Pedang Sinar Emas 39
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 39
Siang Cu memondong tubuh Tek Hong sambil berlari cepat, ia telah berada di daerah itu dan pikirannya kusut, tubuhnya lemas dan lelah. Telah sepekan lamanya ia melakukan perjalanan sambil memondong tubuh Tek Hong dan selama waktu ini ia lupa makan lupa tidur, pikirannya penuh dengan kegelisahan melihat wajah pemuda yang dikasihinya itu!
Memang, perasaan yang paling agung dan kuat di dunia ini adalah perasaan kasih sayang. Dengan kasih sayang orang dapat melakukan apa saja, bahkan dengan kasih sayang orang dapat melakukan hal hal yang nampaknya tak mungkin. Orang yang biasa dianggap sebadai seorang mulia karena cinta kasih dapat melakukan hal yang serendah rendahnya, sebaliknya orang yang biasa dianggap seorang rendah dapat melakukan hal yang semulia mulianya karena kasih sayang.
Perasaan cinta kasih yang bersarang di dalam hati Siang Cu membuat gadis ini sedemikian kuat sehingga ia tahan untuk tidak makan dan tidak tidur selama sepekan, terus menerus melakukan perjalanan sambil memondong tubuh pemuda itu! Tentu saja hal ini takkan mungkin ia lakukan kalau saja ia tidak dibikin kuat oleh kasih sayangnya terhadap pemuda ini. Berkali kali terdengar ia mengeluh dan menyebut nyebut nama pemuda itu dalam bisikan sayu.
"Tek Hong.... jangan khawatir, sayang. Mati atau hidup, kau takkan kutinggalkan...."
Cinta kasihnya terhadap Tek Hong makin mendalam setelah kini ia membuktikan sendiri betapa gagah dan mulia adanya keluarga pemuda ini. Tentu saja ia percaya sepenuhnya akan penuturan Sian Hwa dan kini ia tahu betapa jahat adanya kakek buntung yang mengaku menjadi gurunya dan yang berlaku seakan akan amat sayang kepadanya, ia percaya bahwa gurunya itulah yang pembunuh orang tuanya, karena orang seperti gurunya dapat melakukan hal apapun juga. Ia hanya belum mendapat keyakinan dan kepuasan kalau belum mendengar pengakuan dari mulut kakek buntung itu sendiri.
Tiba tiba Siang Cu merasa pemuda itu bergerak gerak dalam pondongannya. Bukan main girangnya ketika ia melihat pemuda itu telah siuman dan membuka matanya dengan penuh keheranan.
"Kau....?" Tek Hong berkata lemah. "Siang Cu". apakah aku sudah mati dan bertemu dengan kau di sorga?" Pemuda itu menggerakkan leher memandang ke kanan kiri dan tidak amat menggelikan kalau ia mengira berada di surga karena tempat itu memang luar biasa sekali.
Belum pernah ia menyaksikan tempat seperti daerah itu. Sana sini putih belaka, apalagi tertimpa sinar matahari yang redup. Pohon pohon terbungkus salju, demikian pula tanah dan bukit bukit sehingga orang yang datang ke tempat itu akan merasa seperti dalam mimpi.
"Tidak, Tek Hong Kita masih hidup. Sudah kuatkah kau untuk turun?"
Tek Hong baru sadar bahwa masih di pondong oleh gadis itu. Maka ia segera menggerakkan tubuh dan turun dengan hati berdebar keras. Kini ia teringat akan semua pengalamannya maka ia menjadi makin terheran heran,
"Siang Cu, aku ingat sekarang"." akan terapi ia haru menghentikan kata katanya karena tiba tiba ia menjadi limbung dan pandangan matanya berputar putar, tubuhnya lemas sekali. Siang Cu sigap memeluknya.
"Tek Hong, kau perlu beristirahat, kau terluka hebat. Mari kita duduk"." Ia lalu menggandeng pemuda itu dan mereka duduk di atas akar pohon besar yang tertutup salju. Melihat tubuh pemuda itu masih lemas sekali. Siang Cu tidak berani melepaskannya dan dengan lengan kiri memeluk punggung Tek Hong, ia menahan tubuh pemuda itu.
"Bagaimana rasanya? Peningkah kepalamu? Sakitkah?" tanya Siang Cu dengan gelisah sekali.
Tek Hong membuka matanya dan ia tersenyum lemah.
"Siang Cu, tidak ada penderitaan apapun juga yang akan dapat mengurangi kebahagiaanku melihat kau sendiri yang menolong dan merawatku, Terima kasih Siang Cu, terima kasih. Tak salah pilihan hatiku, kaulah gadis termulia di dunia ini."
"Hush...." kata Siang Cu dan tanpa disadari nya, dua titik air mata menetes dari sepasang matanya yang indah. "Aku harus mencarikan obat untuk lukamu yang amat berbahaya itu.... "
Kembali Tek Hong tersenyum.
"Aku ingat Sekarang. Aku dan ayah dikepung oleh Lam hai Lo mo dan kawan kawannya. Mereka lihai sekali, aku terkena pukulan Lam hai Lo mo dan kepalaku serasa dibakar.... Tiba tiba ia melompat bangun dan hampir roboh kalau Siang Cu tidak cepat cepat menangkap lengannya dan membujuknya untuk duduk kembali.
"Apa yang terjadi dengan ayahku?" Ia memegang lengan Siung Cu erat erat, "Siang Cut bagaimana ayah....?? "
"Ayahmu selamat, hanya terluka ringan sekarang bersama ibumu dan adikmu berada di Pulau Sam liong to.... "
Mendengar ini. Tek Hong berseru girang dan menjatuhkan diri berlutut di depan Siang Cu.
"Siang Cu, kau telah menolong ayah...."
Siang Cu mengangkat bangun pemuda itu dan mengelus elus rambut Tek Hong yang menjadi putih terkena salju ketika ia berlutut tadi.
"Tidak, Tek Hong. Bagaimana seorang rendah seperti aku dapat menolong ayahmu? Dia terlampau gagah bagi suhu dan kawan kawannya kemudian ibu dan adikmu datang. Keluargamu memang orang orang luar biasa dan kepandaian mereka bukan lawan suhu dan kawan kawannya. Semua kawan suhu, kecuali suhu sendiri, Tung hai Sian jin, dan puteranya, telah tewas di dalam tangan ayah, ibu, dan adikmu!"
Tek Hong nampak bingung. Kepalanya terasa pening sekali.
"Akan tetapi kau.... bagaimana kau dapat membawaku ke sini....?" Ia terpaksa menghentikan kata katanya lagi dan segera memegangi kepalanya yang serasa akan pecah.
"Bagaimana rasanya, Tek Hong? Sakitkah?"
Siang Cu segera memijit mijit kepala pemuda itu.
"Jangan kau terlalu banyak bicara, terlalu banyak berpikir.... kau terluka hebat...."
"Ya, terluka oleh suhumu.... Siang Cut agaknya aku takkan kuat menahan.... aduh...." Dengan lemas pemuda itu berusaha memperkuat tubuhnya akan tetapi ia tidak dapat menahan serangan rasa sakit yang hebat sehingga sambil mengeluarkan keluhan panjang, kembali ia jatuh pingsan dalam pelukan Siang Cu.
Gadis ini menjadi bingung sekali dan menangis sambil memanggil manggil nama pemuda itu. Akan tetapi ia segera dapat mengatasi perasaannya. Dengan hati hati ia merebahkan tubuh Tek Hong di atas tanah yang tertutup salju. Cepat ia membuka mantelnya dan dibentangkan mantel itu di atas salju, lalu ia memindahkan tubuh Tek Hong di atas mantel itu. Tubuhnya terserang hawa dingin ketika ia membuka mantel dan hanya memakai pakaian yang tipis dan ringkas. Akan tetapi ia tidak memperdulikan semua ini. Sambil mencabut pedangnya. Siang Cu lalu mulai mencari katak putih yang akan menolong nyawa kekasihnya.
Ia diberi tahu oleh suhunya bahwa ular ular merah yang terdapat di daerah ini, bersarang di dalam lubang lubang itu tertutup oleh salju, akan tetapi mudah dilihat karena nampak kemerahan seakan akan di bawah salju terdapat gumpalan darah. Itulah bisa dari ular yang dipasang di sekitar mulut lubang untuk menghalau pergi musuh yang hendak memasuki lubang sarang mereka. Dan untuk mencari katak putih, demikian kata suhunya, harus dicari di dekat sarang ular ular merah itu.
