Pendekar Penyebar Maut 9
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 9
"Ah, apakah kami sekarang sedang berhadapan dengan saudara-saudara dari Tiat-tung Kai-pang?" sapanya halus.
"Tidak salah! Kami bertiga memang anggota Tiat-tung Kaipang. Dan harap tuan ketahui juga bahwa ketua kami adalah sahabat karib dari Keh-sim Siauwhiap..."
"Huh!" Tiba-tiba terdengar suara orang mendengus di antara orang-rang Kim-liong Piauw-kiok yang duduk menggerombol itu.
Dengus yang bernada menghina atau meremehkan lawan! Tentu saja ketiga orang pengemis itu menjadi tersinggung karenanya. Mereka menoleh ke arah orang-orang piauw-kiok itu dengan melotot dan mencari orang yang telah mengeluarkan suara dengusan tadi. Yang Kun yang kebetulan juga sedang menatap mereka dengan pandangan tak suka, malahan dicurigai oleh para pengemis itu. Ketiga orang itu memandang Yang Kun dengan mata mendelik! Padahal suara dengusan itu keluar dari mulut orang termuda Kim-liong Piauw-kiok yang duduknya memang berada di dekat Yang Kun. Agaknya orang piauw-kiok yang bangkit menyongsong mereka tadi mencium suasana yang membahayakan itu. Mereka dengan tergesa-gesa ia meloncat menengahi di antara mereka dan berusaha menenangkan hati ketiga pengemis itu.
"Samwi (saudara bertiga), maafkan kelancangan suteku...! Jangan saudara masukkan di dalam hati... Marilah kita berbicara secara baik-baik! Anu... bolehkan kami mengetahui maksud samwi semua menghampiri tempat kami di sini? Adakah sesuatu hal atau kesalahan yang telah kami perbuat sehingga tanpa sengaja telah merugikan samwi?"
"Jangan berpura-pura tidak tahu. Kalian telah melakukan suatu kesalahan besar. Kalian telah menghina dan memperolok-olokkan Keh-sim Siauwhiap yang menjadi sahabat kami para fakir miskin." salah seorang dari para pengemis itu membentak.
"Huh! Musang berbulu domba. Pura-pura menjadi pembela para fakir miskin. Tapi hal itu cuma untuk kedok saja. Sekali perampok... ya... tetap perampok!" orang yang mendengus tadi mengeluarkan suara mengejek lagi.
"Bangsat! Keluar kau dari tempat itu!" pengemis yang pertama berteriak marah.
"Jit-te (adik ke 7)...!" Orang yang tertua diantara para piauwsu itu memperingatkan pula adiknya yang ringan mulut itu. Terlambat. Pengemis itu telah meloncat dan menerkam ke arah... Yang Kun! Orang yang disangkanya telah mempermainkan dirinya. Tentu saja pemuda itu kaget bukan main! Dengan gesit pemuda itu menghindar ke samping.
"Duaaaarrr..." Lantai tempat di mana Yang Kun baru saja duduk telah hancur berkeping-keping terkena tongkat besi si pengemis. Meskipun begitu pecahan-pecahan batu itu telah mengotori pakaian Yang Kun, sehingga pemuda itu menjadi marah juga. Tapi sebelum pemuda itu melayani mereka, orang termuda dari Kim-liong Piauwsu itu telah maju menghalanginya.
"Saudara... maafkan! Agaknya mereka salah mengenali lawannya. Silahkan saudara menyingkir! Biar kuhadapi dia...!"
"Jit-te, jangan sembrono...!"
"Ji-suheng! Biarkah aku melepaskan rasa sesak di dadaku ini. Aku bisa gila kalau tidak melampiaskannya..." Dan orang termuda dari Kim-liong Piauw-kiok itupun meloloskan sebuah cambuk panjang dari pinggangnya. Lalu dengan kaki direnggangkan ia menghadapi pengemis yang marah itu.
"Gelandangan bermata buta! kau lihatlah aku! Inilah orang yang telah mendengus dan mengejekmu tadi... Bukan dia! Dengarlah pula, bahwa aku memang sangat benci kepada Keh-sim Siauwhiap! Maka kalau engkau telah menjadi begundalnya dan ingin membela dia... nah, silahkan kau maju!"
"Kau memang bosan hidup!" pengemis itu berteriak mengguntur. Tongkatnya yang sepanjang lengan itu diayun ke depan, ke arah kepala lawannya. Suaranya menCicit saking kuatnya pengemis itu mengayunkan tongkatnya. Tapi jago dari Kim liong Piauw-kiok itupun juga tidak mau kalah gertak. Cambuknya yang berjuntai panjang itu ia sabetkan pula ke depan untuk menyongsong tongkat lawan. Dan sekali lagi terdengar suara menggelegar yang memekakkan telinga, ketika dua buah kekuatan yang terlontar itu bertemu di udara.
"Duaaaaaarr..." Para pengungsi yang terdiri dari wanita dan anak-anak menjerit serta berlarian menyelamatkan diri dari tempat itu. Suasana di tempat tersebut menjadi kacau balau tidak keruan. Anak-anak kecil menjadi ketakutan dan menangis dalam gendongan ibunya. Sementara itu kedua orang itu masih melanjutkan pertempuran mereka. Keduanya bergeser ke arah halaman, di mana tempatnya lebih luas dan lebih leluasa untuk menggerakkan senjata mereka. Suara ledakan cambuk mereka terdengar berdentam-dentam di udara, memanggil para pengungsi yang lain untuk datang ke tempat itu.
Sehingga tak lama kemudian halaman rumah itu telah penuh dengan pengungsi yang ingin menyaksikan pertempuran dahsyat itu. Ketika beberapa saat kemudian tampak oleh rombongan piauwsu itu, adik seperguruan mereka terdesak oleh tongkat lawan, dua orang di antara mereka lalu terjun membantu. Tentu saja kedua orang pengemis yang lain juga tidak tinggal diam pula. Mereka turun juga ke dalam arena pertempuran membantu kawannya, sehingga akhirnya terjadi pertempuran tiga melawan tiga di tengah-tengah halaman itu. Empat orang piauwsu yang lain, di antaranya adalah jisuheng mereka itu, tampak masih menonton di pinggir dengan perasaan tegang. Agaknya mereka kini telah menyadari bahwa kepandaian para pengemis dari Tiat-tung Kai-pang rata-rata memang lebih tinggi dari pada kepandaian mereka.
"Samte (adik ke 3), hari-hari keruntuhan Kim-liong Piauwkiok kita agaknya telah berada di depan mata..." orang tua dari rombongan piauwsu yang disebut sebagai ji-suheng oleh kawan-kawannya itu berdesah perlahan kepada orang yang berada disampingnya.
"Kau lihat! Dalam dua hari ini saja kita telah tertimpa bencana dua kali. Barang kawalan kita telah dirampas orang...kuda dan gerobak angkutan kitapun dihancurkan gempa!"
"Dan Kini... kini agaknya akan mendapat malu pula karena dikalahkan orang!" kawannya menyambung. "...Masa kejayaan Kim-liong Piauw-kiok agaknya memang telah lampau."
"Taaar! Taaar! Taaar!" Suara lecutan cambuk ketiga orang piauwsu yang bertempur di dalam arena itu semakin jarang terdengar. Jangankan untuk meledakkan ujung cambuknya, sedang untuk bertahan saja mereka semakin tampak kerepotan.
Tongkat besi lawan yang besarnya tak lebih daripada besar ibu jari mereka itu terdengar mengaung-gaung di sekitar tubuh mereka. Lambat tapi pasti, tongkat besi itu mengurung dan mendesak mereka. Dibandingkan dengan lawannya, orang-orang dari Tiat-tung Kai-pang itu memang tampak lebih gesit dan lebih tinggi kepandaiannya, sehingga biarpun orang-orang dari Kim-liong Piauw-kiok itu akan maju semua, rasa-rasanya juga tidak akan menang. Gerakan ketiga orang pengemis itu benar-benar sangat tangkas dan hebat. Terutama si pengemis yang datang pertama kali tadi! Ayunan tongkatnya sangat kuat dan tak terlawan oleh ketiga orang musuhnya. Suaranya mendesing desing di udara seperti digerakkan oleh tenaga raksasa. Siapapun yang berani menangkis tangan maupun senjatanya tentu akan terlempar dari tempatnya.
