Ceritasilat Novel Online

Dendam Sembilan Iblis Tua 1


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo Bagian 1



Dendam Sembilan Iblis Tua (Seri ke 03 - Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 01

   Thai-san merupakan pegunungan yang puncak-puncaknya menjulang tinggi, bahkan ada sebagian puncaknya yang selalu diliputi salju. Pegunungan itu luas sekali, mempunyai banyak lembah yang penuh dengan hutan-hutan rimba yang liar. Hanya di kaki pegunungan itu dan di lereng bagian bawah saja nampak dusun-dusun kecil yang hanya terdiri dari beberapa puluh buah rumah sederhana. Penghuni dusun-dusun itu hanya petani-petani dan sebagian pula adalah pemburu-pemburu binatang. Hidup mereka amat sederhana dan dusun-dusun itu nampak kecil tidak berarti di pegunungan yang besar, tinggi dan luas itu. Pada suatu hari, ketika matahari pagi mulai mengusiri kabut pagi di lereng-lereng pegunungan Thai-san, cuaca yang amat cerah itu mendatangkan suasana yang amat gembira dan bahagia.

   Di dalam keadaan mereka yang diam, pohon-pohon besar menikmati kehangatan sinar matahari pagi yang membebaskan mereka dari kedinginan yang menyelimuti mereka sepanjang malam, yang membuat daun-daun mereka hampir beku dan kini embun-embun berkilauan tergantung di daun-daun mereka. Embun itu makin menebal dan siap jatuh musnah di atas tanah di bawah sana. Pada ranting-ranting di mana hinggap burung-burung kecil yang berloncatan sambil berkicau, embun-embun itu sudah rontok sejak tadi. Tempat yang sunyi, liar, luas dan banyak hutan dan bagian yang sukar sekali dimasuki manusia itu menjadi tempat yang amat disuka oleh para penjahat dan buruhan pemerintah, sebagai tempat untuk menyembunyikan diri.

   Ke situlah para penjahat besar melarikan diri kalau mereka dikejar oleh pasukan keamanan pemerintah atau oleh para pendekar yang memusuhi mereka. Oleh karena itu, tidak ada rakyat biasa berani mencoba untuk mendaki Pegunungan Thai-san, melewati daerah aman di kaki-kaki gunung. Bahkan para pemburu tidak berani memasuki hutan yang masih asing bagi mereka, takut kalau bertemu dengan penjahat-penjahat besar yang bersembunyi. Oleh karena itu, para penduduk dusun yang melihat seorang pria tua berpakaian sasterawan seorang diri mendaki bukit pertama di pegunungan itu, memandang dengan heran dan juga khawatir. Orang itu mencari mati, bisik mereka, mati konyol!

   Orang dusun yang miskin dan tidak membawa apa-apa yang berharga sekalipun tidak akan berani lancang mendaki pegunungan itu. Dan pria yang naik dari gunung sebelah selatan ini jelas bukan orang dusun yang miskin. Dia seorang yang berpakaian sasterawan, pakaian dari sutera putih yang bersih dan halus, membawa buntalan yang cukup besar dari kain kuning yang terbuat dari sutera pula, tangan kanan memegang sebuah kipas besar dan di pinggangnya terselip sebatang pena yang terbuat dari logam kuning berkilauan. Emas! Dan dengan pakaian seperti itu, dia berani mendaki Pegunungan Thai-san! Mencari penyakit itu namanya, demikian para penduduk dusun saling berbisik. Bahkan seorang kakek dusun itu yang merasa kasihan, tadi menghadangnya dan menasihatinya agar jangan mendaki terlalu jauh karena pegunungan itu berbahaya.

   Namun sasterawan tua yang usianya tentu sudah ada enam puluh tahun itu, hanya mentertawakannya dan melangkah terus dengan gaya congkak. Sasterawan itu melenggang, mendaki bukit dan diikuti pandang mata beberapa orang dusun yang tadi berusaha untuk memperingatkannya. Tubuhnya yang jangkung kurus itu tidak mengesankan dan setelah dia lenyap ditelan pohon-pohon di hutan pertama, para penduduk membicarakannya dengan hati tegang. Tak lama lagi sasterawan itu tentu akan mati di dalam hutan dan seluruh bawaannya, bahkan pakaiannya yang melekat di tubuhnya, akan habis dirampok orang dan tubuhnya yang dibiarkan telanjang di dalam hutan, tak lama lagipun akan habis digeroti binatang hutan yang buas! Apa yang dikhawatirkan para penduduk dusun itu memang segera terjadi.