Karena di tempat sekitar itu ia tidak mendapatkan lubang sarang ular ular merah. Siang Cu terpaksa meninggalkan Tek Hong dan pergi agak jauh, memutari sebuah bukit kecil yang tertutup salju. Akhirnya dengan girang ia melihat tanda tanda merah di atas tanah bersalju, tanda tanda bahwa di tempat itu terdapat ular ular merah.
Daerah ini penuh dengan bukit bukit salju kecil, merupakan tempat yang amat indah seperti dalam mimpi, akan tetapi sunyi sekali dan seperti mati, tidak ada pergerakan sedikitpun juga. Angin yang bertiup hanya dapat dirasakan, karena tidak ada benda yang dapat digerakkan oleh angin, kecuali debu salju yang berhamburan seakan akan tepung putih yang disebar dan atas.
Setelah mencari ke sana ke mari, tiba tiba Siang Cu melihat tanda tanda merah di bawah sebatang pohon besar yang sudah berobah menjadi pohon kecil karena tertutup seluruhnya oleh salju. Siang Cu menjadi girang karena itulah mulut lubang sarang ular ular merah. Cepat ia menghempas hempaskan kedua kakinya sambil mengerahkan tenaga di sekeliling lubang itu. Demikianlah cara untuk memaksa ular ular itu keluar.
Betul saja, tak lama kemudian, lubang yang tertutup oleh salju itu tiba tiba terbuka dan uap kemerahan mengebul keluar dari lubang itu. Itulah hawa dari bisa ular yang sudah mulai keluar, mengirim dulu bisanya untuk membinasakan musuh. Kemudian, ular pertama keluar, disusul oleh kawan kawannya yang jumlahnya semua ada enam ekor ular ular merah.
Ular ini kulitnya berkilat kemerahan, hanya di bagian muka saja putih dan lidahnya juga putih. Akan tetapi ketika ular ular ini mendesis, muka dan lidah berubah menjadi merah seperti darah, jauh lebih merah dari pada warna tubuhnya.
Siang Cu tahu dari suhunya bagaimana caranya untuk mengetahui di mana gerangan adanya katak putih di sekitar tempat itu. Kalau katak itu tempatnya berada di sebelah utara lubang sarang ular, tentu ular ular itu tidak berani maju ke utara demikian pula kalau berada di jurusan lain. Ia berdiri di sebelah selatan lubang dan ular ular itu ketika melihatnya, lalu serentak mengejar ke arahnya dengan suara mendesis desis. Ular Ular yang panjangnya ada tiga kaki itu berlenggak lenggok dan gerakan mereka cepat sekali.
Siang Cu maklum sekali kena gigit saja, ia akan tewas. Maka melihat ular ular itu berani menyerangnya dan ia berdiri di sebelah selatan lubang, ia tahu bahwa katak putih tidak terdapat di sebelah selatan, ia cepat melompat ke sebelah kanan atau sebelah timur lubang Namun ular ular itu tetap mengejarnya Siang Cu lalu melompat lagi ke kanan, kini berada di sebelah utara lubang.
Melihat betapa ular ular itu tetap saja mengejarnya, tahulah dia bahwa di jurusan selatan, dan utara tidak terdapat katak putih. Tentu di sebelah barat, pikirnya, akan tetapi ia masih belum puas dan cepat melompat lagi ke kanan, kini berdiri di sebelah barat lubang, ia menduga bahwa ular ular itu seperti takut menghadapi sesuatu akan mundur atau masuk kembali ke dalam lubang.
Akan tetapi bukan main heran dan kecewanya ketika melihat betapa ular ular merah itu tetap saja mengejarnya dengan cepat sekali.
Hal ini hanya boleh diartikan bahwa di sekitar tempat itu tidak terdapat katak putih! Bukan main marah hati Siang Cu.
"Ular ular bedebah!" makinya kecewa sekali. Pedangnya berkelebat dan putuslah leher dua ekor ular yang terdekat dengannya. Dengan marah Siang Cu bermaksud membunuh semua ular itu, akan tetapi tiba tiba terdengar orang berkata,
"Jangan bunuh....! Sayang bahan obat demikian banyaknya dibuang sia sia!"
Siang Cu terkejut dan cepat membalikkan tubuh sambil melompat menjauhi ular ular itu. Ia melihat seorang kakek gemuk dengan potongan tubuh seperti patung Jilaihud, berwajah ramah sehingga mulut dan matanya seperti tertawa tawa.
Kakek ini datang menghampiri ular ular itu lalu mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya yang penuh tambalan. Ternyata bahwa benda itu adalah seekor katak berkulit putih. Sebelum Siang Cu hilang kaget dan herannya, kekek itu melemparkan katak putih itu di tengah tengah ular yang tinggal empat ekor banyaknya itu.
Untuk sesaat ular ular itu seperti bingung dan ketakutan, akan tetapi setelah mereka mendapat kenyataan bahwa katak putih itu tidak bergerak seperti mati, mereka lalu maju menyerang dan menggigit!
Kalau dibicarakan memang aneh sekali. Empat ekor ular itu menggigit dan empat jurusan, dalam waktu bersamaan dan kini mereka masih menggigit katak putih itu. Akan tetapi setelah menggigit, mereka tak dapat melepaskan gigitan lagi seakan akan gigi gigi mereka menempel dan tak dapat dibuka kembali Tubuh empat ekor ular itu berkelojotan dan sebentar saja mereka tak dapat bergerak, lemas dan mati! Namun mulut mereka masih menempel pada tubuh katak.
Siang Cu melihat katak putih itu, berdebar hatinya dan ia melangkah maju hendak mengambil katak obat itu.
"Jangan ganggu! Biarkan racun mereka dihisap habis!" kakek gemuk itu berkata mencegahnya sehingga Siang Cu yang tidak mengerti menjadi ragu ragu dan menahan langkahnya.
Tak lama Kemudian, kakek itu tertawa bergelak melangkah maju dan melepaskan katak itu dari gigitan empat ekor ular merah. Ternyata oleh Siang Cu bahwa ular ular itu telah mati dengan tubuh kering seakan akan seluruh darahnya telah dihisap oleh katak itu dan katak itu sendiripun ternyata adalah katak yang sudah tak bernyawa lagi.
"Ha, ha, ha! Bahan obat datang sendiri tanpa dicari! Benar benar murah, tak usah membahayakan nyawa. Nona, terima kasih, kau baik sekali. Telah lama aku mencari cari ular ular ini dan kalau mereka berada di dalam sarangnya, bagaimana aku dapat memancing mereka keluar?"
"Mengapa kau membiarkan katak itu digigit?"
"Kau tidak tahu, nona Gigitan mereka itu membuat semua bisa mereka dihisap oleh katak ini dan karenanya khasiat katak ini lebih hebat lagi. Bisa itu setelah terkumpul di dalam tubuh katak berobah menjadi obat. Sekarang, khasiat katak itu cukup untuk mengobati sepuluh orang yang tergigit oleh segala binatang berbisa. Ha, ha, ha, aku beruntung sekali!"
Akan tetapi kakek itu terpaksa menghentikan ketawanya ketika tiba tiba tubuh Siang Cu berkelebat dan tahu tahu katak yang dipegangnya telah berpindah ke tangan gadis berbaju merah itu.
Kakek itu terkejut melihat gerakan gadis itu yang luar biasa sekali cepatnya, sebaliknya Siang Cu juga terkejut karena ternyata bahwa kakek itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat atau setidaknya amat lemah, benar benar di luar dugaannya semula. Tadinya Siang Cu mengira bahwa kakek ini tentulah seorang luar biasa yang berkepandaian tinggi akan tetapi ternyata tidak demikian sama sekali.
"Nona, ternyata kau seorang kang ouw yang tidak kenal aturan!"
Siang Cu tertegun mendengar teguran ini.
"Apa katamu, orang tua? Mengapa kau menganggap aku seorang kang ouw yang tidak kenal aturan?" tanya gadis itu marah.