"Apa boleh buat! Samte, mari kita bantu saudara-saudara kita! Biarlah...kita tidak usah memperdulikan apa kata orang terhadap kita. Biarlah kita dikatakan orang sebagai tukang keroyok." ajak ji-suheng kepada saudara-saudara yang lain. Keempat piauwsu itu segera melolos cambuk mereka, lalu secara bersama-sama mereka terjun membantu kawan-kawannya yang telah terdesak di tengah-tengah arena. Tampaknya ketiga orang pengemis itu juga telah memperhitungkan kemungkinan itu. Buktinya mereka tidak merasa kaget sedikitpun melihat datangnya bala bantuan itu. Pengemis yang pertama itu malah tertawa terkekeh-kekeh menyambut mereka.
"Hahaha... kenapa tidak sejak tadi kalian maju ke arena ini...Kalian boleh melihat sekarang macam apa kami bertiga ini. Sehingga lain kali kalian akan berpikir dulu beberapa kali sebelum mengejek dan menghina orang."
"Kurang ajar...! Siapa yang mulai mengejek dan menghina orang? Kalian benar-benar pandai omong! Siapa yang mula-mula menghardik kami bersaudara tadi? Bukankah kalian yang mencari gara-gara terlebih dahulu?" orang termuda dari rombongan piauwsu yang ringan mulut itu berteriak marah.
"Benar! Tapi bukankah pihakmu juga yang mula-mula mengejek dan menjelek-jelekkan nama Keh-sim Siauwhiap?"
"Lhoh! Mengapa kami mesti tidak boleh memaki-maki Kehsim Siauwhiap? Orang itu adalah musuh kami. Dia merampok barang-barang kami! Mengapa kami tidak boleh memakinya? Apakah kita justru diharuskan untuk berterima kasih atas dirampoknya barang-barang kami itu? Begitukah?"
"Persetan! Kami tidak perduli! Pokoknya kalau kalian tidak meminta maaf atas hinaan kalian kepada Keh-sim Siauwhiap itu kami akan menyeret kalian kehadapan Keh-sim Siauwhiap sendiri!"
"Bangsat! Jangan harap dapat memaksa kami...!" Dan pertempuran tiga melawan tujuh orang itu makin menjadi seru dan ramai. Biarpun dikepung oleh tujuh orang bersenjata cambuk, ternyata ketiga pengemis dari Tiat-tung Kai-pang itu tidak mengalami kesukaran sama sekali. Agaknya mereka tadi memang belum mengeluarkan seluruh kepandaian mereka. Sementara itu di luar kalangan telah penuh dengan para pengungsi yang ingin menyaksikan perkelahian tersebut.
Yang Kun yang berdiri di deret paling depan tampak meremas-remas telapak tangannya dengan perasaan tegang. Pemuda itu benar-benar mengkhawatirkan nasib para piauwsu dari Kim-liong Piauw-kiok tersebut. Bagaimanapun lihainya mereka, ketiga orang pengemis itu masih berada di atas kepandaian mereka. Dan kekhawatiran pemuda itu segera terbukti ketika secara tiba-tiba terdengar suara teriakan kesakitan dari piauwsu termuda yang ringan mulut itu. Tubuhnya tampak terhuyung huyung dari arena pertempuran. Lalu jatuh terlentang di atas tanah. Mati! Perutnya terobek lebar oleh tongkat besi lawannya. Darah mengalir membasahi besi lawannya. Darahnya mengalir membasahi tanah di bawahnya. Yang Kun tersentak! Tiba-tiba terbayang di benaknya wajah mendiang ayahnya yang jatuh berlumuran darah di atas lantai gedung itu.
"Jite (adik ke 7)...!" Para piauwsu itu serentak menjerit dengan hati pilu. orang yang tertua diantara mereka bermaksud keluar dari kancah pertempuran untuk menengok adiknya tersebut justru termakan lagi oleh tongkat besi lawannya.
"Aduuuuhh...!" Orang itu terkulai dengan dada tertembus tongkat besi! Tubuhnya terkapar di atas tanah menyusul adiknya. Para penonton mulai bubar ketakutan. Yang Kun yang belum hilang rasa kagetnya itu semakin muak dan pening kepalanya. Kini tidak saja wajah ayahnya yang terbayang bayang di depan matanya...tapi wajah paman dan ibunya juga turut menggoda di depannya.
"Berhentiii...!" mendadak pemuda itu berteriak sekuatkuatnya. Untung Yang Kun berteriak hanya sekedar untuk menghentikan perkelahian dan juga hanya sekedar untuk menghentikan perkelahian dan juga hanya sekedar untuk menghilangkan bayang-bayang yang menggoda hatinya.Coba, pemuda itu mengerahkan Lion-cu i-kangnya, mungkin akan terjadi bencana kematian di antara orang-orang yang berada di tempat penampungan pengungsi itu. Meskipun demikian suaranya yang keras itu mengagetkan juga pada semua orang. Termasuk pula orang-orang yang sedang berkelahi.
"Mengapa saudara menghentikan pertarungan kami?" pengemis dari Tiat-tung Kai-pang itu membentak pula. Pemuda itu melangkah ke depan, menghampiri ketiga orang Tiat-tung Kai-pang itu dengan pelan. Wajahnya tampak pucat menahan geram. Dan semua orang mengikuti langkahnya dengan perasaan tegang pula.
Mereka tidak tahu apa yang akan dikerjakan oleh pemuda tinggi kurus itu setelah menghentikan pertarungan para jago-jago silat tersebut. Pemuda itu berhenti tiga empat langkah di depan orang orang Tiat-tung Kai-pang tersebut. Matanya yang mencorong dingin itu menatap dengan tajam ke tiga orang pengemis yang berdiri congkak di depannya. Beberapa saat lamanya mereka saling beradu pandang untuk mengukur kekuatan masing masing. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh orang-orang Kim-liong Piauw-kiok untuk menengok kedua orang saudara mereka yang tergeletak di atas tanah. Sementara di antara para penonton juga telah bertambah dengan dua orang lain, yaitu sepasang gadis cantik berpakaian hitam-hitam. Keduanya tampak memandang dengan penuh perhatian ke tengah-tengah arena.
"Kudengar kalian berdua adalah seorang pengemis yang tergabung dalam Tiat-tung Kai-pang." Yang Kun mulai berbicara.
"Tidak salah! saudara mau apa? Mau membela kawan-kawanmu itu? Majulah!"
"Kurang ajar...! Kalau semua pengemis sedemikian kejam dan sombong seperti kalian, betapa akan tidak amannya dunia ini. Sedikit-sedikit suka membunuh orang. Mengemis tidak diberi...lalu membunuh orang!" Yang Kun menggeram marah.
"Apa pedulimu? Kalau berani, majulah! Kalau tidak, lekaslah pergi dari tempat ini. Pergilah menyusu ke dada ibumu...!" Hinaan itu benar-benar keterlaluan. Dan tanpa disadari juga menyinggung pada tempat yang rawan di hati Yang Kun. Pemuda itu seperti diingatkan kembali kepada kematian ibunya yang menyedihkan! Tampak wajah pemuda itu menjadi merah padam. Tulang-tulangnya terdengar gemertak menahan aliran Liong-cu I-kang yang membanjir melanda seluruh urat-urat darahnya. Dan ketiga orang pengemis itu agaknya juga menyadari akan bahaya itu. Maka sebelum pemuda itu selesai mengerahkan lweekangnya, ketiga orang itu serentak menerjangnya terlebih dahulu.
