Ceritasilat Novel Online

Asmara Si Pedang Tumpul 6


Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 6




   "Ceritakan yang jelas apa yang terjadi. Sin Wan mari silakan duduk," kata panglima itu dengan sikap serius, dan mereka lalu duduk mengelilingi meja diserambi depan.

   "Tentu saja kami marah mendengar ia hendak menbunuhmu, ayah. Kami minta penjelasan mengapa ia hendak melakukan hal itu, akan tetapi ia tidak mau mengaku dan akhirnya kami berkelahi, maksudku..... kami berdua mengeroyoknya."

   "Hemmm......" Bhok Cun Ki mengerutkan alisnya. Putera dan puterinya yang sudah digembleng sejak kecil dan telah memiliki ilmu silat tinggi dan jarang menemui lawan yang dapat menandinginya, kini tidak malu bercerita bahwa mereka mengeroyok seorang gadis? Dua orang muda itu agaknya mengerti apa yang membuat ayah mereka kelihatan tidak senang.
(Lanjut ke Jilid 06)

   Asmara Si Pedang Tumpul (Seri ke 02 - Serial Si Pedang Tumpul)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06
"Ayah, tadinya Hwa-moi yang menandinginya, akan tetapi melihat Hwa-moi terancam, akupun maju dan kami mengeroyoknya. Ia lihai bukan main, ayah. Biarpun kami mengeroyok dua, kami.... kami sempat roboh. Hwa-moi hendak melanjutkan dengan pedang, akan tetapi aku melarangnya. Gadis itu lalu meninggalkan pesan, menantang ayah agar besok ayah dan ia mengadu kepandaian di puncak Bukit Bambu Naga di luar kota."

   Bhok Cun Ki menger"tkan alisnya dan meraba-raba jenggotnya yang pendek, mengingat-ingat. Rasanya tidak pernah dia bermusuhan dengan seorang gadis muda!

   "Apakah ia sama sekali tidak menceritakan mengapa ia memusuhiku?"

   "Tidak, ayah," kata Ci Hwa.

   "Hanya ia memperlihatkan sebatang pedang ular kepada kami dan mengatakan bahwa ia membawa pedang ular putih itu untuk membunuh ayah."

   "Sebatang pedang ular? Putih? Bukan hitam?" Tiba-tiba wajah panglima itu berubah.

   "Yakinkah engkau bahwa itu adalah pedang ular putih, bukan pedang ular hitam?"

   "Pedang ular putih, ayah," kata Ci Hwa.

   "Ia mencabutnya dan kami berdua melihatnya."

   "Dan namanya? Ia menyebutkan namanya?"

   "Ia hanya bilang bahwa kami boleh menyebut namanya Lili dan......" Ci Hwa tidak melanjutkan ucapannya karena mereka bertiga mendengar seruan kaget dari Sin Wan. Bhok Cun Ki memandang wajah Sin Wan penuh selidik.

   "Kenapa, taihiap? Engkau mengenal gadis itu?"

   Sin Wan mengangguk.

   "Kalau tidak salah, aku pernah bertemu dengan gadis bernama Lili, dan kalau tidak salah, memang pedangnya berupa pedang ular putih, kalau pedang ular hitam adalah senjata gurunya, yaitu Bi-coa Sianli Cu Sui In."

   "Ahhh.... ahhh.... benar ia...., Ci Han, Ci Hwa, ingat baik-baik, apakah gerakan silat gadis itu seperti gerakan seekor ular?"

   "Benar sekali, ayah!" kata dua orang muda itu hampir berbareng dan mereka memandang ayah mereka dengan gelisah karena ayahnya kini menjadi pucat sekali wajahnya.

   "Ilmu silat dari See-thian Coa-ong," kata pula Sin Wan dan Bhok-ciangkun yang memandang kepadanya mengangguk-angguk, wajah yang pucat itu nampak muram.

   "Ayah, kita hadapi bersama gadis itu kalau memang ia terlalu berbahaya untuk ayah!" kata Ci Hwa penasaran.

   "Tidak!" tiba-tiba suara Bhok-ciangkun menggelegar, mengejutkan dua orang anaknya dan mengherankan hati Sin Wan.

   "Urusanku dengan gadis itu adalah urusan pribadi dan tak seorangpun boleh mencampurinya, biar dia anakku sendiri sekalipun."

   "Tapi, kenapa, ayah?" tanya Ci Han penasaran.

   "Kami adalah anak-anakmu, ayah. Kami berhak mengetahui dan kami berhak mencampuri dan melindungi ayah!" kata pula Ci Hwa yang lebih berani karena lebih dimanja ayahnya.

   Panglima itu menggeleng kepala. Sekali ini tidak. Urusan ini adalah urusanku dahulu sebelum kalian lahir, jadi kalian tidak boleh mencampuri. Biar aku sendiri yang akan menyelesaikannya besok," kata panglima itu, akan tetapi dia tidak nampak bersemangat bahkan kelihatan lesu dan murung.

   "Maaf, ciangkun. Bukan aku bermaksud lancang mencampuri. Akan tetapi aku mengenal gadis itu dan kalau ciangkun suka memberitahu persoalannya, kukira aku akan dapat membujuknya agar ia tidak melanjutkan tantangannya."

   Bhok-ciangkun menghela napas panjang, memandang kepada Sin Wan, lalu kepada kedua orang anaknya, dan dia menggeleng kepala.

   "Tidak, engkaupun tidak boleh mencampuri, taihiap. Ketahuilah kalian bertiga, aku sama sekali bukannya takut menghadapi lawan yang manapun juga, akan tetapi ini...... ini urusan pribadi. Taihiap, aku adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab, nah, mengertikah engkau?"

   Sin Wan mengangguk-angguk. Biarpun tidak tahu urusannya, namun dia dapat menduga bahwa munculnya Lili yang hendak membunuh panglima itu, tentu ada hubungannya dengan masa lalunya pada waktu mana panglima itu agaknya telah melakukan sesuatu yang membuat menyesal dan kini dia siap mempertanggung-jawabkan! Maka diapun diam saja.

   "Nah, sekali lagi, kalian bertiga besok sore sama sekali tidak boleh menemaniku ke sana, juga tidak boleh mengikuti dan membayangiku. Mengerti? Aku akan marah sekali dan tidak dapat memaafkan siapa saja yang membayangiku dan mencampuri urusan pribadi ini."

   Dengan alis berkerut, kedua orang muda itu mengangguk, dan Sin Wan segera memberi hormat.

   "Aku berjanji tidak akan mencampuri urusan pribadimu, ciangkun."

   "Terima kasih dan maafkan aku, taihiap. Nah urusan ini tidak boleh kalian beritahukan ibu kalian, mengerti? Ci Han, antarkan Sin Wan taihiap ke kamar tamu dan suruh pelayan melayaninya baik-baik. Selamat malam, taihiap. Besok pagi-pagi saja kita bertemu di ruangan makan pagi dan kita lanjutkan perundingan kita tentang tugas kita berdua. Selamat malam. Oh ya, malam ini biar kedua anakku yang menemanimu makan malam." Panglima itu lalu meninggalkan mereka, masuk ke dalam.

   Tiga orang muda itu lalu duduk kembali di serambi depan, masih merasa tegang.

   "Aneh sekali kenapa ayah tidak membiarkan kita membantu? Apakah ayah sudah tidak percaya lagi kepada kita?" Ci Hwa mengomel kepada kakaknya.

   "Ada orang mengancam hendak membunuh ayah dan kita tidak boleh mencampurinya. Bagaimana mungkin ini? Setidaknya, kalau kita melihat pertand"ngan itu, kita tidak akan segelisah kalau ditinggal di sini dan menanti-nanti ayah pulang." Ci Han juga berkata kepada adiknya.

   "Sebaiknya kalau ji-wi (anda berdua) tidak gelisah. Aku yakin bahwa Bhok-ciangkun dapat melindungi dan membela diri pasti akan dapat menyelesaikan urusan itu dan dia lebih tahu apa yang harus dia lakukan."

   Kakak beradik itu seperti baru teringat bahwa di situ ada orang lain. Mereka lalu memandang kepada Sin Wan.