"Gerakanmu seperti kilat cepatnya, tanda bahwa kau seorang ahli silat dan seorang kang ouw, akan tetapi kau merampas barang milik seorang kakek yang lemah, itu tanda bahwa kau seorang kang ouw tidak kenal aturan!"
Merah wajah Siang Cu, akan tetapi ia adalah seorang gadis yang keras hati, maka jawabnya,
"Kakek yang baik, di dalam dunia kang ouw terdapat peraturan bahwa siapa yang kuat dialah yang berhak memiliki benda yang diperebutkan. Kalau kau memang kuat, cobalah kaurampas kembali benda ini dari tanganku."
Kakek yang tubuhnya seperti patung Jilaihud itu tertawa, lalu bernyanyi,
"Mengerti akan orang lain adalah waspada.
Mengerti akan diri sendiri lebih bijaksana.
Mengalahkan orang lain mengandalkan kekuatan belaka.
Mengalahkan diri sendiri barulah gagah perkasa.
Mengenal batas kecukupan berarti kaya bahagia.
Melakukan sesuatu dengan memaksa berarti nekad-membuat."
ujar Nyanyian ini adalah sebagian daripada ujar Nabi Locu. Akan tetapi Siang Cu tidak mau mengambil pusing akan semua sindiran ini.
"Kakek, apapun yang hendak kaukatakan aku tidak ambil perduli dan cukup kauketahui bahwa aku sengaja merampas katak putih ini untuk mengobati seorang yang terkena bisa ular merah. Kalau sudah selesai, benda ini boleh kauambil kembali."
Setelah berkata demikian. Siang Cu melompat pergi. Akan tetapi kakek itu berseru, "He, nona baju merah! Apa gunanya kau mengambil katak itu kalau tidak tahu cara mempergunakannya?"
Siang Cu tersentak kaget dan kedua kakinya seperu tertahan oleh sesuatu. Apalagi ketika ia mendengar kakek itu berkata lagi sambil tertawa tawa.
"Katak itu sudah menghisap banyak sekali racun ular merah. Penggunaan yang tepat merupakan obat mujijat, akan tetapi penggunaan yang salah akan merupakan racun yang tiada duanya di atas dunia! Bukankah itu sama halnya dengan menolong si sakit dengan jalan merenggut nyawa meninggalkan raganya?"
Mendengar ini, Siang Cu menjadi pucat. Memang suhunya belum pernah menceritakan bagaimana cara mengobati orang terkena bisa dengan katak putih ini. Bagaimana kalau kata kata kakek ini benar dan ia tidak berhasil menolong Tek Hong bahkan membunuhnya? Ia bergidik dan cepat ia berlari kembali.
"Kakek yang baik, tolonglah aku! Kawanku terkena pukulan yang mengandung racun ular merah dan keadaannya amat berbahaya, nyawanya sewaktu waktu dapat meninggalkan raganya. Tolonglah, kakek yang baik, obatilah dia!"
"Ha, ha, ha, beginilah sifat orang muda. Bersikap sombong tak mau kalah. Kalau aku meniru sikapmu dan berkeras tidak mau menolong biarpun kau akan membunuhku, apa dayamu?"
Siang Cu dapat menduga bahwa biarpun kakek ini tidak pandai silat, namun melihat wataknya, tentulah kakek ini seorang yang luar biasa. Orang orang seperti ini memang tidak takut menghadapi maut. Mulai bingunglah gadis ini karena ia teringat akan keadaan kekasihnya Dengan cepat ia lalu melangkah maju dan berlutut di depan kakek itu sambil menangis!
"Eh, eh, kukira kau seorang dara perkasa yang berhati baja dan keras melebihi laki laki. Tidak tahunya kau tetap saja seorang perempuan, mudah tertawa mudah menangis!"
"Orang tua yang budiman, tolonglah kau obati dia yang sedang sakit. Kalau aku sendiri yang sakit, aku tidak akan menyusahkan engkau, bagiku mati tidak apa apa. Akan tetapi dia, ah, kakek yang baik, dialah orang satu satunya di dunia ini yang kucinta. Kematiannya akan lebih hebat bagiku daripada kematianku sendiri."
Mendengar ucapan Siang Cu ini, tiba tiba wajah kakek gemuk yang tadi tertawa tawa jadi berobah dan ia mulai menangis! Tangisnya mendadak dan keras seperti ketawanya sehingga ia seperti seorang kanak kanak yang menangis, berkaok kaok keras. Melihat ini, Siang Cu tertegun.
"Aduh, nona yang gagah dan cantik. Kau membikin hatiku sakit dan penuh iri hati. Kaulah orang berbahagia sekali, mendapat kesempatan untuk mencurahkan isi hatimu yang penuh kasih sayang kepada seseorang! Tidak ada kebahagiaan di dunia ini melebihi perasaan kasih sayang yang begitu murni seperti kasih sayangmu terhadap orang itu. Tidak ada kasih sayang yang suci murni melebihi kasih sayang yang diselimuti oleh kerelaan pengorbanan sebesar yang kaunyatakan itu. Kau berani berkorban melupakan kepentingan diri sendiri demi orang yang kau cinta. Aku kagum dan iri kepadamu, nona. Aku bersedia mengobati orang yang kau cintai itu. Bagaimana sakitnya? Apakah dia digigit ular merah?"
Bukan main girangnya hati Siang Cu melihat bahwa ia telah dapat menangkan hati kakek aneh ini.
"Tidak, ia tidak tergigit binatang berbisa melainkan terkena pukulan Sam hiat ci hoat yang mengandung bisa ular merah, terpukul pada jidatnya."
"Ganas sekali pemukul itu! Bagaimana keadaannya? Apakah kuku tangannya berwarna hitam ataukah putih?"
"Kuku tangannya putih, belum berubah hitam," jawab Siang Cu.
"Celaka! Bodoh kau! Kalau kuku tangannya berubah hitam berami ia masih belum begitu berat keadaannya. Kalau berwarna putih, tanda bahwa bisa itu telah mengancam nyawanya! Di mana dia?"
Mendengar ini Siang Cu menjadi pucat dan bingung sekali. Air matanya mengalir deras.
"Dia tidak jauh dari sini, mari kita pergi ke tempat dia berbaring," katanya cepat.
"Tak usah, membuang buang waktu saja. Biar aku mengerjakan obat ini dan kau cepat cepat bawa dia ke mari. Lekas!"
Kakek itu menerima katak putih dari Siang Cu dan gadis ini tanpa bertanya tanya lagi lalu melompat cepat dan lenyap dalam sekejap mata, membuat kakek itu menahan napas penuh kekaguman.
Tek Hong masih rebah pingsan di atas mantel seperti orang tidur, atau lebih tepat lagi, seperti mayat karena mukanya pucat sekali. Siang Cu merasakan jantungnya perih dan dengan penuh kegelisahan ia meraba lengan pemuda itu. Hatinya lega merasa bahwa lengan itu masih hangat, lalu ia menyelimutkan mantel tadi dan memondong tubuh Tek Hong, membawanya lari menuju ke tempat kakek gemuk yang diharapkan akan dapat menyembuhkan pemuda ini.
Akan tetapi, setelah tiba ditempat itu, Siang Cu merasa semangatnya terbang meninggalkan tubuhnya ketika ia melihat kakek itu telah rebah mandi darah dan tak bernyawa lagi di atas salju dan sebagai gantinya, di situ berdiri Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat! Seperti biasa Bong Eng Kiat memandang kepada Siang Cu dengan tersenyum senyum dan sinar mata penuh gairah.
Tung hai Sian jin berdiri tenang dan tangan kanannya memainkan katak putih yang tadi dipegang oleh kakek gemuk.
Sebetulnya, tadi ketika Siang Cu bercakap cakap dengan kakek gemuk, Tung hai Sian jin dan puteranya telah tiba di tempat itu dan mereka bersembunyi di balik bukit sambil mengintai dan mendengarkan. Tanah yang tertutup salju lunak itu membuat tindakan kaki dua orang yang memiliki kepandaian tinggi ini tidak terdengar oleh Siang Cu.
Setelah Siang Cu pergi untuk mengambil Tek Hong, mereka muncul dan sekali mengulur tangannya, Tung hai Sian jin sudah dapat merampas katak putih itu.
Kakek gemuk itu hendak membuka mulut, akan tetapi Bong Eng Kiat menotok pundaknya sehingga ia roboh terguling.