"Awas serangan...!" Tiga buah tongkat besi itu menghantam dengan kekuatan yang dasyat ke arah tubuh Yang Kun. Debu di sekitar pemuda itu bagai tersibak kesegala penjuru saking hebatnya ketiga orang itu mengerahkan tenaganya.
Yang Kun merasa kaget juga menyaksikan kehebatan lawan. Tapi kemarahan pemuda itu telah sampai di puncak ubun-ubunnya. Tak seorangpun di dunia ini yang mampu menakut-nakuti dirinya lagi. Seperti gerakan seekor belalang Yang Kun melentingkan tubuhnya ke samping menghindarkan diri. Bagaimanapun juga ia belum yakin benar akan kekuatan lweekangnya. Selama ini ia hanya mengenal kekuatan lweekang paman dan ayahnya, serta yang paling akhir ini adalah nenek buyutnya. Dan semuanya itu dia anggap sangat hebat pula. Tak seorangpun di antara mereka yang mampu dia kalahkan. Oleh sebab itulah sekarang pemuda tersebut juga masih ragu-ragu akan kemampuan dirinya. Dia masih ragu-ragu untuk membenturkan tenaganya.
"Blaaaaaar...!" Tiga buah tongkat besi itu menghantam tanah dengan keras sekali. Untuk beberapa saat lamanya tempat itu menjadi gelap oleh debu yang berhamburan ke mana-mana. Ketiga orang pengemis itu tampak telah bersiap-siap kembali dengan serangannya, sementara Yang Kun masih juga menghindari batu-batu kerikil yang berhamburan ke arah dirinya. Ketiga orang pengemis itu berpencar ke samping.
Mereka bermaksud menyerang lawannya dari tiga jurusan. Dan selagi Yang Kun masih disibukkan oleh debu yang berhamburan ke arahnya, ketiga orang itu kembali menyerang secaraberbareng. Mereka menyerang dengan kekuatan penuh seperti tadi. Seorang menyerang bagian kaki, sedang dua orang lainnya menggempur bagian kepala dan dada! Tongkat mereka tampak bergetar saking kuatnya mereka menyalurkan tenaga. Hembusan angin serangan mereka sungguh-sungguh mengagetkan pemuda itu. Tahu-tahu serangan itu telah melanda dirinya. Terutama serangan lawan yang tertuju ke arah kepalanya. Begitu pemuda itu menyadari bahaya yang datang, tongkat itu sudah berada di depan alis matanya. Padahal serangan lawan yang lain juga telah memburu datang. Tak ada kesempatan lagi bagi Yang Kun untuk mengelak.
Serangan tongkat lawan sungguh di luar dugaan cepatnya. Apa boleh buat, terpaksa pemuda itu memberanikan diri untuk membentur senjata lawan dengan sisi tangannya. Lebih baik menderita patah lengan dari pada harus mati karena kepala pecah, pemuda itu membatin. Meskipun begitu Yang Kun tetap masih berusaha menghindari benturan langsung. Dengan sedikit menggeliatkan badannya Yang Kun menghantam ke arah tongkat lawan yang datang. Untuk melindungi dirinya sedapat mungkin, pemuda itu mengerahkan seluruh tenaga Liong-cu-ikang kearah lengannya! Terdengar suara berdesis dari mulutnya, seperti suara ular senduk yang sedang marah! Dan bersamaan dengan benturan yang terjadi, pemuda itu masih dapat menghindari kedua serangan lawan yang lain.
"Kraaaaak!"
"Aduuuuuuuuh...!"
Jilid 07
Yang Kun terdorong keras ke samping terhuyung-huyung. Tenaga pengemis itu memang sangat hebat, apalagi kedudukannya memang lebih menguntungkan. Begitu dapat berdiri tegak kembali, yang pertama-tama diperbuatnya oleh Yang Kun adalah memeriksa lengan tangannya. Melihat lengan itu tetap dalam keadaan baik dan tidak kurang suatu apa, begitu juga badannya, pemuda tersebut malah menjadi terheran-heran di dalam hati. Cepat pemuda itu menoleh ke arah lawannya.
"Aduuuh...oh...gatal...! Gataaaaal...! Gatal dan panaaas...! Argggg...!" Yang Kun ternganga. Tampak di depan matanya pengemis yang beradu tenaga dengan dia tadi terguling-guling di atas tanah dalam keadaan sekarat. Dari seluruh lubang di tubuhnya mengalir darah segar. Dan tidak lama kemudian orang itu menghembuskan nafasnya yang penghabisan dalam keadaan yang sangat mengerikan.
Untuk sesaat suasana di tempat itu menjadi hening sepi. Semua orang tidak menyangka sama sekali kalau pengemis yang amat lihai itu akan mati dengan begitu mudahnya. Dan kedua orang pengemis yang lain tampak termangu-mangu pula seperti tidak percaya pada apa yang telah terjadi. Tapi begitu menyadari pada apa yang telah terjadi, mereka menjadi sangat marah sekali. Dengan berteriak keras mereka meloncat, menyerang ke arah pembunuh yang telah menghabisi nyawa temannya. Sekarang Yang Kun telah yakin pada kemampuan ilmunya. Maka melihat kedua orang lawannya yang lain menyerbu ke arah dirinya, ia sudah tidak merasa ragu-ragu lagi. Kembali dikerahkannya Lion-cu-ikang sepenuhnya ke arah lengan. Begitu serangan mereka tiba, pemuda itu menyongsong dengan kedua belah tangannya.
"Kraaaak...!"
"Auuuugh...!" Seperti 2 buah layang-layang putus, tubuh kedua orang pengemis itu terlontar kembali dengan nyawa melayang dari tubuhnya.
Mereka jatuh berdebam di tanah dengan darah mengalir dari semua lubang tubuhnya. Kulit mereka menjadi merah bagai kepiting yang baru saja direbus. Selain digempur dengan tenaga dalam yang sangat hebat, ternyata kedua orang itu menderita keracunan yang mematikan pula. Yang Kun memandang kepada korbannya dengan termangu-mangu, lalu mengawasi kedua belah telapak kakinya yang terbenam ke dalam tanah. Tampak wajahnya sedikit muram. Timbul juga perasaan menyesal di dalam hati pemuda itu. Sebenarnya tak ada niat di hatinya untuk membunuh mereka. Maka pemuda itu hanya melirik saja ketika para piauwsu dari Kim-liong Piauw-kiok menjura menyatakan rasa terima kasih mereka. Sedikitpun ia tidak merasa gembira atas kemenangan itu.
"Saudara tadi mengatakan bahwa dunia ini tidak akan aman lagi kalau ada orang yang sedikit-sedikit suka membunuh orang...Lalu apa bedanya perbuatan saudara ini dengan para pengemis itu?" tiba-tiba terdengar suara perlahan dari tengah-tengah penonton. Tersentak Yang Kun dari lamunannya. Dilihatnya dua orang gadis berparas manis datang menghampiri dirinya. Pakaian hitam-hitam yang mereka kenakan benar-benar tampak menyolok di antara kulit mereka yang putih bersih. Sebuah pedang pendek tampak tergantung pada masing-masing pinggangnya. Yang Kun tergagap tidak dapat menjawab pertanyaan mereka. Setelah semua kemarahannya hilang pemuda itu memang merasa menyesal atas perbuatannya.
"Nah, bukankah saudara tidak dapat menjawabnya? Maka untuk selanjutnya saudara tidak usah membual dengan kata kata yang muluk-muluk, karena saudara sendiri ternyata juga bukan orang yang baik.Dalam hal ini ternyata saudara tidak ada bedanya pula dengan orang-orang Tiat-tung Kaipang itu. Malah kalau ditimbang, saudara justru lebih kejam dan bengis daripada mereka. Mereka
cuma membunuh dua orang sementara saudara membunuh tiga orang..."
"Benar! Aku memang terlalu terburu nafsu sehingga menjadi lupa diri..." Yang Kun mengakui dengan gagah.
