Pedang Sinar Emas 31
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 31
Silau mata Giok Seng Hosiang dan adik adik seperguruannya melihat cahaya pedang yang berkelebat dari gadis itu. Mereka maklum bahwa gadis itu benar benar h hai sekali, namun mereka adalah murid murid dari Gobi Sam thaisu, tokoh tokoh Go bi pai yang memiliki kesaktian, maka sambil berseru nyaring mereka menggerakkan senjata mengepung ramai ramai dan berusaha mendesak gadis itu.
Adapun Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu ketika melihat muridnya dikeroyok, ia memandang dengan penuh perhatian dengan sepasang matanya yang seperti mata burung setan itu, iapun melihat bahwa tujuh orang hwesio ini tingkat kepandaian nya jauh berbeda dengan hwesio hwesio yang tadi menjaga dijalan bukit.
Diam diam ia bergembira dan membiarkan saja muridnya dikeroyok, karena ia hendak memberi kesempatan kepada muridnya untuk berlatih. Beberapa kali ia tertawa tawa terkekeh kekeh dengan suara amat menyeramkan kalau melihat betapa sinar pedang Siang Cu mendesak lawannya.
Biarpun Siang Cu memiliki watak yang keras dan kadang kadang kelihatan seperti ganas, namun sebenarnya, watak yang baik dari ayah bundanya masih mengalir di dalam darah di tubuhnya, ia tidak suka sembarangan membunuh orang,apalagi orang orang yang dianggapnya tidak berdosa, ia baru mau membunuh orang yang dianggapnya memang jahat dan patut disingkirkan karena membahayakan keselamatan umum.
Kini menghadapi tujuh orang hwesio tua ini, iapun tidak tega untuk membunuh mereka. Maksudnya hanya hendak mengalahkan mereka dan kalau mungkin merobohkan dengan luka yang tidak membahayakan nyawa.
Akan tetapi hal ini amat sukar baginya. Tujuh orang lawannya bukanlah orang lemah dan karena sikapnya yang tidak keras ini membuat ia sukar mendesak lawan lawannya.
Kalau sekiranya Siang Cu berhati kejam dan mau menurunkan tangan besi. agaknya ia akan dapat menewaskan tujuh orang lawannya itu seorang demi seorang. Ilmu pedangnya memang amat ganas dan lihat, yang khusus diciptakan oleh Lam hai Lo mo untuk muridnya ini.
Adapun Lam hai Lo mo ketika melihat kelemahan hati muridnya dan maklum bahwa muridnya sengaja berlaku mengalah dan tidak menyerang sungguh sungguh, menjadi penasaran sekali. Kalau saja muridnya menjatuhkan tangan ir.aut dan membunuh tujuh orang lawannya, tentu ia akan menjadi girang dan bangga sekali. Akan tetapi kini Siang Cu tidak mau membunuh lawannya sehingga nampaknya terdesak oleh tujuh orang pengeroyoknya.
"Siang Cu, kau memalukan gurumu!" Sambil berkata demikian, tubuh kakek buntung ini bergerak cepat sekali dan tongkatnya bergerak menyambut bagaikan halilintar mencari korban. Terdengar teriakan ngeri dan seorang di antara tujuh murid kepala Go bi pai itu terlempar jauh dengan tulang iga patah patah karena pukulan tongkatnya yang lihai.
"Suhu, jangan membunuh....!" seru Siang Cu dengan muka berobah. Makin lama, keganasan suhunya makin mengerikan hatinya. Ketika ia tinggal berdua dengan suhunya di pulau kolong, ia tidak pernah melihat watak sesungguhnya dari Lam hai Lo mo.
Sekarang setelah ia masuk ke dunia ramai bersama kakek itu menyaksikan keganasan gurunya yang luar biasa dan amat mengerikan, ia menjadi terkejut sekali. Tak pernah disangkanya watak yang demikian kejam, yang membunuh manusia begitu mudah seperu orang membunuh nyamuk saja.
Akan tetapi, seruannya itu tidak dapat mencegah suhunya, bahkan Lam hai Lo mo berkata sambil tertawa bekakakan,
"Siang Cu, kau lihat. Begitulah caranya memberi hukuman kepada setan setan gundul ini. Ha, ha, ha!"kembali tongkatnya berkelebat.
Enam orang hwesio itu menahan dengan senjata mereka namun seorang di antaranya tidak dapat menahan.
Pedangnya terpukul membalik dan menancap ai dadanya sendiri sampai tembus ke punggungnya. Melihat ini. Giok Seng Hosiang berseru marah, "Siluman buntung yang jahat, siapakah kau dan mengapa kau merusak keamanan Go bi pai? Permusuhan apakah yang membuat kau mengamuk seperti ini?"
Lam hai Lo mo tertawa mengejek, "Mana Go bi Sam thaisu? Suruh mereka keluar, mereka akan mengenalku!"
"Sam wi suhu kami sedang turun gunung." kata Giok Seng Hosiang.
"Hm, kalau begitu siapa wakilnya yang memimpin Go bi pai pada saat ini?"
"Pmceng (aku) yang menjadi murid kepala tertua," jawab Giok Seng Hosiang.
Batu saja ia menutup mulutnya, Lam hai Lo mo sudah melompat ke dekatnya dan sekali mengulurkan tangan kiri, kakek ini telah menangkap belakang leber Giok Sang Hosiang dan mengancam,
"Bagus! Kalau begitu, kaulah yang bertanggung jawab. Lekas kausuruh keluar bangsat Lie Chit itu. Kalau tidak, batok kepalamu yang licin akan kuhancurkan!" Lalu Lam hai Lo mo menambahkan dengan suaranya yang menyeramkan.
"Kau mau tahu siapa aku? Semua dewa dan iblis dari Laut Selatan adalah hamba sahayaku, tahu?"
Mendengar ini, seperti terbang semangat Giok Seng Hosiang meninggalkan raganya.
"Locianpwe.... apakah Lam hai Lo mo Seng Jin Siansi?" tanyanya.Karena siapa lagi orangnya yang mengaku menjadi raja dari selatan selainnya Lam hai Lo mo (Iblis Tua dari Laut Selatan)?.
"Ha, ha, ha, pendengaranmu baik juga. Nah, sekarang kau lekas suruh bangsal Lie Chit keluar."
"Maaf, locianpwe, di sini sesungguhnya tidak ada murid bernama Lie Chit."
"Kau juga keras kepala dan harus mampus!1 Sambil berkata demikian, Lam hai Lo mo melemparkan tubuh Giok Seng Hosiaug demikian kerasnya sehingga tubuh hwesio itu tertumbuk pada dinding kelenteng dan roboh dengan kepala pecah dan tidak bernyawa lagi.
"Suhu....!" kembali Siang Cu berteriak ngeri.
Akan tetapi, Lam hai Lo mo sudah timbul marahnya karena merasa amat kecewa tidak dapat bertemu dengan Siauw giam ong Lie Chit yang telah mencuri emasnya. Tongkatnya digerak gerakkan dengan amat hebatnya sambil memaki maki dan menggereng seperti seekor harimau buas.
Adapun lima orang murid kepala yang lain, kini dibantu oleh hwesio hwesio yang berada di situ, juga menjadi marah sekali sungguhpun mereka merasa gentar. Sambil berteriak teriak mereka maju mengurung. Kasihan sekali para hwesio ini, karena mana mereka dapat melawan Lam hai Lo mo yang lihai? Mereka itu bagaikan nyamuk nyamuk kecil yang melawan nyala api, begitu datang dekat tentu roboh binasa menjadi korban tongkat di tangan Lam hai Lo mo yang lihai.
Mayat mayat bergelimpangan di depan kelenteng. Melihat ini, SiangCu berteriak teriak sambil menangis. Hatinya tidak karuan rasanya. Tak pernah dibayangkannya sedikit pun juga semenjak ia menjadi murid gurunya bahwa suhunya adalah seorang iblis yang demikian kejamnya!
"Suhu....! Suhu....! Cukup, suhu, jangan membunuh begitu kejam..! Teecu tak kuat melihatnya...."