"Hayo ceritakan kepada kami bagaimana caranya mempergunakan katak putih ini!" kata Tung hai Sian jin kepada korbannya yang memandang dengan mata terbelalak.
"Hm, kalian ini sepasang iblis jahat jangan harap akan membuka mulutku," maki kakek gemuk dengan tegas.
Eng Kiat hendak mengayun tangan membunuhnya, akan tetapi Tung hai San jin mencegahnya. Lalu kakek ini membungkuk dan membebaskan kakek gemuk itu dari totokan sehingga kakek ini dapat bangun duduk di atas salju.
"Mengapa kau keras kepala? Kami membutuhkan katak putih ini bukan untuk mengobati siapapun juga melainkan kami pernah mendengar bahwa katak putih ini dapat dipergunakan sebagai obat penguat tubuh yang luar biasa. Kau ceritakan kepada kami bagaimana caranya mengobati orang atau kalau kau tidak suka, biarlah kau ceritakan saja apakah benar benar katak putih ini dapat menjadi obat kuat yang mujijat? Kalau kau mau bercerita, kami takkan mengganggumu lagi."
Kakek gemuk itu adalah seorang yang sudah banyak merantau dan dia tahu betul bahwa orang orang seperti yang sekarang ia hadapi ini tidak boleh dipercaya omongannya. Dan ia merasa amat kasihan kepada nona baju merah tadi. Pikiran dalam kepala yang besar dan bulat itu bekerja keras, kemudian nampaklah senyumnya seperti biasa.
"Ada orang yang perlu ditolong, bagaimana bicara tentang obat penguat tubuh? Kalau kalian mau mempergunakan katak ini untuk mengobati teman nona tadi, barulah aku mau memberi tahu cara mempergunakan katak ini sebagai obat penguat tubuh."
"Baik, aku berjanji akan mengobati kawan nona tadi," kata Tung tui Sian jin. "Lekas kau ceritakan bagaimana caranya."
"Lebih dulu kau genggam bagian kepala katak ini sampai mulutnya tertutup rapat, lalu kau pencet perutnya perlahan lahan sehingga dari lubang tubuh belakangnya keluar darah berwarna putih yang menetes. Lima belas tetes darah ini dapat dipergunakan untuk diminum oleh si sakit. Kemudian, tubuh katak ini boleh digosok osokkan di atas luka orang yang sakit untuk mengisap keluar semua bisa. Akan tetapi cara menggosoknya harus mempergunakan bagian perut katak ini. Setelah luka yang tadinya berwarna merah atau kebiruan atau hitam menjadi putih kembali, baralah penggosokan dihentikan dan korban itu akan sembuh kembali."
"Cukup, aku sudah mengerti. Sekarang bagaimana kalau dipergunakan untuk memperkuat tubuh?" tanya Tung hai Sian jin dengan penuh gairah karena hal inilah baginya yang terpenting.
Kakek gendut itu terseryum. "Tidak ada manusia di dunia ini yang mengenal cukup, dia yang mengenal cukup, barulah seorang yang kaya dan berbahagia, yang tidak mengenal cukup akan hancur dalam kekecewaan, diburu oleh nafsunya sendiri."
"Jangan ngaco belo, lekas katakan bagaimana caranya!" bentak Eng Kiat yang ingin pula mendapatkan khasiat obat itu.
"Kalian hendak memperkuat tubuh? Sampai bagaimana kuatnya? Tetap saja takkan dapat melawan maut.... "
"Apa kau ingin kami kehilangan kesabaran dan memecahkan kepalamu?" bentak Tung hai Sian jin marah.
"Baiklah, baiklah, bukan aku yang menghendaki, akan tetapi kalian sendiri. Pencetlah katak itu dari belakang sehingga keluar darah merah dari mulutnya Nah, darah ini kalau diminum mendatangkan kekuatan yang luar biasa, akan tetapi jangan banyak banyak, setetespun cukuplah."
"Kau tidak bohong?"
"Siapa berani bohong? Aku berani membuktikannya."
Tung hai Sian jin menggerakkan tangan mengetuk pundak kakek gendut ini sehingga tertotoklah jalan darahnya dan akibatnya seluruh tubuh kakek ini seperti lumpuh, lenyap sama sekali tenaganya, Tung hai Sian jin lalu memencet belakang tubuh katak putih itu dan benar saja, dari mulut yang terbuka itu menetes darah merah. Dengan memaksa membuka mulut kakek gendut, Tung hai Sian jin meneteskan setitik darah ke dalam mulut kakek itu.
Ajaib! Sudah terang bahwa kakek gendut itu tidak mempunyai tenaga lweekang dan takkan mungkin membebaskan diri dari pengaruh totokan. Akan tetapi, begitu tetesan darah merah itu tertelan olehnya, tiba tiba ia dapat menggerakkan tubuhnya kembali, tanda bahwa totokan Tung hai Sian jin tadi buyar!
"Bagus, kau tidak membohong!" serunya keras akan tetapi berbareng kakek kejam ini menggerakkan tongkatnya ke arah kepala kakek itu.
"Prak!" Tanpa dapat bersambat lagi kakek gendut itu roboh dengan kepala pecah!
Pada saat itu, muncullah Siang Cu yang memondong tubuh Tek Hong. Melihat nona ini, Tung hai Sian jin menjadi marah, akan tetapi sebaliknya, Eng Kiat cengar cengir dengan sikap menjemukan sekali.
"Nona, kau benar benar amat memalukan. Bagaimana kau mati matian membela pemuda ini dan hendak mencarikan obat untuknya sedangkan kau tentu tahu bahwa pemuda ini adalah musuh besar suhumu, putera dan Thian te Kiam ong? Seharusnya kau membunuhnya!" tegur Tung hai Sian jin dengan suara marah.
"Kau calon isteriku mengapa memondong mondong seorang pemuda? Siang Cu, lemparkan dia di jurang!" kata Eng Kiat dengan sikap ceriwis sekali.
Siang Cu merasa dadanya panas. Ingin ia mengamuk dan menyerang dua orang ini. Akan tetapi ia bukan seorang gadis bodoh, ia maklum bahwa hal itu tidak akan menguntungkan, pertama tama ia takkan menang menghadapi dua orang ini seorang diri saja, kedua kalinya obat katak putih itu telah terjatuh ke dalam tangan mereka, sedangkan ia amat membutuhkannya untuk menolong Tek Hong.
"Tung hai Sian jin, harap kau mengingat perikemanusiaan dan berikanlah obat katak putih itu kepadaku agar aku dapat mengobati Tek Hong."
"Hm, kau tidak tahu bagaimana cara mempergunakannya, bagaimana kau dapat mengobatinya? Kalau salah pengobatan itu, dia takkan sembuh bahkan sebaliknya akan mempercepat kematiannya."
Mendengar ucapan ini Siang Cu yang cerdik tahu bahwa tentu kakek yang licik dan kejam ini sudah dapat mengetahui cara pengobatannya sebelum membunuh kakek gemuk yang bernasib malang itu. Maka ia lalu bersikap halus dan berkata,
"Tung hai Sian jin, mengingat akan hubungan antara kau dan suhu, tolonglah aku dan obatilah Tek Hong."
"Satu permintaan yang aneh. Tek Hong ini adalah putera dari Thian te Kiam ong Song Bun Sam musuh besar kita, bagaimana kini kau murid Lam hai Lo mo minta aku mengobatinya? Bahkan kalau aku harus mengingat akan hubunganku dengan suhumu, pemuda ini harus kubunuh sekarang juga!"
Setelah berhenti sebentar Tung hai Sian jin memandang tajam tajam kepada Siang Cu lalu bertanya.
"Sebetulnya apakah yang membuat kau begitu memperhatikan pemuda ini dan ingin melihat dia sembuh?"
Sambil menahan perasaan hatinya yang jengah dan malu. Siang Cu mengeraskan hati dan menjawab dengan suara gagah, "Aku cinta padanya! Aku suka berkurban apa saja asal dia dapat disembuhkan. Orang macam aku tidak apa mati, akan tetapi dia adalah seorang mulia dan tidak selayaknya mari muda."
"Kau tak tahu malu!" bentak Tung hai Sian jin marah sekali dan tongkatnya sudah menggetar di dalam kedua tangannya yang menggigil, ia marah sekali dan ingin ia membunuh Siang Cu dan Tek Hong di saat itu juga.