"Tapi penyesalan saudara itu sudah terlambat! Bagaimanapun saudara telah menanam bibit permusuhan dengan Tiat-tung Kai-pang dan... Keh-sim Siauwhiap."
"Apa boleh buat! Nasi telah menjadi bubur... Aku tidak takut, apalagi ingkar!" Yang Kun berkata dengan dada tengadah.
"Bagus! saudara memang seorang ksatria tulen! Sekarang bersiaplah...!" kedua gadis berbaju hitam itu membentak.
"Bersiap...? Apa maksud nona? Apakah...?" Yang Kun terperanjat setengah mati. Sedikitpun dia tidak mengetahui apa maksud kedua orang gadis manis tersebut.
"Mereka berdua adalah anak buah Keh-sim Siauwhiap!" salah seorang dari para piauwsu itu membisiki Yang Kun.
"Harap tuan berhati-hati! Kepandaian mereka sangat tinggi. Lebih tinggi dari pada kepandaian orang-orang Tiat-tung Kaipang itu."
"Hah?!? Anak buah Keh-sim Siauwhiap...?" pemuda itu ternganga.
"Perkataan piauwsu itu adalah benar... kami memang para pembantu dari Keh-sim-Siauwhiap. Mereka telah mengenal kami dengan baik. Apakah sekarang saudara menjadi takut?" gadis manis tersebut berkata dengan tandas. Tersinggung kembali rasa keangkuhan pemuda itu.
"Hmh... takut? Gila! Mana ada kata-kata takut di hatiku? Majulah! Apabila aku sampai kalah melawan kalian, aku akan membunuh diri didepan hidungmu!" serunya marah.
"Oh... Tuan, ja...jangan terlalu memandang rendah gadis itu! Dialah yang merampas barang kawalan kami. Kepandaiannya benar-benar sangat tinggi..." piauwsu tadi memegang tangan Yang Kun dengan khawatir.
"Ah, tak usah saudara bersumpah seperti itu. Sedikitpun kami tidak ingin melihat saudara membunuh diri di hadapan kami. Nah, sekarang pilihlah di antara kami berdua, yang mana di antara kami yang akan saudara lawan?" gadis itu berkata tenang. Keangkuhan pemuda itu kembali tersentuh oleh perkataan gadis tersebut.
"Memilih? Huh! Membuang-buang waktu saja. Majulah, nona berdua sekalian, biar lekas beres!" Kedua gadis itu justru terlongong-longong seperti orang kehilangan akal melihat kesombongan Yang Kun. Begitu pula orang-orang lainnya. Para piauwsu yang berada di dekat Yang Kun menatap pemuda itu dengan perasaan aneh. Waraskah pemuda ini?
"Tuan...? Adakah tuan bersungguh-sungguh? Maaf... kami bukan tidak mempercayai kepandaian tuan, tetapi... tetapi... sesungguhnyalah kedua wanita itu mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Kami tujuh bersaudara telah dikalahkan hanya oleh salah seorang diantara mereka..." seorang dari para piauwsu itu berbisik kembali.
"Sudahlah! Silahkan saudara sekalian minggir. Tolong bawa mayat-mayat itu sekalian...!" Salah seorang dari kedua gadis berbaju hitam itu maju ke depan.
"Saudara agaknya ingin lekas-lekas membunuh diri. Tapi kami tidak sekejam itu. Biarlah aku saja yang menghadapi saudara..." katanya perlahan. "Nah, lekaslah saudara mengeluarkan senjata! Biarlah kuhadapi dengan tangan kosong."
"Telah kukatakan tadi, majulah kalian bersama-sama! Dan hunuslah pedang kalian itu! Atau kalian akan mati di sini tanpa sempat lagi mempergunakannya?" Yang Kun membentak tidak kalah garangnya.
"Saudara sungguh sangat takabur. Baiklah, akan kulihat sampai di mana saudara dapat bertahan untuk tidak mempergunakan senjata." gadis itu berkata sambil bersiap siap untuk menyerang.
"Majulah berbareng, kataku!" Yang Kun menjerit marah. "Dan hunus pedang itu!" Tubuhnya yang jangkung itu tiba-tiba mencelat ke depan dengan cepat sekali. Begitu cepatnya sehingga gadis yang berada di depannya itu menjadi terkejut sekali. Kali ini Yang Kun memang mengerahkan seluruh kepandaiannya. Dia tidak mau berlaku setengah-setengah lagi. Dari mulutnya terdengar suara desis yang mengerikan. Gadis itu meloncat ke samping sehingga serangan Yang Kun menemui tempat kosong.
Lalu dengan tidak kalah gesitnya gadis tersebut memukul Yang Kun dari arah samping. Hembusan angin panas menerjang pemuda itu bersama-sama dengan serangan yang menuju pinggangnya. Begitu menjejakkan kakinya di atas tanah, Yang Kun cepat memutar badannya. Kedua belah tangannya segera menyongsong ke depan untuk memapaki pukulan lawan. Gadis itu tampak mengerahkan seluruh tenaganya guna menindih tenaga Yang Kun yang terlontar ke arah dirinya. Tapi gerakan pemuda itu ternyata hanya merupakan gerak tipu saja. Sebelum kedua belah tangan mereka saling berbenturan, Yang Kun segera menarik serangannya dan menggantinya dengan cengkraman ke arah gagang pedang lawan yang masih tergantung di atas pinggang. Gadis itu menyentakkan tangannya kembali dengan kaget.
Kakinya melangkah selangkah untuk menghindari cengkraman lawan yang datang. Tetapi bukan main kagetnya gadis itu ketika dilihatnya lengan lawan yang terulur ke arah gagang pedangnya tersebut mulur (bertambah panjang) menjadi satu setengah kali lipat dari lengan manusia biasa. Maka tak ampun lagi senjatanya telah berpindah ke tangan lawannya itu. Begitu berhasil merampas pedang lawannya, Yang Kun segera melenting ke arah gadis yang lain. Pedang rampasannya ia sabetkan ke arah leher gadis yang masih berada di pinggir arena tersebut. Selain sangat cepat gerakan pemuda itu benar-benar tidak terduga oleh lawannya. Memperoleh serangan yang begitu mendadak, gadis itu menjadi kelabakan. Otomatis tangannya mencabut pedang pendeknya, lalu dengan gugup berusaha untuk menangkis serangan tersebut sedapatnya.
"Trang!" Bunga api berpijar ketika kedua buah senjata itu saling berbenturan di udara. Tampak tubuh si pemuda berjumpalitan lebih dahulu di udara sebelum dengan manis mendarat di atas tanah. Sedang si gadis tampak memutar badannya setengah lingkaran untuk mengurangi daya tekan lawan yang hebat.
Dan begitu berdiri tegak gadis itu secara kebetulan berada di belakang punggung lawannya, sehingga dengan enak gadis itu memanfaatkan kesempatan tersebut untuk membokong lawan dari belakang. Jarak di antara mereka hanya 2 langkah saja. Maka menurut aturan, serangan tersebut tak mungkin dielakkan lagi. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanya dengan menangkis pedang itu. Tapi mana mungkin hal itu dilakukan? Sebagai manusia normal, untuk menggerakkan lengan tangan ke belakang sungguh suatu hal yang sulit dan amat kikuk sekali. Misalnya bisa, juga takkan dapat mengejar lagi kecepatan gerak lawan. Tapi kali ini gadis itu ternyata juga terkecoh oleh kehebatan dan keanehan Kim-coa-ih hoat seperti juga kawannya tadi...! Gadis itu menjadi gembira bukan main begitu melihat tusukan pedangnya telah menyentuh baju lawan.
