Pedang Sinar Emas 24
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 24
Tiga Orang pemimpin itu girang sekali, akan tetapi senyum mereka yang lebar itu tiba tiba lenyap ketika mereka melihat betapa nona baju merah yang cantik jelita itu sama sekali tidak terlempar jatuh, bahkan di atas udara dapat berjungkir balik dan kini melayang kembali ke atas mereka seperti seekor burung garuda menerkam kurbannya.
Siang Cu marah sekali karena tadi kurang hati hati sehingga dapat dilempar ke atas. Kini ia menyerang dari atas ke arah si gendut yang tadi menangkapnya. Orang itu cepat mengulur tangan hendak menyambut tubuh Siang Cu yang kecil, akan tetapi tiba tiba terdengar suara "krak!" dan orang gemuk ini menjerit jerit seperti babi disembelih ketika kedua tangannya berkenalan dengan sabetan pedang yang bercahaya kehijauan. Sepuluh jari tangannya putus pada ujungnya.
Dengan muka merah Siang Cu berdiri, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang pedang.
"Hayo siapa lagi yang berani main gila dengan aku?"
Dua orang pemimpin bajak ketika melihat betapa dua orang saudaranya telah dirobohkan, menjadi marah sekali.
Mereka mencabut senjata ruyung yang besar dan berat, lalu serentak menyerang Siang Cu. Gadis ini mengeluarkan suara ketawa menyeramkan, dan begitu pedangnya bergerak, lenyaplah pedang dan tubuhnya. Yang tampak hanyalah bayangan tubuhnya yang merah dan gulungan sinar pedang yang kehijauan. Dalam beberapa gebrakan saja, dua orang pemimpin yang gemuk itu memekik kesakitan dan roboh dengan tubuh terluka pedang.
Anak buah perampok itu segera maju mengeroyok dan mengurung gadis itu sambil berteriak teriak.
Namun Siang Cu tidak gentar sedikitpun juga. Ia menyuruh pemuda sasterawan itu berdiri di belakangnya dan pedangnya lalu diputar sedemikian rupa sehingga jangankan baru senjata para pengeroyoknya atau bajak laut, biarpun datang hujan lebat agaknya tak setetes airpun akan dapat membasahi pakaiannya. Sebaliknya beberapa kali sinar pedangnya meluncur panjang tentu terdengar jerit kesakitan dan roboh seorang pengeroyok.
"Nona, kau gagah sekali. Benar berar manusiakah kau?" berkali kali terdengar pemuda sasterawan itu bertanya kagum. Suara pemuda ini menambah semangat Siang Cu yang mengamuk makin hebat lagi. Sudah bertumpuk tubuh para bajak laut yang terluka, bergelimpangan dan keluh kesah mengaduh aduh terdengar riuh.
Pada saat itu terdengar suara keras,
"Tahan semua senjata!"
Mendengar suara ini, para bajak laut mundur dan menarik kembali senjata mereka. Terdengar mereka berseru takut,
"Sian jin datang....!"
Siang Cu memandang ke depan dan melihat dua orang mendatangi dengan tindakan cepat sekali. Mereka ini adalah seorang tua bertubuh tinggi bersama seorang laki laki muda berusia kurang lebih duapuluh tahun. Kedua orang ini pakaiannya indah dan mewah, yang tua angker berpengaruh memegang sebatang tongkat kepala naga dan yang muda memegang sepasang pedang di kedua
(Lanjut ke Jilid 30)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 30
tangan, sikapnya gagah, wajahnya tampan, dan tubuhnya juga tinggi seperti yang tua.
Melihat gadis manis dan perkasa ini, yang muda lalu melompat maju dan tersenyum senyum.
"Alangkah gagahnya nona ini," katanya.
Siang Cu paling benci kepada laki laki yang sifatnya pengecut dan laki laki yang ceriwis. Melihat pemuda ini senyum senyum dan memandang kepadanya dengan mata kagum dan kurang ajar, timbul kemarahannya. Ia tahu bahwa dua orang ini tentulah kawan dari para bajak laut, maka dengan marah sekali ia lalu menyerang dengan pedangnya, menusuk cepat ke arah dada pemuda itu.
"Eng Kiat, awas!" teriak orang tua yang memegang tongkat itu kepada pemuda yang diserang, ia melihat kehebatan serangah ini, maka cepat memberi peringatan.
Pemuda itupun terkejut sekali karena tahu tahu ujung pedang nona itu telah meluncur kearah dadanya. Ia cepat menggerakkan kedua pedangnya dari kanan kiri, menjepit pedang Siang Cu dengan gerakan Ji liong jio ou (Sepasang Naga Berebut Mustika) dan dengan tepat pedang nona itu terjepit oleh sepasang pedangnya.
Melihat gerakan ini, terkejut jugalah Siang Cu. Gerakan yang dapat dilakukan dengan tepat sekali dalam keadaan berbahaya ini hanya dapat dilakukan apabila orang memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi. Bagaimana di tempat seperti ini terdapat orang pandai? Ia berusaha menarik kembali pedangnya dan lebih lebih kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa pedangnya seperti terpaku dan sukar dicabut.
Siang Cu adalah murid dari Lam hai Lo mo yang sakti, tentu saja ia menjadi penasaran sekali.
Apalagi ketika dilihatnya pemuda mewah dan pesolek itu mesem mesem dengan ceriwisnya. Sambil membentak nyaring tangan kirinya mengirim pukulan Tin san ciang (Pukulan Menggetarkan Gunung) yang hawa pukulannya cukup kuat untuk merobohkan lawan dari jarak jauh.
Pemuda itu tidak mengira sama sekali bahwa nona yang begini muda dan jelita dapat memmiliki ilmu silat sehebat ini, maka tadi ia kurang hati hati. Setelah hawa pukulan menyambar ke arah dadanya, barulah ia merasa terkejut dan cepat melepaskan jepitan pedangnya, mengerahkan tenaga lweekang ke arah dada untuk menolak bawa pukulan itu.
Namun tetap saja ia merasa dadanya sakit seperti terpukul oleh benda keras dan berat, maka sambil berseru kaget ia melempar diri ke belakang, berjungkir balik dan melompat turun di tempat yang agak jauh. Ia terhindar dari luka berat di dalam tubuh, akan tetapi ia mengalami kekagetan luar biasa sehingga mukanya menjadi agak pucat dan keringat mengalir dari keningnya.
"HA, lihai sekali murid Lam hai Lo mo. Sayang sekali suka mencampuri urusan lain orang," berkata orang tinggi kurus dan bertongkat itu sambil melangkah maju.
"Kalau aku mencampuri urusan orang, kalian mau apakah?" Siang Cu membentak dengan sikap menantang. Setelah tadi ia berhasil memukul mundur pemuda yang lihai itu, semangatnya timbul kembali dan ia merasa cukup tangguh untuk menghadapi dua orang ini sungguhpun ia belum tahu sampai di masa kelihaiannya yang tua.
Kakek itu tertawa bergelak. "Hebat, hebat. Dari mana Lam hai Lo mo mendapatkan muridnya ini? Apakah dari neraka? Dia hidup kembali sudah aneh, sekarang mempunyai murid seperti ini, ah, hal ini jauh lebih aneh."
Mendengar ini, Siang Cu merasa tak enak hati juga. Mendengar omongannya, agaknya orang tua ini sudah kenal baik dengan suhunya.
"Orang tua, kau siapakah?" tanya Siang Cu.
Orang tua itu tersenyum. "Nona, kalau betul kau murid Lam hai Lo mo, jangan kau mengira bahwa puteraku Eng Kiat ini tadi sudah kalah olehmu, ia hanya mengalah, bukan kalah."
"Kalau masih penasaran, boleh maju lagi. Aku tidak takut," Siang Cu memotong pembicaraan orang. Kakek itu tersenyum dingin.
"Tiada gunanya. Kalau dia menang, gurumu akan mengira bahwa kami berlaku curang. Hayo bawa kami menghadap suhumu, dia tentu girang bertemu dengan aku."
"Tidak bisa, orang tua. Sebelum kau mengaku siapa adanya kau dan anakmu, dan sebelum aku menolong semua korban yang dirampok oleh kawan kawanmu, aku takkan pergi dari sini."
