Ceritasilat Novel Online

Asmara Si Pedang Tumpul 3


Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 3




   Dengan membawa hati yang remuk, dari tempat tinggal orang tuanya di kota raja Nan-king, Kui Siang pergi ke Peking untuk memenuhi permintaan Raja Muda Yung Lo, menjadi kepala pasukan pengawal keluarga pangeran atau raja muda itu. Kui Siang bekerja, dengan tekun dan penuh pengabdian, bahkan ia mengganti pasukan thai-kam (laki-laki kebiri) dengan pasukan wanita yang digemblengnya.

   Melihat ketekunan Kui Siang, Raja Muda Yung Lo semakin kagum Raja Muda Yung Lo sejak mengundang dan menjamu Pek-sim lo-kai (Penggmis Tua Hati Putih) Bu Lee Ki yang datang bersama Sin Wan dan Kui Siang, dan melihat Kui Siang, raja muda itu kagum dan tertarik sekali. Dia mendukung Bu Lee Ki untuk menjadi pemimpin besar para kai-pang (perkumpulan pengemis), menawarkan kedudukan panglima kepada Sin Wan, dan kedudukan kepala pengawal keluarga istana kepada Kui Siang. Sin Wan yang patah hati karena penolakan Kui Siang yang memutuskan hubungan cinta di antara mereka, tidak kembali ke Peking, dan Kui Siang yang juga menderita duka itu, untuk menghibur hatinya, kembali ke Peking dan menerima penawaran kedudukan itu

   Selama berada di istana dan bertugas sebagai kepala pengawal keluarga, Kui Siang melihat kenyataan betapa sikap, raja muda itu terhadap dirinya amatlah baiknya. Dari pandang mata raja muda itu ia tahu bahwa pria itu jatuh hati kepadanya. Akan tetapi, biarpun ia sendiri kagum kepada raja muda ini, ia masih tidak mampu melupakan Sin Wan dan karena itu ia bersikap dingin saja sehingga Raja Muda Yung Lo belum berkenan menyatakan isi hatinya.

   Pada malam yang sunyi, gelap dan dingin itu, seperti biasa Kui Siang melakukan perondaan untuk memeriksa anak buahnya agar mereka melakukan penjagaan dengan sebaiknya. Ketika ia melakukan pemeriksaan ke bagian belakang, tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan ke arah gardu penjagaan di belakang dan terdengar jerit seorang wanita pengawal. Kui Siang cepat meloncat ke tempat itu dan mendengar suara seorang berkelahi. Dilihatnya betapa seorang anak buahnya menggeletak mandi darah, dan dua orang pengawal lain sedang berkelahi melawan dua orang berpakaian hitam dan mukanya ditutup sutera hitam yang memiliki kepandaian amat lihai.

   Kui Siang cepat mengeluarkan suling peraknya dan meniupkan isyarat. Suling itu mengeluarkan suara melengking tinggi yang dapat terdengar oleh semua anak buah yang sedang melakukan penjagaan. Ia merasa yakin bahwa sebentar lagi, ditempat itu akan dipenuhi anak buahnya yang berjumlah duapuluh orang lebih. Ia sendiri tidak membantu anak buahnya menghadapi dua orang lawan yang lihai melainkan cepat sekali ia meloncat ke dalam dan menuju ke arah ruangan di mana dapat kamar Raja Muda Yung Lo dan keluarganya. Kui Siang maklum bahwa dalam keadaan bahaya, maka ia dapat memastikan bahwa sasaran utama musuh tentulah sang raja muda. Oleh karena itu, ia membiarkan anak buahnya yang menghadapi penyerbu, sedangkan ia sendiri harus menjaga keselamatan raja muda dan keluarganya.

   Perhitungannya ternyata tepat. Baru saja ia tiba di depan kamar sang raja muda, tiba-tiba nampak bayangan hitam berkelebat seperti seekor burung besar melayang turun ke dalam ruangan yang nampaknya sunyi itu.

   "Penjahat keji, menyerahlah engkau!" bentak Kui Siang sambil meloncat keluar menghadapi bayangan hitam itu. Bayangan itu memakai pakaian serba hitam, mukanya dari hidung ke bawah tertutup kain sutera hitam. Yang nampak hanya sepasang matanya yang mencorong tajam. Tubuh itu tinggi kurus dan gerakannya tadi ringan dan gesit.

   Bayangan itu agaknya kaget melihat Kui Siang. Tadinya dia mengira bahwa dua orang kawannya yang memancing keributan di gardu penjagaan belakang itu tentu akan menarik semua pengawal ke sana sehingga dia akan leluasa bergerak membunuh raja muda. Siapa kira, pemimpin pasukan pengawal yang dia dengar memiliki ilmu kepandaian tinggi ini bahkan tiba-tiba muncul di situ. Tanpa banyak cakap lagi bayangan itu mencabut pedangnya dan menyerang dengan dahsyat, menusuk ke dada Kui Siang.

   "Singgg........" saking kuatnya tusukan itu, pedang mengeluarkan suara berdesing ketika lewat di samping tubuh Kui Siang yang mengelak dengan gerakan cepat. Namun pedang yang luput dari sasaran itu membalik, kini menyambar dan membacok ke arah leher!

   Kui Siang terkejut juga. Ternyata penyerang ini memang lihai dan memiliki gerakan pedang yang cepat dan kuat. Iapun meloncat ke belakang sambil mencabut Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari) peninggalan mendiang Kiam-sian (Dewa Pedang). Nampak sinar menyilaukan mata ketika pedang itu tercabut. Ketika Kui Siang memutar pedangnya, lenyaplah bentuk pedang berubah menjadi gulungan sinar yang membuat ruangan itu nampak lebih terang. Itulah ilmu pedang Sinar Matahari yang amat hebat.

   "Ihh......" Si kedok hitam itu mengeluarkan seruan kaget, akan tetapi diapun sama sekali bukan orang lemah. Pedangnya berkelebatan, menangkis dan balas menyerang sehingga dalam waktu singkat saja keduanya telah saling serang dengan mati-matian!

   Setelah mereka bertanding selama duapuluh lima jurus, tahulah Kui Siang bahwa lawannya bukan orang sembarangan. Pembunuh ini adalah seorang ahli pedang yang tangguh, maka iapun mengimbangi permainan pedangnya dengan bantuan tangan kirinya yang kini ikut menyerang dengan tebasan-tebasan tangan miring. Setiap kali tangan kirinya menyambar, terdengar suara bersiut dan tangan itu amat berbahaya karena ia telah mempergunakan ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang menotok seperti tusukan pedang..

   Pintu kamar besar keluarga raja muda itu terbuka dan muncullah Raja Muda Yung Lo dengan pedang di tangan. Juga dari kanan kiri bermunculan para pengawal pribadi, akan tetapi ketika para pengawal itu hendak mengeroyok si kedok hitam, Raja Muda Yung Lo memberi isyarat dengan tangan agar mereka tidak bergerak. Agaknya raja muda yang juga memiliki kepandaian lumayan itu dapat melihat betapa Kui Siang tidak kalah oleh si kedok hitam, maka dia ingin menonton pertandingan hebat itu! Para pengawal itu hanya mengepung ruangan itu, tidak memberi jalan kepada lawan untuk lolos

   Agaknya si kedok hitam maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya, maka dia berlaku nekat, menyerang dengan lebih gencar dengan maksud agar kalau dia tewaspun dia akan mampu membunuh lawannya ini.

   Akan tetapi Kui Siang juga maklum akan kehadiran Raja Muda Yung Lo, maka dia mengerahkan seluruh tenaga dan keandaiannya, terus mendesak lawan.

   Si kedok hitam yang menerima tugas rahasia membunuh Raja Muda Yung Lo, melihat kesempatan baik karena raja muda itu berdIri di situ, menonton perkelahian. Diam-diam dia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dengan tangan kiri dan setelah mendapat kesempatan baik, tangan kirinya bergerak cepat menyambitkan tiga buah thi-lian-ci (biji teratai besi), yaitu senjata rahasia berbentuk biji teratai terbuat dari pada besi.

