau dihembus angin kencang, tetapi...tumbang karena pukulan seorang jago silat berkepandaian tinggi." Chin Yang Kun bergumam perlahan begitu melihat bagian batang pohon yang patah. Pemuda itu mencoba menyentuh pada bagian yang patah tersebut. Dan pemuda itu tersentak kaget tatkala kayu yang disentuhnya tersebut rontok ke bawah seperti tepung yang berhamburan tertiup angin. Diam-diam pemuda itu menjadi cemas juga. Melihat akibat yang ditimbulkan oleh pukulan itu bisa diduga bahwa pelakunya tentu seorang tokoh sakti yang mempunyai tenaga dalam hampir sempurna. Dan siapa tahu orang tersebut adalah Hek-eng-cu sendiri?
"Sekali ini aku memang harus berhati-hati. Siapa tahu orang yang merobohkan cemara ini memang benar-benar Hek-eng-cu adanya? Dan kalau dugaan itu memang betul, hmmm... tugasku kali ini sungguh tidak ringan. Lweekang yang telah diperlihatkan itu terang tidak berada di bawah Iweekang yang kuterima dari nenek Buyutku. Oleh karena itu jika ilmu silatnya nanti ternyata jauh lebih hebat dari pada Hok-te Ciang-hoat atau Kim-coa ih-hoatku, terang aku nanti akan mengalami kesulitan di dalam menghadapinya..."
Untuk lebih meyakinkan siapa sebenarnya orang yang telah merobohkan pohon cemara tersebut, Chin Yang Kun lalu memeriksa tempat itu sekali lagi. Siapa tahu ia bisa menemukan petunjuk lain tentang orang itu? Tapi apa yang kemudian ia ketemukan lagi di tempat itu malah membuatnya lebih cemas dan khawatir. Ketika pemuda itu tanpa sengaja menyepakkan kakinya ke arah tumpukan daun cemara kering di depannya, tiba-tiba sebuah benda keras ikut pula terlempar bersama-sama dengan tumpukan daun tersebut. Dan pemuda itu menjadi kaget sekali tatkala diketahuinya benda itu adalah sebuah kipas besi. Chin Yang Kun cepat mengambil kipas itu dan menimang nimangnya di atas telapak tangannya. Dilihatnya beberapa buah jeruji kipas itu telah rusak dan patah.
"Kipas ini milik Tiau Li ing... Hmm... sungguh mengherankan sekali. Apakah sebenarnya yang telah terjadi di tempat ini beberapa saat yang lalu? Apakah gadis itu telah kesasar ke tempat ini dan kemudian lalu bertemu dengan Hek-eng-cu? Wah, kalau memang demikian halnya gadis itu tentu mendapatkan kesulitan..." pemuda itu menduga-duga dalam hatinya. Begitu memikirkan nasib yang mungkin menimpa Tiau Li lng, Chin Yang Kun lantas menjadi gelisah hatinya. Bergegas pemuda itu melompati pohon yang tumbang tersebut dan kemudian berlari meninggalkan tempat itu. Dan sesuai dengan rencananya tadi, pemuda itu tidak berjalan langsung menuju ke rumahnya, tetapi lebih dahulu naik ke atas tebing, kemudian merambat diantara batu-batu karang dan semak perdu, terus melingkar ke belakang rumahnya.
Sambil merangkak dengan hati-hati, Chin Yang Kun mengawasi terus keadaan rumahnya. Rumah tempat tinggalnya itu sekarang boleh dikatakan telah rusak sama sekali. Temboknya telah banyak yang hancur, sementara pintu dan jendelanyapun juga telah banyak yang copot pula. Dan semuanya itu karena akibat ulah para pencari Cap Kerajaan! Chin Yang Kun sudah sampai di belakang rumahnya. Tapi sejak tadi rumah itu tampak sepi dan sunyi seperti kuburan. Tak ada tanda-tanda kalau ada manusia atau hewan di tempat itu. Yang terdengar Cuma suara gemerisiknya daun alang-alang tertiup angin. Sementara itu matahari benar-benar telah hilang di balik cakrawala.
Dan keadaan didalam lembah itupun semakin tampak gelap juga. Tetapi, meskipun hari sudah menjadi gelap, rumah itu tetap sepi pula. Tak ada tanda-tanda orang menyulut lampu atau yang lainnya. Suasana benar-benar sunyi dan lengang, sehingga dengan kegelapan malam yang menyelubunginya, rumah itu menjadi tampak angker dan menyeramkan. Chin Yang Kun menjadi gelisah. Dengan wajah tegang pemuda itu lalu bergerak menuruni tebing itu. Sampai di bawah pemuda itu lalu melingkar ke kanan melewati makam paman bungsunya. Tapi ketika melewati makam itu Chin Yang Kun menjadi terkejut sekali! Makam itu sudah tidak ada lagi! Yang sekarang ada ditempat itu hanyalah sebuah lobang terbuka yang ditumbuhi semak dan alang-alang! Dan di pinggir lobang itu tampak sebuah kotak peti mati yang telah hancur tertimbun tanah.
"Gila...! si-siapa yang be-berani... membongkar makam ini?" saking kagetnya Chin Yang Kun berdesah agak keras. Dan tiba-tiba saja terdengar suara gaduh dari dalam rumah yang gelap itu. Sekejap terdengar jeritan seorang wanita. Tapi suara itu cepat terhenti, seolah-olah mulut yang menjerit tersebut telah dibungkam orang secara paksa. Dan sebagai gantinya kemudian terdengar suara bentakan yang ditujukan ke arah Chin Yang Kun.