   Baru saja sasterawan tua itu tiba di tengah hutan pertama yang berada di lereng bukit, sudah melampaui batas yang aman, tiba-tiba saja bermunculan sebelas orang yang rata-rata berusia tiga puluh sampai empat puluh tahun, bertubuh kekar dan bersikap bengis. Dari wajah dan gerak gerik mereka saja mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Begitu berloncatan keluar dari balik pohon-pohon dan semak belukar, sebelas orang yang semua memegang golok besar itu sudah mengepungnya dengan setengah lingkaran. Pemimpin mereka, yang dahinya dihias codet bekas luka memanjang dari kanan ke kiri, menyeringai memperlihatkan giginya yang besar-besar, seperti seekor harimau yang mengancam calon mangsanya.

   "Ha-ha-ha, kiranya seorang sasterawan sinting!" kata seorang di antara mereka sambil terkekeh seolah melihat sesuatu yang lucu. Sasterawan itu bersikap tenang saja dan andaikata sebelas orang itu tidak terlalu mengagungkan diri sendiri dan selalu meremehkan orang lain, hal ini saja sebenarnya sudah merupakan hal yang luar biasa. Bagaimana seorang sasterawan tua yang dihadang sebelas orang penjahat yang demikian menyeramkan, masih dapat bersikap enak-enak saja? Tentu ada sesuatu yang diandalkan oleh sasterawan itu. Kalau tidak, sepantasnya dia sudah ketakutan sekali. Sasterawan itu memandang kepada orang yang tadi mengatakan dia sinting.

   "Kenapa kau bilang aku sasterawan sinting?" tanyanya, suaranya lembut dan mulutnya tersenyum ramah. Melihat sikap ini, sebelas orang itu bukan curiga, bahkan tertawa-tawa geli dan si codet yang menjadi pemimpin berkata,

   "Sasterawan gila! Kalau engkau tidak sinting, tentu tidak akan berani memasuki hutan ini seorang diri, membawa buntalan itu. Setidaknya, tentu terisi pakaian-pakaian bagus dan uang bekal perjalanan, ha-ha-ha!"

   "Engkau benar, buntalan ini memang terisi pakaian bersih dan ada belasan tail emas lima puluh tail perak. Habis, kenapa?" tanya sasterawan itu.

   "Dan pena di pinggangnya itu seperti emas!" kata seorang anggauta gerombolan itu sambil menunjuk ke arah benda yang terselip di pinggang sasterawan itu. Sasterawan itu menyingkap bajunya dan meraba benda itu. Sebatang mouw-pit (pena bulu) yang gagangnya sepanjang dua jengkal sebesar jari telunjuk dan terbuat dari pada emas murni!

   "Wah, matamu sungguh jeli," katanya memuji orang itu.

   "Pena ini memang terbuat dari pada emas." Para perampok itu, saling pandang dan kini mereka benar menduga bahwa sasterawan itu tentu gila. Membawa uang demikian banyak, benda berharga, memasuki hutan itu dan terang-terangan mengaku tentang uang dan pena emas. Si codet mengelebatkan goloknya.

   "Sasterawan gi1a. Karena engkau berterus-terang, kamipun tidak ingin membunuhmu, bahkan membiarkan pakaianmu yang menempel di tubuhmu. Berikan buntalan dan kim-pit (pena emas) itu kepada kami dan kembalilah engkau cepat-cepat sebelum kami mengubah keputusan kami." Sasterawan itu mengangkat muka, menyapu mereka semua dengan pandang matanya, mengembangkan kipasnya dan mengebut-ngebutkan kipas untuk mengusir kegerahan, kemudian dia berkata, suaranya masih lembut namun kini mengandung kesungguhan.

   "Nanti dulu! Sebelum aku memenuhi semua permintaanmu, katakan dulu apakah kalian ini anak buah dari Thai-san Ngo-kwi (Lima Iblis Thai-san)?" Sebelas orang itu saling pandang, dan si codet segera melangkah maju mendekat dan membentak.