   "Ayah menyebutmu taihiap (pendekar besar), tentu engkau lihai sekali dan mempunyai banyak pengalaman. Engkau tadipun mengenal gadis jahat itu! Ceritakanlah kepada kami, siapa sebenarnya Lili itu dan orang macam apa? Siapa pula itu Bi-coa Sian-li Cu Sui In dan siapa pula See-thian Coa-ong?" tanya Ci Hwa sambil memandang wajah Sin Wan penuh selidik.

   Mereka duduk berhadapan, terhalang meja dan Sin Wan harus mengakui diam-diam dalam hatinya bahwa gadis ini cantik sekali, cantik jelita dan memiliki sifat kelembutan yang mengingatkan dia kepada sumoinya, yaitu Lim Kui Siang yang kini tinggal di Peking menjadi kepala pengawal wanita untuk keluarga Raja Muda Yung Lo. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa setiap kali bertemu seorang gadis cantik, otomatis wajah Kui Siang terbayang di depan matanya?

   Melihat Sin Wan seperti melamun dan hanya memandang wajah adiknya, Ci Han segera mendesak,

   "Benar adikku, taihiap. Kamipun ingin sekali mengetahui siapakah mereka itu, orang-orang yang kini agaknya hendak memusuhi ayah. Atau taihiap tidak sudi menceritakan dan ingin kuantar sekarang juga ke kamar tamu?"

   Sin Wan baru sadar dari lamunannya dan diapun tersenyum.

   "Kuharap ji-wi tidak lagi menyebutku taihiap. Sebutan itu terlalu besar dan tinggi bagiku. Bagaimana kalau kita saling sebut seperti saudara saja? Kalau ji-wi tidak merasa direndahkan tentu saja. Atau lebih suka kalau aku menyebut kongcu (tuan muda) dan siocia (nona muda) kepada ji-wi?"

   "Memang kita tidak perlu berbasa-basi. Setelah engkau menjadi pembantu kepercayaan ayah, tentu akan banyak bergaul dengan kami. Nah, kusebut engkau twa-ko (kakak besar), bagaimana? Dan engkau menyebut aku siauw-moi (adik kecil)."

   "Dan engkau boleh menyebut aku siauw-te (adik kecil), Wan-twako (kakak Wan)!" kata pula Ci Han.

   "Nah, setelah kita menjadi sahabat akrab, bolehkah kami mendengarkan penjelasanmu?"

   Sin Wan tersenyum girang. Dua orang putera panglima ini seperti ayah mereka. Begitu sederhana, tidak berlagak seperti biasanya anak-anak bangsawan.

   "Baiklah, Han-te dan Hwa-moi. Aku mengenal gadis liar itu yang bernama Lili. Memang ia liar dan galak, akan tetapi ia bukan orang jahat," Sin Wan teringat akan pertemuannya dengan Lili, betapa ia disiksa dan diikat, dijadikan umpan bagi harimau. Akan tetapi betapa Lili kemudian menyelamatkannya, dan betapa gadis itu mengaku cinta, akan tetapi juga mengaku benci. Gadis liar memang! Akan tetapi dia tidak mungkin dapat menganggap Lili sebagai gadis jahat.

   "Hemm, ia hendak membunuh ayahku dan ia tidak jahat?" Ci Hwa mencela.

   "Teruskan, twako. Siapa itu Bi-coa Sianli (Dewi Ular Cantik) Cu Sui In dan siapa pula itu See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat)?" tanya Ci Han.

   "Huh, serba ular! Mengerikan!" kata Ci Hwa bergidik.

   "Dan gerakan Lili itupun seperti ular, tentu ia siluman ular!"

   "Setahuku, Bi-coa Sianli Cu Sui In adalah guru dari Lili, dan Dewi Ular Cantik itu puteri dari See-thian Coa-ong, datuk yang amat lihai dan yang tinggal di Bukit Ular. Keluarga itu memang lihai sekali."

   "Seorang datuk sesat, tokoh golongan hitam?" tanya Ci Han.

   Sin Wan menggeleng kepalanya.

   "Hal itu aku tidak tahu jelas, karena datuk-datuk seperti See-thian Coa-ong itu tidak dapat digolongkan hitam atau putih. Dia hanya mementingkan diri sendiri. Baik golongan hitam maupun putih, kalau dianggap merugikan, akan ditentang, sebaliknya tanpa memperdulikan golongan, kalau dianggap sahabat, akan dibela mati-matian."

   "Ihh! Kalau begitu, lebih berbahaya dari pada golongan hitam yang sesat!" kata Ci Hwa.

   "Kenapa begitu, Hwa-moi?" tanya Ci Han.

   "Kalau datuk sesat sudah jelas kedudukannya ditentang para pendekar. Akan tetapi kalau hitam tidak putihpun bukan, sungguh merepotkan. Dianggap kawan, tiba-tiba menjadi lawan, dianggap lawan, bisa menjadi kawan. Orang yang bukan hitam bukan putih ini yang berbahaya, seperti bunglon, suka plin-plan! Huh, aku tidak suka kepada mereka! Gadis bernama Lili itu sepantasnya siluman ular!"

   "Sudahlah, Hwa-moi. Mari kita antar Wan-toako kekamarnya. Biar dia mengaso, dan mandi. Nanti kita makan bersama di ruangan samping dekat kamarnya."

   Kakak beradik itu lalu mengantar Sin Wan ke kamar tamu yang berada di samping. Kamar itu cukup luas dan nyaman, lengkap dengan kamar mandi. Mereka lalu meninggalkan Sin Wan dan berjanji akan makan malam bersama setelah Sin Wan mandi.

   Setelah berada seorang diri, mandi dan bertukar pakaian, Sin Wan merasa suka dan kagum kepada keluarga ini. Bhok-ciangkun demikian gagah perkasa dan bijaksana, anak-anaknyapun ramah dan sama sekali tidak congkak. Akan tetapi diam-diam dia merasa khawatir. Dia tahu bahwa Lili amat lihai dan merupakan lawan yang amat berbahaya. Dan biarpun dia sudah mendengar bahwa Bhok Cun Ki juga bukan orang lemah, melainkan seorang pendekar Butong-pai, namun dia belum tahu sampai di mana kepandaian panglima itu. Dan orang seperti Lili itu tidak akan segan untuk membunuh lawannya!

   Pada keesokan harinya, dengan sikap tenang seperti biasa, Bhok Cun Ki setelah makan pagi bersama Sin Wan, berunding dengan pemuda itu tentang tugas mereka.

   "Pemilihan bengcu akan terjadi beberapa bulan lagi di puncak Thai-san," kata panglima itu.

   "Menurut pendapatmu, siapa-siapa sajakah kiranya yang akan menjadi calon bengcu, taihiap?"

   Dalam perundingan pagi itu, hadir pula Ci Han dan Ci Hwa yang diperbolehkan ayah mereka untuk ikut mendengarkan dan siapa tahu mereka mempunyai usul-usul yang baik, dan perundingan itupun akan menambah pengalaman mereka.

   "Aih, ayah! Han-ko dan aku sendiri sudah sepakat untuk menyebut twako kepada Wan-twako, dan dia menyebut kami adik. Kenapa ayah masih menggunakan sebutan sungkan itu? Biarpun dia diam saja, namun aku tahu bahwa Wan-twako tidak suka disebut taihiap. Dia amat rendah hati, ayah!" kata Ci Hwa yang lincah dan sudah biasa berbicara sejujurnya kepada ayahnya.

   Panglima itu menoleh kepada Sin Wan sambil tersenyum, hanya pandang matanya yang bertanya. Sin Wan juga tersenyum dan mengangguk.

   "Memang benar apa yang dikatakan Hwa-moi, ciangkun. Aku lebih suka kalau disebut Sin Wan saja, tanpa embel-embel taihiap."

   "Ha..ha..ha, engkau semakin menarik, orang muda. Tinggal satu lagi yang ingin kuketahui, kekuatan apa yang tersembunyi di balik kesederhanaan dan kerendahan hatimu. Baiklah, aku akan menyebutmu Sin Wan saja, akan tetapi engkaupun tidak boleh menyebutku ciangkun. Aku lebih pantas menjadi pamanmu, bukan? Nah, kita saling menyebut ciangkun dan taihiap dalam pertemuan resmi di depan orang-orang lain. Setuju?"

   Sin Wan memandang kagum. Bukan main keluarga ini!

   "Baik, paman, dan terima kasih!"