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi Eng Kiat yang sudah mengetahui watak ayahnya dan sudah merasa khawatir sekali kalau kalau ayahnya menjadi marah dan membunuh Siang Cu, segera maju dan berkata,
"Ayah, jangan mengganggu calon menantumu sendiri."
"Mantu apa? Siapa sudi mempunyai mantu tak kenal malu seperti dia ini? Dunia masih lebar, masih banyak wanita yang lebih cantik dari padanya. Kau akan kucarikan puteri yang jauh lebih cantik. Jangan khawatir, Eng Kiat, sebutkan saja gadis mana yang kaukehendaki, biar puteri pangeran akan dapat kauambil untukmu."
"Hanya satu, ayah, yakni Siang Cu inilah kuharapkan menjadi isteriku. Karena itu, harap ayah jangan membunuhnya,"
"Tung hai Sian jin, lekaslah kau mengobati Tek Hong!" Siang Cu yang tidak memperdulikan percakapan mereka, mendesak dan membujuk, ia tidak berani mempergunakan kekerasan karena maklum bahwa hal itu percuma saja.
"Hm, kau benar benar ingin melihat dia sembuh?"
"Tentu saja!"
"Dan kau rela berkurban apa saja untuknya?" tanya pula Tung hai Sian jin.
"Biarpun harus menebus nyawanya dengan nyawaku, aku rela!" jawab nona itu tegas.
"Eng Kiat, aku menyerahkan syaratnya kepadamu. Aku akan mengobati pemuda ini asalkan Siang Cu memenuhi syarat yang kau ajukan," kata Tung hai Sianjin yang sudah merasa bohwat (tak berdaya) menghadapi puteranya yang tergila gila kepada Siang Cu ini. Ia maklum bahwa puteranya hanya suka betul betul kepada dua orang gadis, yakni Siang Cu dan Siauw Yang puteri Thian te Kiam ong. Hal ini tidak mengherankan, karena di dunia ini agaknya sukar dicari gadis gadis seperti kedua orang nona ini, tidak saja cantik jelita, akan tetapi juga memiliki kepandaian yang luar biasa dan mengagumkan.
Mendengar kata kata ayahnya, Eng Kiat maju mendekati Siang Cu dan berkata, "Syaratnya ringan saja, yakni kau harus bersumpah bahwa kau suka menjadi isteriku."
Siang Cu merasa kepalanya pening, jantungnya berdebar kera dan ia menahan nahan nafsunya yang hendak meluap dan menekan kedua tangannya yang seakan akan ingin bergerak sendiri untuk menampar muka pemuda yang amat dibencinya itu. Akan tetapi kalau ia menengok ke bawah, ia melihat wajah Tek Hong yang pucat seperti mayat, maka ia tak dapat menahan lagi jatuhnya air matanya, ia tak dapat menjawab hanya mengangguk anggukkan kepalanya kepada Eng Kiat sambil menurunkan tubuh Tek Hong ke atas salju.
"Obatilah dia.... sembuhkanlah dia....!" katanya di antara isaknya.
"Kau bersumpahlah dulu seperti yang diminta oleh Eng Kiat, bersumpah bahwa kau akan suka menjalani upacara pernikahan dengan dia, menjadi isterinya," kata Tung hai Sian jin.
"Aku bersumpah untuk.... menjalankan upacara pernikahan dengan Eng Kiat dan menjadi.... isterinya," kata Siang Cu dengan hati hancur. "Lekas obati dia, takut kalau kalau terlambat. Akan tetapi sumpahku ini hanya berlaku kalau Tek Hong kausembuhkan."
"Bagus," Eng Kiat bersorak girang. "Ayah, kau obatilah dia ini. Siang Cu sudah menjadi calon isteriku benar benar! Aduh senangnya. Bidadariku yang manis, kau seakan akan telah memberi hadiah bulan purnama kepadaku. Ke sinilah, adinda yang tercinta, sini duduk dengan kanda."
Bukan main mendongkol dan marahnya hati Siang Cu, Gadis ini sudah lelah sekali dan dalam waktu sepekan tidak tidur dan tidak makan. Kemudian ia menghadapi goncangan goncangan batin yang hebat, sekarang ditambah pula oleh nafsu amarah yang tertahan tahan, maka sambil memandang penuh kebencian kepada Eng Kiat, ia menjerit dan roboh pingsan di dekat Tek Hong.
Eng Kiat menjadi bingung sekali, ia membanting banting kedua kakinya dan hampir menangis. Sambil mewek mewek ia berkata kepada ayahnya,
"Ayah, lekas sembuhkan dia! Aduh bagaimana ini? Ayah jangan perdulikan Tek Hong, lekas obati dia lebih dulu, bagaimana pengantinku menjadi begini?"
Eng Kiat menggoyang goyang pundak Siang Cu sambil mewek mewek dan memanggil namanya.
"Dinda Siang Cu.... dindaku yang manis, bangunlah....!"
"Minggirlah!" Tung hai Sian jin membentak marah kepada puteranya. Kemudian ia memegang nadi pergelangan tangan Siang Cu lalu tertawa terbahak bahak.
"Dia kurang tidur dan lapar sekali. Hayo keluarkan bekal makanan dan arak!"
Tanpa menanti perintah kedua kalinya, Eng Kiat lalu menurunkan gendongan buntalannya, mengeluarkan kue kering dan dengan amat telaten dan penuh cinta kasih. Setelah memasukkan beberapa potong kue dan memberi minum arak kepada Siang Cu, mulailah gadis itu siuman kembali. Akan tetapi begitu melihat bahwa ia sedang disuapi oleh Eng Kiat, ia cepat cepat melompat bangun dengan muka merah. Eng Kiat tertawa.
"Ha, ha, ha, tadi kau sambil meram makan kue dengan enaknya. Marilah kaumakan lagi manis!"
Akan tetapi Siang Cu tidak mau memperdulikan lagi dan ketika ia menengok ke arah Tek Hong, ia segera berkata, "Kenapa dia belum diobati? Hayo lekas obati dia, Tung hai Sian jin. Bukankah aku sudah mengucapkan sumpahku?"
Tung hai Sian jin terkenal akan kelicikannya, kini melihat sikap Siang Cu tentu saja ia tidak percaya begitu saja.
"Untuk mengobati pemuda ini, adalah hal yang mudah. Akan tetapi makan waktu lama. Aku sudah mempelajarinya dan kakek itu. Sedikitnya makan waktu tiga hari. Akan tetapi aku bertanggung jawab bahwa dia pasti akan sembuh. Sementara itu kau harus pergi dengan Eng Kiat dan merayakan pernikahan di kampungku, yakni di rumah adikku, seorang piauwsu (pengantar barang ekspidisi) di dusun Tiang kwan."
"Kau licik!" Siang Cu membentak marah, akan tetapi ia segera menahan marahnya dan berpikir cepat. "Kita harus atur seadil adilnya. Boleh aku meninggalkan Tek Hong di sini bersamamu, dan aku memang sudah bersumpah untuk menjalankan upacara pernikahan dengan anakmu. Akan tetapi, semua itu hanya dengan satu syarat bahwa aku harus melihat dulu kesembuhan Tek Hong dan bahwa aku baru mau menikah kalau Tek Hong sudah sembuh Sementara itu, jangan harap Eig Kiat akan berlaku kurang ajar. Sekali saja melakukan hal kurang ajar, aku anggap sumpahku tak berlaku!"
(Lanjut ke Jilid 49)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 49
TUNG HAI SIAN JIN sudah mengenal kekerasan hati Siang Cu, akan tetapi iapun tahu bahwa gadis ini betapapun juga pasti tidak akan sudi melanggar sumpah sendiri. Oleh karena itu ia berkata,
"Baiklah, kau akan melihat dia sembuh. Sekarang pergilah kau dengan Eng Kiat ke dusun Tiang kwan. Eng Kiat, kau beri tahukan kepada pamanmu untuk mempersiapkan pesta pernikahan. Pernikahan harus dilangsungkan seminggu setelah kalian tiba di sana. Dan aku berjanji bahwa dalam saat pesta pernikahan dilangsungkan Tek Hong akan kubawa ke sana dalam keadaan sembuh. Akan tetapi, nona, jangan sekali kali kau berani melanggar sumpah sendiri karena tidak sukar bagiku untuk membunuh pemuda ini kalau kau melanggar sumpah."