Kakek itu menoleh kepada puteranya dan tertawa geli melihat puteranya memandang kepada Siang Cu dengan kekaguman yang tak disembunyikan lagi.
"Sudah sepatutnya kau kagum dan suka kepadanya, Eng Kiat. Memang sukarlah menentukan seorang dara perkasa seperti ini apalagi di tempat ini."
"Hebat, ayah. Bahkan lebih hebat daripada puteri Thian te Kiam ong," kata pemuda itu terus terang sambil matanya terus mengincar gadis itu.
Tadinya Siang Cu akan marah sekali mendengar percakapan mereka, akan tetapi setelah mendengar disebutnya puteri Thian te Kiam ong, hatinya tertarik sekali dan ia diam saja, tidak jadi marah.
"Nona, ketahuilah bahwa aku adalah Tung hai Sian jin (Dewa Laut Timur) dan ini adalah puteraku, Bong Eng Kiat. Jangan kau khawatir tentang para korban, sekarang juga akan kuperintahkan kepada mereka untuk mengantarkan para korban kembali ke pantai Tiongkok,"
Kakek itu lalu bicara dalam bahasa asing kepada para bajak, memerintahkan mereka mengantar semua korban dengan perahu bajak kembali ke daratan Tiongkok.
Ketika lima orang wanita itu dan si sasterawan muda hendak berangkat, sasterawan itu menghampiri Siang Cu dan berkata hormat.
"Siocia, aku Liem Pun Hui selama hidup takkan melupakan budi dan kegagahanmu yang luar biasa. Sudilah kiranya memberi tahu nama siocia apabila tidak menganggap itu terlalu kurang ajar bagiku."
"Aku bernama Ong Siang Cu, dan tentang budi dan pertolongan, harap kau suka melupakannya saja." jawab gadis itu dan wajahnya menjadi agak merah karena jengah, ia sendiri merasa heran mengapa pujian pemuda pesolek yang bernama Bong Eng Kiat itu memanaskan telinganya dan membuatnya marah, akan tetapi sebaliknya pujian pemuda sasterawan yang sederhana ini membuatnya senang dan malu.
Setelah para korban diantar ke dalam perahu, kakek itu lalu mengajak Siang Cu.
"Marilah nona kita kembali ke tempat suhumu."
Siang Cu tidak suka berdekatan dengan dua orang ini, akan tetapi diam diam iapun merasa ingin tahu sekali akan keadaan dua orang yang ternyata memiliki ilmu tinggi ini. Pula yang menarik hatinya adalah disebutnya puteri Thian te Kiam ong tadi, maka iapun ingin membawa mereka ke suhunya untuk mendengar penjelasan terlebih jauh.
Siang Cu membawa mereka ke perahunya dan dengan bantuan Eng Kiat yang biarpun matanya amat kurang ajar namun mulurnya diam saja, meluncurlah perahu itu cepat sekali menuju ke Pulau Sam liong to.
" Sudah lama aku tahu bahwa di atas pulau itu tinggal suhumu, nona. Siapa lagi kalau bukan Lam hai Lo mo yang bisa tinggal di tempat seperti itu? Akan tetapi aku merasa sungkan untuk datang menengok ke sana, karena aku tahu akan keanehan watak suhumu itu. Sekarang kebetulan sekali ada kau yang menjadi orang perantara, kebetulan sekali!"
Siang Cu tidak menjawab, hanya termenung membayangkan bagaimana sikap suhunya kalau melihat ia membawa datang dua orang tamu. Ia tidak takut suhunya akan marah kepadanya karena ia cukup maklum betapa besar rasa sayang suhunya kepadanya.
Akan tetapi suhunya memiliki watak yang aneh dan kadang kadang seperti orang gila, dan dua orang ini selain aneh dan mencurigakan, juga memiliki kepandaian amat tinggi. Ia merasa seakan akan bakal terjadi hal yang hebat adalah mata pemuda pesolek itu, karena tiada hentinya mata itu memandang kepadanya dengan penuh gairah, ia merasa seakan akan mata Eng Kiat memandang sampai menembusi pakaiannya dan mata itu menjalari seluruh tubuhnya dari kepala sampai ke kaki.
Menghadapi pandangan mata ini. Siang Cu sebentar menjadi merah dan sebentar pucat mukanya.
Setelah tiba di dekat pantai Pulau Sam liong to, ia tidak tahan lagi dan mendamprat marah
"Manusia kotor! Tahan matamu yang liar dan menyebalkan!"
Tung hai Sian jin tertawa bergelak, demikian pula Eng Kiat yang segera menjawab dengan jenaka.
"Nona manis yang galak, apaku sih yang membuat kau memaki kotor? Lihat pakaian dan kulitku begini bersih! Adapun tentang mataku, apakah dayaku, nona? Kau terlalu cantik bagaikan kembang, mataku hanya seperti kumbang,"
"Tutup mulutmu kalau tidak akan kugulingkan perahu ini!" Siang Cu kembali membentak sambil mengancam untuk menggulingkan perahu. Sebagai seorang gadis yang semenjak kecil hidup di atas pulau kecil, apalagi sebagai murid dari Lam hai Lo mo yang ahli dalam gerakan di air, Siang Cu pandai sekali berenang dan amat kuat bertahan di dalam air.
Namun Eng Kiat tetap tersenyum senyum saja, bahkan dengan mata nakal ia berkata,
"Asal bersama kau, jangankan terguling di laut, biarpun terguling di neraka sekalipun, aku rela, nona!"
Tak tahan pula kemarahan hati Siang Cu. Dengan tangannya ia menekan pinggir perahu sambil mengerahkan tenaga dan tergulinglah perahu itu, terus terbalik membawa ketiga penumpangnya.
Siang Cu girang sekali dan mengharap akan dapat memberi hajaran kepada Eng Kiat dan kakek yang mendiamkan saja puteranya berlaku kurang ajar itu.
Akan tetapi alangkah herannya ketika ia timbul ke permukaan air, ia melihat kakek itu sudah duduk enak enak di atas perahu yang terbalik, pakaiannya sama sekali tidak basah. Hanya mulutnya saja yang berkali kali memaki,
"Anak setan, kau nakal sekali. Patut menjadi murid Iblis Tua Laut Selatan!"
Tiba tiba Siang Cu mendengar suara ketawa dan melihat Eng Kiat timbul di permukaan air pula di sebelah belakang. Ternyata pemuda itupun pandai sekali berenang dan agaknya tanpa menggerakkan tangan kaki, pemuda itu tidak tenggelam dan memandangnya dengan mata penuh cinta kasih!
"Nona, biarpun basah kuyup, kau makin manis saja!"
Bukan main marahnya Siang Cu. Ia tidak hanya marah, akan tetapi juga malu dan kecewa. Tanpa banyak cakap ia lalu berenang ke pinggir, karena memang tepi pulau sudah dekat. Setelah mendarat ia cepat berlari menuju ke pondok suhunya, meninggalkan dua orang itu. Tentu saja Siang Cu tidak tahu bahwa dalam hal kepandaian di air, Eng Kiat tidak kalah olehnya. Dia adalah putera dari kakek yang berjuluk Dewa Laut Timur, tentu saja ia pandai ilmu di dalam air.
Sesungguhnya di daratan Tiongkok, nama Tung hai Sian jin tidak begitu dikenal orang. Bahkan orang orang kang ouw yang mengenal nama ini hanyalah tokoh tokoh besar seperti Lam hai Lo mo, Kim Kong Taisu, Mo bin Sin kun. dan lain lain.
Hal ini adalah karena semenjak mudanya, Tung hai Sian jin telah meninggalkan daratan Tiongkok dan merantau ke lain negeri, ia menikah dengan puteri di Jepang dan setelah mempunyai seorang putera dan isterinya yang tercinta itu meninggal, ia menjadi begitu sedih sehingga pikirannya seperti terpengaruh hebat dan menjadi luar biasa dan kadang kadang amat jahat.
Dengan membawa puteranya yang masih kecil, Tung hai Sian jin meninggalkan negeri isterinya dan merantaulah ia bersama puteranya itu sampai di tempat tempat yang jauh. Ilmu kepandaiannya yang amat tinggi ia turunkan kepada putera tunggalnya yang diberi nama Bong Eng Kiat. Ia sendiri dahulu bernama Bong Liang, akan tetapi nama ini sudah lama tidak pernah dipakai dan orang hanya mengenalnya sebagai Tung hai Sian jin atau Dewa Laut Timur.