   "Mengapa engkau menanyakan Thai-san Ngo-kwi?" Sastrawan itu tersenyum.

   "Tidak apa-apa, hanya kalau kalian ini anak buah mereka, bawalah aku menghadap mereka karena kami adalah kenalan lama. Akan tetapi kalau kalian bukan anak buah mereka, hem, terpaksa aku harus membunuh kalian." Tentu saja sebelas orang itu menjadi terkejut dan juga marah bukan main mendengar ucapan yang sungguh tak pernah mereka sangka itu. Sasterawan yang tadinya mereka sangka gila itu ternyata kini malah mengancam hendak membunuh mereka semua! Biarpun mereka juga tentu saja tunduk akan kekuasaan Thai-san Ngo-kwi di wilayah pegunungan itu, namun mereka merupakan gerombolan tersendiri dan bukan anak buah lima orang kepala gerombolan itu.

   "Sasterawan tua gila, berani kau main-main dengan kami? Andaikata kami anak buah mereka sekalipun, kami tidak akan sudi mengantar kau menghadap mereka. Dan kami bukan anak buah mereka. Kau hendak membunuh kami? Ha-ha-ha! Kesombonganmu ini harus kautebus dengan nyawa...!"

   Si codet mengangkat goloknya ke atas dan menerjang maju, membacokkan goloknya ke arah sasterawan itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia berteriak keras dan terjengkang, terbanting keras dan berkelonjotan sekarat karena tenggorokannya telah dimasuki sebatang jarum yang tadi tanpa dapat di lihat mata telah melesat keluar dari ujung gagang kipas yang dikebut-kebutkan! Sepuluh orang anak buahnya terkejut dan marah sekali. Mereka semua menggerakkan golok dan mengepung, lalu menyerang dari segala jurusan. Namun, sasterawan itu hanya menggerakkan kipasnya beberapa kali dan sepuluh orang itupun menjerit dan roboh satu demi satu, semuanya roboh berkelonjotan dan tewas! Sasterawan berpakaian putih itu tersenyum mengejek, mengebut-ngebutkan ujung lengan baju dan menggunakan tangannya mengebut jubah depan, yang agak kotor terkena debu,

   Kemudian tanpa menoleh lagi dia melanjutkan pendakiannya seolah tidak pernah terjadi sesuatu. Siapakah sasterawan tua yang begitu lihai dan berdarah dingin sehingga dalam sekejap mata saja dia mampu membunuh sebelas orang penjahat seperti orang membunuh semut saja? Kalau sebelas orang itu mengetahui siapa dia, tentu mereka tidak akan berani berlagak hendak merampoknya. Sasterawan itu adalah seorang datuk besar dunia persilatan, seorang tokoh besar kaum sesat yang termasuk seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua). Tak seorangpun tahu siapa namanya, hanya mengenal julukannya saja, yaitu Kim Pit Siu-cai (Sasterawan Pena Emas) karena dia selalu mempergunakan pena emas untuk menulis dan juga untuk membunuh lawan yang lihai.

   Datuk sesat berusia enam puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus ini sebenarnya sudah lama sekali tidak pernah melakukan aksi di dunia kang-ouw, dan agaknya dia hendak menikmati sisa hidup di masa tua dengan ketenangan karena dia sudah kaya raya. Oleh karena itu, kalau sekarang dia turun ke dunia ramai, tentu ada sesuatu yang amat penting dan dapat diramalkan bahwa setelah datuk ini turun gunung tentu akan terjadi hal-hal yang mengerikan. Dan ini terbukti di hutan itu, di mana dia membunuh sebelas orang seenaknya saja! Kim Pit Siu-cai selama bertahun-tahun ini seperti bersembunyi saja di rumahnya yang besar, di lereng sebuah bukit di pantai timur, dan memang sekali ini, dia mendaki Thai-san membawa kepentingan besar yang akan menggegerkan dunia kang-ouw.