"Siapa di luar...?" Sekali lagi Chin Yang Kun terperanjat! Ternyata di dalam rumah itu ada orangnya juga. Malah karena kurang hati-hati, kedatangannya telah diketahui oleh orang tersebut. Terpaksa pemuda itu keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan kaki terpentang lebar pemuda itu berdiri menghadap ke pintu rumah tersebut.
"Aku! Akulah yang datang...! Keluarlah!" Chin Yang Kun menggeram keras, meskipun sebenarnya hatinya amat berdebar-debar. Hening sejenak. Chin Yang Kun semakin berdebar-debar. Rasanya lama sekali orang itu tidak keluar-keluar. Tiba-tiba...!
"Huh...? kau... Chin Yang Kun?" seorang lelaki berkerudung hitam yang bukan lain adalah Hek-eng-cu, muncul di depan pintu dengan suara kaget pula. Sejak semula Chin Yang Kun sudah menduga kalau Hek-eng-cu tentu berada di rumah tersebut, namun demikian kemunculan orang itu ternyata masih tetap juga mendebarkan hatinya! Saking tegangnya pemuda itu tidak dapat segera mengeluarkan suara. Baru beberapa saat kemudian, setelah pemuda itu ingat kembali pada tujuannya semula, mukanya menjadi merah padam. Dengan cepat kemarahannya membakar seluruh pori-pori tubuhnya.
"Iblis keji! Jangan kaget! Aku datang untuk menagih nyawa keluargaku! Oleh karena itu... bersiaplah!" Chin Yang Kun menggeram. Karena menyadari bahwa lawannya sekali ini benar-benar sangat berat, maka Chin Yang Kun tidak mau berlaku ceroboh. Langsung saja pemuda itu mengerahkan seluruh kekuatan Liong-cu I-kangnya. Tubuhnya sampai bergetar karena menahan gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat itu. Sebaliknya Hek-eng-cu masih kelihatan tenang-tenang saja di tempatnya. Beberapa kali kepalanya malah menoleh kesana kemari seolah-olah ada yang dicarinya. Sikapnya tampak memandang rendah sekali kepada Chin Yang Kun. Tentu saja Chin Yang Kun menjadi marah sekali.
"Kurang ajar...! Apa yang kau cari? kau mencari pembantumu yang tinggi itu? Huh...! Percuma! Orang itu telah kucabut nyawanya sore tadi!" Chin Yang Kun membentak.
Jilid 42
Kepala yang tersembunyi di dalam kerudung itu cepat berpaling kepada Chin Yang Kun. Bola matanya tampak mencorong seakan-akan bisa menembus tirai kerudung tersebut.
"Apa katamu? kau telah membunuh Hek-mou-sai Wan lt? Huh...! Jangan mengigau di depanku! Aku tahu dengan pasti siapa Wan It dan siapa...engkau! Jangankan membunuhnya, menyentuh ujung bajunyapun engkau takkan mampu. Apakah yang kau pergunakan sebagai modal untuk menghadapi dia? Hok-te Ciang-hoat? Atau Hok-te To-hoat? Hmh!" Hek-eng-cu mendengus dengan suara di hidung. Merah telinga Chin Yang Kun. Namun demikian pemuda itu tetap berusaha untuk mengendalikan dirinya.
Pemuda itu masih tetap sadar bahwa untuk menghadapi lawan tangguh, ia harus tetap berhati tenang dan dingin. Kemarahan justru akn membuat dirinya lemah dan lengah. Masih terngiang di dalam teIinganya kata-kata paman bungsunya dahulu bahwa ketenangan mutlak diperlukan dalam setiap pertandingan. Barang siapa bisa berlaku tenang dan selalu dapat mengendalikan dirinya dalam setiap pertandingan pibu, boleh dianggap orang itu telah memenangkan separuh dari pertandingan itu sendiri. Ketenangan membuat seorang jago silat menjadi waspada, jernih pikiran dan tidak salah langkah. Oleh karena itu Chin Yang Kun segera mengambil napas panjang untuk menenangkan hatinya. Setelah itu dengan suara dingin ia menjawab perkataan lawannya,
"Engkau sendiri adalah keturunan Chin. Dan sedikit banyak kau tentu mempelajari juga ilmu silat warisan nenek moyang kita itu. Tapi sungguh mengherankan sekali, mengapa kamu tidak menghargainya? Malah tampaknya kau sangat meremehkan sekali ilmu silat itu? Apakah kau...?" Dengan sikap kaget Hek-eng-cu melangkah mundur setindak.
"Huh...Yang Kun! kau sudah tahu siapa aku?" lbIis berkerudung itu berseru kaget. Chin Yang Kun mencoba tersenyum agar lebih memantapkan hatinya.
"Sudab kukatakan tadi bahwa pembantumu yang lihai itu telah kubereskan nyawanya dan sebelum napasnya terhenti, ia sempat bercerita panjang lebar tentang dirimu. Dia juga telah membeberkan apa saja yang telah kau perbuat selama ini demi untuk mencapai cita citamu yang besar itu, termasuk diantaranya pemusnahan keluarga Chin sendiri. Nah... apakah kau sekarang masih meragukan juga semua kata-kataku tadi? Apakah kau masih juga tidak percaya kalau pembantumu itu telah kubunuh?"
"Huh! Aku tetap belum percaya! kau cuma ingin membakar kemarahanku saja!" Hek-eng-cu yang sudah mulai termakan oleh gosokan Chin Yang Kun itu mencoba untuk berlaku tenang.