Karena hanya mendapat pendidikan dari ayahnya yang berwatak ganjil dan tidak normal, apalagi selalu dibawa merantau tak tentu tempat tinggalnya, jiwa Eng Kiat tumbuh dengan watak yang aneh dan ganjil pula. Satu sifat amat menyolok pada diri anak muda ini adalah sifat gila wanita! Dan celakanya, ayahnya tak pernah menegur sifat ini, bahkan hanya mentertawakan dan menganggap hal ini lucu dan menyenangkan!
Kadang kadang Tung hai Sian jin membawa puteranya mendarat di Tiongkok dan merantau sampai jauh. Namun karena mereka jarang sekali melakukan hal yang menggemparkan dan jarang pula mengganggu orang kang ouw, maka nama Tung hai Sian jin tetap terasing dan tak terkenal.
Kemudian secara kebetulan sekali, ketika berlayar di dekat Kepulauan Seribu, Tung hai Sian jin dan puteranya diganggu oleh bajak bajak yang merajalela di sekitar tempat itu. Tentu saja para bajak yang kasar ini bukan lawan Tung hai Sian jin.
Mereka ditundukkan bahkau mengangkat Tung hai Sian jin dan puteranya sebagai raja besar atau guru besar, dan memberikan sebuah pulau kecil yang indah, lengkap dengan rumah dan segala macam alat keperluan yang serba mahal dan indah. Mereka berjanji akan melayani segala keperluan dua orang ini asalkan Tung hai Sian jin dan puteranya tidak mengganggu pekerjaan mereka sebagai bajak laut.
Demikianlah, Tung Hai Sian jin dan Bong Eng Kiat hidup dengan mewah dan serba cukup, dan penghidupan yang enak ini membuat mereka malas. Pakaian mereka kini bagus bagus dan terutama sekali Eng Kiat dihinggapi penyakit pesolek!
Ketika mendengar tentang bajak yang dihajar oleh kakek buntung di Pulau Sam liong to, Tung hai Sian jin mendengarkan penuturan mereka dengan penuh perhatian, ia mengenal tokoh tokoh besar di dunia kang ouw di daratan Tiongkok dan menurut penuturan para bajak, agaknya hanya Lam hai Lo mo yang memiliki kepandaian tinggi seperti itu. Adapun tentang keadaan badan Lam hai Lo mo yang sudah rusak itu, iapun dapat menduga, karena Lam hai Lo mo sudah dikhabarkan mati, kalau sekarang hidup kembali, tentu saja tubuhnya sudah berobah.
Biarpun ia menduga bahwa kakek buntung yang tinggal di Pulau Tiga Naga itu Lam hai Lo mo, namun ia tidak mau mengganggu dan merasa malas untuk mencoba membuktikan sendiri. Hidup di pulau dan dilayani oleh para bajak benar benar membuat ia malas sekali.
Tung hai Sian jin memang sudah merasa kapok untuk berurusan dengan tokoh tokoh besar dunia kang ouw, yakni semenjak dua tahun yang lalu ia bertemu dengan Thian te Kiam ong dan hampir saja mendapat malu besar. Hal ini akan dituturkan di lain bagian, dan sekarang baiklah kita melanjutkan perjalanan Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat yang ditinggalkan oleh Siang Cu.
Melihat Siang Cu si nona baju merah yang cantik jelita itu melarikan diri naik ke bukit di atas pulau, Eng Kiat hendak mengejar sambil tertawa tawa girang. Akan tetapi ayahnya mencegahnya,
"Jangan, Eng Kiat Tak boleh main gila dan sembrono di pulau ini! Kita harus menanti sampai kakek buntung itu muncul, baru kita akan mengambil tindakan kalau perlu. Main sembrono saja di tempat ini hanya akan mendatangkan bencana belaka."
Eng Kiat biarpun amat dimanja semenjak kecil, namun ia paling takut kepada ayahnya, karena kalau ayahnya ini sudah marah, bukan main ganasnya. Pernah dahulu ketika ia masih kecil, ia dilempar ke dalam laut dan baru diangkat kembali oleh ayahnya setelah pingsan dan hampir tenggelam.
Sementara itu, Siang Cu berlari cepat ke bukit melihat gurunya duduk di depan pondok sambil bernyanyi nyanyi dan mengetuk ngetukkan tongkat bambunya di atas tanah.
"Ketika terlahir, manusia lunak dan lemah,
Di waktu mati, ia keras dan kaku.
Benda benda yang hidup lunak dan halus,
Pabila mati berobah kasar dan kering
Demikianlah,
kekerasan dan kekasaran sahabat kematian
kelemahan dan kehalusan sahabat kehidupan,
Aku bercacad, tubuhku lemah.
Biarlah! Mereka yang kuat
pasti akan binasa olehku!
Sudah sering kali Siang Cu mendengar nyanyian ini. Sejak pertama ia kenal sebagai pelajaran dalam To tek kheng atau kiab pelajaran tentang To dari Pujangga Lo cu, akan tetapi lanjutannya adalah buatan suhunya sendiri.
Gadis yang cerdik ini tentu saja mengerti bahwa nyanyian itu timbul dari rasa dendam kepada musuh musuh besar yang membuat suhunya menjadi bercacad seperti itu. Ia merasa kasihan sekali dan kalau suhunya bernyanyi seperti itu, ia tidak berani mengganggunya.
Setelah berhenti bernyanyi, Lam hai Lo mo mengangkat kepalanya dan ia terheran melihat Siang Cu berdiri dengan rambut basah dan pakaian juga basah.
"Eh, Siang Cu, apakah kau mandi di laut?"
"Tidak, suhu. Teecu baru saja menghajar para bajak laut yang telah membajak dan membakar sebuah perahu. Kemudian teecu bertemu dengan dua orang yang kini ikut dengan teecu di dalam perahu. Kata mereka hendak bertemu dengan suhu."
Berkerut kening kakek ini. Ia selalu merasa curiga kepada orang lain dan kembali ia bertanya dengan pandang mata tajam penuh selidik, "Mengapa pakaian mu basah?"
Siang Cu lalu duduk di depan suhunya, memeras meras rambutnya yang basah.
"Karena perahunya teecu gulingkan."
"He? Perahu kaugulingkan? Dan orang orang itu?
Siang Cu lalu menuturkan sejelasnya perihal Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat, tidak menyembunyikan sesuatu, bahkan ia mengatakan kepada gurunya betapa mata Eng Kiat amat kurang ajar dan bahwa dia tidak suka kepada pemuda itu.
Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu mengangguk angguk.
"Aku kenal dia ". aku kenal dia".. Dia bisa tahu aku berada di pulau ini, sungguh cerdik."
Setelah berkata demikian, Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu lalu berdiri di atas sebelah kakinya, dibantu oleh tongkatnya. Kemudian ia mengerahkan khikangnya dan berseru ke arah pantai
"Tung hai Sian jin, kau dan anakmu pergilah! Aku si kaki buntung tidak bisa menyambut!"
Suara Lam hai Lo mo biarpun tidak diucapkan keras, namun berkat tenaga khikang, suara ini terkumpul dan dapat dikirim gema suaranya ke pantai sehingga terdengar dengan baik oleh orang yang berada di pantai. Ilmu seperti ini disebut Coan im jip bit (Mengirim Suara Dari Jauh) yang tentu saja dapat dilakukan oleh ahli ahli silat tinggi, hanya sempurna atau tidaknya tergantung tinggi rendahnya tenaga khikang masing niasing.
Tak lama kemudian, dari arah tepi laut, terdengar suara orang menjawab, suara ini panjang dan kecil, akan tetapi jelas sekali, tanda bahwa orangnya telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi.
"Lam hai Lo mo. Orang orangmu telah datang menyambut, bagaimana kau bisa bilang tidak menyambut?"
Mendengar ini, Lam hai Lo mo terheran, akan tetapi Siang Cu berkata cepat,
"Teecu Ouw bin cu dan Siauw giam ong."
Setelah berkata demikian, Siang Cu lalu berlari menuju ke pantai. Biarpun Lam hai Lo mo hanya berkaki satu, namun ketika ia menggerakkan tubuhnya, ia telah bergerak cepat sekali dan dapat menyusul Siang Cu. Keduanya lalu berlari seperti terbang ke arah pantai di mana tadi Siang Cu meninggalkan dua orang tamu yang tak diundang itu.