   "Awas, Yang Mulial" Kui Siang berseru kaget, akan tetapi pedangnya bergerak cepat sekali menghantam pedang lawan karena saat itu lawan sedang mencurahkan perhatian untuk menyerang Raja Muda Yung Lo.

   Akan tetapi, Raja Muda Yung Lo bukan seorang lemah. Dia pernah belajar ilmu silat, bahkan selama ini dia menjadi panglima yang memimpin pasukan besar yang menggempur sisa-sisa pasukan Mongol di daerah utara. Dia sudah mengalami banyak pertempuran, dan kalau hanya diserang senjata rahasia seperti itu saja, bukan merupakan hal berbahaya baginya. Tanpa diperingatkan Kui Siangpun, dia tidak akan mudah dirobohkan dengan serangan senjata rahasia thi-lian-ci. Dia sudah memutar pedangnya dan tiga buah thi-lian-ci itupun terpukul runtuh. Sebaliknya, pedang di tangan penyerang itu terlepas dan terpental ketika dipukul pedang Kui Siang sehingga kini si kedok hitam tidak lagi memegang senjata.

   Agaknya dia tahu bahwa akan sia-sia melarikan diri, maka diapun berkata dengan suara angkuh kepada Kui Siang,

   "Kalau memang engkau gagah, mari kita melanjutkan pertandingan dengan tangan kosong!"

   Kui Siang mengerutkan alisnya. Ia tidak sedang mengadu ilmu menguji kepandaian masing-masing, melainkan sedang menghadapi seorang penjahat yang hendak membunuh Raja Muda Yung Lo, maka tentu saja ia tidak beminat melayani tantangan orang yang sudah terdesak dan tinggal menangkap saja itu. Akan tetapi ketika ia menoleh ke arah raja muda itu, ia melihat raja muda itu mengangguk dan tersenyum kepadanya lalu berkata,

   "Nona Lim, aku ingin sekali melihat engkau mengalahkan jahanam ini dalam pertandingan tangan kosong."

   Kui Siang sudah mengenal watak Yung Lo yang suka sekali akan kegagahan. Tentu kini Yung Lo ingin melihat adu kepandaian karena si penyerang itu cukup tangguh. Dan iapun yakin banwa raja muda itu sudah bersiap-siap bersama para pengawalnya kalau sampai ia terdesak atau terancam bahaya.

   "BAIK, Yang Mulia," katanya dan iapun menyimpan kembali Jit-kong-kiam, menghadapi penjahat itu dengah tangan kosong. Ia tahu bahwa penjahat itu lihai, maka begitu menghadapinya, ia telah mengerahkan tenaga untuK memainkan Sam-sian Sin-ciang, ilmu peninggalan tiga orang gurunya yang amat ia andalkan. Karena Sam-sian Sin-ciang mengandung unsur ilmu-ilmu ke tiga orang Sam-sian, maka selain dalam kedua tangan gadis itu mengandung tenaga Thian-te Sin-kang (Tenaga Sakti Langit Bumi), juga kedua telapak tangan mengepulkan uap putih karena ilmu itu mengandung pula Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sakti Awan Putih) dari Pek-mau-sian Thio Ki.

   Melihat gadis itu benar-benar menghadapinya dengan tangan kosong si kedok hitam menjadi berani dan nekat. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring, diapun menerjang dengan gerakan nekat sehingga seluruh tenaga dan kepandaiannya dia kerahkan untuk membunuh lawan. Dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat lolos dan entah bagaimana pula nasib dua orang rekannya. Maka, sebelum tertawan dan dibunuh, dia harus dapat lebih dulu membunuh lawannya ini sehingga matinya tidak akan sia-sia.

   Akan tetapi, segera dengan pahit dia melihat kenyataan bahwa kalau tadi ketika mereka bertanding dengan pedang mereka masih dapat dibilang seimbang, kini setelah bertanding dengan tangan kosong, dia mendapat kenyataan bahwa gadis itu hebat bukan main ilmu silat tangan kosongnya. Kedua tangan yang mengepulkan uap putih itu mengandung tenaga yang membuat dia tergetar setiap kali mereka beradu lengan. Dan betapapun dia mendesak dan menerjang bertubi-tubi dengan cepat, tetap saja dia tidak mampu menyentuh tubuh lawannya yang bergerak luar biasa cepatnya, dengan langkah berputar-putar, yang aneh. Tiba-tiba saja tubuh lawannya lenyap dan tahu-tahu telah berada di kanan, kiri atau belakangnya.

   Setelah lewat tigapuluh jurus, si kedok hitam merasa pening, matanya berkunang dan gerakannya kacau sehingga dia tidak lagi dapat melindungi dirinya dengan baik. Kesempatan itu dipergunakan oleh Kui Siang untuk menghantamkan tangan kanannya ke arah kepala lawan. Ketika lawannya mengelak ke sebelah kirinya, ia menyambut dengan serangan intinya, yaitu jari tangannya yang kiri menotok. Terdengar bunyi bercuitan ketika ia menggunakan ilmunya yang mengandung totokan Kiam-ci (Jari Pedang) dan tubuh lawan itupun roboh terjengkang. Saking cepatnya gerakan jari tangan gadis itu, sukar dilihat dan tahu-tahu si topeng hitam itu terjengkang roboh dan tewas seketika karena tepat di tengah dahinya telah tertembus jari tangan Kui Siang yang pada saat ia menggunakan ilmunya, tiada ubahnya sebatang pedang runcing.

   Raja Muda Yung Lo bertepuk tangan memuji dengan hati girang dan kagum.

   "Bagus sekali, Nona Lim."

   "Yang Mulia, masih ada dua orang penyerbu di belakang. Hamba akan melihatnya ke sana!" kata Kui Siang dan tanpa menanti jawaban raja muda itu, iapun sudah meloncat dengan cepat menuju ke belakang. Akan tetapi setelah tiba di gardu penjagaan, ia merasa kecewa. Ada enam orang anak buahnya terluka, akan tetapi dua orang yang dikeroyok anak buahnya tadi dapat meloloskan diri walaupun menurut keterangan anak buahnya, dua orang itu lari sambil membawa luka di tubuh mereka.

   Ketika kedok sutera hitam itu dibuka dari wajah orang yang telah tewas, tidak ada yang mengenalnya, akan tetapi dari bentuk wajahnya, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang Mongol atau setidaknya peranakan Mongol. Memang setelah menjajah selama hampir satu abad lamanya, bangsa Mongol telah mempelajari banyak sekali ilmu-ilmu penduduk pribumi, bahkan banyak di antara mereka yang menjadi jagoan ahli silat yang tangguh.

   Pada keesokan harinya, setelah selesai mengadakan rapat pertemuan dengan para hulubalang, Raja muda Yung Lo masuk ke dalam ruangan duduk di belakang, lalu dia memanggil Kui Siang agar datang menghadap karena ada urusan penting yang hendak dia bicarakan.

   Ketika Kui Siang memasuki ruangan duduk di belakang, ruangan di mana raja muda itu suka mengadakan latihan silat, ia melihat Raja Muda Yung Lo dalam pakaian ringkas, pakaian olah raga, duduk seorang diri di situ. Tidak nampak seorangpun pengawal di ruangan itu, maupun di luar ruangan. Hal ini mengejutkan dan mengherankan hati Kui Siang yang menganggap raja muda itu sungguh kurang hati-hati membiarkan diri sendiri tanpa dikawal. Dikiranya bahwa raja muda itu akan mengajaknya berlatih silat, karena biasanya raja muda itu suka berbincang-bincang, bahkan berlatih silat dengannya.

   "Yang Mulia, hamba tidak melihat seorangpun pengawal di sini. Sungguh berbahaya paduka berada seorang diri saja...""

   Raja Muda Yung Lo tersenyum dan memberi isyarat dengan tangan agar wanita itu mengambil tempat duduk.

