Lembah Selaksa Bunga 13
Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
"Tahan senjata!" dan kini muncullah seorang panglima yang berusia sekitar limapuluh dua tahun, tinggi tetap dengan kumis jenggot pendek rapi dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang panglima besar. Semua panglima dan pejabat yang berada di situ terkejut mengenal bahwa dia adalah Panglima Besar Chang Ku Cing dan bersama panglima ini tampak pula Sim Tek Kun, Ong Lian Hong, Chang Hong Bu dan di belakang mereka tampak ratusan orang perajurit dengan belasan orang perwira tinggi.
"Para pemberontak, kalian sudah terkepung rapat! Menyerahlah atau terpaksa kami akan membasmi kalian semua!"
Para panglima dan pejabat tinggi yang tadinya mendukung pemberontakan, segera melepaskan senjata mereka dan membuangnya sebagai tanda menaluk karena mereka tahu akan percuma saja melakukan perlawanan. Apalagi tadi mereka sudah mendengar ucapan Pangeran Bouw Ji Kong yang jelas menghentikan pemberontakannya, bahkan menentang para wakil dari Mancu, Hui, dan Pek-lian-kauw. Sementara itu, Hwa Hwa Hoat-su, Hongbacu, dan Tarmalan yang melihat betapa tempat itu sudah dikepung ratusan orang perajurit dan di situ terdapat pula pendekar-pendekar muda yang mereka tahu memiliki ilmu kepandaian yang hebat, terutama sekali Hwe-thian Mo-li, mereka merasa bahwa melawan sama saja dengan membunuh diri.
Hwa Hwa Hoat-su yang tampak tenang, tidak seperti wakil suku Hui dan Mancu yang agak pucat, segera membuang senjata tanda takluk. Dia bahkan tersenyum karena dia merasa yakin bahwa Pek-lian-kauw tidak akan membiarkan dia dihukum mati. Melihat Hwa Hwa Hoat-su menyerah, Tarmalan dan Hongbacu juga merasa percuma saja kalau melawan, maka mereka juga menyerah. Demikianlah, para gembong pemberontak itu menyerah tanpa perlawanan. Mereka semua digiring sebagai tawanan dan dijebloskan penjara. Kalau para panglima dan pejabat tinggi menjadi tawanan biasa, adalah tiga orang pimpinan itu, ialah Hwa Hwa Hoat-su, Hongbacu, dan Tarmalan, dimasukan dalam tempat tahanan istimewa.
Pangeran Bouw Ji Kong yang sebelumnya sudah melepaskan pemberontakannya, atas jaminan puteranya, Bouw Cu An dan Ouw-yang Sianjin, oleh Panglima Besar Chang Ku Cing diperbolehkan pulang. Akan tetapi bukan berarti dia bebas dari tuntutan. Panglima besar yang tegas dan adil itu tetap saja akan menuntutnya di depan pengadilan kelak, dan dia harus mempertanggung jawabkan kesalahannya. Malam itu gelap dan sunyi. Seminggu sudah lewat sejak pemberontak-pemberontak itu ditangkapi dan ditahan oleh Panglima besar Chang Ku Cing dengan bantuan yang diatur oleh Pangeran Bouw Ji Kong yang tadinya menjadi pimpinan pemberontak namun kemudian dapat disadarkan oleh puteranya sendiri, Bouw Cu An.
Penduduk kota raja, terutama sekali para pejabat pemerintah dapat bernapas lega setelah tadinya mereka dicekam ketakutan karena adanya banyak pembunuhan terhadap para pejabat tinggi. Para pejabat, juga para penduduk, seolah berpesta atas dibasminya pemberontak. Selama seminggu mereka berpesta dan bergembira ria, dapat tidur nyenyak kalau malam. Malam ini, semua orang tidur setelah seminggu lamanya berpesta dan bersenang-senang. Bahkan para perajurit yang bertugas jaga di istana malam itu lengah karena mereka semua yakin bahwa setelah semua pimpinan pemberontak ditangkap, tidak ada lagi bahaya yang mengancam.
"Siapa berani mengganggu istana?" Malam yang gelap dan sunyi. Setelah lewat tengah malam, tidak ada lagi suara orang di istana. Para petugas jaga juga duduk mengantuk di tempat penjagaan, malas meronda. Apalagi malam itu mendung tebal menutupi langit. Sebuah pun bintang tidak tampak dan udara teramat dingin. Setelah lewat tengah malam, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan di lingkungan istana.
"Kebakaran! Kebakaran!" Teriakan itu berulang-ulang dan segera disambut teriakan banyak orang.
"Kebakaran! Kebakaran!" Anehnya, api yang berkobar dengan asap tebal yang mengepul ke angkasa bukan terjadi di satu tempat saja, melainkan di empat penjuru sekeliling bangunan induk istana! Berkobarnya api susul-menyusul dan seisi istana menjadi gempar.
Semua orang terbangun dan segera berlari-larian, ada yang karena panik berlari-lari kebingungan, akan tetapi sebagian besar lari ke arah kebakaran untuk membantu memadamkan api. Ada yang menggunakan air, ada pula yang menggunakan tongkat panjang. Teriakan mereka semakin menggegerkan seluruh istana. Sesungguhnya empat tempat kebakaran itu tidaklah seberapa besar, akan tetapi karena kegaduhan dan teriakan-teriakan panik itu menimbulkan kegemparan. Semua perajurit pengawal membantu untuk memadamkan api. Tiga tempat yang terbakar tidak begitu sukar dipadamkan, akan tetapi gudang dekat istal di mana terdapat banyak jerami kering dan tumpukan kayu berkobar besar dan agak lama baru dapat dipadamkan.
Sebelum semua kebakaran dapat dipadamkan, Panglima Chang Ku Cing yang menerima laporan, malam itu juga sudah tiba di istana. Juga Sim Tek Kun, Ong Lian Hong, Nyo Siang Lan, dan Chang Hong Bu bermunculan di istana setelah mendengar berita bahwa istana kebakaran. Ouw-yang Cin-jin tidak tampak karena setelah pemberontakan diatasi, dia segera meninggalkan kota raja. Melihat bahwa empat tempat kebakaran itu sudah hampir dapat dipadamkan, tinggal bagian gudang yang masih berkobar, Panglima besar Chang Ku Cing lalu memerintahkan para pendekar muda dan para perwira yang berada di situ untuk tenang.
"Hati-hati, mungkin ini siasat orang jahat. Mari kita cepat memeriksa ke dalam istana!"
Ketika mereka semua memasuki istana, mereka terkejut bukan main. Tidak kurang dari duapuluh orang perajurit pengawal yang bertugas di dalam istana, juga para Thai-kam (sida-sida) menggeletak malang-melintang dalam keadaan tewas! Ada yang tewas tanpa luka, dan ternyata mereka itu ada yang mengisap hawa beracun semacam gas, ada yang terluka dalam karena pukulan sakti, ada yang retak
(Lanjut ke Jilid 13)
Lembah Selaksa Bunga (Seri ke 02 " Serial Iblis dan Bidadari)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 13
kepalanya. Pendeknya mereka semua tewas oleh orang atau orang-orang yang memiliki kesaktian tinggi. Didahului oleh Hwe-thian Mo-li, para pendekar muda cepat berlari ke bagian paling dalam, ke tempat di mana terdapat kamar-kamar pribadi kaisar dan keluarganya.
Panglima Chang Ku Cing yang berlari di samping Siang Lan, menemukan lagi beberapa orang Thai-kam penjaga di bagian itu sudah menggeletak tewas. Padahal, para Thai-kam ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat yang lumayan. Jelas bahwa pembunuhan dilakukan orang-orang yang lihai sekali. Mereka memasuki kamar tidur Kaisar dan melihat beberapa dayang dan pelayan wanita yang menggeletak malang-melintang, akan tetapi mereka itu ternyata hanya tertotok, tidak dibunuh seperti para penjaga. Mungkin karena mereka tidak melakukan perlawanan. Ketika Siang Lan membebaskan totokan mereka, mereka menangis dan mengatakan bahwa Kaisar telah diculik orang!