   "Nah, Sin Wan. Sekarang jawab pertanyaanku tadi. Siapa saja kiranya yang akan menjadi calon bengcu?"

   "Paman Bhok, seperti pernah kuceritakan kepada Jenderal Shu Ta, ketika diadakan pemilihan pemimpin besar para kai-pang (perkumpulan pengemis) yang diadakan di Lok-yang kurang lebih setahun yang lalu, banyak tokoh memperebutkan kedudukan pemimpin besar itu, semata-mata karena kedudukan itu akan membuat pemegangnya mendapat kesempatan untuk menjadi calon bengcu dan banyak harapan akan menang karena memperoleh dukungan suara seluruh kai-pang. Selain Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki yang memang sejak dahulu menjadi pemimpin besar kai-pang, ada beberapa orang yang mewakili guru-guru atau pemimpin mereka. See-thian Coa-ong ketika itu diwakili oleh puterinya, yaitu Bi-coa Sianli Cu Sui In dan Lili. Kemudian Tung-hai-liong (Naga Lautan Timur) Ouwyang Cin diwakili oleh muridnya yang bernama Maniyoko........"

   "Bukankah Tung-hai-liong Ouwyang Cin adalah seorang peranakan Jepang, merupakan datuk para bajak laut di lautan timur?" Bhok-ciangkun memotong.

   "Benar, paman. Kalau See-thian Coa-ong merupakan datuk di barat, Tung-hai-liong merupakan datuk di timur. Mereka berdua sama kuat, lihai dan liciknya."

   "Hemm, lalu siapa datuk dari selatan dan utara?" tanya pula panglima itu.

   "Setahuku, tokoh besar selatan tidak ada yang melebihi locianpwe (orang tua gagah) Bu Lee Ki yang berjuluk Pek-sim Lo-kai (Pengemis Tua Hati Putih), dan beliau yang didukung oleh Raja Muda Yung Lo agar kelak menjadi bengcu. Kalau dia yang menjadi ketua bengcu, kurasa dunia kang-ouw akan aman dan tidak akan ada yang berani memberontak terhadap pemerintah, paman. Mengenai datuk besar dari utara, aku belum mendengar siapa orangnya. Banyak tokoh besar kang-ouw di utara kini cerai berai dan meninggalkan daerah yang menjadi daerah perang dan amat berbahaya itu."

   "Aih, sudah disebut datuk besar dunia kang-ouw, kenapa takut menghadapi bahaya perang? Siapa akan berani mengganggunya?" Ci Hwa mencela.

   Ayahnya tertawa.

   "Ci Hwa, engkau terlalu mengangkat tinggi seorang datuk besar persilatan. Boleh jadi kalau menghadapi lawan pribadi, seorang datuk besar tidak mengenal takut dan sukar dikalahkan. Akan tetapi, dalam perang antara pasukan pemerintah melawan para sisa pasukan Mongol, yang berperang adalah ratusan ribu orang. Betapapun lihainya seorang datuk besar, bagaimana dia akan mampu melindungi diri terhadap ratusan ribu orang? Kelihaian seseorang tidak akan lebih dari seratus orang. Kalau dikeroyok ribuan orang, apalagi dikeroyok perajurit yang bersenjata lengkap, biar dia pandai terbang seperti burung sekalipun, tentu akhirnya akan mati ditembus anak panah atau senjata lain."

   "Kalau begitu, bahaya hanya datang dari See-thian Coa-ong dan Tung-hai-liong saja, tentu dengan anak buah dan para pembantu mereka?"

   "Yang kita ketahui memang dari kedua pihak itu, paman. Akan tetapi, mengingat bahwa kedudukan bengcu merupakan kedudukan yang penting dan amat berharga, maka kuyakin bahwa dari utara tentu akan muncul pula seorang datuk baru."

   "Menurut pendapatmu, di antara tiga orang sakti yang telah kita ketahui itu siapa yang paling lihai dan akan dapat menangkan kedudukan bengcu?"

   "Kurasa locianpwe Bu Lee Ki! Tentu saja kalau tidak terjadi kecurangan dan kalau seluruh kai-pang setia kepada pemimpin besarnya. Kita tidak dapat menentukan dengan pasti sikap para ketua kai-pang. Mereka orang-orang aneh yang mudah berubah, mudah dipengaruhi dari luar."

   "Memang ke sanalah kita harus melakukan penjagaan, mengirim penyelidik-penyelidik yang pandai untuk mengawasi para kai-pang. Mereka itu dapat dimanfaatkan pihak yang kuanggap paling berbahaya?"

   "See-thian Coa-ong, ayah?" tanya Ci Hwa.

   "Bukan."

   "Kalau begitu, Tung-hai-liong?" tanya pula Ci Han.

   "Juga bukan. Yang paling berbahaya dari semuanya adalah orang-orang Mongol! Mereka tiba-tiba mengubah siasat, tidak lagi melakukan penyerangan dengan pengerahan pasukan dari utara dan barat. Hal ini mencurigakan dan boleh jadi sekali mereka menggunakan siasat halus untuk menyusup ke dalam negeri melalui pemilihan bengcu. Karena itulah, kita harus berhati-hati. Siapa tahu, sekarang juga mereka telah menyusup ke kota-kota besar, bahkan ke kota raja."
"Kalau begitu, siluman ular Lili itu mungkin juga dipergunakan oleh orang Mongol" Ci Hwa berseru. Bagaimana pendapatmu, Wan-ko?"

   Sin Wan mengerutkan alisnya yang tebal dan dia menggeleng kepala perlahan.

   "Kukira orang seperti See-thian Coa-ong, puterinya dan para muridnya merupakan orang-orang yang sulit untuk diperalat orang lain. Mereka tidak akan mau tunduk kepada siapapun dengan pengaruh apapun."

   "Kurasa Sin Wan benar, Ci Hwa. Akupun yakin bahwa gadis itu tidak diperalat, melainkan datang atas kemauan sendiri. Sudah, kita tidak perlu bicara tentang gadis itu. Sin Wan, selama beberapa hari ini, bersama para mata-mata yang menjadi anak buahku, harap kausuka membantu melakukan penyelidikan di kota raja, di rumah-rumah penginapan, di kuil-kuil kosong, di tempat-tempat yang sekiranya patut dicurigai menjadi tempat pemondokan mata-mata Mongol. Ingat, mereka sudah hafal benar akan keadaan di sini, akan kebudayaan pribumi, dan mereka licik dan cerdik sehingga akan sia-sia kalau engkau mencari-cari seorang yang kelihatan seperti orang Mongol di antara mereka. Mungkin mereka itu nampak lebih pribumi dari pada pribuminya sendiri."

   "Baik, paman. Dan untuk keperluan itu, sebaiknya kalau aku bekerja bebas dan tidak disiarkan berita bahwa aku menjadi pembantu paman. Dengan demikian, rasanya akan lebih leluasa aku melakukan penyelidikan."

   "Aku mengerti, Sin Wan. Dan sekarang, agar kita dapat lebih saling mengenal, mari kita pererat melalui ilmu silat."

   Sin Wan maklum apa yang dimaksudkan dan dalam hatinya, dia tidak setuju.

   "Apakah itu perlu, paman?"

   "Tentu saja, perlu sekali. Bukankah kita harus bekerja sama? Untuk itu, kita harus dapat melihat kemampuan masing-masing."

   Sin Wan ingin membantah, akan tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa sore nanti Bhok Cun Ki akan bertanding melawan Lili, bukan pertandingan yang main-main, melainkan mempertahankan nyawa dari ancaman gadis liar itu. Ah, dia dapat memberi petunjuk secara tidak langsung, tanpa menyinggung perasaan pendekar Butong ini, pikirnya.

   "Baiklah, paman, kalau paman berpendapat demikian."

   Ci Han dan Ci Hwa gembira sekali mendengar itu. Mereka juga ingin sekali menyaksikan kelihaian tamu yang kini sudah akrab dengan mereka, yang hanya mereka kenal sebagai murid dari Sam-sian (Tiga Dewa) yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan karena Sam-sian adalah tokoh-tokoh besar yang berhasil mengembalikan pusaka-pusaka yang dicuri dari gudang pusaka istana kaisar! Sam-sian merupakan tokoh-tokoh besar persilatan yang banyak jasanya, dan amat dihargai oleh Kaisar sendiri. Dan kini, di antara ke tiga Sam-sian hanya tinggal seorang saja, yaitu Ciu-sian (Dewa Arak) yang mendapat tugas baru dari Kaisar, akan tetapi karena merasa sudah tua dan dua orang rekannya sudah tidak ada, mewakilkannya kepada murid ini.

