Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 10


Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 10




   Ketika dilihatnya keadaan di sekeliling tempat itu sunyi sepi belaka, ia lalu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang beberapa kali.

   "Mana dia mau datang..??" bibirnya berbisik perlahan, kemudian ia menjatuhkan diri duduk kembali di atas batu di dekat empang teratai.

   Kesedihan besar meliputi hati dan pikirannya, ia selalu menghadapi kekecewaan di dalam hidupnya yang baru terasa olehnya setelah ia meninggalkan kanak kanak, ia tidak tahu siapa ayahnya dan bagaimana ayahnya itu tewas serta di mana pula makamnya.

   Ibunya tak pernah mau berterus terang tentang ayahnya dan hal ini sudah menimbulkan kesedihan besar di dalam hatinya, ia amat cinta kepada ibunya dan ia tidak ingin timbul pikiran tidak baik atau kurang percaya kepada ibunya.

   Akan tetapi, tak dapat disangkal pula, pada waktu ini ia tidak percaya lagi kepada ibunya!

   Bahkan timbul dugaan sesuatu yang ia tidak tahu apa sesungguhnya, akan tetapi yang sudah nyata mulai menduga bahwa setidaknya ibunya termasuk sebuah komplotan yakni komplotan yang memegang teguh semacam rahasia, dan yang hendak menjauhkan dia daripada keadaan sebenanarnya dari pada dirinya! Kernudian tejadi peristiwa pembunuhan Ngo jiauw eng dan hanya dia seorang..... Ngo jiauw eng..... Bucuci. Apakah arti nya ini semua?

   Sebelum mati, Ngo jiauw eng hendak mengaku bahwa dialah pembunuh ayahnya, akan tetapi pengakuan ini dihalangi oleh Bucuci yang tidak segan segan menuruakan tangan maut membunuh Ngo jiauw eng yang menjadi tangan kanannya sendiri! Pasti ada apa apanya di dalam persoalan ini dan inilah yang merupakan gangguan hebat dalam hati dan pikiran Sian Hwa.

   Kemudian masih ada lagi, yaitu pertunangannya dengan Liem Swee, pertunangan yang tidak ia inginkan sama sekali. Pertunangan ini tahu tahu sudah jadi berita saja, dijadikan oleh orang tua mereka dan sebagaaimana dinyatakan oleh Liem Swee tadi, juga atas persetujuan pemuda itu!

   Sian Hwa menghela napas panjang, ia tahu bahwa Liem Swee mencintainya hal ini sudah dapat diduga semenjak mereka berdua masih kecil. Ia tidak dapat mencintai Liem Swee sebagai seorang gadis mencintai seorang pemuda. Memang ia suka kepada suhengnya ini, akan tetapi rasa suka nya hanya seperti hubungan saudara saja. Liem Swee amat baik terhadap dia, amat ramah dan halus budi. Akan tetapi, ia tidak cinta kepada pemuda itu dan menganggap Liem Swee mempunyai hati yang kejam.

   Pernah ia melihat pemuda memukul mati seekor anjing yang bagus, hanya karena anjing itu menggonggong kepadanya! Dan ia telah menjadi marah sekali kepada suhengnya itu.

   Merenungkan pemuda itu, tiba tiba timbul bayangan seorang pemuda lain, seorang pemuda asing sama sekali.... yang baru saja dijumpai nya dua kali. Mengenangkan pemuda ini tiba tiba Sian Hwa merasa dadanya berdebar aneh dan mukanya menjadi merah. Entah mengapa, itu merasa tertarik sekali oleh pemuda itu.

   Alangkah gagah beraninya pemuda itu, juga amat halus budi pekertinya. Dan malam hari ini, ia sengaja menanti di dalam taman karena mendengar janji pemuda itu kemarin malam bahw malam ini pemuda itu hendak datang menjumpainya! Sian Hwa merasa heran terhadap dirinya sendiri, ingin ia marah kepada dirinya sendiri yang amat lemah.

   Belum pernah selama hidupnya ia merasai perasaan seperti ini, perasaan yang membuatnya menjadi bingung. Akan tetapi diam diam ia mendapat harapan baru seakan akan kalau tadinya ia merasa berada di dalam srbuah ruangan yang gelap karena semua kekecewaan itu, dalam diri pemuda asing ini ia melihat perangan baru!

   "Selamat malam, nona." Suara ini demikian halus, suara yang sudah dikenalnya baik, bahkan yang kumandangnya tak pernah meninggalkan telingnya. Cepat ia menengok dan memandang kepada Bun Sam yang sudah berdiri di hadapannya sambil tersenyum ramah.

   Untuk sesaat wajah gadis yang cantik itu menjadi pucat sekali. Memang semenjak tadi, sebelum Liem Swee datang mengganggunya, ia telah sengaja duduk di situ menanti kalau kalau pemuda ini memenuhi janjinya hendak datang malam ini. Ia telah mengharap harapkan kedatangan pemuda ini dengan perasaan yang aneh sekali.

   Kemudian melihat kedatangan Liem Swee ia menjadi marah dan juga kecewa karena yang ditunggu tunggu dan diharap harapkan kedatangannya tidak muncul, sebaliknya yang muncul adalah orang lain yang tidak diharapkannya.

   Akan tetapi ia tetap menanti dan biarpun sudah disangkanya Bun Sam akan datang, kini tiba tiba melihat pemuda ini, ia menjadi terkejut dan gugup. Warna pucat pada mukanya perlahan lahan berubah menjadi merah lagi, akan tetapi bukan merah biasa seperti tadi, melaiakan merah sampai ke telinganya dan ia tidak berani terlalu lama memandang muka pemuda yang tersenyum itu.

   "Mengapa.... mengapa kau datang....?" suara ini keluar perlahan dan halus dan bibirnya, sedangkan mukanya menunduk memandang tanah.

   "Mengapa?" Bun Sam mengulang. "Tak lain hendak menyampaikan hormat dan terima kasihku atas segala kebaikan hatimu terhadap aku dan suheng, nona.Tak kusangka sama sekali bahwa di kota ini, justeru di dalam taman bunga dari Panglima Bucuci aku akan menjumpai eorang gadis berhati mulia dan berkepandaian tinggi seperti kau."

   Sian Hwa mengangkat kepalanya memandang. Untuk sejenak dua pasang mata bertemu dan kedua nya merasakan sesuatu yang aneh sekali menggelora di dalam dada masing masing sesuatu yang membuat darah mereka berdenyut cepat, yang membuat tubuh terasa hangat dan hati ingin bernyanyi gembira. Mata menjadi terang dan segala yang nampak kelihatan lebih indah daripada biasanya. Telinga mendengar suara nyanyi merdu yang ditimbulkan oleh daun tertiup angin malam!

   Akan tetapi Sian Hwa tidak daput menahan rasa jengah dan malunya, maka ia menundukkan mukanya lagi. Timbul rasa sedih di dalam hatinya ketika Bun Sam mengucapkan kata kata itu. Pemuda ini menganggapnya sebagai puteri Bucuci, padahal sesungguhnya bukan demikian. Ingin ia menyatakan kepada Bun Sam bahwa dia bukan puteri panglima Kin ini, akan tatapi apa gunanya? Dan pula ia merasa malu.

   "Tidak ada sesuatu yang harus dinyatakan terima kasih," katanya perlahan. "Dan pula," disambungnya cepat cepat karena ia teringat bahwa sesungguhnya tidak pantas bagi seorang gadis sopan untuk bicara dengan seorang pemuda asing di dalam taman bunga. "Mengapa kau datang di sini? Kalau ada orang melihatmu.... kalau.... ayah mengetahui, bukankah kau akan celaka?"

   Bun Sam tersenyum. "Terima kasih, nona Sian Hwa" ia menjura memberi hormat. Terima kasih bahwa kau telah menaruh perhatian dan kekhawatiran atas diriku yang hina dan bodoh ini. Biarlah, kalau sampai ayahmu melihatku dan memberi hukuman, aku tidak merasa menyesal setelah dapat bertemu dan berbicara dengan seorang seperti engkau."

   Mendengar ucapan pemuda ini, makin tidak karuan rasa hati Sian Hwa. Ia merasa girang, bangga, malu dan juga berduka.

   "Pergilah kau dari ini, jangan gangga aku..... kau seorang murid dari Kim Kong Taisu, mengapa berani memasuki taman dan bertemu dengan seorang gadis sopan? Apakah ini tidak melanggar kesopanan dan kesusilaan?"

