Asmara Si Pedang Tumpul 8
Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
Coa Kun lalu menyuruh tiga orang rekannya untuk menggotong peti yang dimuat di dalam kereta, sedangkan kuda penarik kereta diserahkan kepada pelayan untuk dirawat. Mereka berempat lalu mengikuti Maniyoko dan Ouwyang kim memasuki gedung, menuju ke ruangan tamu yang berada di bagian samping kanan.
Di dalam ruangan tamu yang mewah itu telah menanti Tung-hai-liong Ouwyang Cin yang duduk di kursinya dengan sikap yang agung seperti seorang raja yang hendak menerima orang-orang yang hendak menghadap. Biarpun usianya sudah enampuluh enam tahun, tubuhnya gendut dan kepalanya semakin botak, namun datuk ini masih nampak mencorong dan berwibawa, seperti pandang mata seseorang yang merasa yakin akan kekuatannya sendiri.
Bu-tek Kiam-mo Coa Kun juga seorang tokoh besar dalam dunia kangouw, akan tetapi dia maklum bahwa kedudukannya kalah tinggi dibandingkan kakek yang duduk di kursi dengan angkuhnya itu, maka diapun segera memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada, diikuti tiga orang rekannya setelah meletakkan peti yang mereka angkut dari dalam kereta tadi.
"Saya Coa Kun dan tiga orang pembantu datang menghadap locianpwe Ouwyang Cin untuk menyampaikan salam hormat dari Yang Mulia di kota raja," katanya dengan suara lantang.
Ouwyang Cin, juga Maniyoko dan Ouwyang Kim memandang dengan penuh perhatian, karena mereka terkejut dan heran juga mendengar disebutnya Yang Mulia, sebutan yang biasanya hanya diberikan kepada seorang kaisar, raja atau setidaknya pangeran. Akan tetapi, tak seorangpun di antara mereka memperlihatkan perasaan heran itu pada wajah mereka.
"Coa Kun, jelaskan siapa yang kausebut Yang Mulia itu, agar aku mengetahui dengan siapa aku berurusan," suara datuk itu dalam dan parau.
"Saya sendiri tidak tahu siapa nama pemimpin besar kami itu, locianpwe. Akan tetapi, Yang Mulia mengutus saya menghadap locianpwe, selain menyampaikan salam hormatnya, juga mengirim sekedar bingkisan dan surat kepada locianpwe, harap locianpwe sudi menerimanya."
Coa Kun memberi isyarat kepada tiga orang rekannya dan mereka segera membuka tutup peti itu, memperlihatkan isinya kepada tuan rumah. Dari tempat duduknya, Ouwyang Cin dapat melihat bahwa peti itu terisi barang berharga seperti kain sutera yang mahal, barang ukiran kuno, ada pula lukisan indah dan barang-barang perhiasan dari emas dan perak. Sungguh merupakan bingkisan yang amat besar nilainya. Hatinya merasa senang, akan tetapi inipun tidak nampak pada wajahnya.
"Berikan surat itu kepadaku," katanya.
Coa Kun mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada Ouwyang Cin. Datuk ini membuka sampulnya, mengeluarkan sehelai surat yang ditulis dengan huruf-huruf indah. Sebelum membaca isinya, dia melirik ke arah cap di bawah surat sebagai tanda si pengirim surat dan sekali ini, matanya terbelalak tanpa dapat dia sembunyikan lagi saking kaget dan herannya. Tentu saja dia mengenal cap kebesaran itu, karena dahulu di waktu mudanya sering dia melihat cap itu, yalah cap kebesaran Kaisar Kerajaan Goan atau Mongol! Kerajaan itu telah jatuh duapuluh tahun yang lalu, akan tetapi bagaimana sekarang ada seseorang memakai cap kebesaran itu dan mengirim bingkisan berharga kepadanya? Cepat dibacanya surat itu dan dia menjadi semakin terheran-heran.
Surat itu menerangkan bahwa Kerajaan Goan kini sedang menyusun kekuatan untuk bangkit dan berjaya kembali, dan untuk tugas itu diserahkan kepada seorang pangeran dan seseorang yang bergerak di bawah tanah, menggunakan kedok dan hanya dikenal dengan sebutan Yang Mulia. Dan kini Yang Mulia mengajak Ouwyang Cin untuk membantu gerakannya menjatuhkan Kerajaan Beng, dengan janji bahwa kalau berhasil kelak, maka Ouwyang Cin pasti akan diangkat menjadi raja muda yang menguasai daerah timur!
Ouwyang Cin masih terbelalak, akan tetapi wajahnya berseri-seri. Menjadi raja muda! Mana mungkin hal itu dapat terjadi kalau tidak bekerja sama dengan kekuasaan besar yang mempunyai balatentara kuat seperti bekas kaisar Mongol? Dia kini hanya menjadi datuk golongan sesat! Tentu saja jauh berlainan dibandingkan dengan menjadi seorang raja muda! Sudah terbayang di pelupuk matanya betapa dia duduk di singgasana, berpakaian sebagai raja muda tulen, dihadap para pengawal dan disembah oleh seluruh rakyat di wilayah timur!
Membantu orang-orang Mongol mencoba untuk meruntuhkan Kerajaan Beng baginya bukan berarti memberontak, karena sekarangpun sebagai datuk sesat, dia sudah dimusuhi oleh pemerintah. Pula, dia seorang peranakan Jepang! Dibacanya sekali lagi isi surat itu, dan diliriknya isi peti, kemudian dia mengangguk-angguk dan tersenyum puas.
"Baiklah, Coa Kun. Kami terima bingkisan dari Yang Mulia dengan ucapan terima kasih. Dan kami setuju untuk bekerja sama, akan tetapi kami ingin mendengar lebih banyak tentang rencananya. Kita bicarakan hal itu sambil makan minum, saudara Coa Kun!" Ouwyang Cin dengan gembira lalu menoleh kepada puterinya dan berkata,
"Katakan kepada ibumu agar menyiapkan hidangan besar untuk menjamu para tamu kita yang terhormat."
Ouwyang Kim mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak berani membantah dan mengangguk, lalu masuk ke dalam untuk memberitahu kepada ibunya. Sebagai seorang yang kaya raya, Ouwyang Cin dapat saja membuat pesta setiap hari, karena ternak tinggal potong, bumbu-bumbu sudah sedia, tukang masakpun ada. Segera terjadi kesibukan di dapur, dipimpin oleh Nyonya Ouwyang Cin, dan dibantu pula oleh Ouwyang Kim.
"A Kim, siapa sih tamu-tamunya maka harus dibuatkan jamuan besar segala?"
"Tamunya itu seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi, ibu, namanya Coa Kun dan julukannya Bu-tek Kiam-mo, julukan yang mergandung kesombongan besar. Akan tetapi bukan karena dia itu berjuluk Setan Pedang Tanpa Tanding maka dia dijamu ayah, melainkan karena dia mengaku sebagai utusan Yang Mulia."
Wanita cantik yang lembut itu memandang kepada puterinya dengan heran.
"Yang Mulia? Siapa itu?"
"Aku tidak tahu, ibu. Coa Kun itu menyerahkan surat dan barang hadiah yang serba mahal. Setelah membaca surat itu, ayah kelihatan senang sekali dan menjamu Coa Kun yang tadinya sama sekali tidak dihormatinya. Jelas bahwa yang mengutus orang itulah yang dihormati ayah, dan aku tidak tahu siapa itu Yang Mulia."
"Sebutan Yang Mulia hanya ditujukan kepada kaisar atau raja atau orang yang besar kedudukannya. Kalau Kaisar, kiranya tidak mungkin mengirim hadiah dan surat kepada ayahmu, ah, aku khawatir........." wanita itu termenung.
"Khawatir apa, ibu?" Ouwyang Kim bertanya.