"Cepat katakan, apa yang telah terjadi!" bentak Panglima Chang Ku Cing, terkejut dan marah sekali mendengar bahwa Kaisar diculik orang. Dengan tubuh dan suara gemetar, seorang pelayan wanita setengah tua sambil berlutut memberi laporan.
"Tadi hamba para dayang dan pelayan terkejut dan terbangun dari tidur ketika mendengar ribut-ribut orang berteriak kebakaran dan sebagian dari para perajurit pengawal berlari keluar. Tiba-tiba hamba melihat beberapa orang Thai-kam penjaga berkelahi melawan seorang bertubuh kurus yang berpakaian serba hitam dan mukanya ditutupi kain. Akan tetapi para Thai-kam itu roboh satu demi satu.
"Orang bertopeng itu lalu memasuki kamar tidur Sri Baginda Kaisar dan keluar lagi sambil memondong Sribaginda. Kami berteriak akan tetapi penjahat itu lalu menepuk kami satu demi satu dan kami tak mampu bergerak lagi. Dia lalu melompat keluar dengan amat cepat seperti terbang. Demikianlah apa yang hamba ketahui, Thai-ciangkun!" Panglima besar Chang Ku Cing cepat memerintahkan para komandan pasukan untuk mengerahkan pasukan masing-masing, melakukan penjagaan di empat penjuru kota raja, memeriksa semua orang-orang keluar masuk melalui pintu-pintu gerbang kota raja dan melakukan penggeledahan ke dalam setiap rumah di kota raja! Juga dia minta bantuan para pendekar muda, yaitu Nyo Siang Lan, Ong Lian Hong, Sim Kun Tek, dan Chang Hong Bu untuk bantu mencari jejak penculik yang melarikan kaisar.
Putera Bouw Ji Kong, pangeran yang memberontak kemudian sadar itu, tidak ikut karena pemuda itu yang merasa terpukul dan malu atas perbuatan ayahnya, setelah pemberontakan gagal dan dia berhasil menyadarkan ayahnya, lalu nekat meninggalkan kota raja dan ikut dengan gurunya, Ouw-yang Sianjin. Bagi Bouw Cu An memang serba salah. Kalau dia tidak membela ayahnya di pengadilan tidaklah pantas karena dia putera tunggal Pangeran Bouw Ji Kong. Kalau membelanya, apanya yang harus dibela karena jelas ayahnya telah melakukan kesalahan besar, yaitu pemberontakan. Maka dia memilih lebih baik pergi dan dia hanya mengharapkan kebijaksanaan Panglima Chang Ku Cing untuk meringankan hukuman terhadap ayahnya yang pada akhirnya menyadari akan kesalahannya dan membantu pemerintah menjebak para pemberontak.
Penjagaan yang dilakukan para komandan dengan pasukan mereka amat ketat. Bukan hanya di pintu gerbang saja diadakan penjagaan dan penggeledahan pada setiap orang yang keluar masuk, akan tetapi juga di sekeliling tembok kota raja diadakan perondaan yang ketat sehingga agaknya tidak mungkin ada orang dapat membawa Kaisar yang terculik keluar dari kota raja! Juga para pendekar muda mencari dengan teliti, akan tetapi sampai beberapa hari lamanya tidak ada jejak ditinggalkan penculik itu. Penculik dan kaisar yang diculiknya bagaikan lenyap ditelan bumi! Ketika Panglima Chang Ku Cing sendiri, ditemani Nyo Siang Lan, mengunjungi gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Ji Kong untuk bertanya kepada pangeran bekas pemberontak itu, mereka disambut wajah duka dari Nyonya Bouw.
"Thai-ciangkun, kami sekeluarga di sini sama sekali tidak tahu apa yang terjadi dengan Sribaginda Kaisar karena suami saya sendiri juga menghilang dan kami tidak tahu ke mana perginya." Panglima Chang Ku Cing mengerutkan alisnya.
"Pangeran Bouw Ji Kong menghilang? Sejak kapan dia menghilang?"
"Sudah tiga hari."
"Tiga hari? Kalau begitu bersamaan waktunya dengan diculiknya Sribaginda Kaisar?"
"Begitulah, Thai-ciangkun. Kami khawatir sekali......"
"Hemmm......!" Panglima Chang Ku Cing tentu saja menjadi curiga dan menduga bahwa tentu terculiknya Kaisar itu merupakan perbuatan pangeran itu pula. Agaknya Nyonya Bouw memaklumi isi hati panglima itu karena ia sambil menangis berkata,
"Thai-ciangkun, mohon jangan curigai suami saya. Sungguh, saya berani bersumpah bahwa suami saya pasti tidak terlibat dalam penculikan Sribaginda Kaisar itu! Suami saya sudah benar-benar menyadari kesalahannya. Ahh, saya bingung sekali, Thai-ciangkun. Kalau saja Cu An berada di sini......" Nyonya itu menangis sedih. Tiga orang wanita pelayan yang berada di situ ikut menangis walaupun tanpa suara melihat nyonya majikan mereka menangis sedih. Terdengar suara batuk-batuk dan ketika Panglima Chang Ku Cing dan Siang Lan menengok, mereka melihat di sudut ruangan itu seorang kakek sedang membersihkan perabot dalam ruangan itu dengan sehelai kain. Melihat panglima itu menoleh kepadanya, kakek yang usianya sudah sekitar tujuhpuluh tahun itu segera membungkuk.
"Mohon maaf, Thai-ciangkun, hamba sekalian para pelayan merasa ikut berduka dengan Hu-jin...... ugh-ugh......" Dia kembali terbatuk-batuk kecil. Panglima Chang Ku Cing memandang kakek itu pernuh perhatian, demikian pula Siang Lan. Kakek yang sudah tua itu bertubuh kurus dan lemah, akan tetapi bekerja dengan teliti, dan sikapnya menghormat.
"Bouw Hujin, siapakah dia?" tanya Panglima Chang kepada Nyonya rumah sambil menunjuk ke arah kakek itu.
"Dia itu Kakek A-kui, pelayan kami yang setia," jawab Nyonya Bouw lirih namun suaranya jelas mendukung sehingga kecurigaan panglima itu dan Siang Lan lenyap.
"Apakah tidak ada tanda-tanda akan hilangnya Pangeran Bouw? Apakah sebelumnya dia mengatakan sesuatu kepadamu?"
"Tidak ada yang aneh, Chang Thai-ciangkun. Semua biasa-biasa saja dan tiba-tiba, ketika saya bangun pagi, dia sudah lenyap dan tidak ada yang tahu ke mana dia pergi, sampai sekarang tidak ada beritanya. Akan tetapi sekali lagi, mohon jangan menyangka bahwa dia terlibat dengan terculiknya Sribaginda Kaisar, Thai-ciangkun. Saya yakin bahwa dia tidak bersalah......" Panglima Chang yang tadinya mencurigai pangeran Bouw Ji Kong, percaya kepada nyonya itu.
Pula, apa perlunya Pangeran Bouw melakukan penculikan terhadap kaisar setelah dia sadar akan kesalahannya, bahkan telah membantu pemerintah membasmi para pemberontak? Kalau dia melakukannya, sama sekali tidak ada untungnya baginya, yang ada hanya kerugian besar karena selain dia menjadi buronan dan kalau tertangkap akan dihukum berat, juga keluarganya akan ikut menderita karena dihukum. Bukan, pasti bukan Pangeran Bouw Ji Kong yang melakukannya atau yang mendalangi diculiknya kaisar. Panglima Chang dan Siang Lan pamit dan pergi. Setelah mereka pergi, Nyonya Bouw Ji Kong menjatuhkan diri di atas kursinya dan menangis. Tiga orang pelayan wanita itu mencoba menghiburnya. Kakek A-kui, pelayan tua itu, berkata lirih.
"Bagus, Hujin. Sikap dan tindakan Hujin tepat dan bagus sekali." Setelah berkata demikian, karena semua perabot di situ sudah dibersihkannya, dia meninggalkan ruangan tamu untuk bekerja di ruangan lain. Biarpun Panglima Chang Ku Cing sudah melarang mereka yang berada dalam istana agar jangan menceritakan tentang terculiknya kaisar, tetap saja berita itu bocor dan membuat rakyat menjadi gempar, khawatir dan ketakutan.
