Ceritasilat Novel Online

Asmara Si Pedang Tumpul 1


Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 1



Asmara Si Pedang Tumpul (Seri ke 02 - Serial Si Pedang Tumpul)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 01

   Garis puncak-puncak gunung di barat itu nampak jelas, seolah ada Tangan Ajaib yang membuat goresan tebal. Bahkan rimbun daun pohon-pohonan di sekitar puncak nampak, juga lembah dan ngarai, tonjolan bukit dan lekuk jurang. Makin ke bawah, hutan-hutan itu nampak semakin nyata dan semakin hijau, berbeda dengan yang di dekat puncak, yang berwarna kebiruan dan terkadang disembunyikan di balik tirai awan tipis. Matahari senja yang mendatangkan kecerahan pada puncak-puncak gunung itu, seolah sang matahari sebelum menghilang di balik sana untuk menunaikan tugas di belahan bumi yang sana, ingin meninggalkan kesan yang indah.

   Permainan sinar matahari yahg dipantulkan awan basah di udara melukiskan lengkung pelangi di sebelah utara. Lengkung setengah lingkaran, mengingatkan kita pada dongeng kuno bahwa lengkung pelangi itu merupakan tangga para bidadari yang hendak turun ke bumi! Kadang-kadang nampak serombongan burung melintasi langit, bergerak-gerak membentuk garis yang aneh, ada kalanya nampak seperti bentuk seekor naga yang sedang melayang-layang. Dari barat nampak mahluk terbang yang bukan burung, namun yang terbangnya demikian laju, menuju ke timur, menyongsong kegelapan di timur. Kalau segala macam burung beterbangan pulang ke sarang mereka setelah sehari penuh bekerja mencari makan, binatang kelelawar itu sebaliknya meninggalkan sarang untuk mulai bekerja! Mereka bekerja di malam hari dan tidur di siang hari.

   Pria muda yang berdiri di lereng itu menghadap ke barat, seperti terpesona, seolah merasa dirinya tenggelam ke dalam suasana yang hening dan indah itu, suasana yang agung dan dalam. Seluruhnya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan bahkan dirinya menjadi sebagian dari pada kebesaran alam itu. Tidak ada satupun yang kurang, tidak ada pula yang lebih. Sudah pas, sebuah keadaan sempurna tanpa kemarin tanpa esok. Semua menuju ke mulut kegelapan yang sudah siap untuk menelan segala yang nampak, kegelapan sang malam.

   Pemuda ltu menghela napas panjang dan terdengar suaranya seperti rintihan lirih, bersama helaan napasnya.

   "Tuhan Maha Besar........!" dan dipejamkan kedua matanya sejenak dengan hati penuh haru dan rasa syukur kepada Sang Maha Kuasa atas segala kurniah yang telah dirasakannya sampai saat itu. Kemudian dia teringat bahwa dia harus melanjutkan perjalanan, menuju ke puncak di depan itu, yaitu di Pek-in-kok (Lembah Awan Putih) di pegunungan Ho-lan-san ini.

   Sebelum melanjutkan langkahnya, dia menoleh ke timur dan nampaklah sungai Kuning (Huang-ho) yang panjang seperti seekor ular naga. Nampak pula genteng rumah-rumah pedesaan sepanjang lereng dan kaki bukit, juga samar-samar nampak pula kota Yin-coan di tepi sungai itu. Kembali, dia menghela napas panjang. Baru dua tahun lebih dia meninggalkan tempat ini, dan waktu yang hampir seribu hari lamanya itu kini terasa seperti baru kemarin dulu saja. Betapa cepatnya sang waktu terbang lalu kalau tidak diperhatikan. Teringat dia akan nasihat mendiang ibunya tentang waktu.

   "Waktu lewat dengan cepatnya, hidup adalah waktu yang cepat berlalu, oleh karena itu, isilah waktu yang singkat itu dengan perbuatan yang bermanfaat bagi manusia dan dunia, anakku."

   Kembali dia menghela napas, lalu melanjutkan mendaki lereng menuju Lembah Awan Putih di depan.

   Kalau ada orang melihatnya pada waktu itu, dia tentu akan terkejut dan heran melihat ada orang dapat mendaki lereng sedemikian cepatnya. Nampaknya dia melangkah biasa saja, namun tubuhnya meluncur cepat ke depan seperti terbang! Sekali melangkah, tubuhnya meluncur sampai dua tiga meter. Karena pemuda itu mahir ilmu berlari cepat seperti terbang, sebelum malam tiba dia sudah sampai di tempat yang dituju. Lembah Awan Putih! Tempat yang amat dikenalnya, pernah menjadi kampung halamannya selama bertahun-tahun. Dan kini dia berdiri di depan sebuah pondok yang reyot karena tidak terpelihara. Pondok itu dikepung tumbuhah-tumbuhan yang lebat, bahkan tumbuh-tumbuhan merayap sampai memenuhi gentengnya.

   "Suhu (guru)......," pemuda itu mengeluh, hatinya kecewa karena keadaan pondok itu jelas menunjukkan bahwa gurunya tidak kembali ke pondok itu, bahwa dia tidak akan bertemu gurunya di tempat itu seperti yang diharapkannya semula. Kini semakin yakin hatinya bahwa kekecewaan menjadi ekor dari keinginan dan harapan. Hanya dia yang tidak mempunyai keinginan dan harapan apapun, akan bebas dari pada kekecewaan. Akan tetapi, mungkinkah manusia hidup tanpa keinginan dan harapan?

   Dia meninggalkan pondok tanpa mencoba untuk membuka daun pintu yang reyot itu. Dengan langkah cepat diapun menuju ke utara di mana dahulu jenazah dua orang gurunya yang lain dimakamkan. Dia ingin melihat kuburan itu sebelum gelap, dan untuk menghormati makam kedua orang gurunya, diperjalanan mendaki bukit tadi dia telah mengumpulkan banyak bunga, terutama mawar. Dia tidak dapat meniru kebiasaan orang Han yang menghormati makam leluhur dengan upacara sembahyang dan penyuguhan korban berupa masakan-masakan dan makanan. Ibunya mengajarkan kepadanya bahwa yang wajib dipuja dan disembah hanya Tuhan Yang Maha Esa.

   Berkunjung ke makam hanya untuk membuktikan bahwa dia selalu masih teringat akan kebaikan guru-gurunya, masih menghormati mereka yang sudah tiada, dan perasaan sayang itu dinyatakan dengan penaburan bunga dan membersihkan makam, dan doa-doa yang disampaikan adalah doa permohonan kepada Tuhan agar roh dua orang gurunya mendapat pengampunan dari Tuhan Yang Maha Pengampun.

   Diapun maklum bahwa sembahyangan di depan makam dengan mengorbankan masakan-masakan itupun mungkin memiliki tujuan yang sama, untuk menyatakan rasa kasih sayang mereka kepada yang mati. Akan tetapi hal itu dianggapnya berlebihan, karena pada akhirnya mereka yang menyuguhkan makanan itu yang akan menghabiskan makan itu sendiri. Sungguh merupakan bentuk prihatin yang amat aneh baginya, bertentangan dengan perasaannya, oleh karena itu, dia tidak sanggup menirunya.

   Kini dia berdiri di depan dua buah makam itu dan dia terbelalak, wajahnya berubah pucat. Jelas nampak betapa dua buah makam itu telah dibongkar orang!

   Agaknya perbuatan itu belum lama dilakukan orang. Tanah yang digali itu masih baru. Dan kedua buah peti mati itupun sudah terbuka! Dia menghampiri dan menjenguk isi peti. Tulang-tulang berserakan, akan tetapi yang amat mengejutkan hatinya, kedua peti mati itu hanya berisi tu lang-tulang saja, tidak ada tengkoraknya! Tengkorak kedua orang gurunya telah lenyap!

   "Ya Allah, siapa yang melakukan perbuatan terkutuk ini? Kejam benar........," Dia berlutut dan menutupkan kembali kedua buah peti itu, akan tetapi tidak menimbunkan tanah kembali karena dia akan mencari dulu dua tengkorak suhunya untuk dikembalikan ke tempat semula, di dalam peti mereka. Akan tetapi ke mana dia harus mencari?