Dengan air mata bercucuran Siang Cu menjawab tegas,
"Kaukira aku orang apakah? Ludah yang sudah keluar takkan kujilat lagi. Biar aku mampus kalau aku melanggar sumpahku!"
"Bagus, berangkatlah kalian!"
Siang Cu menubruk Tek Hong memeluk lehernya dengan mesra sambil menangis.
"Tek Hong, selamat tinggal. Ketahuilah bahwa semua ini kulakukan demi keselamatanmu. Di dunia kita tak berjodoh, biar di akhirat kita bertemu kembali." Setelah berkata demikian, ia mengibaskan tangan Eng Kiat yang hendak membangunkannya.
"Mari kita pergi!" katanya kasar dan mendahului pemuda itu berlari turun dari tempat itu. Eng Kiat mengikutinya dengan senyum lebar.
Setelah dua orang muda itu pergi, Tung hai Sian jin juga tertawa tawa.
"Kau boleh kusembuhkan, kubawa ke Tiang kwan agar kau dapat menyaksikan pernikahan anakku dengan Siang Cu, itupun merupakan hukuman berat bagimu. Dan pula, setelah kau sembuh dan anakku sudah menikah, lalu kemudian membunuhmu apa sukarnya? Ha, ha, ha!"
Tadi ia memang membohong kepada Siang Cu, karena sebetulnya untuk menyembuhkan pemuda itu, cukup memerlukan waktu sehari saja. Ia lalu memencet katak putih di bagian mulutnya dan benar saja, keluarlah darah berwarna putih dari lubang di belakang tubuh katak itu. Tung hai Sian jin mengambil cawan arak dan bungkusnya, menghitung tetesan darah sebanyak lima belas tetes. Kemudian ia menotok jalan darah di bagian pundak Tek Hong untuk menjaga agar pemuda ini tidak memberontak setelah sembuh, lalu diminumkannya obat itu ke dalam mulut Tek Hong.
Setelah itu, Tung hai Sian jin mempergunakan perut katak putih, digosok gosokkan pada jidat Tek Hong yang ada tanda bekas tiga jari tangan merah. Benar saja, tak lama kemudian tanda itu perlahan lahan lenyap dan terdengar pemuda itu mengeluh perlahan.
Seperti tadi ketika memeriksa Siang Cu kini Tung hai Sian jin juga mengerti bahwa pemuda ini lapar sekali, hampir mati kelaparan! Dengan kasar Tung hai Sian jin lalu menjejalkan kue kering di mulut Tek Hong dan memberi minum arak. Tak lama kemudian Tek Hong membuka kedua matanya.
Pemuda ini setelah melihat wajah kakek yang duduk di dekatnya, terkejut sekali dan tahulah dia bahwa dia terjatuh ke dalam tangan musuh, ia mencoba menggerakkan tubuhnya dan tahu pula bahwa dia berada dalam keadaan tertotok. Ia melihat pula katak putih ditangan Tung hai Sian jin maka dengan heran ia bertanya,
"Tung hai Sian jin, kau menyembuhkan aku dengan katak itu, dengan maksud apakah? Di mana Siang Cu? Kau apakan dia?"
Tung hai Sian jin tertawa bergelak, nampaknya senang sekali. Baru sekarang ia dapat membalas dendamnya setelah berkali kali dibikin sakit hati oleh keluarga Song Bun Sam.
"Setan, kalau aku mau, sekarang juga aku dapat memukul kepalamu sampai hancur. Akan tetapi aku kasihan kepadamu, kasihan melihat nasibmu!"
Tentu saja Tek Hong tidak dapat mempercayai omongan ini dan ia berkata,
"Tung hai Sian jin, tak perlu berkelakar dan berpura pura. Bagaimana orang seperti engkau bisa menaruh hati kasihan kepadaku? Apa yang telah terjadi? Mana Siang Cu?"
"Murid Lam hai Lo mo itu setelah melihat kau menggeletak seperti mayat, tak berdaya dan kelihatan buruk sekali, mana ia dapat mencintamu lagi? Ia bertemu dengan puteraku dan ia telah menyatakan setuju menjadi isterinya. Sekarang dia dan Eng Kiat sedang menuju ke Tiang kwan untuk merayakan pernikahan mereka. Aku melihat kau disia siakan dan dipatahkan hatimu olehnya, menjadi tidak tega untuk membiarkan kau mampus, maka aku menyembuhkanmu."
Tek Hong adalah seorang pemuda yang cerdik, maka di dalam ketidakpercayaannya terhadap kakek ini, ia melirik ke sekelilingnya yang sunyi sekali, terlihat olehnya tubuh kakek gemuk menggeletak tak bernyawa dengan kepala pecah, maka ia berpikir pikir apakah gerangan yang terjadi. Tak salah lagi bahwa tentu Siang Cu telah tertawan oleh kakek ini dan entah bagaimana nasibnya.
Kemudian ia teringat bahwa di dalam keadaan seperti tadi, sangat boleh jadi Siang Cu terjepit dan terdesak oleh Tung hai Sian jin, sehingga meluluskan permintaan apa saja asal ia dapat disembuhkan. Mengingat itu, Tek Hong menarik napas panjang dan mengeluh.
"Siang Cu.... mungkinkah kau berkorban untukku....?"
"Apa maksudmu? Siapa berkurban? Siang Cu telah menerima pinangan Eng Kiat dan sekarang mereka sedang menuju ke tempat perayaan pernikahan mereka."
"Aku tidak percaya!" kata Tek Hong dengan suara disengaja keras menunjukkan ketidakpercayaannya. Hal ini ia lakukan untuk memancing agar kakek itu mau membawanya ke sana.
"Sabar, orang muda. Memang aku bermaksud membawamu ke sana agar kau dapat melihat sendiri betapa gadis itu melakukan upacara pernikahan dengan puteraku. Ha, ha, ha! Akan tetapi tunggulah sebentar, aku hendak menambah kekuatanku dengan obat ini. Menghadapi engkau saja tak perlu aku khawatir, akan tetapi kalau gadis itu hendak melakukan khianat, aku perlu menambah kekuatanku untuk menghadapi kalian berdua. Setelah aku minum obat ini, biar ayahmu sendiri aku sanggup menghadapinya!"
Tek Hong tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, akan tetapi ia diam saja dan hanya memandang dengan penuh perhatian.
Tung hai Sian jin lalu memegang katak itu di bagian belakang tubuhnya dan menggenggam nya erat erat. Menitiklah darah merah dari mulut katak itu, suatu hal yang benar benar amat mengherankan. Bagaimanakah seekor katak yang sudah mati masih mengandung darah? Sebenarnya darah itu adalah darah ular ular merah yang telah dihisap oleh tubuh katak yang aneh itu, dan setelah darah itu berada di dalam tubuh katak, memang setitik darah dapat mendatangkan tenaga yang luar biasa di dalam tubuh manusia.
Akan tetapi Tung hai Sian jin bukanlah Tung hai Sian jin yang sudah terkenal akan ketamakan dan kelicikannya kalau ia cukup puas dengan setitik darah merah itu saja. Ia tadi sudah membuktikan bahwa darah itu memang benar mendatangkan tenaga luar biasa pada kakek gendut.
Baru setetes saja sudah dapat membuat kakek gendut itu terlepas dari pengaruh totokan, apalagi kalau secawan banyaknya! Maka ia terus memencet katak itu sampai habis darahnya, memenuhi setengah cawan. arak. Kemudian diminumnya darah merah setengah cawan itu!
Tek Hong memandang saja dan ia amat tertarik dan menanti apa yang akan terjadi selanjutnya. Akibatnya hebat sekali. Wajah Tung hai Sian jin menjadi merah sekali dan matanya melotot lebar.
Kakek ini merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi panas dan tulang tulangnya berbunyi berkerotokan. Kemudian ia merasa seluruh tubuhnya gatal gatal dan bukan main girangnya ketika ia merasa tubuhnya amat ringan dan hawa dari dalam pusarnya naik ke dada.