Hal ini dapat dirasakan ketika Panglima Chang dan Siang Lan berjalan keluar dari gedung Pangeran Bouw. Di jalan raya dia melihat sikap rakyat yang rata-rata berwajah muram dan gelisah. Dia tidak dapat menyalahkan siapa-siapa karena berita seperti itu tentu segera tersiar, bahkan mungkin sampai jauh di luar kota raja. Kaisar diculik orang! Berita ini tentu amat mengguncangkan hati rakyat. Mengingat belum diperolehnya hasil dari semua penjagaan ketat dan pencarian yang amat teliti, wajah Panglima Chang Ku Cing menjadi murung. Biarpun pencarian terhadap kaisar yang hilang itu menjadi tanggung jawab semua pejabat, namun dia merupakan pucuk pimpinan sehingga di tangannyalah terletak pertanggungan jawab itu.
"Paman Bu-beng-cu......!" Tiba-tiba Siang Lan berseru girang ketika seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh dua tahun, bertubuh sedang, wajahnya bersih dan tampan, sepasang matanya mencorong namun senyumnya penuh kelembutan, berada di depannya. Laki-laki itu adalah Bu-beng-cu, yang menggembleng Siang Lan dengan ilmu-ilmu yang lihai. Panglima Chang Ku Cing memandang penuh perhatian dan Siang Lan segera memperkenalkan.
"Paman, ini adalah Panglima Chang Ku Cing! Paman Chang ini adalah Paman Bu-beng-cu yang membimbing saya untuk memperdalam ilmu silat." Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama) segera memberi hormat kepada panglima yang sudah lama dia kenal namanya dan amat dikaguminya itu. Panglima Chang membalas penghormatan itu.
"Paman Panglima, kebetulan sekali paman Bu-beng-cu berada di sini. Kalau dia membantu kita, tentu lebih besar harapan kita untuk dapat menemukan Sribaginda Kaisar!" Panglima Chang menatap wajah Bu-beng-cu penuh perhatian.
"Saudara Bu-beng-cu, apakah engkau sudah mendengar peristiwa itu?"
"Tentang hilangnya Sribaginda Kaisar? Saya sudah mendengarnya, Thai-ciangkun. Justeru karena itulah saya berada di sini karena saya tahu bahwa Nona Nyo Siang Lan ini pasti sedang sibuk untuk ikut mencari. Saya ingin membantunya sedapat mungkin."
"Bagus! Marilah ikut dengan kami dan di sana kita bicarakan bersama apa yang harus kita lakukan."
"Maaf, Thai-ciangkun. Saya lebih suka bekerja sendiri karena dengan cara diam-diam si penculik tidak akan mengenal saya dan tidak akan tahu bahwa saya juga ikut mencari Sribaginda. Saya akan minta penjelasan dari Hwe-thian Mo-li saja." Panglima Chang mengangguk-angguk setelah dia memandang Siang Lan dan melihat gadis itu mengangguk kepadanya.
"Hemm, kami kira gagasan itu baik sekali. Selama ini kami mencari beramai-ramai dan tentu saja si penculik, kalau memang dia masih berada di dalam kota raja, akan mudah melihat gerak gerik kami. Baiklah, kalau begitu, engkau yang memberi keterangan kepadanya, Siang Lan. Aku akan mengadakan rapat dengan para perwira pembantuku." Panglima itu lalu meninggalkan mereka berdua.
Siang Lan merasa gembira bukan main melihat Bu-beng-cu muncul di kota raja. Semua kekecewaan dan kemurungannya karena tidak berhasil menemukan kaisar yang diculik orang, lenyap terganti harapan dan kegembiraan. Diam-diam ia merasakan perubahan pada perasaannya ini dan kembali hampir merasa yakin bahwa sesungguhnya ia telah jatuh cinta kepada orang yang selama ini bersikap demikian baik, membelanya dan bahkan mau menggemblengnya dengan sungguh-sungguh agar ia kelak dapat membalas dendamnya kepada musuh besarnya yaitu Thian-te Mo-ong!
"Paman, mari kucarikan tempat menginap untukmu."
"Tadi begitu memasuki kota saja aku langsung mencari rumah penginapan dan sudah menyewa sebuah kamar di rumah penginapan Hok An di ujung selatan kota, Siang Lan," kata Bu-beng-cu.
"Kalau begitu, mari kita ke sana dan kita bicara di sana agar lebih leluasa, Paman."
Mereka berdua lalu pergi ke rumah penginapan yang tidak berapa besar itu. Bu-beng-cu membuka pintu kamarnya dan membiarkan pintu itu terbuka lebar sehingga tidak akan tampak janggal atau tidak sopan kalau seorang gadis seperti Siang Lan memasuki kamarnya. Melihat daun pintu dibuka lebar sehingga tampak dari luar, Siang Lan juga tidak ragu ragu lagi memasuki kamar itu bersama Bu-beng-cu. Di atas meja terdapat buntalan pakaian dan juga segulung kain seperti sebuah lukisan. Karena ingin tahu, Siang Lan menghampiri meja.
"Ini lukisan apakah, Paman?" Ia merasa heran sekali karena tiba-tiba laki-laki itu menyambar gulungan lukisan itu dan melemparkannya ke atas pembaringannya.
"Jangan, Siang Lan. Gambar itu tidak kuperlihatkan kepada orang lain!" Siang Lan menjadi penasaran. Aneh, sebuah lukisan saja mengapa dirahasiakan?
"Aih, lukisan apakah itu maka aku tidak boleh melihatnya, Paman?"
"Lukisan...... seorang wanita!" Siang Lan merasa seolah-olah ada batu besar menghimpit hatinya dan ia merasa betapa mukanya menjadi panas. Hatinya merasa tidak enak sekali.
"Seorang perempuan, Paman?" tanya Siang Lan sambil mengerling ke arah gulungan kain bergambar itu.
"Akan tetapi paman pernah bilang bahwa Paman tidak mempunyai isteri, tidak mempunyai keluarga. Apakah itu gambar isteri paman?" Bu-beng-cu menggelengkan kepalanya.
"Bukan, aku belum pernah beristeri." Kembali Siang Lan merasakan suatu perasaan lega yang baginya kini tidak aneh lagi karena ia hampir yakin bahwa ia sesungguhnya mencinta laki-laki ini dan tentu saja merasa cemburu.
"Lalu siapakah yang berada di gambar Paman? Kalau gambarnya Paman bawa ke mana-mana, tentu ia seorang yang...... penting bagimu."
"Ya...... ia memang seorang yang amat penting bagiku."
"Siapakah ia, Paman?" Siang Lan bertanya penuh ingin tahu, akan tetapi ia menyadari bahwa tidak sepantasnya ia mendesak karena hal itu sama saja dengan memperlihatkan kecemburuannya, maka cepat-cepat disambungnya.
"Ah, sudahlah, kalau engkau tidak ingin mengatakan dan ingin merahasiakannya dariku, Paman."
"Siang Lan, lebih baik sekarang kauceritakan yang jelas tentang penculikan atas diri Sribaginda Kaisar itu." Siang Lan teringat akan tugasnya, lalu ia menceritakan tentang kebakaran di istana sehingga menggegerkan seisi istana lalu setelah api dapat diatasi ternyata para pengawal dalam istana dan seberapa orang Thai-kam terbunuh dan Sribaginda Kaisar lenyap.
"Menurut para pelayan wanita yang pingsan, mereka hanya melihat seorang berpakaian serba hitam dengan muka tertutup kain, bertubuh tinggi kurus, menculik kaisar dan seperti terbang meninggalkan istana."
"Bagaimana ciri-ciri para perajurit yang terbunuh?"
"Pada mayat-mayat itu tampak bekas tangan seorang yang memiliki kesaktian tinggi. Mereka semua tewas tanpa luka senjata tajam, agaknya semua terbunuh oleh pukulan jarak jauh yang amat kuat."