   Malam mulai datang menyelimuti bumi. Dia teringat bahwa nanti bulan akan muncul dan melihat iangit demikian terang, malam nanti amat cerah. Dia akan melakukan penyelidikan kalau bulan telah bersinar nanti.

   Dengan langkah gontai pemuda itu kembali ke pondok. Di dalam keremangan cuaca senja, tubuhnya nampak tinggi tegap dan gagah. Langkahnya gontai, lentur seperti langkah seekor harimau. Tubuhnya yang tegak dengan bahu yang bidang. Di punggungnya terikat sebuah buntalan pakaian yang bentuknya agak panjang, memudahkan orang menduga bahwa dalam buntalan itu terdapat pula sebatang pedang dengan sarungnya. Pakaiannya sederhana sekali, dari kain tebal yang awet berwama biru, sepatu hitam, dan kepalanya tertutup sebuah caping lebar seperti yang biasa dipakai para petani di daerah Sin-kiang.

   Kini dia tiba di depan pondok. Dibukanya pintu itu. agak sukar karena macet. Dia mengerahkan sedikit tenaga dan daun pintu itu terbuka. Cuaca belum gelap benar sehingga di masih dapat melihat keadaan dalam pondok. Wajahnya cerah. Ternyata, keadaan dalam pondok itu cukup bersih dan perabot rumah yang dahulu masih lengkap. Ada bangku, ada meja, bahkan dipan kayu di situ, lima buah banyaknya, masih ada.

   Seolah baru ditinggal kemarin saja, dia menghampiri sudut di mana terdapat sebuah meja besar dan ternyata di situ masih terdapat banyak lilin. Juga alat pembuat api masih ada. Segera dinyalakannya tiga batang lilin dan ditaruh di atas meja di tengah ruangan. Kini, cahaya tiga batang lilin besar itu cukup terang, menyinari Wajahnya ketika dia duduk termenung di atas bangku, menghadap lilin di atas meja setelah membersihkan debu dari bangku dan meja dengan sebuah sapu bulu ayam.

   Dia seorang laki-laki yang masih muda. Duapuluh dua atau dua puluh tiga tahun usianya. Kulit muka, leher dan tangannya gelap, akan tetapi tidak hitam sekali, seperti kulit petani yang setiap hari ditimpa sinar matahari. Wajahnya tampan dan .gagah. Dahinya lebar, alisnya hitam tebal berbentuk golok, matanya tidak sipit, lebar bersinar aneh. Hidungnya tinggi, agak besar, bersama mulutnya yang berbibir tebal membayangkan keteguhan hati. Dagunya juga berlekuk dan keras. Muka itu bersih, tidak ditumbuhi jenggot dan kumis karena selalu dicukurnya. Wajah seorang pemu da yang jantan.

   Namanya Sin Wan. Sin Wan begitu saja, tanpa nama keturunan karena mendiang ayahnya adalah seorang Uighur Kasak bemama Abdullah, dan ibu kandungnya seorang wanita cantik berbangsa Uighur pula, beragama lslam, bernama Jubaedah. Ayah kandungnya terbunuh oleh seorang datuk sesat bernama Se Jit Kong yang berjuluk Si Tangan Api, seorang Kasak yang sakti dan jahat.

   Ketika ayah kandungnya terbunuh, dia masih dalam kandungan ibunya dan untuk menyelamatkan kandungannya itulah ibunya yang cantik jelita, rela diperisteri Si Tangan Api. Setelah menjadi isteri datuk itu. Jubaedah disebut Ju Bi Ta. Agaknya Se Jit Kong yang berdarah campuran itu ingin mengangkat namanya dl dunia kang-ouw, maka dia menggunakan nama bangsa Han.

   Se Jit Kong yang ingin menonjolkan kesaktiannya, telah melakukan perbuatan yang berlebihan. Tidak saja dia menantang dan mengalahkan banyak tokoh pendekar di dunia persilatan, juga dia bahkan mencuri banyak pusaka istana kaisar. Hal ini menggegerkan dunia kangouw dan para tokoh kangouw, juga kaisar sendiri, minta pertolongan Sam-sian, tiga orang datuk besar dunia persilatan, untuk mencari Se Jit Kong dan merampas kembali pusaka-pusaka istana itu.

   Sam-sian (Tiga Dewa) berhasil merampas kembali pusaka-pusaka itu dan Se Jit Kong yang dikalahkan Sam-sian, membunuh diri. Setelah Se Jit Kong tewas, barulah Jubaedah membuka rahasia kepada Sin Wan. Anak laki-laki yang sampai usia sepuluh tahun menganggap Se Jit Kong sebagai ayah kandungnya itu baru tahu bahwa Se Jit Kong sama sekali bukan ayahnya, bahkan pembunuh ayah kandungnya! Dan setelah membuka rahasia ini, Jubaedah juga membunuh diri di depan mayat suaminya.

   Sem"a kenangan ini terbayang dalam benak Sin Wan ketika dia duduk termenung memandangi api lilin. Setelah Se Jit Kong dan ibu kandungnya tewas, dia menjadi yatim piatu dan menjadi murid Sam-sian yang terdiri dari tiga orang, yaitu Ciu Sian (Dewa Arak) Tong Kui, Kiam-sian (Dewa Pedang) Low Sun, dan Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih) Thio Ki. Dia diajak Sam-sian menyerahkan pusaka-pusaka kepada kaisar. Ketika diberi hadiah, Kiam-sian memilih pedang tumpul yang kemudian diberikan kepada Sin Wan.

   Dan di kota raja inilah, Sam-sian mendapatkan murid baru, seorang anak perempuan bernama Lim Kui Siang, yatim piatu karena orang, tuanya yang bangsawan pengurus gudang pusaka dibunuh Se Jit Kong ketika datuk ini mencuri pusaka. Sam-sian merasa kasihan dan menerima Kui Siang menjadi murid mereka.

   Sin Wan menghela napas panjang ketika dia teringat akan semua itu. Ketika bertanding melawan Bi-coa Sianli (Dewi Ular Cantik) Cu Sui In, seorang tokoh sesat wanita yang amat lihai, Kiam-sian dan Pek-mau-sian tewas, dan wanita cantik itu terluka parah. Ciu Sian tidak membunuhnya dan membiarkannya pergi. Semenjak itu, Ciu Sian menggembleng Sin Wan dan Kui Siang dengan ilmu simpanan, yang dirangkai oleh Sam-sian, dan dinamakan Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa). Kemudian, Ciu Sian menyuruh kedua orang muridnya turun gunung setelah menyatakan keinginannya agar kedua orang murid berjodoh.

   "Sumoi (adik seperguruan)........," Sin Wan mengeluh ketika dia teringat kepada Kui Siang. Mereka saling mencinta, akan tetapi kemudian tanpa disengaja, gadis itu mengetahui bahwa dia adalah anak tiri dan juga murid mendiang Se Jit Kong, musuh besar gadis itu yang telah menghancurkan keluarganya.

   Kui Siang marah dan meninggalkannya, memutuskan perhubungan di antara mereka. Gadis itu tentu kini telah menjadi pengawal pribadi Pangeran Yung Lo di Peking, seperti yang ditawarkan oleh pangeran itu kepadanya. Dia telah kehilangan sumoinya, gadis dan wanita pertama yang dicintanya.

   Dan dia kehilangan pula gurunya yang terakhir, biarpun guru tak resmi. Juga seorang yang amat dihormati dan dikasihinya, yaitu Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki. Dia ditinggalkan kakek itu yang merasa tidak senang pula mendengar bahwa dia adalah putera tiri mendiang Se Jit Kong yang amat jahat. Dia telah kehilangan segalanya dan dalam keadaan patah hati itu dia berkunjung ke lembah ini, Lembah Awan Putih, untuk mencari gurunya yang tinggal seorang, seorang di antara Sam-sian, yaitu Dewa Arak.

   Semua pengalaman itu terbayang dalam ingatan Sin Wan, membuat dia termenung. Akan tetapi ketika bayangan itu tiba pada waktu dia berkunjung ke depan makam mendiang Kiam-sian dan Pek-mau-sian, dia segera sadar dari lamunannya. Kuburan kedua orang gurunya tercinta itu dibongkar orang, dan tengkorak mereka dicuri orang! Dia sadar sepenuhnya kini, telah meninggalkan dunia lamunannya. Seketika lenyap pula semua kedukaan yang tadi menggerogoti hati dan pikirannya.