   "Maaf nona, memang aku terlalu kurang ajar berani sekali mengganggumu. Akan tetapi, kenekatanku ini terdorong oleh rasa hatiku yang ingin bersahabat denganmu. Tidak maukah kau menjadi sahabatku, sahabat yang akan kukenang selama hidupku?"

   "Jangan kau bilang begitu," gadis itu menjawab lemah. "Kita terpisah terlalu jauh untuk menjadi sahabat. Kau harus ingat, aku puteri Panglima Bucuci dau kau... kau bahkan pernah bentrok dan bertempur melawan ayahku. Bahkan melawan guruku. Kita telah ditakdirkan lahir di tempat yang jauh berbeda, sudahlah, harap kau pergi dan mari kita melupakan pertemuan kita. Kalau sampai ayah mengetahui kedatanganmu malam ini...."

   Bun Sam menarik napas panjang. "Untuk menjadi sahabatnya saja aku masih kurang cukup berharga"." katanya seperti kepada dirinya sendiri. "Dia terlalu agung, terlalu cantik, terlalu pandai dan puteri seorang panglima pula. Dan aku....?? Bun Sam, kau harus tahu diri, kau seorang kelana yang miskin, lebih daripada pengemis jembel, seorang yatim piatu. Sungjah harus malu!"

   Sambil berkata demikian, Bun Sam benar benar merasa amat berduka dan wajahnya yang tampan menjadi pucat.

   Sian Hwa mengangkat mukanya. "Mengapa kau mengeluarkan kata kata seperti itu? Aku selama nya tidak pernah berwatak sombong dan tinggi. Aku hanya mengemukakan kenyataan tentang perbedaan keadaan dan kehidupan kita. Aku sendiri.... aku..."

   Sian Hwa memaksa diri menelan kembali kata katanya ini karena hampir saja ia membuka rahasianya sendiri bahwa dia pun seorang yang tak berayah pula.

   Bun Sam tersenyum pahit.

   "Nona, memang aku yang bodoh. Bagaikan seekor anjing merindukan bulan menggonggong dengan sia sia. Bagaimana pemuda seperti aku dapat menjadi sahabatmu? Ah, sudahlah ku tarik kembali omonganku tadi nona. Aku hanya mengganggumu, kau seorang yang mulia, yang berbahagia, bagaimana aku berani mengganggu mu? Aku menghaturkan selamat atas pertunanganmu dengan pemuda gagah she Liem itu putera dari Pat jiu Giam ong. Selamat berbahagia dan selamat tinggal, nona!"

   Setelah berkata demikian, Bun Sam memutar tubuhnya dan hendak melompat keluar dari tempat itu.

   Akan tetapi, tiba tiba ia menahan kedua kakinya. Salahkah pendengarannya? Tidak! Benar benar ia mendengar isak tangis di belakangnya. Bun Sam cepat memutar kembali tabuhnya dan memandang ke arah Sian Hwa. Gadis itu telah menangis. Menangis sedih dengan terisak isak dan menutup mukanya dengan ujung ikat pinggang sutera barwarna kuning keemasan. Basah oleh air mata ujung ikat pinggang itu dan kedua pundaknya bergoyang goyang dalam sedu sedannya.

   Bun Sam berdiri terpaku, kedua matanya terbuka lebar.

   "Nona..... Sian Hwa..... kenapa kau?" Ia melangkah maju mendekati nona itu. Akan tetapi Sian Hwa makin tersedu sedu tangisnya.

   Luluh hati Bun Sam yang tadi sudah mengeras. Tadinya ia hendak mengeraskan hati dan hendak melupakan gadis yang telah merampas kalbunya ini dengan anggapan bahwa ia adalah seorang gadis bangsawan yang sombong, yang mempunyai ayah hebat. Akan tetapi melihat gidis ini menangis tersedu sedu, hancur luluh semua kekerasan yang dibangun di dalam hatinya. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan Sian Hwa.

   "Nona, jangan menangis. Ah, aku telah menyakiti hatimu. Nona, cabutlah pedangmu dan penggal saja leherku. Aku Song Bun Sam takkan melawan, takkan mengelak. Aku telah menyinggung perasaanmu yang halus, telah membuat kau berduka."

   Sian Hwa mengangkat mukanya dan dengan air mata mengalir turun dari kedua matanya. Ia memandang kepada pemuda itu. Ia merasa terharu sekali dan tak terasa pula ia menyentuh pundak Bun Sam.

   "Berdirilah, taihiap. Tak pantas bagi searang gagah seperti engkau berlutut di depanku. Bangunlah, sikapmu ini membuat aku merasa tak enak sekali."

   Bun Sam bangkit dan berkata dengan perlahan.

   "Nona Sian Hwa, aku benar benar tadi tak sengaja berkata keras kepadamu. Maafkanlah aku. Aku telah mendengar percakapanmu dengan Liem Swee dan tahu pula bahwa pertunangan itu tidak kau setujui dan dipaksakan kepadamu. Namun aku masih menyakiti hatimu dengan kata kata tadi. Ah, mengapakah aku menjadi seorang begini gila? Aku sendiri tak dapat menguasai hati, pikiran mulutku. Apakah yang terjadi dengan aku!"

   Sian Hwa juga berdiri dan mereka berpandangan. Wajah gadis itu masih basah oleh air matanya sendiri. "Jadi kau sudah tahu? Kalau begitu tak perlu dibicarakan lagi. Kau tahu, hidupku juga banyak menderita. Kau masih belum mengetahui semuanya. Kalau kau tahu keadaanku, kau akan tahu bahwa bukan hanya kau yang hidup menderita. Mungkin aku lebih menderita daripadamu."

   "Nona, siapa yang berani mengganggumu? Apakah pertunangan itu yang membuat kau merasa berduka? Kalau perlu, aku akan pergi mencari dan menghajar pemuda she Liem itu, agar dia membatalkan pertunangan paksaan ini!" seru Bun Sam dengan suara sungguh sungguh, sehingga di dalam hatinya, pemuda ini benar benar merasa heran mengapa ia bisa berhal demikian ia merasa seakan akan semua bicara dan sikapnya tadi tidak seperti dia sejati, seakan akan ia melihat orang lain yang berperasaan lemah.

   Ke mana perginya kekuatan batinnya? Mengapa ia menjadi demikian lemah? Ia tidak tahu bahwa hati dan pikirannya sedang berada di dalam genggaman dewa asmara yang luar biasa hebat kekuasaannya. Betapapun gagah seorang manusia, kalau sudah termasuk dalam cengkeraman asmara, ia akan menjadi lemah tak berdaya!

   "Song taihiap, dia adalah suhengku!"

   "Lebih lebih seorang suheng sama dengan seorang kakak, tidak boleh memaksa sumoinya untuk menjadi calon isteri kalau sumoinya itu tidak suka!"

   Suara Bun Sam makin mengeras tanda bahwa ia marah kepada Liem Swee.

   "Hush, dia adalah putera tunggal dari Pat jiu Giam ong!" kata Sian Hwa pula dan aneh sekali melihat sikap dan pembelaan pemuda ini wajahnya yang tadi muram kini menjadi berseri gembira, kedua matanya yang bening seperti mata burung hong itu bersinar sinar ketika ia memandang kepada Bun Sam.

   "Aku tidak takut! Biar dia putera Pat jiu Giam ong, kalau tidak benar sepak terjangnya, akan kulawan juga. Biar aku mengadu nyawa dangan Pat jiu Giam ong untuk membelamu, nona!"

   "Hus.... jangan keras keras bicaramu!" Sian Hwa berisik dan kini senyum manis sekali mulai membayang pada bibirnya. "Kau baik hati dan gagah sekali, taihiap. Benar benar aku kagum padamu."

   Mereka kembali saling memandang sampai lama tanpa mengeluarkan kata kata, kemudian Sian Hwa menundukkan mukanya dan berkata perlahan. "Katakanlah, mengapa kau demikian mati matian hendak membelaku?"

   Ditanya demikian Bun Sam rnelengak dan menjadi bingung bagaimana harus menjawabnya. Apalagi ketika Sian Hwa yang tidak mendapat jawaban lalu mengangkat muka memandangnya dengan mata penuh selidik.