Tapi Chin Yang Kun yang merasa telah mendapatkan angin itu segera menceritakan semua peristiwa di gubug tadi, sehingga mau tidak mau Hek-eng-cu terpaksa mempercayainya. Apa lagi ketika Chin Yang Kun menyebut nyebut tentang kakek tua pengasuhnya itu, Hek-eng-cu semakin merasa terpukul hatinya.
"Dan... tahukah kau, apa yang kupergunakan untuk membunuh Hek-mou-sai Wan It? Tidak lain adalah... Hok-te Ciang-hoat juga!" Chin Yang Kun yang merasa bahwa kata-katanya mulai dapat mempengaruhi perasaan lawannya itu cepat-cepat memberi pukulan lagi dengan kata-katanya yang menyakitkan. Namun dalam keadaan tertekan itu Hek-eng-cu justru menjadi tenang malah. Karena semua belangnya telah diketahui oleh lawannya, maka iblis itu merasa tak perlu untuk menutup-nutupi lagi. Dengan suara lantang iblis itu lalu menggeram.
"Baiklah! Aku memang tak ingin menutup-nutupinya lagi. Dengarlah...! Memang aku yang membasmi keluargamu! Itu kalau kau mau menganggap bahwa mereka adalah keluargamu juga!"
"Kalau aku mau? Apa maksudmu...?" Chin Yang Kun mengerutkan keningnya.
"Sudahlah! kau tak perlu berpura-pura pula. kau bukan keturunan Chin. Engkau keturunan Liu Pang, musuh keluarga Chin!" Hek-eng-cu membentak dengan suara keras untuk memancing kemarahan Chin Yang Kun. Namun Chin Yang Kun tetap berusaha dengan keras pula untuk mengendalikan dirinya. Pemuda itu sadar bahwa lawannya secara diam-diam juga sedang berusaha untuk membakar hatinya.
"Baiklah! Kalau memang demikian halnya kau mau apa? Bagiku, keturunan Chin atau bukan, sama saja! Aku tetap merasa berkewajiban untuk menuntut balas kepadamu! Dan...kukira sikapku ini masih tetap jauh lebih mulia serta lebih baik dari pada sikapmu yang berkhianat serta durhaka terhadap keluargamu sendiri itu!"
"Kurang ajar! kau ini anak kecil tahu apa? Heh...? Apa yang kau maksud dengan "mulia" itu? Dan apa pula yang kau artikan dengan istilah "durhaka" itu...? Bagi seorang besar yang bercita-cita tinggi dan berpandangan luas seperti aku, istilah "mulia" dan "durhaka" itu hanya dikaitkan pada "tujuan hidup" ini saja. Siapapun juga yang mau berjuang demi terlaksananya cita-cita itu, dialah yang disebut mulia. Tapi sebaliknya, siapa saja yang berkhianat terhadap cita-cita itu, dialah yang disebut durhaka! Dan orang yang bersikap durhaka itu patut untuk dibasmi serta disingkirkan, siapapun juga mereka itu! Tak perduli mereka itu kawan atau keluarga sendiri..."
"Hmh... manusia berbudi rendah! Kalau begitu engkau ini tak ada bedanya dengan seekor binatang buas, yang sanggup memangsa kawannya sendiri bila menginginkan sesuatu..." Chin Yang Kun menggeram dengan hebat. "...Jadi karena ayah serta pamanku itu kau anggap durhaka maka mereka lalu kau bunuh? Begitu?" Hek-eng-cu tertawa lirih.
"Benar, anak bodoh! Ketika malam itu kutemui ayah dan pamanmu di rumah pendekar Li, langsung saja kuminta Cap Kerajaan itu kepada mereka, seperti juga aku meminta potongan peta rahasia harta karun kepada Pendekar Li dan kawan-kawannya. Karena ayahmu tidak memberikannya seperti juga Pendekar Li yang tak mau memberikan potongan petanya, maka aku lalu mengamuk. Ayah dan pamanmu dapat kubunuh mati, tapi sebaliknya Pendekar Li dan kawan-kawannya dapat melarikan diri melalui pintu rahasia. Karena kedua buah benda itu tak dapat kuperoleh semua, maka aku lalu menjadi marah dan penasaran. Siapa saja yang kujumpai di dalam rumah itu kubunuh mati semuanya..."
"Manusia keji! Siapa sebenarnya kau ini...? Aku hampir mengenal semua keluarga Chin di Kotaraja, tapi kenapa aku seperti belum pernah melihatmu? Ayoh, lepaskan kerudungmu itu dan bertanding secara jantan denganku!" Chin Yang Kun menantang.
"Oh... jadi kakek pengasuhmu itu belum sempat memberitahukan siapa sebenarnya aku ini kepadamu, heh? Hah-hah-ha-ha-ha, sungguh malang benar orang tua itu! Dua hari yang lalu aku dan Wan It kemari. Kutemukan orang tua itu di pondok ini bersama gadis berkipas besi itu. Lantas kuperintahkan kepada Wan It untuk menangkap mereka. Mereka berusaha untuk melarikan diri keluar lembah, tapi dengan mudah Wan It mencegat mereka di mulut lembah itu. Akhirnya gadis itu dapat kutangkap sementara kakek tua itu terjatuh ke dalam jurang, hiah-hah-ha-ha... Hmmm, kusangka kakek berpenyakitan itu sudah mati terbanting di dasar jurang, eh... tak tahunya masih hidup dan dapat kau temukan. Sungguh ceroboh benar aku ini!"
Chin Yang Kun menatap wajah di balik kerudung itu lekat lekat, tapi kegelapan malam ternyata tidak dapat membantunya untuk mengenali orang itu.