   Dan bagaikan sinar terang yang mengusir kegelapan yang tadi menyelubungi batinnya, kini nampaklah jelas olehnya bahwa semua kesedihan, semua rasa duka hanya merupakan permainan dari pikirannya sendiri belaka. Pikiran yang mengenang masa lalu, menghubungkan dengan bayangan masa depan, menimbulkan kemuraman dari iba diri, dan muncullah rasa duka nestapa. Seolah-olah di dunia ini hanya dia seorang yang hidup menderita kedukaan. Duka timbul akibat kecewa, akibat iba diri, dan semua ini hanyalah ulah pikiran yang mengenang masa lalu.

   Masa lalu telah lewat, telah mati! Demikian dia berbisik sambil mengepal tinju. Masa depan hanya bayangan! Yang penting sekarang, saat ini! Hidup adalah saat demi saat yang harus dihadapi dengan tabah, yang harus dihadapi dengan waspada, menempuh segala macam tantangan dan tantangan, berusaha sedapat mungkin untuk mengatasinya! Itulah hidup. Bukan membiarkan diri tenggelam ke dalam kenangan pahit masa lalu dan bayangan menggelisahkan masa depan.

   Hidup merupakan perjuangan menghadapi setiap tantangan. Tidak lari dari kenyataan, melainkan menghadapi tantangan dan berusaha menanggulanginya, mengatasinya, itulah seni kehidupan! Didasari penyerahan kepada Yang Maha Kuasa, maka segala sesuatu dapat dihadapinya dengan tabah. Segala hal hanya dapat terjadi atas kehendak Tuhan! Sesal dan duka tiada gunanya. Berusaha sedapat mungkin, akan tetapi menyerahkan keputusan terakhir kepada Allah Maha Kasih.

   Sin Wan bangkit dari bangkunya, melangkah ke pintu depan. Dia membuka daun pintu dan angin berembus masuk, memadamkan tiga batang lilin yang menyala di atas meja. Kegelapan karena padamnya lilin justeru mempertajam cahaya bulan yang sudah muncul. Sin Wan memasuki kembali pondok yang kini remang-remang, mengeluarkan sebatang pedang dari dalam buntalan pakaian yang tadi dia letakkan di atas meja dan mengikatkan sarung pedang di punggungnya. Pedang itu merupakan pedang yang sarung dan gagangnya nampak butut dan jelek, walaupun bersih dan terpelihara. Sebatang pedang yang butut, dan kalau dihunus, orang akan mentertawakannya. Bukan hanya sarung. dan gagangnya yang butut, akan tetapi pedang itu sendiripun jelek dan sama sekali tidak meyakinkan.

   Selain buatannya kasar seperti pedang yang belum jadi, belum matang ditempa, juga pedang itu tidak tajam dan tdak runcing, melainkan tumpul. Pedang tumpul! Namun pemiliknya merawatnya degan hati-hati, menganggapnya sebagai sebuah pusaka yang ampuh, dan memang kenyataannya, pedang yang tumpul dan buruk rupanya itu adalah sebatang pusaka kuno yang ampuh. Sin Wan mendapatkannya dari mendiang Kiam-sian, sebagai hadiah dari Kaisar Thai Cu karena Sam-sian telah berhasil merampas kembali pusaka-pusaka istana yang dicuri mendiang Se Jit Kong.

   Sin Wan keluar dari pondok, menutupkan kembali daun pintu dan mulailah dia melakukan penyelidikan di bawah sinar bulan yang cukup terang. Sinar bulan sepotong di langit bersih mendatangkan cahaya yang kehijauan, redup akan tetapi cukup terang, nyaman dan sejuk. Ujung daun-daun pohon nampak berseri bermandikan cahaya bulan. Dia segera menuju ke makam kedua orang gurunya. Begitu dia tiba di situ, tiba-tiba dia mendengar suara berciutan sambung menyambung. Suara apakah itu?

   Dia menoleh ke kiri karena dari sanalah datangnya suara itu. Seperti suara burung mencuit-cuit nyaring. Akan tetapi, malam-malam begini mana ada burung berkicau? Dia sudah mengenal suara burung malam, burung hantu, dan tidak ada burung malam yang suaranya seperti itu.

   "Culiiiiiit.......! Cuiiiiittt.........!!"

   Suara itu berulang terus dan Sin Wan cepat menghampiri ke arah suara. Suara itu semakin nyaring dan kini dia dapat menangkap suara desir angin pukulan yang dahsyat! Tentu saja dia terkejut dan heran. Dia kini menyelinap dan menyusup di antara pohon dan semak belukar, menghampiri tempat itu dan mengintai.

   Apa yang dilihatnya membuat Sin Wan terbelalak. Banyak pohon roboh seperti ditebang di tempat itu, dan pohon-pohon itu berserakan. Tempat itu kini terbuka seluas tidak kurang dari limabelas tombak kali duapuluh tombak, dan tempat itu cukup terang karena tidak terhalang sinar bulan. Di sudut kanan dan kiri, terpisah antara sepuluh tombak, nampak tumpukan tengkorak! Ada puluhan buah tengkorak manusia besar kecil tertumpuk di situ, menjadi dua tumpukan bukit kecil dan di atas masing-masing bukit tengkorak itu duduk bersila seorang kakek dan seorang nenek!

   Sungguh amat menyeramkan keadaan di situ walaupun kakek dan nenek itu wajahnya tidak menyeramkan. Bahkan kakek itu masih memiliki wajah yang tampan, dan nenek itupun masih cantik walaupun usia mereka sudah sekitar enampuluh tahun. Tubuh kakek itu masih tinggi tegap dengan pakaian serba putih, juga nenek itu masih ramping dalam pakaian yang serba putih pula. Pakaian mereka terbuat dari sutera halus yang mengkilat tertimpa sinar bulan yang redup. Yang aneh dan menyeramkan hanya wama muka mereka. Kakek itu mukanya merah seperti dicat atau dilumuri darah, sedangkan muka wanita itu putih pucat seperti muka mayat.

   Sin Wan memandang dengan jantung berdebar. Bukan keadaan kakek dan nenek itu yang membuat hatinya tegang, akan tetapi cara mereka berlatih. Kedua orang itu duduk di atas tumpukan tengkorak, seperti patung. Akan tetapi, kedua tangan kedua mereka bergerak saling dorong dari jarak jauh dan dari kedua telapak tangan mereka itulah keluar suara bercuitan tadi! Dan angin pukulan menyambar dari tangan mereka. Kiranya mereka itu sedang latihan ilmu pukulan jarak jauh yang amat kuat dan ampuh.

   Teringatlah Sin Wan akan keterangan Pek-sim Lo-kai (Pengemis Tua Hati Putih) Bu Lee Ki bahwa di dunia kang-ouw terdapat banyak tokoh yang amat lihai. Banyak terdapat para datuk yang memiliki ilmu kepandalan tinggi. Dan di antara mereka memang terdapat dua aliran, yaitu aliran putih dan aliran hitam, atau mereka yang menjadi pendekar dan mereka yang menjadi penjahat. Bahkan sifat-sifat ilmu merekapun dapat dijadikan tanda apakah tokoh itu termasuk golongan sesat ataukan golongan pendekar. Dia pernah mendengar pula tentang ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun, dan melihat cara kedua orang ini berlatih, dia dapat menduga bahwa mereka tentulah termasuk golongan sesat yang lihai sekali!

   Agaknya kedua orang itu telah menghentikan latihan saling pukul dari jarak jauh. Sin Wan melihat ke arah tengkorak-tengkorak itu dan teringatlah dia akan dua buah tengkorak mendiang Kiam-sian dan Pek-mau-sian. Kedua buah tengkorak itu lenyap. Siapalagi kalau bukan dua manusia iblis ini yang telah mengambilnya? Tentu dua buah tengkorak guru-gurunya berada di antara tumpukan tengkorak itu. Hatinya terasa panas. Kurang ajar, pikimya. Dua orang itu sungguh tidak memiliki prikemanusiaan. Mempelajari ilmu dengan cara merusak kuburan orang, bahkan mengambil tengkorak orang untuk dijadikan tempat latihan. Keji sekali!