Memang tepat dugaan Siang Cu. Ketika Tung hai Sian jin dan puteranya mendarat di Pulau Sam liong to sambil membawa perahu Siang Cu ke darat, mereka disambut oleh dua orang tosu yang bukan lain adalah Ouw bin cu dan Siauw giam ong.
Dua orang tosu ini ketika melihat seorang kakek dan seorang pemuda datang sambil tertawa tawa, tentu saja menjadi terkejut sekali. Mereka telah mendapat perintah dan Lam hai Lo mo bahwa siapapun juga tidak boleh mendarat di Pulau sam long to.
Ouw bin cu yang berwatak keras segera hendak turun tangan, akan tetapi Siauw giam ong mencegahnya karena melihat bahwa yang datang adalah seorang tosu juga bersama seorang pemuda.
"Sahabat, harap kau suka cepat cepat tinggalkan pulau ini, karena tak boleh seorangpun mendarat di sini," kata Siauw giam ong.
Ucapan ini diterima oleh Tung hai Sian jin dengan tersenyum senyum saja, lalu tanyanya,
"Apakah kalian ini orang orang Lam hai Lo mo?"
"Benar sekali dugaanmu, toheng. Maka lebih baik kalian lekas pergi sebelum terjadi sesuatu yang amat tdak baik bagimu dan pemuda ini."
Kalau Tung hai Sian jin masih bersabar dan Suka melayani dua orang tosu yang menyambutnya itu, adalah Eng Kiat yang sudah tak sabar lagi. Ia melangkah maju dan membentak.
"Jangan banyak cerewet! Kami datang bersama murid Lam hai Lo mo dan lebih baik kalian cepat melaporkan kedatangan kami kepada kakek buntung itu."
"Eh, kau bocah ini ternyata lancang mulut dan kurang ajar!" kara Ouw bin cu dan ia mengulur tangannya hendak mendorong pergi Eng Kiat.
Namun, bukan pemuda itu yang terdorong pergi, bahkan secepat kilat Eng Kiat menggerakkan tangannya dan sebelum Ouw bin cu sempat mengelak pundaknya telah kena ditotok dan seketika itu juga tubuh Ouw bin cu menjadi kaku dan berdiri seperti patung!
Bukan main kagetnya Siauw giam ong ketika melihat hal ini. Apakah pemuda itu menggunakan ilmu sihir? Ia tahu bahwa kawannya itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi, dan memiliki latihan yang matang, akan tetapi mengapa berhadapan dengan pemuda ini, segebrakkan saja sudah tertotok? Benar benar ia tidak mengerti. Seakan akan Ouw bin cu berobah menjadi seorang anak kecil yang tidak tahu akan ilmu sialt sama sekali ketika berhadapan dengan pemuda ini. Karena penasaran, ia lalu melompat maju.
"Orang muda, kau benar benar hebat, akan tetapi kau telah berani turun tangan terhadap suhengku. Awas pukulan!"
Siauw giam ong mengeluarkan ilmu silat Go bi pai yang tinggi. Dengan jari tangan ditekuk setengahnya ia memainkan ilmu pukulan Hun kai ciang (llmu Pukulan Memecah dan Membuka), ia mengerahkan kepandaian dan menggunakan semua tenaganya. Namun, ia kecele. Seperti juga Ouw bin cu, ketika ia menyerang, pemuda itu sambil tersenyum menggerakkan tangan kiri menangkis dan aneh sekali.
Tangan Siauw giam ong yang menempel pada lengan pemuda pesolek ini seakan akan terpegang erat erat dan tak dapat dilepaskan lagi dan tahu tahu tangan pemuda itu memasuki lambungnya dan tanpa dapat bersuara lagi Siauw giam ong juga menjadi kaku tubuhnya.
Demikianlah ketika Lam hai Lo mo dan Siang Cu tiba di tempat itu, mendaratkan dua orang pembantu atau pelayan itu berdiri kaku seperti patung.
"Orang orangmu lucu dan kurang dapat menghormat tamu, Lam hai Lo mo!" kata Tung hai Sian jin sambil menjura kepadi Lam hai Lo Mo.
Si kakek buntung lunya menggerakkan tangan sebagai pembalasan hormat, kemudian berkata dengan suara yang parau,
"Mereka ini setia akan tetapi tolol" Dengan tongkatnya ia menotok punggung Ouw bin cu dan Siauw giam ong yang segera terbebas dari totokan.
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pergilah, dan sediakan hidangan bagi tamu tamu kita," kata Lam hai Lo mo kepada dua orang tosu ini yang segera pergi tanpa berani berkata sesuatu. Di artas Pulau Sam liong to ini, Ouw bin cu dan Siauw giam ong yang di daratan Tiongkok amat ditakuti orang, kini ternyata tak berdaya sesuatu dan merasa dirinya amat bodoh dan berkepandaian amat rendah.
Sementara itu dua orang kakek yang sakti ini saling berhadapan dan untuk beberapa lama tidak mengeluarkan kata kata. Hanya sinar mata mereka saja saling menatap seakan akan sedang bertempur atau sedang menyelidiki isi hati masing masing. Kemudian Tung hai Sian jin mendahului berkata.
"Lam hai Lo mo, agaknya kau mempunyai nyawa cadangan! Kalau tidak demikian halnya, bagaimana aku hari ini bisa bertemu dengan kau yang sudah dikhabarkan tewas di sungai Hoang ho? Atau barangkali pukulan Thian te Kiam ong kurang keras dan tendangan Mo bin Sin kun kurang kuat? Haa, ha, ha!"
"Tung hai Sian jin, sebelum aku melayanimu sebagai tuan rumah, lebih dulu katakan apakah kau berfihak kepada Kim Kong Taisu, Mo bin Sin kun dan Thian te Kiam ong? Ketahuilah bahwa aku menganggap musuh semua kawan kawan Thian te Kiam ong, dan menganggap saudara kepada semua musuh musuhnya. Nah, kaujawablah sebelum percakapan kita dilanjutkan."
"Kalau aku bersahabat dengan Thian te Kiam ong, apa kau kira aku sudi datang ke sini? Thian te Kiam ong terhitung musuhku karena ia telah berani menghinaku," jawab Tung hai Siao jin dan teringat akan pengalamannya dengan Thian te Kiam ong, merahlah mukanya saking marahnya.
"Bagus!" kata Lam hai Lo mo, "kalau begitu kau termasuk sahabat baikku. Akan tetapi, mengapa kau bermusuhan dengan Thian te Kiam ong?"
"Aku dan puteraku datang ke Tit le dan kebetulan sekali puteraku melihat anak perempuan Thian te Kiam ong. Ia merasa suka sekali dan kami mengajukan lamaran. Akan tetapi apa jawaban Than te Kiam ong? Ia mengeluarkan kata kata menghina, mencela puteraku sehingga akhirnya aku bertempur dengan dia dan puteraku bertempur dengan puterinya,"
"Lalu bagaimana? Menangkah? Atau kalah? Bagaimana kepandaiannya?" tanya Lam hai Lo mo penuh gairah.
"Ah, kepandaiannya sih tidak seberapa hebat," Tung hai Sian jin membohong, "hanya kami sengaja mengalah."
Siang cu menutup mulutnya agar tidak ke lihatan ketawa.
"Bocah setan, mengapa kau tertawa?" Tung hai Sian jin membentak dara itu.
"Orang tua, selama hidupku belum pernah aku mendengar orang bertempur lalu mengalah. Kalau kalah itu berarti memang kepandaiannya kurang tinggi, kalau tidak demikian, mengapa mengalah?"
"Siang Cu, jangan memutuskan penuturan Tung hai Sian jin. Sahabat, kau teruskanlah, dan terangkan mengapa mengalah."
"Kami datang ke sana sebagai pelamar. Kalau sampai terjadi pertempuran, tentu orang orang kang ouw mengira kami sengaja memaksa orang untuk dijadikan isteri. Hal itu tentu memalukan sekali dan merendahkan nama kami. Oleh karena itu kami sengaja tidak mau melanjutkan pertempuran dan pergi meninggalkan mereka,"
"Aku juga tidak jadi suka kepada puteri Thian te Kiam ong," kata Eng Kiai bersungut sungut.
