Ceritasilat Novel Online

Asmara Si Pedang Tumpul 7


Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 7




   "Nona berpedang Ular Putih, aku Bhok Cun Ki telah datang memenuhi undanganmu!"

   Memang sejak tadi Lili sudah mengintai dari balik semak belukar. Sejak laki-laki itu mendaki lereng dekat puncak, ia sudah tahu dan ketika pria itu sudah dekat, ia memandang kagum.

   Jadi inikah kekasih sucinya yang telah meninggalkan sucinya dan membuatnya hidup merana? Pantas kalau sucinya tergila-gila. Memang pria ini seorang pria yang gagah perkasa dan ganteng. Sekarangpun, dalam usia yang mendekati limapuluh tahun, pria itu masih nampak tegap dan ganteng, dengan penampilan seorang pendekar tulen. Sebatang pedang tergantung di pinggangnya dan langkahnya ketika mendaki puncak tadi bagaikan langkah seekor harimau. Dari atas puncak ia mengamati dan melihat bahwa pria itu memang datang seorang diri, dan inipun menunjukkan bahwa dia memang gagah dan berani, dan tidak curang.

   "Bagus, kiranya engkau yang bernama Bhok Cun Ki!"

   Bhok Cun Ki membalikkan tubuh dan melihat bayangan berkelebat, tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang gadis yang cantik. Dia mengamati penuh perhatian. Seorang gadis berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun yang cantik manis, dengan sikap yang dingin dan galak, namun matanya bersinar tajam. Dia tahu bahwa gadis itu memiliki keringanan tubuh dan kecepatan yang tak boleh dipandang ringan. Cepat dia memberi hormat sepantasnya dengan merangkap kedua tangan depan dada.

   "Apakah hubunganmu dengan Cu Sui In, nona? Apakah engkau muridnya?" Bhok Cun Ki langsung bertanya karena dia sudah yakin bahwa inilah gadis yang telah mencarinya dan mengalahkan putera dan puterinya.

   "Cu Sui In adalah suciku. Hemm, agaknya engkau sudah dapat menduga bahwa aku datang diutus oleh suci untuk membunuhmu?"

   Bhok Cun Ki menghela napas panjang dan mengangguk.

   "Aku sudah dapat menduganya. Kiranya engkau adalah sumoinya, dan engkau murid See-thian Coa-ong. Pantas engkau lihai. Akan tetapi, terima kasih bahwa engkau tidak membunuh kedua orang anakku. Hal ini saja sudah mengherankan karena biasanya orang-orang dari Bukit Ular tak pernah membiarkan lawannya hidup."

   Lili mengerutkan alisnya.

   "Aku bukan pembunuh! Aku ditugaskan untuk membunuhmu, bukan membunuh anak-anakmu. Nah, bersiaplah untuk mengadu nyawa. Engkau atau aku yang akan mati hari ini!" Lili mencabut pedangnya dan nampak sinar putih menyilaukan mata tertimpa sinar matahari senja.

   Bhok Cun Ki mengeluh dalam hatinya. Tak disangkanya bahwa urusan pribadinya dengan Cu Sui In akan menimbulkan peristiwa yang dihadapinya sekarang ini. Dia ditantang seorang gadis muda!

   "Nona, siapakah namamu?" tanya dan suaranya lembut karena melihat gadis itu, walaupun ia nampak galak dan dingin, menimbulkan perasaan suka dalam hatinya. Dia merasa berhadapan dengan anak sendiri atau keponakan sendiri.

   Bagaimana dia, seorang pendekar Butong-pai, seorang panglima, dapat enak hati menyambut tantangan mengadu nyawa seorang gadis yang sepantasnya menjadi anaknya atau keponakannya?

   "Namaku tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan adu nyawa ini, Bhok Cun Ki!" kata Lili dengan tegas.

   "Benar sekali, akan tetapi kalau engkau kalah dan mati, engkau akan tahu siapa yang membunuhmu, sebaliknya kalau aku yang kalah dan mati, arwahku bisa penasaran karena aku tidak tahu siapa yang membunuhku." Bhok Cun Ki bicara dengan nada suara serius, akan tetapi juga mengandung kelakar.

   Lili juga merasa sukar untuk mempertahankan kekakuannya juga, di dalam hatinya tidak mempunyai masalah pribadi dengan pria ini, maka iapun tidak dapat merasa benci. Bahkan ia merasa kagum karena ia berhadapan dengan seorang laki-laki jantan yang bersikap begitu tenang.

   "Baik, namaku biasa disebut orang Lili."

   "Nona Lili, nama yang bagus. Akan tetapi kenapa sucimu Cu Sui In tidak datang sendiri membunuhku, melainkan menyuruh engkau yang tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan kami?"

   "Aku hanya menunaikan tugas. Jangan tanya kepadaku, tanyalah kepada suci, akan tetapi tidak ada kesempatan lagi bagimu karena engkau akan mati ditanganku."

   Bhok Cun Ki tersenyum.

   "Nona Lili, engkau masih begini muda namun memiliki kepandaian tinggi dan pemberani. Sungguh sayang seorang muda seperti nona ini melakukan pertandingan mengadu nyawa. Aku sendiri sudah cukup tua, dan mati bagiku bukan apa-apa. Akan tetapi engkau, masih begini muda dan berhak untuk hidup lebih lama lagi dan menikmati hidupmu. Tahukah engkau mengapa sucimu itu menyuruhmu mencariku dan membunuhku?"

   "Bhok Cun Ki, kenapa engkau begini cerewet, sih? Agaknya dahulu suci terpikat oleh kapandaianmu merayu dengan kata-kata. Tentu saja aku tahu kenapa suci ingin aku membunuhmu. Engkau telah menghancurkan kebahagiaan hidupnya, engkau telah membuat ia merana sampai sekarang tidak berumah tangga. Engkau merayunya dengan ketampananmu, kepandaianmu merayu, dengan janji-janji palsumu. Sudahlah, akupun tidak perduli. Yang penting, aku harus membunuhmu. Cepat keluarkan pedangmu, atau aku akan membuat engkau mati konyol!" Gadis itu menggerakkan pedangnya sehingga berkelebatan dan mengeluarkan sinar putih yang menyilaukan mata.

   "Tunggu sebentar, nona. Aku tidak percaya seorang gadis seperti engkau ini mau membunuh orang yang belum siap melawan. Dengar dahulu, baru kita bertanding agar engkau mengetahui urusan antara aku dan sucimu itu, agar kita berdua dapat bertanding dengan penuh kesadaran. Memang ku akui bahwa ketika aku masih muda, di antara aku dan sucimu Cu Sui In terjalin hubungan cinta kasih yang mendalam, bahkan kami berdua sudah saling berjanji dan sepakat untuk menjadi suami isteri. Aku mencintainya dengan sepehuh hatiku, bahkan sampai sekarangpun aku masih mencintanya. Akan tetapi ia menipuku. Ia tadinya tidak berterus terang tentang dirinya. Setelah aku mengetahui bahwa ia adalah puteri See-thian Coa-Ong dan ia berjuluk Bi-coa Sianli, seorang tokoh sesat, puteri seorang datuk sesat yang melakukan banyak kekejaman dan kejahatan, bagaimana mungkin aku berjodoh dengannya? Seluruh pimpinan Butong-pai akan mengutuk aku, karena sebagai seorang pendekar aku harus menentang golongan sesat, bukan mengawini puteri seorang di antara para datuknya, yaitu See-thian Coa-ong. Nah, itulah sebabnya aku memisahkan diri walau aku selalu mencintanya."

   "Omong kosong! Cinta macam apa itu kalau memakai persyaratan? Cinta macam apa yang dapat dibeli dengan keadaan seseorang? Yang kaucinta itu orangnya, pribadinya, ataukah kedudukannya dan namanya? Ingat, aku adalah murid See-thian Coa-ong, dan bagiku, suhu jauh lebih jantan dari pada engkau yang mengaku pendekar! Setidaknya, suhu tidak pernah menjual omong kosong dan rayuan gombal kepada seorang wanita!"