"Ayahmu tentu hanya mengenal dua orang kaisar, yaitu kaisar Kerajaan Beng yang baru berdiri duapuluh tahun, dan tentu saja kaisar lama, kaisar Mongol dari Kerajaan Goan yang sudah jatuh. Aku khawatir sekali karena aku sudah mendengar bahwa orang-orang Mongol berusaha untuk membangun kembali pemerintah Mongol yang sudah jatuh. Jangan-jangan........ ayahmu didekati orang-orang Mongol untuk membantu mereka memberontak dan mendirikan lagi Kerajaan Mongol."
Gadis itu mengangguk-angguk.
"Mungkin sekali, ibu. Akan tetapi, ayah memang seorang petualang yang tidak pantang melakukan apa saja demi keuntungan........" suara gadis itu terdengar penuh kedukaan. Ia sependapat dengan ibunya, yaitu bahwa pekerjaan seperti yang dilakukan ayahnya, menjadi datuk para bajak laut, merupakan pekerjaan yang jahat dan tidak baik. Pada dasarnya, ibu gadis itu seorang wanita Jepang, puteri seorang samurai yang berjiwa lembut dan tidak suka melihat perbuatan jahat dan kekerasan sehingga ketika menjadi isteri seorang seperti Tung-hai-liong seorang datuk yang hidupnya penuh dengan kekerasan, ia hidup dalam keadaan batin tertekan dan menderita.
"Akan tetapi, menjadi pemberontak? Ini sudah keterlaluan, A Kim. Berbahaya sekali pekerjaan itu. Bagaimana mungkin menentang pemerintahan yang mempunyai ratusan ribu pasukan? Sebaiknya kalau ayahmu tidak melibatkan diri dengan pemberontakan."
"Akan tetapi, belum tentu surat itu datang dari pemberontak Mongol, ibu."
"Syukurlah kalau begitu. Akan tetapi hatiku tidak enak, A Kim. Engkau harus dapat memperoleh keterangan yang jelas. Kalau benar dugaanku bahwa ayahmu didekati pemberontak, kita berdua harus mencegahnya dan membujuknya. Maniyoko tidak bisa kita harapkan, selalu mentaati ayahmu sampai mati."
"Ibu, andaikata benar demikian dan kita tidak berhasil membujuk ayah? Ibu tahu akan kekerasan hati ayah."
"Kalau begitu, kita harus menentangnya! Maksudku, engkau harus menentangnya karena aku sejak kecil tidak suka mempelajari ilmu silat. Aku tidak suka melihat ayahmu memberontak. Engkau harus berjuang untuk menentang pemberontakan itu sehingga engkau akan dapat mencuci noda karena perbuatan ayahmu. Aku tidak ingin melihat engkau kelak dihukum karena menjadi anak pemberontak. Nah, tidak perlu engkau membantu di dapur, A Kim. Keluarlah dan ikutlah dengan mereka bercakap-cakap. Engkau seorang ahli silat, engkau pantas saja untuk ikut berbincang. Akan tetapi jangan tergesa-gesa mencela ayahmu di depan tamu. Aku ingin engkau mengetahui sepenuhnya siapa Yang Mulia yang mengirim surat kepada ayahmu itu dan bagaimana bunyi suratnya."
Ouwyang Kim yang sejak kecil lebih dekat kepada ibunya dari pada ayahnya, kecuali kalau ia sedang berlatih silat, mengangguk dan iapun meninggalkan dapur, kembali ke ruangan tamu di mana ayahnya masih bercakap-cakap sambil minum arak harum yang membuat lidah mereka lebih lancar bicara. Melihat puterinya muncul, Ouwyang Cin tidak menegurnya. Puterinya itu memang tidak dipingit seperti para gadis lainnya, namun dibiarkan bebas dan sudah biasa puterinya hadir kalau dia sedang menerima tamu penting.
"Sumoi, apakah engkau tidak membantu subo yang sibuk di dapur?" Maniyoko bertanya, nadanya tidak menegur dan halus. Dia selalu bicara halus kepada sumoinya itu.
Ouwyang Kim cemberut.
"Suheng, kenapa aku saja yang harus membantu selalu? Kenapa tidak engkau yang sekarang membantu? Aku ingin mendengar percakapan ayah dengan tamu penting ayah, aku ingin sekali tahu, siapa sih yang disebut Yang Mulia itu? Apakah Kaisar atau Raja?"
Bu-tek Kiam-mo Coa Kun mengerutkan alisnya, khawatir melihat gadis cantik yang bebas itu. Sungguh berbahaya membuka sebuah rahasia kepada seorang gadis seperti ini, pikirnya. Akan tetapi agaknya Ouwyang Cin mengerti akan kekhawatiran tamunya, maka dia tertawa bergelak.
"Ha..ha..ha, saudara Coa Kun, harap jangan khawatir. Anakku Ouwyang Kim ini selain dapat dipercaya, juga ia bukan seorang gadis lemah. Dan aku tidak biasa menyimpan rahasia terhadap puteriku sendiri. A Kim, yang disebut Yang Mulia itu adalah wakil Kaisar Kerajaan Goan.......".
"Bukankah Kerajaan Goan itu Kerajaan Mongol ayah? Dan bukankah sekarang sudah tidak ada lagi Kerajaan Mongol itu?"
"Ha..ha..ha, kaulihat saudara Coa Kun, betapa cerdiknya puteriku ini. Jangan pandang ringan anakku ini! Benar, A Kim, akan tetapi kau keliru kalau mengira bahwa Kerajaan Goan sudah tidak ada. Kerajaan itu masih ada, hanya untuk sementara ini menyingkir karena dikalahkan pemberontak duapuluh tahun yang lalu. Sekarang sedang menyusun kekuatan dan menawarkan kerja sama dengan ayahmu."
"Aih, ayah main-main saja. Aku tidak percaya!" kata Ouwyang Kim cemberut.
"Ha..ha, kaubaca sendiri suratnya!" Ayahnya melemparkan surat itu dan Ouwyang Kim menyambutnya, lalu membacanya, cepat sekali, lalu mengembalikannya kepada ayahnya. Ia sudah hafal akan isinya dan bahkan ia mengingat-ingat dan mencatat bentuk tulisan yang indah itu.
"Sekarang aku baru percaya, ayah."
"Dan bagaimana pendapatmu?" tanya ayahnya.
Coa Kun menatap tajam wajah gadis itu karena dia ingin sekali mendengar pendapatnya. Bagaimanapun juga dia lebih percaya kepada Maniyoko dari pada gadis ini.
Ouwyang Kim memandang kepada Coa Kun dan tiga orang temannya, lalu menoleh kepada ayahnya dan tersenyum.
"Aku tidak mempunyai pendapat, ayah. Urusan itu sama sekali tidak menarik hatiku, yang lebih menarik adalah tamu kita ini." Ia memandang kepada Coa Kun sambil tersenyum.
"Ehh? Apa maksudmu, A Kim? Apanya yang menarik pada diri saudara Coa Kun ini?" Ayahnya bertanya heran, mengira bahwa puterinya tertarik kepada tamu pria yang usianya sudah limapuluhan tahun lebih itu.
"Yang menarik hatiku adalah pedang di punggungnya dan nama julukannya, ayah. Paman Coa Kun engkau dijuluki orang Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding)! Tanpa Tanding atau tak terkalahkan, bukan main! Aku jadi ingin sekali minta pelajaran dalam ilmu pedang darimu, paman, karena aku yakin bahwa dari seorang jago pedang yang tak pernah terkalahkan, aku akan mendapatkan banyak petunjuk "
"Sumoi.........," Maniyoko terkejut mendengar ini.
"Aih, nona harap jangan main-main dengan pedang......" Bu-tek Kiam-mo berkata sambil tersenyum lebar, ada rasa bangga mendapat pujian seorang gadis cantik, akan tetapi juga perasaan tidak enak karena yang menantangnya mengadu ilmu pedang adalah puteri tuan rumah.
Akan tetapi, Tung-hai-liong Ouwyang Cin tertawa bergelak, hatinya senang sekali.