   Pada hari itu juga, ketika Kim Pit Siu-cai mendaki bukit dari selatan bagian timur, dari arah selatan melalui daerah yang terpisah sepuluh lie saja dari jalan yang ditempuh Kim Pit Siu-cai, nampak seorang wanita yang juga mendaki bukit pertama Pegunungan Thai-san. Pagi-pagi sekali, wanita itu memasuki dusun terakhir di lereng bukit sebelah bawah, sebuah dusun yang hanya mempunyai limabelas rumah, yaitu rumah keluarga para pemburu. Begitu ia memasuki dusun itu, terdengar tangis seorang bayi dan ternyata wanita itu memondong seorang bayi yang usianya paling banyak tiga bulan. Bayi yang gemuk dan kulitnya masih tipis kemerahan, seorang bayi perempuan yang sehat dan mungil.

   "Diamlah, sayang, diamlah. Ibu sayang kepadamu, manis. Diamlah, sayang dan jangan menangis..." katanya dengan suara merdu dan seperti bernyanyi, dan ia mengayun-ayun bayi itu dalam pondongannya.

   Kalau melihat keadaan wanita itu, tidak mungkin ia ibu anak itu. Wanita itu sedikitnya berusia lima puluh tahun, atau tentu lebih hanya nampak baru lima puluh tahun karena ia pesolek. Bentuk tubuhnya masih ramping dan wajahnya masih nampak cantik karena ia memakai bedak, pemerah bibir dan pipi, penghitam alis dan tepi mata, rambutnya hanya sedikit terhias uban, dan di sisir rapi, di gelung ke atas. Pakaiannyapun indah seperti pakaian wanita hartawan atau bangsawan. Sedangkan bayi perempuan itu, walaupun sehat gemuk dan mungil, akan tetapi mengenakan pakaian lusuh dari kain kasar, seperti biasa anak-anak dusun dari orang tua miskin. Biarpun diayun-ayun, bayi itu tetap menangis.

   "Diamlah, sayang, apakah engkau lapar? Haus? Ibumu juga haus, sayang," katanya dan wanita itu melihat sebuah bangku di depan pekarangan rumah kecil. Ia memasuki pekarangan dan duduk di atas bangku itu. Bayi itu dipondongnya, lalu diciuminya, dahinya, kedua pipinya, lehernya dan sampai lama ia membenamkan mukanya di leher bayi itu, yang baunya sedap. Anehnya, bayi itu segera berhenti menangis, berhenti meronta! Daun pintu rumah kecil itu terbuka dan seorang ibu petani, isteri pemburu yang tinggal di situ, keluar sambil menggendong anaknya. Ia menggendong sambil menyusui bayinya dan keluar karena tertarik oleh tangis bayi tadi.

   "Syukurlah anak itu sudah diam," kata ibu itu sambil mendekat dan melihat pakaian wanita itu, ia terbelalak heran.

   "Eh, nyonya... dari manakah?" Belum pernah ia melihat wanita memakai pakaian seindah itu, dan rambut wanita itupun di gelung secara indah dan dihias emas permata. Wanita itu masih membenamkan mukanya di leher anak yang kini terdiam, dan ia hanya mengangkat mukanya sedikit sehingga nampak hanya sepasang mata ke atas. Ketika melihat seorang wanita muda menyusui seorang bayi yang montok, matanya bersinar-sinar. Wanita yang masih menyembunyikan mukanya di leher bayinya dengan sikap penuh kasih sayang itu, tanpa memperlihatkan muka, berkata,

   "Engkau masih menyusui? Tolonglah kaususui bayiku ini..." Wanita itu mencabut payudaranya dari mulut anaknya yang sudah kenyang dan dengan lapang hati ia bersedia untuk menyusui bayi orang lain.

   "Baiklah, mari saya susui anak itu..." Ucapanya terhenti dan ia terbelalak memandang kepada wajah cantik yang kini sudah diangkat dari leher anak itu. Wajah yang cantik, dengan perhiasan anting-anting dan kalung yang mewah, akan tetapi wajah yang pantasnya menjadi nenek dari bayi itu. Bukan ini yang membuat isteri pemburu itu terbelalak, akan tetapi juga sinar mata yang tajam menusuk dan noda merah berlepotan sedikit pada ujung bibir.