"Ha, ha, ha, tenagaku menjadi berlipat ganda. Aku harus berlatih untuk menguji tenagaku!" Bagaikan seorang gila ia mencak mencak dan melompat ke sana ke mari. Sebatang pohon yang tak berdaun lagi dan seluruhnya diliputi oleh salju berada di dekat situ. Batang pohon ini besarnya dua
kali besar tubuh orang. Tung hai Sian jin melompat ke dekat pohon dan memukul batang pohon itu dengan tangan kanannya. Terdengar suara keras dan batang pohon itu patah di tengah tengah, tumbang mengeluarkan suara berisik. Tung hai Sian jin tertawa bergelak, mengungkai pohon itu dan melontarkannya jauh jauh. Kemudian ia melompat ke kiri, memukul sebuah balu besar yang tertutup salju. Debu salju berhamburan ketika terdengar suara keras dan batu itu pecah!
Diam diam Tek Hong terkejut sekali melihat hal ini. Batu itu adalah batu karang yang beratnya ribuan kati, bagaimana dengan sekali pukul saja kakek ini dapat memecahkannya? Ia maklum bahwa ayahnya sendiripun tak mungkin dapat melakukan hal ini. Bukan main hebatnya tenaga dari kakek ini. Benar benarkah obat yang diminumnya telah mendatangkan tenaga yang berlipat ganda?
Tung hai Sian jin makin menggila. Sambil mengeluarkan suara tertawa yang terdengar bukan seperti suara manusia, ia memukuli batu batu di sekitar tempat itu sehingga batu batu itu pecah pecah dan menumbangkan pohon pohon bagaikan seekor gajah yang mengamuk.
Makin lama mukanya menjadi makin merah dan ia merasa seluruh tubuhnya makin gatal gatal dan panas. Kemudian sambil berjingkrak jingkrak seperti orang gila, ia menghampiri Tek Hong.
"Ha, ha, ha, sudah kaulihat, anak muda? Sekarang kau tak perlu kutakuti, juga ayahmu bukan apa apa bagiku. Kau dan ayahmu mampu berbuat apa kepadaku? Ha, ha, ha!" Ia lalu menepuk nepuk pundak Tek Hong untuk membebaskan totokannya ladi. "Hayo kau ikut aku menyaksikan upacara pernikahan Siang Cu dan Eng Kiat."
Tek Hong terbebas dari totokan dan setelah mengatur pernapasan memulihkan perjalanan darahnya, ia lalu meloncat bangun. Tung hai Sian jin tertawa tawa dan mendorongnya. Tek Hong mengelak, akan tetapi ia terkejut bukan main karena bawa dorongan itu masih saja mendatangkan kekuatan luar biasa sehingga ia terhuyung huyung ke belakang!
"Ha, ha, ha, kau sudah merasakan betapa hebat tenagaku, bukan? Ha, ha, kepandaianmu tiada artinya bagiku."
Kembali ia mendorong beberapa kali sehingga pemuda itu terhuyung huyung ke sana ke mari seperti daun kering tertiup angin puyuh. Tek Hong menjadi mendongkol dan marah, maka ia membalas dorongan orang yang mengganggunya, ia mempergunakan tenaga Kim kong dan mendorong dengan kedua tangannya. Akan tetapi apa yang terjadi? Kakek itu menerima dorongannya dengan dadanya dan bukan kakek itu yang terdorong, melainkan Tek Hong yang merasa ada tenaga raksasa menolak dorongannya dan membuat tubuhnya terjungkal ke belakang!
"Ha, ha, ha, Kim kong Pek lek jiu tidak berarti apa apa lagi bagiku, ha, ha!"
Tek Hong benar benar heran dan terkejut. Tokoh persilatan yang bagaimana tinggi ilmu silatnyapun tidak akan kuat menerima dorongannya tadi tanpa menangkis atau mengelak, akan tetapi kakek ini menerimanya begitu saja dengan dada terbuka! Benar benar Tung hai Sian jin telah memiliki tenaga yang luar biasa sekali.
Adapun Tung hai Sian jin lalu menubruk maju dan sebelum Tek Hong dapat menghindarkan diri ia telah kena dipegang tanpa dapat bergerak lagi.
"Hayo kau ikut ke Tiang kwan!" katanya sambil menyeret tangan pemuda itu. Mereka berlari larian cepat sekali dan Tek Hong terpaksa mengikutinya karena tidak berdaya untuk melepaskan pegangan yang amat kuat itu.
Akan tetapi, tiba tiba Tung hai Sian jin berteriak keras sekali dan melepaskan pegangannya kepada Tek Hong karena ia mempergunakan kedua tangan untuk memegang lehernya.
"Aduh.... aku tak dapat bernapas.... aduh....!" Sambil berkata demikian, kakek ini mencekik lehernya sendiri, sakan akan hendak menghancurkan sesuatu yang mengganjal kerongkongannya.
"Hm, darah katak putih telah meracunimu sendiri, Tung hai Sian jin," kata Tek Hong sambil memandang penuh perhatian dan dengan perasaan tegang. Muka kakek itu menjadi merah sekali dan warna merah menjalar terus sampai di seluruh tubuhnya.
Teringatlah Tung hai Sian jin akan kata kata kakek gendut pemilik katak putih. Kakek itu sudah menyatakan bahwa tidak boleh terlalu banyak minum darah katak putih, cukup setetes saja. Akan tetapi ia telah minum setengah cawan banyaknya. Mulai timbul rasa takut dalam hatinya.
"Aku akan mati.....? Kalau begitu, kau lebih dulu harus mampus!" serunya tiba tiba dan dengan menggerakkan kedua lengan memukul Tek Hong, ia menerjang maju.
Baiknya Tek Hong sudah siap sedia dan cepat ia mengelak sambil melompat ke kiri. Akan tetapi, bukan itu saja serangan itu cepat dan hebat, akan tetapi terutama sekali tenaga pukulannya yang luar biasa. Memang Tek Hong berhasil mengelak, akan tetapi hawa pukulan kedua tangan itu menyambarnya dan ia melempar sampai lima kaki lebih dan merasa betapa dadanya sakit! Cepat ia duduk bersila dan mengatur napas untuk menolak pengaruh hawa pukulan yang akan dapat mengakibatkan luka di dalam dadanya itu.
Sementara itu Tung hai Sian jin kelihatan terputar putar di atas ke dua kakinya, mukanya menjadi makin merah dan kedua tangan yang memegangi leher lagi juga menjadi amat merah. Kemudian sambil berteriak ngeri Tung hai Sian jin roboh terlentang tak bergerak lagi. Tubuhnya kaku dan nyawanya melayang meninggalkan raganya!
Ia telah menjadi korban daripada hawa nafsu ketamakannya sendiri. Darah ular merah yang berada di dalam katak putih itu memang merupakan obat penguat tubuh luar biasa, akan tetapi karena terlampau banyak ia meminumnya, kekuatan yang luar biasa itu merusak darahnya sendiri dan memutuskan urat urat di seluruh tubuhnya.
Setelah Tek Hong merasa bahwa kesehatannya pulih kembali, ia membuka matanya, ia melihat tubuh Tung hai Sian jin menggeletak di atas tanah, maka cepat ia melompat bangun dan menghampirinya. Bergidik ia ketika melihat betapa kakek itu telah kaku seperti sebatang balok, dengan mata mendelik dan lidah keluar, seluruh muka dan tubuhnya merah seperti kepiting direbus. Bukan main ngerinya hati Tek Hong menyaksikan pemandangan ini maka ia menarik napas panjang dan teringatlah ia akan ujar ujar Nabi Locu yang menyatakan bahwa,
"Nama dan tubuh, manakah yang lebih dekat?
Tubuh dan barang, manakah yang lebih
berharga?
Mendapat dan kehilangan, mana lebih
merugikan?
Karena itu
Terlalu kikir pasti mengakibatkan
pemborosan besar,
Banyak menimbun pasti mengakibatkan
kehilangan besar!
Yang tahu akan cukup takkan sampai
pada kehinaan.
Yang tahu takkan sampai pada bahaya.
Dia akan dapat bertahan lama!"