Tetapi sedetik kemudian kegembiraan itu berubah menjadi kekagetan yang luar biasa. Dengan mata terbelalak gadis itu melihat suatu hal yang menakjubkan dan mustahil dapat dilakukan oleh manusia biasa. Gadis tersebut melihat lengan si pemuda terlipat ke belakang dengan siku tertekuk terbalik, sehingga pedang yang terpegang dalam tangannya dapat menangkis pedang yang tertuju ke arah punggungnya. Dan selagi gadis itu masih dalam keadaan tercengang dan tertegun, Yang Kun menyerangnya kembali dengan cengkeraman tangannya. Dengan mudah pedang si gadis dapat dirampasnya. Dan tidak itu saja...pundak si gadispun dapat ia cengkeram pula dengan tangannya. Lalu begitu tangan itu bergerak, tubuh gadis itu terlempar ke arah kawannya, sehingga dengan terburu-buru kawannya tersebut menyanggahnya.
"Hunuslah pedang dan majulah berbareng, kataku!" Yang Kun berseru lantang. "Nah, apa kata kalian sekarang?" Kedua orang gadis itu terdiam tak tahu apa yang mesti mereka katakan. Peristiwa yang menimpa mereka tadi masih mencekam perasaan mereka. Demikian cepat dan membingungkan seperti dalam mimpi saja. Begitu juga para penonton. Banyak di antara mereka malah tidak tahu apa yang telah terjadi dengan ketiga orang itu. Tahu-tahu kedua orang gadis tersebut telah dikalahkan oleh pemuda itu. Begitu juga dengan orang-orang Kim-liong Piauwkiok. Mereka masih ternganga keheranan menyaksikan sepak terjang pemuda yang menolong mereka itu. Sungguh tidak mereka sangka sejak semula bahwa pemuda itu begitu saktinya.
"Baiklah! Kali ini kami berdua mengaku kalah. Tapi sebenarnya di dalam hati kami belum sepenuhnya mengaku kalah. saudara telah memanfaatkan waktu dan keanehan ilmu silat saudara untuk menjebak kami. Jadi belum berarti kalau ilmu silat kami adalah lebih rendah dari pada ilmu silat saudara. Hal itu dapat dibuktikan apabila kita bisa mengadu ilmu dengan tenang serta jujur..." salah seorang dari kedua gadis itu berkata.
"Hmh! Begitukah pendapat kalian?" Yang Kun mendengus. "Apakah kalian berani bertaruh?"
"Hal ini..." Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan berkelebat dengan cepat sekali dari kerumunan para penonton. Bayangan itu berjumpalitan beberapa kali di udara sebelum mendarat dengan ringan di depan kedua gadis tersebut.
"Cici...," bayangan itu menoleh ke arah kedua orang gadis tersebut penuh wibawa,"...Tak usah Cici melayani tantangan pemuda ini! Lebih baik Cici pulang saja ke Meng-to (Pulau Mimpi)...!"
"Nona Souw...! Kami memang sedang mencari nona. Nona disuruh pulang selekasnya!" kedua orang gadis itu berseru berbareng begitu mengetahui siapa yang datang.
Kedua orang gadis berbaju hitam itu tampak sangat menghormat kepada gadis cantik yang baru tiba tersebut. Sementara itu di lain pihak Yang Kun menjadi sangat terkejut sekali begitu melihat siapa yang datang di hadapannya. Di pandangnya dengan seksama tubuh gadis cantik yang hanya bertangan sebelah itu. Gadis yang tadi dilihatnya membantu para pengungsi yang sakit. Gadis yang sempat menyentuh perasaannya dan menimbulkan rasa iba di dalam hatinya. Ternyata gadis cantik itu segolongan dengan mereka dan mempunyai kepandaian yang tinggi pula. Gingkang yang baru saja dipertunjukkan tadi adalah ginkang tingkat tinggi. Gadis cantik bertangan buntung itu menganggukkan kepalanya.
"Baik!" Aku memang sudah ingin pulang kembali. Ayolah, kita berangkat bersama-sama!" Lalu tanpa memperdulikan lagi pada Yang Kun, ketiga orang gadis itu beranjak pergi meninggalkan tempat tersebut.
"Hei, kalau kalian tak mau lagi bertarung denganku, kembalikan barang-barang kawalan para piauwsu yang telah kau rampas itu!" Yang Kun berteriak di belakang mereka. Gadis buntung itu berputar dengan cepat. Matanya yang jeli dan lebar itu mengawasi Yang Kun dengan tajam. Sinar kemarahan tampak di dalam pandang mata gadis itu.
"Kalau saudara menginginkan barang-barang itu kembali, silahkanlah saudara mengambilnya di Meng-to pada tanggal lima bulan depan...!" Yang Kun menjadi tergagap mendapat semprotan gadis itu. Heran! Hilang semua kegarangan dan kesombongannya selama ini.
"Aku... aku... eh, bukan itu maksudku...! Aku tidak mempunyai sangkut-paut sebenarnya dalam hal ini. Aku tidak kenal dengan mereka," pemuda itu menerangkan. Jarinya menunjuk ke arah rombongan piauwsu yang berdiri di dekatnya. "Maka... aku tidak bermaksud ke Meng-to untuk... menerima undanganmu itu."
"Huh! Lalu apa maksudmu membantu mereka dan membunuh kawan-kawan Keh-sim Siauwhiap ini? Hanya untuk gagah-gagahan dan memameran kepandaian saja?" Memang benar-benar mengherankan sekali. Sedikitpun pemuda itu tidak menjadi marah atau tersinggung oleh perlakuan gadis tersebut, membuat para penonton merasa heran juga. Padahal tadi pemuda itu demikian garang dan sombong bukan main.
"Eh... aku tadi hanya tidak menyukai ada kekejaman dan kebengisan orang-orang Tiat-tung Kai-pang itu terhadap para piauwsu dari Kim-liong Piauw-kiok ini. Barang-barang mereka sudah dirampas, orangnya masih dihina dan dibunuh pula..."
"Hmm... itulah kalau orang terlalu usil dan suka mencampuri urusan orang. Apakah saudara telah mengetahui, mengerti atau memahami persoalannya?"
"Ini... ini... aku tidak tahu..."
"Nah, itulah! Dan saudara telah mencampurinya. Tapi semuanya sudah terlanjur. saudara tidak boleh ingkar lagi. saudara telah membunuh sahabat-sahabat dari Keh-sim Siauwhiap...dan itu berarti bahwa saudara telah tersangkut pula dalam urusan ini." Yang Kun mengangguk tegas.
"Nona" aku memang tidak ingkar. Akan aku hadapi semuanya, apapun yang terjadi."
"Bagus! Bersiaplah mulai sekarang! Jalan yang akan saudara lalui tidak akan selicin dulu lagi. Banyak aral yang akan melintang di jalan karena perbuatan saudara ini!" Gadis itu membalikkan badannya, lalu bergegas pergi dengan diikuti oleh kedua orang temannya. Mereka keluar dari halaman itu dan lenyap di tikungan jalan. Orang-orang dari Kim-liong Piauw-kiok itu datang mengelilingi Yang Kun untuk sekali lagi menyatakan rasa terima kasih mereka. Tapi pemuda itu hanya mengangguk kecil, kemudian melangkah pergi dari tempat itu pula. Di dekat pintu halaman Yang Kun dihentikan oleh orang yang telah menolong dirinya dan membawanya ke tempat ini.
"Tuan... apakah tuan tidak jadi bermalam di sini?"
"ohh... tidak! Terima kasih! Saya bermaksud untuk meneruskan perjalanan saya sekarang juga. Sekali lagi saya mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan tuan itu..." Yang Kun menjura dengan hormat. Kemudian pemuda itu meneruskan langkahnya. Tapi di tengah pintu halaman pemuda itu menoleh lagi.
"Tuan... di manakah tuan mengubur nenek saya itu? Maksud saya...di kampung mana?"
"Oh, apakah tuan belum pernah ke tempat ini? Nenek itu kami makamkan di dekat sumber air baru yang muncul di sebelah selatan Hok-cung..."
"Hok-cung (Kampung kelelawar)? Di manakah itu?"