Namun Lam hai Lo mo menjadi makin marah mendengar ini. Ia merasa seakan akan muridnya itu menentangnya dan baru kini ia insyaf bahwa watak muridnya itu sama sekali tidak cocok dengan wataknya sendiri,ia tega untuk membunuh semua orang yang dianggap menghalang halanginya. Biarpun ia harus membunuh seribu orang sekalipun,
"Tutup mulut! Lebih baik kau bantu aku memberskan tikus tikus ini!" katanya dan tongkatnya mengamuk makin hebat.
Siang Cu tidak dapat menahan kengerian harinya melihat begitu banyak orang menjadi korban keganasan gurunya, ia melompat di depan Lam hai Lo mo dan menggerakkan pedangnya menangkis tongkat gurunya.
"Suhu, tahan....!"
Lam bai Lo mo tertegun. Muridnya telah berani menangkis tongkatnya!
"Anak gila! Apa maksudmu menahanku?
Siang Cu menjatuhkan diri berlutut sambil bercucuran air mata.
"Suhu.... ampunkan teecu.... sesungguhnya teceu tidak berani menahan suhu dan tentu teecu akan membantu sekuat tenaga karau sekiranya suhu menghadapi musuh musuh besar yang tangguh. Akan tetapi.... mereka ini" mereka adalah pendeta pendeta yang lak berdosa....,mungkin sekali Lie Chit memang tidak berada di sini. Suhu, untuk apa suhu membunuh sekian banyaknya orang....!"
Makin berkobar api kemarahan dalam dada Lam hai Lo mo. Ia menghantamkan tongkatnya pada sebuah patung singa di depan kelenteng, Terdengar suara keras dan patung singa itu hancur lebur, ia marah sekali dan kalau menurutkan keparahannya, sebetulnya hantaman tadi ditujukan kepada kepala Siang Cu.
Namun, di dalam hatinya ada sesuatu yang aneh, rasa kasih sayang yang luar biasa terhadap muridnya mencegahnya membunuh gadis ini dan sebaliknya ia menghancurkan patung singa, ia telah lama memelihara dan mendidik gadis ini dan telah tumbuh cinta kasih seorang ayah terhadap anak sendiri di dalam hati nya terhadap murid ini. Dan sekarang murid ini, yang disayangnya lebih dari nyawanya sendiri, telah berani menentangnya.
"Anak gila, kau tahu apa tentang keadaan manusia? Pendeta pendeta inipun setan setan berwujud manusia, harus dibasmi."
Sambil berkata demikian, kemarahannya memuncak, kini ditujukan kepada semua hwesio Go bi pai karena hwesio hwesio ini dalam anggapannya dibela oleh Sang Cu. Di dalam hati yang memang kotor ini timbul anggapan bahwa Siang Cu lebih sayang kepada fawcsio hwesio ini daripada kepadanya. Memang demikianlah hati orang yang sudah tua oleh nafsu iblis dan kebencian. Orang yang membenci orang lain, siapapun juga yang mencoba untuk mendamaikannya,tentu dia akan menganggap bahwa pendamai itu lebih membela orang yang dibencinya. Inilah kelihaian siasat iblis yang sudah menguasai hati orang yang digoda nya.
Demikian pula Lam hai Lo mo. Dia sedang marah dan membenci pendeta pendeta Go bi pai bermaksud membasmi mereka Sekarang Siang Cu berani mencegahnya,mana dia bisa sadar bahwa perbuatan muridnya itu semata mata karena sayang kepadanya dan hendakmencegah suhunya melakukan dosa besar. Sebaliknya, dia malah mengira bahwa Siang Cu lebih sayang kepada para pendeta itu daripada kepadanya sendiri. Ia makin marah kepada para pendeta itu dan sekali melompat sambil mengayun tongkat kembali dua orang hwesio roboh dan tewas.
"Suhu, jangan....!" seru Siang Cu sambil melompat dan menghadang suhunya.
Ayunan tongkat suhunya ditangkisnya dan sebentar saja terpaksa Lam hai Lo mo harus menyerang muridnya sendiri untuk dapat mengejar hwesio hwesio itu. Siang Cu mengerahkan kepandaian dan tenaganya untuk menghalangi suhunya sehingga timbul pertempuran hebat antara guru dan murid ini, sungguhpun bukan dengan maksud saling merobohkan, hanya untuk saling menghindarkan saja.
"Lekas kalian lari, bodoh!" seru Siang Cu berulang ulang kepada para hwesio yang masih ingin mengeroyok Lam hai Lo mo. "Apakah kalian sudah bosan hidup? Lekas kalian lari pergi turun gunung!"
Sementara itu, Lam hai Lo mo berteriak teriak "Akan kubunuh kalian semua!"
Namun pedang di tangan Siang Cu bergerak cepat sekali dan selalu menghadang ke mana juga pun kakek ini bergerak. Para hwesio kini menjadi jerih sekali dan mereka berlari cerai berai meninggalkan tempat itu sehingga keadaan menjadi sunyi.
Namun Siang Cu tetap saja menahan suhunya,karena maklum bahwa kalau ia melepaskan suhu nya,kakek sakti ini tentu akan dapat mengejar dan banyak orang akan tewas pula.
"Siang Cu bocah gila, kau minggirlah!" berkali kali Lam hai Lo mo berteriak, akan tetapi Siang Cu mempertahankan.
"Kau murid murtad!" Lam hai Lo mo berseru marah.
"Lebih baik suhu membunuh teecu daripada membunuh semua orang tak berdosa itu" jawab Siang Cu.
Kau mau mati?" bentak La m hai Lvmo dan kini tongkatnya diputar luar biasa hebatnya sehingga menimbul kan angin puyuh, Siang Cu terkejut sekait karena sekarang suhunya benar benar menyarangnya dengan kehebatan yang luar biasa.
Sementara itu Lam hai Lo mo berteriak teriak "Akan kubunuh kalian semua! Kubasmi kalian semua!"
Tongkat itu seakan akan berobah menjadi puluhan batang banyaknya dan menyerang ke arah jalan darah dan bagian bagian tubuh yang bercahaya.
Terpaksa Siang Cu lalu memutar pedangnya Cheng hong kiam sehingga pedang itu berobah menjadi segulung sinar au yang menyambar ke sana ke mari, menangkis setiap serangan tongkat. Namun sai sia, karena dalam kemarahannya, Lam hai Lo mo mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan mana Siang Cu dapat bertahan? Beberapa puluh jurus kemudian, pedangnya terlempar dari tangannya dan sebuah sambaran toya ke arah kakinya membuat gadis itu terjungkal.
Namun ternyata kasih sayangnya yang amat besar terhadap Siang Cu telah menolong gadis itu. Lam hai Lo mo tidak tega untuk membunuh muridnya yang terkasih, maka ia hanya membikin muridnya terjungkal saja. Siang Cu kini merasa bahwa para hwesio sudah pergi jauh, maka
ia lalu berlutut dan berkata menangis, "Suhu, kalau suhu hendak membunuh teecu, silahkan."
Sebaliknya,Lam hai Lo mo lalu menancapkan tongkatnya di atas tanah untuk menghilangkan kemendongkolan hatinya.
"Sudahlah, sudahlah! Kita telah melakukan sesuatu yang amat memalukaji. Ambil pedangmu dan mari kita pergi dari sini!"
"Terima kasih, suhu kata Siang Cu sambil irengambil peaangnya. Sebelum gadis ini menyarungkan pedangnya, gurunya berkata, "Lain kali jangan kau membangkitkan marahku, Siang Cu. Aku bisa lupa dan kau akan celaka oleh tongkatku."
Siang Cu memandang ke arah pedangnya yang belum dimasukkan ke dalam sarung pedang lalu menjawab, "Asal saja suhu tidak berlaku sekejam tadi, selamanya texu mana berani menghalangi kehendak suhu?
"Kalau aku berbuat seperti tadi lagi, bagaimana?"
"Kalau begitu.... entah, teecu tidak berani berjanji karena teecupun bertindak atas dorongan sikap kasihan. Harap saja suhu tidak mengulangi lagi."
"Hm, hm.... akupun tidak bisa berjanji padamu. Bagaimana nanti sajalah!" kata Lam hai Lo mo sambil mencabuttongkatnya dan segera berlari pergi dari situ dengan hati mendongkol.
Siang Cu cepat menyusul suhunya dan dua orang ini meninggalkan Go bi san.