   Wajah Bhok Cun Ki berkerut-kerut dan agak pucat, matanya nampak bingung dan gelisah! Selama hidupnya, baru sekali ini dia merasa menyesal bukan main. Memang dia tidak pernah dapat melupakan Cu Sui In, akan tetapi selama ini selalu dia menghibur perasaannya, menghibur batinnya bahwa dia meninggalkan Sui In karena melihat bahwa dia dan Sui In tidak akan dapat menjadi suami isteri yang rukun. Namun, semua itu hanya hiburan belaka bagi perbuatan mengkhianati kasih di antara mereka. Dalam hati kecilnya dia sudah merasa menyesal mengapa dia tergesa-gesa mengambil keputusan memutuskan cintanya itu. Padahal, dia tahu betapa Sui In amat mencintanya, dan demi cinta kasih mereka itu, bukan tidak mungkin dia akan dapat menuntun Sui In kembali ke jalan benar! Kini, dari mulut gadis itu dia seperti mendengarkan suara hatinya sendiri yang setiap kali membuatnya menyesal.

   "Sudahlah, aku merasa bersalah kepada Sui In. Akan tetapi, nona muda, jangan harap orang lain akan dapat membunuhku. Kalau Cu Sui In sendiri yang datang, aku akan menyerahkan nyawaku tanpa melawan. Kalau ia mewakilkannya kepada orang lain, jangankan engkau, biar andaikata See-thian Coa-ong sendiri yang datang, aku akan melawan dan membela diri."

   "Bagus, akupun bukan orang yang suka membunuh lawan yang tidak mau membela diri. Hayo, cabut senjatamu dan sudah cukup banyak kita bicara!" bentak Lili dengan sikap garang.

   Bhok Cun Ki tersenyum dan diapun mencabut pedangnya. Nampak sinar kehijauan berkelebat ketika dia mencabut pedang Ceng-kong-kiam (Pedang Sinar Hijau) yang merupakan sebatang pedang pusaka dari Butong-pai. Hanya murid yang sudah berjasa mengangkat nama baik Butong-pai sajalah yang berhak menerima hadiah sebatang senjata pusaka Butong-pai dan Bhok-ciangkun ini seorang di antara para pendekar Butong-pai yang tangguh.

   "Aku sudah siap, nona Lili!" katanya.

   "Lihat pedang!" Lili membentak dan iapun sudah menggerakkan pedangnya yang berbentuk ular putih itu, mulai dengan serangannya. Karena ia sudah tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli pedang Butong-pai yang berjuluk Sin-kiam-eng, (Pendekar Pedang Sakti) dan menurut sucinya amat lihai, begitu menyerang ia sudah menggunakan jurus yang amat dahsyat. Pedangnya berubah menjadi sinar putih meluncur bagaikan anak panah cepatnya menusuk ke arah tenggorokan lawan.

   "Wirr.... sing.......!" Pedang itu berdesing ketika sasarannya luput karena Bhok Cun Ki sudah mengelak dengan cepat, lalu dari samping pedangnya berubah menjadi sinar hijau menyambar ke arah mata kiri Lili! Serangan balasan inipun dahsyat, cepat dan mengandung tenaga sehingga pedangnya berdesing nyaring.

   Namun, Lili sudah mengelak dengan merendahkan tubuhnya, kemudian kaki kirinya mencuat ke arah pusar lawan, disusul pedangnya menyambar dari kanan ke kiri membabat leher!

   "Wuuuutttt.........!"

   Kembali Bhok-ciangkun menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu dengan meloncat ke belakang, dengan amat cepatnya Lili sudah meloncat ke depan, menyusulkan serangan lanjutan yang makin hebat. Pedangnya bagaikan seekor ular meluncur dibarengi tubuhnya yang merendah, pedang itu menusuk ke arah kedua lutut kaki lawan secara bertubi! Seolah-olah ada banyak sekali ular yang menyerang dan mematuk ke arah lutut dan kalau sekali saja lutut itu terkena patukan pedang ular, tentu Bhok-ciangkun akan roboh!

   Namun, Bhok-ciangkun adalah seorang pendekar pedang yang sudah banyak pengalamannya bertanding dengan pedang. Dalam pengalamannya sebagai seorang pendekar pedang, sudah banyak dia bertanding melawan orang-orang dari berbagai golongan. Tentu saja dia tidak mudah dikalahkan begitu saja dan dia sudah melihat bahayanya serangan yang dilakukan gadis itu ke arah kedua lututnya. Dengan ringan sekali tubuhnya meloncat ke atas, berjungkir balik dan turun ke belakang Lili dan membalas dengan serangan pedangnya yang diputar dengan cepatnya. Dia mulai memainkan jurus-jurus ilmu pedang Butong-pai yang indah dan kuat, juga amat cepat sehingga pedangnya lenyap berubah menjadi sinar hijau yang bergulung-gulung!

   Lili terkejut juga melihat kehebatan ilmu pedang lawan. Iapun tidak mau kalah dan ia memainkan pedangnya dengan gerakan cepat sehingga pedangnya lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar putih yang bergulung-gulung. Kadang-kadang, kedua gulungan putih dan hijau itu retak dan putus, ketika sepasang pedang itu bertemu di udara, menimbulkan percikan bunga api dan mengeluarkan bunyi berkerontang nyaring. Keduanya merasa tergetar tangan kanan masing-masing, maka tahulah mereka bahwa lawan memiliki tenaga yang tangguh dan keadaan mereka berimbang.

   Namun, setelah lewat limapuluh jurus, mulailah sinar putih itu terkurung tertekan oleh sinar hijau. Bagaimanapun juga ilmu pedang yang dimainkan Bhok Cun Ki memang hebat sekali. Pula, dia mempunyai banyak pengalaman bertanding, jauh lebih banyak dibandingkan lawannya.

   Lili mulai terdesak! Gadis yang keras hati dan pemberani ini maklum bahwa kalau ia hanya memainkan ilmu pedang biasa saja hanya mengandalkan kecepatan dan kekuatan, ia takkan menang melawan ilmu pedang lawan yang demikian hebatnya. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara mendesis nyaring dan gerakan pedangnya berubah. Bukan hanya gerakan pedangnya yang berubah, melainkan juga gerakan tubuhnya. Tubuh gadis itu, kedua lengannya, dan gerakan pedang itu kini mengandung gerakan seekor ular! Berlenggang lenggok dan menyerang dari bawah dengan tusukan, bacokan seperti ular memagut, disertai desis mengerikan seperti seekor ular cobra yang marah!

   Bhok Cun Ki terkejut juga menghadapi serangan aneh yang amat berbahaya itu. Tahulah dia bahwa gadis itu mengeluarkan inti dari ilmu silatnya yang bersumber dari gerakan ular dan ilmu ini yang membuat nama besar See-thian Coa-ong ditakuti orang. Gadis itu memang lihai dan berbahaya sekali. Bukan hanya pedang putih itu yang berbahaya, menyambar-nyambar dari bawah bagaikan seekor ular beracun pembawa maut, akan tetapi juga tangan kirinya membantu dengan serangan yang tidak kalah ampuhnya. Tangan itu menotok, mencengkeram dan gerakannya seperti seekor ular pula.

   Dihujani serangan dari bawah seperti itu, keadaannya menjadi berbalik. Kalau tadi Bhok Cun Ki berhasil mendesak lawan, kini dia lebih banyak mengelak dan menangkis, dan segera terdesak karena dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melindungi dirinya. Dia merasa seolah-olah dikeroyok banyak ular beracun. Akan tetapi setelah belasan jurus lewat dan dia terdesak semakin hebat, teringatlah dia, akan pertandingan ujian dalam permainan pedang melawan Sin Wan pagi tadi. Pemuda itu berkata bahwa lawan ular yang tangguh adalah burung! Mengertilah kini Bhok Cun Ki bahwa secara tidak langsung pemuda itu telah memberi petunjuk kepadanya bagaimana harus melayani gadis ini! Diapun mengerahkan tenaga, mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke atas, lalu menukik turun dan menyerang dari atas dengan pedangnya!