   Mereka pergi ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat) yang berada di bagian belakang bangunan itu. Ruangan ini luas dan memang enak sekali untuk bermain silat, penuh dengan alat-alat untuk berolah raga dan berlatih silat.

   TAK lama kemudian, kedua orang itu sudah saling berhadapan. Melihat tuan rumah yang sudah melepas baju luar itu menghadapinya dengan tangan kosong, Sin Wan yang mempunyai niat untuk mengukur ilmu pedang dan kalau mungkin memberi petunjuk, segera memberi hormat dan berkata,

   "Paman Bhok, aku mendengar bahwa paman adalah seorang pendekar Butong-pai, dan Butong-pai terkenal dengan ilmu pedangnya. Oleh karena itu, kalau paman tidak berkeberatan, aku ingin sekali merasakan kelihaian ilmu pedang paman dan mengagumi keindahannya."

   Tentu saja Sin Wan bermaksud lain. Dia tahu bahwa orang seperti Lili pasti tidak mau bertanding dengan tangan kosong saja melawan orang yang akan dibunuhnya, dan tentu menggunakan pedang ular putih. Bukankah ia sudah memperlihatkan pedang itu kepada putera puteri panglima itu dan mengancam akan membunuhnya dengan pedang itu? Lili pasti mempergunakan pedang dan Bhok-ciangkun pasti terpaksa akan melayani dengan pedangnya pula.

   Mendengar ucapan Sin Wan, Ci Hwa berseru kaget,

   "Aih, Wan-twako, kenapa harus dengan pedang? Bagaimana kalau kalian saling melukai?"

   Mendengar ini, Bhok-ciangkun mencela puterinya.

   "Ci Hwa, masih belum tahukah engkau bahwa orang yang ilmu pedangnya sudah setinggi tingkat Sin Wan, tidak mungkin pedangnya dapat melukai orang tanpa dikehendakinya? Pedang sudah merupakan bagian ujung dari tangannya, begitulah!"

   Ci Han dan Ci Hwa tentu saja tahu akan hal itu, namun karena tingkat mereka belum setinggi itu, belum sempurna benar menguasai pedang, maka mereka memandang kagum.

   "Baik, Sin Wan. Mari kita main-main sebentar dengan pedang." Panglima itu lalu mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya. Akan tetapi Sin Wan agak meragu, lalu dengan perlahan dia mencabut pedangnya.

   "Ihh! Pedangmu kenapa buruk amat, twako?" kembali Ci Hwa berseru. Gadis lincah ini begitu terbuka dan terus terang, ini membuktikan bahwa ia memang sudah akrab benar dengan Sin Wan sehingga tidak lagi merasa sungkan.

   Kembali Bhok Cun Ki yang tertawa bergelak.

   "Ha..ha..ha, engkau seperti seekor anak burung yang baru belajar terbang, belum mengenal dunia luas, Ci Hwa. Lihat baik-baik. Yang dipegang Sin Wan itu adalah sebuah di antara pedang-pedang pusaka paling ampuh di dunia ini. Itulah Pedang Tumpul yang dahulu menjadi pusaka istana!"

   "Wahhh.......!!" Ci Han dan Ci Hwa terbelalak kagum. Mereka sudah mendengar akan pedang pusaka itu yang oleh kaisar dihadiahkan kepada Sam-sian bersama beberapa benda lain.

   Sin Wan menggerakkan tangannya dan tahu-tahu pedang itu telah lenyap, menyusup kembali ke dalam sarung pedang.

   "Eh, kenapa kau simpan kembali pedangmu, Sin Wan?"

   "Paman, aku tidak ingin kalau sampai pedangmu rusak oleh pedangku, maka sebaiknya kalau kita menggunakan pedang yang biasa dipakai untuk latihan saja."

   Dan tiba-tiba tubuhnya sudah meluncur ke arah rak senjata. Demikian cepat gerakannya dan tahu-tahu dia sudah kembali ke tempat tadi, di depan panglima itu dan membawa dua batang pedang yang biasa dipakai latihan. Melihat gerakan secepat itu, Bhok Cun Ki dan kedua orang anaknya menjadi kagum, dan panglima itu merasa gembira. Ketika mendengar bahwa Sin Wan adalah murid Sam-sian dan telah memperoleh kepercayaan seorang sakti seperti Ciu-sian untuk mewakilinya, dia sudah percaya bahwa tentu pemuda itu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Akan tetapi, dia ingin membuktikan sendiri agar yakin bahwa pembantunya ini dapat dipercaya dan diandalkan.

   "Bagus, usulmu itu baik sekali, Sin Wan!" katanya dan dia menerima sebatang pedang dari pemuda itu.

   Kini mereka saling berhadapan dengan pedang di tangan. Karena maklum bahwa panglima itu sebagai seorang pendekar Butong tentu lihai sekali ilmu pedangnya, Sin Wan segera memasang kuda-kuda dari ilmu pedang yang dia pelajari dari mendiang Kiam-sian (Dewa Pedang), yaitu Jit-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Matahari). Sebaliknya, Bhok-ciangkun memasang kuda-kuda ilmu pedang Butong-pai yang terkenal indah gerakannya namun amat tangguh itu.

   Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Silakan, paman," kata Sin Wan yang tidak berani bergerak lebih dahulu.

   "Ha..ha, engkau terlalu sungkan, Sin Wan. Nah, aku akan memulai, bersiaplah engkau!" Setelah berkata demikian, panglima itu mengeluarkan bentakan nyaring dan pedang di tangannya sudah bergerak dengan setengah lingkaran, lalu menusuk ke arah dada Sin Wan.

   Dengan gerakan tenang, Sin Wan mengelak dan balas menyerang. Lawannya juga meloncat dan membalas. Terjadi serangan balas membalas dan duanya mengandalkan kegesitan tubuh untuk mengelak. Makin lama, semakin cepat gerakan mereka dan pedang di tangan Sin Wan yang menjadi sinar bergulung-gulung itu menyilaukan mata, sesuai dengan nama ilmunya. Namun lawannya juga tidak kalah cepat gerakannya, pedang di tangan panglima itupun menjadi sinar bergulung-gulung yang kadang-kadang menyambar ke arah lawan.

   "Tranggg..........!" Bunga api berpijar ketika untuk pertama kalinya kedua pedang bertemu di udara. Keduanya merasa betapa telapak tangan mereka tergetar. Ternyata dalam hal tenaga merekapun berimbang. Kini kedua pedang itu saling sambar dan kadang bertemu mengeluarkan bunga api, dua gulungan sinar pedang saling belit seperti dua ekor naga berlaga di angkasa.

   Setelah lewat tigapuluh jurus, Sin Wan teringat akan maksudnya mengajak bertanding pedang. Tiba-tiba dia mengubah gerakannya dan kini dia sering bermain silat pedang dengan tubuh direndahkan. Sinar pedangnya menyambar-nyambar dari bawah, kadang tubuhnya bergulingan di atas lantai dan sinar pedang mencuat dari bawah. Nampak betapa Bhok-ciangkun terkejut dan agak kewalahan menghadapi serangan-serangan aneh itu. Setelah beberapa jurus lamanya Sin Wan mendesak, sambil menyapu kedua kaki lawan dengan pedangnya sehingga. Bhok-ciangkun terpaksa berlompatan, Sin Wan berkata halus,

   "Lawan ular yang tangguh adalah burung!"

   Seketika teringatlah Bhok-ciangkun dan diapun tahu mengapa pemuda itu kini mengubah ilmu pedangnya walaupun tadi pemuda itu tidak terdesak. Mendengar kata "ular" ingatlah Bhok-ciangkun bahwa sore nanti dia harus bertanding melawan gadis yang datang dari Bukit Ular. Maka, dia pun cepat mengubah ilmu pedangnya dan kini gerakannya menggunakan banyak loncatan dan pedangnya menyambar-nyambar dari atas bagaikan seekor burung yang menandingi seekor ular!