   Terdengar suara tawa yang sungguh menyeramkan. Tawa yang tinggi merdu, melengking nyaring seperti bukan suara manusia. Ketika Sin Wan memandang, dia bergidik. Wanita itulah yang bersuara karena ia menggerak-gerakkan kepala dan pundaknya, akan tetapi anehnya, mulut dan muka yang pucat itu sama sekali tidak bergerak, seolah muka itu tersembunyi di balik topeng.

   "Hi..hi..hi..hik, Ang-ko (kakak Merah), ternyata engkau tidak dapat melebihi aku dalam penggunaan ilmu Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa)! Jangan katakan bahwa engkau lebih unggul, Ang-ko!"

   Kakek itu tidak tertawa, juga wajahnya yang merah darah itu sama sekali tidak bergerak, seperti topeng. Mulutnya juga tidak bergerak ketika terdengar suaranya,

   "Huh, Pek-moi (adik Putih), kita sedang memperdalam ilmu untuk menghadapi musuh-musuh dan merebut kedudukan tertinggi di dunia persilatan, tidak perlu kita saling mengungguli. Kita maju bersama, hidup berdua dan mati bersama. Agaknya Toat-beng Tok-ciang yang kita latih sudah cukup dapat diandalkan, hanya ilmu kita Touw-kut-ci (Jari penembus tulang) yang belum memuaskan hatiku. Kita harus latih lagi dengan tekun."

   Keduanya tidak nampak bergerak, akan tetapi tahu-tahu tubuh mereka melayang turun dari atas tumpukan tengkorak dan dalam keadaan masih bersila mereka kini pindah ke atas tanah. Diam-diam Sin Wan terkejut. Kedua orang itu agaknya tidak hanya lihai dalam ilmu pukulan jarak jauh, akan tetapi juga telah memiliki ginkang tingkat tinggi sehingga dalam keadaan duduk bersila, tubuh mereka mampu melayang dan berpindah tempat!

   Kini keduanya mengambil tengkorak satu demi satu, dan melempar setiap tengkorak ke atas Ketika tengkorak itu melayang turun, mereka menyambut dengan tusukan jari tangan mereka. Jari mana saja yang mereka pergunakan untuk menyambut, tentu dapat menembus tengkorak sehingga seluruh lima jari tangan dipergunakan semua. Setelah tangan kanan, lalu latihan itu diganti dengan tangan kiri. Kedua orang itu seperti berlumba dan ternyata keduanya sama tangkas dan sama kuat.

   Kini mengertilah Sin Wan mengapa tengkorak-tengkorak itu berlubang-lubang. Kiranya dipergunakan untuk latihan ilmu menotok dengan jari yang amat lihai. Dia mengerutkan alisnya, membayangkan betapa tengkorak kedua orang gurunya juga dijadikan bulan-bulan latihan jari tangan itu. Sungguh kasihan sekali, sudah mati masih diganggu oleh golongan sesat!

   Tiba-tiba terdengar wanita itu mengeluarkan pekik aneh dan sebuah tengkorak yang tadi disambut tusukan jari tangannya, tidak tertembus dan menggelinding di dekat kakinya.

   "Huh, engkau gagal, Pek-moi? Sungguh memalukan sekali!" kakek itu menegur ketika dia melihat rekannya itu gagal menembus tengkorak itu dengan jari tangannya.

   Wanita itu memungut tengkorak tadi dengan tangan kirinya, lalu diperiksanya dengan teliti.

   "Heei, Ang-ko. Tengkorak ini belum ada lubangnya, berarti masih baru. Dan keadaannya sungguh berbeda dengan tengkorak biasa. Keras bukan main sehingga tidak tertembus jari tanganku!"

   "Masih baru? Hemm, dari mana kita memperoleh tengkorak paling akhir?" tanya Ang Bin Moko (Iblis Muka Merah) sambil menyambut tengkorak yang dilemparkan kepadanya oleh Pek Bin Moli (Iblis Betina Muka Putih).

   "Bukankah dari dua buah makam di Lembah Awan Putih sebelah itu? Baru tiga hari kita membongkar makam dan mengambil tengkorak dari sana.

   "Huh, benar! Aku ingat sekarang. Ada dua buah tengkorak kita ambil. Coba cari yang sebuah lagi, Pek-moi!"

   Pek Bin Moli segera mencari tengkorak kedua di antara tumpukan tengkorak itu. Tidak sukar menemukannya karena tengkorak baru ini belum berlubang seperti tengkorak-tengkorak lainnya.

   "Ini dia! Wah, yang ini juga keras sekali, dan tentunya agak aneh, menonjol ke belakang!" teriak wanita itu tanpa menggerakkan bibir.

   Sin Wan yang mengintai, mendengarkan dengan jantung berdebar. Tak salah lagi. Dua tengkorak Yang mereka anggap aneh dan keras itu pastilah tengkorak kedua orang gurunya, dan tengkorak yang bagian belakangnya menonjol pastilah tengkorak mendiang Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih). Dia melihat betapa kakek dan nenek itu berulang-ulang mengerahkan tenaga dan mencoba untuk melubangi tengkorak itu dengan jari tangan mereka, akan tetapi agaknya usaha mereka sia-sia belaka.

   "Aih, Ang-ko, kenapa kita tidak berhasil melubangi tengkorak-tengkorak ini? Apakah latihan kita selama ini kurang berhasil?" nenek itu berseru, suaranya mengandung kekecewaan.

   "Tidak, Pek-moi. Buktinya, tengkorak yang lain dengan mudah.dapat kita tembusi dengan jari tangan kita. Dua buah tengkorak ini memang istimewa. Aku dapat menduga bahwa dua buah tengkorak ini tentu milik dua orang yang sakti, dan latihan tenaga sakti telah meresap ke dalam tengkorak ini sehingga menjadi keras. Ini menguntungkan sekali, Pek-moi. Kita masak dua buah tengkorak ini sampai hancur menjadi bubur dan ini merupakan obat kuat yang luar biasa, dapat menguatkan tulang-tulang kita!"

   Mendengar ini, Sin Wan tidak dapat menahan hatinya lagi. Tengkorak kedua orang gurunya sudah dicuri, kini malah akan dimasak dan dijadikan obat kuat! Dia keluar dari tempat persembunyiannya.

   "Harap ji-wi (anda berdua) tidak mengganggu tengkorak orang-orang yang sudah meninggal dunia."

   Dua orang kakek dan nenek itu terkejut dan menoleh, memandang kepada Sin Wan dengan sinar mata mengandung keheranan. Bagaimana mungkin ada seorang pemuda bersembunyi di dekat situ dan mereka sampai tidak mengetahuinya? Dari kenyataan ini saja mereka berdua yang sudah berpengalaman dapat mengetahui bahwa pemuda itu bukan orang lemah. Bagaimanapun juga, mereka berdua menjadi marah.
"Hei, orang muda! Siapakah engkau berani lancang menganggu kami?"

   "Ang-ko, darahnya dapat kita pergunakan untuk menyempunakan Toat-beng Tok-ciang kita, dan. tengkoraknya yang masih basah dapat kita pergunakan pula untuk memperkuat Touw-kut-ci kita!" terdengar nenek itu melengking,

   Sin Wah menjura kepada dua orang yang masih bersila di dekat tumpukan tengkorak dan terpisah cukup jauh itu.

   "Harap ji-wi locianpwe (dua orang tua gagah) suka memaafkan. Saya bukan datang mengganggu, melainkan hendak mohon agar jiwi mengembalikan dua buah tengkorak mendiang guru-guru saya itu. Kalau mengembalikannya agar saya dapat mengubumya kembali, saya akan melupakan bahwa ji-wi pernah membongkar makam mereka dan mengambil tengkorak mereka."

   ,Kakek dan nenek itu saling pandang, kemudian si nenek mengeluarkan suara tawanya yang menyeramkan.

   "Hi..hi..hi..hi..hik, Ang-ko, dia minta dua buah tengkorak ini. Kenapa tidak kita berikan kepadanya?"