"Apa yang dikatakan puteriku memang benar. Kami sudah lama mendengar nama besar Cap-sha Bu-tek-kwi, dan kebetulan yang datang berkunjung adalah seorang di antara mereka yang ahli pedang. Puteriku memang suka sekali mempelajari ilmu pedang, oleh karena itu, harap saudara Coa Kun tidak terlalu pelit untuk memburu sekedar petunjuk untuk puteriku, agar menambah pengetahuannya yang dangkal dan pengalamannya yang sempit."
Ucapan merendah ini bukan timbul karena kerendahan hati, melainkan karena diam-diam kakek datuk inipun memandang rendah tamunya dan dia yakin puterinya akan mampu menandingi Bu-tek Kiam-mo karena dia tahu akan kelihaian puterinya.
Mendengar ucapan itu, Bu-tek Kiam-mo merasa seolah-olah kepalanya menjadi membengkak besar dan hatinya yang memang sombong itu menjadi senang bukan main. Inilah kesempatan untuk pamer, memamerkan kepandaiannya tanpa memberi kesan pamer kepada pihak tuan rumah.
"Tapi pedang adalah benda mati, aku khawatir kalau kesalahan tangan dan melukai nona." Kembali dalam ucapan ini terkandung kesombongan, seolah-olah dia sudah yakin akan mengalahkan nona itu dan takut kalau sampai melukainya.
"Ha..ha, dalam pertandingan pedang, biasalah kalau ada yang terluka. Akan tetapi kami yakin bahwa saudara Coa Kun akan bermurah hati dan tidak sampai melukai A Kim terlampau parah," kata pula Ouwyang Cin.
Mendengar semua ucapan itu, senanglah hati Ouwyang Kim. la memang sengaja mencari akal menantang tamu ayahnya itu untuk membikin malu kepadanya dan untuk melampiaskan hatinya yang mendongkol melihat ayahnya terbujuk dalam persekutuan pemberontak dengan orang-orang Mongol. Melihat ayahnya sudah menyetujui, gadis itu sudah mencabut pedangnya dan ia pergi ke tengah ruangan yang luas itu.
"Kurasa ruangan ini cukup luas untuk bermain pedang. Suheng, tolong angkut kursi dan meja itu ke tepi agar tempatnya lebih luas."
Ouwyang Cin memberi isyarat agar Maniyoko melaksanakan permintaan sumoinya itu dan dia sendiri memandang kepada Coa Kun dan tiga orang temannya dengan tertawa.
"Marilah, saudara Coa Kun harap jangan sungkan. Sambil menanti selesainya hidangan, mari engkau memberi petunjuk kepada A Kim"
Melihat tempat itu sudah diperluas dengan disingkirkannya meja kursi ke tepi, dan melihat gadis itu sudah siap dengan pedang di tangan, Coa Kun tersenyum dan mengangguk ke arah tuan rumah.
"Kalau memang dikehendaki, baiklah. Mari kita main-main sebentar, nona."
Berkata demikian, tangan kanannya bergerak ke atas kepala dan tiba-tiba saja dia sudah mencabut pedangnya. Gerakannya memang cepat dan pedang itu mengeluarkan sinar ketika dia menggerakkannya dan dia sudah meloncat ke depan Ouwyang Kim, memasang kuda-kuda yang gagah sekali.
Melihat lawan sudah siap, Ouwyang Kim lalu berseru,
"Bu-tek Kiam-mo, bersiaplah dan lihat seranganku!" Iapun menggerakkan pedangnya, mulai menyerang dan begitu menyerang, ia menggunakan jurus dari Jit-ong-kiamsut yang amat hebat. Bukan main kagetnya hati Coa Kun melihat sinar terang dari pedang gadis itu menyambar ke arah dadanya. Pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga merupakan gulungan sinar terang yang meluncur ke dadanya. Sebagai seorang ahli pedang, dia mengenal jurus pedang yang amat berbahaya, maka diapun cepat meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya membentuk perisai untuk melindungi dirinya.
"Trang..trang..trang.........!!" berulang kali kedua pedang itu bertemu di udara dan nampak bunga api berpijar menyilaukan mata. Kembali Coa Kun terkejut setengah mati karena setiap kali pedangnya bertemu pedang lawan, lengannya terasa hampir lumpuh karena terserang getaran yang amat kuat.
Dan Ouwyang Kim tidak menghentikan serangannya, melainkan menyerang dan mendesak terus dengan ilmu pedang Raja Matahari yang gerakannya asing dan aneh bagi Coa Kun. Hal ini tidak mengherankan karena memang ilmu pedang itu dirangkai oleh Tung-hai-liong dari berbagai ilmu pedang bercampur dengan ilmu samurai Jepang!
Coa Kun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk melindungi dirinya. Gadis itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya terus menyerangnya secara bertubi-tubi dan karena memang setiap serangan itu amat berbahaya, Coa Kun hanya mampu mengelak dan menangkis, tanpa mampu membalas sejuruspun! Begitu bergebrak, dia terus diserang dan makin lama serangan gadis itu semakin berat dan berbahaya. Dia tahu bahwa kalau gadis itu menghendaki, sebelum tigapuluh jurus saja tentu dia dapat dirobohkan dengan dada tertembus pedang atau leher putus!
Si Setan Pedang Tanpa Tanding itu sudah mandi keringat dan wajahnya pucat. Betapa akan malunya kalau sampai dia terluka. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa gadis puteri datuk itu sedemikian lihainya walaupun dia tahu bahwa ayah gadis ini memang seorang datuk yang sakti. Jangankan baru dia seorang, biar dia dibantu tiga orang temannya itupun belum tentu dia akan mampu mengalahkan Ouwyang Kim. Lebih baik malu sedikit dari pada malu banyak.
"Cukup, nona, saya mengaku kalah!" serunya dan diapun melompat jauh ke belakang. Biarpun dia malu, akan tetapi setidaknya dia selamat dari menderita luka. Wajahnya pucat dan dia masih mandi keringat.
Ouwyang Kim tersenyum. Gadis ini nampak biasa saja, tidak berkeringat, dan tidak nampak lelah. Sudah tercapai apa yang ia kehendaki, yaitu membikin malu tamu ini untuk memperlihatkan ketidak senangan hatinya bahwa ayahnya dilibatkan dalam persekutuan pemberontak. la menyimpan pedangnya dan mengangguk kepada Coa Kun.
"Terima kasih atas petunjuk Bu-tek Kiam-mo!" Tentu saja ucapan itu dimaksudkan untuk mengejek.
Dengan mengesampingkan rasa malunya, Coa Kun memperlihatkan giginya yang kuning.
"Heh..heh di depan locianpwe Tung-hai-liong dan puterinya, saya tidak berani menggunakan julukan itu. Kiamsut dari siocia amat tangguh dan hebat, belum pernah saya menemui ilmu pedang sehebat itu!" Dia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada tuan rumah dan puterinya, lalu berkata lagi,
"Sungguh pilihan Yang Mulia amat tepat. Dengan bantuan locianpwe dan nona, tentu kedudukan kita akan menjadi jauh lebih kuat."
"Ahh, saudara Coa Kun. Yang Mulia hanya mengajak aku, dan aku hanya akan berkunjung bersama muridku, Maniyoko ini. Anakku akan tinggal di rumah menemani ibunya dan menggantikan aku menerima kunjungan para sahabat kami," kata Ouwyang Cin yang tidak ingin puterinya ikut pula dalam pekerjaan besar itu. Pula, di rumah perlu ada wakilnya untuk menerima sumbangan sebagai semacam upeti dari para pimpinan gerombolan sesat di perairan ataupun di pantai.
Maniyoko mengatur kembali meja kursi dan kini mereka duduk lagi bercakap-cakap dan sekali ini ditemani oleh Ouwyang Kim. Gadis pendiam ini tidak ikut bicara, melainkan sebagai pendengar yang mencatat semua percakapan itu di hatinya. Tahulah ia bahwa ayahnya memang telah menerima uluran tangan dari Yang Mulia, yaitu tokoh yang mewakili Kerajaan Goan atau kerajaan orang-orang Mongol yang mengadakan gerakan rahasia di kota raja dan yang berniat untuk membangun kembali kerajaan Goan yang sudah jatuh duapuluh tahun yang lalu.