Tek Hong tidak sampai hati untuk meninggalkan jenazah Tung hai Sian jin begitu saja. Dia seorang keturunan pendekar besar yang berhati mulia dan bijaksana, maka sebagai seorang manusia yang penuh rasa perikemanusiaan, pemuda ini lalu menggali lubang di bawah salju dan mengubur jenazah itu secara sederhana. Juga ia berlari kembali ke tempat dimana tadi ia melihat jenazah seorang kakek gendut dan jenazah inipun dikuburkan baik baik. Kemudian, tanpa mengenal lelah, ia cepat cepat pergi menuju ke dusun Tiang kwan untuk mencari Siang Cu, kekasihnya.
"Nona Leng Li, terus terang saja kukatakan bahwa aku mencinta Siauw Yang, puteri dari Thian te Kiam ong dan apapun juga yang terjadi, aku akan tetap setia kepadanya. Maafkan aku banyak banyak, nona. Aku tahu bahwa kau adalah seorang gadis yang bijaksana dan gagah dan pemuda yang manapun juga akan berbahagia sekali kalau bisa menjadi suamimu. Kau telah menolongku terlepas dan bahaya maut, dan sekarang, aku... sebaliknya mengecewakan hatimu. Maafkanlah."
Demikian kata kata Pun Hui yang diucapkan kepada Leng Li. Nona ini duduk di atas batu di taman bunga sambil mengusap usap air matanya yang membasahi pipinya.
"Liem siucai, aku dapat memaklumi isi hatimu. Akupun bukan seorang gadis tak tahu malu yang akan memaksa hati orang menyukaiku. Sejak dahulu kau telah menolak kehendak ayah yang memaksa hendak menjodohkan kau, dan aku tahu bahwa kau..... kau tidak suka kepadaku. Akan tetapi...."
"Nanti dulu, nona. Siapa bilang aku tidak suka kepadamu? Aku bahkan akan berbahagia sekali kalau boleh mengaku sebagai kakakmu," bantah Pun Hui.
Tiba tiba wajah Leng Li yang manis menjadi terang berseri, sepasang matanya memandang dengan sinar gembira.
"Ah, itulah jalannya! Kau tahu bahwa aku tidak ingin menikah dengan si apapun juga dan penolakanmu itu sama sekali tidak menyusahkan hatiku, sungguhpun membuat aku merasa rendah."
"Maaf....!"
"Jangan ulangi lagi persoalan maaf, Liem siucai. Sekarang mari kita mencari jalan bagaimana baiknya. Yang kususahkan adalah watak ayah. Dia menghendaki agar kita berjodoh dan wataknya yang keras membuat aku tak berdaya. Kalau kau menolak, dia tentu akan membunuhmu."
"Kalau begitu kehendaknya, biarlah. Kematian hanyalah merupakan pembebasan daripada derita hidup," jawab Pun Hui dengan sikap gagah, sikap yang telah menarik banyak wanita, di antaranya Leng Li, Siang Cu, dan Siauw Yang.
"Bukan begitu, Liem siucai. Aku percaya akan keteguhan hatimu, akan tetapi bukankah kau tadi menyatakan bahwa kau mencinta Song lihiap? Kalau rela mati begitu saja, bagaimana gerangan dengan perasaan hatimu terhadap Song lihiap? Bukankah itu berani bahwa kau memutuskan hubungan cinta kasih?"
Mendengar ini, wajah Pun Hui menjadi pucat dan sedih. Memang, hal ini merupakan pukulan yang melemahkan hatinya dan menghancurkan semangatnya. Laki laki manakah yang takkan menjadi lemah semangat apabila terpengaruh oleh asmara?
"Habis, apakah dayaku? Menuruti kehendak ayahmu, aku tidak mungkin dapat melakukannya. Menolak berarti aku akan dibunuhnya dan aku mana bisa menghindarkan diri dari ayahmu yang berkepandaian tinggi?"
"Liem siucai, kau tadi menyatakan bahwa kau suka menjadi kakakku, betul betulkah?" tanya Leng Li sambil memandang tajam.
Pun Hui berkata sungguh sungguh, "Aku hidup sebatangkara di dunia ini. Kau seorang gadis yang baik hati dan gagah perkasa, mendapat seorang adik seperti engkau merupakan kehormatan yang besar sekali bagiku. Mengapa aku tidak bersungguh sungguh?"
"Nah, itulah jalan satu satunya supaya kau dapat menghindarkan diri dari paksaan ayah. Kau harus menjadi kakak beradik!" kata Leng Li girang.
"Apa maksudmu?"
"Kita dapat melakukan upacara sembahyang dan mengangkat saudara!"
Pun Hui berseri wajahnya. Benar juga, hal inilah satu satunya jalan untuk menghindarkan diri dari paksaan. Kalau sudah mengangkat saudara dengan bersumpah di meja sembahyang, berarti mereka telah menjadi kakak beradik dan tidak mungkin lagi dijodohkan!
Dua orang muda itu tengah bercakap cakap di taman bunga di sebelah belakang gedung besar tempat tinggal Sin tung Lo kai Thio Houw. Adapun kakek ini sendiri sedang sibuk mengatur rumah yang hendak dihiasnya, karena dengan berkeras kakek ini memaksa Leng Li dan Pun Hui untuk segera merayakan pernikahan!
Selagi Sin tung Lo kai memberi petunjuk petunjuk kepada para anak buahnya, yakni pengemis pengemis bertongkat merah memberes bereskan rumahnya, tiba tiba seorang pelayan datang kepadanya dan berkata,
"Lo enghiong, nona dan Lim siucai di taman bunga sedang melakukan upacara sembahyang."
Sin tung Lo kai terkejut dan memandang penuh keheranan.
"Apa? Apakah mereka melakukan upacara pernikahan sendiri dengan diam diam? Gila mereka itu."
Dengan langkah lebar ia lalu menuju ke belakang rumah dan memang benar, di tengah tengah taman bunga ia melihat puterinya dan Pun Hui sedang berlutut di depan meja sembahyang sambil memegang hio di tangan masing masing. Agaknya mereka telah selesai sembahyang, karena kini mereka berdiri, menancapkan hio di hioluw dan memberi hormat sekali lagi kepada meja sembahyang lalu membalikkan tubuh menghadapi Sin tung Lo kai.
"Ayah.,...!" kata Leng Li dengan wajah berseri.
"Ayah.....!" kata pula Pun Hui yang cepat menjatuhkan diri berlutut di dpan pengemis tua yang sakti itu.
Semua ini adalah akal daripada Leng Li. Dialah yang menyuruh pelayan memberitahukan ayahnya dan dia pula yang mengatur agar upacara sembahyang mereka selesai begitu ayahnya tiba di situ. Dan kini Pun Hui menyebut "ayah" sambil berlutut, sesuai pula dengan akal yang direncanakan oleh gadis yang cerdik itu.
Sin tung Lo kai Thio Houw tertegun melihat wajah puterinya berseri seri, ayah yang mencinta puterinya dan ingin melihat anaknya berbahagia itu menegur sambil tertawa,
"Hm, apakah kalian sudah begitu tidak sabar menanti sehingga melakukan upacara pernikahan sendiri? Dan kau ini anak mantuku, mengapa menyebut ayah? Seharusnya menyebut ayah mertua!"
Leng Li melangkah maju menghadapi ayahnya.
"Ayah, aku dan Hui ko (kakak Hui) tidak melakukan upacara sembahyang untuk pernikahan."
"Apa? Jangan kalian main main!" Sin tung Lo kai membentak dan sepasang alisnya telah berdiri.
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Leng Li menjatuhkan diri berlutut di depan ayahnya, di sebelah Pun Hui yang masih berlutut. Gadis ini telah melihat ayahnya hendak marah, maka cepat cepat ia mendahului ayahnya dan berkata, "Ayah, harap ayah saka mendengarkan dengan sabar. Tadi memang aku dan Hui ko bersembahyang, akan tetapi untuk bersumpah mengangkat saudara."
"Kau gila!"
"Tidak, ayah. Semua ini untuk kebaikan kita bersama. Aku dan Hui ko memang sudah menganggap seperti saudara sendiri dan kebetulan kami berdua tidak mempunyai saudara. Kami berdua amat berterima kasih atas kehendak ayah yang amat baik, akan tetapi kalau hal itu dipaksakan, akan banyak mendatangkan hal hal yang tidak menyenangkan, ayah."
Rajawali Hitam Eps 12 Pedang Naga Kemala Eps 18 Pemberontakan Taipeng Eps 12