"Gadis itu terlalu galak, kakaknya terlalu sombong, dan ayahnya terlalu jahat! Di dunia masih banyak terdapat gadis gadis cantik dan gagah perkasa, di antaranya terutama sekali yang tinggal di Pulau Sam liong to. Ha. ha, ha!"
"Apakah ini juga lamaran?" Lam hai Lo mo bertanya dan sinar matanya berkilat.
Melihat ini, Tung hai Sian jin merasa tidak enak, cepat ia mencela puteranya,
"Eng Kiat, jangan sembrono. Lam hai Lo mo, puteraku memang suka berkelakar, maafkan dia. Tentu saja kau katanya tadi bukan bermaksud meminang muridmu, akan tetapi alangkah baiknya kalau hubungan kita ini diikat oleh perjodohan orang orang muda."
"Oh, siapa sudi menerima?" kata Siang Cu yang cepat membalikkan tubuh dan berlari pergi dan situ, kembali ke pondok.
Adapun Lam hai Lo mo yang melihat sikap muridnya itu, berkata kepada tamu tamunya,
"Muridku masih muda dan paling benci kalau orang membicarakan tentang perjodohan. Pula, aku tidak hendak bicarakan perjodohan sebelum musuh musuh besarku terbasmi habis. Tung hai Sian jin, kau mengaku sahabatku, apakah kau dapat memberi keterangan tentang Mo bin Sin kun, Kim Kong Taisu, dan Thian te Kiam ong?"
"Tentu saja dapat, belum lama aku kembali dari pedalaman Tiongkok "
"Kalau begitu, silahkan datang ke pondokku. Kita bercakap cakap sambil menghadapi hidangan sekedarnya."
Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat lalu mengikuti Lam hai Lo mo menuju ke pondok, di mana telah menanti Ouw bin cu dan Siauw giam ong yang sudah menyiapkan hidangan. Sambil makan minum, mereka bercakap cakap. Dari penuturan Tung hai Sian jin. Lam hai Lo mo mendengar berita bahwa Mo bin Sin kun telah lama tidak muncul dan wanita sakti itu entah menyembunyikan atau mengasingkan diri di mana. Adapun Kim Kong Taisu atau juga disebut Kim Kong Sian jin telah meninggal dunia karena memang sudah tua sekali.
"Thian te Kiam ong Song Bun Sam tinggal di Tit le, bersama isteri dan dua orang anaknya. Ia telah menurunkan semua kepandaiannya kepada putera dan puterinya karena itu mereka sekeluarga merupakan lawan yang tangguh, Tung hai Sin jin berkata terus terang.
Selanjutnya Tung hai Sian jin menuturkan tentang perkembangan di daratan Tiongkok, tentang tokoh tokoh kang ouw yang baru muncul dan tentang pembentukan partai partai persilatan baru.
Eng Kiat jemu mendengar percakapan ini maka ia berpamitan untuk melihat lihat keadaan Pulau Sam liong to, lalu keluar dari pondokan itu. Sebetulnya, pemuda ini ingin sekali bertemu dengan Siang Cu, karena semenjak tadi gadis itu tidak muncul lagi.
Ia melihat Ouw bin cu dan Siauw giam ong bercakap cakap perlahan di sebelah luar pondok dan kedua orang tosu ini menghentikan percakapan mereka ketika melihat pemuda ini. Akan tetapi, Eng Kiat tidak memperdulikan mereka, bahkan pura pura tidak melihat mereka, lalu melanjutkan perjalanan mencari Siang Cu.
Eng Kiat mendapatkan Siang Cu tengah duduk di pinggir pantai, memancing ikan di tempat yang dalam dari batu karang yang curam.
Melihat pemuda itu sambil tersenyum senyum datang menghampirinya lalu duduk tak jauh di sebelah kirinya, gadis itu berkata merengut, "Mau apa kau datang ke sini? Bukankah kau dan ayahmu datang untuk bertemu dengan suhu?"
"Suhumu sudah ada ayah yang mengajaknya mengobrol. Kau seorang diri saja, maka aku datang untuk bercakap cakap. Biar yang tua sama tua yang muda sama muda, bukankah itu sudah cocok sekali?"
"Adik yang baik. Dari suhumu aku mendengar bahwa namamu Ong Siang Cu, sungguh indah nama itu, cocok dengan orangnya. Akan tetapi harap kau tidak terlalu galak. Aku datang sebagai sahabat baik."
"Cih, siapa sudi mempunyai sahabat baik dan siapa ingin bercakap cakap denganmu? Pergilah dan jangan mengganggu aku!"
Akan tetapi Eng Kiat hanya tertawa tawa saja dan tidak berkisar dari tempat duduknya. Sebaliknya ia lalu membaca ujar ujar dari Nabi kiong Cu,
"Membalas kejahatan dengan kebaikan menandakan watak yang budiman, membalas kebaikan dengan kejahatan menunjukkan watak penjahat. Eh, adik Siang Cu, aku berlaku baik kepadamu, apakah kau hendak membalasnya dengan kejahatan? Menemukan seorang dara seperti engkau ini di atas pulau kosong, benar benar merupakan keganjilan alam. Siapa yang takkan gembira dan tertarik? Adikku, marilah kita bersahabat dan bercakap cakap dengan manis. Kau mau bicara tentang apa? Tentang ilmu silat? Tentang kesusasteraan? Agaknya di dunia ini kau takkan dapat menemukan orang yang lebih pandai daripada aku Bong Eng Kiat."
Mendengar ini, sambil tersenyum mengejek Siang Cu menjawab dengan ujar ujar dan Khong Cu juga,
"Biarpun orang memiliki kebajikan seperti Pangeran Cou, apabila dia sombong, dia tak patut dilihatnya! Siapa sih yang tertarik kepadamu? Bagiku, kau hanya sebagai kain rombeng disulam benang emas! Pergilah!"
Namun sambil cengar cengir. Eng Kiat memandang wajah dara itu dengan penuh kekaguman.
"Kau benar benar seperti bidadari, nona. Terutama sekali tanda hitam di dekat bibir itu, hmm, belum pernah aku melihat seorang dara semanis engkau. Biar kau memburukkan aku sesuka hatimu, asal kau suka menjadi sahabatku, aku rela menerima semua hinaan,"
"Orang ceriwis! Pergilah kau!" Siang Cu membentak marah. "Kau tidak melihat bahwa kau membikin takut ikan ikan sehingga mereka tidak mau mendekati umpan pancingku?"
"Ikan ikan itu bukannya takut, adik Sian Cu. Mereka itu tahu diri dan sengaja menjauhkan diri agar jangan mengganggu percakapan dua orang muda di pinggir laut."
Kemarahan Sing Cu tak dapat ditahan lagi, ia membanting pancingnya dan melompat berdiri.
Matanya bersinar sinar dan ia mengigit gigit bibirnya.
"Kalau bukan tamu dari suhu, sudah kulemparkan kau ke laut! Sudah dua kali kau kusuruh pergi, sekarang kuulangi lagi, pergi kau dari sini! Kalau tidak, jangan dianggap aku yang keterlaluan kalau pedangku bicara!" Sambil berkata demikian. Siang Cu mencabut pedangnya dan berkelebatlah sinar kehijauan dari pedang ini.
Bong Eng Kiat wataknya sombong sekali, ia memang selalu memandang rendah kepada siapa saja, juga ia memandang rendah kepada Siang Cu. Melihat gadis ini mencabut pedang, ia juga bangun berdiri akan tetapi masih tersenyum senyum.
"Sudah cantik, lagi perkasa. Benar benar kau lebih menang daripada puteri Thian te Kiam ong,"
"Keparat busuk! Kau tidak mau pergi berarti kau mencari mampus!" Sambil berkata demikian Siang Cu lalu menyerang dengan pedangnya menusuk secepat kilat.
Tadinya Eng Kiat mengira bahwa gadis ini hanya menggertak saja, karena masakan sebagai nona rumah hendak membunuh seorang tamunya? Akan tetap, alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa serangan ini benar benar dapat membuat dadanya tertembus pedang! ia cepat mengelak dan masih memandang rendah. Ia melompat lomoat ke sana ke mari sambil tersenyum senyum, memamerkan ginkangnya yang tinggi.