Beberapa pekan kemudian, mereka tiba di Tit le. Siang Cu makin merasa tidak puas melihat sikap suhunya.
Beberapa hari yang lalu, kembali gurunya berlaku sewenang wenang, membunuh seorang pemuda hanya karena pemuda itu menyatakan kagum akan kecantikan Siang Cu dalam ucapan yang agak kurang ajar.
Kemudian dalam sebuah rumah makan, ketika pelayan tidak percaya kepadanya dan minta diperli hatkan uang lebih dulu untuk membayar pesanan masakan yang mahal mahal dan kakek itu, kembali Lam hai Lo mo menjatuhkan tangan maut, membunuh pelayan itu, lalu memaksa pemilik rumah makan mengeluarkan semua makanan yang sudah dipesan, makan dengan enak dan pergi tanpa membayar.
Beberapa kali Siang Cu menyatakan ketidak puasannya, akan tetapi gurunya hanya menjawab,
"Siang Cu, kau tahu apa tentang kehidupan di dunia kang ouw? Sebagai muridku, kau harus tunduk dan taat, habis perkara. Kau mau pura pura berlaku baik? Ha, ha, kau belum tahu akan watak manusia, yang dilakukan baik baik namun membalas dengan kejahatan. Kalau kau sudah banyak dikecewakan, kelak kau akan menganggap orang orang yang berlaku baik itu sebagai erang se bodoh bodoh nya."
Malam hari itu, bagaikan dua sosok bayangan setan, Lam hai Lo mo dan Siang Cu berlompatan di atas genteng rumah rumah orang tidak langsung menuju ke rumah Thian te Kiam ong Song Bun Sam.
Mudah saja bagi mereka untuk mendapatkan keterangan di mana rumah pendekar besar itu. Siang Cu berdebar hatinya.
Tidak hanya dia bahkan Lam hai Lo mo sendiripun merasa hati nya tidak tenteram, ia tengah menuju ke rumah seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali. Boleh dibilang lawan yang akan dihadapi ini ada lah orang yang paling tinggi kepandaiannya yang pernah dilawannya, maka setidaknya ia menjadi gelisah.
"Hati hatilah, Siang Cu. Pekerjaan ini bukan main main. Selain usahaku ini untuk membalas dendam kepada Thian te Kiam ong yang sudah membuat aku menjadi seorang bercacad seperti ini, juga kepandaiannya amat tinggi. Kau harus berhati hati sekali. Menghadapi isterinya. tak usah khawatir, Kau saja dapat membereskannya. Akan tetapi kalau nanti aku bertempur melawan Thian te Kiam ong sendiri, kau harus membantuku, persiapkan jarum jarum hitammu, karena dilawan dengan berbarang saja belum tentu kita akan menang "
Tentu saja Siang Cu menjadi tegang hatinya. Belum pernah ia melihat suhunya begitu gelisah dan takut menghadapi lawan. Kalau ia melihat keadaan suhunya yang rusak tubuhnya itu, timbul kebencian besar di dalam hatinya terhadap Thian te Kiam ong Kali ini ia anggap usaha suhunya auciv maka ia bertekad hendak membantu sekuat tenaga, kalan perlu ia bersedia jiwa untuk membalas budi suhunya.
Karena mereka mempergunakan ilmu lari cepat, sebentar saja mereKa noa di atas genteng rumah besar dari Thian te Kiam ong. Rumah itu besar dan sunyi. Biarpun waktu itu belum malam benar, akan terapi keadaan sudah agak gelap, lampu lampu yang dipasang di dalam rumah itu telati dikecilkan. Bihkan di bagian dalam tidak di pasangi lampu hanya di bagian depan dan belakang saja.
Lam hai Lo mo tidak berani buru buru turun dari genteng, hanya mendekam sambil ihendengar kan dengan penuh perhatian Lapat lapat ia mendengar suara orang bicara di bagian belakang rumah, akan tetapi di bagiandalam sunyi saja. Siang Cu mendekam di belakang suhunya, tangan kanan memegang pedang, tangan kiri menggenggam jarum jarum hitamnya.
Setelah mempelajari keadaan di bawah selama beberapa menit, Lam hai Lo mo lalu memberi tanda dengan tangannya kepada Siang Cu untuk melompat turun. Mereka melakukan ini dengan hati hati sekali, memilih kebun
belakang untuk turun dengan gerakan amat ringan. Kemudian, berindap indap mereka memasuki rumah itu dari pintu samping setelah tanpa mengeluarkan bunyi sediktpun Lam hai Lo mo menggunakan tenaga lweekangnya untuk mematahkan engsel pintu yang tertutup itu.
Baru saja mereka memasuki ruang belakang, tiba tiba terdengar orang bertanya, "Siapa kau?"
Cepat bagaikan kilat menyambar, tongkat Lam hai Lo mo bergerak, terdengar suara "prak!" dan orang yang menegur mereka itu roboh tanpa dapat membuka suara pula. Ketika memandang dengan teliti, ternyata bahwa erang nu adalah seorang pelayan. Lam hai Lo mo tidak merasa puas melihat orang itu liati, tongkatnya bergerak lagi ke arah leher orang itu dan remuklah tulang leher nenkut daging dan kulitnya. Leher orang itu putus sama sekali seperti dibabat oleh golok tajam!
Ngeri juga hati Siang Cu melihat ini. Kembali gurunya telah kambuh gilanya, pikirnya. Kalau gurunya bermusuh dengan Thian te Kiam ong, mengapa berlaku sekejam itu kepada seorang pelayan yang tidak berdosa? Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ia tidak mau membuka mulut.
Lam hai Lo mo terus menuju ke ruang tengah dan mencari kamar besar. Ia berhasil memasuki kamar yang tinggal gelap. Sebelum masuk ke dalam kamar itu, beberapa kali tangan kirinya b rgerak dan puluhan butir jarum hitam menyambar ke seluruh penjuru kamar itu, menyebar maut.
Akan tetapi tidak ada suara apa apa yang terdengar Sebagai akibat sambaran jarum jarumnya itu. Lam hai Lo mo tidak puas dan menerjang masuk sambil memutar tongkatnya seperti orang gila. Terdengar suara hiruk pikuk dan meja kursi serta pembaringan di dalam kamar itu patah patah dan hancur terkena amukan tongkat kakek buntung ini.
Setelah mendapati kenyataan bahwa kamar itu benar benar kosong, Lam hai Lo mo melompat keluar.
Di dalam rumah itu terdapat tiga buah kamar, yakni kamar Soug Bun Sam bersama isterinya, kamar Tek Hong, dan kamar Siauw Yang. Tiga kamar ini semua menjadi korban dari amukan tongkat Lam hai Lo mo diobrak abrik dan dihancurkan. Kemudian, dengan penasaran sekali karena tidak melihat orang di situ. Lam hai Lo mo lalu mengajak muridnya menuju ke belakang.
Suara gaduh tadi menarik perhatian dua orang nelayan dari rumah itu yang tadi bercakap cakap di ruang belakang, di kamar pelayan. Mereka berdua lalu pergi ke dalam rumah hendak memeriksa apakah yang menimbulkan gaduh itu. Baru saja mereka, tiba di ambang pintu tembusan, tiba tiba Lam hai Lo mo dan Siang Cu bergerak Lam hai Lo mo menggerakkan tongkatnya dan seorang pelayan roboh dengan kepala terpisah dari tubuh. Ternyata dengan seksh sabet saja, leher orang itu telah putus. Siang Cu yang kini sudah tahu akan keganasan suhunya, mendahului suhunya itu, cepat melompat dan menangkap pelayan ke dua.
"Lekas katakan, di mana adanya Thian te Kiam ong Song Bun Sam?" bentaknya perlahan.
Pelayan itu gemetar seluruh tubuhnya sehingga untuk beberapa lamanya ia tidak dapat menjawab, ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Song taihiap sedang pergi keluar kota, entah ke mana."
Siang Cu menjadi kecewa mendengar ini, akan tetapi Lani Lo mo menjadi marah Tanpa dapat dicegah oleh Siang Cu, tongkatnya bergerak dan pelayan inipun roboh dengan tulang leher putus seperti dua orang kawannya! Kemudian Lam hai Lo mo mengamuk, semua anjing,
kucing dan ayam peliharaan Song Bun Sam dibunuh, lau untuk melampiaskan kemarahannya, ia membakar rumah itu menjadi abu!