"Mungkinkah penculik itu membawa lari kaisar ke luar kota raja?"
"Agaknya tidak mungkin, Paman, karena selain penjagaan di pintu gerbang ketat, malam itu juga Panglima Chang memerintahkan para komandan untuk mengerahkan pasukannya melakukan penjagaan dan perondaan sehingga betapa pun tinggi ilmu kepandaian penculik itu, rasanya tidak mungkin kalau dia dapat membawa Kaisar keluar dari kota raja."
"Dan apakah ada tanda-tanda berapa kiranya jumlah mereka dan apakah meninggalkan tanda bahwa mereka itu terdiri dari pria atau wanita?"
"Menurut pelayan istana, penculik itu hanya seorang saja. Akan tetapi mereka tidak dapat mengatakan apakah penculik itu pria atau wanita karena memakai pakaian hitam dan penutup muka hitam, tubuhnya kurus, mungkin pria dan mungkin juga wanita."
"Hemm, kalau dia dapat melakukan pembakaran di empat penjuru lalu melakukan penculikan, membunuh banyak perajurit, jelas dia memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan tentu dia mengenal keadaan dalam istana. Jadi menurut pendapat Panglima Chang dan pendapatmu, penculik itu masih berada di dalam kota raja dan menyembunyikan Sribaginda Kaisar di suatu tempat?"
"Kami memang mengira demikian, Paman. Akan tetapi selama tiga hari ini kami menggeledah hampir semua rumah dan hasilnya nihil. Kami tidak menemukan jejak penculik itu. Sribaginda Kaisar seolah lenyap ditelan bumi. Kami khawatir sekali kalau-kalau, entah dengan cara bagaimana, penculik itu berhasil membawa Kaisar keluar dari kota raja. Kalau benar demikian, maka akan sulit untuk dilacak." Bu-beng-cu mengerutkan alisnya dan berpikir sejenak, kemudian menggelengkan kepalanya.
"Aku kira dia belum membawa Kaisar keluar dari kota, Siang Lan. Resikonya ketahuan besar sekali kalau dia melakukan hal itu. Tentu dia mempunyai tempat persembunyian rahasia yang amat baik dan sukar ditemukan. Dan aku hampir yakin orang itu menyamar seperti orang biasa sehingga tidak dicurigai.
"Dan agaknya dia melakukan pekerjaan amat berbahaya bagi dirinya itu sudah pasti dia mempunyai pamrih. menculik dan membunuh Kaisar sekalipun, apa untungnya bagi dia? Tentu ada apa-apanya di balik perbuatannya yang nekat ini. Bagaimana dengan Pangeran Bouw Ji Kong? Apakah Panglima Chang tidak mencurigainya?"
"Inilah yang aneh, Paman. Panglima Chang dan aku memang mencurigainya karena dia merupakan bekas pemberontak yang menunggu diadili. Kami pergi ke sana dan apa yang kami temukan? Keluarganya menangis dan mengatakan bahwa Pangeran Bouw lenyap pada saat terjadinya penculikan terhadap Kaisar itu."
"Hemm, mencurigakan sekali! Pasti ada hubungannya antara terculiknya Kaisar dan hilangnya Pangeran Bouw!" kata Bu-beng-cu.
"Kami juga berpikir demikian, akan tetapi Nyonya Bouw merasa yakin bahwa suaminya tidak terlibat dalam penculikan itu dan wanita itu tampak khawatir sekali. Entah ke mana hilangnya Pangeran Bouw, Paman, diliputi rahasia seperti juga terculiknya Kaisar."
"Hemm, aku juga berpendapat bahwa Kaisar tentu disembunyikan di suatu tempat dalam kota raja. Sekarang kita berbagi tugas. Sebaiknya engkau menyelidiki ke gedung Pangeran Bouw......"
"Akan tetapi panglima Chang dan aku sudah ke sana tadi, Paman."
"Maksudku, kau datangi tempat itu malam ini secara rahasia. Kau tadi mengatakan bahwa Nyonya Bouw tampak khawatir atau ketakutan, mungkin ia berbohong atau karena tertekan dan terancam maka ia terpaksa berbohong. Selidiki malam nanti, siapa tahu akan ada kebocoran kalau keluarga itu menyimpan rahasia. Sedangkan aku sendiri, tolong mintakan surat dari panglima Chang untukku agar aku dapat memasuki tempat di mana mereka ditawan. Aku akan menanyai mereka dan aku punya cara untuk memaksa mereka mengaku kalau mereka tersangkut dan mengetahui akan penculikan ini."
"Baiklah, Paman. Sekarang juga akan kumintakan surat itu. Paman tunggu saja di sini, sehingga sebentar akan kuantarkan ke sini." Siang Lan lalu pergi ke kantor Panglima Chang dan segera mendapatkan surat yang diinginkan Bu-beng-cu, kemudian menyerahkan surat itu kepada Bu-beng-cu yang menanti di rumah penginapan Hok An.
Bu-beng-cu menanti sampai malam tiba, baru dia pergi ke penjara di mana Hwa Hwa Hoat-su ditahan. Dia tidak ingin mengunjungi para tawanan lain seperti Kang-lam Jit-sian bekas pengawal Pangeran Bouw yang juga ditawan, atau Hongbacu tokoh Mancu dan Tarmalan dukun suku Hui. Dia menduga bahwa kalau ada kawan-kawan dari para pemberontak yang menculik kaisar, tentu datang dari golongan Pek-lian-kauw yang memiliki banyak orang sakti. Maka dia sengaja malam itu mengunjungi Hwa Hwa Hoat-su. Karena berbekal surat perintah Panglima besar Chang Ku Cing, dengan mudah saja tanpa dihalangi Bu-beng-cu dapat memasuki penjara dan langsung menuju ke kamar tahanan Hwa Hwa Hoat-su yang kokoh kuat. Atas permintaannya, para perajurit penjaga menjauhkan diri dan tidak ada yang dapat melihat atau mendengarkan percakapannya dengan Hwa Hwa Hoat-su.
Hwa Hwa Hoat-su sedang duduk bersamadhi dalam kamar tahanan itu. Sebuah lampu yang cukup terang tergantung dalam kamar yang tidak memiliki perabotan lain kecuali sebuah bangku panjang yang menjadi tempat duduk dan tempat tidur. Dindingnya tebal dan dilapisi baja, bagian depannya merupakan jeruji baja yang sebesar lengan orang, amat kokoh. Biasanya, di depan kamar tahanan ini masih terdapat lima orang perajurit jaga yang menjaga secara bergiliran, siap dengan senjata tombak dan panah. Akan tetapi malam ini, para penjaga itu pun menjauhkan diri atas permintaan Bu-beng-cu. Suara terbukanya pintu membuat Hwa Hwa Hoat-su membuka mata dan memandang ke arah pintu. Pintu kamar tahanannya terbuka dan di ambang pintu tampak seorang laki-laki yang dengan sinar mata mencorong menatapnya.
Mula-mula Hwa Hwa Hoat-su merasa girang sekali karena dia mengira bahwa tentu Pek-lian-kauw telah mengirim seseorang untuk membebaskannya dari tahanan. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya karena tidak mengenal laki-laki itu. Bagaimanapun dia melihat kesempatan meloloskan diri. Kalau yang datang ini bukan kawan yang hendak membebaskannya, mudah saja baginya untuk membunuhnya dan menggunakan kesempatan selagi kamar tahanan terbuka dan tidak tampak ada penjaga, untuk melarikan diri. Maka dia cepat melompat turun dari atas bangku panjang dan kini berdiri berhadapan dengan Bu-beng-cu yang sudah melangkah masuk. Sejenak kedua orang ini saling berpandangan dan Bu-beng-cu berkata tenang.
"Hwa Hwa Hoat-su, apakah keadaanmu baik-baik saja di tempat ini?" Hwa Hwa Hoat-su memandang penuh selidik, lalu bertanya.
"Siapakah engkau dan apa perlumu memasuki kamar tahanan ini?"