Siang Cu merasa penasaran sekali. Belum pernah ada orang berani mempermainkannya seperti pemuda ini, maka ia lalu mempercepat gerakan pedangnya sehingga yang nampak hanya sinar hijau bergulung gulung bagaikan seekor naga hijau mencari korban.
Baru sekurang Eng Kiat terkejut sekali. Tak mungkin lagi baginya untuk menghadapi pedang nona ini dengan hanya mengelak dan mengandalkan ginkangnya. Terpaksa ia lalu mencabut siang kiamnya (sepasang pedang) dan menangkis sambil berseru,
"Sudah, sudah, adik yang manis". baiklah aku pergi, jangan serang lagi!"
Akan tetapi, omongan ini terutama sekali sebutan adik yang manis, membuat Siang Cu makin marah dan ia menyerang lebih ganas lagi! Sibuk juga Eng Kiat menggerakkan sepasang pedangnya untuk menangkis. Biarpun ia amat terdesak, namun ia sama sekali tidak mau balas menyerang.
Sementara itu, selagi dua orang kakek sakti bercakap cakap di dalam pondok dan dua orang muda itu mengadu pedang, dua bayangan orang bekerja dengan cepat sekali, mengangkut banyak emas dari peti di dalam gua, kemudian diam diam mereka lalu membawa emas itu ke dalam perahu dan berlayar meninggalkan Pulau Sam liong to!.
Mereka ini bukan lain adalah Ouw bin cu dan Siauw giam ong. Memang sudah lama mereka bersepakat untuk melarikan diri dari situ membawa pergi emas sebanyak banyaknya, akan tetapi, mereka sama sekali tak pernah berani mencobanya karena kalau hal ini diketahui oleh Siang Cu atau Lam hai Lo mo, hal ini berarti nyawa mereka akan melayang.
Akan tetapi, mereka tiada jemunya mencari kesempatan baik dan akhirnya kesempatan itu tiba.
Melihat betapa dua orang kakek itu amat asyik bercakap cakap dan kini Siang Cu yang marah marah menyerang pemuda itu, Ouw bin cu dan Siauw giam ong lalu cepat mengerjakan rencana mereka yang sudah diatur.
Adapun Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin, sebagai tokoh tokoh kang ouw yang bertemu di tempat itu, banyak hal yang mereka bicarakan sehingga mereka tidak memperhatikan lain hal yang mungkin terjadi di luar pondok. Akan tetapi pendengaran mereka luar biasa tajamnya. Biarpun tempat di mana Siang Cu dan Eng Kiat bertanding agak jauh dari situ, namun suara beradunya pedang selalu merupakan suara yang menarik perhatian ahli ahli silat tinggi.
"Ada yang bertempur," kata Lam hai Lo mo.
"Kau betul, akupun mendengar suara pedang beradu." Tanpa banyak cakap lagi, seperti sudah berjanji, keduanya lalu melompat ke luar pondok dan ketika mereka mengeluarkan kepandaian ternyata mereka dapat bergerak maju berbareng dengan cepat sekali.
Pada saat itu, Siang Cu sudah mendesak Eng Kiat dengan hebat sekali dan ketika ia menggerakkan pedangnya dengan gerakan memutar, menyerang bertubi tubi dan kaki terus naik sedikit sedikit, Eng Kiat benar benar sibuk sekali.
Serangan sedikit demi sedikit naik ini adalah ilmu pedang yang disebut Pedang Angin Puyuh yang mula mula menyerang kaki lawan, kemudian dilanjutkan bertubi tubi ke atas. Beberapa kali ujung pedang bersinar hijau itu melukai Eng Kiat namun pemuda ini dengan susah payah masih dapat menangkis.
Ketika serangan pedang itu sudah tiba di lehernya, ia tak tahan lagi dan karena kurang cepat mengelak maka pundaknya terbabat pedang. Baiknya Siang Cu masih ingat bahwa selama pertempuran pemuda itu tak pernah membalas, maka ia sengaja menyelewengkan pedangnya sehingga pundak pemuda itu tidak terbabat semua, hanya baju di bagian pundak dan sedikit kulit pundak saja yang terkupas dan mengeluarkan darah.
"Siang Cui Mana kesopananmu?" Lam hai Lo mo membentak marah dan ia malu sekali terhadap Tung hai Sian jin.
"Kau melukai seorang tamu kita? Benar benar kurang ajar."
Eng Kiat buru buru melompat menghampiri Lam hai Lo mo dan berkata, "Locianpwe, harap jangan marah kepada adik Siang Cu. Dia tidak bersalah. Kami berdua tadi memang sengaja mencoba kepandaian masing masing untuk menambah pengetahuan dan teecu berlaku kurang hati hati sehingga terbabat pedang. Apakah artinya luka dan sedikit mengalirkan darah bagi seorang gagah? Harap Locianpwe tidak marah."
Mendengar ini, Siang Cu merasa heran. Ah, benar benar aneh pemuda itu, telah dilukainya masih saja membelanya dan kemarahan suhunya.
Lam hai Lo mo bukanlah searang bodoh. Dari jauh ia tadi melihat betapa pemuda tamunya itu sama sekali tidak membalas serangan muridnya, maka ia berkata,
"Bong hiante kalau betul muridku berlaku kurang ajar, kau berhak memberi pengajaran ke padanya."
"Ah, tidak, tidak, locianpwe. Muridmu amat baik kepadaku, dan kami tadi bermain main di tepi laut. Karena kegembiran itulah maka kami main main dengan pedang untuk mempererat perkenalan."
Sambil berkata demikian, Eng Kiat mengerling penuh arti kepada Siang Cu. Bukan main mendongkolnya hati gadis ini dan tanpa berkata sesuatu ia lalu lari pergi dari situ.
Lam hai Lo mo tertawa bergelak. Lalu menoleh kepada Tung hai Sian jin "Puteramu patut dipuji, sahabatku. Sayang sekali muridku itu keras kepala dan sukar diurus."
"Tidak apa," kata Tung hai Sian jin tertawa. "aku masih mengharapkan mereka kelak menjadi suami isteri."
Bukan main girangnya hati Eng Kiat mendengar kata kata kedua orang kakek ini. Memang, terhadap Siang Cu ia jatuh hati betul betul. Kepada gadis gadis lain, biasanya ia menyatakan cinta kasihnya dengan kasar dan tak segan mempergunakan kekerasan, namun terhadap Siang Cu, ia lemah dan bahkan sampai dilukai pundaknyapun ia tidak merasa sakit hati sama sekali. Agaknya tai lalat kecil di pinggir mulut Siang Cu telah menawan hatinya.
Tadi di dalam pondok, dua orang kakek itu telah bersepakat untuk bersama sama menjatuhkan Thian te Kiam ong sekeluarga. Bukan itu saja, bahkan mereka mempunyai cita cita untuk menggerakkan bajak bajak laut dan menyerang Kerajaan Goan tiuw. Bukan sekali kali dengan maksud membela rakyat yang tertindas melainkan untuk memenuhi cita cita mereka, yakni menguasai kerajaan.
Selagi dua orang kakek itu membicarakan tentang kemungkinan perjodohan antara Siang Cu dan Eng Kiat tiba tiba gadis itu datang berian lari dan pada mukanya terbayang bahwa telah terjadi sesuatu yang hebat.
"Suhu, dua orang tosu itu telah pergi, mencuri perahu dan membawa serta isi peti di dalam gua."
"Apa???" Lam hai Lo mo marah sekali. Dengan tongkatnya ia hajar pohon yang tumbuh di dekatnya.
Terdengar suara keras dan pohon itu tumbang! Kakek buntung itu masih belum puas, sambil memaki maki dan berteriak teriak ia menggunakan tongkatnya mengamuk dan banyak pohon ditumbangkan seperti seekor gajah mengamuk saja! Tung hai Sian jin memandang dengan kagum, adapun Eng Kiat memandang dengan muka pucat. Alangkah hebatnya kakek ini kalau sudah mengamuk, pikirnya dan ada perasaan takut dalam hatinya terhadap kakek buntung ini.
"Tangkap mereka! Kejar mereka! Akan kuhancurkan benak mereka!" teriaknya berulang ulang.
"Suhu, mereka sudah tidak kelihatan bayangannya lagi dan kita tidak tahu ke jurusan mana ia pergi. Bagaimana bisa mengejar?"