   Lili yang kini terkejut dan cepat menangkis, akan tetapi Bhok Cun Ki sudah melanjutkan serangkaian serangannya yang membuat gadis itu repot. Ketika Lili melempar diri ke atas tanah bergulingan dan membentuk serangan baru dari bawah, kembali tubuh Bhok-ciangkun melompat tinggi ke atas. Kini dia tidak mau menangkis atau mengelak ke samping, melainkan menghadapi serangan gadis itu dengan loncatan tinggi kemudian ketika tubuhnya turun dia menyambar bagaikan seekor rajawali menyerang seekor ular.

   Kembali keadaan menjadi berbalik, Lili yang kini terdesak karena bagaikan seekor ular menghadapi burung yang dapat terbang, ia tidak diberi kesempatan menyerang lawan, sebaliknya lawan menghujankan serangan yang dimulai dari atas.

   Hal ini membuat Lili menjadi penasaran dan marah sekali. Ketika untuk kesekian kalinya Bhok Cun Ki mendesaknya dengan serangan bertubi, ia mengeluarkan teriakan nyaring, pedangnya diputar cepat melindungi tubuhnya dan tangan kirinya mendorong dengan pengerahan tenaga dari ilmu tok-coa-kun (silat ular beracun). Dorongan ini hebat sekali karena dari telapak tangan kiri itu keluar uap kehitaman. Itulah pukulan beracun yang ganas!

   "Haiiiitttt!" Bhok Cun Ki yang mengenal pukulan maut, segera meloncat lagi ke atas, lalu menukik bagaikan seekor burung garuda.

   Pada saat itu, dia melihat sinar hitam meluncur ke arah dadanya dari arah kiri. Dia tahu bahwa dia diserang oleh senjata rahasia yang berbahaya. Karena tubuhnya sedang berada di udara dan tidak dapat mengelak, dia mengerahkan tenaga pada pedangnya dan menangkis senjata rahasia yang hanya berupa sinar hitam itu.

   "Cringgg!" Dan sinar hitam itu tertangkis, meluncur ke bawah, ke arah Lili.

   "Awas.......!!" Bhok Cun Ki berseru memperingatkan, namun terlambat. Lili sama sekali tidak mengira bahwa akan ada senjata rahasia meluncur demikian cepatnya oleh tangkisan pedang lawan yang berada di atas sehingga sebelum ia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba ia merasa nyeri pada pundak kirinya dan senjata rahasia itu telah menancap di pundak. Tubuhnya seketika menjadi lemas dan matanya berkunang, lalu gelap! Lili roboh pingsan.

   "Pengecut curang!" teriak Bhok Cun Ki dan tubuhnya sudah melayang ke arah dari mana datangnya senjata rahasia tadi. Namun dia tidak menemukan orangnya. Agaknya penyerang gelap itu telah melarikan diri dengan cepat. Karena cuaca mulai remang-remang, Bhok Cun Ki cepat menghampiri Lili. Gadis itu rebah miring dan ketika dia memeriksanya, dia terkejut. Sebatang paku hitam menancap di pundak itu. Paku itu masuk semua ke dalam daging pundak, dan panjang paku itu sepanjang jari kelingkingnya. Paku beracun!

   Hal ini dapat dilihatnya dengan seketika, melihat betapa sekitar luka itu nampak tanda hitam kebiruan. Cepat dia menotok beberapa bagian dari pundak itu setelah merobek bajunya, menghentikan jaian darah agar racun paku itu tidak menyebar luas, lalu dicabutnya paku itu. Karena dia tidak membawa obat, maka dipanggulnya tubuh gadis yang masih pingsan itu dan dibawanya lari cepat kembali ke kota raja. Tentu saja para penjaga terkejut melihat panglima itu memanggul seorang gadis yang pingsan dan mereka cepat memberi pertolongan, menyediakan kereta sehingga Bhok-ciangkun, dapat membawa Lili pulang tanpa menarik banyak perhatian.

   Kedatangan Bhok-ciangkun disambut dengan girang oleh Ci Han dan Ci Hwa, akan tetapi mereka juga terheran-heran melihat ayahnya memondong tubuh seorang gadis yang bukan lain adalah Lili, gadis yang hendak membunuhnya!

   "Ayah, kenapa ayah membawa siluman ini ke sini?" tanya Ci Hwa.

   "Apa yang terjadi, ayah," tanya Ci Han.

   Sin Wan yang juga berada di situ, tidak bertanya karena dia sudah mengetahui segalanya. Dia sudah berjanji kepada Ci Hwa untuk melindungi Bhok-ciangkun agar tidak sampai celaka ditangan Lili. Oleh karena itu, sebelum Bhok-ciangkun berangkat, dia telah mendahului naik mendaki bukit Bambu Naga dan mengambil jalan memutar sambil bersembunyi, kemudian dia menyembunyikan diri di balik semak belukar di puncak.

   Karena itu, dia melihat pertemuan antara Bhok Cun Ki dan Lili, bahkan mendengarkan semua percakapan di antara mereka. Maka tahulah dia urusan pribadi apa yang ada antara Bhok Cun Ki dan Bi-coa Sianli Cu Sui In. Diam-diam dia merasa terharu dan kasihan kepada mereka berdua. Cinta antara pria dan wanita merupakan perpaduan dari sorga dan neraka. Kalau berkembang dan berhasil baik membuat keduanya merasa seperti di sorga, sebaliknya kegagalan cinta membuat orang merana seperti tersiksa di neraka!

   Kemudian, tanpa berani memperlihatkan diri Sin Wan melihat mereka berdua bertanding. Dia hanya siap untuk melindungi Bhok-ciangkun, kalau sampai panglima itu terancam bahaya dan diam-diam diapun mengambil keputusan untuk mencegah seandainya Lili yang kalah dan terancam maut.

   Kemudian, selagi Bhok-ciangkun mempergunakan siasat seperti yang dimaksudkannya ketika dia dan panglima itu bertanding pedang, yaitu dengan cara berlompatan mengambil seekor burung menghadapi ular, dan ketika panglima itu sudah dapat mendesak lawan, dia melihat senjata rahasia yang meluncur ke arah Bhok-ciangkun itu.

   Akan tetapi dari tempat dia bersembunyi, tidak mungkin menolong panglima itu karena senjata rahasia itu meluncur dari arah yang berlawanan dari tempat dia bersembunyi! Dan dia melihat betapa Bhok-ciangkun berhasil menangkis senjata kecil itu dengan pedang, dan senjata rahasia itu bahkan melukai Lili! Dengan cepat, melalui jalan memutar, Sin Wan lari ke tempat dari mana senjata itu datang. Akan tetapi karena dia harus mengambil jalan memutar, dia terlambat dan tidak dapat menemukan penyerang gelap itu. Ketika dia melihat Bhok-ciangkun menolong Lili dan memondong gadis yang pingsan itu, menuju ke kota raja, dia mendahului dan kepada Ci Hwa dan Ci Han dia hanya menceritakan bahwa Bhok-ciangkun dalam keadaan selamat dan dapat mengalahkan Lili.

   "Cepat, ambilkan peti obat!" kata Bhok-ciangkun kepada kedua orang anaknya sambil memondong tubuh Lili yang masih pingsan ke dalam kamar. Sin Wan tidak ikut masuk, melainkan masuk ke dalam kamarnya sendiri dan termenung. Dia ikut terharu dengan peristiwa itu dan tidak ingin mencampuri.

   Betapapun juga, dia semakin kagum kepada Bhok Cun Ki. Sungguh seorang pendekar yang bijaksana, pikirnya. Gadis itu jelas datang, untuk membunuhnya dan kini gadis itu pingsan karena senjata rahasia orang lain. Namun, Bhok Cun Ki bahkan menolongnya dan membawanya pulang untuk mengobatinya! Jarang terdapat orang bijaksana dan budiman seperti panglima itu.

   Bhok Cun Ki sibuk mengobati Lili . Dua orang anaknya hanya menonton dengan alis berkerut. Mereka merasa penasaran sekali. Gadis liar itu telah menghina mereka, mengalahkan mereka, bahkan mengancam hendak membunuh ayah mereka. Akan tetapi kini ayah mereka malah membawa gadis yang terluka itu pulang untuk diobati!