   "Huh, engkau menghendaki tengkorak-tengkorak ini, orang muda? Nah, terimalah dan mampuslah!" Kakek itu melontarkan tengkorak di tangannya. Dua buah tengkorak itu menyambar bagaikan peluru meriam saja ke arah Sin Wan dari kanan kiri! Terdengar suara bersiut nyaring ketika dua buah tengkorak itu melayang.

   Dari luncuran dua buah tengkorak itu, Sin Wan dapat menilai bahwa tenaga luncuran itu dahsyat bukan main. Kalau dia mengelak atau menangkis, mungkin tengkorak-tengkorak itu akan hilang atau rusak, dan kalau dia menyambut dengan tangan, mungkin dia tidak akan mampu menahan tenaga luncuran dari kanan kiri yang amat dahsyat itu. Dia dapat berpikir cepat dan tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan dengan tubuh di atas, kedua tangannya menyambut dua buah tengkorak yang meluncur ke arahnya tadi.

   Seperti telah diduganya, tenaga luncuran itu kuat bukan main sehingga biarpun kedua tangannya mampu menangkap tengkorak-tengkorak itu, tenaga luncuran membuat tubuhnya terpental ke atas! Sin Wan memang sudah memperhitungkan hal ini. Dia membiarkan tubuhnya terpental ke atas, lalu membuat gerakan jungkir balik untuk mematahkan tenaga luncuran itu, kemudian dengan tenang dia melayang turun di tempat semula. Dengan sikap tenang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, dia lalu mengeluarkan saputangan, mengikat kedua tengkorak itu dan menalikannya tergantung di lehernya. Dua buah tengkorak itu tergantung di depan dada.

   Ang Bin Moko dan Pek Bin Moli terbelalak. Mereka memang sudah menduga bahwa pemuda itu memiliki kepandaian pula, akan tetapi sama sekali tidak mengira bahwa dia selihai itu. Mereka tadi sudah yakin bahwa sambitan tengkorak itu akan membuat pemuda itu tewas!

   Melihat pemuda itu sama sekali tidak tewas bahkan berhasil menerima dua buah tengkorak itu, Ang Bin Moko menjadi penasaran dan marah sekali. Dia menggerakkan kedua tangannya dan terdengar bunyi bercuitan. Itulah ilmu pukulan jarak jauh Toat-beng Tok-ciang yang tadi dilatih bersama Pek Bin Moli. Melihat ini, Pek Bin Moli seperti diingatkan saja dan nenek inipun dari tempat ia duduk bersila, menggerakkan kedua tangan memukul dengan ilmu itu.

   Ada baiknya bahwa tadi Sin Wan telah melihat kedua orang itu berlatih ilmu Toat-beng Tok-ciang, maka diapun tidak berani memendang rendah. Dia segera mengelak dengan geseran kaki yang membuat dia melangkah ke sana sini berputar-putar, kadang meloncat dan gerakannya cepat seperti burung saja.

   Dia telah menggunakan langkah ajaib yang terkandung dalam ilmunya Sam-sian (Tangan Sakti Tiga Dewa), yang bersumber dari ilmu Hui-niauw-soan (Langkah Berputar Burung Terbang). Dengan gerakannya yang aneh dan gesit ini, semua sambaran hawa pukulan Toat-beng Tok-ciang luput dari sasaran, apalagi kedua tangan pemuda itu mengebut ke sana sini dengan pukulan yang bersumber dari Ciu-san Pek-ciang (Tangan Putih Dewa Arak) dari kedua tangannya itu menyambar tenaga sakti yang beruap putih dan yang dapat menangkis hawa pukulan yang menyambar terlalu dekat.

   Kakek dan nenek iblis itu terkejut. Sungguh sukar dipercaya betapa seorang pemuda mampu menghindarkan diri dari serangan mereka yang menggunakan ilmu baru mereka itu! Saking kaget, heran dan penasaran, kini keduanya tidak lagi memandang rendah dan seperti tadi, tanpa nampak menggerakkan tubuh, keduanya telah melayang dan tahu-tahu. mereka berdua sudah berdiri berhadapan dengan Sin Wan, hanya dalam jarak tiga meter!

   Sin Wan memberi hormat, dengan mengangkat ke dua tangan depan dada,

   "Banyak terima kasih atas petunjuk ji-wi locianpwe. Sekarang perkenankan saya untuk pergi mengubur kembali peti mati kedua orang guru saya."

   "Tidak begitu mudah, orang muda. Katakan, siapa guru-gurumu itu!" kata kakek iblis muka merah.

   "Mereka adalah mendiang suhu Kiam-sian dan mendiang suhu Pek-mau-sian," jawab Sin Wan sejujurnya.

   Nenek iblis itu mengeluarkan teriakan melengking.

   "Iihhhhhh........!" Ia memandang Sin Wan penuh perhatian.

   "Dua di antara Sam-sian?"

   "Benar, locianpwe."

   "Huh-huh, kalau begitu, pantas saja tengkorak mereka demikian keras. Bukan hanya tengkorak mereka yang amat berguna, juga semua tulang mereka. Orang muda, kami membutuhkan tengkorak dan tulang-tulang mereka. Berikan kepada kami dan kami akan mengampuni dan membiarkanmu pergi."

   Sin Wan mengerutkan alisnya.

   "Ji-wi locianpwe sungguh keterlaluan. Apakah kesalahan kedua orang guruku sehingga sampai mereka telah wafat dan menjadi tulang, jiwi masih ingin mengganggu mereka? Saya adalah murid mereka, sudah menjadi kewajiban saya untuk menjaga dan melindungi makam dan kehormatan mereka. Saya tidak akan menyerahkan dua buah tengkorak ini kepada ji-wi, juga tidak membolehkan mengambil tulang kerangka kedua orang suhu saya."

   "Bocah sombong, agaknya engkau sudah bosan hidup!" teriak nenek itu dan ia sudah menerjang Sin Wan dengan kedua tangan terbuka. Tangan kirinya mencengkeram ke arah dua buah tengkorak yang tergantung di dada Sin Wan, sedangkan,tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala. Sin Wan maklum betapa setiap batang jari tangan dari nenek itu mengandung kekuatan dahsyat, bukan saja kerasnya seperti baja dan dapat menembus tengkorak kepalanya, akan tetapi juga mengandung hawa beracun yang amat berbahaya.

   Dengan kelincahan gerakannya, dia mengelak dan tubuhnya bergeser ke kiri sehingga terkaman lawan ke arah dadanya untuk merampas tengkorak itu luput: Akan tetapi, tangan yang mencengkeram ke arah kepalanya mengikuti gerakan kepalanya dan melanjutkan serangannya. Melihat ini, Sin Wan mengerahkan tenaga Thian-te Sin-kang (Tenaga Sakti Langit Bumi) dan menangkis dari samping. Pergelangan tangannya bertemu dengan pergelangan tangan wanita itu.

   "Dukkkk!" Keduanya tergetar dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget. Tak disangkanya bahwa pemuda itu memiliki tenaga yang dapat mengimbangi tenaganya sendiri, bahkan hawa beracun dari tangannya tidak mempengaruhinya. Kini ia menyerang lagi bertubi-tubi dengan totokan-totokan maut dari jari-jari tangannya yang mengandung ilmu Touw-kut-ci.

   Namun, Sin Wan sudah siap siaga. Dia mengelak, menangkis dan membalas serangan nenek itu sambil memainkan ilmu andalannya, yaitu Sam-sian Sin-ciang. Dengan permainan ilmu hebat ini, dia dapat mengimbangi si nenek sakti, bahkan mampu mendesaknya.

   "Huh-huh, bocah ini akan berbahaya kelak kalau tidak dibunuh sekarang!" tiba-tiba kakek, muka merah berkata dan ketika dia bergerak, ada angin menyambar dahsyat. Sin Wan cepat melompat, ke belakang dan tangan kakek itu meluncur lewat dalam serangan totokan yang ganas sekali.