   "Karena.... karena..... barangkali karena kau telah bersikap baik kepadaku dan kepada suheng, karena kau.... kau berbeda, jauh dengan semua orang yang pernah kujumpai."

   Sian Hwa tidak puas. "Hanya karena itu saja dan kau lalu berani hendak mengorbaakan nyawa untukku?"

   Bun Sam merasa mukanya menjadi panas. Memang tadi ia tidak mengaku terus terang. Kini didesak oleh Sian Hwa dan melihat betapa pandangan mata nona itu seperti menggodanya, tahulah ia bahwa Sian Hwa sudah mengerti baik apa yang terkandung di dalam hatinya. Hal ini mendatangkan keberaniannya.

   "Terus terang saja, karena aku cinta kepada mu, Sian Hwa!" Ucapan ini dikaluarkan dengan dada diangkat dan kepala ditegakkan.

   Kini Sian Hwa yang tersipu sipu mendengar pengakuan sejujurnya ini. Mukanya menjadi merah lagi sampai ke leher dan telinganya.

   "Kau...... kau.... apa.?" hanya kata kata ini yang dapat keluar dari mulutnya, seakan akan ia masih belum percaya akan pengakuan pemuda itu.

   "Aku cinta kepadamu!"

   "Cinta....??" Kata kata ini sudah sering kali didengung dengungkan oleh Liem Swee kepadanya, akan tetapi sekarang mendengar kata kata ini diucapkan oleh Bun Sam, terdengar bagaikan kata kata yang baru pertama kali didengarnya selama hidupnya. Terdengar demikian halus, suci dan merdu. Tanpa disadarinya Sian Hwa tertunduk lagi di atas batu dan ia meramkan matanya!

   Ketika ia merasa betapa kedua tangannya dipegang orang, ia menjadi kaget dan membuka matanya. Ternyata Bun Sam telah berlutut dan memegang kedua tangannya itu.

   Hati Sian Hwa memberontak terhadap perbuatan Bun Sam yang merangsang seluruh dirinya ini, terdorong oleh kesadarannya yang tidak membenarkan seorang pemuda memegang tangannya, akan tetapi perasaannya yang sudah penuh dengan simpati dan kasih sayang terhadap Bun Sam, membuat ia merasa lumpuh dan lemah.

   Betapapun juga, dengan keseluruh tenaga batinnya, ia mengambil keputusan bahwa kalau pemuda itu berlaku kurang sopan, ia akan menghantam dan menyerangnya dengan pukulan maut!

   Akan tetapi Bun San bukanlah pemuda macam itu. Ia berlutut dan memegang kedua tangan gadis itu sekali kali bukan terdorong oleh nafsu kurang ajar, melainkan karena ia merasa khawatir kalau kalau gadis ini menderita pukulan batin.

   Melihat wajah Sian Hwa yang tiba tiba pucat dan gadis itu memeramkan matanya, ia buru buru memegang kedua tangan gadis itu dan mengerahkan tenaga lweekangnya untuk disalurkan melalui telapak tangan Sian Hwa, maksudnya hanya untuk membantu gadis itu memulihkan peredaran jalan darahnya belaka.

   Sian Hwa tentu saja merasa betapa dari telapak tangan pemuda ini mengalir hawa hangat yang kuat sekali, membuat debaran jantungnya menjadi makin berdebar. Karena ia tidak membutuhkan bantuan ini, maka kalau dilanjutkan bahkan akan membahayakannya, maka ia lalu membuka matanya dan tersenyum kepada Bun Sam.

   Melihat hal ini, pemuda itu menjadi jengah sendiri dan cepat menyimpan kembali tenaga yang disalurkannya, akan tetapi dua pasang tangan saling belai penuh kasih sayang yang tidak dinyatakan berterang.

   "Sian Hwa.... " bisik Bun Sam dan bukan main bahagia rasa hatinya karena in mendapat kenyataan bahwa ia tidak bertepuk sebelah tangan dan bahwa cintanya dibalas oleh nona ini.

   "Kau baik sekali, saudara Bun Sam...." kata gadis itu dengan suara lembut dan pandangan mata mesra.

   "Aku cinta kepadamu, Sian Hwa...." jawab Bun Sam sebagai penolakan pujian itu atau dengan kata kata lain hendak menyatakan bahwa kebaikannya itu hanya karena ia mencintai Sian Hwa.

   Dengan perlahan Sian Hwa menarik kedua tangannya dari genggaman tangan Bun Sam. Lalu ia menrik napas panjang dan berkata.

   "Bagaimana mungkin? Aku sudah menjadi tunangan orang lain...."

   Kembali gadis ini menjadi berduka dan menundukkan mukanya.

   Mendengar ucapan yang mengingatkannya kembali tentang keadaan gadis pujaannya, perih rasa hati Bun Sam. Sebagai seorang pemuda yang menjunjung tinggi kesopanan, tentu saja ia maklum bahwa tidak mungkin ia berjodoh dengan seorang gadis yang sudah menjadi calon isteri orang lain.

   Iapun lalu menundukkan mukanya dan mengingat betapa ia tak mungkin berkumpul dengan orang yang dicintainya ini, dua titik air mata melompat keluar dari kedua matanya. Ia menggigit bibirnya untuk menahan kesedihan hatinya ini, agar jangan sampai ia menjadi lemah.

   Ketika Sian Hwa menengadah dan mdihat betapa pemuda itu menjadi basah matanya, ia menjadi terharu sekali. Terdorong oleh rasa haru dan cinta, ia lalu bangkit berdiri dan memagang kedua tangan Bun Sam.

   "Bun Sam.... memang tidak mungkin bagi kita untuk.... untuk menjadi jodoh di dunia ini.... akan tetapi pecayalah selama hidup aku takkan sudi menjadi isteri orang lain? Biar mereka memaksaku sampai mati, aku takkan suka menjadi isteri suheng! Di dalam hatiku, hanya kaulah...... jodohku, Bun Sam dan kalau di dunia kita tidak berjodoh, biarlah kita bertemu di alam baka..... atau di lain penjelmaan!"

   Naiklah sedu sedan dari leher Bun Sam ketika ia mendengar ucapan yang baginya amat suci, mulia dan mengharukan ini. Ia merangkul Sian Hwa dan untuk srsaat keduanya tenggelam dalam keharuan.

   Tiba tiba keduanya saling melepaskan pelukan ketika mendengar suara ribut ribut di luar taman. Terdengar keruan Bucuci.

   "Sian Hwa, di mana kau?? Lekas keluar dan bantu menangkap maling besar yang mencuri pedang pusaka dari istana!"

   Nampak berkelebat banyak bayangan orang di luar tembok taman dan terdengar bunyi kerincingan pakaian perang Panglima Bucuci.

   "Bun Sam, selamat berpisah. Inilah pertemuan terakhir kita," kata Sian Hwa sambil bersiap siap untuk melompat keluar.

   Ban Sam maklum akan maksud kata kata kekasihnya ini. Sekali lagi ia menggenggam tangan kanan gadis itu, lalu berkata dengan suara tenang karena ia telah berhasil memhan perasaan hatinya. "Kau benar Sian Hwa. Kita tak berdaya dan juga tidak boleh kita melanggar peraturan adat. Selamat berpisah, ingatlah selalu bahwa Bun Sam hanya dapat mercinta satu kali saja kepada seorang wanita, yakni kepadamu!"

   "Aku takkan dapat lupa kepadamu selama hidupku!" jawab gadis itu.

   Bun Sam lalu melompat dan menghilang di dalam gelap. Sian Hwa melompat ke atas pagar tembok, akan tetapi tiba tiba muncul ayahnya yang datang datang terus menuding serta membentaknya.

   "Siapa yang baru saja pergi tadi? Ayoh bilang, siapa dia??"

   "Aku tidak tahu, ayah!" jawab Sian Hwa dengan tenang, karena betapapun juga, ia tak akan mengaku siapa adanya pemuda tadi yang bayangannya mungkin terlihat oleh Bucuci.

   "Sian Hwa, bukankah kau anakku? Mengapa tidak mengaku? Jangan jangan dialah malingnya yang mencuri pedang Pek lek kiam dari istana kaisar!"

   "Ayah....!" Tiba tiba hati Sian Hwa menjadi panas dan marah sekali mendengar kekasihnya dituduh mencuri pedang pusaka.