"Suhu, kau terlalu!" Siang Cu berkata marah sekali, ia menganggap perbuatan suhunya di luar batas kesopanan. Biarpun terhadap musuh besar, tidak semestinya suhunya membunuh para pelayan yang tidak berdosa, bahkan membakar rumah sampai habis. Ini bukanlah perbuatan gagah, lebih patut disebut perbuatan pengecut, membunuh pelayan dan membakar rumah di waktu musuh besar itu tidak ada di rumah!
Lam hai Lo mo marah sekali. "Apa kau bilang? Terlalu? Eh, Siang Cu, bukankah kau muridku? Apakah sekarang kau juga hendak membela Tfaian ts Kiam ong si jahanam?"
"Bukanbegitu, suhu. Teecu hanya bersedih melihat sepak terjang suhu yang terlalu kejam. Apakah dosanya parapelayan itu? Apa dosanya binatang binatang peliharaan tadi? Dan mengapa pula membakar rumah sedangkan tuan rumah tidak ada?
"Kau perduli apa? Apakah kau lebih sayang kepada pelayan pelayan tadi daripada kepadaku? Apakah kau lebih sayang kepada anjing dan ayam daripada kepada gurumu? Kau muridku, kudidik semenjak kecil Kau harus tunduk dan taat kepadaku, segala sepak terjangku bahkan harus kau contoh. Nah, lihat ini!"
Lam hai lo mo menggunakan kakinya untuk menendang mayat seorang di antara pelayan pelayan tadi sehingga mayat itu terlempar ke dalam api yang bernyala nyala.
"Hayo kau turut perbuatanku dan lemparkanlah dua orang pelayan yang lain ke dalam api pula!"
Siang Cu menjadi mendongkol bukan main. Ia tidak mentaati perintah suhunya, bahkan lalu membalikkan tubuh keluar dari pekarangan rumah itu, Lam hai Lo mo marah sekali. Dua kali tendangan membuat dua mayat yang lain melayang ke dalam api, kemudian ia mengejar muridnya
"Siang Cu, kalau aku tidak sayang kepadaku, sekarang juga kuhancurkan kepalamu. Kau harus tunduk dan taat kepadaku, biar andaikata kau kujodohkan dengan putera Tung hai Sian jin itu atau bahkan kaupun harus tunduk andaikata kau kuambil menjadi isteriku sendiri. Kau adalah anak yatim piatu, aku yang membesarkanmu, aku yang memeliharamu dan aku yang mendidikmu. Mengerti?"
Akan tetapi, ucapan yang keluar dari otak Lam hai Lo mo yang sudah setengah gila itu membuat gadis ini merasa muak sekali, ia tidak berani menyatakan kemarahannya, sungguhpun mendengar ucapan itu ingin sekali ia mencabut pedang dan menyerang suhunya, ia hanya menghapus air matanya sambil berjalan terus kemudian dapat juga ia berkata, "Masa bodoh, terserahlah. kepada suhu saja, mau bunuh boleh bunuh. Pendek kata, mulai sekarang teeeu tidak mau mengikuti suhu, karena segala perbuatan yang suhu lakukan bertentangan dengan hati teecu."
"Siang Cu, kembalilah!"
"Tidak, suhu, teecu akan merantau seorang diri." "Kubunuh kau kalau tidak segera datang ke sini!" "Terserah kepada suhu. Bukankah teceu anak yang suhu pelihara dan didik sampai besar? Sekarang mau bunuh terserah, teecu takkan melawan."
"Kau murid murtad! Begitukah sikap seorang murid terhadap suhunya? Apakah kau mau bersekongkol dengan Thian te Kiam ong untuk memusuhi ku? Kau tidak kasihan melihat suhumu menjadi rusak karena Thian te Kiam ong?"
Mendengar ucapan ini, Siang Cu menghentikan tindakan kakinya dan menengok. Wajahnya pucat dan air matanya mengalir di sepanjang pipinya, bibirnya gemetar. Baru kali ini ia merasa betapa buruk nasibnya. Menjadi seorang yatim piatu, tidak tahu siapa orang tuanya dan dibesarkan oleh seorang guru yang biarpun amat sakti, namun ternyata bukan orang baik baik, batikan boleh ditang manusia berwatak iblis!
"Suhu tahu bahwa teecu kasihan kepada suhu. Akan tetapi perbuatan perbuatan yang suhu lakukan itu menghapus rasa kasihan itu membuat teecu menjadi sedih dan kecewa. Teecu bukan seorang murtad, bukan mengkhianati suhu. Bahkan teecu berjanji hendak mencari sendiri musuh besar suhu itu dan akan teecu balaskan sakit hati suhu. Biarpun untuk itu teecu harus berkorban nyawa untuk membalas budi suhu selama mendidik teecu!"
Lam hai Lo mo tertegun. "Kau hendak mencari Thian te Kiam ong? Bagus, bagus! Baiklah, mari kita berlomba, siapa yang akan dapat membunuhnya lebih dulu, ha, ha, ha!"
Selelah berkata demikian, kakek ini lalu berkelebat pergi. Ia meninggalkan kata kata dari jauh,
"Betapapun juga, kau muridku dan akan datang saatnya kau harus ikut lagi padaku."
Lam hai Lo mo memang seorang kakek yang sudah gila dan rusak jiwanya, akan tetapi otaknya cerdik. Ia masih meragukan apakah akan dapat menangkan Thian te Kiam ong.Maka sekarang ia heudak mewakilkan pembalasan dendam itu kepada Siang Cu. Sementara itu, ia bisa mencari kawan dan membantu untuk melanjutkan usahanya membalas dendam ini!
Sementara itu, Siang Cu lalu melanjutkan perjalanannya bertekad untuk mencari Thian te Kiam ong dan mengadu nyawa untuk membayar hutang yang ia dapat dari suhunya.
Setelah itu kalau ia tidak mati dalam usahanya ini ia akan menjauhkan diri dari suhunya, dari dunia ramai karena hidupnya kini kosong, tidak bercita cita, tiada tujuan, adanya hanya kekecewaan dan kedukaan. Perasaan ini membuat Siang Cu yang pendiam dan keras bati menjadi makin pendiam.
Demikianlah maka ketika Tek Hong tiba di Tit le, pemuda ini melihat rumahnya telah menjadi tumpukan puing dan tiga orang pelayan orang tuanya telah tewas dalam keadaan amat mengerikan. Tak seorangpun dapat menceriterakan siapa erangnya yang melakukan bal ini. Akan tetapi diam diam Tek Hong sudah dapat menduga bahwa yang melakukan tentulah Lam hai Lo mo, musuh besar ayahnya yang amat jahat dan yang ia dengar masih hidup menjadi penghuni dari Pulau Sam liong to itu. Hatinya menjadi berduka dan gelisah sekali. Siauw Yang tertawan oleh orang jahat, kini rumahnya dibakar musuh dan orang tuanya entah berada di mana.
Karena bingung dan tidak tahu harus menyusul orang tuanya di mana, Tek Hong lalu mengambil keputusan untuk berangkat saja ko Sian hoa san untuk minta tolong kepada supeknya, Yap Thian Giok atau kalau mungkin minta pertolongan nenek gurunya, Mo bin Sm kunl Pada suatu hari ia tiba di perbatasan Propinsi Shan si sebelah barat, di mana mengalir Sungai Kuning (Hoang ho) yang lebar dan penuh airnya. Tek Hong berjalan cepat di sepanjang lembab sungai yang mengalir melalui sela sela lereng Bukit Lu liang san. Sian hoa san tidak jauh lagi, puncaknya sudah nampak menjulang tinggi di depan.
Ketika ia sedang berjalan cepat dengan hati penuh gundah dan geli bab, tiba tiba ia mendengar tiara senjata beradu menerbitkan suara nyaring sekali. Pendengaran Tek Hong amat tajam dan terlatih. Dari mara nyaring itu ia dapat menduga bahwa yang beradu adulah senjata duri pada logam yang amat baik. Suara beradunya besi itu atau baja biasa saja tidak mengeluarkan bunyi seperti itu. Dan biasanya, di mana ada senjata mustika, tentu ada orang orang gagah yang berkepandaian tinggi. Tek Hong mempercepat larinya, menuju ke arah datangnya suara gaduh itu.