   Bhok Cun Ki mencuci bersih luka itu, kemudian mengurut bagian pundak dan memaksa darah menghitam keluar dari luka di pundak. Setelah itu, ditempelkannya obat penghisap racun berupa koyok (obat tempel) putih yang tebal, dan dibalutnya pundak itu. Semua ini dia kerjakan sendiri karena kedua orang anaknya segan untuk membantu.

   Lili mengeluh dan membuka kedua matanya. Sejenak ia seperti nanar dan bingung, akan tetapi ia bangkit duduk dan menggigit bibir ketika terasa nyeri pada pundaknya. Ia memandang ke arah pundak kirinya, alisnya berkerut melihat betapa baju di pundaknya robek dan nampak kulit pundaknya telanjang, kini sudah terbalut kain putih. Ia menoleh dan melihat Bhok Cun Ki duduk di depannya, juga dua orang anak panglima itu berada di kamar. Melihat ia duduk di atas pembaringan di sebuah kamar, Lili segera teringat. Ia terkena serangan senjata rahasia di pundaknya dan ia roboh di puncak bukit itu, kenapa ia tahu-tahu berada di kamar ini? Melihat obat berserakan di atas meja, iapun tahu bahwa tentu ia telah diobati oleh Bhok Cun Ki!

   "Engkau..... manusia curang! Pengecut! Engkau menyerangku dengan senjata rahasia! Dan engkau membawaku ke sini! Sungguh engkau telah menghinaku!!"

   "Tenanglah, nona Lili. Bukan aku yang menyerangmu dengan senjata rahasia. Lihatlah, benda ini yang mengenai pundakmu!" Dia mengeluarkan paku hitam dari dalam saku bajunya, menyerahkannya kepada Lili. Gadis itu menerimanya, menyimpan dalam lipatan bajunya.

   "Akan kuketahui kelak siapa pemilik paku ini. Tentu komplotanmu yang sengaja menyerangku secara curang."

   "Nona Lili, engkau terlalu memandahg rendah kepadaku!" kata Bhok Cun Ki dengan alis berkerut.

   "Engkau tahu benar bahwa dalam pertandingan tadi, aku tidak berada di pihak yang kalah atau terdesak. Paku itu ditujukan kepadaku, menyerangku dan aku yang sedang berada di atas, menangkisnya dengan pedang. Paku itu melesak dan mengenai pundakmu."

   "Bhok Cun Ki, kalau begitu, kenapa engkau membawaku ke sini? Jangan kaukira perbuatanmu ini akan membuat aku berhutang budi kepadamu. Aku tetap akan menantangmu mengadu nyawa lagi setelah sembuh lukaku!" Lili berkeras,

   "Nona, jangan pergi dulu, lukamu belum sembuh. Atau, kalau engkau berkeras hendak pergi, bawalah obat ini untuk menggantikan koyok yang menyedot racun dari lukamu itu," kata Bhok-ciangkun melihat gadis itu hendak melangkah pergi.

   "Dan jangan lupa, ini pedangmu!" Dia menyodorkan pedang dan buntalan obat.

   Lili cemberut, tangan kanannya menyambar pedang ular putih dan diselipkan di pinggang, kemudian direnggutnya balutan pundaknya dengan kasar sehingga balutan itu terlepas dan obat koyok itupun jatuh dari pundaknya.

   "Aku tidak membutuhkan pertolonganmu. Aku tidak minta kau obati!" katanya sambil menahan rasa nyeri karena luka itu berdarah lagi setelah koyok dan balutannya ia renggut lepas dan ia buang.

   "Kelak aku akan mencarimu lagi untuk melanjutkan pertandingan sampai seorang di antara kita menjadi mayat!" Setelah berkata demikian, Lili membalikkan tubuhnya dan sambil menahan rasa nyeri, iapun melarikan diri meninggalkan gedung keluarga Bhok.

   Bhok-ciangkun tidak mengejar, dan dia menjatuhkan diri duduk di atas kursi dengan wajah yang muram sekali. Isterinya masuk dari ruangan belakang dan segera menghampiri suaminya.

   "Apakah yang terjadi? Aku mendengar dari para pelayan bahwa engkau pulang memondong seorang gadis yang terluka dan pingsan."

   Bhok Cun Ki menggeleng kepala. Tidak ada apa-apa. Ia seorang gadis yang terkena paku beracun dan tadi aku menolongnya."

   "Gadis itu sombong sekali ibu," kata Ci Hwa.

   "Ia ditolong malah marah-marah dan pergi."

   "Siapa sih ia?" tanya Nyonya Bhok Cun Ki yang berwajah cantik dan berwatak lembut itu.

   Ci Hwa dan Ci Han memandang kepada ayah mereka, dan Bhok Cun Ki, berkata,

   "Kami tidak mengenalnya. Sudahlah, jangan dipikirkan lagi gadis itu."

   Dengan isyarat pandang matanya, Bhok Cun Ki menyuruh kedua orang anaknya pergi. Dua orang muda itupun keluar dari kamar meninggalkan ayah ibu mereka. Ci Hwa mencari Sin Wan di kamarnya, akan tetapi pemuda itu tidak berada di sana, juga tidak berada di mana-mana dalam gedung itu.

   Untung bagi Lili bahwa malam itu cuaca amat gelapnya dan udara yang mendung membuat orang segan keluar rumah. Jalan-jalan sunyi sehingga Lili yang bajunya robek di bagian pundak, hanya ditutupi dengan saputangan lebar dan tangan kanan, tidak menarik perhatian banyak orang. Juga ketika ia memasuki rumah penginapan besar melalui pintu samping, para penjaga tidak begitu memperhatikannya sehingga ia dapat memasuki kamarnya di rumah penginapan terbesar di kota raja itu dengan aman.

   Setibanya di dalam kamar, Lili tidak menahan-nahan lagi rasa nyeri di pundaknya dan iapun merintih kesakitan. Lalu ia menyalakan lampu penerangan, ditambah beberapa batang lilin, dan memeriksa luka di pundaknya di depan sebuah cermin. Hemm, luka beracun, pikirnya. Sebagai murid See-thian Coa-ong yang mempelajari penggunaan bermacam racun, terutama racun ular dan binatang berbisa lainnya, ia segera mengetahui bahwa luka di pundaknya itu mengandung racun bunga yang cukup berbahaya. Untung bahwa racun itu tidak menjalar ke dalam, juga sebagian besar racun telah disedot oleh koyok yang dipasangkan Bhok Cun Ki dan yang tadi dibuangnya.

   SELAGI ia hendak mengobati lukanya dengan obat yang berada dalam bekalnya, tiba-tiba terdengar suara di luar daun jendela kamarnya.

   "Lili, bukalah jendela ini, biarkan aku masuk. Aku ingin bicara denganmu."

   Tangan kanan Lili meraba gagang pedangnya, dan matanya terbelalak. Suaranya terdengar agak gemetar, bukan karena takut melainkan karena tegang ketika ia bertanya,

   "Siapa....? Siapa di luar jendela itu?"

   "Aku yang berada di sini, Lili. Aku Sin Wan......"

   "Sin Wan......?" Wajah itu berubah menjadi berseri, pandang mata yang tadinya berharap-harap cemas itu bersinar-sinar dan dengan tangan kanan yang agak menggigil Lili membuka daun jendela yang lebar itu. Sesosok bayangan berkelebat masuk melalui jendela ke dalam kamar dan Sin Wan menutupkan kembali daun jendela itu.

   "Sin Wan.......! Akhirnya kita jumpa juga....... aih, betapa rinduku kepadamu......" Lili berseru perlahan dan iapun merangkul leher pemuda itu dengan lengan kanannya karena lengan kirinya akan membuat pundaknya nyeri sekali kalau ia gerakkan.

   Sin Wan terkejut. Tak disangkanya dia akan disambut begini mesra dan penuh sukacita, juga penuh keharuan oleh gadis liar ini. Akan tetapi dia teringat akan pertemuannya dahulu dengan Lili. Gadis ini pernah dengan terus terang mengaku cinta kepadanya, akan tetapi juga benci. Bahkan ketika Kui Siang meninggalkannya, Lili muncul dan mengajaknya untuk hidup bersamanya. Kini, melihat sikapnya, tahulah dia bahwa gadis liar ini tak pernah melupakannya dan masih mencintanya.