   "Hem, siapa tahu pencuri itu tadi berhasil memasuki taman dan bersembunyi di sini. Dan kau....kau anakku bahkan membantunya bersembunyi dan sekarang membelanya!"

   "Ayah jangan menuduh sembarangan saja!" gadis itu berkata dan mendengar suara Sian Hwa mengandung kemarahan besar serta mata anak ita bersinar sinar, Bucuci menahan mulutnya.

   Akhir akhir ini ia melihat Sian Hwa sering kali memandang kepadanya dengan mata menakutkan.

   "Sudahlah, kalau kau betul betul tidak tahu, mari lekas membantuku mencari maling itu. Kau tahu pedang Pek lek Kiam yang disimpan di dalam gedung pusaka istana kaisar, telah diambil orang dan para penjaga tidak berdaya sama sekali menghadapinya. Malingnya seorang kakek yang menyeramkan dan seperti berotak miring, akan tetapi kepandaiannya tinggi sekali."

   Diam diam Sian Hwa menjadi geli jua mendengar penuturan ayahnya ini. Bagaimana ayah tirinya berani menyangka Bun Sam yang menjadi malingnya? Bun Sam bukan seorang kakek tua berwajah menyeramkan, sama sekali bukan!

   "Mari kita mencoba mengejar maling itu, ayah," kata Sian Hwa ketika melihat betapa kota raja menjadi gempar dan setiap orang yang memiliki kepandaian tinggi telah berada di atas genteng genteng rumah dan bayangan bayangan gesit bersimpang siur.

   Sian Hwa mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk melompat ke atas genteng dan berlari memeriksa dan melihat lihat kalau kalau ia akan berhadapan dengan maling sakti itu. Ketika ia bertemu dengan para panglima kerajaan yang melakukan pengejaran, ia mendengar bahwa maling ini telah lenyap seakan akan memiliki kepandaian menghilangkan diri dari pandang mata manusia!.

   "Semua pintu gerbang telah di jaga rapat dan jalan keluar tidak ada. Hampir semua rumah telah diperiksa teliti, namun maling itu tidak nampak bayangannya. Ia menghilang bersama pedang pusaka Pek lek kiam!" berkata seorang panglima tua yang bertemu dengan Sian Hwa di atas genteng.

   Gadis ini menjadi heran mendengar akan kelihaian maling itu dan diam diam iapun merasa khawatir akan keselamatan Bun Sam kekasihnya. Pemuda itupun telah terlihat oleh para panglima dan dianggap sebagai seorang yang harus diawasi, karena pernah bertempur melawan Pat jiu Giam ong. Kalau semua jalan keluar tertutup, bagaimana Bun Sam akan dapat keluar dari kota raja tanpa diganggu oleh para penjaga?

   Tiba tiba ia melihat Liem Swee yang juga ikut mencari dengan pedang di tangan. Biarpun ia pada saat seperti itu tidak suka bicara dengan Liem Swee, suheng dan tunangannya ini, akan tetapi karena ia ingin tahu lebih banyak tentang maling itu ia lalu bertanya Kepada Liem Swee apakah maling itu telah tertangkap.

   "Siapa yang bisa menangkapnya!" kata Liem Swee dengan wajah memperlihatkan kekecewaan.."Malingnya adalah seorang siluman!"

   Sian Hwa menjadi terkejut dan memandang heran. Tadinya disangkanya bahwa Liem Swee bergurau, karena pemuda ini memang suka bergurau. Akan tetapi, pemuda itu nampak bersungguh sungguh dan pula setelah tadi dikecewakan hatinya oleh Sian Hwa, agaknya tidak muduh bagi Liem Swee untuk bergurau pada malam itu.

   "Suheng, apakah artinya ucapanmu tadi? Seorang siluman?" tanyanya tidak percaya.

   Liem Swee mengangguk anggukkan kepalanya.

   "Ya, seorang siluman. Kalau orang biasa saja, tak mungkin ia terlepas dari ringkusan ayah."

   "Apa? Suhu telah turun tangan sendiri dan tidak berhasil menangkapnya?" tanya Sian Hwa dengan hati amat tertarik.

   "Ya, ayah sudah bertemu dengan maling itu di atas genteng istana. Aku yang menyertai ayah melihat betapa maling itu berwajah menyeramkan dan pakaiannya compang camping. Pedang Pek lek kiam dikempitnya dan ia berlari cepat sekali. Ketika ayah menghadang, ia lalu melawan. Akan tetapi mana ia bisa menang menghadapi ayahku? Setelah bertempur lebih tiga puluh jurus ia tidak kuat bertahan lagi lalu hendak melarikan diri. Aku hendak maju, akan tetapi tidak boleh oleh ayah karena memang penjahat itu lihai sekali. Dengan terjangan Siu eng na jiu hwat, ayah berhasil meringkusnya, akan tetapi sungguh hebat. Maling itu dapat melepaskan diri, entah dengan ilmu apa, sehingga ayah sendiri berseru keras terheran heran. Tahu tahu maling itu telah lari lagi dan biarpun dalam hal ilmu silat ia kalah oleh ayah, namun larinya cepat sekali dan sebentar saja menghilang di dalam gelap!"

   Sian Hwa mendengar dengan terheran heran. Ia telah mempelajari Sin eng na jiu hwat dan mengetahui akan kehebatan ilmu lilai ini. Apalagi dimaiakan oleh gurunya, siapakah orangnya yang dapat melepaskan dirinya dari ringkusan gurunya ini? Benar benar maling yang hebat luar biasa.

   Pada saat itu, datang panglima Ang Seng Tong, kepala Gi lim kun yang juga ikut meronda. Ketika melihat Liem Swee dan Sian Hwa, ia lalu memberitahukan bahwa kedua orang muda itu dicari oleh Pat jiu Giam ong dan diminta datang pada malam hari itu juga.

   Setelah Liem Swee dan Sian Hwa menghadap, Pat jiu Giam ong yang kelihatan bersungguh sungguh itu lalu berkata.

   "Mulai sekarang, kalian berdua harus belajar lebih rajin lagi. Menurut dugaanku maling itu tentu ada hubungannya dengan BuTek Kiam ong. Aku melihat beberapa jurus ilmu silat Bu Tek Kiam ong ketika orang itu bertempur dengan aku. Munculnya seorang kawan Bu Tek Kiam ong menandakan bahwa, Bu Tek Kiam ong masih hidup dan dia merupakan lawan yang paling kuat di antara tokoh tokoh lain. Maka, berhati hatilah dan pergiatlah latihan ilmu silat kalian Jangan mencari permusuhan, karena kalian sudah tahu bahwa banyak sekali orang pandai berkeliaran di daerah ini pada waktu sekarang."

   Demikianlah, seluruh kota raja geger karena pedang pusaka milik kaisar telah dicuri orang dan tak seorangpun berhasil menangkap pencurinya. Bahkan Pat jiu Giam ong sendiri tidak berhasil membekuknya. Siapakah sebenarnya pencuri yang sakti itu? Benarkah dugaan Pat jio Giam ong bahwa orang itu mempunyai hubungan dengan Bu Tek Kiam ong. Raja Pedang yang telah lama tidak muncul di dunia ramai dan yang dianggap telah tewas tanpa ada orang lain yang mengetahui itu? Untuk mengetahui dan menjawab hal ini, marilah kita mengikut perjalanan Bun Sam, karena secara kebetulatn sekali pemuda ini bertemu dengan maling sakti yang oleh Liem Swee disebut siluman itu.

   Dengan hati amat berat, Bun Sam meninggalkan taman bunga di mana kekasihnya berada. Ia tahu bahwa inilah pertemuan dan juga sekaligus perpisahan yang terakhir ia berjumpa dengan Sian Hwa, jatuh cinta, lantas dua hati bertemu, akan tetapi bertemu hanya sekali saja untuk selanjutnya berpisah. Harus berpisah, sungguhpun di dalam batin mereka telah terjalin ikatan yang erat dan yang takkan dapat dipisahkan oleh maut sekalipun.

   Pahit dan perih rasa hati Bun Sam, pemuda remaja yang menjadi korban asmara ini. Ia hendak pergi secepat mungkin, malam ini juga. Tak tahan ia harus berada di kota raja, di mana kekasihnya tinggal. Tak kuat hatinya memikirkan hatinya dekat dengan Sian Hwa namun tidak mungkin menemuinya tak dapat melihat wajah yang telah terukir di dalam hatinya itu, tak dapat mendengarkan suara yang telah bergema selalu di dalam anak telinganya.