Suara itu datang dari lereng bukit yang kering dan ketika ia tiba di situ, ia melihat seorang gadis muda berpakaian serba merah sedang dikeroyok hebat sekali oleh ketiga orang hwesio gundul yang sudah berusia tua.
Gadis baju merah itu memainkan sebatang pedang dengan gerakan bebat sekali. Tubuhnya bergerak ke sana kemari seperti seekor burung merah, demikian lincah dan ringannya. Pedang yang dimainkannya mengeluarkan cahaya gemilang berwarna hijau dan permainan pedangnya demikian lihai sehingga pedang itu beruban menjadi segulung sinar hijau yang menyambar uyambar seperti seekor naga mengamuk! Tek Hong kagum sekali dan kalau tidak melihat pakaian dan pedangnya, tentu ia akan mengira bahwa gadis itu adalah Siauw Yang adiknya.
Apa karena gerakan gadis itu demikian gesit seperti gerakan Siauw Yang. Ia lalu memperhatikan tiga orang kakek hwesio yang mengeroyok gadis itu. Biarpun gadis itu gagah perkasa dan ilmu pedang nya tinggi, namun keroyokan tiga hwesio itu membuatnya terdesak juga. Hal ini membukukan bahwa tingkat kepandaian tiga orang hwesio itupun sudah mencapai tingkat yang amat tinggi.
Melihat pakaian gadis itu, pembaca tentu dapat menduga siapa adanya dara perkasa itu. Memang dia bukan lain adalah Ong Siang Cu, murid dari Lam Hai Lo mo Seng Jin Siansu, dara perkasa yang memisahkan diri dari suhunya karena ia tidak suka melihat sepak terjang suhunya yang ganas dan kejam.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara ini melarikan diri dari Lam hai Lo mo dan merantau seorang diri dengan satu cita cita, yakni mencari Thian te Kiam ong Song Bun Sam untuk mencoba membalaskan sakit hati suhunya yang telah dirusak badannya secara keji dan mengerikan oleh Raja Pedang itu
Akan tetapi, ketika ia tiba di lereng Bukit Lu liang san, di tengah jalan ia bertemu dengan tiga orang hwesio tua yang agaknya memang mengejarnya, karena begitu bertemu, tiga orang hwesio itu serentak menyerangnya! Siang Cu adalah seorang dara yang tak kenal takut. Melihat serangan hebat tiga orang hwesio tua yang tak dikenalnya, yang menyerang dengan tangan kosong namun dengan gerakan luar biasa lihainya, ia cepat mengelak dan mencabut pedangnya. Melihat sinar hijau dari pedang di tangan gadis itu, tiga orang kakek gundul ini nampaknya menjadi makin marah.
"Tak salah lagi inilah siluman wanita itu!" teriak seorang di antara mereka yang cepat mencabut sebatang toya hitam.
"Benar, mari kita lenyapkan siluman ini dulu, baru kelak mencari siluman tua, kata hwesio kedua yang mengeluarkan sebuah kipas besar dengan lima batang yang ujungnya runcing dan layar kipasnya
(Lanjut ke Jilid 39)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jilid 39
terdiri dari lima warna.
"Siluman rase, kau menyerahlah!" teriak hwesio ke tiga yang mengeluarkan senjata berupa segulung tasbeh perak.
Siang Cu marah bukan main mendengar betapa tiga orang kakek ini datang datang tidak hanya menyerangnya, malahan memaki makinya siluman.
Namun, biarpun ia memiliki kekerasan hati, ia tidak segila gurunya, ia masih dapat menahan gelora cairnya yang marah, dan sambil pentangkan pedang Cheng hong kiam di depan dadanya, ia membentak murah.
"Tertahan dulu! Kalian ini orang orang tua yang berpakaian seperti pendeta, mengapa tidak mencari jalan terang? Apakah memang begitu sifatnya pendeta pendeta, datang datang memaki orang dan mencari permusuhan? Aku Ong Siang Cu tidak takut seujung rambutpun kepada kalian, akan tetapi aku harus tahu lebih dulu, apakah kalian ini udik salah mengenai orang? Aku selama hidupku belum pernah bertemu dengan kalian, apakah mendadak kalian telah menjadi gila?"
Tiga orang kakek gundul itu sebetulnya adalah tokoh tokoh besar dari Go bi san, ketua ketua Go bi pai yang disebut Go bi Sam thaisu. Hwe So yang berserjata toya hitam adalah Thian Seng Hwesio dan senjatanya itu disebut Ouwtiat pang (Toya Besi Hitami. Hwesio ke dua yang bersenjata kipas adalah Thian Beng Hwesio dengan senjatanya kipas Ngo heng sam (Kipas Lima Zat). Hwesio ke tiga adalah Thian Lok Hwesio dengan senjatanya tasbeh perak yang tidak kalah lihainya oleh senjata senjata ke dua orang suhengnya.
"Siluman betina, kau belum mengenal pinceng bertiga ataukah hanya pura pura tidak kenal? Pinceng adalah Thian Ssng Hwesio dari Go bi pai, ke dua orang suteku ini adalah Thian Beng Hwesio dan Thian Lok Hwesio. Kau sudah mengetahui akan dosamu yang besar, sekarang tidak lekas menyerah mau tunggu pinceng turun tangan dan menggunakan kekerasan?" kata ketua pertama dari Go bi pai itu.
Mengertilah kini dara itu mengapa tiga orang kakek gundul ini datang datang begitu marah kepadanya.
"Ah, jadi sam wi losuhu ini adalah Go bi Sam thaisu? Dengar sam wi (kalian bertiga), saya akan memberi penjelasan mengenai peristiwa yang baru terjadi di puncak Go bi san."
Sesungguhnya, memang di dalam hati Siang Cu
merasa malu dan tidak enak terhadap tiga orang kakek ini karena perbuatan suhunya Akan tetapi, sebagai ssorang murid, tidak akan ia menimpakan kesalahan kepada suhunya, bahkan ia harus membela nama baik suhunya.
"Mau bicara apa lagi?" seru Thian Beng Hwesio yang sudah marah sekali sambil mengebutkan kipas Ngo heng san di tangannya ke arah gadis itu.
Kipas ini hebat sekali dan selain tiap ujung batangnya dapat dipergunakan sebagai sen jata runcing yang menembus kulit daging dan tulang serta dapat pula dipergunakan untuk menotok jalan darah dengan cara yang berbahaya sekali bagi fihak lawan, juga dengan tenaga lweekang, kipas ini dapat dikebutkan sedemikian rupa sehingga menimbulkan angin p u k u Ion yang dapat merobohkan seorang lawan yang tidak begitu kuat
Akan tetapi,kini ia menghadapi Ong Siang Cu, dara perkasa yang semenjak kecil digembleng hebat oleh Lam haiLo mo, seorang tokoh besar di dunia persilatan yang sakti. Ketika merasakan sambaran angin yang hebat memukul ke arah dadanya. Siang Cu menggerakkan tangan kirinya, melakukan gerakan menyampok di depan dada dan angin pukulan yang keluar dari sambaran kipas itu dapat dibuyarkan seketika itu juga.
Thian Beng Hwesio menggereng marah melihat pukulannya dipunahkan dengan demikian mudahnya. Ia hendak melompat maju dan melakukan serangan, akan tetapi Thian Seng Hwesio mengangkat tangan mencegahnya, "Nanti dulu, ji sute ( adik seperguruan ke dua ). Biarkan dia bicara sebentar. Masih belum terlambat untuk memberi hukuman padanya."
Kemudian ia berkota kepada Siang Cu, "Kau bicaralah sesukamu, kami akan mendengarkanmu, biarpun kami tak dapat berjanji akan mempercayai semupa kata katamu."
Siang Cu marah dan mendongkol sekali, akan tetapi ia dapat menahan kesabaran hatinya, lalu berkata dengan merengut.