   Setelah lewat duapuluh jurus, Sin Wan mengubah lagi ilmu pedangnya dan kembali menggunakan Jit-kong-kiamsut seperti tadi. Dan Bhok-ciangkun sudah cukup puas. Dia tadi pernah mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan jurus-jurus simpanannya, namun semua serangannya dapat dipatahkan oleh Sin Wan. Dia tidak tahu apakah pemuda itu dapat mengalahkannya, akan tetapi yang jelas baginya, untuk dapat mengalahkan pemuda itu, agaknya akan merupakan hal yang amat sukar baginya. Dan ini sudah memuaskan hatinya. Diapun meloncat agak jauh ke belakang.

   "Cukuplah, Sin Wan," katanya sambil tersenyum.

   "Sekarang aku tahu benar betapa lihainya murid dari Sam-sian!"

   "Paman, ilmu pedang paman juga hebat dan indah, aku mengaku kalah," kata Sin Wan. Dengan sopan dia lalu menghampiri panglima itu, menerima pedangnya dan mengembalikan kedua pedang itu di rak senjata.

   "Sin Wan, terima kasih atas petunjukmu tadi," kata Bhok Cun Ki. Kedua orang anaknya tidak mengerti apa yang terjadi, akan tetapi Sin Wan hanya tersenyum dan tidak menjawab.

   Setelah mendengar keterangan Bhok Cun Ki tentang tanda-tanda rahasia untuk mengenal anak buah panglima itu yang disebar sebagai penyelidik di kota raja, Sin Wan lalu pergi ke kamarnya untuk membuat persiapan. Dia akan memulai dengan tugasnya hari itu juga, melakukan penyelidikan di kota raja dalam usahanya membantu Bhok-ciangkun memberantas jaringan mata-mata Mongol.

   Ketika dia hendak meninggalkan kamarnya setelah bertukar pakaian yang tadi basah oleh keringat, dia bertemu Ci Han dan Ci Hwa di ruangan depan kamarnya. Agaknya kakak dan adik itu sengaja mencarinya, Sin Wan menyambut mereka dan tiga orang muda itu duduk di ruangan itu.

   "Twako, ajaklah aku melakukan, penyelidikan agar menambah luas pengetahuanku!" Ci Han membujuk.

   Sin Wan tersenyum.

   "Bagaimana mungkin, Han-te (adik Han). Pekerjaanku adalah penyelidik, dan dalam hal ini aku beruntung bahwa di kota raja tidak ada orang mengenalku. Ini memudahkan pekerjaanku, karena aku akan dapat bergerak dengan leluasa, melakukan pengamatan terhadap siapa saja yang kuamati. Akan tetapi engkau adalah seorang pemuda yang dikenal siapa saja di kota raja. Orang-orang yang kita curigai, siang-siang sudah berjaga diri dan bersikap hati-hati kalau melihat engkau muncul. Maaf aku terpaksa tidak dapat membawawu serta, Han-te."

   "Akupun tadinya ingin ikut untuk menambah pengalaman, twako. Akan tetapi mendengar alasanmu tadi, aku mengerti bahwa pekerjaanmu harus dilakukan secara rahasia, dan kami berdua tak mungkin menyembunyikan keadaan diri kami. Eh, Han-koko, kalau tidak mungkin kita bekerja sama dengan kakak Sin Wan, sebaiknya kita bekerja sendiri-sendiri saja membantu ayah. Aku akan pergi seperti sedang pesiar atau berjalan-jalan, akan tetapi mulai sekarang aku akan waspada. Siapa tahu aku akan dapat menangkap seorang mata-mata Mongol."

   "Hwa-moi, engkau jangan main-main. Pekerjaan ini bukan pekerjaan ringan. Menurut ayah, kalau orang Mongol mengirim mata-mata, sudah pasti dia lihai sekali!"

   "Aku tidak takut! Kita di kota raja, takut apa? Semua orang akan membantuku!"

   Kakak beradik itu lalu meninggalkan Sin Wan akan tetapi tidak lama kemudian Ci Hwa, muncul lagi, kini sendirian saja.

   "Wan-twako, ada sebuah hal yang ingin kubicarakan denganmu berdua saja."

   "Ehh? Apakah itu, Hwa-moi? Duduklah dan ceritakanlah yang hendak kaubicarakan," jawab Sin Wan dan kembali mereka duduk di tempat tadi.

   "Twako, aku khawatir sekali terhadap keselamatan ayah kalau dia pergi bertanding sore nanti."

   "Jangan khawatir, ayahmu seorang yang berkepandaian tinggi. Siapapun tidak akan mudah mengalahkannya." Sin Wan menghibur dengan sungguh-sungguh karena dia maklum bahwa betapapun lihainya, Lili tidak akan mudah mengalahkan panglima itu.

   "Akan tetapi aku tetap khawatir, twako. Gadis siluman itu lihai bukan main. Melihat engkau tadi mengadu kepandaian dengan ayah, aku merasa yakin bahwa hanya engkau yang akan mampu mengalahkannya. Wan-twako, maukah engkau menolongku?"

   "Menolongmu? Tentu saja aku mau, Hwa-moi," kata Sin Wan sambil menatap wajah yang manis itu.

   "Kalau begitu, kau lindungilah ayahku!"

   Sin Wan mengerutkan alisnya,

   "Ayahmu telah menekankan bahwa kita tidak boleh mencampuri urusan itu, Hwa-moi?"

   "Aku tidak minta engkau mencampuri urusan itu, twako. Akan tetapi, aku minta engkau melindunginya, secara diam-diam. Kalau sampai ayah terancam bahaya maut, engkau dapat melindunginya. Maukah engkau berjanji, twako? Aku.... aku akan berterima kasih sekali padamu," Gadis itu menyentuh tangan Sin Wan, lalu menggenggam tangan itu dan mengguncangnya, pandang matanya penuh harapan, penuh permohonan.

   Sin Wan tidak tega untuk menolaknya. Dan memang di lubuk hatinya dia sedang mencari jalan bagaimana untuk dapat melindungi panglima itu dari ancaman maut di tangan Lili, maka diapun mengangguk,

   "Baiklah, akan kuusahakan, Hwa-moi."

   Tangan yang kecil itu menggenggam jari-jari tangan Sin Wan lalu melepaskannya.

   "Twako, terima kasih! Terima kasih, dan aku yakin, bahwa percayaanku kepadamu tidak akan sia-sia. Aku sendiri tidak akan duduk diam. Aku akan pergi keluar, dan kalau Han-koko mencari mata-mata Mongol, aku akan mencari gadis siluman itu. Kalau ia berada di kota, aku akan menyerangnya dan memanggil pasukan penjaga untuk membantuku!"

   "Jangan, Hwa-moi. Itu berbahaya sekali!"

   "Aku tidak takut!"

   "Tapi ayahmu telah melarangmu......."

   "Melarang aku mencampuri urusannya? Tentu, aku tidak akan melanggar larangannya. Akan tetapi dia tidak melarang aku membalas kekalahanku dari gadis siluman itu!" Ci Hwa lalu meninggalkan ruangan itu dan Sin Wan termangu dalam lamunan. Berbahaya, pikirnya. Orang macam Lili dapat melakukan apa saja. Dia harus melindungi Ci Hwa lebih dahulu sebelum melindungi ayahnya. Dan dia pun segera keluar.

   Putera Mahkota atau Pangeran Chu Hui San sama sekali tidak mewarisi sifat-sifat baik dari ayahnya, yaitu Kaisar Thai-cu yang dahulu bernama Chu Goan Ciang. Kalau ayahnya seorang pejuang yang gigih, kemudian menjadi kaisar yang bijaksana, pendiri kerajaan Beng-tiauw, sebaliknya pangeran yang merupakan putera mahkota yang sulung itu sejak mudanya adalah seorang yang lemah dan kurang bersemangat. Pangeran Chu Hui San seperti mabok kemuliaan dan yang disukai hanyalah bersenang-senang saja. Biarpun dia sudah beristeri dan memiliki belasan orang selir, masih saja dia haus akan kecantikan wanita.