   Kini Sin Wan terpaksa harus menghadapi pengeroyokan dua orang itu. Dia masih bertahan dengan Sam-sian Sin-ciang, akan tetapi tidak mendapat kesempatan untuk membalas, dan perlahan-lahan dia terdesak. Dia teringat akan ilmu yang baru saja dia pelajari dari kakek Bu Lee Ki, maka dia mengeluarkan suara melengking dan tiba-tiba saja tubuhnya berubah menjadi gasing yang berputar cepat seperti angin puyuh! Inilah ilmu Langkah Angin Puyuh yang dia pelajari dari Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki.

   Menghadapi gerakan aneh yang membuat tubuh pemuda itu berpusing seperti itu, kakek dan nenek iblis itu menjadi tercengang dan kehilangan sasaran. Mereka sedang memainkan Touw-kut-ci, yaitu semacam ilmu menotok dengan jari tangan, membutuhkan sasaran yang tepat. Kini tubuh itu berpusing seperti gasing, membuat mereka tidak tahu ke arah mana mereka harus menujukan serangan mereka.

   Dua orang itu lalu melolos senjata mereka dari pinggang. Ternyata kakek muka merah itu memiliki sebuah senjata golok yang punggungnya seperti gergaji, tipis dan berkilauan saking tajamnya. Begitu dia menggerakkan goloknya, terdengar bunyi nyaring berdesing dan nampak kilat menyambar.

   Juga nenek Pek Bin Moli mengeluarkan senjatanya yang berbentuk seekor ular! Ular yang sudah mati, panjangnya ada dua meter dan besarnya seperti lengan tangannya. Ular itu agaknya telah direndam semacam racun yang membuat ular itu tetap lemas seperti hidup, ulet dan kuat dapat menahan bacokan senjata tajam, dan dari pangkal sampai ke ujung mengandung racun berbahaya. Ketika ia memutar senjatanya ini, nampak gulungan sinar hitam dan tercium bau amis yang memuakkan.

   Melihat dua orang lawannya telah, menggunakan senjata yang amat berbahaya, Sin Wan juga cepat menghunus pedangnya sambil meloncat jauh ke belakang. Dua orang itu memandang kepadanya, dan melihat pedang di tangan Sin Wan, mereka tak dapat menahan tawa ejekan mereka.

   "Hi..hi..hi..hik, Ang-ko. Lihat, anak itu sudah gila rupanya, menghadapi kita dengan sebatang pedang rombengan!"

   "Huh-huh, bocah ini lumayan juga, Pek-moi. Tentu darahnya amat baik untuk kita, dan ingat, jangan pandang rendah pedang itu. Dia murid Sam-sian, tentu tidak akan menggunakan pedang sembarangan."

   Keduanya lalu menyerang dengan ganas. Sin Wan menggerakkan pedangnya untuk melindungi tubuhnya, memainkan Jit-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Matahari) yang pernah dipelajarinya dari mendiang Kiam-sian. Ilmu pedang ini pernah mengangkat nama Si Dewa Pedang Louw Sun dan merupakan ilmu pedang pilihan. Apalagi Sin Wan mempergunakan pedang tumpul yang ampuh, maka dirinya seperti dilindungi benteng baja yang amat kuat.

   Golok di tangan Ang Bin Moko dan sabuk ular di tangan Pek 8in Moli tak mampu menembus lingkaran sinar bergulung di sekeliling tubuh Sin Wan. Kedua senjata ampuh itu selalu membalik seperti tertolak perisai yang selain amat kuat, juga mengandung tenaga atau daya tolak yang luar biasa.

   Akan tetapi, tentu saja Sin Wan berada dalam keadaan yang terdesak dan terancam. Dalam sebuah pertandingan, tidak mungkin seseorang hanya mengandalkan pertahanan belaka, tanpa mampu balas menyerang. Apalagi dia dikeroyok oleh dua orang yang amat lihai. Dia sama sekali tidak mampu membalas karena serangan kedua orang lawannya itu datang bertubi-tubi dan sambung menyambung, yang berikut lebih dahsyat dari pada yang lalu. Kalau hanya mengelak dan menangkis terus, tanpa mampu membalas sedikitpun, akhimya setelah kekurangan tenaga dia akan terkena juga oleh senjata lawan.

   Dua orang manusia iblis itu diam-diam kagum bukan main. Tak pernah mereka bermimpi bahwa hari ini mereka akan bertemu dengan seorang pemuda sehebat itu. Masih begitu muda, akan tetapi mampu menandingi pengeroyokan mereka berdua. Padahal, tadinya mereka hampir yakin bahwa mereka berdua akan mampu mengalahkan tokoh-tokoh persilatan lain dan akah berhasil merebut kedudukan sebagai jagoan nomor satu di dunia persilatan!

   Yang amat mengherankan mereka adalah bahwa Sam-sian sendiri dahulu belum tentu akan mampu mengalahkan mereka. Kenapa sekarang muridnya yang masih begini muda mampu bertahan sampai seratus jurus lebih terhadap pengeroyokan mereka? Mereka tidak tahu bahwa seperti juga mereka, Sam-sian telah bersama-sama merangkai iimu silat baru, yaitu Sam-sian Sin-ciang yang telah dikuasai Sin Wan sehingga dibandingkan dengan kepandaian guru-gurunya dahulu, pemuda itu kini lebih tangguh dari pada mereka.

   Dengan penasaran, Ang Bin Moli dan Pek Bin Moli sekarang menambahi serangan mereka dengan selingan pukulan jarak jauh mereka yang baru dilatih, yaitu Toat-beng Tok-ciang. Setiap kali mereka meloncat ke belakang, mereka melontarkan pukulan jarak jauh dan disusul oleh serangan senjata mereka dari jarak yang dekat.

   Kombinasi serangan ini ternyata merepotkan Sin Wan. Suara bercuitan yang menyambar-nyambar itu bahkan lebih berbahaya dibandingkan sambaran kedua senjata itu. Dia memutar pedang tumpul dan juga mengerahkan tenaga Thian-te Sin-kang pada tangan kiri untuk menangkis hawa pukulan beracun yang menyambar-nyambar itu. Biarpun demikian, beberapa kali dia sempat terhuyung dan keadaan gawat. Agaknya takkan lama lagi pemuda perkasa ini akan roboh juga, tidak kuat menahan gelombang serangan Iblis Muka Merah dan Iblis Betina Muka Putih.

   "Siiing........!" untuk kesekian kalinya, sinar golok menyambar dahsyat ke arah leher Sin Wan. Pemuda ini yang tadinya terhuyung ketika menangkis serangan pukulan jarak jauh Pek Bin Moli, tidak sempat menangkis dan cepat merendahkan tubuh sehlngga golok itu menyambar ke atas kepalanya, nyaris membabat rambutnya. Dan pada saat itu, terdengar bunyi bersiut keras dan senjata ular panjang di tangan Pek 8in Moli menyambar ke arah pinggang pemuda itu. Sin Wan nampaknya tak mampu menghindar dan ular itu bagaikan hidup, telah melilit pinggang Sin Wan.

   "Hi..hi..hik......!" Pek Bin Moli tertawa dan menarik senjatanya yang telah membelit pinggang yang sudah nampak tidak berdaya itu. Tubuh Sin Wan tertarik, akan tetapi alangkah kaget rasa hati wanita itu ketika tiba-tiba Sin Wan yang nampak tak berdaya dan tubuhnya terbetot tadi menggerakkan pedang ke arah pergelangan tangannya yang memegang ujung sabuk ular!
"Ihh.......!" Ia menarik tangannya.

   "Brett!" Pedang tumpul menyambar ke arah sabuk itu dan ular itu terpotong menjadi dua! Gerakan pemuda itu sungguh tak pernah disangka lawan. Dia telah menggunakan ilmu yang baru saja dia pelajari dari Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki, yaitu mempergunakan tenaga "mengalah untuk menang". Nenek itu meloncat ke belakang dan wajahnya yang putih pucat itu menjadi agak kemerahan. Kemudian ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan menggunakan sabuk yang tinggal satu meter lebih itu untuk menyerang lagi.

   Kembali Sin Wan terdesak. Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa dan disusul ucapan yang gembira.

   "Heh..heh..ho..ho..ho! Kiranya sepasang iblis tanpa malu-malu mengeroyok seorang muda. Kulihat kemajuan kalian hanya dalam kecurangan saja, dan dengan modal ini kalian ingin merajai dunia persilatan? Ha..ha..ha!"