"Tidak berduli! Biar ke dalam neraka sekalipun, aku akan mendapatkan meraka, anjing anjing terkutuk itu! "Lam hai Lo mo marah benar benar. Tadi i menjanjikan kepada Tung hai Sian jin bahwa untuk membiayai pengumpulan pasukan bajak laut, ia telah bersedia banyak sekali emas, akan tetapi sekarang emas itu telah dicuri dua orang pelayannya sendiri!
Sementara itu, ketika Tung hai Sian jin mendengar ini, ia tertawa bergelak mentertawakan Lam hai Lo mo.
"Ha, ha, ha! Iblis Tua Laut Selatan kena ditipu mentah metah oleh dua ekor kacoa yang berbau busuk. Sungguh lucu sekali. Lam hai Lo mo, setelah emas itu lenyap, tak perlu lagi kita bicara tentang pasukan yang banyak makan biaya. Nah sampai jumpa kembali."
"Nanti dulu, Tung hai Sian jin!" Tubuh kakek kaki buntung ini berkelebat dan ia sudah menghadang di depan Tung hai Sian jin, sikapnya mengancam, cambang bauknya berdiri kaku.
"Kau mau apa, Lam hai Lo mo?" Dewa Laut Timur ini melintangkan tongkat kepala naganya di depan dada.
"Katakan bahwa kau takkan membatalkan kerja sama kita!" Lam hai Lo mo menuntut.
"Ha, ha, ha! Anjing tak dapat disebut anjing lagi kalau kepalanya sudah tidak ada? Eh, Lam hai Lo mo, bagaimana lagi janji kerja sama kita? Sahamku berupa usaha mengumpulkan tenaga bantuan, dan sahammu berupa emas untuk membiayai mereka itu. Sekarang emasmu dicuri orang, bagaimana mungkin kau mau bekerja sama tanpa saham? Lebih baik kau lekas mencari emasmu yang hilang, baru kelak kita bicara lagi tentang kerja sama."
Untuk beberapa lama, kedua orang kakek itu berhadapan dengan sikap seperti siap untuk saling menghantam. Akan tetapi, tiba tiba Lam hai Lo mo tertawa bergelak gelak dan berkata,
"Pergilah, pergilah, siapa butuh pertolongan seorang seperti kamu? Ha, ha, ha, di dunia ini memang tidak ada orang baik. Di mana ada kesetiaan? Pelayan pergi mencuri emas, sahabat baru datang karena melihat emas. Ha, ha, ha!"
Tung hai Sian jin juga tertawa bergelak.
"Eng Kiat, mari kita pergi. Untuk apa melayani kaki buntung yang miskin ini. Mari pulang!"
Pemuda itu melihat bahwa antara ayahnya dan si kakek buntung terjadi pertentangan hebat pada saat itu, maka ia tidak berani bercakap lagi dan segera mengikuti ayahnya pergi ke pantai, lalu menggunakan sebuah perahu, berlayar kembali ke pulaunya sendiri.
Sepeninggal mereka, Lam hai Lo mo tertawa lalu menangis.
"Dunia ini palsu, manusia manusia juga palsu! Semua kotor, semua buruk! Yang bersih dan bagus itu hanya palsu belaka hanya kulit, isinya busuk!" Berkali kali kakek buntung ini mengeluh dan menangis. Siang Cu yang sudah mengenal akan watak suhunya yang kukoai (ganjil), mendiamkan saja, menanti sampai orang tua itu menjadi tenang kembali.
Setelah agak tenang, ia mendekati suhunya dan bertanya dengan suara mengandung iba,
"Suhu, ke mana kita harus menyusul anjing anjing busuk Ouw bin cu dan Siauw giam ong itu?"
Untuk beberapa lama suhunya tidak menjawab, kemudian ia berkata sambil tertawa,
"Aha, mengapa bodoh amat kita ini? Tentu saja ke Go bi san! Siauw giam ong adalah murid Go bi pai dan kalau kita menyerbu ke sana dan memaksa supaya mereka mencari Siauw giam ong, bukankah keduanya akan dapat ditangkap!"
"Dan kita sekalian pergi ke Tit le untuk mencari Thian te Kiam ong!" kata Siang Cu girang.
Ketika melihat gurunya ragu ragu. Siang Cu berkata gagah,
"Tanpa bantuan manusia seperti Tung hai Sian jin dan puteranya yang ceriwis, teecu sanggup menghadapi Thian te Kiam ong, suhu. Mengapa kita berkecil hati sebelum berhadapan dengan lawan?"
Terbangun semangat Lam hai Lo mo mendengar ucapan muridnya ini.
(Lanjut ke Jilid 31)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 31
"Ha, ha, ha, kau benar! Kita berdua sanggup menghancurkan keluarga Song Bun Sam! Kecil hati? Aku Lam hai Lo mo! Ha, ha, ha, kuhancurkan mereka semua. Kuhancurkan!"
Sambil terpincang pincang, kembali Lam hai Lo mo menghajar pohon pohon yang berdekatan dengannya sehingga kembali banyak pohon tumbang. Sementara itu, Siang Cu lalu berkemas untuk melakukan perjalanan jauh, ke daratan Tiongkok, melalui gunung gunung, sungai sungai, dan kota kota. Tempat yang sudah amat lama dirindukannya, dijadikan bahan mimpi setiap malam. Memang sesungguhnya dara yang sudah dewasa ini mulai merasa amat bosan untuk tinggal saja di pulau kosong, berdua dengan suhunya yang kadang kadang kumat gilanya.
Kerajaan Goan adalah kerajaan penjajah yang datangnya dari Mongol. Kaisar pertama yang mula mula menyerang Tiongkok dan menghancurkan Kerajaan Cin di Tiongkok Utara, adalah Jenghis Khan yang namanya amat termashur, tidak saja di Tiongkok, bahkan terkenal sampai ke dunia barat.
Setelah Kaisar Jenghis Khan meninggal dunia, kedudukannya digantikan oleh puteranya yang ke tiga, yakni Kaisar Ogudai, yang seperti juga ayahnya, amat gemar akan perang dan meluaskan daerahnya dengan menyerbu negara negara tetangga.
Setelah Ogudai meninggal dunia dengan tiba tiba, dan tahta kerajaan terjatuh ke dalam tangan Kaisar Mongka, cucu Jenghis Khan, barulah tentara Mongol yang luar biasa kuatnya itu menyerbu ke selatan, di bawah pimpinan Kubilai, saudara Kaisar Mongka, dan menundukkan Kerajaan Sung Selatan, bahkan terus menyerang sampai di Indo cina dan merampok Hanoi habis habisan!
Hanya sembilan tahun Mongka menjadi kaisar karena iapun meninggal dunia dan kini pemerintahan terjatuh ke dalam tangan Kublai Khan. Dalam jaman inilah cerita Sam liong to ini terjadi.
Kublai Khan yang mendirikan Wangsa Goan tiauw dan ia bahkan memindahkan ibu kotanya ke Peking. Kublai Kban tidak mau berhenti sampai di sini saja ia belum merasa puas kalau seluruh wilayah Tiongkok belum terjatuh ke dalam tangannya, maka terus terusan ia mengirim pasukan untuk menyerang daerah Sung selatan yang amat luas.
Namun, sungguhpun keadaan tentara Kerajaan Sung selatan pada waktu itu amat lemah berhubung dengan kelaliman kaisarnya, perebutan daerah selatan ini tidak berlangsung dengan mudah. Pasukan pasukan berkuda Bangsa Mongol yang dapat bergerak secepat kilat dalam menggempur musuh di daerah utara, agaknya di daerah pertanian di sebelah selatan Sungai Yang ce, tidak dapat bergerak dengan cepat lagi. Perlawanan terjadi di mana mana, bahkan enam belas tahun kemudian ketika Kaisar Kerajaan Sung selatan tertawan dan ibu kotanya, Hangkouw direbut, masih saja para jenderal dan panglima melakukan perlawanan sampai bertahun tahun.
Baru setelah sembilanbelas tahun kemudian semenjak Kublai Khan menjadi kaisar, seluruh wilayah Sung selatan dapat direbut dan mulailah dalam tahun 1279 ini berdirinya sejarah Wangsa Goan.