"Kau mendengar atau tidak, terserah kepada sam wi. Mau percaya atau tidak, juga aku tidak ambil pusing. Pokoknya aku harus menerangkan kepada sam wi mengapa kami sampai turun tangan memberi hajaran kepada orang orang Go bi pai, Nah, dengarlah baik baik. Aku dan suhu tadinya bertempat tinggal di atas Pulau Sam liong to, jauh dari dunia ramai, selama hidup kami lak pernah mencampuri urusan orang lain apalagi berurusan dengan orang orang Go bi pai sehingga tidak ada alasan bagi kami untuk memusuhi Go bi pai. Akan tetapi belum lama ini, kami didatangi oleh seoreng anak murid Go bi pai yang bernama Siauw giam ong Lie Chit dan jahanam itu telah minggat dari pulau kami sambil membawa harta simpanan suhu. Nah, bukankah itu sudah sepantasnya kalau suhu dan aku marah dan mencarinya untuk memberi hukuman yang setimpal? Kami tidak tahu ke mana harus mencarinya, akan tetapi oleh karena dia anak murid Go bi pai, kami lalu mencari ke Go bi san. Murid murid sam wi di Go bi san tidak membantu kami dan tidak mau menyerahkan jahanamLie Chit, sebaliknya malahan memaki dan menyerang kami. Itulah sebabnya mengapa suhu menjadi marah dan menghajar mereka."
"Enak saja kau bicara." Thian Serg Hwesio membentak marah. "Kami tidak mempunyai murid bernama Siauw giam ong Lie Chit. Hal ini sudah berkali kali dikatakan oleh murid murid kami Akan tetapi kau dan gurumu tidak percaya dan menjatuhkan tangan maut, mengandalkan kepandaian sendiri. Kelakuanmu dan suhumu seperti kelakuan iblis saja. Oleh karena itu, menyerahlah agar kami tak usah menggunakan kekerasan.Katakan di mana sekarang adanya gurumu, siluman buntung itu."
"Orang tua, jangan sembarangan mengeluarkan makian," kata Siang Cu mendongkol.
"Suhu adalah Lam hai Lo Mo Sian jin Siansu, tiga orang seperti kalian ini mana dapat mengeluarkan kesom bongan di depannya, lebih baik sam wi melupakan saja kesalahfahaman itu, yang sudah biarlah lalu dan selanjutnya harap sam wi lebih keras mendidik murid agar dapat menyambut datangnya tamu dengan lebih hormat."
"Siluman wanita, kau sombong!" seru Thian Beng Hwesio yang sudah tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Kipas Ngo heng Sian di tangannya bergerak cepat, ujungnya menotok ke arah iga kiri Siang Cu dan kaiti kipas yang berwarna lima itu tertutup.
Gerakan serangan Sian jit Kiu cu (Dewa menyambut Mutiara) ini lihai sekati, dan Siang Cu maklum akan hal ini, maka ia lalu berseru nyaring dan pedangnya berkelebat menangkis. Thian Lok Hwesio tidak mau tinggal diam karena ia tahu bahwa gadis ini memiliki kepandaian tinggi Segera ia berseru keras dan tasbeh peraknya menyambar pula melakukan serangan yang tak kalah lihainya.
Tasbeh ini terbuat daripada perak, setiap butir biji tasbeh dapat mendatangkan luka maut pada lawannya. Juga thian Seng Hwesio melihat gerakan Siang Cu yang amat gesit, tidak mau membiarkan dua orang sutenya bersusah payah Sendiri, cepat menggerakkan toyanya dan toya itu terus, mendatangkan angin pukulan yang mengejutkan hati Siang Cu.
Berbahaya Sekali tiga orang lawan ini, pikirnya, terutama sekali toya di tangan Thian Sheng Hwesio. Maklum bahwa ia menghadapi tiga urang lawan yang benar benar tangguh, Siang Cu tidak mau banyak cakap lagi, melainkan ia mengerahkan seluruh perhatian, tenaga dan kepandaian untuk menjaga diri dan balas menyerang.
Pedangnya berobah menjadi gulungan sinar hijau, menjadi satu dengan tubuhnya yang terbungkus pakaian merah sehingga ketika ia mainkan pedangnya dengan cepat, yang kelihatan hanya gulungan besar sinar hijau melingkungi bayangan merah, seperti setangkai bunga mawar merah di antara daun daun hijau.
Siang Cu berusaha keras untuk merobohkan lawan tanpa membunuh mereka, ia tidak tega kalau harus membunuh tiga orang kakek yang dianggap oleh hatinya sama sekali tidak berdosa ini.
Bahkan ia merasa bahwa ia dan suhunya yang bersalah dalam dalam hal ini, sungguhpun untuk menerimasalah dan menyerah menerima hukuman, ia tidak mau.
Namun, jangankan hendak mengalahkan Go bi Sam Thaisu tanpa membunuh mereka.
Andaikata ia bermaksud membunuh merekapun, belum tentu ia bisa. Tingkat ilmu kepandaian tiga orang kakek ini jauh melebihi dia, hanya karena ilmu pedangnya yang aneh, ganas dan cepat sajalah yang membuat sampai begitu lama Siang Cu belum kalah! Senjata tiga orang kakek ini selain aneh, juga merupakan senjata senjata yang terbuat daripada logam yang keras dan kuat sekait, sehingga dapat menandingi Ctieng hong kiam di tangannya.
Setelah bertempur hampir seratus jurus, Siang Cu mulai terdesak hebat! Tiga orang tokoh Go bi pai itu bertempur dengan maksud membunuh, dan hal ini dapat dimaklumi karena tentu saja mereka merasa sakit hati sekali melihat kelenteng mereka dibakar musnah dan banyak murid murid mereka binasa.
Siang Cu benar benar dapat dipuji. Tiga orang lawannya ini bukanlah orang orang se m barangan. Jangankan menua maju bersama, sedangkan untuk melawan seorang di antara mereka saja, orang harus memiliki ilmu silat tinggi.
Namun ketiga Go bi Sam Thaisu sudah amat terkenal sebagai tokoh tokoh yang berkepandaian tinggi dan dunia kang ouw memandang mereka dengan segan dan hormat. Entah sudah berapa banyak lawan jahat dan lihai tunduk dan roboh dalam tangan tiga orang kakek ini. Akan tetapi sekarang, menghadapi seorang gadis muda, biarpun mereka telah mengeroyoknya, dalam seratus jurus masih juga mereka belum dapat mengalahkannya! Ini merupakan hal yang amat memalukan dan merendahkan nama baik mereka dan diam diam mereka harus akui bahwa selama hidup belum pernah mereka temui seorang gadis semuda ini dengan kepandaian sehebat itu. Apalagi karena dalam keadaan terdesak. Siang Cu masih dapat kadang kadang melakukan serangan balasan yang amat berbahaya.
"Siluman jahat yang berbahaya!" Thian Lok Hwesio memaki sambil mengerahkan tenaga, mengerang dengan tasbehnya yang menyambar ke arah kepala Siang Cu. Pada saat hu juga, Thian Beng hwesio menyerang dengan kipasnya ke arah ulu hati gadis itu sedangkan hampir berbareng Thian Seng Hweiio nenyerampangkan toyanya ke urat! Serangan ini hebatnya bukan main dan agaknya Siang Cu yang sudah berada dalam keadaan amat terdesak itu takkan dapat menghindarkan dirinya lagi.
Akan tetapi, ketabahan, keirnangan, dan kegesitan gadis ini menolongnya. Dengan amat cekatan. Siang Cu melakukan gerakan berbareng dengan sepasang tangannya. Tangan kanan yang memegang pedang itu menangkis sambaran tasbeh di kepala, dan lengan kirinya melakukan gerakan o samping menyompok kipas yang menusuk ulu hatinya. Terdengar suara keras dan bunga api berpijar ketika pedang bertemu dengan tasbeh, sedangkan tangan kirinya yang menyampok kipas lalu bergerak dan mengembangkan lima jari tangan yang kecil halus, mencengkeram ke arah kain
kipas itu, namun Siang Cu merasa pinggir telapak tangannya perih dan ternyata kulit telapak tangannya berdarah, terluka oleh kipas itu. Pada saat itu, datanglah toya atau tongkat Ouw t;ar pang dari Thian Seng Hwesio yang menyerampang kakinya dari kanan! Tidak ada waktu lagi untuk melompat atau mengelak, juga kedua tangannya yang baru saja menghindarkan dua serangan tak mungkin menolong kakinya.