Singkatnya, ayahnya telah bersekutu dengan golongan pemberontak dengan janji bahwa kalau kelak gerakan itu berhasil, pemerintah Kerajaan Beng dapat digulingkan dan Kerajaan Goan bangun kembali, ayahnya akan diberi pangkat raja muda yang berkuasa di daerah timur. Dan ayahnya akan pergi bersama Maniyoko ke kota raja menghadap Yang Mulia dan menerima tugas.
Menurut keterangan Coa Kun yang didesak ayahnya, mungkin sekali ayahnya mendapat tugas untuk bekerja sama dengan mereka, merampas kedudukan bengcu atau pimpinan kangouw yang akan diadakan di puncak Thai-san tahun depan, sebulan sesudah tahun baru, dan membantu orang yang ditunjuk oleh Yang Mulia agar menjadi bengcu. Pendeknya, ayahnya harus membantu anak buah Yang Mulia untuk mencegah agar kedudukan bengcu jangan terjatuh ke tangan orang yang setia kepada Kerajaan Beng. Kalau kedudukan itu terjatuh ke tangan orang-orang Mongol, tentu mereka akan dapat mengerahkan seluruh dunia kang-ouw untuk membantu gerakan orang Mongol menggulingkan Kerajaan Beng dan mendirikan kembali Kerajaan Goan!
Percakapan dilanjutkan ketika hidangan dikeluarkan. Sambil makan minum mereka bercakap-cakap, dan Ouwyang Kim hanya mendengarkan saja dengan sikap acuh, pada hal diam-diam ia memperhatikan dan mencatat semua pembicaraan.
Setelah selesai makan minum sampai kenyang, Coa Kun dan tiga orang temannya pamit dan mereka meninggalkan rumah keluarga Ouwyang membawa hadiah yang diberikan secara royal oleh Ouwyang Cin untuk menghormati utusan Yang Mulia dari kota raja itu.
Baru setelah para tamu pergi, Ouwyang Kim menceritakan semuanya kepada ibunya. Wanita itu merasa khawatir sekali dan bersama puterinya, ia lalu menasehati suaminya agar tidak melibatkan diri dalam pemberontakan.
"Langkahmu sudah terlalu jauh," demikian antara lain isteri yang gelisah itu memberi nasihat,
"mengapa tidak dipikir secara mendalam? Menempatkan diri sebagai sekutu pemberontak sungguh amat berbahaya, menyeret seluruh keluargamu dalam bahaya. Di dunia kang-ouw engkau boleh saja mengandalkan kepandaian untuk menjagoi akan tetapi apa dayamu menghadapi balatentara kerajaan? Sebagai pemberontak, engkau akan berhadapan langsung dengan pemerintah dan kalau tertangkap, hukumannya hanya satu yaitu mati berikut seluruh keluarga."
Ouwyang Kim juga membujuk ayahnya.
"Mengapa ayah percaya kepada seorang semacam Coa Kun itu? Ayah melihat sendiri, omongannya saja besar, julukannya besar akan tetapi buktinya, dia tidak ada gunanya. Kalau utusannya seperti itu, tentu yang mengutusnya juga tidak banyak artinya."
"Ha..ha..ha, kalian tidak mengerti. Gerakan ini bukan sekedar pemberontak biasa. Yang memimpin gerakan ini adalah Para pangeran Kerajaan Goan yang berhasil mengungsi ke utara. Kini mereka datang ke selatan dan menyusun kekuatan untuk membangun kembali Kerajaan Goan. Tentang siapa yang berkuasa, apa perduliku? Akan tetapi, mereka mengirim hadiah yang amat berharga, dan selain itu, mereka menjanjikan bahwa kelak kalau gerakan berhasil, aku akan diberi kedudukan raja muda yang berkuasa di daerah timur. Kalian dengar? Raja muda! Kalian akan menjadi isteri dan puteri raja muda! A Kim, engkau akan menjadi seorang puteri sejati, bangsawan tinggi. Dan tentang Yang Mulia itu, aku sendiri tentu tidak akan sudi menghambakan diri kepada orang yang tidak mampu. Aku akan melihat orang macam apa adanya dia."
Percuma saja ibu dan anak itu membujuk. Nafsu daya rendah memang teramat kuat dan setiap orang manusia selalu gagal menundukkannya. Kebutuhan kita hidup dalam dunia amatlah terbatas. Untuk mempertahankan kehidupan ini, cukuplah dengan sandang pangan dan papan sekadarnya. Akan tetapi keinginan atau pengaruh nafsu tidak mengenal batas, tidak pernah merasa cukup atau puas.
Nafsu adalah angkara murka, pementingan diri sendiri yang tanpa batas. Segala daya upaya dalam kehidupan diarahkan demi menyenangkan si aku, atau nafsu. Namun, nafsu tak pernah puas, kesenangan yang diperoleh segera terganti kebosanan dan dengan liar mencari kesenangan lain yang belum diperolehnya. Hati akal pikiran sudah pula digelimangi nafsu sehingga hati dan pikiran selalu membela kepentingan nafsu dengan mengajukan berbagai dalih dan alasan untuk membenarkan tindakan yang didorong nafsu. Pengaruh nafsu selalu menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, dan tujuan itu tiada lain pasti sesuatu yang dianggap menyenangkan si aku. Nafsu bagaikan api berkobar, makin diberi umpan semakin besar nyalanya dan semakin tamak ingin melahap segala yang ada.
Nafsu yang timbul dari daya rendah disertakan manusia sejak lahir bukan merupakan kutukan. Sebaliknya malah, nafsu merupakan anugerah dari Tuhan Maha Pengasih yang amat mengasihi manusia sebagai ciptaanNya. Nafsu mutlak perlu bagi kita dalam kehidupan di dunia ini. Tanpa adanya nafsu kita tidak akan hidup seperti sekarang ini, bahkan mungkin saja manusia tidak akan dapat berkembang biak seperti sekarang.
Nafsu yang bekerja sama dengan hati akal pikiran membuat manusia dapat membuat segala benda yang dibutuhkan dalam hidup ini, dapat membuat kehidupan menjadi menyenangkan. Nafsu yang berada di panca indra yang membuat kita dapat merasakan segala kenikmatan hidup. Yang dinamakan kemajuan di bidang apa saja adalah hasil dorongan nafsu pada hati akal pikiran manusia.
Mata kita dapat menikmati penglihatan indah, hidung kita dapat menikmati penciuman harum, telinga kita dapat menikmati pendengaran merdu, dan selanjutnya. Tanpa adanya nafsu yang menimbulkan gairah, sukar membayangkan bagaimana kehidupan ini. Kosong, hampa dan tidak menarik. Kasih sayang Tuhan terbukti dengan diikutsertakan nafsu kepada kita.
Seperti api, kalau kecil dan terkendali, nafsu amatlah bermanfaat bagi kehidupan. Sebaliknya, kalau membesar dan tidak terkendali, segalanya akan terbakar habis! Jadi masalahnya, nafsu harus terkendali lalu bagaimana kita dapat mengendalikannya? Pertanyaan ini selalu diajukan manusia sejak sejarah tercatat, dan sampai kinipun manusia masih selalu berusaha dengan segala macam cara untuk menguasai atau mengendalikan, nafsunya sendiri. Melalui tuntunan agama, melalui keprihatinan, pertapaan, penyiksaan diri dan segala macam cara lagi ditempuh manusia demi untuk dapat menguasai dan mengendalikan nafsu.
Namun betapa pahitnya kenyataan itu, ialah bahwa jarang sekali ada manusia yang berhasil dalam usahanya itu. Ada yang sudah bertapa di tempat sunyi sampai bertahun-tahun, tetap saja tidak mampu mengendalikan nafsunya. Ketika berada di puncak gunung yang sunyi, nampaknya seolah dia berhasil menidurkan nafsunya. Akan tetapi begitu ia turun gunung, nafsunya bergejolak, bahkan menjadi semakin liar, lebih kuat dari pada sebelum dia bertapa. Mengapa demikian?