"Kalau begitu kaliankah yang merusakkan pohon cemara tua itu?" Chin Yang Kun bertanya. Hek-eng-cu memiringkan kepalanya yang tertutup oleh topi dan kerudung itu.
"Eh! Apakah yang kau maksudkan adalah pohon cemara yang tumbang itu? Yah... kalau itu yang kau maksudkan, memang akulah yang menumbangkannya. Habis, pagi tadi gadis itu bermaksud melarikan diri dan bersembunyi di puncak pohon itu, maka aku terpaksa menumbangkannya..." orang itu berkata dengan tenang.
"Hmm... bukan itu yang kumaksudkan! Yang kumaksudkan adalah bekas guci tanah liat yang merusakkan kulit pohon itu..." Sebenarnya Chin Yung Kun hendak mengatakan... guci tanah liat yang merusakkan guratan namanya itu tapi karena takut dikatakan terlalu kekanak-kanakan, maka ia lalu batal menyebutkannya. Pemuda itu cuma mengatakan tentang kulit pohon itu saja yang rusak.
"Bekas guci tanah liat? Huh...siapa yang membawa guci tanah liat ke tempat ini?" Hek-eng-cu malah kaget mendengar perkataan Chin Yang Kun itu. Kepalanya menoleh kesana kemari, seolah-olah ingin memastikan bahwa Chin Yang Kun hanya sendirian datang ke tempat itu. Sebaliknya Chin Yang Kun juga merasa heran melihat sikap Hek-eng-cu yang aneh itu. Tetapi karena tidak bisa menebak hati lawannya, pemuda itu juga diam saja.
"Guci tanah liat... guci tanah liat...," iblis berkerudung itu bergumam terus seperti orang linglung.
"Eh, apakah guci itu berwarna putih kekuningan seperti warna... gading gajah?"
"Ya...! Memangnya ada apa?" Chin Yang Kun mengangguk dengaa kening berkerut.
"Ah, setan itu lagi-lagi datang membayangiku...!" Hek-eng-cu menggeram.
"Siapa? Apa yang kau katakan?" Chin Yang Kun yang tidak begitu mendengar ucapan lawannya itu menegaskan. Tapi Hek-eng-cu diam saja tak menjawab. Iblis berkerudung itu kembali termangu-mangu di tempatnya. Berita tentang guci yang terbuat dari tanah liat itu tampaknya benar-benar sangat mengganggu ketenangannya. Begitu risaunya hatinya sehingga beberapa kali mulutnya berdesah panjang pendek. Malahan di lain saat tanpa mempedulikan Chin Yang Kun lagi, ia berteriak ke segala penjuru dengan tenaga dalamnya yang dahsyat.
"Penyanyi Sinting...! Hayo, keluarlah kalau kau memang ingin bermain-main denganku! Jangan selalu bermain kucing-kucingan saja...!"
"Penyanyi Sinting? Siapakah yang dimaksudkan itu?" Chin Yang Kun bertanya-tanya di dalam hatinya. Teriakan Hek-eng-cu itu bergema di dalam Iembag seperti gemuruhnya halilintar yang hendak menyingkirkan kelamnya malam di saat itu. Dan diam-diam Chin Yang Kun bergetar juga hatinya menyaksikan kedahsyatan ilmu lawannya. Lagi lagi pemuda itu menjadi ragu-ragu akan kemampuannya sendiri.
"Persetan! Aku tidak takut mati!" Chin Yang Kun menggeram di dalam hatinya. Pemuda itu melangkah ke depan. Tapi sebelum mulutnya membuka suara, tiba-tiba kesunyian malam itu dikuakkan oleh suara nyanyian yang seolah olah juga bergema di seluruh lembah itu. Malahan suara nyanyian itu diiringi pula dengan suara harpa yang melengking-lengking tinggi. Chin Yang Kun terkejut di dalam hati. Dengan ketajaman serta ketinggian Liong-cu I-kangnya, ternyata dia tak bisa menemukan sumber atau asal dari suara itu. Suara itu bergema dimana-mana.
Dari pada memegang sampai penuhnya
Lebih baik berhenti pada saatnya.
Menempa untuk mencapai tajamnya
Tidak akan tahan lama, Ruangan penuh dengan emas dan permata
Tak mungkin bisa dijaga, Angkuh karena kemewahan dan kemuliaan.
Dengan sendirinya akan membawa bencana.
Tugas selesai, nama menyusul, diri mundur
Demikian jalan yang ditempuh Langit!
"Ahh... kalau tak salah syair ini diambil dari kitab To-tik king bagian ke sembilan. Dan kelihatannya syair ini memang ditujukan kepada Hek-eng-cu," Chin Yang Kun yang sejak kecil juga diajari menulis dan membaca kesusasteraan lama itu berkata di dalam hatinya.
Dilain pihak Hek-eng-cu tampaknya juga merasakan sindiran itu. Buktinya dengan kemarahan yang meluap-luap tiba-tiba saja tubuhnya melesat bagai kilat ke depan, menuju ke gerumbul perdu di belakang rumah. Kedua belah telapak tangannya yang penuh berisi Pat-hong sinkang (Tenaga Sakti Delapan Penjuru) itu tampak mendorong ke depan dengan kekuatan penuh! Tapi hampir bersamaan pula dengan gerakan Hek-eng-cu tersebut, Chin Yang Kun juga melenting pula ke depan dengan tangkasnya, mengejar Hek-eng-cu! Lengan kanan pemuda itu memanjang hampir dua kali lipat panjangnya ke arah punggung iblis berkerudung itu. Dalam kagetnya pemuda itu mengira bahwa Hek-eng-cu hendak melarikan diri.