Siang Cu amat tabah dan besar hati. Melihat datangnya toya yang akan dapat mematahkan tulang tulang kakinya dengan mudah, ia lalu cepat menggerakkan kaki kanan, diangkat sedikit dan ia menerima datangnya sambaran tongkat itu dengan ujung atau telapak kakinya!
Ketika toya itu sudah mengenai telapak kaki nya, Sian Cu mengerahkan lweekang untuk menolak hawa pukulan lawan sambil mempergunakan ginkang, mengenjot kakinya sehingga tiba tiba tubuhnya terlempar ke atas terdorong oleh desakan pukulan toya itu. Tubuh yang ringan ini melayang ke atas dan Siang Cu cepat mempergunakan gerakan Sin liong hoan sin (Naga Sakti Membalikkan Badan) lalu berpoksai (membuat salto) tiga kali sehingga tubuhnya berputar makin tinggi, kemudian ia melayang turun dengan kepala di bawah dan kaki di atas, sedangkan pedangnya diputar sedemikian rupa di bawah kepalanya sehingga tidak memberi kemungkinan kepada lawan untuk mendesaknya.
Akan tetapi, gerakan Siang Cu ini demikian indah dan lihat, sehingga tiga orang kakek gundul itu lupa untuk mendesaknya, berdiri sambil memandang gadis itu dengan kagum sekali.
"Bagus sekali!" Thian Seng Hwesio tidak terasa berseru memuji.
Akan tetapi ia segera mendesak lagi, bahkan kini Thian Beng Hwesio yang melihat kipasnya robek sedikit, menjadi marah sekali dan menyerang lebih hebat daripada tadi.
Pada saat Siang Cu sudah merasa lelah dan sudah mulai terdesak hebat itu, muncullah Sang Tek Hong. Pemuda ini merasa tidak senang melihat cara pertempuran itu. Seorang gadis muda dikeroyok oleh tiga orang hwesio tua yang memiliki kepandaian tinggi, ketika ia melihat bahwa gadis itubanyak persamaannya dengan Siauw Yang, ia lebih menaruh hati kasihan kepada gadis yang dikeroyok itu. Ia memang sedang gelisah hatinya. Kini melihat gadis iiu dikeroyok dan amat terdesak, ia membayangkan betapa akan bingungnya hati Siauw Yang kalau sekiranya adiknya itu yang mengalami keroyokan. Siapa tahu kalau kalau Siauw Yangpun mengalami nasib seperti gadis yang agaknyapun berada seorang diri ini.
"Sam wi losuhu, tahan dulu!" serunya sambil melompat maju mendekat. Mengeroyok seorang lawan yang begitu muda, sungguh tidak boleh dibilang gagah.
Go bi Sam thaisu sedang marah dan penasaran sekali karena sampai begitu lama mereka belum juga bisa mengalahkan Siang Cu, maka teguran pemuda yang baru datang ini membuat muka mereka menjadi merah saking merasa malu dan juga marah. Apalagi Thian Beng Hwesio yang kipasnya kena dibikin robek oleh Siang Cu. Hwesio ini mengira bahwa pemuda yang datang tentu kawan dari Siang Cu,atau setidaknya kedatangannya merupakan bantuan bagi gadis itu, maka ia melompat, menyerang dengan kipasnya ke arah kepala Tek Hong sambil membentak,
"Jangan mencampuri urusan kami!"
Serangan ini dilakukan dengan hebat, akan tetapi sesungguhnya Thian Beng Hesio hanya hendak menggertak saja. Ia memandang rendah kepada pemuda yang baru tiba, dan iapun tidak mau membunuh orang maka ia hanya hendak menakut nakuti Tek Hong saja.
Akan tetapi, sikapnya ini menimbulkan kesan buruk dalam hati Tek Hong.
Dengan adanya sikap kasar dari Thian Beng Hwesio yang sedang marah, Tek Hong makin merasa yakin bahwa tentu tiga orang hwesio ini adalah orang orang jahat yang mengganggu gadis itu. Kini menghadapi serangan dengan senjata kipas yang dahsyat ia cepat menggerakkan tangan kanan menyampok dan mengerahkan tenaga. Tangannya bergerak memutar dan dengan indahnya ia melakukan gerakan pukulan yang disebut Tui san ciang (Pukulan Mendorong Bukit) Tangannya beradu dengan kipas dan "krak!" sebatang daripada lima batang tulang kipas itu patah dan kain kipas robek lagi ujungnya.
Sesungguhnya, biarpun kepandaian Tek Hong sudah sangat tinggi, namun tidak mungkin dalam segebrakan saja ia berhasil mematahkan batang kipas Thian Beng Hwesio, kalau saja Thian Beng l:wesio berlaku hati hati. Hwesio itu memandang rendah pemuda ini, sama sekali tidak pernah mengira bahwa ia berhadapan dengan putera dari Thian to Kiam ong Song Bun Sam. Maka melihat kipasnya patah, ia menjadi pucat dan marah sekali.
"Manusia jahat, ternyata kau kawan dari siluman rase ini!" bentaknya sambil menyerang terus dengan kipasnya yang kini kainnya telah robek dan baungnya tinggal empat buah lagi. Akan tetapi kini ia menyerang lebih hebat dan hati hati dan biarpun kipas itu telah rusak, namun masih merupakan sebuah senjata yang amat lihai.
"Sabar, losuhu, aku tidak ingin bertempur, hanya kurasa tidak adil mengeroyok nona ini," kata Tek Hong yng cept mengelak. Akan tetapi thian Beng Hwesio mendesak terus sehingga terpaksa Tek Hong mencabut pedangnya untuk mempertahankan diri.
"Losuhu, sekali lagi kuulangi, aku tidak mencari permusuhan, hanya menuntut keadilan melihat nona ini dikeroyok tiga oleh orang orang berkepandaian tinggi seperti kalian," kata Tek Hong dengan suara sabar. Akan tetapi Thian Beng Hwesio yang galak dan sudah marah sekali tidak mau mendengar kata katanya dan menyerang terus dengan hebatnya.
Ilmu pedang Tek Hong adalah ilmu pedang yang pada masa itu merupakan ilmu pedang tiada taranya sehingga ayahnya mendapat julukan Raja Gedang, dan pemuda ini memang memiliki tenaga Iweekang yang besar serta ketenangan gerakan yang membuat ilmu pedangnya menjadi makin masak dan kuat.
Sedangkan Thian Beng Hwesio yang sucah amat lelah ketika mengeroyok Siang Cu tadi, kini ditambah pula dengan rasa penasaran dan marah maka gerakannya mengawur dan nekat, hanya memusatkan gerakan pada serangan dalam nafsunya hendak segera merobohkan lawan.
Maka ketika ia menyerang dengan hebat dengan kipasnya Tek Hong menggerakkan pedang secara luar biasa dan hebat sekali, pedangnya menyambar dan begitu dapat menangkis kipas, lalu digerakkan memutar. Bukan main hebatnya gerakan yang mengandung tenaga menempel ini karena tanpa dapat ditahan pula,Thian Beng Hwesio terpaksa harus mengikuti putaran pedang ini dan kipasnya ikut pula berputaran dengan pedang!
"Lepas senjata!" terdengar Tek Hong berseru sambil mengerahkan tenaga dan.... benar saja kipas itu terlepas dari tan rkata, Sudahlah.... sudahlah pinceng memang harus belajar lagi sepuluh tahun!" esio dan Thian Lok Hwesio cepat mengalihkan ser ah kepalanya, Tek Hong cepat me gan Thian Beng Hwesio dan mencelat ke atas, disambar oleh tangan kiri Tek Hong sehingga kipas itu kini berada di tangan pemuda ini.
"Harap losuhu berlaku sabar dan marilah kita bicara secara baik baik,"kata Tek Hong sambil menyerahkan kembali kipas itu.
Akan tetapi, Thian Beng Hwesio sudah menjadi malu sekali karena kekalahannya yang tak tersangka sangka ini. Ia menerima kipasnya, menggunakan kedua tangan untuk mematahkannya be berapa kali sambil berkata,
"Sudahlah.... sudahlah pinceng memang harus belajar lagi sepuluh tahun!"