"Ah, agaknya tuan memang bukan orang dari sini. Kampung Hok-cung itu terletak di sebelah timur Pesanggrahan Delapan Dewa, yaitu sebuah pesanggrahan yang sering dipergunakan oleh Baginda Kaisar Han apabila sedang ingin menyendiri."
"Terima kasih!"
* * *
Yang Kun berjalan dengan kepala tertunduk. Dia tak tahu apa yang pertama-tama mesti ia lakukan setelah dirinya terbebas dari penjara bawah tanah itu. Sebenarnya banyak tugas-tugas yang harus dia selesaikan, antara lain mencari benda pusaka yang diwariskan oleh leluhurnya. Kemudian juga mencari musuh-musuh besar keluarganya yang telah membantai ayah, ibu dan paman-pamannya. Setelah itu dia juga mendapat tugas dari nenek buyutnya untuk mencari seorang gembala yang bernama Pao Liang untuk mengantar abu neneknya itu.
Matahari telah mulai terbenam. Hari telah berangsur-angsur menjadi gelap. Yang Kun berjalan perlahan-lahan ke arah kampung Hok-cung yang tadi telah ditunjukkan oleh penolongnya. Ia bermaksud bertanya kepada seseorang tentang arah yang benar, tapi sudah sekian lamanya dia berjalan belum pernah sekalipun ia berjumpa atau berpapasan dengan seseorang. Apalagi jalan yang dia lalui sekarang memang sebuah jalan gunung yang sunyi. Malam hari pula. Baru sekarang pemuda itu memasuki pedusunan, ia baru dapat melihat beberapa orang laki-laki duduk menggerombol di sebuah gardu penjagaan kampung. Orang-orang itu serentak berdiri begitu melihat dirinya. Seorang di antaranya lalu melangkah ke jalan dan menghentikan perjalanannya.
"Maaf, saudara siapa? Mengapa malam-malam begini berjalan seorang diri?" Yang Kun mengerutkan keningnya. Ada sesuatu yang tidak beres dilihatnya pada sikap orang itu. Seperti ada suatu kecurigaan yang ditujukan kepada dirinya. Dilihatnya kawan-kawan dari orang itu juga telah turun ke jalan dan bersiap-siap menghadapi dirinya.
"Saudara...aku seorang pengembara yang sedang mencari sebuah kampung yang bernama Hok-cung. Namaku adalah Yang Kun. Tolonglah...adakah di antara saudara saudara sekalian yang mengetahui letak kampung tersebut?" pemuda itu menjawab pertanyaan dengan halus. Tapi bukan main terkejutnya Yang Kun ketika orang-orang itu tiba-tiba mengepung dirinya sambil mengacungkan senjata mereka.
"Hah! Agaknya engkau juga kawan dari para penculik dan perampok itu, kurang ajar! Akan kami tangkap engkau lebih dahulu sebelum engkau bergabung dengan teman-temanmu itu." teriak orang itu dengan geram. Lalu orang itu menoleh ke arah kawan-kawannya yang telah bersiap-siap pula untuk menyerang.
"Tangkap orang yang mencurigakan ini! Kita sandera dia sebagai alat penukar untuk membebaskan gadis gadis kita yang telah diculik oleh teman-temannya!" Dan tanpa berkata-kata lagi orang-orang itu segera menyerang Yang Kun. Senjata mereka yang terdiri dari bermacam-macam bentuk itu menyerang bagai hujan ke arah tubuh pemuda tersebut. Tapi dengan tangkas Yang Kun meloncat ke atas, melampaui kepala mereka, kemudian turun dengan ringan di belakang orang-orang itu.
"Tahan! Saudara-saudara harap bersabar! Aku bukan seorang perampok, apalagi menjadi seorang penculik gadis!" teriaknya mendongkol.
"Hmm, penipu! Kawan-kawanmu dulu juga berkata begitu. Katanya mau menolong warga kampung ini dari penderitaan akibat serangan gempa, tak tahunya malah merampok dan menculik gadis-gadis kami. Oleh karena itu sekarang kami tidak akan percaya lagi pada omongan orang..." Wah, repot sekali nih, pemuda itu berpikir.
Tanpa menundukkan mereka terlebih dahulu, tentu sangat sukar untuk mengajak mereka bicara. Maka pemuda itu lalu bersiap-siap pula untuk menghadapi orang-orang yang sudah mata gelap tersebut. Kedua tangannya ia tekuk di depan dada, sedang badannya yang jangkung itu mendorong ke depan. Dari mulutnya terdengar suara desisan yang mengalun mengikuti gelombang pernapasannya. Tapi karena dia tidak ingin mengulang kejadian seperti beberapa saat yang lalu, di mana pukulannya ternyata menewaskan ketiga orang pengemis dari Tiat-tung Kai-pang, maka pemuda itu hanya mengerahkan seperempat saja dari kekuatannya. Ketika orang-orang itu menyerang kembali, Yang Kun sengaja diam saja menanti. Dan begitu senjata mereka telah berada di depan matanya, kedua lengannya segera melayang ke depan dengan cepatnya.
Lebih cepat dari luncuran senjata lawan-lawannya. Dan di lain saat, jari-jarinya telah membagi totokan serta merampas senjata mereka. Gerakan pemuda itu cepat bukan main sehingga sebelum orang-orang itu menyadari keadaannya, senjata mereka telah berpindah semuanya ke tangan Yang Kun. Baru setelah mereka sadar apa yang telah terjadi, mereka menjadi gemetar ketakutan. Mereka sungguh tidak menyangka sama sekali bahwa pemuda tampan yang mereka kepung dan akan mereka tangkap itu ternyata mempunyai kesaktian yang sangat hebat. Sementara itu setelah berhasil menguasai lawannya, Yang Kun membuang senjata-senjata yang telah dirampasnya itu melangkah menghadapi mereka lagi. Ditatapnya wajah orang yang pertama-tama menghadang dirinya tadi.
"Apakah engkau yang memimpin semua kawan-kawanmu ini?" Dengan tubuh gemetar orang itu mengangguk.
"Nah, ceritakan kepadaku semuanya! Apa yang telah terjadi di tempat ini beberapa waktu lalu sehingga kalian menyangka bahwa aku adalah salah seorang anggota dari para perampok yang kalian benci."
Sambil mengusap peluh dingin yang mengalir di dahinya orang itu menceritakan apa yang telah menimpa para gadis di kampungnya. Setelah siang harinya terjadi bencana alam yang menimbulkan banyak korban itu, pada sore harinya kampungmereka kedatangan tiga orang laki-laki asing. Begitu datang, mereka langsung membantu para penduduk yang sedang ribut mencari harta dan anggota keluarganya yang hilang atau diduga tertimbun dalam reruntuhan rumah mereka masing masing. Mereka pergi ke sana ke mari membantu orang-orang yang memang sangat membutuhkan pertolongan. Tidak tahunya perbuatan mereka itu hanya sebagai kedok saja agar mereka bisa mengetahui siapa-siapa yang mempunyai harta benda banyak dan anak gadis yang cantik.
Malam harinya mereka datang lagi dengan membawa belasan orang kawan-kawannya untuk merampok dan menculik gadis gadis di kampung mereka itu. Para perampok itu membawa hasil rampokan mereka ke Hok-cung yang letaknya tak jauh dari kampung mereka itu. Di sana mereka berpesta-pora bersama-sama dengan teman-teman mereka yang lain dan disaksikan oleh penduduk setempat yang gemetar ketakutan melihat kekejaman mereka. Harta benda penduduk yang masih tersisa dan terhindar dari malapetaka mereka pakai untuk berpesta, sementara gadis-gadis yang mereka culik mereka ajak menari dan minum arak secara paksa. Dan akhirnya pada pagi hari gadis-gadis itu mereka perkosa secara bergantian. Siapa saja yang merintangi dan mengganggu perbuatan mereka tentu mereka bunuh tanpa ampun.
"Bangsat keji!" Yang Kun berteriak marah mendengar penuturan orang itu. Matanya yang tajam itu mencorong ganas sehingga orang-orang kampung itu menjadi semakin ketakutan melihatnya.