"Siapa adanya aku tidaklah penting, Hwa Hwa Hoat-su. Aku datang mewakili panglima besar Chang Ku Cing dan minta agar engkau mau berterus terang mengaku siapa yang melakukan penculikan atas diri Sribaginda Kaisar!" Sepasang mata Hwa Hwa Hoat-su, terbelalak, lalu dia tertawa bergelak.
"Kaisar diculik? Ha-ha-ha-ha! Bagus, bagus sekali!"
"Hwa Hwa Hoat-su, dengarlah baik-baik. Kalau penculikan itu dilakukan seorang temanmu, hal itu sama sekali tidak menguntungkan engkau atau Pek-lian-kauw. Seratus orang kaisar boleh kalian culik dan binasakan, akan tetapi seratus orang kaisar lain akan bermunculan dan pemerintah Kerajaan Beng akan masih tetap berdiri teguh. Akibatnya, engkau dan teman-temanmu tidak mungkin akan mendapatkan pengampunan lagi, bahkan pemerintah pasti akan berusaha keras untuk membasmi Pek-lian-kauw. Karena itu, katakan saja siapa yang telah menculik Sribaginda Kaisar!"
"Ha-ha-ha, orang macam engkau dapat memaksa aku mengaku?" Tiba-tiba tokoh Pek-lian-kauw itu menyerang dengan dorongan kedua telapak tangannya.
Sejak tadi dia memang diam-diam sudah mengumpulkan sin-kang (tenaga sakti) dan kini dia bermaksud sekali serang membuat orang di depannya itu tewas agar dia dapat melarikan diri keluar dari tempat tahanan. Angin bagaikan badai menyambar ketika dia menyerang Bu-beng-cu dengan pukulan jarak jauh yang dahsyat itu. Akan tetapi tentu saja Bu-beng-cu bukan seorang yang bodoh dan lengah. Sejak semula dia sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang yang selain lihai, juga terkenal licik. Maka sejak masuk kamar tahanan itu, dia sudah membekali dirinya dengan pengerahan sin-kang. Maka begitu lawan menyerang, dia sudah siap dan dia pun mendorongkan kedua telapak tangannya menyambut serangan dahsyat itu.
"Syuuuuttt...... blaarrrr......!" Tubuh Hwa Hwa Hoat-su terlempar ke belakang dan membentur dinding lalu terjatuh. Dia terbelalak dan cepat bangkit berdiri, heran dan terkejut bukan main. Dipandangnya lawannya. Hanya seorang laki-laki yang belum tua benar, baru sekitar empatpuluh dua tahun usianya, akan tetapi bagaimana mungkin dia bukan hanya mampu menandingi tenaga saktinya, bahkan membuat dia terlempar? Kemudian teringatlah Hwa Hwa Hoat-su.
"Keparat! Kiranya engkau yang dulu membantu dan melindungi Hwe-thian Mo-li!" Dia merasa penasaran sekali dan menyesal bahwa kedua senjatanya, yaitu pedang dan kebutan putih, telah dirampas sehingga dia tidak dapat menggunakan senjata untuk melawan orang yang dia tahu amat tangguh ini.
"Siapakah engkau?" Bu-beng-cu tersenyum.
"Hwa Hwa Hoat-su, bukan baru sekali itu saja kita bertemu. Lupakah engkau ketika sekitar enam-tujuh tahun yang lalu kita saling bertemu di See-ouw dan ketika itu engkau tidak kubunuh dan kubebaskan setelah engkau bersumpah untuk tidak melakukan kejahatan lagi?" Tiba-tiba wajah Hwa Hwa Hoat-su yang biasanya pucat itu menjadi semakin pucat sehingga kehijauan dan sinar matanya menjadi redup kehilangan semangat.
"Kau...... kau...... Thai-lek-sian (Dewa bertenaga besar) Sie Bun Liong?" Sie Bun Liong atau Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama) mengangguk.
"Sekarang terserah kepadamu, Hwa Hwa Hoat-su. Kaukatakan siapa penculik Sribaginda Kaisar dan aku tidak akan mengganggumu, atau kalau engkau tidak mau mengaku, terpaksa aku tidak akan mengampunimu lagi."
Terbayanglah dalam benak Hwa Hwa Hoat-su akan peristiwa enam tahun lebih yang lalu. Ketika itu dia atas nama Pek-lian-kauw bersama belasan orang anak buahnya mengadakan kegiatan di sekitar See-ouw (Telaga barat), seperti biasa membujuk rakyat untuk mendukung gerakan Pek-lian-kauw, lalu minta kepada rakyat di dusun-dusun untuk menyerahkan sumbangan untuk biaya "perjuangan". Mereka yang membantah atau tidak menaati lalu disiksa, bahkan ada yang ibunuh. Pada waktu itu, Sie Bu Liong yang mendengar akan hal ini, apalagi mendengar betapa beberapa orang pendekar yang mencoba menentang Hwa Hwa Hoat-su semua dikalahkan datuk Pek-lian-kauw itu, segera datang ke tempat itu. Dia mengobrak-abrik semua anak buah Pek-lian-kauw dan akhirnya bertanding dengan Hwa Hwa Hoat-su.
Akhirnya Hwa Hwa Hoat-su roboh dan dia tertotok dengan Ilmu Penghancur Tulang yang membuat dia menderita kesakitan yang amat hebat. Seluruh isi tubuhnya seperti ditusuk-tusuk pisau, nyeri, panas dan pedih yang hampir tak tertahankan. Celakanya, dia tidak pingsan atau tewas sehingga siksaan itu membuat dia mohon ampun dan bersumpah untuk tidak melakukan kejahatan lagi. Demikianlah kenangan itu dan kini kembali dia berhadapan dengan Thai-lek-sian Sie Bun Liong yang tadi sudah membuktikan bahwa tingkat kepandaian pendekar itu masih tetap lebih tinggi daripada tingkatnya. Dia merasa ngeri sekali.
"Thai-lek-sian, aku tidak mungkin dapat memenuhi permintaanmu, lebih baik kau bunuh saja aku!" katanya. Bu-beng-cu menggelengkan kepala.
"Kalau engkau tidak mau mengaku, terpaksa aku akan memukulmu dengan Ilmu Penghancur Tulang lalu meninggalkanmu di sini. Engkau akan tersiksa selama empatpuluh hari baru akan mati." Ancaman itu membuat Hwa Hwa Hoat-su mati kutu. Dia merasa ngeri sekali dan akhirnya dia mengaku setelah menghela napas berulang-ulang.
"Biarpun aku sendiri tidak dapat membuktikan, namun aku yakin bahwa satu-satunya orang yang mampu melakukan penculikan terhadap Kaisar, kalau orang itu dari Pek-lian-kauw, adalah suhengku (kakak seperguruanku) Cui-beng Kui-ong (Raja Setan Pengejar Arwah). Dialah yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di antara kami."
"Hemm, bagus engkau mau mengaku. Sekarang katakan di mana dia berada dan di mana pula dia menyembunyikan Sribaginda Kaisar!" Hwa Hwa Hoat-su menggelengkan kepalanya.
"Thai-lek-sian, aku telah tertawan dan ditahan di sini, sama sekali tidak mendapatkan hubungan luar penjara. Bagaimana aku dapat mengetahui di mana dia berada dan di mana pula Kaisar disembunyikan? Tadinya pun aku hanya menduga saja bahwa Suhengku yang melakukannya. Biar engkau paksa bagaimana pun, mana mungkin aku dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya?"
Bu-beng-cu berpikir sejenak. Alasan Hwa Hwa Hoat-su ini tak dapat disangkal kebenarannya. Bagaimana dia bisa tahu kalau dia berada dalam tahanan? Tentu sebelum dia tertawan, tidak ada rencana untuk menculik kaisar karena Pek-lian-kauw tadinya hanya mendukung dan membantu pemberontakan Pangeran Bouw Ji Kong! Pangeran Bouw! Agaknya dia mengetahui akan rahasia ini maka dia menghilang! Mudah-mudahan Siang Lan dapat menemukan sesuatu, demikian Bu-beng-cu berpikir.
"Baiklah, Hwa Hwa Hoat-su. Aku percaya keteranganmu!" Setelah berkata demikian, Bu-beng-cu keluar dari kamar itu dan mengunci lagi pintu tahanan lalu memanggil para penjaga. Dia pun keluar dari penjara itu.