   Sejenak Sin Wan membiarkan Lili melepas kerinduan dengan merangkul dan menyandarkan muka ke dadanya. Kemudian, perlahan-lahan dia melepaskan rangkulan gadis itu dan berkata,

   "Lili, aku datang untuk bicara denganmu."

   Lili melepaskan diri dan kini ia menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata bercahaya dan kedua pipi kemerahan. Wajahnya berubah menjadi segar dan berseri walaupun pundaknya masih terasa nyeri. Sin Wan kini baru melihat bahwa pundak kiri gadis itu tidak tertutup baju dan ada luka kehitaman di situ.

   "Ah, engkau terluka? Luka beracun pula itu, Lili. Mari kubantu engkau mengobatinya."

   Lili tersenyum dan senyumnya masih semanis dulu.

   "Aku tahu engkau memang baik sekali kepadaku, Sin Wan. Tak pernah kulupakan betapa engkau dahulu juga menolongku dan mengobati luka keracunan di punggung dan pundakku."
Sin Wan memeriksa luka itu. Memang hanya luka kecil saja, bekas tusukan paku. Akan tetapi racun yang dibawa paku itu kini jauh lebih hebat dan berbahaya.

   "Aku membawa bekal obat penawar racun, Sin Wan. Biar kuambil dari buntalan itu."

   "Nanti dulu Lili. Kulihat racun dalarn lukamu ini amat berbahaya. Semua sisa racun harus dikeluarkan dulu, baru diberi obat agar engkau tidak terancam bahaya yang mungkin timbul kelak karena pengaruh sisa racun," kata Sin Wan.

   "Engkau duduklah bersila di atas pembaringan itu."

   Bagaikan seorang anak yang amat penurut, dengan senyum penuh kegembiraan, Lili duduk di atas pembaringan dan bersila. Sin Wan juga duduk bersila di belakangnya dan pemuda ini lalu menempelkan tangan kirinya di punggung bawah pundak kiri gadis itu, mengerahkan tenaga sakti dan menyalurkannya melalui lengan kirinya. Dari mendiang Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih), seorang di antara Tiga Dewa gurunya, Sin Wan mewarisi ilmu pengobatan dan di dalam ilmu Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa) terdapat penggunaan sinkang yang menyedot amat kuatnya. Kini dia mengerahkan tenaga itu untuk mendorong keluar hawa beracun yang masih tersisa di sekitar pundak kiri.

   Lili merasakan getaran hawa yang kuat dan hangat itu memasuki pundak lewat telapak tangan Sin Wan. Ia tersenyum, memejamkan kedua matanya dan merasa suatu kebahagiaan yang amat ia rindukan menyelinap ke dalam hatinya. Sejak dahulu ia kagum kepada pemuda ini, sejak masih kanak-kanak. Ketika mereka masih kanak-kanakpun mereka pernah bertemu dan berkelahi. Sucinya, Cu Sui In yang ketika itu masih menjadi gurunya, sedang bertanding melawan Sam-sian, dan ia bertanding melawan Sin Wan.

   Akan tetapi, ia kalah dan Sin Wan menangkapnya, menelungkupkannya di atas pangkuan Sin Wan dan anak laki-laki itu menghukumnya dengan tamparan pada pinggulnya sampai sepuluh kali! Teringat akan semua itu, timbul kemesraan yang mendalam di hati Lili. Teringat pula ia ketika mereka sudah dewasa dan bertemu kembali, Sin Wan juga menolongnya seperti ini, bahkan pemuda itu menggunakan mulutnya untuk menghisap luka-luka di punggungnya dan pundaknya untuk mengeluarkan racun, dan betapa setengah hari, lamanya ia tertidur dalam rangkulan Sin Wan, bersandar pada dadanya. Betapa mesranya!

   Kemudian, ia ingat betapa ia pernah membalas hukuman tamparan pada pinggulnya itu dengan penuh kemarahan, karena menang kekalahannya di waktu ia masih kecil itu tak pernah dapat ia lupakan. Ia menangkap Sin Wan, menyiksanya, mengikatnya di hutan sehingga nyaris pemuda itu diterkam harimau.

   Akan tetapi ia mencintanya! Ia mencinta Sin Wan maka ia tidak membiarkan pemuda itu mati diterkam harimau. Ia menyelamatkannya dan membebaskannya. Dan kini, pemuda yang pernah disiksanya dan hampir dibunuhnya itu kembali menolongnya, mengobati dan mengusir racun keluar dari lukanya. Sebetulnya, ia sendiri dapat menyembuhkan luka itu. Akan tetapi ia membiarkan Sin Wan yang mengobatinya dan ia merasa betapa kemesraan menyusup di hatinya.

   Tak lama kemudian luka di pundak itu mengeluarkan cairan menghitam. Sin Wan terus mendorong dengan getaran hawa saktinya sampai semua cairan menghitam habis keluar. Setelah yang keluar darah merah, barulah dia menghentikan pengerahan sinkangnya dan dia menaruh obat bubuk putih milik Lili, ditaburkannya pada luka itu. Obat bubuk putih itu manjur bukan main karena seketika luka kecil itu tertutup dan kering. Tidak perlu dibalut lagi.

   "Sekarang bahaya sudah lewat," kata Sin Wan sambil meloncat turun dari atas pembaringan.

   Lili juga turun dan ia mengeluarkan sehelai baju baru, menyelinap masuk ke dalam kamar mandi yang terdapat di kamar besar itu. Tak lama kemudian, Sin Wan melihat gadis itu keluar, bukan hanya telah mengenakan pakaian bersih, bahkan jelas bahwa ia menggunakan kesempatan itu untuk membereskan gelung rambutnya dan menambah bedak pada wajahnya yang cantik!

   Lili tersenyum kepadanya.

   "Duduklah, Sin Wan dan sekarang mari kita bicara. Bagaimana engkau tahu aku berada di sini dan apa yang akan kaubicarakan dengan aku?"

   "Lili, aku melihat engkau bertanding dengan Bhok-ciangkun di puncak bukit Bambu Naga tadi."

   "Ehhh?" Lili terkejut dan mengamati wajah pemuda itu penuh selidik.

   "Dan engkau melihat siapa yang telah menyerang dengan paku beracun tu?"

   Sin Wan menggeleng kepala.

   "Sudah kucoba untuk mengejar, akan tetapi tidak berhasil. Aku tidak tahu siapa yang melakukan kecurangan itu."

   "Siapa lagi kalau bukan kawan Bhok Cun Ki sendiri yang hendak berlaku curang?"

   "Jangan engkau menuduh seperti itu, Lili. Aku mengenal siapa Bhok Cun Ki itu dan dia adalah seorang gagah yang tidak akan sudi berbuat curang."

   "Huh, kau tidak tahu. Dia seorang yang palsu, perayu dan..... sudahlah, untuk apa kita bicara tentang dia? Tentu engkau datang mengunjungiku untuk bicara tentang diri kita, bukan? Apakah engkau sudah bersedia untuk bertualang berdua denganku, Sin Wan? Aku selalu merindukanmu, dan hidup akan terasa bahagia sekali kalau engkau dapat selalu mendampingiku."

   Sin Wan menarik napas panjang. Dia merasa iba kepada Lili. Seorang gadis yang sebetulnya memiliki dasar watak yang baik dan gagah. Sayang karena lingkungan, maka ia menjadi seorang gadis kang-ouw yang ganas dan seperti liar tak terkendali. Diapun tahu bahwa di lubuk hatinya, dia merasa sayang dan kagum kepada gadis ini. Oleh karena itulah maka dia mencari Lili, untuk menyadarkannya, agar gadis itu tidak melanjutkan niatnya memusuhi dan mengadu nyawa dengan Bhok Cun Ki.

   "Lili, aku suka dan kagum kepadamu. Aku tahu engkau seorang gadis yang gagah perkasa dan baik hati. Akan tetapi, aku masih terikat oleh banyak tugas penting sehingga belum sempat mengunjungimu. Malam ini aku sengaja mencarimu justru untuk bicara tentang Bhok-ciangkun."

   Lili mengerutkan alisnya dan sepasang mata yang indah itu mengerling tajam, cuping hidungnya agak kembang kempis menunjukkan bahwa hatinya terasa tegang.