Adapun dua orang hwesio lainnya yang masih mengeroyok Siang Cu, ketika melihat betapa saudara mereka kena dikalahkan oleh pemuda yang tara tiba. menjadi kaget dan marah sekali, juga mereka menjadi gelisah. Baru menghadapi dara muda murid Lam hai Lo mo itu saja mereka bertiga sudah tak berdaya, apalagi kalau sekarang datang lawan baru yang agaknya tidak kalah lihainya seperti gadis itu Tanpa banyak cakap lagi. Thian Seng Hwesio dan Thian Lok Hwesio cepat mengalihkan serangannya, kini mereka maju menyerang Tek Hong yang tidak menyangka nyangka sama sekali.
MELIHAT betapa sebatang toya hitam yang berat sekali menyambar ke arah pinggangnya sedangkan seuntai tasbeh putih menyambar ke arah kepalanya, Tek Hong cepat mengge rakkan pedang diputar sedemikian rupa sehingga sekaligus ia dapat menangkis dua serangan yang menuju ke pinggang dan kepala ini.
Kemudian ia cepat melompat ke kanan untuk menjauhi dua orang penyerangnya sambil berkata,
"Eh, eh, ji wi suhu ini benar benar aneh. Aku datang hanya untuk mencegah pertempuran yang berat sebelah dilanjutkan. Tidak kusangka sama sekali, bahkan sam wi memusuhiku dan menyerang hebat. Aku datang bukan bermaksud buruk," biasanya Tek Hong tidak bisa bicara panjang, sekarang ia bicara hanya karena ia merasa amat penasaran melihat sikap tiga orang hwesio yang ia lihat berkepandaian tinggi itu.
Adapun Siang Cu yang kini sudah ditinggalkan oleh dua orang pengeroyoknya, mendapat kesempatan untuk memandang dan melihat pemuda itu dengan baik baik. Ia melihat seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali, dengan sepasang alis seperti dan sepasang mata tajam berpengaruh. Tak terasa lagi ia menjadi tertarik, apa lagi setelah ia mengetahui bahwa pemuda itu telah mengalahkan Thian Beng Hwesio dalam waktu begitu cepat.
Kemudian ia mendengar bahwa kedatangan pemuda ini hanya untuk menolong dia yang tadi dikeroyok, maka merahlahwajah Siang Cu. Ia melompat maju dan menggerak gerakkan pedangnya sambil berkata keras dan sinar matanya ditujukan ke arah Tek Hong dengan tajam,
"Eh, orang lancang! Apa kaukira aku takut menghadapi dua lutung tua ini? Bukan kau seorang saja yang memiliki kepandaian." Setelah melontarkan kata kata keras kepada Tek Hong, Siang Cu lalu menghadapi Thian Seng Hwesio dan Thian Lok Hwesio sambil berkata,
"Kalian ini orang orang tua yang mau memperlihatkan kepandaian mengeroyokku, apakah kalian masih hendak melanjutkan pertempuran? Kalau demikian, majulah, biar kita bertempur lagi sampai seribu jurus!" Kata kata ini ditutup dengan pedang digerakkan cepat di depan dada, merupakan sinar kehijauan yang menyilaukan mata.
"Iblis wanita, kalau tidak dapat mengalahkan kau, pinceng bertiga tidak mau disebut lagi Go bi Sam thaisu!" bentak Thian Lok Hwesio sambil menggerakkan tasbehnya menyerang Siang Cu. Juga Thian Seng Hwesio menggerakkan Ouwtiat pang di tangannya, menghantam kepala gadis itu sekuat tenaga.
Kembali terjadi pertempuran hebat. Melihat dua orang saudaranya sudah maju kembali mengeroyok Siang Cu, Thian Beng Hwesio yang senjatanya sudah ia patahkan tadi ketika ia dikalahkan oleh Tek Hong, menjadi tidak enak kalau tidak membantu, ia merasa kalah dan malu terhadap Tek Hong, akan tetapi terhadap Siang Cu ia belum kalah dan cepat ia lalu mengeluarkan senjata senjata rahasianya berupa touw kut cui (bor penembus tulang).
Senjata rahasia ini bentuknya seperti piauw, akan tetapi ujungnya merupakan bor dan kalau dilepas, jalannya memutar sehingga jangankan tulang manusia, bahkan besipun dapat ditembusnya.
"Rebahlah kau!" bentaknya dan sebatang touw kut cui menyambar ke arah dada Siang Cu.
Gadis ini terkejut sekali. Menghadapi keroyokan tiga orang tadi, ia masih dapat mempertahan kan diri. Akan tetapi setelah Thian Beng Hwesio mempergunakan senjata rahasia, bahayanya menjadi lebih besar karena ia tidak dapat menghadapi lawan ke tiga mi secara langsung,
"Tua bangka curang!" serunya sambil mengelak cepat, akan tetapi gerakan mi mendatangkan kesempatan bagi Thian Seng Hwesio dan Thian Lok Hwesio yang cepat mendesak dengan senjata senjata mereka yang lihai. Kini kedua orang hwesio mi sengaja mengeroyok dan kiri kanan agar memberi kesempatan bagi Thian Beng Hwesio untuk mempergunakan senjata rahasianya.
Berkali kali Thian Beng Hwesio melepaskan am gi (senjata gelap) sedangkan kedua orang bwesio lain menyerang dengan desakan hebat dan kin kanan. Kembali Siang Cu terdesak hebat dan biarpun gadis mi memutar pedangnya sambil memaki maki tiga orang kakek itu, tetap saja ia berada dalam kedudukan amat berbahaya.
Karena sudah lima kali ia melepas touw kut cui tanpa hasil, Thian Beng Hwesio menjadi penasaran sekali. Kini ia tidak mau menyambitkan senjata gelapnya begitu saja melainkan menanti kesempatan baik. Ia mencani ketika dan pada saat Siang Cu sudah terdesak hebat dan berada dalam keadaan yang lemah, ia cepat melemparkan dua batang touw kut cui, sam ke arah leher dan yang ke dua ke arah lambung gadis itu!
Siang Cu terkejut dan tanpa terasa ia berseru!
"Celaka....!" Pedangnya sedang dipergunakan untuk menangkis toya yang menyambar ke atas kepala, sedangkan tangan kininya dipergunakan untuk menyampok datangnya serangan tasbeh.
Untuk senjata rahasia yang menyambar leher, ia dapat menggerakkan kepalanya mengelak, akan tetapi senjata rahasia ke dua agaknya akan mnembusi lambungnya.
Pada saat yang amat berbahaya itu, terdengar suara nyaning den senjata rahasia yang mengancam lambung Siang Cu tiba tiba tentahan lajunya dan runtuh di atas tanah. Sepotong barn hitam melayang dani tempat Tek Hong berdini dan dengan tepatnya menolong nyawa Siang Cu.
Tadinya Tek Hong tertegun ketika mendengar pengakuan Thian Lok Hwesio bahwa tiga orang hwesio tua itu adalah Go bi Sam thaisu. Ia belum pernah bertemu muka dengan tiga orang hwesio ini sebelumnya, akan tetapi nama mereka telah sering kali disebut sebut oleh ayahnya sebagai tokoh tokoh besar, kema kema dan Go bi pai yang besar dan ternama.
Oleh karena inilah maka ia merasa ragu ragu anmk menolong gadis gagah ini dan timbul keheranannya mengapa tokoh tokoh besar seperti Go bi Sam thaisu mengeroyok seorang gadis muda yang memiliki ilmu pedang begim luar biasa.
Akan tetapi ketika ia melihat betapa Thian Beng Hwesio mempergunakan senjata rahasia sehingga keselamatan Siang Cu terancam, ia tidak dapat bertahan diii untuk berpeluk tangan saja. Semenjak tadipun ia telah mengambil tiga potong bam karang hitam yang berada di dekatnya dan dengan batu batu ini ia bersiap sedia membantu. Batu pertama dilepasnya untuk menyelamatkan nyawa Siang Cu ia tidak tinggal diam sampai di situ saja, melainkan mengayun tangan dua kali. Batu ke dua menghantam toya Ouw tiat pang di tangan Thian Seng Hwesio sedangkan bam ke tiga membenmr tasbeh di tangan Thian Lok Hwesio.
Pedang Naga Kemala Eps 19 Pedang Naga Kemala Eps 26 Pemberontakan Taipeng Eps 5