   "Kui Siang, duduklah. Mengapa berbahaya? Aku berada di dalam istana yang terkurung penjagaan rapat. Pula, aku bukan anak kecil atau orang lemah. Tidak suka aku ke mana-mana harus dijaga pengawal. Pula, aku ingin berdua saja denganmu, ada yang hendak kubicarakan denganmu."

   Wajah gadis itu berubah kemerahan. Biasanya pangeran-itu menyebutnya nona atau Nona Lim, kenapa sekarang menyebut namanya begitu saja? Perubahan sebutan yang bukan tidak menyenangkan karena lebih akrab, akan tetapi juga membuat ia tersipu.

   "Yang Mulia hendak membicarakan kepentingan apakah dengan hamba?" tanyanya dengan suara biasa saja sambil duduk menghadapi raja muda itu, terhalang sebuah meja.

   Raja Muda Yung Lo memandang wajah Kui Siang, dan beberapa kali menarik napas panjang, agaknya sukar baginya untuk bicara. Yung Lo merupakan seorang pangeran yang sejak dia kecil mengenal perjuangan ayahnya, mengenal perang. Bahkan dia, setelah dewasa, merupakan seorang di antara pangeran yang paling rajin membantu ayahnya untuk memperkuat kedudukan Kerajaan Beng yang baru. Dia merupakan pangeran yang paling berjasa, paling cakap mengatur pasukan, maka oleh ayahnya, Kaisar Thai-cu pendiri Kerajaan Beng, dia dipercaya untuk memimpin pertahanan yang paling berat dan penting, yaitu pertahanan terhadap bangsa Mongol yang tentu saja selalu berusaha untuk membangun kembali kekuasaan mereka di selatan yang sudah runtuh.

   Karena kemampuannya, dia diangkat menjadi raja muda oleh kaisar, dan diberi hak dan kekuasaan di utara, dengan ibu kota Peking. Dan ternyata memang dia mampu. Raja muda yang usianya tigapuluh tahun lebih ini memang gagah, alisnya berbentuk golok, matanya dengan kedua ujung agak menyerong ke atas itu lebar dan tajam sinarnya, hidungnya besar, mulutnya dan dagunya membayangkan keteguhan hati dan kemampuan besar, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi. Pendeknya, wajah seorang laki-laki jantan.

   Setelah beberapa kali menarik napas panjang dan nampak ragu, akhirnya raja muda itu berkata,

   "Kui Siang, sungguh aku sendiri merasa heran mengapa terasa amat berat dan sukar bagiku untuk bicara sekali ini. Selama hidupku belum pernah aku merasa begini tegang, dan hal ini saja sudah membuktikan kepadaku bahva memang aku bicara dari hatiku, bukan sekedar bicara saja. Nah, ketahuilah, bahwa sejak pertama kali bertemu denganmu, ketika engkau datang bersama Sin Wan dan Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki, aku merasa kagum sekali padamu. Karena kekagumanku, maka aku mengangkatmu menjadi kepala pengawal keluarga dan ternyata pilihan dan keputusanku itu memang tepat. Engkau bekerja dengan baik, dapat membentuk pasukan pengawal wanita yang kuat dan dapat dipercaya, bahkan malam tadi, engkau dan pasukanmu yang berhasil menahan pembunuh-pembunuh yang dapat menyelinap masuk mengelabui para perajurit pengawal pria di luar istana."

   "Hamba hanya melaksanakan tugas, Yang Mulia. Sayang bahwa dua orang di antara para penjahat itu lolos. Mereka adalah orang-orang tangguh dan pasukan hamba yang belum menguasal ilmu silat tinggi bukan lawan mereka."

   Raja Muda Yung Lo tersenyum dan pandang matanya semakin terkagum. Gadis ini selain cantik jelita, manis budi, lihai ilmu silatnya, masih ditambah lagi rendah hati. Semua sifat inilah yang membuat dia terkagum-kagum dan dia sudah mengambil keputusan bulat sebelum memanggil Kui Siang.

   "Sudahlah, Kui Siang. Bagaimanapun juga pasukanmu itu telah berjasa besar, dan terutama sekali engkau sendiri. Aku ingin sekali mengutarakan isi hatiku kepadamu, dan sebelumnya kalau pernyataanku ini menyinggung perasaanmu, kuharap engkau suka memaafkan aku, Kui Siang. Aku suka akan kejujuran, keterus-terangan, dari pada menyimpan sesuatu di hati, dan aku tidak ingin memaksakan kehendak dan keinginan hatiku kepada orang lain, terutama sekali kepadamu. Jadi, kalau nanti ucapanku ini tidak berkenan di hatimu, anggap saja tidak ada dan tetaplah bekerja seperti biasa. Engkau mau berjanji demikian?"

   Kui Siang mengangguk, jantungnya berdebar tegang.

   "Katakanlah, Yang Mulia."

   "Kui Siang, setelah engkau bekerja di sini, kekagumanku bertambah-tambah, dan akhirnya aku melihat kenyataan bahwa aku telah jatuh cinta kepadamu. Belum pernah selama hidupku aku melakukan pinangan secara langsung kepada seorang gadis, akan tetapi sekali ini aku melanggar semua hukum adat yang berlaku. Aku meminangmu untuk menjadi isteriku, seorang di antara selirku, dengan demikian aku akan selalu bersamamu tanpa khawatir pada suatu hari engkau akan berpisah dariku."

   Kui Siang menundukkan mukanya yang sebentar pucat sebentar merah. Dipinang seorang raja muda! Biarpun hanya dipinang menjadi selir karena raja muda itu sudah beristeri dan mempunyai beberapa orang selir, namun hal itu sudah merupakan suatu kehormatan yang tak pernah ia mimpikan. Raja muda ini seorang pangeran! Dan harus ia akui bahwa ia juga kagum sekali kepada Yung Lo.

   Hanya ada satu hal, malah ada dua hal yang membuat ia menunduk dengan hati seperti ditusuk. Pertama ia merasa bahwa hatinya telah menjadi milik Sin Wan ia mencinta Sin Wan dan sampai sekarangpun ia masih mencinta pemuda itu walaupun rasa baktinya terhadap orang tuanya tidak memungkinkan ia menikah dengan anak tiri pembunuh ayahnya. Dan kenyataan kedua adalah bahwa biarpun ia amat kagum dan hormat kepada Raja Muda Yung Lo, akan tetapi ia tidak mencintanya.

   Yang membuat ia bingung sekali adalah karena ia tidak berani atau tidak tega untuk menolak. Ia tahu bahwa betapa bijaksana pun Raja Muda Yung Lo, akan tetapi sebagai seorang laki-laki yang ditolak cintanya oleh seorang wanita, tentu raja muda itu akan tersinggung, akan merasa diremehkan, malu dan terpukul. Ia menjadi serba salah.

   Menerima pinangan itu berarti bertentangan dengan perasaan hatinya. Menolak berarti menyinggung perasaan orang yang dijunjung dan dihormatinya, dan setelah menolak, rasanya tidak mungkin lagi mempertahankan pekerjaannya sebagai pengawal pribadi di situ. Apa yang harus ia lakukan?

   Raja Muda Yung Lo mengamati wajah yang menunduk itu dan sinar matanya memandang penuh selidik. Sebagai orang yang berpengalaman, tanpa mendengar jawaban dengan kata-katapun dia tahu bahwa pernyataannya tadi mengguncang hati Kui Siang dan membuat gadis itu merasa canggung, serba salah dah agaknya sukar untuk mengambil keputusan.

   "Kui Siang, engkau tidak perlu bingung menghadapi pinanganku. Ketahuilah bahwa selama ini aku tidak pernah meminang gadis, dan semua wanita yang menjadi isteri dan selir-selirku, hanya dihubungi seorang perantara yang menjadi utusan dan tak seorangpun di antara mereka ragu-ragu untuk menerima pinanganku. Akan tetapi engkau lain Kui Siang. Aku tahu bahwa engkau adalah seorang gadis dari dunia persilatan, walaupun dahulu engkau puteri bangsawan. Karena itu, aku melamar sendiri dan engkaupun bebas untuk menentukan jawabanmu. Andaikata engkau tidak setuju dan tidak dapat menerima pinanganku, jangan takut untuk memberi jawaban sejujurnya"

   Mendengar ucapan raja muda itu, Kui Siang mengangkat muka memandang, Sejenak dua pasang mata bertemu pandang, bertaut dan akhirnya Kui Siang yang menundukkan mukanya.