   Ia ingin pergi keluar dari kota raja malam itu juga dan hendak melanjutkan perjalanan, pulang ke Oei san, tempat tinggal suhunya, ia takkan turun gunung lagi, akan tinggal saja bersama dengan suhunya di Oei san, menjadi pertapa untuk mencari obat bagi batinnya yang terluka.

   Ketika ia sedang berlari cepat sekali melalui wuwungan rumah orang orang kota raja, ia melihat pula para panglima berlari lari mengejar maling yang mencuri barang pusaka. Bun Sam melanjut kan perjalanannya, memilih tempat sepi agar jangan bertemu dengan para pengejar maling itu.

   Tiba tiba ia melihat bayangan hitam berkelebat di depannya, mendatang dari jurusan lain dan ketika ia memandang, ternyata bahwa orang itu adalah seorang kakek yang berwajah liar. Rambutnya awut awutan, sebagian banyak menutup muka nya yang bewajah liar. Cambang dan jenggotnya panjang tidak terpelihara, tumbuh liar di seluruh mukanya. Pakaiannya serba hitam dan compang camping, sama tidak terpelihara dengan rambut dan cambang bauknya. Sepasang kakinya telanjang dan jari jari kakinya besar besar. Yang amat menarik perhatian Bun Sam adalah pedang bersarung emas yang dikempit di bawah lengan kirinya. Tahulah ia bahwa orang inilah yang mencuri pedang pusaka dari istana kaisar.

   "Maling pedang, serahkan pedang itu kepadaku!" seru Bun Sam sambil menghadang di depan orang itu. Biarpun tidak memperdulikan urusan pencurian itu, namun darah mudanya tidak mengizinkan ia berpeluk tangan saja setelah secara kebetulan bertemu muka dengan maling yang aneh ini!

   Kakek ini memandangnya dengan mata berputar putar, kemudian mengeluarkan suara ha ha. Bun Sam tercengang melihat ini karena tahu bahwa kakek ini adalah orang gagu seperti suhengnya. Iapun lalu menggerak gerakkan jari tangannya membalas isarat pada kakek itu. Ia menyatakan bahwa kakek itu telah melakukan pelanggaran besar terhadap kaisar dan mengapa kakek itn mencuri sebuah pedang.

   Kakek itu kembali mengeluarkan suara ha ha hu hu dan dengan isarat jari tangan ia menyuruh Bun Sam pergi dan jangan mencampuri urusannya. Akan tetapi, nyata bahwa ia gembira melihat pemuda tampan di depannya ini pandai "bicara" dalam bahasa gerak jari seperti seorang gagu.
Melihat Bun Sam bersitegang tidak mau melepaskannya, kakek itu menjadi marah dan tiba tiba ia mendorong pemuda itu supaya minggir. Mana Bun Sam mau diperlakukan begitu saja? Ia cepat mengelak dan ketika kakek itu hendak melompat pergi, ia lalu mengulur tangan kanannya, menotok ke arah pundak kakek itu dengan maksud merampas pedang.

   Akan tetapi ia menjadi terkejut sekali. Dengan jelas ia melihat betapa totokannya sudah berhasil tepat, akan tetapi kakek itu tidak menjadi lumpuh, sebaliknya ia bahkan merasa jari tangan nya merasa sakit! Bukan main! Kalaupun kakek ini mengerti ilmu menutup jalan darah, tidak nanti jari tangannya sampai merasa sakit. Hal ini hanya menandakan bahwa lweekang dari kakek ini benar benar tinggi sekali.

   Sebaliknya, ketika kakek itu melihat pemuda ini menyerangnya, lalu mengeluarkan suara marah dan secepat kilat ia membalikkan tubuhnya, tidak jadi berlari dan berbalik menyerang Bun Sam dengan ilmu pukulan yang aneh dan dahsyat! Bun Sam terkejut sekali dan cepat ia lalu mengelak dan melihat kakek itu terus mendesaknya dengan pukulan bertubi tubi dan hebat sekali, ia segera mainkan Ilmu Silat Thai lek Kim kong jiu, warisan dari suhunya, yakni Kim Kong Taisu.
Si gagu ini menjadi terketjut sekali dan nampaknya tercengang menyaksikan ilmu silat ini. Beberapa kali ia mengeluarkan suara yang menyatakan keheranan dan kekagetannya, kemudian dengan gembira ia menghadapi Bun Sam dengan ilmu silat nya yang aneh.

   Ketika lengan Bun Sam beradu dengan lengan kakek itu, pemuda ini menjadi makin terkejut karena ia merasa tangannya seakan akan bertemu dengan besi panas! Ia pernah mendengar dari suhunya bahwa ada ilmu pukulan yang disebut Ang thiat ciang (Tangan Besi Merah), akan tetapi karena ilmu pukulan ini hanya dimiliki oleh seorang tokoh besar yang sudah tidak ada lagi di dunia, maka mustahil kalau kini kakek ini dapat memilikinya.

   Apakah ini tokoh yang sudah lenyap dari dunia kang ouw itu? Tak mungkin, pikir Bun Sam, karena tokoh itu yang disebut oleh suhunya sebagai Raja Pedang, digambarkan oleh suhunya sebagai seorang yang biarpun sederhana namun selalu berpakaian bersih dan menjaga dirinya dengan baik.

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Karena terdesak terus oleh ilmu pukulan lawannya yang aneh dan sakti ini biarpun lawan nya hanya mempergunakan tangan kanan saja karena tangan kirinya untuk memegang pedang curiannya, Bun Sam lalu berseru keras dan mengeluarkan ilmu pukulan Soan hong pek lek jiu yang dipelajarinya dari Mo bin Sin kun!

   KEMBALI kakek gagu itu nampak terkejut dan mengeluarkan seruan seruan orang gagu yang dikenal oleh Bun Sam sebagai seruan kaget dari heran. Kemudian kakek itu menjadi tambah bersemangat saja menghadapi Bun Sam dan kegembiraannya memuncak.

   Bahkan kini mulai tertawa tawa! Akan tetapi yang mengherankan Bun Sam, pukulan Soan hong pek lek jiu agaknya juga tidak "mempan" terhadap kakek yang lihai ini! Dan pada saat ia mengeluarkan pukulan yang ke tujuh, tiba tiba kakek itu menerima pukulan ini dengan dadanya, tanpa mengelak atau menangkis, bahkan lalu mengulurkan tangan kanannya menangkap Bun Sam!

   Pukulan itu tepat mengenai dada kakek itu. Pukulan Soan hong pek lek jiu benar benar hebat dan biarpun kakek itu tenaga lweekangnya jauh melebihi Bun Sam namun ia tak dapat, menahan pukulan ini dan terpental mundur sampai tiga tindak! Kemudian ia batuk batuk tanda bahwa biar pun tidak terluka berat namun pukulan ini "terasa" juga olehnya dan dapat membobolkan benteng pertahanannya yang kuat.

   Bun Sam sudah mulai merasa girang, akan tetapi tiba tiba sekali, bagaikan seekor kera saja gesitnya, kakek itu menubruk maju dan sebelum Bun Sam dapat mengelak, ia telah disambar dan diringkus di dalam pelukan kakek itu. Ia mencoba untuk memberontak, akan tetapi makin keras ia berusaha, makin sakitlah tulang tulangnya. Ia kaget sekali karena tidak disangkanya bahwa kakek ini selain memiliki tenaga lweekang yang tinggi, juga memiliki tenaga gwakang (tenaga otot) yang besar sekali.

   Karena tahu bahwa kalau ia berkeras, kulit kulit tubuhnya akan lecet dan tulang tulangnya akan remuk, maka Bun Sam tidak berani berkutik lagi dan membiarkan saja dirinya dibawa berlari lari seperti terbang cepatnya oleh kakek itu! Makin kagumlah Bun Sam ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu tari cepat dari kakek ini agaknya tidak berada di bawah tingkat kepandaian suhunya sendiri!

   Dalam keadaan tertotok dan payah karena lapar sekali, Bun Sam dibawa pergi oleh sigagu itu sampai tiga hari tiga malam. Kakek itu mendaki sebuah bukit yang penuh dengan hutan liar.