   Sin Wan meloncat ke belakang dan wajahnya berseri. Belum melihat orangnya saja dia sudah mengenal suara itu. Dan kini, pemilik suara itu berada di situ. Seorang kakek berusia kurang lebih enampuluh lima tahun, mukanya merah segar seperti orang mabok, perutnya gendut seperti anak-anak berpenyakit cacingan, pakaiannya tambal-tambalan dan sikapnya ugal-ugalan, mulutnya tersenyum nakal.

   "Suhu.....!!" Sin Wan berseru gembira sekali. Kakek itu memang gurunya, orang yang sedang dicari-carinya, Ciu-sian (Dewa Arak) Tong Kui, seorang di antara Sam-sian!

   Ciu Sian tertawa bergelak.

   "Ha..ha..ha..ha, lihat mereka lari terbirit-birit. Dasar licik, biar mereka sudah memiliki ilmu kepandaian setinggi langit, kalau melihat keadaan tidak menguntungkan, mereka akan lari."

   "Suhu, terima kasih, suhu. Tadi hampir saja teecu sudah tidak kuat bertahan lagi. Kalau suhu tidak cepat datang....."

   "Ha..ha..ha, mereka memang berbahaya sekali, Sin Wan. Akan tetapi kulihat tadi, pertandingan itu berat sebelah. Pertama, engkau dikeroyok dua. Ke dua, kalau mereka menyerang dengan ganas untuk membunuh engkau hanya bertahan saja, sama sekali tidak mempunyai niat merobohkan mereka. Sin Wan, aku khawatir, kelak sikapmu yarg suka mengalah itu akan mencelakai dirimu sendiri. Akan tetapi, mengapa engkau berkelahi dengan sepasang iblis itu?"

   
Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sin Wan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu.

   "Suhu, apakah selama ini suhu baik-baik saja? Teecu datang ke sini mencari suhu, karena teecu merindukan suhu. Dan di sini teecu bertemu dengan mereka dan........."

   "Ehh? Tengkorak siapa itu yang tergantung di dadamu?"

   "Ini adalah tengkorak mendiang suhu Kiam-Sian dan suhu Pek-mau-sian."

   "Eh? Kenapa begitu? Apa yang terjadi? Aku baru saja tiba dan melihat bekas lilin di atas meja di pondok, maka aku mencarimu ke sini."

   "Suhu, ketika teecu datang ke sini untuk mencari suhu, teecu langsung menuju ke makam kedua suhu. Ternyata kedua makam itu telah dibongkar orang dan bahkan peti matinya dibuka, dan tengkorak di dalamnya lenyap. Teecu menanti sampai malam tiba dan bulan muncul, dan teecu melakukan penyelidikan. Ketika teecu mendengar suara, teecu menghampiri tempat ini dan melihat kedua orang itu sedang melatih ilmu pukulan jarak jauh sambil duduk di atas tumpukan tengkorak itu. Dan di antara tengkorak-tengkorak itu, terdapat dua tengkorak ini yang menurut mereka.adalah tengkorak dari suhu Kiam-sian dan suhu Pek-mau-sian. Teecu segera minta dikembalikannya tengkorak-tengkorak ini. Mereka menyerang teecu dan terjadi perkelahian tadi."

   "Siancai......! Sungguh, untuk mencapai tujuan, orang sesat tidak pantang mempergunakan cara apapun juga. Tengkorak yang berserakan di sisi berlubang-lubang, tentu mereka melatih diri dengan ilmu sesat."

   "Menurut pendengaran teecu, mereka tadi melatih ilmu Toat-beng Tok-ciang dan Touw-kut-ci."

   "Ahhh! Kalau kedua ilmu itu sudah mereka latih sempurna. akan sukar menandingi mereka. Marl, kita urus dulu kerangka dan tengkorak kedua orang gurumu. Kasihan sekali kalian, Kiam-sian dan Pek-mau-sian, sampai sudah matipun tubuh kalian masih diganggu orang jahat!" Mereka berdua lalu meninggalkan tempat itu dan pergi ke makam dua orang anggauta Sam-sian.

   Dengan hati-hati Sin Wan mengembalikan dua buah tengkorak itu ke peti masing-masing. Hanya kepala yang menonjol ke belakang dari satu di antara dua tengkorak itu yang menjadi pegangannya bahwa itu adalah tengkorak Pek-mau-sian.

   Di bawah sinar bulan yang sudah berada di atas kepala, Ciu Sian melihat dua buah peti mati yang terbuka itu dan sejenak dia tertegun. Lalu dia menarik napas panjang.

   "Kiam-sian dan Pek-mau-sian, kalau kalian sudah menjadi seperti ini, siapalagi yang mengenali kalian? Tidak perduli kerangka kalian ini kerangka dua orang datuk persilatan yang ternama, atau kerangka raja, atau kerangka seorang jembel miskin yang papa; siapa yang akan mengetahuinya? Semua kalau sudah mati akan sama saja, tidak ada gunanya kecuali untuk menakut-nakuti anak kecil. Bersama daging kulit yang membentuk rupa berbeda-beda, lenyap pula segaia macam martabat, kedudukan, kehormatan, kekayaan dan kepandaian. Kiam-sian dan Pek-mau-sian, tidakkah lebih baik kalau sisa-sisamu ini dilenyapkan saja sama sekali agar tidak meninggalkan pemandangan yang tidak sedap ini?"

   Sin Wan membiarkan gurunya bicara sendiri kepada kerangka dalam dua buah peti mati itu. Setelah suhunya berhenti bicara, baru dia bertanya,

   "Suhu, apa yang akan suhu lakukan dengan kerangka kedua suhu ini? Menguburkan mereka kembali?"

   "Untuk kemudian kalau tidak terjaga dibongkar orang pula? Atau digerogoti tikus, cacing atau semut sehingga akan habis sedikit demi sedikit? Tidak, Sin Wan. Kita perabukan saja mereka dan aku yakin mereka tidak akan keberatan kalau mereka masih dapat melihat betapa sisa-sisa mereka diperabukan."

   "Akan tetapl, suhu, teecu pernah mendengar dari mendiang ibu bahwa orang matl harus dikubur, dikembalikan kepada bumi dari mana jasad ini berasal. Berasal dari tanah dan dikembalikan kepada tanah, bukankah itu sudah tepat sekali?"

   "Bukan hanya unsur tanah yang membentuk tubuh manusia, Sin Wan. Ada empat unsur, yaitu tanah, air, api dan udara. Nah, kalau kita bakar menjadi abu, itupun berarti kembali ke asalnya. Dikembalikan ke tanah menjadi debu, dikembalikan ke api menjadi abu, apa bedanya? Setelah mati, jasmani tidak ada artinya lagi, tidak perlu diributkan. Kalau jiwa masih berada di dalam badan, nah, barulah jasmani perlu diperhatikan dan dirawat baik-baik, dijaga baik-baik dalam keadaan bersih karena badan merupakan anugerah bagi jiwa, memungkinkan jiwa hidup di dunia ini. Akan tetapi aneh. Selagi hidup, badan tidak diperhatikan, dirusak malah karena hendak menuruti segala perintah nafsu daya rendah, kalau sudah mati, badan tidak dihuni jiwa lagi, diributkan. Sungguh lucu!"

   Sin Wan tidak dapat membantah pendapat Ciu Sian. Dia menurut saja dan membantu suhunya membakar dua kerangka dan tengkorak itu sampai menjadi abu.

   "Sewaktu kami tinggal di sini, Kiam-sian dan Pek-mau-sian amat menyenangi tempat ini. Karena itu, kita biarkan sisa mereka, yaitu abu ini agar menikmati tempat ini sebebasnya."

   Setelah berkata demikian, Ciu Sian mengajak muridnya ke puncak Pek-in-kok dan mereka berdua menaburkan kedua abu kerangka yang tidak banyak itu ke udara. Angin malam menyambar abu itu dan membawanya bertebaran di seluruh lembah.

   Hampir pagi hari keduanya kembali ke pondok, karena bulanpun sudan surut ke barat. Sin Wan menyalakan lilin dan merekapun duduk berhadapan di atas bangku, terhalang meja.