Semua usaha hati akal pikiran untuk mengendalikan nafsu, sebagian besar gagal karena hati akal pikiran juga sudah digelimangi nafsu. Jadi, menggunakan hati akal pikiran untuk menguasai nafsu! Tidak aneh kalau gagal! Pengetahuan dan pengertian hati akal pikiran saja tidak mungkin dapat mengalahkan nafsu. Semua orang yang melakukan perbuatan tidak baik tentu tahu dan mengerti bahwa perbuatannya itu tidak baik, namun tetap saja mereka melakukannya dan mengulanginya. Kadang sesal datang setelah berbuat, namun begitu nafsu datang mendorong, tidak ada kekuatan dalam diri untuk menahannya, bahkan akal pikiran dan hatipun tidak berdaya, bahkan menjadi pembela dari perbuatan yang terdorong nafsu.
Kita dihadapkan pada jalan buntu. Kita tidak dapat hidup tanpa nafsu, akan tetapi kitapun terseret ke dalam dosa oleh nafsu, dan kita tidak berdaya untuk mengendalikan lalu bagaimana? Hanya ada satu pemecahannya, yaitu mengembalikannya kepada Sang Maha Pencipta. Tuhan yang menciptakan nafsu, maka hanya Tuhan yang akan dapat mengembalikan nafsu kepada kedudukan dan tugasnya yang semula, yaitu menjadi peserta dan pelayan bagi manusia hidup di dunia, bukan sebagai majikan. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang akan mampu mengembalikan api nafsu itu menjadi api kecil yang terkendali sehingga amat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Oleh karena itu, hanya dengan penyerahan yang tulus ikhlas, penuh kesabaran dan ketawakalan, kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka segalanya akan kembali teratur, sesuai dengan kehendak Tuhan, terjadi karena, kuasa Tuhan. Tidak ada cara atau jalan lain! Hati akal pikiran yang merupakan alat seperti juga anggauta tubuh lainnya, kita pergunakan untuk keperluan lahiriah, bekerja dan sebagainya. Adapun urusan rohaniah kita menyerah kepada kekuasaan Tuhan.
Sia-sia saja Ouwyang Kim dan ibunya membujuk dan manasihati Ouwyang Cin yang telah menjadi hamba nafsunya sendiri sehingga akhirnya ibu dan anak itu mengundurkan diri. Bahkan ketika Ouwyang Cin dan Maniyoko berangkat menuju ke kota raja, Ouwyang Kim tidak diperkenankan ikut.
"Engkau di rumah saja, A Kim. Engkau mewakili ayah menerima kunjungan para sahabat dan menerima sumbangan mereka dan mencatatnya, dan temani ibumu. Pekerjaan mewakili ayah inipun penting dan jangan diabaikan."
Demikian pesannya kepada Ouwyang Kim. Gadis itu tidak dapat membantah walaupun ia sebetulnya ingin sekali pergi untuk melindungi ayahnya karena ia seperti juga ibunya, khawatir kalau-kalau langkah yang diambil Ouwyang Cin itu akan menjerumuskan kepada bencana bagi diri sendiri.
SETELAH Ouwyang Cin pergi, isterinya yang lembut hati itu menangis. Sudah terlalu banyak air mata ditumpahkan wanita ini sejak ia menjadi isteri datuk itu. Ia sendiri adalah puteri seorang pendekar samurai yang baik hati, yang menentang kejahatan dan kini ia menjadi isteri seorang datuk sesat! Maka, pukulan paling hebat kini dirasakan ketika suaminya menjadi sekutu komplotan pemberontak. Melihat ibunya menangis, A Kim merangkulnya.
"Ibu, harap ibu jangan khawatir. Aku akan pergi ke kota raja dan aku akan menentang semua usaha pemberontakan itu. Dengan demikian, maka aku akan dapat menebus dosa dan noda yang dilakukan ayah. Syukur kalau aku dapat menyadarkan ayah sebelum terlambat."
Ibunya mengangguk pasrah. Ia tahu bahwa hanya itulah satu-satunya jalan bagi mereka. Ia harus merelakan puterinya karena ia sendiri tidak mampu berbuat sesuatu. Kalau usaha mereka dengan bujukan kata-kata tidak berhasil, maka harus dilanjutkan dengan tindakan untuk mencegah suaminya menjadi seorang pemberontak.
"Hati-hatilah, A Kim. Ibu selalu mendampingimu dengan doa. Tidak ada di antara nenek moyangmu yang menjadi pemberontak, baik nenek moyangmu di Jepang maupun yang berada di negeri ini. Sudah menjadi kewajibanmu untuk menyelamatkan ayahmu, walau dengan taruhan nyawa."
Demikianlah, pada hari itu juga, Ouwyang Kim atau A Kim berangkat menuju ke Nan-king, ibu kota Kerajaan Beng, menyusul ayah dan suhengnya.
Sesosok bayangan berkelebat seperti burung garuda terbang saja di atas atap sebuah rumah makan kecil yang berada di sudut kota raja. Tanpa menimbulkan suara bayangan itu melompat turun dan beberapa detik kemudian dia sudah berada di jalan raya yang sudah sepi karena malam sudah larut. Dia adalah Sin Wan.
Tadi dia membayangi seorang yang dianggap mencurigakan. Ketika orang itu memasuki rumah makan, tempat itu segera ditutup dari dalam dan diapun mengintai dari atap. Dilihatnya orang itu berbisik-bisik dengan tiga orang lain di dalam rumah makan kecil itu. Maka, dia cepat meninggalkan tempat itu dan langsung melapor kepada Bhok-ciangkun. Bhok Cun Ki yang memang selalu mempersiapkan pasukan keamanan, cepat mengirim seregu pasukan terdiri dari duabelas orang yang dipimpin sendiri oleh Sin Wan, menggerebek rumah makan itu. Akan tetapi apa yang dia temukan? Hanya sebuah rumah kosong. Tak seorangpun berada di situ dan jelas bahwa penghuni rumah makan itu telah melarikan diri sebelum pasukan tiba. Padahal, dia bergerak cepat dan tidak ada yang mengetahuinya.
Sin Wan merasa penasaran sekali. Sudah beberapa kali sejak dia berada di rumah Bhok Cun Ki dan melakukan penyelidikan, selalu usahanya menangkap mata-mata atau orang yang dicurigai gagal. Pernah beberapa hari yang lalu, menjelang tengah malam, dia mengejar sesosok bayangan yang mencurigakan dan bayangan itu lenyap begitu saja di dekat pintu gerbang pagar yang membentengi istana!
"Sungguh aneh sekali," dia mengomel ketika kembali ke rumah keluarga Bhok dan berunding dengan panglima itu.
"Bagaimana mereka bisa mengetahui bahwa tempat itu akan digerebek?"
"Mungkin di antara mereka terdapat banyak orang pandai, sehingga dapat mengetahui gerakanmu. Kenapa tadi engkau tidak turun tangan sendiri saja menangkap mereka?" tanya Bhok Cun Ki.
"Saya ingin bekerja secara rahasia agar mereka tidak mengenal saya dan memudahkan penyelidikan saya, paman Bhok. Kalau sekali mereka mengenal saya, tentu akan sulit bagi saya untuk melakukan penyelidikan. Karena itulah saya ingin agar pasukan keamanan yang menangkap mereka."
"Kurasa tidak perlu begitu, Sin Wan. Lambat laun mereka tentu akan mengenalmu juga. Pula, bantuanmu melakukan penyelidikan terhadap jaringan mata-mata di kota raja hanya sementara saja. Tugas kita yang utama adalah mengamati pemilihan bengcu di puncak Thai-san. Tugas keamanan di kota raja akan ditangani sendiri oleh Jenderal Yauw."
"Saya belum mengenal benar Jenderal Yauw. Dia sangat teliti dan keras. Apakah dia lihai?"
Bhok Cun Ki mengangguk-angguk.