   "Nah, susuilah anakku, dan mana kugendongkan dulu anakmu itu," kata si wanita cantik. Isteri pemburu menggeleng kepala, akan tetapi karena ia tadi sudah menyatakan setuju, iapun tidak melawan ketika anaknya diraih dari gendongannya dan sebagai gantinya, ia memondong bayi dari tangan wanita cantik itu.

   "Aduh montoknya...! Sayang, engkau manis sekali, hemm, tentu belum tiga bulan anak ini. Mari ikut ibu, sayang..." Wanita cantik itu mencumbu bayi montok itu. Di lain pihak, isteri pemburu yang payudaranya masih menetes-netes air susu dan siap hendak menyusui bayi yang dipondongnya, terbelalak ketika melihat keadaan bayi itu. Seorang bayi perempuan yang badannya montok sehat, akan tetapi ketika ia memandangnya, muka bayi itu pucat seperti kertas, bahkan kebiruan, matanya mendelik dari lehernya yang mulus itu berlepotan darah, napasnya tinggal satu-satu! Ia menjerit.

   "Iiihhh... anak ini...!" Ia mengangkat muka dan melihat betapa wanita cantik itu melenggang santai meninggalkan tempat itu, keluar dari pekarangan rumahnya.

   "Heiiiii... tidak..., tidaaaaak...! Kembalikan anakku...!" Ia mengejar keluar. Mendadak wanita cantik itu membalikkan tubuhnya, matanya mencorong akan tetapi mulutnya tersenyum dan ketika ia menyeringai itu, nampak sebelah dalam bibirnya masih berlepotan darah, juga sebagian giginya!

   "Kita tukar saja, bayi ini untukku dan bayi itu untukmu."

   "Tidak! Kembalikan anakku! Kembalikan... tolooonggg...!" Isteri pemburu yang sudah ngeri ketakutan itu menjerit minta tolong. Seorang laki-laki yang bertubuh tegap meloncat keluar dari dalam rumah itu. Dia adalah suami wanita yang mempunyai anak tadi. Dia heran mendengar jeritan isterinya dan ketika keluar, ia melihat isterinya mengejar seorang wanita cantik. Wanita itu membalik dan nampak tangannya bergerak dan tiba-tiba dia melihat isterinya terjungkal dan roboh dengan bayi masih dalam pondongannya.

   "Heiiii...!" Pemburu itu meloncat dengan kaget dan marah. Ketika dekat dengan isterinya, ia berlutut dan dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat isterinya sudah rebah dengan mata mendelik dan nyawa putus! Dan bayi dalam pondongannya yang pucat sekali itu bukanlah anaknya. Pantas isterinya tadi berteriak minta dikembalikan anaknya. Isterinya dibunuh wanita cantik itu dan tentu anaknya yang kini dibawa pergi wanita itu. Tangis bayi menyadarkan dan dia menoleh, memandang wanita berpakaian serba merah yang cantik dan bertubuh ramping itu. Wanita itu menimang-nimang bayinya sambil melangkah pergi.

   "Diamlah, sayang, diamlah... ibu sayang padamu..."

   "Heiii, tunggu...!!" Pemburu itu bangkit dan lari mengejar, lalu menghadang di depan wanita itu yang menghentikan langkahnya.

   "Engkau siluman! Kenapa kau bunuh isteriku? Dan itu anakku, kembalikan!" bentak si pemburu dengan marah sekali. Wanita itu mengangkat muka memandang kepadanya, tersenyum mengejek.

   "Minggirlah kalau engkau tidak ingin menyusul isterimu." Tentu saja pemburu itu marah bukan main.

   "Siluman jahat!" bentaknya dan diapun menerjang maju sambil mengangkat tangan kanannya ke atas lalu menghantam ke arah kepala wanita cantik itu. Dengan tenang saja, wajahnya masih tersenyum wanita itu menyambut tangan si pemburu dengan tangan kirinya. Begitu pergelangan tangan kanan pemburu itu dapat ditangkapnya, si pemburu mengaduh kesakitan. Seluruh otot pergelangan tangan dan tulang-tulangnya seperti putus-putus dan patah-patah. Tiba-tiba tangan kecil halus yang menangkap pergelangan tangan kanan itu lepas dan sebuah tamparan tangan itu menyambar ke arah dahi si pemburu.