   "Yang Mulia, maafkan hamba. Semua ini begitu tiba-tiba datangnya, dan tidak tersangka-sangka. Bagaimana mungkin hamba dapat menjawab seketika? Perkara ini menyangkut masa depan kehidupan hamba, sudah selayaknya kalau dipikirkan masak-masak sebelum menjawab, apalagi paduka menghendaki agar hamba menjawab dengan sejujurnya."

   Raja Muda Yung Lo mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya yang rapi. Dia semakin kagum karena jawaban Kui Siang itu membuktikan bahwa gadis ini memang bijaksana dan jujur.

   "Baiklah, Kui Siang. Aku mengerti dan memang engkau benar. Nah, kuberi waktu sebulan kepadamu. Cukupkah waktu itu?"

   Kui Siang menarik napas lega dan memandang kepada raja muda itu dengan sinar mata berterima kasih.

   "Terima kasih, Yang Mulia. Satu bulan sudah lebih dari pada cukup bagi hamba untuk mempertimbangkan dan memikirkannya."

   "Nah, sekarang jangan pikirkan lagi pembicaraan kita tadi. Mari kita berlatih, dan aku ingin sekali mengenal lebih baik ilmu silat tangan kosong yang kaupergunakan untuk mengalahkan pembunuh malam tadi. Belum, pernah aku melihat engkau memainkannya. Silat apakah itu?"

   Kini sikap raja muda itu sudah berubah sama sekali, pulih seperti biasa ramah dan sikap ini membuat Kui Siang amat bersyukur karena ia tidak merasa rikuh dan canggung lagi. Raja muda ini memang seorang laki-laki pilihan, bukan perayu, bukan pula pria yang suka menggunakan kekuasaan harta maupun kedudukan untuk menundukkan wanita dan mematahkan perlawanan mereka. Ia dapat membayangkan betapa boleh dibilang setiap orang wanita akan menyambut pinangannya dengan hati dan tangan terbuka. Siapa tidak akan merasa bangga menjadi isteri atau selir pangeran yang kini menjadi raja muda, seorang laki-laki jantan yang selain berkedudukan tinggi, berwajah ganteng, gagah perkasa, juga jujur dan tidak congkak ini?

   "Sin Wan...".!" nama ini bergema terus, bahkan keluar dari bisikan mulutnya ketika ia sudah rebah seorang diri di dalam kamarnya. Pinangan Raja Muda Yung Lo mengundang kenangan lama dan membuat wajah Sin Wan terus saja terbayang di depan matanya. Sekuat tenaga hatinya ia mencoba untuk mengusir bayangan itu, namun semakin diusir, semakin jelas nampak wajah suhengnya itu.

   Engkau bodoh, demikian ia memaki diri sendiri. Bagaimana dalam keadaan menerima pinangan seorang laki-laki seperti Raja Muda Yung Lo, ia malah mengenang pemuda seperti Sin Wan itu? Seorang pemuda yang menurut para paman dan bibinya sama sekali tidak pantas menjadi suaminya! Menurut mereka, Sin Wan adalah seorang pemuda yang berdarah bangsa liar, bukan pribumi, keturunan bahkan berdarah Uighur, bangsa biadab, selain itu juga dia seorang pemuda yang tidak mempunyai apa-apa, pangkat tidak hartapun tidak. Apa yang diandalkannya untuk merjadi suaminya?

   "Aih, mereka itu orang-orang tamak, mata duitan dan gila pangkat," ia membela Sin Wan.

   Akan tetapi, satu hal yang membuat ia mengenang Sin Wan dengan hati tidak senang adalah kenyataan bahwa suhengnya itu adalah putera dari mendiang Se Jit Kong. Iblis Tangan Api, datuk sesat yang teramat jahat, yang telah membunuh ayahnya dan menghancurkan keluarga ayahnya. Bahkan kakek Bu Lee Ki, pemimpin semua Kai-pang yang bijaksana itupun menjauhkan diri dari Sin Wan setelah mengetahui bahwa Sin Wan putera Se Jit Kong! Bagaimana mungkin putera seorang datuk jahat seperti itu, walaupun hanya putera tiri, dapat menjadi seorang yang baik dan tidak akan mewarisi watak Se Jit Kong yang jahat?

   Lalu terbayang wajah Sin Wan. Terbayang pemuda yang bertubuh tinggi tegap, berkulit gelap, wajahnya jantan dan tampan gagah. Dahinya lebar, alisnya tebal berbentuk golok seperti alis Raja Muda Yung Lo, matanya lebar bersinar-sinar, hidungnya tinggi mancung agak besar, mulutnya membayangkan keteguhan hati. Tubuh itu sedang besarnya, bahunya bidang, tegap, langkahnya seperti langkah harimau.

   "Sin Wan......," ia menghela napas panjang. Ia mencinta suhengnya itu, pernah mencintanya dan masih tetap mencintanya dan mungkin takkan pernah mampu melupakannya. Baginya, kemiskinan Sin Wan, kebangsaannya, kenyataan bahwa dia miskin, papa dan tidak memiliki kedudukan, bukan apa-apa. Akan tetapi, dia putera Se Jit Kong!

   "Sin Wan...".!" ia mengeluh sebelum akhirnya pulas dan dalam tidurpun ia bermimpi, bertemu kembali dengan Sin Wan dan dalam mimpi itupun ia tetap mencinta Sin Wan.

   Kita tinggalkan dulu Kui Siang yang gelisah mempertimbangkan pinangan Raja Muda Yung Lo. Untung baginya bahwa Raja Muda Yung Lo memberi waktu sebulan kepadanya, cukup lama baginya untuk mempertimbangkan dengan masak sebelum memberi jawaban yang pasti.

   Apa yang menjadi persangkaan Raja Muda Yung Lo dan para pembantunya bahwa pembunuh yang tewas di tangan Kui Siang itu adalah seorang mata-mata Mongol, memang tepat. Beberapa hari sejak kegagalan tiga orang pembunuh yang berhasil menyusup ke istana Raja Muda Yung Lo itu, dalam sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi, di puncak sebuah bukit yang sunyi, nampak berkelebatnya bayangan beberapa orang memasuki kuil tua.

   Di dalam ruangan belakang kuil tua itu telah duduk menanti seorang laki-laki yang pakaiannya serba hitam, tubuhnya tinggi besar dengan perut gendut. Akan tetapi, wajahnya tertutup topeng hitam pula, terbuat dari sutera yang hanya memperlihatkan sepasang matanya yang tajam mencorong. Karena kepalanya juga tertutup, sukarlah menaksir bagaimana bentuk wajahnya dan berapa kira-kira usianya. Namun, mata itu sungguh berwibawa dan tajam menyeramkan. Dan di luar kuil tua, di empat penjuru, nampak penjaga yang bersembunyi, yang mengamati keadaan kuil dan mereka melihat dengan teliti siapa mereka yang datang memasuki kuil di siang hari itu. Dari tempat mereka berjaga kalau ada orang menuju kuil, baru mendaki puncak bukit itu saja sudah kelihatan sehingga tempat itu benar-benar aman, tidak mungkin dapat dikunjungi orang luar tanpa mereka melihatnya.

   Beberapa bayangan orang yang berkelebat memasuki kuil itu ternyata merupakan lima orang yang dari gerakan mereka mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka ini memang merupakan lima orang tokoh sesat yang namanya sudah amat terkenal, terdiri dari lima orang saudara seperguruan yang masing-masing memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali permainan golok besar mereka. Mereka dikenal sebagai Hek I Ngo-liong (Lima Naga Baju Hitam) dan ke limanya memang mengenakan pakaian serba hitam, walaupun bukan terbuat dari sutera hitam halus seperti yang dipakai laki-laki yang duduk di ruangan belakang kuil itu.