"Bangsat, jangan lari kau...!"
"Kroooosak... broooollll!"
"Srrrt...! Plaaaak!" Bagaikan dihantam oleh angin puting beliung yang maha dahsyat gerumbul perdu di belakang rumah itu tiba-tiba meledak berhamburan ke sekelilingnya!
Tempat yang semula rimbun dan gelap itu mendadak berubah menjadi terang dan lapang. Namun demikian si penyanyi yang dikira bersembunyi di tempat itu ternyata tidak berada di sana. Tempat tersebut kelihatan kosong tidak ada apa-apanya. Sementara itu, seperti tidak pernah terjadi apa apa, suara nyanyian itu terus saja mengalun memenuhi udara di dalam Iembah itu. Suara petikan harpanyapun juga masih terus melengking-lengking menggelitik hati, seolah-olah mengajak para pendengamya untuk ikut menciptakan kedamaian di atas dunia ini. Sebaliknya jari-jari tangan Chin Yang Kun yang terulur ke punggung Hek-eng-cu dengan tepat mencengkeram mantel pusaka yang dikenakan oleh iblis berkerudung tersebut. Lalu dengan dilandasi tenaga sakti Liong-cu-l-kangnya yang maha hebat Chin Yang Kun menyendalnya (menariknya) ke belakang kembali.
Entah karena disebabkan oleh kuatnya tarikan Chin Yang Kun, atau entah karena disebabkan oleh kendornya tali pengikat mantel pusaka itu sendiri, tapi yang terang mantel pusaka tahan senjata itu tiba-tiba terlepas dari tubuh Hek-eng-cu. Malah saking kuatnya tarikan itu, menyebabkan tubuh Hek-eng-cu terpelanting dan hampir saja terbanting ke atas tanah. Dapat dibayangkan betapa marahnya orang berkerudung hitam tersebut. Mata di balik kerudung itu bagaikan menyala di dalam kegelapan. Selanjutnya, seperti seekor harimau kelaparan tubuhnya melesat ke depan, menerkam tubuh Chin Yang Kun! Dengan ilmu Bu-eng Hwe-tengnya yang sangat termashur itu gerakannya hampir tidak bisa diikuti dengan mata biasa. Tahu-tahu jari-jari tangannya yang penuh dengan tenaga sakti Pat hong sinkang itu telah berada di depan mata Chin Yang Kun.
"Keparattt...! Kembalikan mantel itu kepadaku!" lengkingnya buas. Untunglah sejak semula Chin Yang Kun sudah melipat-gandakan kewaspadaannya! Apalagi jauh-jauh sebelumnya pemuda itu telah berjaga-jaga terhadap ginkang Hek-eng-cu yang hebat tiada tara itu. Maka begitu iblis berkerudung itu bergerak, Chin Yang Kun segera menyongsongnya dengan jurus Tiang Bendera Meruntuhkan Panah Lo Biauw, yaitu salah sebuah jurus dari Hok-te To-hoat. Mantel pusaka yang masih terpegang di dalam tangannya itu ia sabetkan ke arah lawannya. Dan oleh karena gerakan tersebut ditunjang oleh tenaga sakti Liong-cu I-kang yang maha dahsyat, maka berkelebatnya mantel itu sampai menimbulkan suara mengaung yang sangat keras.
"Dhukk... srrrt!" Tapi ternyata sekali ini Chin Yang Kun benar-benar terkena batunya. Sebagai seorang keturunan Chin, tentu saja Hek-eng-cu juga mendalami ilmu Hok-te To-hoat pula.
Melihat Chin Yang Kun menyerang dengan jurus Tiang Bendera Meruntuhkan Panah Lo Biauw, dengan mudah ia bisa menebak arah dan cara-cara mengatasinya. Kedua tangannya yang terjulur ke depan itu segera ditekuk ke bawah, kemudian ditarik sedikit ke samping, sehingga ayunan mantel pusaka itu otomatis tidak mengenai lengannya. Setelah itu dengan kecepatan luar biasa jari-jarinya mengejar dan menjepit mantel yang baru saja lewat tersebut. Dan sekejap saja ujung mantel itu telah berada di dalam genggamannya. Chin Yang Kun dan Hek-eng-cu lalu memasang kuda-kuda. Keduanya lantas saling menarik ujungnya. Dan masing-masing segera mengerahkan tenaga saktinya. Hek-eng-cu mengerahkan Pat-hong sinkangnya, sementara Chin Yang Kun mengerahkan Liong-cu I-kangnya!
Masing-masing merupakan tenaga sakti yang jarang ada bandingannya di dunia persilatan, dan masing-masing juga sudah boleh dikatakan hampir mencapai kesempurnaan dalam mempelajarinya. Untunglah yang menjadi ajang adu tenaga itu juga bukan benda biasa. Mantel tersebut adalah sebuah mantel pusaka yang kebal segala macam senjata. Oleh karena itu kekuatannyapun juga luar biasa pula. Meskipun kedua ujungnya telah ditarik oleh kekuatan yang maha dahsyat, ternyata mantel itu sedikitpun tidak mengalami kerusakan. Masing-masing tidak mau mengalah. Perlahan-lahan kedua kaki mereka amblas ke dalam tanah. Uap atau asap tipis tampak mengepul di atas ubun-ubun mereka, suatu tanda bahwa mereka benar-benar mengerahkan seluruh kemampuan mereka.
Tiga puluh jeruji berpusat pada satu poros,
Pada tempat yang kosong terletak gunanya.