"Lagi-lagi perampok...! Lagi-lagi perampok...!" pemuda itu menggeram dengan penuh penasaran.
"Hei, mengapa kalian tidak pergi ke kota yang terdekat untuk melaporkan mereka? Mengapa kalian malah mencegati orang-orang yang tidak bersalah?" Orang-orang itu semakin gemetar tubuhnya.
"Kami... kami tidak berani... eh... tidak seorangpun dari kami yang berani berangkat ke kota untuk melapor. Se-selain itu...tidak ada gunanya pula kalau kita melaporkannya. Sebab... sebab kami dengar para perampok yang berada di kampung Hok-cung itu justru baru saja kembali dari penyerbuan mereka ke kota. Malah kata beberapa orang yang menyaksikannya, jumlah mereka banyak sekali. Ribuan jumlahnya. Dan di kota, perampok-perampok itu telah menyerbu dan merusak istana Kaisar sebelum mereka dihalau dan diceraiberaikan oleh pasukan Yap Tai-Ciangkun."
Bukan main terperanjatnya pemuda itu. Istana Kaisar diserang gerombolan perampok? Ah, tentu orang-orang ini yang salah terka. Sungguh tidak masuk akal apabila kawanan perampok sampai berani menyerang Kotaraja. Apalagi sampai menyerbu istana! Yang disangka sebagai perampok itu tentulah gerombolan para pemberontak yang ingin membunuh Kaisar Han, Yang Kun berpikir di dalam hatinya. Yang Kun lalu teringat akan gerombolan pembunuh yang mengadakan pertemuan di rumah Si Ciangkun di kota Tiekwan beberapa bulan yang lalu. Mungkinkah gerombolan itu yang menyerang Kotaraja? Jikalau benar-benar mereka, hmmm...sungguh kebetulan sekali baginya. Akan kubasmi mereka sehingga tak seorangpun yang tersisa, pemuda itu menggeram di dalam hati!
"Ayo, antarkanlah aku menemui perampok-perampok itu! Akan kumusnahkan mereka semuanya!" Yang Kun menunjuk kepada orang itu.
"Ini... ini... anu, mana aku berani ke sana?" orang itu segera menyahut dengan muka pucat.
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudahlah! Antarkan saja aku!" Yang Kun meloncat pergi sambil menyambar lengan orang itu. Orang itu berteriak minta tolong kepada teman-temannya, tapi tak seorangpun berani bergerak untuk menolong. Teman temannya malah bubar melarikan diri. Lenyap ditelan oleh gelapnya malam. Yang Kun menurunkan orang itu di tempat yang sepi di tengah tengah persawahan.
"Sekarang tunjukkan arahnya! Di manakah letak dari kampung Hok-cung itu?"
"Baik... a-akan saya tunjukkan!" orang itu menjawab ketakutan.
Yang Kun mengikuti orang itu sambil sibuk memikirkan apa yang akan ia perbuat sesampai di tempat para perampok itu nanti. Haruskah dia menghadapi gerombolan itu secara terang-terangan? Ataukah dia mesti menghadapinya dengan secara sembunyi-sembunyi dan main kucing-kucingan? Baik kulihat dulu keadaan di sana, setelah itu baru kupikirkan tindakan apa yang mesti kuambil, Yang Kun bergumam. Langit biru bersih, Bintang-bintang bertaburan di angkasa raya. Berkelap-kelip, sepintas lalu seperti mutiara yang berserakan di atas beludru berwarna biru maya. Maka dari itu biarpun bulan belum tampak menampilkan diri, suasana jalan yang mereka lalui sudah tampak terang benderang. Dari jauh telinga Yang Kun sudah dapat mendengar suara gaduh yang suara ketawa para perampok yang berpesta di kampung Hok-cung.
"Itu mereka, tuan!" kembali orang yang mengantarnya mengigil ketakutan.
"Baik! kau pulanglah kembali! Aku dapat mencari sendiri sekarang."
"Terima kasih, tuan. Terima kasih...!" dengan sangat gembira orang itu bergegas pergi meninggalkan Yang Kun. Akhirnya Yang Kun meneruskan perjalanannya tanpa penunjuk jalan lagi. Tapi suara gelak ketawa dari gerombolan perampok itu dapat ia pakai sebagai pedoman dari langkahnya. Semakin lama gaung suara gelak ketawa mereka semakin keras terdengar oleh tenaga pemuda itu, menandakan bahwa kampung yang dicarinya tersebut telah berada di depan matanya. Benarlah, di antara bayang-bayang hitam yang menyelimuti udara di sekitar tempat itu, Yang Kun melihat berkelipnya lampu-lampu obor yang dinyalakan orang kira-kira satu lie di depannya.
Yang Kun mempercepat langkahnya. Tapi beberapa waktu kemudian tiba-tiba didengarnya suara gemericik air tidak jauh dari jalan yang dilaluinya. Yang Kun berhenti melangkah. Lalu bergegas ia mencari arah suara air mengalir itu. Sebuah sungai yang mengingatkan dia akan gua-gua di bawah tanah serta... neneknya! Yang Kun berloncatan di antara tanah-tanah retak dan bongkah-bongkah batu yang berserakan akibat gempa itu. Dan semakin mendekati suara air itu, semakin banyak pula bongkah-bongkah batu yang harus dilompatinya. Tanah-tanah retak yang dijumpai pemuda itupun semakin dalam dan semakin lebar pula. Sedangkan karena dalamnya tanah yang retak tersebut kadang-kadang menjadi terisi air.
Akhirnya sampai juga Yang Kun ke tempat di mana suara air yang didengarnya itu berasal. Pada sebuah tebing gunung yang terbelah menjadi dua bagian, tampak sebuah mata air yang menyembur dengan deras sekali. Airnya yang melimpah ruah itu mengalir ke bawah, melalui sela-sela bongkah batu yang berserakan di bawahnya. Seketika itu juga Yang Kun menjadi teringat kembali pada peristiwa yang menimpa dirinya beberapa waktu yang lalu. Yaitu pada saat dirinya dilahirkan kembali ke dunia ramai dari dalam perut bumi. Bongkah-bongkah batu yang kini diinjak dan dilompatinya itu adalah batu-batu yang dulu ia singkirkan ketika ia berusaha untuk menolong nenek buyutnya. Dan di tempat ini pulalah neneknya memberikan seluruh tenaga Liong-cu I-kangnya kepada dirinya.
Dan menurut keterangan para pengungsi itu, di tempat ini pulalah neneknya telah dikuburkan. Bergegas Yang Kun mencari kuburan itu dan menemukannya di tempat yang agak tinggi, tempat di bawah pohon cemara yang telah hampir tumbang digoyang gempa. Pemuda itu merasa lega dan bersyukur di dalam hati melihat makam itu tidak kekurangan suatu apa. Hanya sekarang ia harus memikirkan, apa yang mesti diperbuatnya dengan makan neneknya itu. Apakah ia harus membongkarnya sekarang dan membakar jenasahnya? Atau biarkan seperti ini saja dahulu, baru setelah semua urusannya nanti telah selesai ia kembali lagi ke sini untuk mengurusnya? Belum juga pemuda itu memperoleh keputusan apa yang mesti ia kerjakan, mendadak dari jauh terdengar suara suitan nyaring memecah kesunyian malam.
Pemuda itu segera berlindung di balik sebuah batu besar, karena suara itu bergerak menuju ke tempat di mana ia sekarang berada. Bukan main terperanjatnya pemuda itu ketika tiba-tiba di atas sebuah batu besar yang tidak jauh dari tempat ia bersembunyi telah berdiri seorang laki-laki tinggi kurus. Hampir seluruh badan orang itu tertutup oleh mantel hitamnya yang lebar dan panjang sampai ke bawah lutut. Kepalanya tertutup pula dengan sebuah topi lebar yang bagian pinggirnya terjuntai kain sutera tipis, sehingga wajah itu menjadi tertutup dan tidak kelihatan dari luar. Yang membuat kaget Yang Kun bukanlah dandanannya yang aneh itu tapi...orang yang mengenakannya! Biarpun dahulu hanya melihat orang itu sebentar saja tapi Yang Kun takkan mungkin dapat melupakannya.