   Hek I Ngo-liong terdiri dari Coa Ok berusia limapuluh tiga tahun yang bertubuh gendut, dengan adik kandungnya bernama Coa Kun berusia limapuluh tahun yang bertubuh pendek dengan kepala botak. Orang ke tiga dan ke empat juga dua orang kakak beradik, bernama Bhe It berusia limapuluh tahun yang tinggi kurus dan Bhe Siu berusia empatpuluh lima tahun yang wajahnya tampan dan pesolek. Adapun orang ke lima bernama Kwan Su berusia empatpuluh tahun, tubuhnya sedang akan tetapi wajahnya paling jelek karena hitam dan penuh cacat bekas cacar. Masing-masing memiliki ilmu golok yang tangguh, apalagi mereka biasa maju bersama, maka dapat dibayangkan betapa lihai mereka kalau maju bersama sebagai to-tin (barisan golok), sukar dapat dikalahkan lawan.

   Belasan tahun yang lalu, ketika terjadi perebutan benda-benda pusaka istana kaisar yang dicuri Se Jit Kong kemudian terjatuh ke tangan Sam-sian, Hek I Ngo-liong itu pernah mencoba untuk merampasnya dari tangan Sam-sian. Akan tetapi, mereka bukan tandingan Sam-sian. Biarpun mereka maju berlima menghadapi mendiang Kiam-sian, Dewa Pedang yang semula terdesak itu akhirnya dapat mengalahkan mereka.

   Kalau seorang Dewa Pedang saja baru dengan susah payah dapat mengalahkan mereka, maka dapat dibayangkan betapa tangguhnya lima orang Naga Baju Hitam ini! Mereka tangguh, kejam, tidak mau tunduk kepada siapapun juga, bahkan congkak. Akan tetapi kalau ada orang yang mengenal mereka dan melihat sikap mereka ketika memasuki ruangan belakang kuil tua dan berhadapan dengan si kedok hitam yang duduk di atas kursi, orang akan merasa heran. Lima orang Hek I Ngo-liong itu memberi hormat dengan sikap yang merendah sekali. Mereka mengangkat kedua tangan ke depan dada, lalu membungkuk sampai pinggang mereka terlipat ke depan, dan dengan irama kacau mereka menyebut "Yang Mulia" kepada orang berkedok itu!

   Tanpa bangkit dari tempat duduknya, dengan sikap penuh wibawa, orang berkedok itu memandang lima orang pendatang dengan sinar matanya yang mencorong penuh selidik, lalu mengangguk dan terdengar suaranya yang dalam dan parau, namun kata-katanya teratur rapi seperti cara bicara seorang bangsawan tinggi.

   "Selamat datang, Hek I Ngo-liong. Duduklah kita masih menanti datangnya beberapa rekan lagi."

   "Baik Yang Mulia," kata Coa Ok mewakili mereka berlima dan merekapun mengambil tempat duduk. Di situ telah diatur bangku-bangku yang mengelilingi sebuah meja besar. Karena orang berkedok itu hanya duduk dengan tegak, tidak memandang lagi kepada mereka, juga tidak mengeluarkan sepatah kata lagi, diam seperti patung, Hek I Ngo-liong juga duduk diam. Bahkan lima orang yang biasanya acuh dan tidak menghormati orang lain ini, yang biasa bersikap kasar dan mau menang seperti lima ekor tikus berhadapan dengan seekor kucing yang galak. Mereka mati kutu dan tidak berani bergerak!

   Memang mengherankan sekali. Akan tetapi kalau orang sudah tahu siapa si kedok hitam ini, tentu mereka mengerti mengapa Hek I Ngo-liong bersikap demikian takut. Mereka berlima juga tidak pernah melihat wajah aseli si kedok hitam dan hanya mengenalnya sebagai "Yang Mulia" saja. Mereka hanya tahu bahwa si kedok hitam ini memiliki kepandaian tinggi, juga mempunyai anak buah yang rata-rata lihai bukan main. Yang membuat dia ditakuti adalah karena mudah saja dia membunuh orang, akan tetapi juga mudah memberi hadiah yang luar biasa royalnya.

   Hek I Ngo-liong sendiri sudah banyak menerima hadiah dari Yang Mulia, dan mereka tahu bahwa mereka berlima sama sekali bukan tandingan dari orang aneh itu. Mereka juga tahu bahwa Yang Mulia ini merupakan seorang di antara para pimpinan yang berusaha untuk membangun kembali Kerajaan Mongol! Mereka bekerja secara rahasia, namun telah membuat jaringan yang kuat, mempunyai banyak anak buah yang dijadikan mata-mata dan tersebar di mana-mana.

   Tak lama kemudian, nampak ada dua bayangan orang berkelebat dan muncul dua orang yang berpakaian ringkas, keduanya bertubuh tinggi kurus dan melihat usia mereka, tentu mereka berusia sekitar empatpuluh tahun. Namun wajah keduanya pucat dan biarpun gerakan mereka masih ringan dan cepat, namun yang seorang agak terpincang dan seorang lagi membongkok. Ternyata keduanya menderita luka, seorang terluka di paha dan seorang lagi di punggung. Begitu tiba di ruangan itu, keduanya menjatuhkan diri dan memberi hormat dengan setengah berlutut kepada Yang Mulia.

   Sepasang mata di balik kedok itu berkilat menyambar.

   "Kalian yang telah gagal menunaikan tugas, duduklah dulu."

   Dengan wajah nampak pucat kedua orang itu bangkit, menggumamkan terima kasih lalu duduk di sudut terjauh dari tempat duduk si kedok hitam. Suasana sunyi, bukan saja amat mencekam bagi dua orang itu, melainkan Hek I Ngo-liong yang biasanya tabah itupun nampak saling pandang dan jelas bahwa merekapun merasa tegang.

   Tak lama kemudian berkelebat bayangan lain dan di situ telah berdiri seorang laki-laki yang tubuhnya tinggi kurus, usianya enampuluh tahun lebih dan di punggungnya nampak sarung pedang yang terisi dua batang pedang pasangan. Begitu tiba di ruangan itu, ruangan itu dengan pandang matanya, kemudian melangkah maju menghadapi si kedok hitam dan memberi hormat dengan merangkap, kedua tangan depan dada.

   "Yang Mulia, saya datang mewakili semua saudara saya seperti yang dikehendaki Yang Mulia."

   Orang berkedok itu memandang sejenak lalu mengangguk-angguk.

   "Engkau yang dijuluki Bu-tek Kiam-mo (Iblis Pedang Tanpa Tanding), bukan? Engkau mewakili Bu-tek Cap-sha-kwi (Tiga belas Setan Tanpa Tanding)? Duduklah!"

   Orang yang dijuluki Bu-tek Kiam-mo itu menghaturkan terima kasih lalu mengamambil tempat duduk. Dia saling pandang dengan Hek I Ngo-liong, dan si Iblis Pedang nampak terkejut agaknya tidak mengira bahwa lima orang pandai itu berada pula di situ. Akan tetapi dia tidak berani mengeluarkan kata apapun, dan di pihak lima orang tokoh itupun nampaknya menahan untuk tidak berkata apa-apa ketika mereka melihat hadirnya seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi, karena orang berkedok itu masih belum bergerak atau mengeluarkan kata-kata, agaknya masih menanti munculnya orang lain, maka delapan orang yang sudah datang itu juga diam saja di atas bangku masing-masing, dengan sikap menunggu.

   Di antara mereka yang delapan itu, hanya Bu-tek Kiam-mo seorang saja yang berani mengangkat muka memandang kepada si kedok hitam. Hanya dia yang bersikap sebagai tamu, bukan sebagai hamba. Hal ini adalah karena baru sekarang Bu-tek Kiam-mo mendapat kesempatan menghadap Yang Mulia, tokoh baru yang menggemparkan dan yang sudah lama dia dengar namanya. Pula, dia belum menjadi hamba orang aneh ini. Dia mewakili semua saudaranya yang berjumlah tigabelas orang bersama dirinya, dan mereka adalah anak buah dari Tung-hai-liong (Naga Laut Timur) Ouwyang Cin, datuk besar yang menguasai lautan timur, bahkan kekuasaannya diakui oleh para bajak laut Jepang dan para tokoh kang-ouw di sepanjang pantai laut timur.