"Di antara jagoan kota raja, dialah yang nomor satu. Aku sendiri agaknya akan.sukar untuk menandinginya. Dialah yang menjadi guru para panglima muda di kota raja. Hanya dalam urusan perang dia kalah oleh Jenderal Shu Ta. Akan tetapi dalam hal ilmu silat, dia lihai bukan main. Diapun amat keras dan entah sudah berapa orang yang dicurigai sebagai mata-mata disiksa sampai mati kalau terjatuh ke tangannya."
Sin Wan mengelutkan alisnya. Dia sama sekali tidak suka mendengar kekejaman yang dilakukan seseorang terhadap orang lain. Akan tetapi dia maklum bahwa begitulah kenyataannya. Kalau menusia sudah saling bermusuhan, apa lagi dalam perang, maka tidak ada makhluk lain di dunia ini yang lebih kejam dari pada manusia.
Akan tetapi dia sendiri akan selalu menuruti kata hati nuraninya. Dia selalu mendekati Tuhan dengan kepasrahannya, dengan imannya. Dia percaya bahwa Tuhan akan membersihkan perasaan hatinya dari benci, biar terhadap orang yang memusuhinya sekalipun. Dia memang bertekad untuk menentang kejahatan, akan tetapi perbuatannyalah yang dia tentang, bukan manusianya.
Dia sendiri akan memperlakukan seorang yang. dianggap jahat tidak dengan kebencian, melainkan dengan keadilan, dan dia akan berusaha agar orang yang melakukan penyelewengan itu dapat kembali ke jalan benar. Demikianlah pelajaran yang dahulu sering dia dengar dari mendiang ibunya tersayang, juga dari tiga orang gurunya, yaitu Sam-sian (Tiga Dewa). Pelajaran itu sesuai dengan suara hatinya. Kalau saja tidak ditugaskan oleh Ciu-sian agar dia mewakili gurunya itu, dia segan untuk melibatkan, diri dalam urusan kerajaan.
Setelah beberapa kali gagal menangkap mata-mata musuh, Sin Wan bertindak lebih hati-hati lagi. Beberapa hari kemudian, pada suatu malam ketika dia melakukan pengintaian sambil bersembunyi, dia melihat bayangan hitam berkelebat cepat sekali di dekat pagar tembok istana. Tentu saja dia menjadi curiga, khawatir kalau ada mata-mata musuh menyelundup ke istana dan melakukan kejahatan. Biarpun dia tahu bahwa kaisar sendiri dilindungi banyak pengawal yang rata-rata merupakan jagoan istana yang lihai, namun kalau ada orang luar menyelundup masuk ke istana kaisar maka hal itu amatlah berbahaya bagi keselamatan keluarga kaisar. Diapun cepat membayangi orang itu. Akan tetapi, agaknya bayangan itu meragu dan tiba-tiba dia mengubah tujuan, tidak jadi melompati pagar tembok, melainkan membalik dan meninggalkan tempat itu.
Sin Wan sudah maklum bahwa orang itu memiliki ilmu berlari cepat yang tinggi, dan tubuhnya kelihatan ringan bukan main, maka dia menjadi semakin curiga dan ingin sekali mengetahui apakah orang itu termasuk kawan ataukah lawan.
Dia tahu bahwa pemerintah sendiri menyebar banyak penyelidik yang berilmu tinggi, maka melihat bayangan itu, tentu saja dia tidak dapat memastikan apakah orang itu mata-mata pemerintah ataukah mata-mata musuh. Maka, dia cepat membayangi ke mana orang itu pergi. Sin Wan bergerak dengan hati-hati sekali karena membayangi seorang yang memiliki gerakan ringan seperti itu, amat berbahaya dan setiap saat dapat saja orang itu memergokinya.
Benar dugaannya. Pada saat orang itu berlari cepat, tiba-tiba saja orang itu berhenti dan membalik. Akan tetapi Sin Wan lebih cepat lagi. Tubuhnya sudah bertiarap di tempat gelap sehingga tidak mungkin orang itu melihatnya. Orang yang dibayanginya itu kembali melanjutkan perjalanannya dan Sin Wan kagum.
Seorang yang cerdik, pikirnya. Kalau dia kurang cepat sedikit saja menjatuhkan diri bertiarap dalam bayangan gelap sebuah rumah, tentu dia akan diketahui dan akan sia-sialah pengintaiannya. Akhirnya, dari jarak yang agak jauh, dia melihat bayangan itu tiba di luar pagar tembok yang mengelilingi sebuah gedung besar, lalu bayangan itu membalik lagi, melihat ke sekeliling, kemudian barulah meloncat ke atas pagar tembok itu dan menghilang.
Sin Wan termenung. Sebelum melakukan penyelidikan, dia sudah mempelajari seluruh keadaan kota raja dan dari Bhok-ciangkun dia memperoleh gambaran mengenai gedung-gedung besar yang penting. Dia tahu bahwa gedung yang dimasuki bayangan itu adalah.sebuah gedung peristirahatan di luar istana yang menjadi milik Pangeran Chu Hui San, putera mahkota.
Dia sudah mendengar banyak tentang pangeran itu dari Bhok-ciangkun yang menceritakan dengan bisik-bisik bahwa pangeran yang menjadi calon pengganti kaisar itu adalah seorang yang setiap hari hanya berenang di dalam lautan kesenangan. Kelemahan putera mahkota itu adalah wanita, dan menurut keterangan rahasia dari Bhok-ciangkun, gedung itu menjadi tempat pelesir pangeran itu kalau dia berkencan dengan wanita-wanita yang bukan selir atau dayangnya!
Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia tidak tahu apakah malam itu sang pangeran berada di gedung itu ataukah tidak, akan tetapi bagaimanapun juga, timbul kekhawatirannya. Bukan tidak mungkin ada mata-mata masuk untuk membunuh pangeran yang menjadi calon kaisar karena hal, ini akan menguntungkan pihak musuh dan akan mengacaukan keadaan. Berpikir demikian, Sin Wan lalu mendekati pagar tembok, mencari bagian yang gelap dan sepi di sebelah belakang dan tubuhnya melayang naik seperti seekor burung garuda saja, melompati pagar tembok dan beberapa detik kemudian dia sudah berada di taman bunga yang berada di belakang gedung.
Sin Wan menggunakan kepandaiannya, mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh), menyusup dan menyelinap di antara pohon-pohon dan semak di taman itu, mendekati gedung. Sunyi saja di sekitar gedung dan hal ini dia artikan bahwa malam itu sang pangeran tidak berada di situ. Kalau sang pangeran mahkota berada di situ, tentu terdapat pasukan pengawal yang menjaga keamanan. Hatinya sudah merasa agak lega, karena kalau sang pangeran tidak berada di situ, maka keselamatan pangeran mahkota itu tidak terancam bahaya.
Akan tetapi, kalau semua bagian gedung itu gelap, di bagian kiri dia melihat sebuah ruangan yang dipasangi lampu penerangan. Cepat dia menyelinap dan tak lama kemudian dia sudah mengintai di luar jendela ruangan itu. Sebuah ruangan yang luas dan nampak tiga orang duduk berhadapan terhalang meja. Agaknya mereka mengadakan perundingan. Akan tetapi yang membuat dia terheran-heran adalah melihat mereka itu semua memakai kedok!
Orang pertama bertubuh tinggi besar dengan perut gendut dan dia mengenakan pakaian ringkas serba hitam, bahkan topeng yang menutupi mukanya juga merupakan topeng hitam. Hanya nampak sepasang matanya yang mencorong melalui lubang pada topeng atau kedok itu. Agaknya dialah yang memimpin, karena sikapnya yang berwibawa dan sikap dua orang itu yang penuh hormat dan seperti menerima perintah dan mengangguk-angguk.
"Hamba mengerti, Yang Mulia," kata seorang yang mengenakan kedok hijau.
"Ingat, kalau tidak terpaksa, jangan melibatkan diri dalam perkelahian," kata Si Kedok Hitam yang disebut Yang Mulia itu, dan Sin Wan terkejut mendengar suara itu. Bukan seperti suara manusia, demikian parau dan dalam, seperti suara yang datang dari alam lain!