Bagaimanapun juga, dia tidak gagal sama sekali. Dia dapat mengetahui siapa kiranya yang menculik kaisar. Cui-beng Kui-ong, datuk terbesar Pek-lian-kauw. Dia belum pernah bertemu dengan datuk itu, akan tetapi pernah mendengar kebesaran namanya dan kehebatan ilmu kepandaiannya. Dia harus segera lapor kepada Panglima Chang Ku Cing. Dia kembali ke rumah penginapan menanti datangnya pagi. Dia akan menanti sampai Siang Lan datang berkunjung, baru bersama gadis itu akan mengunjungi panglima Chang. Malam itu, sesuai dengan hasil perundingan dengan Bu-beng-cu, Siang Lan mengunjungi gedung Pangeran Bouw Ji Kong. Ia menanti sampai lewat tengah malam. Setelah suasana amat sepi ia melompati pagar tembok gedung yang mewah seperti istana itu, lalu dengan gerakan ringan ia melompat ke wuwungan rumah.
Ia mulai mengintai dari atas genteng, berpindah-pindah, mendengarkan mereka yang masih belum tidur bicara. Akan tetapi ia hanya dapat mendengar mereka yang sedang melakukan penjagaan saja, dan para penjaga itu tidak membicarakan sesuatu yang penting mengenai Pangeran Bouw Ji Kong, juga tidak ada yang bicara tentang hilangnya kaisar yang terculik orang. Sampai menjelang fajar ia menyelidiki namun tidak berhasil menemukan sesuatu yang penting. Ketika ia mengambil keputusan untuk meninggalkan atap gedung itu, tiba-tiba ia mendengar suara wanita menangis. Cepat ia melayang turun dan menghampiri kamar dari mana terdengar suara tangis itu. Cuaca masih gelap sehingga ia dapat bersembunyi di balik jendela, melubangi daun jendela dan mengintai ke dalam kamar.
Ia melihat Nyonya Bouw, isteri pangeran Bouw Ji Kong sedang duduk di kursi dan menangis tersedu-sedu. Ia merasa tertarik sekali. Pasti nyonya ini mengetahui sesuatu, mungkin mengetahui di mana suaminya berada dan mengapa suaminya menghilang. Ia ingin masuk dan mendesak agar nyonya itu mau mengaku. Akan tetapi ia menahan gerakannya karena tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dengan suara keras, agaknya didorong dari luar dan masuklah seorang kakek tua yang kurus berpakaian pelayan. Kakek tua itu adalah kakek pelayan yang pernah ia lihat dan menurut Nyonya Bouw bernama A-kui, seorang kakek yang tampak lemah. Akan tetapi sekarang ia sama sekali tidak tampak sebagai pelayan yang taat dan lembut karena ia membentak dengan suara bengis.
"Sudah berapa kali aku melarang engkau menangis! Apa kau ingin melihat kepala suamimu kupenggal dan kubawa di depanmu?" Wanita itu menahan jeritnya dan ia meratap.
"Ampuni aku...... ampuni suamiku...... ah, jangan bunuh suamiku......!"
"Kalau begitu, diam dan jangan menangis. Sekali lagi aku mendengar engkau menangis, kepala suamimu akan kulempar di depan kakimu!"
Setelah berkata demikian,
"pelayan" itu keluar dari kamar meninggalkan Nyonya Bouw yang menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menyembunyikan mukanya di bantal untuk menahan suara tangisnya. Cepat sekali Siang Lan lalu melompat dan memasuki kamar itu melalui pintu yang terbuka tanpa mengeluarkan suara. Ia menepuk tengkuk Nyonya Bouw sehingga wanita itu terkejut dan mengangkat mukanya memandang Siang Lan akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara karena Siang Lan telah menotoknya. Ia memberi isyarat agar wanita itu tidak terkejut dan mengeluarkan suara, kemudian setelah membantu wanita itu duduk, ia membebaskan totokannya dan berkata lirih.
"Bouw Hujin, cepat katakan di mana suamimu berada?"
Dengan tubuh gemetar nyonya itu menuding ke arah bagian belakang rumah.
"Di ruangan bawah tanah...... ruangan rahasia suamiku......"
"Di mana letaknya?"
"Di kamar suamiku, dua pintu dari sini...... akan tetapi ruangan itu tersembunyi...... putar arca singa di sudut kamar dan ada pintu rahasia di belakang almari terbuka......"
"Jangan khawatir, aku akan menolong suamimu. Apakah Sribaginda Kaisar juga berada di situ?"
Wanita itu mengangguk dan Siang Lan segera meninggalkan kamar itu. Hatinya berdebar tegang karena selain merasa girang sekali telah menemukan di mana Kaisar disembunyikan, juga amat khawatir akan keselamatan Sribaginda Kaisar. Ia segera mencari kamar Pangeran Bouw Ji Kong seperti yang ditunjukkan Nyonya Bouw tadi dan mudah saja menemukan kamar yang besar itu. Melihat pintunya saja sudah lain karena pintunya terhias ukir-ukiran indah. Akan tetapi tiba-tiba daun pintu itu terbuka dari dalam. Secepat kilat Siang Lan menyusup ke belakang pot tanaman yang besar dan bersembunyi sambil mengintai. Ia melihat kakek kurus tadi memegang sapu dan di pundaknya tersampir sehelai kain yang biasa dipergunakan untuk membersihkan perabotan rumah. Kakek itu berjalan dengan langkah terseok lemah menuju ke bagian depan sambil menyeret sapunya.
"Jahanam busuk!" Siang Lan mengutu dalam hatinya. Siapa dapat menyangka kakek yang tampak seperti seorang pelayan tua lemah itu yang telah menculik kaisar, bahkan telah menyekap Pangeran Bouw Ji Kong ke dalam ruangan bawah tanah! Kalau menurutkan kemarahannya, ingin Siang Lan langsung menyerangnya. Akan tetapi ia bukan seorang gadis yang bodoh. Sebelum menghajar penculik itu, ia harus lebih dulu melihat keadaan kaisar dan menolongnya. Menyelamatkan Sribaginda Kaisar harus didahulukan dan ini lebih penting daripada menghajar penculik itu. Maka ia diam saja sampai kakek itu memasuki ruangan lain yang cukup jauh dan tidak tampak lagi. Baru ia memasuki kamar tidur Pangeran Bouw.
Mudah saja menemukan arca singa di atas meja di sudut kamar. Cepat didekati meja itu lalu diputarnya arca itu. Terdengar bunyi berderit perlahan dan sebuah almari yang menempel pada dinding tiba-tiba bergerak dan bergeser. Di belakang almari itu kini terbuka pintu menuju tangga ke bawah! Dengan jantung berdebar tegang namun penuh kewaspadaan Siang Lan menuruni tangga itu. Setelah tiba di bawah ia memasuki lorong dan tiba di sebuah ruangan bawah tanah. Dilihatnya Sribaginda Kaisar dan Pangeran Bouw Ji Kong duduk di atas lantai dalam keadaan terikat kaki tangan mereka. Mereka berdua tampak pucat namun dalam keadaan sehat dan masih hidup!
"Yang Mulia!" Siang Lan berseru dengan gembira dan terharu. Cepat ia melepaskan ikatan kaki tangan kaisar, lalu melepaskan pula ikatan kaki tangan Pangeran Bouw karena kini ia yakin bahwa pangeran itu tidak bersalah dalam hal penculikan kaisar, bahkan dia sendiri juga ditawan. Sementara itu, setelah Siang Lan meninggalkannya, Nyonya Bouw Ji Kong menjadi khawatir sekali. Ia lalu menyelinap keluar gedung melalui pintu belakang, membangunkan kusir dan memerintahkan kusir cepat menyiapkan kereta. Kemudian, Nyonya ini menunggang kereta dan minta kusirnya membalapkan kereta keluar halaman gedung.