   Tiba-tiba terdengar suara bercuitan, seperti burung malam, namun suara itu meninggi dan menggetarkan jantung. Mendengar suara ini si kedok hitam menggerakkan kepala, menoleh dan memandang ke arah pintu. Baru sekarang dia memperlihatkan perhatian, pada hal kedatangan delapan orang tadi disambutnya dengan sikap acuh saja. Kini sepasang matanya mengeluarkan sinar berseri seolah dia mengharapkan sesuatu yang menyenangkan akan terjadi.

   Memang berbeda gerakan kedua orang yang muncul sekarang ini. Berkelebatnya bayangan mereka hampir tidak nampak, seolah-olah ada dua iblis yang tiba-tiba muncul dari tiada. Tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang yang aneh, baik wajah mereka, pakaian mereka, maupun sikap mereka. Yang seorang adalah pria yang usianya kurang lebih enampuluh tahun akan tetapi nampak jauh lebih muda dari pada usianya. Tubuhnya tinggi tegap dan mukanya berwarna aneh sekali, merah seperti dicat dengan darah! Pakaiannya sutera putih sehingga warna mukanya yang merah itu menjadi semakin cerah. Di punggungnya terdapat sebatang senjata golok yang punggungnya berbentuk gergaji. Dia adalah Ang-bin Moko (Iblis Jantan Muka Merah).

   Adapun orang kedua tentu saja Pek-bin Moli (Iblis Betina Muka Putih), wanita yang usianya satu dua tahun lebih muda, masih cantik dan ramping, akan tetapi mukanya sepucat muka mayat dan pakaiannya juga sutera putih seperti yang dipakai Ang-bin Moko. Wanita ini tidak memegang atau membawa senjata, akan tetapi sabuk yang melilit pinggangnya adalah seekor ular yang sudah mati dan itulah senjata yang ampuh!

   Sejenak kedua orang itu hanya berdiri memandang ke arah si kedok hitam, dan orang yang tadi acuh saja itu kinipun bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi besar nampak gagah dan menambah kewibawaannya, apalagi karena pakaiannya yang serba hitam itu terbuat dari sutera yang halus. Diapun diam saja dan menyambut pandang mata kedua orang yang datang berkunjung itu dengan penuh selidik.

   "Ang-ko, inikah orang yang akan memberi pekerjaan dan memimpin kita?" Pek-bin Mo-li tiba-tiba bertanya kepada temannya. Suaranya nyaring tinggi dan lembut, namun mengandung suara dingin mengejek.

   "Ha..ha, agaknya benar, Pek-moi. Kita akan menjadi pembantu seorang yang bersembunyi di balik topeng? Ha..ha, lucu juga!" jawab Ang-bin Moko, juga suaranya mengandung ejekan dan memandang rendah.

   Pasangan ini memang terkenal sebagai pasangan iblis yang tidak pernah mengenal takut, memandang diri sendiri terpandai. Sekali ini mereka menerima undangan dari Yang Mulia, nama yang sudah mereka dengar dari para tokoh kang-ouw sebagai nama seorang pemimpin rahasia yang tidak sayang melimpahkan hadiah yang amat royal sebagai imbalan jasa seseorang akan tetapi yang juga tidak segan-segan untuk membunuh dengan amat kejam siapa saja yang menjadi penghalang.

   Mendengar ucapan sepasang iblis itu, si kedok hitam mendengus, dan suaranya yang sopan terpelajar seperti bangsawan tinggi itu terdengar penuh wibawa ketika dia bicara,

   "Kami mengenal nama besar Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, dan sikap angkuh mereka memang mengesankan, akan tetapi kalau keangkuhan itu tidak mengandung kenyataan akan ilmu yang benar-benar tinggi, maka keangkuhan itu hanya akan menjadi bahan ejekan dan tertawaan belaka. Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, melihat sikap kalian, kamipun meragu dan tidak akan berani memperbantukan tenaga kalian tanpa lebih dahulu menyaksikan kemampuan kalian!"

   Sepasang iblis itu saling pandang dan alis mereka berkerut. Ucapan itu, betapapun halusnya, merupakan tantangan! Mereka maklum bahwa orang berkedok yang hanya dikenal dengan sebutan Yang Mulia ini selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga mempunyai anak buah yang banyak sekali, terdiri dari orang-orang lihai yang tentu kini banyak bersembunyi di sekitar tempat itu. Mereka bukan orang-orang bodoh yang mencari perkara dan memancing kesulitan bagi mereka sendiri. Akan tetapi merekapun bukan orang-orang yang membiarkan setiap tantangan lewat tanpa menyambutnya.

   Ang-bin Moko menghadapi si kedok hitam dan matanya mengeluarkan sinar berkilat.

   "Yang Mulia, apakah ucapan Yang Mulia itu merupakan tantangan ataukah sekedar ujian?"

   Suara di balik kedok itu terkekeh, juga kekeh yang sopan.

   "Heh..heh, kalian berdua kami undang bukan untuk dijadikan musuh, melainkan diajak bekerja sama. Tentu saja kami hanya ingin menguji apakah sesuai benar tingkat kepandaian kalian dengan nama besar dan sikap kalian."

   "Bagus sekali!" Pek-bin Moli berteriak nyaring.

   "Siapa yang akan menguji kami dan bagaimana pula caranya?" sikap dan suaranya menantang dan mukanya yang sepucat muka mayat itu nampak cantik akan tetapi mengerikan, matanya jelilatan memandang ke sekeliling seolah mencari musuh.

   "Karena kalian merupakan orang-orang yang amat terkenal, biarlah kami yang akan menguji. Kalian boleh maju bersama dan kalau dalam sepuluh jurus kalian mampu mengalahkan kami, maka kalian boleh menjadi pembantu kami dengan menentukan sendiri besarnya upah kalian."

   Sepasang iblis itu saling pandang dan keduanya menyeringai. Mengeroyok selama sepuluh jurus? Dan orang ini menjanjikan kalau mereka menang boleh menentukan sendiri besarnya upah mereka? Orang ini tentu gila, dan juga tentu kaya bukan main!

   "Bagaimana kalau kami gagal?"

   "Kalau kalian gagal dan tewas, kami akan menguburkan jenazah kalian baik-baik, akan tetapi kalau kalian gagal dan tidak tewas, kalian boleh menjadi pembantu kami, akan tetapi kami yang akan menentukan besarnya upah kalian."

   Kembali sepasang iblis itu saling pandang, dan mereka tertawa. Orang ini tentu gila, pikir mereka. Bagaimana mungkin dapat bertahan terhadap pengeroyokan mereka selama sepuluh jurus? Dan membayangkan kemungkinan dia dapat menewaskan mereka dalam sepuluh jurus. Gila!

   Tiba-tiba Ang-bin Moko tertawa bergelak.

   "Baik, kami setuju!" dan tanpa menggerakkan bibirnya, dia mengirim suara kepada Pek-bin Moli, kita lucuti kedoknya"".."

   Mengirim suara seperti itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Hanya getaran suara saja yang mengudara dan ditangkap oleh orang yang dikirimi suara, telinga lain tidak dapat mendengar apa-apa. Akan tetapi, betapa kaget hati sepasang iblis itu ketika terdengar si kedok hitam berkata tenang.

   "Jangan harap kalian dapat melakukan niat itu! Nah, kalian mulailah!" tiba-tiba tubuh yang tinggi besar itu melayang ke kiri, ke arah ruangan yang cukup luas, tubuhnya berdiri tegak lurus dengan perut menggendut, hanya sepasang mata di balik kedok itu saja yang nampak hidup, mencorong dan penuh kewaspadaan.

   Sepasang iblis itu belum bergerak dari tempat mereka berdiri. Ang-bin Moko yang bersikap hati-hati segera bertanya.