   "Hemm, apa lagi yang dapat dibicarakan tentang laki-laki itu?" katanya dengan suara ketus.

   "Lili, aku mengharapkan sungguh-sungguh agar engkau menghentikan permusuhanmu dengan dia. Hentikanlah memusuhinya karena dia bukanlah laki-laki seperti yang kausangka. Dia seorang pendekar dan panglima yang bijaksana dan baik budi. Engkau keliru sekali kalau memusuhinya, apa lagi berniat hendak membunuhnya."

   
Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Makin dalam kerutan di antara alis mata gadis itu.

   "Sin Wan, apamu sih Bhok Cun Ki itu maka engkau hendak melindunginya sedemikian rupa?"

   "Bukan apa-apa, hanya kenalan saja."

   "Kalau begitu, engkau belum mengenal betul siapa dia! Terus terang saja, aku hendak membunuhnya untuk melaksanakan perintah dari suciku, untuk membalaskan dendam sakit hati suci. Engkau tidak tahu apa yang telah dilakukannya terhadap suci. Dia telah menghancurkan kebahagiaan hidup suciku, tahu?"

   "Aku tahu, aku sudah mendengarnya dan aku dapat mengerti dan menduga apa yang telah terjadi. Akan tetapi dia bukan seorang laki-laki yang sengaja hendak merusak kehidupan sucimu. Aku tahu bahwa mereka tadinya saling mencinta dan sudah terjanji akan hidup bersama sebagai suami isteri. Akan tetapi, kemudian Bhok Cun Ki mendengar bahwa kekasihnya itu adalah seorang tokoh sesat, maka sebagai seorang pendekar dia merasa tidak berjodoh dan tidak mungkin menjadi suami isteri dengan sucimu. Jadi, dia memisahkan diri bukan karena bosan atau tidak mencinta lagi. Aku yakin dia masih mencinta sucimu dan hanya karena keadaan memaksanya, dia meninggalkannya."

   "Hemm, memang enak saja engkau berpendapat seperti itu, Sin Wan. Engkau tidak merasakan penderitaan yang dialami suciku selama bertahun-tahun, bahkan engkau tidak melihatnya dia menderita. Akan tetapi, sejak aku masih kecil, aku sudah hidup didekat suci yang dahulu menjadi guruku, setiap hari aku melihat keadaannya, kedukaannya, penderitaan batinnya. Ia bahkan tidak mau lagi berdekatan dengan pria, apa lagi menikah. Padahal ia seorang wanita yang cantik, pandai dan memiliki segalanya. Sudah sepatutnya kalau ia mendendam kepada Bhok Cun Ki dan mengutus aku untuk membunuh laki-laki yang jahat itu!"

   "Lili, engkau hanya diracuni dendam yang dikandung sucimu. Bhok Cun Ki sama sekali bukan orang jahat dan hal itu sudah terbukti jelas ketika dia bertanding denganmu. Kalau dia jahat, tentu engkau akan dianggap musuhnya yang berbahaya karena engkau hendak membunuhnya. Akan tetapi, seperti yang telah kulihat, dalam pertandingan itu dia selalu mengalah, bahkan ketika engkau terluka oleh senjata rahasia gelap itu, dia membawamu pulang dan berusaha mengobatinya. Kalau dia jahat, tentu dia mendapatkan kesempatan baik untuk membunuhmu, bukan malah menolongmu. Bukti itu saja sudah menyatakan bahwa Bhok Cun Ki adalah seorang pendekar."

   Lili tersenyum mengejek, hatinya merasa tidak senang melihat sikap dan mendengar ucapan Sin Wan yang memuji-muji musuh besarnya.

   "Boleh jadi Bhok Cun Ki seorang pendekar, akan tetapi dalam pandanganku, dia adalah seorang yang telah melakukan perbuatan jahat sekali terhadap suci. Sudah sepatutnya kalau suci menaruh dendam, dan karena suci sudah mewakilkan kepadaku, maka aku harus berusaha membunuhnya!"

   "Tapi dia bukan lawanmu, Lili. Dia masih terlalu lihai bagimu dan engkau akan kalah."

   "Aku tidak takut! Aku akan mengadu nyawa dengannya. Dia atau aku yang harus mati dalam pertandingan kami nanti!" kata Lili dengan suara yang tegas dan nekat.

   Sin Wan mengerutkan alisnya. Sedikit banyak dia sudah mengenal watak gadis yang liar dan ganas ini. Lili bukan sekedar menggertak, akan tetapi semua ucapannya itu akan dilakukannya. Diam diam dia merasa khawatir sekali. Dia tidak menghendaki Bhok Cun Ki terbunuh oleh gadis liar ini, akan tetapi dia juga tidak ingin melihat Lili tewas.

   "Lili kenapa engkau begini keras kepala dan bodoh? Tanpa memperdalam silatmu, bagaimana engkau akan mampu menandinginya? Engkau sudah kalah dan kalau hanya nekat maju lagi dan kalah lagi, bukankah hal itu amat memalukan? Sungguh tidak tahu malu kalau setelah berulang-ulang dikalahkan, masih nekat maju lagi dan dikalahkan lagi."

   Akal Sin Wan memanaskan hati gadis itu berhasil. Sepasang pipi itu menjadi kemerahan dan sinar mata itu mencorong marah.

   "Kalau aku melawannya lagi, aku tidak akan berhenti sebelum dia atau aku yang menggeletak mati menjadi mayat. Dia atau aku yang harus mati!"

   "Hemm, itu namanya konyol! Kalau kita sudah tahu tidak akan menang dan akan mati akan tetapi kita nekat, itu berarti suatu kebodohan dan kematian itu adalah kematian yang konyol dan tidak ada artinya sama sekali. Lili, ingatlah, kalau engkau mati dalam pertandingan itu, lalu apa artinya? Engkau mati konyol dan tetap saja dendam sucimu tidak terbalas. Kematianmu itu hanya akan menambah kedukaan sucimu saja, juga kekecewaan bahwa engkau yang dipercaya ternyata tidak mampu melaksanakan tugas dengan baik."

   Mendengar ucapan ini, Lili termenung, menundukkan mukanya dan alisnya berkerut, tanda bahwa ia berpikir. Lalu ia mengangkat mukanya memandang kepada Sin Wan.

   "Sin Wan, kalau bukan engkau yang bicara tadi, tentu aku sudah membunuh pembicaranya. Akan tetapi, kupikir engkau benar juga dan aku kini menjadi bingung. Kalau menurut pendapatmu, lalu apa yang harus kulakukan?"

   Agak lega rasa hati Sin Wan melihat perubahan sikap gadis itu.

   "Lili, urusan antara Bhok Cun Ki dan sucimu itu adalah urusan yang amat pribadi, maka sebaiknya kalau sucimu sendiri yang maju membuat perhitungan dengan Bhok Cun Ki. Kalau demikian keadaannya, maka orang luar, siapapun dia, tidak berhak mencampuri. Pula, sucimu tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi darimu, maka kiranya ialah yang akan mampu menandingi Bhok Cun Ki.

   Andaikata engkau yang tetap diutus olehnya yang mewakilinya, sebelum engkau menantang Bhok Cun Ki, sebaiknya kalau engkau memperdalam lebih dahulu ilmu kepandaianmu agar jangan mati konyol begitu saja. Nah, bukankah usulku ini sehat dan dapat diterima? Dalam hal pertandingan mengadu ilmu dan mungkin mengadu nyawa, kita tidak boleh terdorong oleh hati panas. Hati boleh panas, akan tetapi kepala harus tetap dingin agar engkau dapat memikirkan siasat yang baik."

   Lili mengangguk-angguk.

   "Agaknya engkau benar, Sin Wan. Biarpun aku tidak takut mati, akan tetapi tentu saja tidak benar kalau aku nekat dan kematianku tidak ada artinya. Baiklah, ucapanmu menyadarkan aku akan kebodohanku, dan tidak akan menantang Bhok Cun Ki sebelum aku memperdalam ilmu-ilmuku. Aku menuruti permintaanmu, Sin Wan. Akan tetapi sebaliknya, engkaupun harus menuruti permintaanku."