Sebab ketika dirinya ditangkap secara licik oleh gerombolan yang ingin merebut pusaka warisan keluarga Chin di kota Tie-kwan, Yang Kun sempat melihat bahwa orang inilah yang ternyata menjadi pemimpin dari gerombolan tersebut. Gerombolan yang sampai saat ini ia anggap sebagai gerombolan yang bertanggung jawab atas terbantainya seluruh keluarganya. Belum juga hilang rasa kagetnya, Yang Kun mendengar lagi langkah seseorang yang datang menuju ke tempat itu. Dan tak lama kemudian di depan orang berkerudung itu telah berdiri seorang laki-laki berpakaian putih-putih. Wajahnya yang putih pucat itu hampir tertutup pula oleh rambutnya yang dibiarkan lepas terurai ke bawah. Sekali lagi Yang Kun dibuat kaget setengah mati begitu memandang dandanan orang yang baru tiba itu! Hanya kekagetannya sekali ini dibarengi dengan geraman hebat di hatinya.
Laki-laki berbaju putih itu telah dikenalnya pula dengan baik, karena orang inipun termasuk salah seorang pimpinan dari gerombolan itu pula. Orang inilah yang telah menyuruh seorang yang bergelar Teetok-ci untuk menyiksa dia dan Hek-mou-sai dengan barisan tikus-tikusnya. Hampir saja pemuda itu tidak dapat mengekang kemarahannya. Tetapi ia segera menyabarkan dirinya. Ia tidak boleh gegabah! Orang itu tidak seorang diri di sana. Di depannya berdiri seorang laki-laki yang ilmu meringankan tubuhnya benar-benar sangat mengetarkan hati. Jika ia bertindak ceroboh, boleh jadi malah dia sendiri yang akan menjadi korbannya. Oleh karena itu Yang Kun tetap berdiam diri di tempatnya. Dengan mata menyala pemuda itu mengawasi gerak-gerik dua orang tersebut.
"Mungkin benar dugaanku itu. Orang-orang ini dan anak buah merekalah yang kiranya oleh para penduduk itu sebagai perampok yang berani menyerang istana Kaisar Han. Dan mereka sebetulnya memang bukan perampok tetapi memang sebuah gerombolan pemberontak yang telah dipersiapkan untuk mengambil alih kekuasaan Kaisar Han!" pemuda itu berkata di dalam hati.
"Sayang agaknya gerakan mereka beberapa hari yang lalu telah menemui kegagalan... Dan kini mereka mundur dari Kotaraja benar-benar menjadi perampok! Mereka menjarah-rayah, merampok harta benda penduduk dan mengacau keamanan negeri." Yang Kun menghentikan lamunannya ketika melihat orang berkerudung itu mengulapkan tangannya ke arah laki-laki berbaju putih di depannya.
"Bagaimana hasil penyelidikanmu, Kwa-heng?" orang berkerudung itu berkata memecah kesunyian malam. Laki-laki berbaju putih itu membungkuk dengan hormat sekali.
"Ongya, apakah Wan Lo-Cianpwe belum datang menghadap?"
"Belum. Mungkin dia belum dapat datang pada malam ini. Dia aku perintahkan untuk pergi menyelidiki istana di Kotaraja. Adakah berita yang mengatakan bahwa istana telah diserang oleh para pengacau itu benar adanya? Aku juga ingin mengetahui siapakah yang ingin mendahului kita dalam memperebutkan takhta kerajaan itu?"
"Ongya, agaknya berita itu memang benar. di dusun sebelah ini siauwte telah melihat beberapa puluh orang bersenjata sedang berpesta-pora mengganggu para penduduk. siauwte dengar mereka memang sebagian dari para pengacau yang beberapa hari yang lalu telah menyerbu Kotaraja."
"Hahaha... Liu Pang itu sungguh sial sekali nasibnya. Baru lima tahun di atas singgasana sekarang telah mulai dirongrong berbagai macam kesulitan. Sudah dikacau istananya masih dihancurkan pula oleh gempa yang dahsyat! Kwa-heng inilah tandanya Thian tidak merestui segala perbuatannya. Hal tersebut juga dapat dipakai sebagai tanda bahwa saat-saat kejatuhannya telah berada di ambang pintu!"
"Benar! Ongyalah yang sebentar lagi akan menggantikannya. Karena Ongyalah sebenarnya yang lebih berhak menduduki singgasana emas itu. Kami semua telah bersiap siaga menanti perintah dari Ongya, kapan pemberontakan itu akan dimulai. Kapan barisan kita itu diperbolehkan bergerak untuk menghancurkan kekuatan Kaisar Han!"
"Haha...kau sabar dulu, Kwa-heng! Kukira saat itu tidak akan lama lagi. Kita tidak boleh terlalu tergesa-gesa. Kita harus benar-benar memperhitungkan seluruh keadaan. Baiklah...kita menunggu berita dari Wan-heng! Kalian berdua adalah pembantu-pembantu utamaku. Aku harus mendengarkan nasehat kalian semua, lalu bersama-sama kita merundingkannya. Baru setelah itu aku akan memutuskan apa yang mesti kita perbuat selanjutnya dengan pasukan kita itu."
"Terserah Ongya kalau begitu..." Kini semakin jelas bagi Yang Kun, apa sebenarnya masalah besar yang dahulu pernah diucapkan oleh ayah dan pamannya. Masalah besar yang selalu dirahasiakan oleh orang-orang tua itu kepadanya. Masalah besar yang kata pamannya sedang dihadapi oleh keluarganya. Keluarga Chin! Berdasarkan peristiwa-peristiwa yang dialaminya selama ini Yang Kun sudah dapat meraba serba sedikit, apa sebetulnya masalah besar yang sedang dihadapi oleh keluarga Chin tersebut.
Menurut pengamatannya, yang dimaksudkan dengan masalah besar oleh pamannya itu tentulah masalah tentang takhta kerajaan! Sebagai keturunan dari keluarga Chin yang masih tinggal hidup, Ayah dan pamannya merasa berhak untuk mendapatkan kembali takhta yang direbut oleh Kaisar Han. Apalagi ayah dan pamannya juga merasa telah memegang warisan pusaka kerajaan yang diperebutkan itu, biarpun karena sesuatu hal benda itu belum sempat diambilnya. Itulah pula sebabnya, mengapa pamannya tidak dapat menyebutkan siapa saja sebenarnya yang memusuhi keluarganya. Selain itu pamannya juga tidak bisa mengatakan siapakah sebenarnya musuh yang sedang dihadapi oleh keluarga Chin dalam menghadapi masalah besar itu. Sekarang baru jelas bagi Yang Kun tentang sebab-sebab dan duduk persoalannya.
Tentu saja pamannya tidak bisa mengatakan siapa saja yang menteror dan membikin sengsara keluarganya, karena musuh yang mereka hadapi adalah sebuah kekuatan besar yang terdiri dari ratusan, bahkan ribuan orang jumlahnya. Kemungkinan malah tidak itu saja. Dari percakapan dua orang di hadapannya itu dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuatan besar yang kini sedang bersaing untuk mendapatkan takhta ternyata tidak cuma satu golongan saja. Oleh karena itu otomatis yang memperebutkan atau mengincar pusaka warisan keluarganya juga semakin tidak bisa dihitung lagi jumlahnya. Tetapi dengan semakin jelasnya masalah besar itu bagi Yang Kun, justru membuat pemuda itu malah semakin pusing untuk menentukan siapa-siapa yang telah membunuh keluarganya.
Darah Pendekar Eps 28 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 8 Darah Pendekar Eps 22