   Gunung ini adalah Gunung Hek mo san (Gunung Iblis Hitam) dan di puncak gunung yang belum pernah dikunjungi orang lain ini terdapat sebuah gua yang terkenal di dunia kangouw sebagai gua siluman. Pernah ada beberapa orang kangouw yang iseng iseng mengunjungi bukit dan gua ini, akan tetapi mereka lenyap tak meninggalkan bekas, sehingga akhirnya tempat ini merupakan tempat yang ditakuti orang dan tak ada lagi orang gagah yang berani main main di tempat ini.

   Ketika iba di depan sebuah gua yang besar dan hitam gelap, kakek itu menurunkan Bun Sam di atas tanah, memetik tiga butir buah yang kemerahan, melemparkan buah itu kepada Bun Sam lalu membebaskan totokannya, sehingga pemuda itu dapat bergerak lagi walaupun masih lemah. Dengan isyarat tangannya, ia minta supaya Bun Sam makan buah itu.

   Pemuda ini tidak tahu buah apakah yang kemerahan itu akan tetapi karena perutnya lapar sekali, ia lalu mencoba menggigitnya. Alangkah girangnya ketika mendapat kenyataan bahwa buah itu selain manis dan segar, juga berbau harum. Sebentar saja habislah tiga butir buah itu dan ia mendapatkan tenaganya kembali.

   "Awas, jangan kau berani lari dari sini atau melakukan sesuatu tanpa perintahku. Kalau melanggar, aku akan membunuhmu." Kakek itu bicara melalui gerak jari tangannya.

   Bun Sam memang amat tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tantang kakek ini, maka biarpun tidak diancam, ia tidak berniat hendak pergi dari situ. Kakek ini terang sekali adalah seorang yang sakti dan berkepandaian tinggi sekali, maka kalau dapat bergaul dan dekat dengan dia dan dapat memetik beberapa ilmu silat dari padanya, bukankah itu baik sekali? Harus diakui bahwa watak kakek ini keras dan buruk sekali, akan tetapi hal inipun dapat dhadapinya dengan penuh kesabaran. Tidak percuma Bun Sam semenjak kecil menjadi murid dari Kim Kong Taisu kalau ia tidak dapat menguasai perasaan dan tidak memiliki kesabaran yang besar sekali.

   Setelah makan, kakek gagu itu lalu mengajaknya memasuki gua yang hitam gelap itu.

   "Di dalam ada seorang kakek lumpuh yang hendak menciptakan ilmu pedang untukku. Kau jangan mengganggunya dan jangan mengajak ia bicara di luar kehendakku!" kembali kakek gagu ini mengancam dengan gerak jari tangannya.

   Bun Sam hanya mengangguk, akan tetapi hatinya berdebar tegang ketika ia melihat gerak jari tangan kakek ini dan mengetahui maksudnya. Siapakah kakek lumpuh yang berada di dalam gua?? Mendengar bahwa kakek lumpuh itu hendak menciptakan ilmu pedang ia menduga duga. Apakah kakak itu yang disebut oleh suhunya sebagai Raja Pedang? Dan untuk inikah gerangan kakek gagu itu mencuri pedang pusaka dari dalam istana kaisar?

   Gua itu selain luas dan gelap menghitam, juga ternyata dalam sekali. Setelah meraba raba maju sampai kira kira sepuluh tombak dalamnya, mereka berhadapan dengan dinding batu karang. Kali ini diketahui oleh Bun Sam dengan rabaan tangannya. Tiba tiba, entah bagaimana cara membukanya, terbukalah sebuah pintu di dinding batu itu, pintu yang hanya dapat dimasuki oleh tubuh satu orang yang tidak terlalu gemuk.

   Kakek itu memberi isarat supaya Bun Sam masuk lebih dulu, baru kemudian ia masuk di belakang pemuda itu dan menutupkan pintu tanpa dilihat oleh pemuda itu. Ketika Bun Sam mengerling, ia tidak melihat lagi adanya pintu. Sungguh merupakan sebuah pintu rahasia yang luar biasa sekali.

   Mereka berjalan terus dan kini di ruang ini tidak gelap seperti tadi, melainkan terang, mendapat penerangan matahari yang bersinar turun melalui lobang lobang di sebelah atas. Jalan berliku liku diapit oleh tebing batu karang yang tingginya tak dapat diukur lagi, seakan akan kedua tebing di kanan kiri itu menyundul langit!

   Tak lama kemudian, tibalah mereka di sebuah ruangan yang bersih dan luas dan di sudut ruangan itu terlihat oleh Bun Sam seorang kakek yang sudah tua sekali duduk bersila dan diam tak bergerak seperti orang sedang tidur atau sebuah patung batu yang tak bergerak.

   Rambutnya yang putih itu panjang sekali sampai menutupi kedua pundaknya, terus bergantungan sampai di perutnya, ia memakai pakaian putih yang nampak bersih sekali, demikianpun di sekeliling tempat ia duduk, nampak bersih sekali seakan akan setiap saat disapu dengan teliti. Kira kira tiga tombak di sekelilingnya yang bersih, di luar itu agak kotor karena daun daun kering yang melayang jatuh dari atas kedua tebing. Di sebelah kiri dari kakek itu terdapat buah keranjang besar yang berisi buah buahan kemerahan seperti yang dimakan oleh Bun Sam tadi, sebanyak setengah keranjang.

   Melihat wajah kakek itu pucat dan nampaknya demikian lemah, timbul hati kasihan dalam dada Bun Sam. Akan tetapi kakek itu ternyata sama sekali tidak lemah karena pendengarannya masih tajam sekali. Hal ini terbukti bahwa biarpun kakek gagu dan Bun Sam masuk tanpa mengeluarkan suara sedikitpun dan biarpun kakek baju putih itu tidak membuka matanya, ia telah mengetahui kedatangannya itu. Ia bicara dengan suara halus.

   "Lo koai, apakah Pek lek kiam telah dapat kau bawa ke sini? Dan tamu siapakah yang ikut datang bersamamu?"

   Setelah berkata demikian, kakek baju putih itu membuka matanya. Terkejutlah hati Bun Sam ketika ia melihat mata kakek ini te lah buta. Biji matanya hanya kelihatan putih saja sungguh mengerikan sekali.

   Kakek gagu yang sebetulnya bernama atau mendapat nama julukan Ah Lo koai (Setan Tua Gagu) ini tentu saja tidak dapat menjawab dan juga tidak akan ada gunanya kalau ia bicara dengan gerak jari tangan karena kakek baju putih itu tidak dapat melihat.

   Maka ia lalu memberi tanda dengan jari tangan kepada Bun Sam dan minta pemuda itu menjadi "juru bahasa" menyampaikan jawabannya kepada kakek buta itu. Sekarang tahulah Bun Sam bahwa ia diculik untuk dijadikan juru bahasa.

   Akan tetapi dugaannya ini sebetulnya tidak tepat betul. Ada maksud yang lain dan yang lebih hebat lagi dari kakek gagu itu, maka ia membawa Bun Sam ke tempat ini.

   Setelah kakek gagu itu selesai bicara dengan gerak tangan, Bun Sam menjadi makin terkejut dan heran karena benar saja bahwa kekek buta ini bukan lain adalah Bu Tek Kiam ong si Raja Pedang yang dulu sering disebut sebut dan dipuji puji oleh suhunya, ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek sakti itu dan berkata untuk menyampaikan jawaban si kakek gagu.

   "Teccu yang bodoh bernama Song Bun Sam, dibawa datang ke sini oleh Ah locianpwe (kakek gagah yang gagu). Adapun Ah locianpwe telah berhasil mendapatkan pedang Pek lek kiam. Ah locianpwe minta teecu menyampaikan kepada locianpwe bahwa ilmu pedang itu harus segara diselesaikan dan diturunkan kepadanya, karena kalau tidak, leher locianpwe dan leher teecu akan dipenggal dengan pedang pusaka itu.

   Bun Sam menterjemahkan bahasa jari tangan Ah Lokoai dan diam diam ia merasa heran sekali mengapa ada terjadi perkara yang aneh ini antara Ah Lokoai dan Bu Tek Kiam ong. Tentu saja ia hanya dapat menduga duga dan tidak berani banyak bertanya, ia melihat Ah Lokoai kembali menggerak gerakkan jari tangannya dan kagetlah ia ketika mengerti akan maksud kakek gagu itu. Akan tetapi
(Lanjut ke Jilid 13)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13
melihat pandangan mata yang menyeramkan dari kakek gagu yang agaknya berotak miring ini ia cepat menyampaikannya kepada Bu Tek Kiam ong.