"Pusaka apa yang harus didahulukan, Yang Mulia?" tanya orang yang mengenakan kedok biru.
"Apa saja, yang penting pusaka Kerajaan Goan, dan kalau ada, dahulukan cap-cap kebesaran atau bendera-bendera tanda kekuasaan, juga pedang-pedang tanda kekuasaan."
Selagi orang berkedok hijau hendak bicara, tiba-tiba Si Kedok Hitam memberi isyarat agar dia diam, dan tiba-tiba saja dia memutar tubuh ke kanan, tangannya bergerak dan sinar hitam meluncur dengan cepat sekali ke arah jendela di mana Sin Wan mengintai!
Serangan itu hebat bukan main dan ternyata ada tiga batang paku beracun yang meluncur sedemikian cepatnya sehingga dapat menembus kain jendela dan menyerang mata, tenggorokan dan dada Sin Wan! Akan tetapi, pemuda ini dengan tenang namun lebih cepat dari sambaran senjata-senjata rahasia sudah melempar tubuh ke samping dan bergulingan sehingga tiga batang paku itu mengenai dinding di belakangnya dan runtuh ke lantai mengeluarkan bunyi berdenting. Ketika dia bergulingan itu, dia mendengar suara parau aneh itu memerintahkan dua orang tadi untuk segera pergi.
"Cepat kalian pergi, biar kubinasakan pengintai itu!"
Sin Wan hendak melompat pergi, akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara keras, jendela itu pecah berantakan dan sesosok tubuh yang tinggi besar telah menyerangnya dengan dahsyat. Ternyata dia Si Kedok Hitam dan memang orang ini luar biasa sekali. Begitu tiba di luar jendela tangannya sudah meluncur hendak menangkap dan mencengkeram pundak Sin Wan. Dari sambaran anginnya saja tahulah Sin Wan bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh, yang memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat. Diapun cepat menggerakkan dan memutar lengan kanannya menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Dukk!" Sin Wan merasa tubuhnya tergetar dan kuda-kudanya goyah, akan tetapi Si Kedok Hitam itupun terkejut dan mengeluarkan suara kaget.
"Uhhh......! Siapakah engkau?" bentaknya dan dalam suaranya yang parau aneh itu terkandung keheranan dan kekaguman. Tentu saja dia kagum karena selama ini jarang sekali atau bahkan hampir tidak ada orang yang dapat menangkis pukulannya tadi dan membuat dia hampir terdorong mundur!
Sin Wan bersikap tenang.
"Siapa adanya aku tidak menjadi masalah lagi karena semua orang dapat melihat diriku dengan baik. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa engkau yang memakai kedok dan berada di gedung milik Pangeran Mahkota?"
Akan tetapi, Kedok Hitam itu tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan langsung saja menyerang dengan dahsyat, jauh lebih dahsyat dari pada tadi. Sin Wan mengenal serangan berbahaya, tubuhnya bagaikan sehelai bulu burung ringannya sudah mengelak. Akan tetapi lawannya menyerangnya lagi dan ketika dia mengelak. Si Kedok Hitam yang menjadi semakin penasaran menyerang lagi secara tertubi-tubi. Nampaknya dia hendak, memukul roboh dan menewaskan Sin Wan yang dianggapnya berbahaya, namun pemuda ini tentu saja bukan merupakan lawan ringan baginya. Sin Wan selalu mengelak dan kadang kalau dia menangkis, mereka berdua terguncang hebat,
Tiba-tiba terdengar orang itu mengeluarkan bentakan parau seperti suara seekor biruang marah dan tubuhnya sudah berpusing seperti gasing. Sin Wan terkejut karena dari pusingan tubuh itu mencuat jari tangan yang menotok secara bertubi-tubi. Berbahaya sekali serangan ini, maka terpaksa dia meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri. Pada saat itu, suara keributan terdengar oleh orang-orang di luar gedung dan terdengar derap kaki orang berlari-larian menuju ke gedung itu.
Dan kesempatan selagi Sin Wan meloncat ke belakang, Si Kedok Hitam sudah meloncat jauh sekali meninggalkan tempat itu. Sin Wan berusaha mengejar, akan tetapi orang itu sudah menghilang seperti ditelan kegelapan malam. Diapun tidak memperdulikan orang-orang yang berdatangan, lalu meloncat dan menghilang pula.
Sin Wan teringat akan percakapan yang didengarnya tadi, maka diapun langsung berlari cepat menuju ke gedung pusaka, di mana tersimpan semua pusaka berharga milik kerajaan. Dari percakapan tadi dia menduga bahwa Si Kedok Hijau dan Kedok Biru agaknya ditugaskan oleh atasannya tadi untuk mencuri pusaka dari dalam gedung pusaka. Di mana lagi pusaka-pusaka dicuri kalau bukan di gedung pusaka, demikian pikirnya dan cepat diapun pergi ke tempat itu.
Dugaannya memang tepat. Ketika dia meloncat naik ke atas gedung pusaka, dia melihat bayangan dua orang baru saja melayang keluar dari dalam gedung itu, dan diapun melihat beberapa orang penjaga diam tak bergerak di tempatnya, ada yang sedang duduk dan ada yang rebah. Mereka itu seperti patung saja dan diapun dapat menduga bahwa tentu orang-orang yang melakukan penjagaan di luar gedung pusaka itu telah dibuat tidak berdaya oleh totokan dua orang yang lihai itu.
Cepat dia melompat ke atas bagian yang paling tinggi di mana terdapat dua orang itu, akan tetapi si bayangan itu segera melarikan diri dengan berpencar. Tentu saja dia tidak mungkin dapat mengejar keduanya, maka secepat kilat dia meloncat ke arah bayangan terdekat dan begitu dekat dia langsung mengirim serangan dengan jurus paling ampuh dari ilmu Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa). Andaikata orang itu memiliki ilmu kepandaian beberapa kali lipat dari pada tingkatnya yang sekarangpun belum tentu dia akan mampu menghindarkan diri dari serangan dahsyat ini. Orang itu hanya mengeluh dan roboh, pasti akan terguling kalau saja tidak cepat disambar oleh tangan Sin Wan. Orang itu tidak mampu bergerak, akan tetapi masih dapat bicara karena jari tangan Sin Wan tadi hanya menghentikan jalan darahnya saja, buat kaki tangannya lumpuh.
"Barang-barangnya...... dibawa...... temanku........"
Sin Wan percaya karena dia melihat bahwa orang ini tidak membawa apa-apa. Dia membebaskan totokannya dan cepat berkelebat pergi untuk mengejar bayangan kedua yang katanya membawa barang-barang, tentu benda-benda pusaka yang dicuri dua orang maling itu. Yang penting adalah mendapatkan kembali benda-benda pusaka yang dicuri, dan dia tidak ingin membiarkan orang itu dalam keadaan tertotok di atas atap karena kalau sampai dia jatuh, tentu akan tewas. Yang penting sekarang baginya adalah menangkap orang yang melarikan benda pusaka. Sin Wan mengerahkan seluruh tenaganya berlari cepat dan akhirnya dia dapat melihat bayangan itu berloncatan dari atas atap ke atas atap, rumah lain dan dia terus mengejar secepatnya.
Ternyata orang itu berlari ke rumah gedung milik Pangeran Mahkota yang tadi! Berdebar rasa jantung di dada Sin Wan. Kalau Si Kedok Hitam tadi berada dirumah itu, dia akan menghadapi lawan berat. Si Kedok Hitam itu sudah berat, apalagi kalau dibantu orang-orang lain. Akan tetapi dia tidak merasa takut. Melihat orang itu menghilang ke dalam gedung, diapun cepat mengintai dari atas atap. Yang membuat dia heran adalah bahwa kini seluruh gedung dipasangi lampu penerangan, tidak seperti tadi. Dia mengintai ke ruangan tengah dan betapa kaget dan herannya melihat Pangeran Mahkota Chu Hui San berada di situ, duduk menghadapi meja panjang ditemani empat orang wanita muda yang cantik-cantik. Dari pakaian mereka Sin Wan tahu bahwa empat orang wanita itu pasti bukan selir atau dayang dari istana. Agaknya sang pangeran mata keranjang itu sedang bersenang-senang ditemani empat orang wanita panggilan. Anehnya, kenapa baru sekarang pangeran itu berada di situ sedangkan tadi, hanya kurang lebih dua jam yang lalu, belum ada? Dan kini di sekeiiling gedung itu terdapat pengawal, tidak seperti tadi. Bagaimana si pencuri pusaka dapat masuk ke situ tanpa diketahui pengawal? Kalau bersembunyi, dapat bersembunyi di mana?