   "Permintaan apakah itu?"

   "Pertama, engkau jangan mencampiri urusan antara suci dan Bhok Cun Ki, jangan melindungi Bhok Cun Ki........"

   "Tentu saja aku tidak akan mencampuri. Sudah kukatakan, urusan itu amat pribadi dan Bhok-ciangkun sendiripun tidak mau dicampuri orang lain. Engkau melihat sendiri, ketika dia memenuhi tantanganmu, tidak ada seorangpun bersama dia. Aku sendiri hanya mengintai dengan sembunyi dan diluar tahunya."

   "Bagus, dan sekarang permintaan ke dua. Kalau memang benar engkau tidak berpihak kepada Bhok Cun Ki, marilah engkau menemani aku bertualang di dunia persilatan, dan engkau membimbingku agar aku dapat memperdalam ilmu silatku. Sin Wan, sejak dulu aku cinta padamu dan hidupku akan berbahagia sepenuhnya kalau engkau mau mendampingi aku selamanya."

   Sin Wan terkejut. Gadis ini sungguh terbuka dan jujur bukan main. Kiranya sukar mencari seorang gadis yang begini berterus terang mengatakan isi hatinya. Ucapan itu tentu saja membuat dia merasa kikuk dan mukanya menjadi kemerahan.

   "Aih, Lili, kenapa engkau bicara kembali soal itu? Sudah kukatakan bahwa aku masih mempunyai banyak tugas yang harus kuselesaikan, dan aku sama sekali belum memikirkan perjodohan

   "Sin Wan, bukankah itu hanya alasan saja? Kalau memang engkau tidak suka kepadaku, katakan terus terang agar aku tidak selalu mengharapkanmu!"

   "Aku kagum dan suka kepadamu, Lili. Akan tetapi, untuk berjodoh, diperlukan perasaan yang lebih mendalam, lebih dari pada hanya kagum dan suka. Dan aku belum memikirkan hal itu, aku masih terikat oleh kewajiban. Bukankah engkau sendiripun masih terikat oleh tugas-tugasmu?"

   "Aku siap untuk meninggalkan suhu dan suci kalau engkau mau hidup bersamaku, Sin Wan."

   Sin Wan menggeleng kepalanya.

   "Lili, kelahiran, perjodohan dan kematian berada ditangan Tuhan. Kalau kita memaksakannya maka hal itu akan tidak baik akibatnya. Kalau memang kita berjodoh, kelak tentu Tuhan akan mempertemukan kita.

   Gadis itu kini bangkit berdiri, matanya bersinar-sinar marah.

   "Bagus, kiranya engkau hanya bermain mulut saja! Kalau memang tidak mau, katakan saja tidak mau! Aku tahu, engkau berpihak kepada Bhok Cun Ki, dan siapa tahu, engkau mungkin sudah jatuh cinta kepada puterinya yang cantik itu. Hemm, tentu saja engkau akan terjamin kalau menjadi mantu seorang panglima!"

   "Lili, aku tidak........."

   "Cukup! Engkau memualkan perutku. Pergi! Pergi dari sini dan jangan memperlihatkan mukamu lagi!" Gadis itu menunjuk ke jendela, mengusirnya.

   Sin Wan menghela napas, tidak merasa terhina oleh pengusiran itu karena dia sudah mengenal watak Lili yang keras dan aneh. Diapun tanpa banyak cakap lagi lalu mengdampiri jendela, membuka daun jendela dan melompat keluar dengan gerakan ringan tanpa menimbulkan suara. Lili berdiri termenung memandang jendela yang kosong, dan tanpa disadarinya, dua titik air mata keluar dari pelupuk matanya, jatuh ke atas sepasang pipinya.

   Di lembah muara Sungai Kuning yang memuntahkan airnya ke teluk Pohai, terdapat beberapa bukit kecil. Di atas puncak sebuah di antara bukit itu terdapat sebuah rumah gedung yang besar. Inilah tempat tinggal seorang datuk persilatan yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai datuk yang berkuasa di wilayah timur. Datuk ini dijuluki Tung-hai-liong (Naga Lautan Timur) bernama Ouwyang Cin. Datuk ini berusia enampuluh enam tahun, tubuhnya gendut bulat, kepalanya botak dan melihat tubuhnya orang tidak akan menyangka bahwa dia seorang ahli silat yang amat lihai.

   Tung-hai-liong Ouwyang Cin sebetulnya peranakan Jepang. Ayahnya seorang Cina Han, dan ibunya seorang Jepang aseli. Akan tetapi, sejak kecil dia dididik oleh ayahnya sehingga dia tidak lagi kelihatan sebagai peranakan, melainkan sebagai seorang Han aseli, baik namanya, cara hidupnya dan kebudayaannya. Hanya ilmu silatnya saja yang campur dengan ilmu silat dari Jepang, yang dia pelajari dari para pamannya, yaitu jagoan-jagoan samurai dari Jepang.

   Ketika masih muda, Tung-hai-liong Ouwyang Cin adalah seorang petualang yang dengan perahu layarnya malang melintang di lautan timur. Namanya terkenal sebagai bajak laut yang amat ditakuti, bahkan dia terkenal sampai ke Jepang karena seringkali dia membajak di perairan kepulauan Jepang. Bahkan isterinyapun puteri seorang jagoan samurai yang takluk kepadanya, sehingga Ouwyang Cin mengenal banyak jagoan Samurai Jepang. Dia menikah dengan gadis Jepang yang berwatak lembut itu, yang telah melahirkan seorang anak perempuan.

   Biarpun Tung-hai-liong Ouwyang Cin seorang bajak laut yang hidup dalam kekerasan, namun ternyata dia amat mencinta isterinya. Ketika puterinya berusia sepuluh tahun dan dia sendiri berusia limapuluh lima tahun, dia melepaskan perahunya dan tinggal di bukit lembah muara Huang-ho, tidak lagi berlayar menjadi bajak laut, akan tetapi mulai dikenal sebagai datuk wilayah timur. Semua bajak laut yang malang melintang di teluk Pohai dan lautan timur, tunduk kepadanya dan menganggap dia sebagai datuk para bajak laut.

   Puteri Ouwyang Cin bernama Ouwyang Kim, dan kini telah berusia duapuluh tahun. Gadis ini selain cantik jelita dan mungil, wajahnya bulat dan kulitnya halus putih kemerahan. Sikapnya lembut dan ramah sehingga ia nampak lemah. Akan tetapi sesungguhnya, dibalik kelembutannya itu tersembunyi kekuatan yang dahsyat dan gadis ini lihai bukan main karena sejak kecil menerima gemblengan ayahnya. Bahkan tingkat kepandaian gadis ini lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian suhengnya yang bernama Maniyoko, pemuda Jepang yang masih keponakan mendiang ibunya dan juga menjadi murid ayahnya.

   Demikianlah keadaan keluarga Ouwyang Cin. Di dalam rumah gedung besar itu hanya tinggal dia dan isterinya, puterinya dan muridnya itu. Jumlah pelayan jauh lebih banyak karena semua ada sepuluh orang pelayan untuk mengurusi rumah gedung besar itu dan empat orang penghuninya.

   Pekerjaan Ouwyang Cin setiap harinya hanyalah menerima tamu-tamu, kebanyakan para bajak laut yang berkunjung untuk menghormat dan untuk menyumbangkan sebagian dari hasil bajakan mereka sebagai tanda bahwa mereka mengakui kepemimpinan datuk ini. Juga banyak perampok pantai yang mengakuinya sebagai datuk pemimpin. Waktu selebihnya dipergunakan Ouwyang Cin untuk mengurus perkebunan, peternakan dan juga beberapa buah perahu besar beserta para nelayannya yang mencari ikan di sepanjang muara.

   Dari hasil semua ini, Ouwyang Cin terkenal sebagai seorang yang kaya raya. Diapun tidak pernah melupakan latihan silat untuk puterinya dan muridnya atau keponakannya, bahkan dia sendiri tak pernah mengendurkan semangatnya berlatih silat karena dia maklum bahwa tanpa latihan, kemahiran akan cepat menurun, mengingat bahwa usianya semakin bertambah.