Dari tanah liat terbuat jambangan,
Pada tempat yang kosong terletak gunanya.
Lobang dibobol untuk pintu dan jendela ruangan.
Pada tempat yang kosong terletak gunanya.
Maka, Ia diadakan untuk menjadi pegangan,
Ia dikosongkan supaya berguna.
Dalam keadaan yang sangat menegangkan itu lagi-lagi suara nyanyian itu mengganggu pemusatan pikiran mereka. Kini si Penyanyi itu melagukan syair yang dipetik dari kitab To-tik-king bagian yang ke sebelas. Suara nyanyian itu terdengar lebih renyah dan mantap seperti suara seorang guru sekolah di depan murid-muridnya. Yang sangat mengherankan, dengan tingkat ilmu kepandaian mereka yang sangat tinggi itu Hek-eng-cu maupun Chin Yang Kun sama sekali tak bisa melepaskan diri dari pengaruh suara nyanyian yang mengalun riang itu. Semakin mereka itu berusaha menutup pikiran dan perasaan mereka, nada dan kata-kata di dalam lagu itu semakin menggelitik hati mereka malah. Apalagi ketika si Penyanyi itu selalu mengulang-ulang lagu tersebut, pemusatan pikiran mereka semakin menjadi runyam dan perhatian mereka semakin menjadi terpecah-pecah pula.
"Bangsat keparat...!" Hek-eng-cu mengumpat-umpat di dalam hati. Memang dapat dimaklumi bila iblis berkerudung itu menjadi jengkel dan mendongkol. Pada mula pertama dari adu tenaga dalam memang ia bisa mengimbangi kekuatan Chin Yang Kun. api beberapa saat kemudian Pat-hong sinkang yang ia andalkan itu ternyata tak kuasa membendung derasnya arus tenaga sakti Liong-cu I-kang milik Chin Yang Kun yang dahsyat. Sementara daya tahan Pat-hong sinkangnya semakin menurun, kekuatan Liong-cu I-kang lawannya ternyata justru semakin berkembang dan bertambah terus seperti tiada habis-habisnya.
"Gila! Sungguh gilaaaa...!" lblis berkerudung itu berteriak. Terpaksa ujung mantel yang dipegangnya itu dilepaskannya lagi ke tangan Chin Yang Kun. Kemudian masih dengan mengumpat-umpat Hek-eng-cu bersiap siaga kembali menghadapi Chin Yang Kun. Sementara itu suara nyanyian yang sangat mengganggu itupun telah berhenti pula. Dan sebagai gantinya, terdengar suara tertawa terkekeh kekeh yang ditujukan kepada Hek-eng-cu.
"Hi-hi-hi...! Hek-eng-cu, anak malang...! Tak usah kau bersikeras untuk merebut kembali mantel pusaka itu, karena hal itu akan sia-sia belaka. Telah disebutkan di dalam Buku Rahasia, bahwa kau akan jatuh di tangan keluargamu sendiri hari ini..."
"Buku Rahasia... Buku Rahasia...! kau selalu saja menyebut tentang Buku Rahasia itu! Huh! Siapa kau ini sebenarnya? Ayoh... keluarlah!" Hek-eng-cu menjerit marah. Tapi si Penyanyi itu tetap saja tertawa terkekeh-kekeh.
"Kukatakan namakupun kau takkan mengenalnya, hi-hi-hihi... dan tak seorangpun di dunia ini yang mengenalku, karena aku baru saja keluar dari tempatku bertapa selama seratus tahun, hi-hi-hi-hiii...!"
"Apa...? Seratus tahun?" tanpa terasa Chin Yang Kun berdesah.
"Hihi... kalian tak percaya? Akupun dulu juga tak percaya kepadaku sendiri pula. Dan aku mulai bertapa pada umur delapan belas tahun. Kepalaku gundul... oleh karena itu aku memilih tempat bertapa di sebuah gua di tepi Telaga Tai-ouw yang sejuk. Tapi ketika aku selesai dengan tapaku, ternyata aku tak bisa keluar lagi dari gua itu. Mulut gua tempat aku masuk dulu ternyata sudah tertutup oleh akar-akar pohon dan semak-belukar. Malah persis di depan mulut gua itu telah tumbuh pohon pek besar sekali, yang batang pohonnya sepelukan dua orang lelaki dewasa besarnya. Terpaksa aku membuat liang seperti seekor tikus untuk keluar dari gua itu. Kemudian aku sudah kembali lagi ke dunia ramai. Tapi aku menjadi kaget ketika melihat bayanganku sendiri di Telaga Tai-ouw. Mukaku sudah berkeriput, rambutkupun telah putih semua. Paras dan kepalaku yang dulu tampan dan gundul itu kini tak ubahnya seperti seekor anjing berbulu panjang dengan jenggot dan rambut yang melambai-lambai sampai di tanah ini, hi-hi-hiii..."
"Diaaaam...!" Sekali lagi Hek-eng-cu menjerit kesal karena tak tahan mendengar suara ketawa yang terkekeh kekeh itu. "Aku tak butuh cerita khayalanmu! Yang kuinginkan adalah... nyawamu! ayoh... kau keluarlah! Kita bertanding mengadu kepandaian!"
"Bertanding dengan aku? Hi-hi-hi-hiii...itu terlalu berat bagimu. Di dalam Buku Rahasia, namamu cuma tercantum di urutan yang ke tujuh pada Daftar Tokoh-tokoh Persilatan Terkemuka dewasa ini. ltupun kau harus bersaing dengan anak muda di depanmu itu, karena pada urutan yang ke tujuh tersebut tercantum tiga buah nama yang memiliki kepandaian setarap, yaitu Toat-beng-jin, kau dan pemuda itu!"