   "Yang Mulia, selama sepuluh jurus ini, kita bertanding dengan tangan kosong ataukah bersenjata?"

   Si kedok hitam kembali terkekeh sopan.

   "Heh..heh, kami mendengar bahwa golok gergajimu dan sabuk ular Pek-bin Moli hanya untuk menakut-nakuti lawan saja, akan tetapi yang lebih ampuh adalah Toat-beng Tok-ciang dan Touw-kut-ci kalian. Benarkah itu?"

   Kembali sepasang iblis itu saling pandang. Hebat juga orang ini. Tentu memiliki seribu telinga maka dapat mengetahui ilmu simpanan mereka. Dan setelah mengetahui, masih berani menantang mereka berdua untuk mengeroyoknya. Ini saja sudah membuktikan bahwa orang itu tentu memiliki sesuatu yang dapat dia andalkan untuk menandingi kedua ilmu baru mereka.

   Ang-bin Moko memberi isyarat kepada Pek-bin Moli dan keduanya menggerakkan tubuh. Bagaikan dua ekor burung rajawali, tubuh mereka melayang ke depan si kedok hitam. Gerakan mereka demikian ringan dan gesitnya, membuat mata di balik kedok itu bersinar-sinar gembira. Dia telah mendapatkan dua orang pembantu yang boleh diandalkan, pikir si kedok hitam. Dua orang ini jauh lebih pandai dibandingkan Cap-sha-kwi maupun Ngo-liong.

   Biarpun hanya melalui pandang mata, Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli sudah dapat saling memberi isyarat. Dua-orang ini memang kompak sekali, bukan saja mereka berdua berasal dari saudara seperguruan, akan tetapi mereka juga sama-sama merangkai ilmu-ilmu silat, dan lebih dari itu, hubungan mereka juga sebagai kekasih atau suami isteri.

   Setelah saling pandang memberi isyarat, kedua orang itu lalu mengerahkan tenaga sakti sehingga kedua tangan mereka, dari ujung jari sampai sebatas siku, berubah warnanya menjadi kehijauan. Itulah tandanya bahwa mereka telah mengerahkan tenaga dari ilmu Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa).

   "Yang Mulia, waspadalah, kami akan menggunakan Toat-beng Tok-ciang," teriak Ang-bin Mo-ko.

   Bagaimanapun juga, diapun tahu bahwa orang berkedok ini memiliki banyak sekali anak buah yang tentu sudah siap di tempat itu. Kalau dia dan Pek-bin Moli kesalahan tangan sampai membunuh orang ini, tentu keadaan akan menjadi runyam dan mereka berdua dalam bahaya. Walaupun mereka tidak takut, akan tetapi menguntungkan bagi mereka, bahkan hanya merepotkan saja. Itulah sebabnya maka Ang-bin Mo-ko sengaja meneriakkan peringatan ini, hal yang biasanya tak pernah dia lakukan. Biasanya, kalau dia hendak membunuh atau menyerang orang, dia melakukannya dengan tiba-tiba dan tanpa memberi peringatan sama sekali.

   Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Maklum bahwa ilmu pukulan kedua orang itu memang berbahaya sekali, si kedok hitam juga tidak bersikap lengah atau memandang rendah. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kokoh kuat seperti pagoda besi, kedua lutut ditekuk sehingga membentuk siku-siku, kedua lengannya disilangkan di depan dada, dengan jari tangan terbuka, akan tetapi kalau jari-jari tangan yang lain agak melengkung, kedua jari telunjuknya lurus menunjuk ke atas dan kedua jari tangan itu berubah warna, kini menjadi hitam seperti arang!

   Melihat ini, kembali sepasang iblis itu saling pandang dan merekapun teringat akan adanya semacam ilmu yang amat berbahaya, yang disebut It-kok-ci (Jari Racun Tunggal) yang kabarnya merupakan ilmu yang amat hebat dan pernah dikuasai oleh seorang saja, yaitu keluarga Wan-yen yang menjadi orang kepercayaan kaisar-kaisar Mongol. Akan tetapi, mereka tahu bahwa pemilik ilmu itu sudah tewas dalam pertempuran ketika Kerajaan Mongol jatuh. Apakah orang ini telah mewarisi ilmu itu?"

   "Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, aku telah siap!" kata si kedok hitam.

   Sepasang iblis itu lalu mengerahkan tenaga dan menggerakkan tangan mereka, memukul dari jarak jauh ke arah lawan. Terdengar bunyi bercuitan seperti beberapa ekor tikus yang terjepit atau ketakutan, mencicit dan makin lama semakin tinggi melengking. Dari kedua tangan mereka menyambar hawa pukulan yang amat kuat, menyambar ke arah jalan darah di tubuh lawan. Itulah Toat-beng Tok-ciang yang dapat membunuh orang dari jarak jauh dengan mudah. Seperti ada sinar yang tidak nampak meluncur ke arah tubuh si kedok hitam.

   Akan tetapi, orang ini dengan tenang, tanpa mengubah kedudukan kedua kakinya, juga menggerakkan kedua tangannya, dan menuding dengan gerakan menotok ke udara di depannya. Terdengar bunyi mendesir keluar dari jari-jari telunjuk yang hitam itu dan ada hawa menyambar keluar mengeluarkan uap pitam! Tenaga yang keluar dari kedua telunjuk ini seperti perisai menangkis hawa pukulan Toat-beng Tok-ciang sehingga pukulan jarak jauh itu terpental kembali.

   Tentu saja Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli terkejut dan merasa penasaran bukan main. Selama memiliki ilmu baru itu, belum pernah mereka gagal mempergunakannya. Dari puluhan orang yang pernah mereka hadapi, baru seorang pemuda saja yang mampu mengelak dan menangkis Toat-beng Tok-ciang, yaitu Sin Wan murid Sam-sian. Akan tetapi pemuda itupun hanya mengelak dan menangkis dengan pukulan yang mengeluarkan uap putih, bukannya langsung menyambut dengan totokan jarak jauh seperti yang dilakukan si kedok hitam ini. Mereka mengerahkan tenaga dan melanjutkan serangan mereka, berbareng akan tetapi berpencar, mereka menyerang dari kanan kiri.

   Si kedok-hitam tetap mempergunakan totokan jarak jauh satu tangan yang mengeluarkan uap hitam, dan sampai lima jurus lamanya, kedua iblis itu sama sekali tidak pernah mampu mengenai sasaran dengan pukulan jarak jauh mereka, apa lagi merobohkan!

   Ang-bin Moko memberi isyarat kepada Pek-bin Moli dan kini keduanya berlompatan menerjang lawan dengan ilmu mereka yang kedua, yaitu Touw-kut-ci (Jari Penembus Tulang), ilmu totokan yang amat keji karena dilatihnyapun menggunakan banyak tengkorak manusia. Celakalah lawan yang terkena totokan jari tangan mereka. Jari tangan mereka dapat menembus tulang dan sekali mengenai kepala, jari-jari tangan itu akan menembus otak.

   Kini, sepasang iblis itu menyerang dengan Touw-kut-ci, keduanya mendesak dan mencari kesempatan untuk mencengkeram ke arah muka lawan. dan merenggut lepas kedok sutera hitam. Akan tetapi, si kedok hitam memang bukan orang sembarangan. Sebelum menantang sepasang iblis itu, tentu saja dia telah melakukan penyelidikan terlebih dahulu tentang kemampuan sepasang iblis itu. Dia tahu pula akan kedahsyatan Touw-kut-ci, dan dia memang sudah siap siaga menghadapi ilmu dari sepasang iblis itu. Karena itulah maka tadi dia sengaja menantang selama sepuluh jurus, karena kalau lebih lama dari itu, terpaksa dia harus menggunakan tangan maut untuk mencapai kemenangan. Kalau hanya sepuluh jurus, dia yakin akan mampu mempertahankan diri.