   Puteranya yang baru berusia enam tahun lebih itulah yang agaknya mewarisi kecerdikan dan semangat kakeknya. Puteranya itu bernama Chu Hong dan karena semangatnya inilah maka Pangeran kecil Chu Hong menjadi kekasih kakeknya. Bahkan kakeknya, Kaisar Thai-cu sendiri yang seringkali mendidik Chu Hong, menanamkan jiwa kepahlawanan melalui dongeng-dongeng. Tidak jarang kaisar membiarkan cucunya tercinta itu tidur di dalam kamarnya!

   Biarpun usianya sudah empatpuluh tahun, Pangeran Mahkota Chu Hui San masih berlagak seperti seorang pemuda remaja saja. Pakaiannya selalu mewah dan dia seringkali lolos dari istana, tidak mau dikawal sehingga dia dapat melancong dengan bebas seperti halnya para kongcu (tuan muda) bangsawan. Dan tentu saja diapun banyak bergaul dengan para kongcu bangsawan lainnya yang mempunyai kebiasaan dan kesukaan seperti dia, yaitu menghambur-hamburkan uang dan beroyal-royalan sepuas hati.

   Pada suatu hari, pagi-pagi pangeran Chu Hui San sudah berada di beranda loteng rumah pelesir Seruni, sebuah rumah pelesir terbesar di kota raja. Tentu saja pengurus rumah pelesir Seruni berikut semua penghuninya, para gadis penghibur, menyambut dengan penuh kehormatan dan kegembiraan ketika pangeran mahkota bersama dua orang temannya, dua orang kongcu bangsawan lain, muncul dan mereka seolah berebut menawarkan diri untuk menghibur tiga orang tamu itu terutama sang pangeran. Siapa tahu pangeran mahkota terpikat olehku dan membawaku ke istana menjadi selirnya, dan kalau kelak sang pangeran menjadi kaisar berarti ia akan menjadi selir kaisar! Demikian diharapkan oleh setiap orang gadis penghibur itu. Akan tetapi sekali ini, Pangeran Chu Hui San dan dua orang kawannya agaknya sudah merasa jemu dengan mereka. Karena bertiga hanya minta disediakan sarapan pagi yang mewah, dan setelah makan pagi mereka bertiga duduk di beranda loteng dan melihat-lihat mereka yang berlalu lalang di atas jalan raya di bawah depan loteng.

   Pagi itu seperti biasa banyak wanita tua muda berlalu lalang di atas jalan raya. Untuk pergi ke pasar dan pulangnya, para wanita itu melewati jalan itu karena pasar terletak dekat dengan rumah pelesir itu. Dan tiga orang laki-laki bangsawan ini menjadi iseng. Mereka melempar-lemparkan kwaci dan kacang ke bawah setiap kali ada gadis atau wanita muda lewat di bawah sana. Wanita yang terkena lemparan kwaci atau kacang, kalau hendak marahpun tidak jadi, bahkan tersenyum malu dan bangga ketika mereka melihat siapa laki-laki yang mengganggunya itu. Wanita mana yang tidak akan senang diganggu oleh Pangeran Mahkota?

   Dari jauh nampak seorang wanita muda melangkah gontai di atas jalan raya. Ia seorang wanita muda, usianya sekitar duapuluh tahun dan bentuk tubuhnya yang ramping amat menggiurkan dan menggairahkan. Langkahnya dan lenggangnya amat memikat, dengan tubuh lentur lemas dan berlekuk lengkung sempurna.

   Pada waktu itu musim panas, telah tiba dan karena hawa udara panas, para wanitanya mengenakan pakaian yang lebih tipis dan longgar sehingga keindahan bentuk tubuh mereka lebih dapat dikagumi dari pada kalau mereka mengenakan pakaian tebal musim dingin. Wanita muda ini membawa keranjang gantung yang kosong sehingga mudah dimengerti bahwa ia tentu sedang menuju ke pasar untuk berbelanja. Bajunya yang biru muda itu nampak baru.

   Pangeran Chu Hui San memandang kepada wanita itu dan berkata kepada dua orang temannya.

   "Tunggu! Yang baju biru muda itu untukku, biar aku yang menembaknya!" Istilah menembak itu mereka pergunakan untuk menyambitkan kwaci dan kacang ke bawah. Dua orang temannya adalah pemuda pemuda bangsawan yang selalu ingin memperoleh kesan baik dengan menjilat, maka mendengar permintaan ltu, segera mereka mentaati dan hanya menjadi penonton. Putera Mahkota itu mempersiapkan kacang yang besar dan ketika wanita itu berlenggang di bawah loteng, dia membidik dan menyambitkan kacang itu ke bawah.

   "Tukk!" kacang itu tepat mengenai kepala wanita itu. Tidak menimbulkan sakit memang, akan tetapi cukup mengagetkan dan wanita itu cepat mengangkat muka memandang ke atas. Dilihatnya tiga orang pria berpakaian mewah tertawa-tawa. Akan tetapi Pangeran Chu Hui San terpesona ketika memandang ke atas itu dia melihat sebuah wajah yang cantik manis, dan tidak seperti wanita lain yang begitu melihat siapa penyambitnya lalu melempar senyum dan kerling memikat, wanita itu berani cemberut, mengerling marah lalu membuang muka! Akan tetapi semua tarikan muka yang lain dari pada yang lain itu, yang tidak bermanis-manis tidak menjual murah, bahkan nampak demikian memikat bagi Pangeran Chu Hui San.

   "Cui-ma, cepat kejar perempuan itu. Aku menginginkannya, sekarang juga!" kata sang putera mahkota yang sudah terbiasa sejak kecil selalu terpenuhi segala kehendaknya.

   Mendengar perintah ini, nyonya kurus yang berada di belakang mereka terbongkok-bongkok melayaninya dan bergegas turun dari loteng. Dari atas beranda loteng itu, Pangeran Chu Hui San dan dua orang temannya dapat melihat betapa mucikari itu berlari keluar diikuti dua orang laki-laki berewok tinggi besar dan mereka bertiga cepat mengejar wanita muda yang jalannya belum jauh itu.

   Mereka melihat betapa mucikari itu bersama dua orang jagoannya telah dapat menyusul. Wanita muda itu nampak menolak, menggeleng kepala dan kelihatan marah-marah, tidak dapat dibujuk oleh mucikari itu dengan omongan manis. Sang mucikari sendiri, bibi Cui atau dipanggil Cui-ma, merasa heran bukan kepalang melihat ada seorang wanita muda berani menolak ajakan putera mahkota! Tidak perduli ia sudah menikah atau belum, rakyat jelata atau bangsawan belum pernah ada wanita yang menolak ajakan yang seolah merupakan bulan jatuh ke pangkuan itu.

   Karena wanita muda itu menolak, dua orang tukang pukul sudah menangkap kedua lengan wanita itu dan tanpa kesulitan dua orang jagoan yang kuat itu memaksa dan menarik wanita muda itu ikut ke dalam rumah pelesir. Tak seorangpun yang berani melerai ketika melihat ada wanita muda dipaksa masuk ke rumah itu oleh seorang wanita tua dan dua orang jagoannya.

   Cui-ma memang disegani, bukan hanya karena ia mempunyai tukang pukul, melainkan terutama sekali karena dibelakang mucikari ini berdiri banyak bangsawan tinggi yang menjadi langganannya sehingga ia bisa mendapatkan pembelaan dari kalangan atas. Petugas rendahan biasa saja, mana berani menentangnya? Mungkin akan berhadapan dengan atasannya sendiri nanti!

   Pangeran Chu Hui San telah duduk menanti dalam kamar yang mewah itu seorang diri ketika wanita muda itu masih bersama keranjangnya didorong masuk dari luar dan daun pintu segera ditutup kembali dari luar. Wanita itu, bagaikan seekor anak kelinci yang dilempar ke dalam kerangkeng harimau, berdiri menggigil dan menangis, tidak berani berkutik, hanya bersandar pada dinding memeluk keranjangnya.

   "Ampun...... ampunkan aku...... lepaskan aku..... aku sudah bersuami, suamiku keras dan galak......" ia meratap ketakutan tanpa berani mengangkat mukanya yang menunduk.

   Akan tetapi, alasan bahwa wanita itu sudah bersuami tidak meredakan gelora gairah sang pangeran. Yang membuat ia terheran-heran adalah melihat sikap wanita itu. Kenapa begitu berani dan sama sekali tidak menghormatinya?

   "Nyonya muda yang manis, pandanglah aku. Apakah engkau tidak tahu, siapa aku?" perintahnya.