   "Ah locianpwe memberi waktu tiga bulan kepada locianpwe untuk menciptakan dan menyelesaikan ilmu pedang yang tiada lawannya di dalam dunia kang ouw. Lewat dari tiga bulan, locianpwe takkan dapat hidup lagi dan bersama teecu akan dimasukkan ke dalam sumur ular berbisa!"

   Bu Tek Kiam ong tertawa geli mendengar ancaman ancaman yang hebat ini.

   "Lokoai benar benar lucu. Siapakah yang takut mati? Kalau bukan ingin meninggalkan ilmu pedang yang akan merajai di seluruh dunia kang ouw, siang siang aku sudah mengambil nyawaku sendiri dari tubuh yang bobrok ini!"

   Bun Sam melihat Ah Lokoai menggerak gerakkan jari tangannya, maka ia cepat menterjemahkannya.

   "Ah locianpwe bilang bahwa dia sudah banyak memelihara locianpwe, mencarikan buah buahan. Kalau tidak ada dia, locianpwe tentu mati kelaparan, maka sudah sepatutnya kalau dia yang menerima warisan ilmu pedang itu."

   Kembali Bu tek Kiam ong gelak tertawa.

   "Ha, ha, ha, sungguh Ah Lokoai seperti badut melawak. Mataku sempat buta, perbuatan siapakah itu? Kedua kakiku sampai lumpuh, kejahatan siapa pula itu? Apa artinya dibandingkan dengan pemeliharaan selama lima tahun? Ha, ha, sungguh lucu, aku memang hendak mencipta ilmu pedang dengan pek lek kiam, akan tetapi ilmu pedang ini akan dimiliki oleh seorang yang benar benar gagah dan berbudi luhur."

   Mendengar ucapan ini, tiba tiba Ah Lokoai mengeluarkan seruan keras yang menyeramkan sekali dan ia lalu menubruk maju, menyerang Bu tek Kiam ong dengan sebuah pukulan maut ke arah kepala kakek rambut putih itu. Melihat hal ini, Bun Sam tentu saja tidak mau berpeluk tangan saja. Pemuda ini dengan cepat pula lalu menyambar maju dan dengan kedua tangannya ia menangkis pukulan Ah Lokoai.

   "Duk"!" Bun Sam terpental dua tombak lebih dan tubuhnya tertumbuk pada dinding batu karang. Demikian hebat tenaga raksasa yang keluar dari pukulan Ah Lokoai tadi. Baiknya pemuda ini telah melatih dengan baik ilmu lweekangnya, sehingga ia telah dapat menutup hawa dan melindungi jalan darahnya maka biarpun adu tenaga itu membuat kepalanya pening dan benturan dengan dinding membuat kulitnya lecet lecet, namun ia tidak mengalami luka di dalam tubuh.

   Namun ia untuk sementara tak dapat bangkit lagi dan hanya rebah sambil memandang ke arah Ah Lokoai. Kakek gagu ini tadi juga terdesak mundur sampai dua tindak ketika lengannya terbentur dengan kedua lengan Bun Sam. Kini ia tertawa tawa melihat Bun Sam terlempar, kemudian dengan serentak ia lalu mengirim pukulan lagi ke arah kepala Bu tek Kiam ong.

   Bun Sam merasa ngeri karena mana bisa kepala kakek yang lumpuh dan lemah itu menahan pukulan maut ini? Akan tetapi, ia sendiri masih merasa lemah dan sakit sakit tubuhnya, sehingga tak berdaya menolong.

   Akan tetapi, kakek buta itu sekarang menengok ke arah Bun Sam dengan wajah berseri dan tanpa memperhatikan serangan Ah Lokoai ia mengangkat tangan ke arah kakek gagu sambil berseru.

   "Lokoai, tahan dulu! Aku tidak takut mati, akan tetapi kalau aku sampai mati, siapa yang akan mengajarmu ilmu pedang untuk menghadapi mereka?"

   Mendengar seruan ini, Ah Lokoai menahan pukulannya dan cepat menggerak gerakkan jari tangannya sambi memandang ke arah Bun Sam, matanya mengeluarkan perintah agar pemuda itu menyampaikan kata katanya kepada Bu Tek Kiam ong.

   "Si gagu bertanya, apakah locianpwe suka menurunkan ilmu pedang itu kepadanya?" kata Bun Sam yang kini tidak menyebut Ah locianpwe lagi kepada kakek gagu, melainkan menyebut si gagu saja!

   "Tentu, tentu," Bu Tek Kiam ong berkata dan wajahnya makin berseri girang. "Aku berjanji untuk mengajar ilmu pedang kepadanya, akan tetapi harus diketahui bahwa ilmu pedang yang hendak kuciptakan ini sedikitnya harus dilatih selama tiga tahun! Dan satelah aku memberi janjiku, iapun harus berjanji takkan mengganggu anak muda ini!"

   Ah Lokoai menjadi girang dan mengangguk angguk puas sambil menyeringai.

   "Dia setuju, locianpwe!" kata Bun Sam.

   Tanpa memperdulikan lagi kepada Ah Lokoai Bu Tek Kiam ong lalu mengeluarkan tangannya ke arah Bun Sam sambil berkata.

   "Anak muda kau majulah ke sini, biarkan aku meraba muka dan tubuhmu!"

   Dengan tubuh masih terasa sakit sakit, Bun Sam lalu menghampiri kakek itu dan berlutut di depannya. Bu tek Kiam ong lalu mengulurkan tangannya, meraba raba kepala, muka, kedua lengan dan pundak Bun Sam sambil mengangguk angguk puas.

   Semua ini dilihat oleh Ah Lokoai dengan mata tajam. Ia memperhatikan betul betul dan merasa khawatir kalau kalau kedua orang itu akan membuat persekutuan diam diam. Akan tetapi Bu tek Kiam ong tidak menyatakan sesuatu hanya bertanya.

   "Anak muda, namamu Song Bun Sam? Bagus, sekarang katakan, apakah kau tadi bukan melakukan gerakan dari Kim kong pek lek jiu ketika menyambut pukulan Ah Lokoai?"

   Bun Sam terkejut sekali. Bagaimana seorang buta dapat menduga gerakan pukulannya ketika ia menangkis pukulan Ah Lokoai tadi?

   "Benar, locianpwe, memang teecu adalah murid dari Kim Kong Taisu."

   Pada saat itu Ah Lokoai menggerak gerakkan tangannya dan Bun Sam berkata, "Si gagu memberitahukan bahwa selain menjadi murid Kim Kong Taisu, teecu juga menjadi murid dari Mo bin Sin kun. Hal ini memang ada betulnya, karena teecu pernah menerima latihan ilmu pukulan dari Mo bin Sin kun."

   Mendengar ucapan itu Bu tek Kiam ong menjadi makin girang, ia menepuk nepuk pahanya dan berkata "Ah, tahulah aku sekurang mengapa Lokoai membawamu ke sini! Bagus, bagus agaknya Lokoai hendak berusaha benar benar untuk mengalahkan Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun. Ha, ha, ha!"

   Kakek buta ini lalu tertawa terbahak bahak seperti orang yang merasa geli dan juga gembira sekali dan tiada hentinya tangannya mengusap usap kepala Bun Sam penuh kasih sayang.

   Mendengar kata kata dan melihat sikap kakek ini, timbul keheranan dan juga rasa simpati terhadap Bu tek Kiam ong dalam hati Bun Sam.

   "Locianpwe, bolehkah teecu mengetahui apakah sebetulnya arti daripada semua ini! Mengapa Ah Lokoai memusuhi suhu Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun? Dan mengapa pula locianpwe diharuskan menciptakan ilmu pedang untuknya? Juga apakah hubungan pedang Pek lek kiam dari istana dan kehadiran teecu di sini dengan persoalan ini? Teecu merasa bingung sekali locianpwe dan mohon penjelasan."

   Bu tek Kiam ong menarik napas panjang, lalu menjawab,

   "Kalau Lokoai menyetujui, baru aku dapat menceritakan semua kepadamu, Bun Sam."

   Bun Sam lalu berkata dengan gerak jari tangannya kepada Ah Lokoai.