"Bawa aku cepat ke rumah Panglima Chang Ku Cing!" perintahnya dengan tubuh dan suara gemetar. Para pelayan yang terbangun tidak ada yang berani bertanya dan kusir itu biarpun menjadi keheranan tidak berani bertanya pula.
Setelah tiba di pintu gerbang halaman gedung Panglima Chang, para penjaga menghentikan kereta itu. Akan tetapi mereka mengenal Nyonya Bouw dan ketika wanita itu mengatakan hendak menghadap Panglima Chang karena urusan penting sekali mereka membuka jalan. Pada waktu itu, hari masih pagi sekali. Akan tetapi sepagi itu, Panglima Chang Ku Cing sudah bangun dan bahkan pada saat itu sudah menerima seorang pengunjung yang diterima di kamar tamunya. Pengunjung itu bukan lain adalah Bu-beng-cu. Seperti kita ketahui, Bu-beng-cu berhasil memaksa Hwa Hwa Hoat-su mengaku bahwa mungkin sekali yang menculik kaisar adalah seorang datuk Pek-lian-kauw bernama julukan Cui-beng Kui-ong, akan tetapi Hwa Hwa Hoat-su tidak tahu di mana datuk itu menyembuyikan kaisar.
Bu-beng-cu menceritakan kepada Panglima Chang betapa lihai dan berbahayanya datuk berjuluk Cui-beng Kui-ong itu. Dia juga menceritakan bahwa dia berbagi tugas dengan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan yang kini menyelidiki gedung Pangeran Bouw. Tiba-tiba percakapan mereka terhenti ketika seorang pengawal melaporkan bahwa Nyonya Bouw datang berkunjung. Ketika wanita itu diijinkan masuk, ia lari memasuki ruangan tamu dan menjatuhkan diri di atas lantai sambil terengah-engah dan tubuhnya menggigil saking tegang dan takutnya. Panglima Chang segera menghampiri dan membantu nyonya itu bangkit dan dipersilakan duduk.
Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bouw Hujin, apakah yang terjadi......?" tanyanya.
"Celaka, Chang Thai-ciangkun...... celaka......" Nyonya Bouw bicara gemetar dan bercampur tangis.
"...... suamiku...... Sribaginda Kaisar...... mereka...... mereka ditawan......" Wanita itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena tangisnya mengguguk. Panglima Chang berkata penuh wibawa.
"Tenanglah, Nyonya. Katakan, di mana Sribaginda Kaisar ditahan? Dan oleh siapa?"
"Yang menculik Sribaginda...... dan menawan suamiku...... dia adalah...... pelayan kami...... kakek A-kui...... mereka ditawan dalam ruangan bawah tanah...... di bawah...... kamar suamiku......" suaranya semakin lemah dan nyonya itu mengerahkan seluruh kekuatannya untuk terus memberi keterangan.
"...... tadi...... tadi...... ada seorang nona...... ia hendak menolong...... akan tetapi...... ahh, saya...... saya...... khawatir sekali......" Ia pun terkulai lemas dan pingsan!
"Thai-ciangkun, saya pergi menyusul Hwe-thian Mo-li!" Bu-beng-cu berpamit dan sekali berkelebat tubuhnya lenyap dari ruangan tamu itu. Panglima Chang cepat memanggil perwira pembantu dan memerintahkannya agar segera mempersiapkan pasukan dan mengepung rumah gedung Pangeran Bouw Ji Kong.
Perwira itu cepat melaksanakan perintah dan sebentar saja sepasukan perajurit terdiri dari duaratus orang sudah berlari-larian dalam barisan menuju rumah Pangeran Bouw. Panglima Chang Ku Cing memanggil pelayan setelah mereka menyadarkan kembali Nyonya Bouw, wanita itu diminta untuk bercerita kepada Panglima Chang. Nyonya Bouw bercerita dengan suara gemetar. Ternyata tiga hari yang lalu, pada suatu malam A-kui, pelayan tua mereka itu memasuki kamar tidur suami isteri ini. Ketika Pangeran Bouw terbangun dan melihat A-kui dalam kamar memutar arca singa sehingga pintu rahasia terbuka, dia terkejut. Apalagi ketika melihat A-kui memanggul tubuh Kaisar di pundak kirinya. Tentu saja dia merasa heran dan terkejut bukan main.
"Mengapa Pangeran Bouw terkejut dan heran? Apakah dia tidak tahu bahwa kakek itu seorang yang lihai dan telah menculik kaisar?" tanya Panglima Chang.
"Dia tidak tahu, Panglima, kami semua dahulu menerima A-kui sebagai pelayan, sama sekali tidak tahu bahwa dia seorang yang demikian sakti dan jahat. Suamiku mencoba untuk merampas Sribaginda Kaisar, akan tetapi dengan sebelah tangan saja A-kui telah mendorong dan memukul suamiku sehingga roboh dan pingsan.
"Kemudian dia membawa Sribaginda Kaisar dan suamiku ke dalam ruangan bawah tanah dan mengancam bahwa kalau saya membuka rahasianya, dia akan membunuh Kaisar dan suamiku. Karena itulah, Thai-ciangkun, saya sama sekali tidak berani menceritakan hal itu kepada siapapun juga, bahkan seisi rumah selain saya tidak ada yang mengetahuinya.
"Akan tetapi ketika Nona pendekar tadi datang dan bilang hendak menolong, saya memberitahu kepadanya di mana Sribaginda Kaisar disembunyikan.. Setelah ia pergi, saya menjadi ketakutan. Bagaimana ia, seorang gadis muda, akan dapat mengalahkan A-kui? Sedangkan suami saya sendiri begitu mudah dirobohkan!" Panglima Chang lalu menyuruh isteri dan para pelayan untuk mengurus Nyonya Bouw dan menghiburnya, sedangkan dia sendiri segera membawa pasukan pengawal menyusul ke gedung Pangeran Bouw Ji Kong.
"Yang Mulia, harap Paduka tenang dan menanti di sini dulu. Pangeran Bouw Ji Kong, harap engkau suka menjaga Sribaginda Kaisar di sini, aku akan mencari dan menangkap penculik jahanam itu!" kata Siang Lan. Kaisar mengangguk, akan tetapi pangeran Bouw berkata.
"Nona, berhati-hatilah. A-kui itu ternyata adalah seorang yang amat sakti sekali."
"Jangan khawatir!" kata Siang Lan. Tidak bisa terlalu disalahkan kalau Siang Lan memandang ringan A-kui karena memang penampilan kakek itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bahkan sebaliknya, dia tampak lemah dan lugu.
Setelah mencabut Lui-kong-kiam, Siang Lan lalu berlari keluar dari ruangan bawah tanah melalui tangga yang menembus kamar tidur Pangeran Bouw Ji Kong. Akan tetapi begitu keluar dari pintu rahasia di balik almari yang terbuka sejak tadi, dia melihat A-kui memasuki kamar itu dan sekali ini wajah A-kui tidak lagi lemah dan lugu, melainkan beringas dan sepasang matanya mencorong seperti mata setan, mengeluarkan sinar yang mengejutkan.
"Jahanam busuk!!" Siang Lan memaki dan tanpa banyak bicara lagi ia sudah menyerang dengan dahsyat, menusukkan Lui-kong-kiam yang berubah menjadi sinar kilat itu ke dada kakek yang hanya dikenalnya sebagai A-kui. Serangan Siang Lan ini hebat sekali, serangan mematikan karena ia langsung menyerang dengan jurus Kiam-sian-sia-ciok (Dewa Pedang Memanah Batu).
Pedangnya meluncur seperti anak panah menuju ulu hati kakek itu. Akan tetapi kakek yang tampak lemah itu ternyata lihai bukan main. Dia memutar tubuh, mengelak sambil membalikkan tubuhnya dan tangan kanannya bergerak memutar dari samping, dengan jari terbuka menangkis pedang dengan jurus Sin-liong-kian-wi (Naga Sakti Sabetkan Ekor). Tangkisan dengan tangan kosong seperti ini terhadap sebatang pedang pusaka seperti Lui-kong-kiam, apalagi yang dimainkan oleh seorang gadis yang memiliki sin-kang luar biasa kuatnya seperti Siang Lan, amatlah berbahaya. Kalau Si penangkis tidak memiliki tenaga amat dahsyat, mungkin saja tangannya akan terbabat putus.