   Dengan ketakutan wanita itu mengangkat muka memandang, namun ia sama sekali tidak nampak terkejut. Bahkan ia menggeleng kepalanya,

   "Aku tidak mengenal engkau siapa, akan tetapi mohon kau lepaskan aku, jangan ganggu aku......"

   "Hemm, aku adalah pangeran, putera mahkota, tahu?"

   Wanita itu kembali memandang dengan mata terbelalak, lalu keranjangnya jatuh mengelinding dan iapun menjatuhkan diri berlutut menyernbah-nyembah.

   "Ahh.... ampun hamba.... hamba tidak tahu, hamba baru sebulan berada di kota raja, hamba dari dusun, setelah menikah baru di sini..... mohon paduka mengampuni hamba dan membiarkan hamba pergi...."

   Pangeran itu semakin heran.

   "Aku suka padamu, manis. Kesinilah dan jangan takut. Aku akan memberi hadiah besar kepadamu."

   "Tidak...... tidak...... mohon paduka mengampuni hamba.... hamba baru sebulan menikah, hamba tidak berani, suami hamba galak......."

   "Aih, pengantin baru, ya? Heh..heh, aku suka pengantin baru. Tentang suamimu, jangan takut. Dia tidak akan berani memarahimu kalau tahu bahwa pangeran putera mahkota yang mengajakmu. Kesinilah!"

   Pangeran Chu Hui San semakin bergairah karena belum pernah dia bertemu dengan wanita yang tidak segera lari ke dalam pelukannya. Malah dia yang kini turun dari pembaringan dan menghampiri wanita yang menggigil ketakutan itu. Akan tetapi baru saja dia memegang lengan wanita itu untuk ditariknya, dia mendengar suara gedebukan di luar kamar, suara orang berkelahi.

   Dia terkejut dan heran, lalu dibukanya daun pintunya untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata dua orang tukang pukul berewokan itu sedang mengeroyok seorang laki-laki muka bopeng yang juga tinggi besar. Akan tetapi laki-laki bopeng itu lihai sekali, dan ketika sang pangeran membuka daun pintu, tepat dia melihat betapa dua orang tukang pukul itu dihantam roboh!

   "Cang-ko (kakak Cang),.......!" Wanita cantik yang berada di dalam kamar Pangeran Chu Hui San menjerit ketika ia melihat laki-laki bopeng itu.

   "Kim-moi (adik Kim)!" Laki-laki itu berteriak dan diapun menerjang masuk ke dalam kamar.

   "Aku tahu, engkau berada disini!" bentaknya dan dengan mata melotot dia memandang kepada isterinya, lalu kepada sang pangeran. Ketika dia memandang kepada pangeran itu, Pangeran Chu Hui San berkata dengan sikap gagah dan marah.

   "Orang kasar, butakah matamu? Aku adalah Pangeran Chu Hui San! Hayo cepat engkau pergi dari sini atau akan kusuruh orang menangkap dan menghukum siksa sampai mati!"

   Akan tetapi si muka bopeng itu menyeringai,

   "Aku tahu engkau pangeran putera mahkota yang mata keranjang itu. Engkau berani menghina isteriku! Biar aku akan dihukum mati, akan tetapi sekali ini engkau yang akan kusiksa sampai mati lebih dulu!"

   Dengan langkah lambat namun sikapnya menyeramkan, si muka bopeng menghampiri sang pangeran. Pangerah yang satu ini memang lemah. Melihat gertakannya tidak berhasil, diapun melangkah mundur dan mukanya mulai membayangkan ketakutan.

   "Jangan...... maafkan aku dan engkau akan kuganjar hadiah yang besar........"

   "Tidak ada hadiah besar dari pada membunuh orang yang telah berani menghina isteriku tercinta!" bentak orang itu dengan geram dan dia sudah siap untuk menubruk.

   Tiba-tiba seseorang muncul di ambang pintu kamar itu. Akan tetapi kemunculannya tidak membesarkan harapan sang pangeran, karena dia hanyalah seorang pria berusia tigapuluh lima tahun yang berpakaian seperti seorang sastrawan muda, mungkin sastrawan kaya karena pakaiannya mewah. Apa artinya seorang sastrawan lemah terhadap si bopeng yang tangguh ini? Dua orang jagoan tukang pukul di rumah pelesir itupun sudah dia pukul roboh.

   "Muka bopeng, jangan kurang ajar kau!" sastrawan itu membentak dan biarpun suaranya lembut, namun mengandung getaran berwibawa sehingga tiba-tiba si bopeng menghentikan langkahnya dan memutar tubuh menghadapi sastrawan itu, nampaknya terkejut. Akan tetapi ketika dia melihat bahwa yang menegur dan mencelanya hanya seorang sastrawan yang kelihatan lemah, dia menjadi semakin berang. Dengan langkah lebar dia menghampiri sastrawan itu dan sikapnya mengancam.

   "Jahanam, siapa engkau berani mencampuri urusanku?" Dia mengepal tinju dan siap menerjang.

   "Engkaulah yang jahanam! Berani engkau mengancam yang mulia pangeran putera mahkota yang sepatutnya kau sembah? Hayo cepat berlutut minta ampun!"

   Akan tetapi, si muka bopeng menjawabnya dengan gerengan dan diapun menerjang dengan ganas ke arah sastrawan itu. Pangeran Chui Hui San menyangka bahwa penolongnya itu tentu roboh dengan sekali pukul dan dia sudah siap untuk melarikan diri. Akan tetapi, dia terbelalak. Ketika si muka bopeng yang tinggi besar itu menerjang, sastrawan itu mengelebatkan kipas yang berada di tangannya dan entah bagaimana, tiba-tiba saja si muka bopeng itu yang terpelanting ke atas lantai

   Dia merangkak bangun, meloncat dan menerjang lagi akan tetapi disambut tendangan yang mengenai dadanya dan membuat, dia terjengkang dan terbanting keras. Si muka bopeng terengah-engah dan matanya terbelalak ketakutan, lalu dia bangkit dan membalikkan diri, cepat lari keluar dari dalam kamar itu.

   Sastrawan itu membiarkan si muka bopeng lari, dan diapun membalik, menghadapi Pangeran Chu Hui San dan menjatuhkan diri berlutut dengan sikap hormat dan sopan sekali.

   "Hamba kira akan jauh lebih baik dan aman kalau paduka selalu ditemani seorang pengawal yang boleh dipercaya. Dewasa ini banyak sekali terdapat penjahat dan pemberontak yang tentu akan berbuat yang tidak baik kepada paduka."

   Tentu saja pangeran itu merasa berterima kasih karena tanpa munculnya sastrawan itu, tentu sekarang dia telah tewas dibunuh si muka bopeng tadi. Dia melangkah maju dan dengan kedua tangan menyentuh pundak sastrawan itu dia berkata.

   "Terima kasih, engkau telah menyelamatkan aku. Kami akan merasa senang sekali kalau saat ini engkau suka menemani dan menjaga keselamatanku."

   "Hamba suka sekali, hamba siap mengorbankan nyawa demi keselamatan paduka, pangeran!" kata sastrawan itu.

   "Siapa namamu?"

   "Hamba she (bernama keturunan) Yauw, nama hamba Lu Ta."

   Pada saat itu, wanita muda yang sejak tadi berdiri ketakutan, mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri keluar dari dalam kamar. Akan tetapi melihat ini, Yauw Lu Ta meloncat dan sekali tangannya bergerak, dia telah menotok wanita itu pada pundaknya, membuat wanita itu menjadi lemas dan tentu akan jatuh ke atas lantai kalau Yauw Lu Ta tidak menyambutnya, memegang lengannya kemudian mendudukkannya di atas lantai bersandar dinding. Wanita muda itu tidak mampu bergerak, hanya matanya yang memandang dengan ketakutan.

   "Yauw Siucai (Sastrawan Yauw), kalau ia tidak mau, suruh ia pergi. Kami tidak mau memperkosanya!" kata Pangeran Chui Hui San dengan suara mengandung kekecewaan. Wanita itu bukan saja menolak cintanya, bahkan suaminya hampir saja membunuhnya!

   Yauw Lu Ta membungkuk dengan senyum.