Sin Wan meragu. Dia tidak berani lancang turun menemui sang pangeran, karena hal itu akan dianggap dosa besar, mengganggu kesenangan sang pangeran mahkota! Dia menanti sampai setengah jam lamanya, tanpa melihat apa yang dilakukan putera mahkota itu dengan empat orang wanitanya, hanya bersiap siaga kalau-kalau bayangan tadi muncul dan menyerang sang pangeran, atau kalau-kalau bayangan itu menyelinap keluar lagi. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Bayangan tadi, maling yang dikejarnya, seperti lenyap ditelan bumi.
Karena tidak berani mengganggu Putera Mahkota, terpaksa Sin Wan pulang dengan tangan kosong. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia membuat laporan kepada Bhok-ciangkun tentang semua yang dilihat dan dialaminya semalam.
Bhok Cun Ki tentu saja tertarik sekali, terutama tentang Si Kedok Hitam yang amat lihai.
"Begitu lihainya dia sampai dapat menandingimu, Sin Wan? Hemm, tentu dia seorang tokoh besar dari Kerajaan Goan. Dia disebut Yang Mulia? ini menunjukkan bahwa dia seorang bangsawan tinggi, mungkin keluarga Kaisar Mongol yang telah kalah dan jatuh."
"Akan tetapi yang membuat saya tidak mengerti mengapa Pangeran Mahkota tiba-tiba berada di sana, dan mengapa pula Si Kedok Hitam dan dua orang anak buahnya yang mencuri dari gedung pusaka dapat berada di sana pula?"
"Hemm, hal ini memang tidak masuk di akaL Kalau benar Si Kedok Hitam itu seorang bangsawan Mongol, tidak mungkin dia dapat berada di rumah milik Putera Mahkota! Memang aneh sekali. Biarlah sekarang juga akan kuperiksa keadaan di gedung pusaka, apakah ada pusaka yang hilang. Kalau menurut ceritamu tadi, Si Kedok Hitam menyuruh anak buahnya mencuri pusaka milik Kerajaan Mongol, terutama cap-cap dan tanda-tanda kebesaran."
Sebentar saja Bhok Cun Ki memperoleh berita bahwa gedung pusaka memang kecurian barang yang bagi Kerajaan Beng tidak berharga, hanya disimpan di situ sebagai benda sejarah, yaitu tiga buah cap kebesaran kaisar dan sebuah pedang tanda kekuasaan kaisar Mongol.
"Jelas, pencurinya tentulah mata-mata Mongol!" seru Bhok Cun Ki.
"Akan tetapi bagaimana mungkin jaringan mata-mata Mongol dapat bersembunyi di rumah Pangeran Mahkota? Hal ini perlu penyelidikan, akan tetapi harus hati-hati sekali agar jangan sampai Putera Mahkota merasa tersinggung. Beliau adalah seorang pangeran, bahkan putera mahkota, calon kaisar. Aku bagaimana juga tidak percaya kalau beliau mempunyai hubungan dengan bangsawan Mongol yang hendak mendirikan kembali Kerajaan Mongol. Mustahil ini!"
"Saya tahu akan kesulitan paman kalau harus menyelidiki urusan ini. Paman seorang panglima, tentu tidak akan berani kalau harus melakukan penyelidikan di rumah gedung milik Putera Mahkota. Akan tetapi saya seorang yang tidak terikat oleh disiplin ketentaraan sehingga saya tidak akan merasa canggung dan rikuh. Apalagi saya membawa tanda kekuasaan dari Sribaginda Kaisar yang saya terima dari suhu." Bhok Cun Ki mengerutkan alisnya.
"Akan tetapi, bagaimana kalau Pangeran Mahkota marah? Sekali dia memberi isyarat, para jagoan istana akan mengeroyok dan membunuhmu dan kalau engkau melawan, berarti engkau telah menjadi pengkhianat dan pemberontak!"
Sin Wan menggeleng kepala dan tersenyum.
"Saya kira tidak akan begitu, paman. Saya akan menggunakan cara yang halus dan seandainya dia bermain kasar, saya masih mempunyai pelindung, yaitu surat kekuasaan Kaisar dan juga kesaksian saya bahwa ada mata-mata Mongol berlindung di rumah pangeran."
Panglima itu menghela napas panjang. Urusan ini memang penting sekali, dan akan dia bicarakan dengan atasannya, yaitu Jenderal Shu Ta.
"Baiklah, Sin Wan. Akan tetapi berhati-hatilah. Aku amat membutuhkan bantuanmu pada pemilihan bengcu kelak. Dan sebaiknya hal ini kusampaikan dulu kepada Jenderal Shu Ta."
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bhok-ciangkun berkunjung ke benteng. Akan tetapi, ternyata dia tidak bertemu dengan Jenderal Shu Ta yang belum datang, dan hanya bertemu dengan wakilnya, yaitu Jenderal Yauw Ti.
Jenderal Yauw Ti yang bertubuh tinggi besar dan gagah itu setelah menerima penghormatan Bhok Cun Ki, bertanya heran,
"Ada kepentingan mendesak apakah yang membuatmu sepagi ini sudah mencari Jenderal Shu?" Karena Jenderal Yauw Ti juga merupakan atasannya, maka Bhok Cun Ki segera menerangkan tentang pengalaman Sin Wan semalam. Mendengar ini, wajah Jenderal berubah merah dan alisnya berkerut.
"Hemm.... hemmm...... engkau bermain dengan api, Bhok-ciangkun," katanya tak senang.
"Betapa beraninya bocah Uighur itu bicara! Jangan-jangan dia malah mata-mata Mongol yang hendak mengacaukan keadaan. Bagaimana mungkin Pangeran Mahkota.... ah, mustahil. Biar aku sendiri yang akan bicara dengan beliau, dan jikalau ternyata anak Uighur itu membohong, terpaksa aku akan menangkapnya dengan tuduhan menghina Putera Mahkota!"
(Lanjut ke Jilid 09)
Asmara Si Pedang Tumpul (Seri ke 02 - Serial Si Pedang Tumpul)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09
Bhok Cun Ki terkejut. Dia tahu betapa Jenderal ini membenci suku-suku bangsa lain. Saya harap Yauw-goanswe (Jenderal Yauw) tidak terburu nafsu. Saya akan mohon pertimbangan Jenderal Shu.........."
"Heh, apa bedanya? Tidak urung diapun akan bertindak seperti yang kulakukan. Di antara kami tidak pernah ada ketidakcocokan. Kalau timbul masalah, harus kita tanggulangi dengan secepatnya. Pangeran Mahkota dicurigai, maka harus diselidiki sekarang juga untuk menentukan siapa yang bersalah! Sudahlah, serahkan urusan ini ditanganku dan kembalilah!"
Ucapan itu merupakan perintah dan Bhok Cun Ki cepat pulang dengan tubuh panas dingin. Celaka bagi Sin Wan pikirnya. Jenderal Yauw adalah seorang yang sepenuhnya setia kepada kaisar dan apalagi putera mahkota, dan seorang yang keras hati dan keras tangan. Kalau sampai Pangeran Mahkota menyangkal, dan keterangan Sin Wan tidak ada bukti, celakalah Sin Wan!
Pedang Sinar Emas Eps 39 Lembah Selaksa Bunga Eps 6 Pedang Sinar Emas Eps 51