"Omong kosong...! Omong kosong dengan Buku Rahasiamu yang menyesatkan itu! Aku adalah orang yang tak terkalahkan! Dengan ilmu warisan Bit-bo-ong almarhum, kesaktianku tiada yang bisa menandingi lagi..." Hek-eng-cu berteriak.
"Sudahlah! kau jangan berteriak-teriak begitu! Apalagi menjerit-jerit menyombongkan diri sebagai orang yang tak terkalahkan di dunia persilatan seperti itu, hi-hi-hiii... Apakah kau lupa, bahwa kau selama ini tak pernah menang melawan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai yang selalu kau curangi dan kau tipu itu? Hi-hi-hiiii... padahal pendekar ternama itu baru yang nomer lima di dalam Daftar Tokoh tokoh Persilatan Terkemuka itu."
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hong-gi-hiap Souw Thian Hai... nomer lima?" Chin Yang Kun berdesah di dalam hatinya, seolah-olah tak percaya bahwa pendekar sakti yang ia kagumi kesaktiannya itu Cuma mendapatkan nomer yang kelima.
"Ahh, tampaknya orang ini memang benar-benar hanya omong kosong belaka, biarpun kesaktiannya memang tidak meragukan lagi." Sementara itu, begitu diingatkan pada musuh besarnya, Hong-gi-hiap Souw Thian Hai, Hek-eng-cu semakin menjadi berang dan penasaran.
"Apa? Hong-gi-hiap Souw Thian Hai? Kurang ajar...! Ayoh, bawalah dia ke sini! Akan kuhancurkan dia! Akan kulumatkan tubuhnya!" teriaknya setinggi langit. Tapi lagi-lagi si Penyanyi itu cuma tertawa terkekeh-kekeh, tanpa mau menampakkan dirinya sedikitpun.
"Sudahlah! Jangan terlalu besar kepala! Lawanlah dulu pemuda di hadapanmu itu untuk memperebutkan nomer yang ke tujuh. setelah itu baru kau memikirkan untuk menantang tokoh yang duduk pada nomer di atasmu!" si Penyanyi itu memperdengarkan lagi suaranya.
"Persetan dengan urutan nomermu yang tak masuk di akal itu! Tapi...baiklah, akan kutunjukkan kepadamu sekarang, bahwa...Buku Brengsekmu...itu..."
"Buku Rahasia...!" Si Penyanyi itu membetulkan.
"Peduli amat! Aku bebas menyebutnya apa saja! Buku Gila, kek! Buku Brengsek, kek! Pokoknya aku akan menunjukkan bahwa tulisan itu adalah salah dan ngawur! AkuIah sebenarnya orang yang nomer satu di dunia ini! Hmmh...!"
"Baik! Sekarang buktikanlah dulu kata-katamu itu! Kalau kau bisa menyingkirkan pemuda itu, kau boleh bertanding dengan tokoh yang berada diurutan ke enam nanti."
"Siapa yang berada diurutan ke enam menurut Buku Brengsekmu itu, heh?"
"Tokoh yang berada di urutan nomer enam kebetulan juga tidak cuma seorang saja. Ada dua tokoh sakti yang kebetulan mempunyai kepandaian seimbang pada tingkatan itu. Mereka adalah Kam Song Ki atau Kam Lojin dan... Lo-si-ong, muridku sendiri!"
"Lo-si-ong? Siapakah Lo-si-ong itu? Apakah dia itu bekas ketua lm-yang-kauw yang buta matanya karena pibu dengan Put-chien-kang Cin-jin dulu itu?" Hek-eng-cu menggeram keheranan.
"Ya, benar. Sekarang orang tua itu telah menjadi muridku."
"Huh... jadi menurut Buku Brengsekmu itu dia menjadi tokoh yang ke enam di dunia persilatan saat ini! Di mana dia itu sekarang?"
"Dia... berada di belakangmu!" Si penyanyi itu menjawab, kemudian tertawa lagi terkekeh-kekeh. Hek-eng-cu dan Chin Yang Kun cepat membalikkan tubuh mereka. Dan dengan wajah kaget mereka menatap seorang lelaki tua, yang secara tiba-tiba telah berdiri di tengah-tengah pintu rumah, di mana Hek-eng-cu tadi keluar. Orang tua yang usianya tentu lebih dari tujuh puluhan tahun itu berdiri menggandeng lengan seorang gadis, yang tidak lain adalah Tiau Li lng. Di atas pundak orang tua itu tergantung sebuah Khim atau harpa yang bertali banyak itu.
"Li lng...," Chin Yang Kun menegur gadis itu perlahan. Tapi Tiau Li Ing tidak mempedulikan teguran itu. Seperti orang yang belum pernah saling berkenalan gadis itu malah membuang mukanya ke tempat lain. Tapi sekilas Chin Yang Kun dapat menyaksikan setetes air mata yang meloncat keluar dari mata gadis itu.
"Hmmm... kenapa dengan Tiau Li Ing itu?" Chin Yang Kun bertanya-tanya di dalam hatinya.
"Eh... apakah dia ini... pemuda yang kau ceritakan itu?" tiba-tiba orang tua itu bertanya kepada Tiau Li Ing.
"Be-benar... kek!" gadis itu menjawab dengan suara berbisik.
"Kalau begitu, jangan kau hiraukan dia! Sekarang katakan saja kepadaku, di manakah orang berkerudung itu?"