   Sepasang iblis itu menjadi terkejut bukan main ketika melihat betapa tubuh si kedok hitam itu berpusing seperti gasing dan dari putaran itu keluar angin menyambar-nyambar. Tubuh itu tidak nampak hanya bayangan hitam berpusing amat cepatnya. Karena ini, terpaksa serangan Touw-kut-ci tidak dapat diarahkan ke sasaran yang tepat, hanya ngawur saja asal mengenal tubuh lawan. Namun, betapa sukarnya mengenai tubuh yang berpusing itu karena dari situ terasa ada angin pukulan yang amat kuat menyambar-nyambar, bahkan dapat menyeret mereka seperti pusaran angin puyuh.

   Mereka berdua berusaha sekuatnya untuk memasukkan totokan dan mengenai tubuh lawan. Satu kali saja mengenai lawan, tentu jari mereka akan meninggalkan bekas dan berarti mereka menang. Akan tetapi, pada jurus ke lima ketika sepasang iblis itu menjadi lebih nekat untuk mencapai kemenangan pada jurus terakhir sehingga mereka menubruk ke depan menerobos putaran angin, tiba-tiba tubuh mereka terdorong dan terhuyung ke belakang oleh tangkisan lengan yang amat kuat mengenai lengan mereka dari samping. Mula-mula Pek-bin Moli yang terdorong ke belakang, disusul Ang-bin Moko yang terhuyung.

   Putaran bayangan hitam itu berhenti dan si kedok hitam sudah berdiri tegak di depan mereka. Sepuluh jurus telah lewat dan mereka berdua harus mengakui bahwa selama itu, jangankan merobohkan si kedok hitam, menyentuh tubuhnyapun mereka tidak mampu. Diam-diam mereka terkejut dan menduga-duga siapa sebenarnya si kedok hitam yang amat lihai ini.

   "Bagus, bagus, kalian memang lihai sekali dan pantas menjadi pembantu utama kami," kata si kedok hitam.

   "Dalam sepuluh jurus, biarpun kalian tidak mampu mengalahkan kami akan tetapi kamipun sama sekali tidak sempat untuk balas menyerang. Untuk menyatakan kegembiraan hati kami, kami menghadiahkan benda ini kepada kalian, kalau kalian menerimanya, berarti kalian sanggup untuk membantu kami dengan setia."

   Si kedok hitam mengeluarkan dua butir mutiara hitam yang besar dan indah dari saku bajunya dan memberikan dua butir benda berharga itu kepada Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli dengan dilemparkannya kepada mereka. Sepasang iblis itu menangkap mutiara itu dan wajah mereka berseri. Mereka mengenal benda berharga dan kagum akan keroyalan si kedok hitam.

   "Kami telah mengaku kalah, mulai hari ini kami berdua siap melaksanakan semua perintah Yang Mulia," kata Ang-bin Moko sambil menyimpan mutiara hitam itu.

   "Hamba senang sekali dapat menghambakan diri kepada Yang Mulia, dengan harapan kelak kalau usaha Yang Mulia berhasil, tidak akan melupakan hamba," kata pula Pek-bin Moli dengan senang.

   "Tentu saja, kami tidaK pernah melupakan jasa seorang pembantu, juga tidak pernah membiarkan begitu saja mereka yang telah merugikan kami. Nah, silakan kalian duduk karena kita akan membicarakan urusan pekerjaan yang amat penting. Akan tetapi sebelum itu, ingin kami bicara dengan orang yang telah mengecewakan hati kami dan amat merugikan gerakan perjuangan kami."

   Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli mengambil tempat duduk, dan mendengar ucapan itu, dua orang yang datang lebih dahulu dan yang menderita luka di paha dan punggung, segera bangkit dari bangku dan menghampiri orang berkedok hitam, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya dalam jarak empat meter lebih.

   "Hemm, kalian dua orang tolol, kalian bukan saja gagal melaksanakan tugas penting, akan tetapi juga bersikap pengecut, meninggalkan kawan sehingga tewas dan kalian melarikan diri. Begitukah sikap orang-orang yang telah menjadi pembantu dan anak buah kami?"

   "Ampun, Yang Mulia. Kami..." tidak kuat menghadapi pengeroyokan banyak pengawal"...." kata seorang di antara mereka yang luka pahanya.

   "Kami sudah berusaha sekuat tenaga dan gagal, mohon paduka mengampuni kami," kata orang kedua yang terluka punggungnya.

   Sepasang mata di balik kedok itu berkilat.

   "Enak saja kalian minta ampun. Kalian telah bertindak ceroboh sehingga menggagalkan tugas, bahkan membahayakan kedudukan kita semua dengan pelarian kalian ini. Kalian tidak patut berada di sini dan tidak pantas menjadi angguta perjuangan kita. Kalau kalian berhasil dalam tugas, selalu kami memberi hadiah besar, sekarang kalian gagal, bahkan melarikan diri, tahukah kalian apa hukumannya?"

   Dengan tubuh gemetar dua orang itu membentur-benturkan dahi di lantai sambil minta ampun. Akan tetapi, si kedok hitam itu menggerakkan kedua tangannya, telunjuknya berubah hitam arang dan ditudingkan ke arah kedua orang itu. Seperti ada sinar hitam mencuat dari kedua jari telunjuk itu, menyambar ke depan, ke arah kepala dua orang itu. Mereka terjengkang, tanpa mengeluarkan suara lagi karena mereka telah tewas dengan muka berubah hitam arang!

   Melihat ini, sepasang iblis itu terkejut. Mereka bertahun-tahun melatih diri dengan Touw-kut-ci mempergunakan banyak tengkorak, kini mereka melihat ilmu tusukan jari tangan dari jarak jauh yang teramat dahsyat, jauh lebih dahsyat dibandingkan Touw-kut-ci mereka. Hal itu saja membuat mereka semakin tunduk, maklum bahwa mereka berhadapan dengan orang sakti yang pantas menjadi pimpinan mereka.

   Melihat ini, Bu-tek Kiam-mo bangkit berdiri dari bangkunya dengan alis berkerut. Dia bukan anak buah si kedok hitam, dan dia datang sebagai utusan Tung-hai- liong, datuk yang kekuasaannya seperti raja saja di lautan timur. Melihat hukuman yang dijatuhkan kepada dua orang itu, dia merasa penasaran.

   "Yang Mulia, apa yang harus saya laporkan kepada majikan saya melihat hukuman ini? Apakah kalau kelak kami gagal dalam tugas, kamipun akan dihukum mati seperti ini?"

   Si kedok hitam mengangkat tangan kiri ke atas sebagai isyarat dan nampak bayangan empat orang berkelebat masuk. Tanpa banyak bicara lagi, empat orang itu menggotong pergi jenazah kedua orang yang mendapat hukuman tadi. Barulah si kedok hitam menghadapi Bu-tek Kiam-mo.

   "Bu-tek Kiam-mo, engkau salah mengerti. Dua orang ini adalah anak buah kami, dan di antara kami sudah ada peraturan yang tidak bolen dilanggar. Kalian yang hadir ini lain lagi, bukan anak buah kami melainkan sahabat yang akan diajak bekerja sama. Tentu saja peraturan yang dikenakan kepada anak buah kami tidak berlaku untuk kalian. Yang dihukum bukan hanya kegagalan mereka, akan tetapi karena mereka berdua melarikan diri dan meninggalkan seorang rekan yang tewas. Nah, mengertikah engkau sekarang?"

   Bu-tek Kiam-mo mengangguk dan duduk kembali. Tentu saja dia tidak dapat mencampuri urusan dalam antara si kedok hitam dan anak buahnya, seperti juga majikannya yang tidak kalah kejamnya dibandingkan dengan apa yang dilakukan si kedok hitam terhadap anak buahnya tadi. Setelah mereka duduk, dua orang anak buah si kedok hitam datang menyuguhkan arak dan makanan kecil, lalu mereka meninggalkan ruangan itu pula. Coa Ok, orang pertama dari Hek I Ngo-liong tak dapat menahan keinginan tahunya dan bertanya

   

Pedang Sinar Emas Eps 24 Si Pedang Tumpul Eps 12 Lembah Selaksa Bunga Eps 10

Cari Blog Ini