"Tinggg......!" Pedang Lui-kong-kiam itu berbunyi seperti dipukul baja. Siang Lan terkejut karena tangkisan itu membuat tangannya tergetar hebat. Namun, gadis yang tak mengenal takut ini sudah siap menyerang lagi.
"Tahan, agaknya engkau ini yang berjuluk Hwe-thian Mo-li?" tiba-tiba A-kui berseru. Siang Lan menahan pedangnya.
"Benar, aku orangnya!"
"Jadi, engkau yang telah membunuh murid keponakanku Hoat Hwa Cin-jin?"
"Benar pula! Dan kalau engkau tidak menyerah, engkau pun akan kupenggal batang lehermu!"
"Heh-heh, gadis sombong dan liar! Justeru engkau yang akan kutawan menambah jumlah sandera!"
"Kalau begitu mampuslah kau!" Siang Lan menyerang lagi dengan bacokan dari samping ke arah leher lawan dengan jurus Hun-in-toan-san (Awan Melintang Memotong Gunung). Pedangnya yang menjadi sinar kilat saking cepatnya digerakkan itu menyambar dahsyat. Akan tetapi tahu-tahu di tangan kiri kakek itu telah terpegang seuntai tasbeh hitam dan tasbeh itu berubah menjadi gulungan sinar hitam ketika menangkis sabetan pedang Lui-kong-kiam yang mengarah lehernya.
"Cringgg!" Kembali Siang Lan merasa tangannya tergetar ketika tasbeh hitam itu menangkis pedangnya. Tiba-tiba ada sinar merah menyambar dari depan ke arah matanya. Itu adalah sehelai kain merah di tangan kakek itu yang meluncur ke arah mukanya sehingga membuat pandang matanya silau. Akan tetapi Siang Lan tidak menjadi gugup.
Gerakannya yang amat ringan karena kini gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang dikuasainya sudah mencapai tingkat tinggi berkat bimbingan Bu-beng-cu, membuat gadis itu dapat menghindar dengan lompatan ke belakang. Kemudian tanpa melewatkan sedetik pun, tubuhnya sudah berkelebat lagi ke depan, pedangnya menyerang dengan gerakan Liu-seng-kan-goat (Bintang Cemara Mengejar Bulan). Jurus ini amat dahsyat karena terdapat serangan beruntun enam kali yang amat berbahaya dan susul-menyusul. Namun kakek itu benar-benar sakti. Kini bukan hanya tasbehnya yang menangkis sehingga mengeluarkan bunyi berkencringan berulang-ulang, akan tetapi juga sabuk merahnya menangkis dan sekaligus berusaha membelit pedang Lui-kong-kiam.
Siang Lan tentu saja tidak membiarkan pedangnya terampas, maka ia membantu pedangnya dengan pukulan telapak tangannya yang membuat sabuk merah itu tertiup dan tidak dapat membelit pedang. Serang menyerang terjadi dalam kamar tidur Pangeran Bouw yang luas itu. Meja kursi terlempar oleh tendangan kedua orang yang sedang bertanding. Ternyata dalam hal ilmu silat, kedua orang ini memiliki tingkat berimbang. Siang Lan memang sedikit lebih menang dalam hal kecepatan gerakan, namun ia kalah kuat dalam penggunaan tenaga sakti. Apalagi karena kakek itu mencampur sin-kang dengan Hoat-sut (sihir), maka sering kali Siang Lan terhuyung oleh pengaruh sihir melalui bentakan kakek itu. Bagaimanapun juga, kakek itu merasa penasaran sekali.
Dia adalah datuk nomor satu di Pek-lian-kauw dan mungkin tingkat kepandaiannya hanya kalah sedikit dibandingkan para pemimpin jajaran tingkat atas dari Pek-lian-kauw pusat. Masa kini melawan seorang gadis saja dia tidak mampu mengalahkannya? Setelah bertanding lebih dari tigapuluh jurus dan mereka saling menyerang dan belum ada yang tampak terdesak, tiba-tiba kakek itu berteriak seperti bunyi seekor burung gagak dan kain merah di tangan kanannya melayang dan ujungnya menyambar ke arah ubun-ubun kepala Siang Lan. Serangan ini berbahaya sekali karena kalau sampai ubun-ubun kepala terkena patukan atau totokan ujung kain merah, Siang Lan pasti akan tewas. Gadis ini cepat mengelak ke kiri sambil menyabetkan pedangnya ke arah ujung kain merah itu.
"Pratt!" Ujung kain merah itu putus, akan tetapi tiba-tiba ujung itu mengeluarkan uap berwarna merah yang menyerang dan mengenai muka Siang Lan.
Gadis itu tidak keburu menahan napasnya sehingga ada uap merah yang terhisap olehnya. Seketika kepalanya pening, pandang matanya kabur dan ia pun terhuyung ke belakang, ke arah pintu rahasia terbuka! Cui-beng Kui-ong atau A-kui, kakek itu, tertawa dan dia sudah menyambar tubuh Siang Lan yang pingsan, lalu membawanya turun ke ruangan bawah tanah. Dia marah sekali karena rahasianya ketahuan. Dia teringat kepada Nyonya Bouw dan memaki.
"Anjing perempuan itu pasti yang membocorkannya. Ia pantas mampus!" Dia lalu menotok punggung Siang Lan dan melemparkan tubuh gadis itu ke atas lantai, tidak mempedulikan pedang Lui-kong-kiam yang ikut terlempar, dan seolah tidak melihat bahwa Kaisar dan Pangeran Bouw telah lepas dari ikat mereka.
Dia terlalu memandang rendah tiga orang tawanannya, apalagi setelah Siang Lan dia buat tidak berdaya dengan totokannya. Nafsu amarah membuat dia lengah dan kakek itu cepat melompat keluar dari ruangan bawah tanah, lalu menutupkan kembali pintu rahasia yang hanya dapat dibuka dengan memutar arca singa itu. Setelah pintu tertutup, dia lari mencari Nyonya Bouw. Akan tetapi dia tidak dapat menemukannya, maka bagaikan gila dengan kejam dia membunuhi siapa saja yang ditemukannya. Kegilaannya itu membuat tujuh orang pelayan, lima wanita dan dua pria, yang bertahan di situ ketika yang lainnya sudah pergi meninggalkan keluarga Pangeran Bouw, dibantai Cui-beng Kui-ong!
Dengan kemarahan masih meluap-luap, kini Cui-beng Kui-ong yang kedua tangannya berlepotan darah karena membantai para pelayan dengan tangan kosong, memecahkan kepala, menusuk dada dengan tangan dan jarinya, berlari memasuki kamar tidur Pangeran Bouw Ji Kong. Sementara itu, melihat Siang Lan roboh dan tidak mampu bergerak, Pangeran Bouw Ji Kong yang memiliki tingkat ilmu silat cukup tinggi, segera memeriksanya. Dia tahu bahwa gadis itu masih pingsan dan dalam keadaan tertotok. Cepat ia mengambil air yang disediakan untuk minum di ruangan itu dan membasahi muka Siang Lan dengan air. Gadis itu mengeluh dan siuman, akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya. Pangeran Bouw berusaha untuk membuka totokan itu, akan tetapi dia selalu gagal.
"Nona, tahukah engkau bagaimana membuka totokan pada tubuhmu ini?"
"Totokan ini rasanya aneh, aku sendiri tidak tahu," jawab Siang Lan lirih.
Pada saat itu, terdengar suara gerengan dan kakek A-kui yang kini tampak menyeramkan seperti orang gila, sudah menuruni tangga. Melihat ini, Pangeran Bouw cepat memungut pedang Lui-kong-kiam milik Siang Lan yang ikut terlempar ke lantai dan dia sudah berdiri melindungi kaisar. Dengan pedang di tangan Pangeran Bouw menghadang lalu berkata dengan suara garang.
Pedang Sinar Emas Eps 10 Pedang Sinar Emas Eps 32 Pedang Sinar Emas Eps 33