Kublai Khan tidak saja seorang kaisar yang gemar akan peperangan namun ia juga amat memperhatikan pembangunan demi kepentingannya sendiri. Di Kota Raja Peking, ia mendirikan istana yang luar biasa indahnya, juga istana istana peristirahatan yang mewah.
Kublai Khan juga memerintahkan agar supaya terusan air yang telah digali pada jaman Sui dan Sung yakni terusan antara Sungai Yang ce dan Huang ho, kini digali terus sampai ke Peking. Hal ini dilakukan untuk memudahkan hubungan antara Yang ce dan Peking, karena perlu untuk mengangkut beras yang terbanyak terdapat di lembah Sungai Yang ce.
Untuk pekerjaan ini, puluhan ribu tenaga kaum tani dipaksa dengan secara kejam, diharuskan bekerja melebihi binatang, sehingga banyak yang meninggal dalam kerja paksa ini. Kekacauan dan penindasan merajalela. Yang celaka tak lain hanyalah rakyat kecil atau kaum tani. Mereka dipaksa bekerja menggali terusan, dan apabila mereka meninggal dalam pekerjaan ini, maka tanah sawah mereka jatuh ke dalam tangan tuan tanah yang jahatnya melebihi lintah darat.
Pada jaman itu, kekayaan bertimbun timbun di tangan tuan tuan tanah yang hidupnya seperti raja kecil di dusun dusun. Bagi orang orang kaya ini, pemerintahan Bangsa Mongol tidak merugikan, bahkan menguntungkan, karena dengan jalan menyuap dan menyogok para pembesar Mongol, mereka ini seakan akan dilindungi dan dapat melakukan pemerasan dan penghisapan seenaknya terhadap kaum tani yang lemah.
Di kalangan rakyat jelata, mulailah timbul api pemberontakan yang menyala nyala di dalam dada. Tentu saja mereka ini tidak berdaya dan tidak berani memberontak secara berterang, karena memang kedudukan tentara Mongol luar biasa kuat nya. Apa lagi kini dibantu oleh orang orang Han (Tiongkok aseli) sendiri yang berwatak menjilat. Rakyat amat benci kepada penjajah Mongol akan tetapi lebih benci kepada tuan tuan tanah yang mengambil muka kepada musuh dan tidak segan segan menginjak injak bangsa sendiri. Gerombolan perampok timbul di mana mana mengganggu keamanan.
Kublai Khan bukan tidak tahu akan perasaan anti di kalangan rakyat, maka ia memerintahkan untuk membasmi orang orang yang memihak rakyat, ia tahu bahwa rakyat kecil takkan dapat berbuat sesuatu tanpa ada pemimpinnya, dan pemimpin rakyat tentulah orang orang pandai.
Mengawasi rakyat kecil yang banyak jumlahnya tidak mudah, akan tetapi mengawasi orang orang pandai yang hanya dapat dihitung banyaknya, amat mudah, ia lalu menyebar barisan penyelidik untuk mengawasi orang orang terpelajar terpelajar, para sasterawan, orang orang gagah yang terkenal di dunia Kang ouw, dan orang orang berpengaruh yang kiranya patut menjadi pemimpin rakyat.
Orang orang yang diselidiki ini, apabila ternyata tidak anti kepada pemerintah Goan tiauw, bahkan ditarik dan diberi kedudukan, diberi kehidupan mewah. Sebaliknya apabila nampak gejala gejala anti pemerintah Goan, orang ini tentu terus saja ditangkap dengan tuduhan memberontak!
Liem Kwan Ti, seorang siucai yang tinggal di kota raja, tak terkecuali terkena aksi pembersihan dari kaisar ini. Ia tinggal di kota raja dalam keadaan cukup karena peninggalan dari ayahnya cukup banyak untuk dapat dimakan sekeluarganya, yakni seorang isteri dan seorang anak perempuan yang sudah berusia limabelas tahun. Semenjak dahulu, keluarga Liem ini adalah keturunan orang terpelajar yang berjiwa besar dan cinta kepada bangsa.
Akan tetapi, Liem Kwan Ti bukan seorang kasar dan bodoh yang tidak melihat keadaan, ia tinggal diam saja dan biarpun hatinya sering kali terbakar melihat betapa pemerintah penjajah memeras rakyat, namun ia maklum bahwa ia tak berdaya dan bahwa sedikit saja ia membuka mulut berarti bencana menimpa keluarganya.
Akan tetapi, nasib baik atau buruk tak dapat ditolak. Ada ada saja kalau orang sudah dinasibkan mengalami bencana.
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di dalam kota raja tinggal seorang komandan Busu (pengawal istana) yang mempunyai seorang putera bernama Souw Sit. Biarpun seorang Han namun karena memiliki kepandaian tinggi dan pandai menjilat, ayah Souw Sit menerima pangkat sebagai komandan pengawal dan hidupnya mewah. Souw Sit sendiri sebagai pemuda, terkenal sebagai seorang pemogoran dan mata keranjang. Banyak sudah anak bini orang menjadi korban gangguannya.
Pada suatu hari, dalam sebuah kelenteng ketika orang orang datang bersembahyang, Souw Sit yang memang seperti burung alap alap mengintai korban, dapat melihat puteri dari Liem Kwan Ti yang cantik.
Gadis ini bernama Liem Kwei dan memang ia cantik manis dna baru berusia limabelas tahun. Biarpun hanya melihat sekelebatan saja, wajah Liem Kwei cukup membuat Souw Sit menjadi jatuh bangun hatinya dan rindu, ia tidak berani berlaku sembarangan terhadap gadis seorang siucai (sasterawan), tidak seperti kalau ia menghendaki gadis puteri petani. Maka gelisahlah hatinya.
Akhirnya ia menyuruh orang mengajukan pinangan kepada Liem Kwan Ti. Sasterawan ini sudah cukup kenal dan tahu macam apa pemuda itu, maka dengan halus ia menolak pinangan tersebut. Hal iai menyakitkan hati Souw Sit yang segera mengadu kepada ayahnya bahwa ia dihina oleh keluarga Liem.
Inilah bibit bencana yang menimpa keluarga Liem. Ketika diadakan pembersihan, Souw Busu sendiri, yakni ayah Souw Sit, mengepalai pemeriksaan di rumah Liem Kwan Ti dan akhirnya di temukan buku terisi sajak sajak yang menyerang dan mencela pemerintah Goan tiauw. Tanpa banyak cakap lagi Liem Kwan Ti dan anak isterinya lalu ditangkap!
Di depan pengadilan, Liem Kwan Ti bersumpah bahwa ia tidak pernah menyimpan buku seperti itu, namun bukti sudah cukup jelas dan pengadilan tentu saja tidak menerima alasan ini, sama sekali tidak mau menyelidiki dari mana datangnya buku itu ke kamar Liem Kwan Ti. Putusan mati dijatuhkan!
Sebetulnya, seperti sudah dapat diduga, buku yang sifatnya memberontak itu memang sengaja dibawa oleh Siauw Busu dan ketika mengadakan pemeriksaan, dikeluarkan dan dikatakan bahwa buku itu didapatkan dari kamar sasterawan Liem!.
Sebelum hukuman mati dijatuhkan, Souw Sit mendatangi Liem Kwan Ti di tahanan dan dibujuknya bahwa apabila sasterawan itu mau memberikan puterinya ia tanggung akan dapat menolong para tawanan ini sekeluarga.
Tentu saja Liem Kwan Ti menjawab dengan makian sehingga pemuda itu menjadi marah sekali.
Malamnya dengan kekerasan Liem Kwei dibawa pergi, dipisahkan dari ayah bundanya. Dan pada keesokan harinya, Liem Kwan Ti hanya mendengar bahwa puterinya itu telah membunuh diri dengan jalan membenturkan kepala sampai pecah pada dinding kamar tahanan!.
Bukan main hancurnya hati ayah dan ibu ini Liem Kwan Ti berteriak teriak, memaki maki pemerintah Goan, memaki maki orang orang Han yang menjadi penjilat bangsa penjajah seperti Souw Busu dan Souw Sit. Sampai datang saat hukuman mati dijatuhkan, Liem Kwan Ti dan isterinya tetap memaki maki dan sedikit pun tidak takut menghadapi golok algojo yang memancung kepada mereka!
Pemberontakan Taipeng Eps 6 Pemberontakan Taipeng Eps 2 Pedang Naga Kemala Eps 24