   "Nah, sekarang ceritakanlah semua pengalamanmu, Sin Wan. Di mana sumoimu sekarang dan mengapa ia tidak ikut denganmu ke sini?" Ciu Sian bertanya setelah meneguk arak dari guci araknya.

   Guci araknya itu indah dan antik karena benda itu hadiah dari Kaisar Thai-cu kepadanya. Dia mendapatkan hadiah guci arak berikut arak tua yang sudah lama habis, mendiang Kiam-sian mendapatkan hadiah Pedang Tumpul yang kini menjadi millk Sin Wan, sedangkan mendiang Pek-mau-sian menerima hadiah sebuah kitab kamus dan suling perak. Kitab kamus itu kini disimpan Sin Wan dan suling peraknya disimpan Kui Siang.

   Dengan singkat Sin Wan menceritakan pengalamannya selama dia dan sumoinya, Lim Kui Siang, berpisah meninggalkan gurunya ini setahun lebih yang lalu setelah Ciu Sian menggembleng mereka selama setahun dalam sebuah hutan di puncak bukit yang terpencil. Dia dan Kui Siang bertemu dengan kakek sakti Pek-Sim Lo-kai Bu Lee Ki, bahkan menjadi tamu undangan Pangeran Yung Lo di Peking bersama kakek itu.

   Kemudian mereka berdua menerima petunjuk dalam ilmu silat dari kakek Bu Lee Ki, membantu kakek itu menertibkan kembali para pimpinan kai-pang (perkumpulan pengemis), juga membantu Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki untuk memenangkan perebutan kedudukan pemimpin besar sekalian kai-pangcu (ketua perkumpulan pengemis). Juga dia menceritakan betapa dia dan sumoinya telah diberi anugerah kedudukan oleh Pangeran Yung Lo. Dia akan dijadikan seorang panglima muda sedangkan Kui Siang diangkat menjadi pengawal pribadi sang pangeran.

   "Ha..ha, bagus sekali kalau begitu!" Ciu-sian tertawa bangga mendengar murid-muridnya mendapatkan pengharagaan dari Pangeran Yung Lo yang menjadi raja muda di Peking.

   "Pangeran Yung Lo adalah seorang pangeran yang gagah perkasa, menjadi raja muda yang berkuasa di daerah utara. Beliau yang berjasa besar membendung para pengacau dari utara, dan beliau yang bekerja keras membersihkan orang-orang Mongol yang masih ingin merebut kembali kekuasaan di negeri ini."

   "Memang beliau seorang pangeran yang gagah dan bijaksana, suhu."

   "Kalau begitu, kenapa engkau berada di sini mencariku? Dan di mana Kui Siang sekarang? Kenapa kalian berpisah?"

   Sin Wan menghela napas panjang. Kalau pertanyaan suhunya ini diajukan beberapa pekan yang lalu, mungkin saja dia akan menangis saking sedihnya. Akan tetapi, luka itu sudah hampir mengering, kedukaan itu sudah kehilangan sengatnya. Dia hanya merasa nelangsa, tidak terbenam duka yang menekan.

   "Suhu, locianpwe Bu Lee Ki dan sumoi, dua orang yang selama ini akrab dengan teecu, telah menjauhkan diri dari teecu. Tanpa disengaja, mereka berdua mendengar bahwa teecu adalah anak tiri mendiang Se Jit Kong. Mendengar itu, Bu-locianpwe yang kini menjadi thai-pangcu merasa tidak semestinya bergaul dengan teecu, kecuali kalau kelak teecu dapat membuktikan bahwa teecu tidaklah jahat seperti mendiang ayah tiri teecu itu. Adapun sumoi........."

   Dewa Arak mengerutkan alisnya.

   "Bagaimana dengan Kui Siang?"

   Sin Wan termenung.

   "Suhu, teecu sama sekali tidak dapat menyalahkan sumoi. Suhu tahu bahwa keluarga sumoi hancur oleh Se Jit Kong. Kalau ia mendengar teecu anak tiri Se Jit Kong kemudian ia memisahkan diri, hal itu sudah sepantasnya. Mereka telah meninggalkan teecu agar jangan tercemar oleh nama busuk teecu yang berlepotan dosa Se.Jit Kong. Bahkan mungkin saja Pangeran Yung Lo akan bersikap lain kalau mendengar teecu anak tiri Se Jit Kong. Teecu sudah kehilangan segalanya, maka teecu teringat kepada suhu dan mencari ke sini......"

   Mendengar ucapan yang menyedihkan itu, Dewa Arak tertawa bergelak! Kalau orang lain yang berhadapan dengan Cui-sian, dia pasti akan tersinggung, setidaknya akan penasaran dan heran. Mendengar kesengsaraan muridnya malah tertawa bergelak seperti orang kegirangan! Akan tetapi Sin Wan sudah mengenal watak suhunya ini dengan baik, maka diapun tidak merasa heran. Dia tahu bahwa suhunya ini amat sayang kepadanya, akan tetapi kakek ini tidak pernah mau memperlihatkan apa yang dirasakannya.

   "Ha..ha..ha..ha, sepatutnya engkau bersyukur karena telah merasakan banyak kekecewaan dan kepahitan. Itulah pengalaman terbaik dalam kehidupan ini. Bagaikan orang berlayar di samudera, betapa akan menjemukan kalau lautan itu selalu tenang saja, tak pernah bergelombang. Justeru menempuh gelombang itulah yang membuat kita sadar bahwa kita ini hidup! Engkau harus berani menghadapinya dan mengatasinya. Jangan sembunyi dalam kecengengan. Manusia hidup matang dalam tempaan pengalaman hidup yang serba pahit. Orang akan menjadi besar oleh gemblengan kepahitan hidup, sebaliknya orang akan menjadi dungu dan malas oleh maboknya kemanisan hidup. Kesusahan dan keprihatinan membuat orang bijaksana, sebaliknya kesenangan dan kemakmuran membuat orang menjadi tumpul dan lengah."

   Sin Wan menghela napas panjang.

   "Teecu mengerti apa yang suhu maksudkan. Akan tetapi, suhu, bagaimana teecu tidak akan bersedih? Antara teecu dan sumoi telah terjalin hubungan batin yang amat akrab, kami saling mencinta dan sekarang hubungan itu putus begitu saja. Teecu merasa seperti sehelai daun kering yang rontok, terjatuh ke dalam air, terbawa arus air tanpa daya......."

   Kembali kakek itu tertawa bergelak.

   "Ha..ha..ha..ha, ucapanmu itu membikin malu guru-gurumu yang telah menggemblengmu, Sin Wan. Menjadi daun kering membusuk terbawa arus air sungai. Phuah! Pendekar macam apa ini? Berkeluh kesah, menangis .dan cengeng! Duka itu hanya permainan pikiran saja, Sin Wan. Pikiran yang sudah dicengkeram nafsu hanya memikirkan kesenangan bagi diri sendiri. Nafsu selalu mengejar kesenangan, selalu menjauhi ketidak senangan. Kesenangan itu tersembunyi di mana-mana, kadang mengenakan jubah bersih, seperti musang berbulu ayam. Nafsu mendorong kita untuk menonjolkan diri dan penonjolan diri inipun bukan lain hanyalah kesenangan. Kita menginginkan kekayaan, kedudukan, kepandaian, ke mashuran melalui perbuatan baik atau melalui karya-karya mengagumkan, semua itupun menjadi tempat persembunyian kesenangan. Dan kalau pengejaran kesenangan itu gagal, maka datanglah kecewa, nelangsa dan iba diri yang membawa duka. Engkau merasakan kesenangan dalam hubungan kasihmu dengan sumoimu, merasakan kesenangan dalam hubungan baikmu dengan Bu Lee Ki si jembel tua itu. Ketika mereka memisahkan diri menjauhimu, engkau kehilangan kesenangan itu dan menjadi kecewa, iba diri dan berduka. Engkau menyiksa diri dan menjadi cengeng dan itu suatu perbuatan yang sama sekali keliru."

   

Si Pedang Tumpul Eps 10 Si Pedang Tumpul Eps 10 Pedang Sinar Emas Eps 31

Cari Blog Ini