   Maniyoko merupakan murid yang baik dan patuh kepada gurunya dan sudah seringkali Ouwyang Cin menyerahkan pekerjaan penting kepada muridnya ini sebagai wakilnya. Jarang sekali Maniyoko gagal melaksanakan tugas sehingga gurunya semakin sayang dan percaya kepadanya.

   Diam-diam Ouwyang Cin mengandung niat untuk menarik murid yang juga keponakan isterinya ini menjadi calon suami bagi puterinya. Dia melihat dengan jelas betapa Maniyoko mencinta puterinya. Hanya karena sikap Ouwyang Kim yang nampaknya tidak atau belum membalas cinta itulah yang membuat Ouwyang Cin masih belum dapat mengambil keputusan. Dia terlalu sayang kepada puterinya untuk memaksanya dalam urusan apapun juga.

   Pada suatu pagi yang cerah, di taman bunga belakang gedung milik keluarga Ouwyang, nampak seorang pemuda dan seorang gadis sedang berlatih silat. Mereka merupakan pasangan yang sedap dipandang. Pemudanya berusia duapuluh tujuh tahun, wajahnya tampan dan bulat, kulitnya halus putih dan pakaiannya yang ringkas itu rapi dan mewah. Cambangnya hitam tebal tumbuh dari pelipis sampai ke dagu, terpelihara rapi. Melihat pakaian dan rambutnya yang disisir rapi, ada kesan pesolek pada diri pemuda yang nampak tampan dan juga gagah karena cambangnya itu. Tubuhnya agak pendek, hanya sedikit lebih tinggi dari pada gadis yang bertubuh mungil dan tidak tergolong tinggi itu.

   Gadis itupun cantik jelita, wajahnya yang berbentuk bulat, kulitnya putih halus dan kemerahan seperti kulit seorang bayi. Rambut dan alis matanya hitam sekali, membuat wajah itu nampak semakin putih. Tubuhnya mungil kecil namun padat dan ramping dan ia nampak lembut dan lemah gemulai dalam gerakan silatnya. Mereka adalah Maniyoko dan Ouwyang Kim.

   Mereka sedang berlatih silat tangan kosong dan keduanya dapat bergerak dengan gesit bukan main. Dasar gerakan ilmu silat mereka adalah ilmu silat dari selatan karena sebelum menjadi bajak laut, dahulu Ouwyang Cin adalah seorang ahli silat dari selatan yang sudah mempelajari banyak macam ilmu silat dari berbagai aliran, baik dari Siauw-lim selatan maupun dari Butong-pai. Namun, ilmu silatnya berkembang dan bercampur dengan aliran lain, bahkan telah dikombinasikan dengan ilmu bela diri dari Jepang.

   Dalam latihan, nampak gerakan Ouwyang Kim lebih cepat dan ringan, dan ia lebih banyak menyerang dari pada suhengnya (kakak seperguruannya). Namun, gerakan Maniyoko yang mantap dan kokoh dapat membuat pemuda Jepang ini mampu menangkis atau mengelak dari semua serangan lawannya. Akhirnya dia meloncat ke belakang dan berseru,

   "Cukup, sumoi, desakanmu membuat aku repot sekali. Sungguh kecepatan gerakanmu luar biasa!" pemuda itu memuji dan pandang matanya penuh rasa kagum dan sayang kepada sumoinya. Ouwyang Kim tersenyum.

   "Aih, engkau selalu memuji, suheng. Engkaupun sudah maju pesat, kedua tanganmu berat sekali."

   "Sumoi, mari kita berlatih pedang. Gerakan di bagian akhir dari ilmu pedang kita sungguh masih terlalu sulit bagiku, belum juga aku mampu melakukannya dengan sempurna." Pemuda itu mengambil dua batang pedang yang memang sudah dipersiapkan di situ. Biasanya, mereka berlatih di dalam ruangan berlatih silat yang cukup luas di bagian belakang gedung. Akan tetapi karena pagi hari yang cerah itu amat panas, mereka memilih untuk terlatih di taman, di udara terbuka.

   "Suheng, memang ilmu pedang Raja Matahari yang dirangkai ayah merupakan ilmu pedang yang sukar. Ilmu pedang itu diambil dari jurus-jurus pilihan dari semua ilmu pedang yang pernah dipelajari ayah, dicampur dengan ilmu pedang dari Jepang yang menggunakan pedang samurai. Kalau kita belum pernah mempelajari ilmu-ilmu pedang dari ayah, tidak mungkin kita akan mampu menguasai Jit-ong-kiamsut (Ilmu Pedang Raja Matahari) ini dengan baik. Kita harus tekun dan bagian yang sukar harus kita latih terus menerus." Mereka lalu berlatih ilmu pedang. itu dan dalam hal ilmu yang baru ini, ternyata Ouwyang Kim jauh lebih unggul dan ialah yang memberi petunjuk-petunjuk kepada suhengnya.

   Mereka berhenti berlatih ketika dari taman itu mereka melihat sebuah kereta memasuki pekarangan depan. Mareka tertarik karena yang datang dengan kereta itu bukanlah para bajak atau golongan sesat yang biasa datang menghadap Ouwyang Cin. Melihat muka-muka baru, kedua orang muda ini tertarik dan tanpa bicara mereka menghentikan latihan dan pergi ke depan untuk melihat siapakah para tamu yang datang berkunjung.
(Lanjut ke Jilid 08)
Asmara Si Pedang Tumpul (Seri ke 02 - Serial Si Pedang Tumpul)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08
Ternyata kereta itu memuat sebuah peti dan tamunya berjumlah empat orang yang sedang diterima oleh pelayan penjaga yang seperti biasa menanyakan siapa mereka dan apa keperluan mereka datang berkunjung. Ketika empat orang itu melihat munculnya Maniyoko dan Ouwyang Kim, yang tertua di antara mereka, berusia limapuluh tahun lebih bertubuh tinggi kurus, segera menghadapi mereka dan bertanya dengan sikap yang sopan.

   "Kami mendengar bahwa locianpwe (orang tua gagah) Ouwyang Cin mempunyai seorang murid laki-laki dan seorang puteri yang keduanya gagah perkasa Apakah (anda berdua) murid dan puterinya itu?"

   Ouwyang Kim yang wataknya pendiam dan halus itu tidak menjawab, membiarkan suhengnya yang menjawab. Maniyoko memandang kepada penanya itu dan diapun berkata dengan suara yang angkuh.

   "Benar, Tung-hai-liong Ouwyang Cin adalah guruku, dan aku bernama Maniyoko. Sumoiku ini puteri suhu bernama Ouwyang Kim. Siapakah paman dan ada keperluan apa datang berkunjung?"

   "Nama saya Coa Kun, seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi (Tigabelas Setan Tanpa Tanding), bersama tiga orang rekan saya diutus oleh Yang Mulia untuk menghaturkan sedikit bingkisan berikut suratnya, kepada locianpwe Tung-hai-liong Ouwyang Cin."

   Berbeda dengan Ouwyang Kim yang jarang meningggalkan rumahnya, Maniyoko sudah banyak terjun ke dunia kangouw dia mengenal banyak tokoh kangouw, maka tentu saja dia sudah pernah mendengar tentang Bu-tek Cap-sha-kwi. Dia mengamati laki-laki tinggi kurus itu, melihat pedang yang tergantung di punggungnya dan diapun berkata,

   "Ah, kalau begitu tentu kami berhadapan dengan Bu-tek Kiam-mo (Iblis Pedang Tanpa Tanding)!"

   "Kongcu mempunyai penglihatan yang tajam sekali!" Bu-tek Kiam-mo memuji.

   "Mari, paman, kami antar paman sekalian menghadap suhu," kata Maniyoko dengan gembira, apa lagi mendengar bahwa tokoh kangouw ini diutus oleh seseorang yang disebutnya Yang Mulia. Tentu seorang tokoh besar. Diapun menyuruh seorang pelayan penjaga untuk memberi laporan kepada gurunya bahwa empat orang tamu hendak menghadap diantar oleh dia dan sumoinya.

   

Si Pedang Tumpul Eps 10 Pedang Sinar Emas Eps 24 Pedang Sinar Emas Eps 27

Cari Blog Ini