"Dia... dia... ohh! Dia... berada kira-kira sepuluh langkah di depan kita. Kakek harap berhati-hati terhadap dia. Ginkangnya hebat sekali!" Tiau Li Ing, menjawab dengan suara sendu. Lo-si-ong atau orang tua itu tertawa halus.
"Jangan khawatir! Dia itu bukan lawanku. kau mendengar kata-kata guruku tadi bukan? Aku masih berada satu tingkat di atasnya.Dan yang jelas orang berkerudung itu akan bertanding Iebih dahulu dengan Chin Yang Kun, bukan dengan aku."
Sementara itu Hek-eng-cu sudah tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Melihat tawanannya telah dibebaskan oleh Lo-si-ong, iblis berkerudung itu segera mengeluarkan dua bilah pisau panjangnya yang ampuh itu. Meskipun salah satu dari ciri kebesarannya telah berada di tangan Chin Yang Kun, tapi perbawa pisau yang bersinar kebiruan itu masih tetap menggiriskan hati juga. Di dalam keremangan malam pisau itu tampak berkilat-kilat seperti hidup. Tetapi ketika iblis itu hendak menyerang Lo-si-ong, dengan cepat Chin Yang Kun menghadangnya. Selain khawatir terhadap keselamatan Tiau Li lng, pemuda itu juga takut kehilangan kesempatan bertanding dan membunuh musuh besarnya itu. Sambil mengenakan mantel rampasannya tadi, Chin Yang Kun bertolak pinggang di depan Hek-eng-cu.
"Pembunuh keji! Jangan kau layani orang tua itu! Hadapilah aku dulu, baru nanti yang lain-lainnya...!"
"Hmmmh...! Bocah tak tahu diri! Minggirlah...! kau bukan lawan yang setimpal buatku. Hok-te To-hoat maupun Hok-te Ciang-hoat yang kau pelajari itu takkan berguna untuk menghadapi aku. Jangan percaya pada Buku Brengsek atau pada ramalan Penyanyi Sinting itu...! Nah... cepatlah kau menyingkir!" Hek-eng-cu membentak dengan suara nyaring.
Iblis berkerudung itu sengaja mengisi suaranya dengan Pat-hong-sinkangnya yang mempunyai kekuatan sihir itu, sehingga suaranya menjadi nyaring sekali. Begitu nyaring suara bentakannya itu sehingga suara itu seakan-akan dapat menembus dada Chin Yang Kun dan bergema atau berkumandang di dalam sudut hatinya. Untuk sesaat pemuda itu seperti tidak bisa menolak perintah lawannya. Perlahan-lahan kakinya terangkat untuk melangkah pergi dari tempat itu. Tapi sekejap kemudian Liong-cu I-kangnya yang maha hebat itu segera bergolak untuk menyadarkannya kembali dari pengaruh sihir tersebut. Kaki yang telah terangkat itu cepat-cepat diturunkannya kembali. Dan ternyata keadaan itu sungguh tepat sekali datangnya.
Terlambat sedetik saja, kemungkinan besar nyawa Chin Yang Kun sudah melayang ke alam baka. Karena seperti kebiasaan Hek-eng-cu yang menyerang lawannya selagi mereka terpengaruh oleh kekuatan sihirnya, tiba-tiba saja kedua bilah pisaunya telah berkelebat menyambar leher dan ulu hati Chin Yang Kun! Untunglah kesadaran itu segera memberi kesempatan bagi Chin Yang Kun untuk menghindari serangan berbahaya tersebut. Sambil menggeser tubuhnya ke samping pemuda itu menghantam ke depan dalam jurus Raja Chin Miu Mematahkan Kim-pai. Kedua sisi tangan pemuda itu menebang pergelangan tangan Hek-eng-cu! Sekejap Hek-eng-cu kaget juga menyaksikan lawannya bisa melepaskan diri dari pengaruh sihirnya tapi melihat pemuda itu menyerangnya dengan ilmu silat Hok-te Ciang-hoat, diam-diam mulutnya tertawa.
"Bocah ini benar-benar tidak bisa melihat kenyataan. Masakan dia masih juga berani melawan aku dengan ilmu Hok-te Ciang-hoat? Sungguh kasihan benar...!" Karena iblis berkerudung itu juga mahir memainkan ilmu silat tersebut, maka dengan gampang serangan itu dapat ia elakkan. Malah untuk selanjutnya iblis itu juga tahu, gerakan apa yang hendak dilakukan oleh Chin Yang Kun.
"Hei! Siapa mengajari kau melakukan gerakan Panglima Yi Po Mengatur Barisan seperti itu? Kenapa kakimu kau tekuk terlebih dulu, heh?" suatu saat Hek-eng-cu menegur, ketika Chin Yang Kun melakukan jurus Panglima Yi Po Mengatur Barisan yang diajarkan oleh Nenek Buyutnya. Chin Yang Kun yang merasa serangannya selalu mengenai tempat kosong menggeram penasaran.
"Jangan menggurui aku! Justeru gerakan seperti yang kulakukan itulah yang betul. Kalau kau tak percaya, marilah kita mengadu ilmu silat Hok-te Ciang-hoat kita...!"
"Baik!" Hek-eng-cu tertawa mencemooh, lalu menyimpan kembali kedua bilah pisaunya. Demikianlah, kedua orang she Chin itu segera bertarung dengan ilmu keluarga mereka sendiri, yaitu Hok-te Ciang-hoat. Karena masing-masing sudah hapal dan mendalami ilmu silat tersebut sampai ke dasarnya, maka masing-masing seperti sudah tahu apa yang hendak dilakukan oleh lawan mereka.
Darah Pendekar Eps 3 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 4 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 12