   "Aku telah kaupaksa ikut ke tempat ini dan aku berada di dalam kekuasaanmu. Akan tetapi sebagai orang ketiga di tempat asing ini, aku harus mengetahui persoalannya. Kalau tidak, biar kau akan membunuhku, aku takkan suka membantumu menjadi juru bahasa!"

   Tadinya Ah Lokoai memandang marah sekali, akan tetapi akhirnya ia memberikan persetujuan nya. Maka dengan suara tenang dan nyata, berceriteralah Bu tek Kiam ong dengan ringkas yang membuat Bun Sam menjadi marah sekali kepada Ah Lokoai.

   Menurut penuturan Bu tek Kiam ong, belasan tahun yang lalu, bahkan kurang lebih duapuluh tahun yang lalu, lima orang tokoh besar dunia persilatan yang disebut Lima Besar, yakni Kim Kong Taisu, Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu, Pat jiu Giam ong Liem Po Coan, Mo bin Sin kun dan Bu Tek Kiam ong mengadakan perjanjian untuk bertemu di puncak Thaisan untuk berdemontrasi ilmu silat dan menentukan siapa yang memiliki kepandaian tertinggi diantara mereka berlima.

   Pertemuan antara Lima Besar yang dianggap sebagi tokoh tokoh paling terkemuka di dunia persilatan tentu saja menarik perhatian tokoh kang ouw dari semu penjuru.

   Oleh karena itu, pada saat yang telah ditentukan, tidak saja Lima Besar ini yang hadir di puncak Gunung Thaisan, bahkan banyak sekali ciangbunjin (ketua) dan tokoh tokoh cabang persilatan seperti Go bi pai, Kun lun pui, Hoa San pai, Bu Tong pai dan Siauw lim pai juga memelukan hadir untuk menyaksikan pertandingan persahabatan yang tentu saja akan menarik sekali itu.

   Diantara mereka itu, semua menyatakan setuju di dalam hati bahwa pertemuan ini disebut pertemuan Lima Tokoh Terbesar, karena mereka semua sudah maklum bahwa tingkat kepandaian orang orang ini memang benar benar lebih tinggi daripada tingkat kepandaian mereka.

   Akan tetapi ada seorang tokoh aneh yang merasa penasaran dan tidak puas dengan adanya sebutan Lima Tokoh Terbesar itu karena ia merasa bahwa ilmu kepandaiannya sendiri pun cukup tinggi dan ia tidak mau kalah. Orang ini adalah seorang gagah yang semenjak kecil telah menderita penyakit gagu dan nama nya lebih terkenal dengan sebutan Ah Lokoai, seorang yang berkeliaran di dunia kang ouw wilayah selatan.

   Memang untuk daerah selatan, nama Ah Lokoai telah amat terkenal, tidak saja karena ilmu kepandaiannya yang amat tinggi, akan tetapi juga karena kegalakan dan keganasannya serta kegilaannya.

   Ketika lima orang tokoh besar itu sudah berkumpul, tiba tiba muncullah Ah Lokoai yang dengan suara ah ah uh uh dan ha ha hu hu menyatakan pendapatnya bahwa di dalam pibu itu ia harus dibawa pula untuk menetapkan siapa yang lebih unggul.

   Pendeknya, dengan caranya sendiri ia mengusulkan agar sebutan Lima Besar dirobah menjadi Enam Besar.

   Tokoh tokoh kang ouw yang berada di situ tak dapat menahan ketawa mereka mendengar usulan ini. Ah Lokoai yang melihat dirinya ditertawakan orang, menjadi marah sekali dan ia menantang Lima Besar seorang demi seorang.

   Untuk menjaga nama mereka, Lima Tokoh Terbesar tentu saja menerima tantangan ini dan Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu yang berwatak jenaka itu bahkan menyatakan bahwa kalau tidak dapat mengalahkan Ah Lokoai dalam sepuluh jurus lebih baik mundur saja dan jangan menyebut diri menjadi seorang diantara Lima Besar.

   Pendeknya, kepandaian Ah Lokoai hendak dijadikan bahan ujian!

   Majulah mereka seorang demi seorang menghadapi Ah Lokoai dan benar saja. Ah Lokoai dijatuhkan lima kali oleh Lima Besar itu dalam pertempuran kurang dari sepuluh jurus! Riuh rendah sorak dan ejekan para tokoh kang ouw yang dilontarkan kepada Ah Lokoai dan orang gagu ini dengan perasaan malu sekali lalu meninggalkan puncak Thai san. Kemudian ia dilupakan orang.

   Tidak tahunya bahwa si gagu ini menanam bibit kebencian dan dendam yang meluap luap. Ia menyembunyikan dirinya dan melatih ilmu silat tinggi sampai belasan tahun. Kemudian setelah merasa dirinya kuat benar benar, ia lalu mencari Bu tek Kiam ong lagi untuk menantang berkelahi!

   Akhirnya, di kaki Gunung Hek mo san, ia dapat bertemu dengan Bu tek Kiam ong yang sudah lama mengasingkan diri di tempat sunyi ini, tidak mau mencampuri urusan dunia ramai. Melihat kedatangan Ah Lokoai, BuTek Kiam ong memberi nasehat nasehat, akan tetapi si gagu itu tetap saja penasaran dan menantangnya untuk mengadu kepandaian karena ia hendak menebus kekalahannya yang dahulu belasan tahun yang lalu.

   Bukan main ramainya pertempuran antara mereka. Ah Lokoai benar benar telah mendapat kemajuan pesat sekali dan ilmu, kepandaiannya jika dibandingkan dengan dulu berbeda jauh sekali. Bu tek Kiam ong harus mengakui hal ini dan kalau saja ia tidak mengandalkan permainan pedangnya yang hebat luar biasa, agaknya dalam seratus jurus belum tentu ia dapat merobohkan Ah Lokoai.

   Namun, Bu tek Kiam ong dikenal sebagai Raja Pedang, setelah ia memainkan pedang nya, akhirnya Ah Lokoai terpaksa harus mengaku kalah untuk kedua kalinya terhadap Raja Pedang ini. Ah Lokoai lalu menjatuhkan diri berlutut dan mohon diterima menjadi murid, Bu tek Kiam ong adalah seorang tua yang bertabiat sabar dan berbudi mulia.

   Melihat keadaan Ah Lokoai, ia menaruh hati kasihan, ia bukan tidak tahu bahwa Ah Lokoai adalah seorang yang penderita penyakit jiwa, akan tetapi ia tidak tega untuk menolak permohonan Ah Lokoai. Ia menyatakan bahwa ia tidak akan menerima murid. Akan tetapi, ah Lokoai mendesak bahwa ia rela penjadi bujang yang melayani segala keperluan orang tua itu asal saja diberi pelajaran satu dua macam ilmu silat!

   Akhirnya Bu tek Kiam ong menerimanya dan demikianlah semenjak hari itu Ah Lokoai tak pernah berpisah dari Bu tek Kiam ong. Akan tetapi, tentu saja Raja Pedang itu tidak mau menurunkan ilmu kepandaian yang paling tinggi karena ia tahu bahwa ilmu kepandaian yang jatuh dalam tangan orang gila seperti Ah Lokoai, hanya akan merupakan bahaya belaka bagi umat manusia. Ia hanya mengajarkan kepandaian silat biasa kepada Ah Lokoai.

   Di luarnya, Ah Lokoai kelihatan biasa dan menerima, akan tetapi di dalam hati ia merasa mendongkol sekali. Akhirnya, kesempatan baginya tiba, ia mencampuri bisa ular dalam makanan Bu tek Kiam ong dan setelah Raja Pedang ini makan masakan itu, ia roboh pingsan!

   Tadinya Ah Lokoai hendak segera membunuh Raja Pedang ini sebagai pembalasan dendam, akan tetapi tiba tiba si gagu yang berotak miring ini mendapat sebuah pikiran yang baik sekali, ia lalu membawa Bu tek Kiam ong yang pingsan itu ke atas puncak Gunung Hek mo san dan membawanya masuk ke dalam gua siluman yang memang menjadi tempat tinggalnya ketika ia mengasingkan diri.

   Di situ ia membuat Bu tek Kiam ong tidak berdaya dengan jalan menggosok mata Raja Pedang ini dengan bubuk batu karang sampai menjadi buta dan kemudian membikin putus otot otot besar pada kedua kakinya!

   

Pemberontakan Taipeng Eps 4 Pedang Naga Kemala Eps 13 Pedang Naga Kemala Eps 7

Cari Blog Ini