   "Harap paduka jangan kecewa. Dalam satu menit ia akan berubah sama sekali dan akan melayani paduka dengan seluruh tubuh dan hatinya." Dia mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam saku bajunya. Ketika dibukanya, dalam bungkusan terisi bubuk merah. Melihat di atas meja dalam kamar itu, terdapat cawan dan guci arak, dituangkannya sedikit arak ke dalam cawan, dimasukkannya sedikit bubuk merah ke dalam cawan kemudian dia menghampiri wanita muda itu, tangan kiri menekan kanan-kiri mulut sehingga mulut itu terbuka, ditengadahkan, lalu isi cawan dia tuangkan ke dalam mulut. Di luar kehendaknya, wanita itu terpaksa menelan anggur dari cawan dan Yauw Lu Ta melepaskannya.

   Pangeran Chu Hui San memandang penuh perhatian. Semenit kemudian, terjadi perubahan pada wajah wanita itu. Kedua pipinya kemerahan dan pandang matanya tidak lagi ketakutan, akan tetapi seperti orang yang mengantuk.

   Yauw Lu Ta membebaskan totokannya dan diapun berkata.

   "Kini paduka dapat berbuat apapun terhadap dirinya dan ia akan menyerahkan diri dengan suka rela dan penuh semangat. Hamba akah menjaga keamanan paduka di luar kamar." Yauw Lu Ta melangkah keluar dan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar.

   Sebetulnya, peristiwa tadi sudah mengusir semua gairah nafsu dari pikiran pangeran ini. Akan tetapi, dia tertarik dan ingin sekali tahu apakah ucapan pengawal barunya itu benar. Dia lalu memandang wanita muda yang sudah dibebaskan dari totokan itu. Kini wanita itu berlutut menghadap kepadanya, hanya menundukkan muka dan tidak berani memandangnya, tidak pula mengeluarkan kata-kata, juga tidak lagi menangis ketakutan.

   "Angkat mukamu!" kata pangeran itu dengan suara memerintah. Dan wanita muda itu mengangkat muka memandangnya. Dan alangkah jauh bedanya dengan tadi. Wanita itu kini memandangnya dengan sikap malu-malu, dengan mata sayu dan mulut mengulum senyum.

   "Kesinilah," kata pula pangeran itu.

   Wanita itu nampak tersipu, lalu bangkit dan dengan malu-malu berjalan menghampiri Pangeran Chu Hui San. Ketika pangeran merangkulnya, iapun mengeluarkan suara lirih dan menyandarkan mukanya ke dada pangeran itu.

   "Siapa namamu, manis?"

   "Nama hamba Bi Kim....." suaranya berbisik dan kini bangkitlah kembali gairah di hati pangeran itu. Dia menuntun wanita itu ke pembaringan dan benar seperti yang dikatakan Yauw Lu Ta tadi, kini wanita itu sama sekali tidak menolaknya, bahkan melayaninya dengan sukarela dan penuh gairah.

   Tentu saja semua itu adalah siasat yang sudah diatur oleh Yauw Lu Ta atau Yaluta, pangeran Mongol itu! Ketika Kerajaan Mongol belum jatuh, dia masih kecil, baru belasan tahun usianya dan tidak dikenal. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu dia menggunakan namanya, hanya diubah sedikit menjadi nama pribumi agar tidak ada yang tahu bahwa dia adalah bekas pangeran Mongol!

   Sejak peristiwa di rumah pelesir itu, Pangeran Chu Hui San menerima Yauw Lu Ta yang disebutnya Yauw Siucai menjadi pengawal pribadinya, juga temannya berfoya-foya. Yauw Siucai amat pandai mengambil hatinya. Dengan adanya Yauw Siucai, putera mahkota ini dapat menikmati bermacam kesenangan yang tadinya tidak dikenalnya sama sekali. Dengan bantuan Yauw Siucai, wanita yang bagaimana keraspun akan menjadi lunak dan jinak. Bahkan putera mahlota itu, saking percayanya kepada Yauw Siucai, telah mengangkat sastrawan ini menjadi guru sastra dari puteranya yang bernama Chu Hong. Maka, kuatlah kedudukan Yauw Siucai di istana putera mahkota.

   Dengan cerdik sekali Yauw Lu Ta yang memang mendekati pangeran putera mahkota ini untuk tujuan yang lebih besar, menuntun Pangeran Chu Hui San yang lemah itu sehingga keadaan pangeran itu semakin rusak. Bukan saja bujukan Yauw Siucai membuat dia menjadi semakin menggila dalam mengejar kesenangan sehingga lupa diri, juga Yauw Siucai dengan cerdik menjerumuskan pangeran yang menjadi calon pengganti kaisar itu menjadi seorang pecandu madat!. Yauw Siucai ingin agar kelak yang menjadi kaisar seorang yang lemah, tidak mampu dan yang berada dibawah pengaruhnya sehingga kalau dia mendapatkan kesempatan baik melakukan gerakan, maka pemerintahan di bawah kaisar semacam itu akan mudah dia robohkan dan dia dapat membangun kembali Kerajaan Goan (Mongol) yang pernah jaya!
(Lanjut ke Jilid 07)
Asmara Si Pedang Tumpul (Seri ke 02 - Serial Si Pedang Tumpul)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07
Sore itu udara cerah sekali. Langit tidak ternoda awan, dan biarpun matahari sudah condong jauh ke barat, namun sinarnya masih kuat dan hawa udara cukup gerah karena tidak ada angin bertiup. Dengan langkah lebar dan tegap, Panglima Bhok Cun Ki berjalan mendaki bukit Bambu Naga di luar kota raja. Dia sengaja berjalan kaki, tidak menunggang kuda. Pertama, agar tidak ada orang yang memperhatikannya, dan ke dua agar lebih mudah baginya untuk melihat bahwa tidak ada orang yang membayanginya. Dia tidak ingin anak-anaknya mencampuri urusan pribadinya.

   Tentu saja cerita putera dan puterinya tentang gadis yang berpedang Ular Putih itu seketika mengingatkan dia akan riwayat hidupnya dahulu, ketika dia belum menikah. Dia pernah saling berkenalan dan bersahabat dengan seorang pendekar wanita yang cantik jelita dan lihai dan akhirnya ia dan wanita itu yang bernama Cu Sui In saling jatuh cinta. Dia sendiri seorang pendekar muda Butong-pai di waktu itu, dan gadis itu memang cantik dan pandai, sehingga mereka berdua merupakan pasangan yang serasi dan cocok sekali. Hubungan di antara mereka sudah amat intim dan mesra, bahkan keduanya sudah demikian saling percaya bahwa mereka akan menjadi suami isteri sehingga mereka saling menyerahkan diri.

   Akan tetapi, beberapa hari kemudian, dia mendapat kenyataan bahwa kekasihnya itu adalah puteri See-thian Coa-ong! Bahkan kekasihnya itu di dunia kangouw dikenal dengan julukan Bi-coa Sianli (Dewi Ular Cantik) yang terkenal ganas dan kejam! Melihat kenyataan pahit ini, seketika dia mengambil keputusan untuk memisahkan diri dan meninggalkan Cu Sui In. Tidak mungkin dia sebagai seorang pendekar penentang golongan sesat, menikah dengan seorang puteri datuk sesat! Seluruh dunia kangouw akan mentertawakannya, dan bagaimana dia akan tetap dapat menentang kejahatan kalau beristeri seorang tokoh jahat?

   "Sui In........" Dia menghela napas panjang dan mengeluh dalam hati,

   "kenapa sampai sekarang engkau masih mendendam? Dan kenapa pula tidak datang sendiri mencariku, akan tetapi menyuruh muridmu?"

   Setelah tiba di puncak bukit yang sunyi itu, dia berdiri di puncak yang datar, yang dikelilingi hutan bambu yang lebat. Banyak di situ terdapat bambu yang batangnya seperti tubuh ular naga, maka disebut bambu naga. Biarpun dia tidak melihat bayangan orang, akan tetapi dia merasa bahwa ada orang yang mengintai dan mengamatinya. Oleh karena itu, dia berdiri dengan tegak, kedua kaki terpentang, lalu dia berkata dengan suara yang lantang.

   

Si Pedang Tumpul Eps 4 Si Pedang Tumpul Eps 9 Pedang Sinar Emas Eps 49

Cari Blog Ini