   "Plakk!" Pemburu itu mengeluh dan terpelanting roboh, berkelojotan dan tewas! Anak bayi itu masih menangis dan wanita itu mendekapnya sambil menimang-nimang,

   "Diamlah sayang... diamlah anakku..." dan iapun melangkah pergi dengan tenang. Para tetangga mendengar teriakan-teriakan dan tangis bayi itu. Lima orang pemburu menghambur keluar dari rumah masing-masing dan lari ke rumah pemburu yang tewas. Ketika melihat pemburu dan isterinya menggeletak tak bergerak di pekarangan rumah mereka, lima orang pemburu itu segera dapat menduga apa yang terjadi. Mereka melihat sahabat mereka dan isterinya tewas, dan seorang wanita cantik meninggalkan pekarangan rumah itu sambil memondong seorang bayi yang menangis! Tentu wanita itu telah menculik bayi mereka dan membunuh suami isteri itu!!

   "Heiii... tunggu...!!"

   "Berhenti...!!" Sambil berteriak-teriak, lima orang pemburu itu berlari mengejar wanita itu sambil mencabut golok mereka dan tak lama kemudian, mereka telah dapat menyusul dan menghadangnya, mengepung setengah lingkaran dengan sikap mengancam. Wanita itu telah tiba di tepi hutan di luar dusun dan kini ia mengangkat mukanya, memandang kepada lima orang pemburu yang marah itu dengan bibir tersenyum.

   "Kalian mau apa? Biarkan aku pergi," kata wanita itu dengan suara lembut.

   "Engkau membunuh seorang kawanku dan isterinya, dan menculik putera mereka?" Wanita itu tersenyum dan mengangguk dengan sikap seorang yang tidak merasa bersalah sedikit pun.

   "Engkau membunuh dan menculik dan mau pergi begitu saja?"

   "Habis kalian mau apa? Jangan mencampuri urusanku kalau kalian tidak ingin menyusul dua orang itu." Mendengar ancaman itu, lima orang pemburu itu semakin marah. Tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang wanita iblis yang amat aneh dan kejam, seorang penculik bayi dan pembunuh.

   "Serahkan bayi itu dan menyerahlah, kalau tidak ingin kami bunuh!" bentak mereka.

   "Hemm, aku tidak banyak waktu untuk melayani kalian. Membunuh kalianpun tidak ada harganya!" kata wanita itu dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah meloncat jauh dan tiba di hutan itu. Pada saat itu, dua orang pemburu lain keluar dari dalam hutan karena mereka baru saja pulang memasang jerat. Melihat lima orang rekan mereka mengejar seorang wanita cantik yang memondong bayi, mereka tahu bahwa pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan wanita itu dan merekapun menghadang di depan wanita itu sambil melintangkan tombak mereka.

   "Berhenti dulu!" seru mereka. Melihat dua orang kawan mereka, lima orang itu berteriak-teriak.

   "Iblis wanita itu telah membunuh A-ciu dan isterinya dan menculik anak mereka!" Dua orang pemburu yang memegang tombak itu terkejut bukan main dan tentu saja mereka sudah melintangkan tombak dan mengancam sehingga wanita itu kini berhenti lagi. Akan tetapi ia masih tersenyum-senyum ketika akhirnya lima orang pengejarnya tadi tiba di situ dan tujuh orang pemburu mengepungnya dengan senjata di tangan dan sikap bengis mengancam.

   "Agaknya kalian memang sudah bosan hidup," katanya santai saja.

   "Engkau yang bosan hidup, iblis betina jahat!" bentak seorang pemburu termuda yang sudah tak dapat menahan kemarahannya. Dari belakang wanita itu, dia membacokkan goloknya ke arah kepalanya. Wanita itu nampaknya tidak tahu bahwa dirinya diserang dari belakang, akan tetapi begitu golok menyambar dekat kepalanya dari atas, tubuhnya tiba-tiba miring dan berputar, dan begitu golok lewat menyambar di pinggir tubuhnya, tangan kanannya bergerak menampar, jari-jari tangannya mengenai pelipis penyerang itu dan diapun roboh terpelanting dan berkelojotan sekarat! Wanita itu tersenyum, tangan kirinya memondong dan mendekap bayi yang masih menangis, dan menghadapi enam orang pemburu yang lain dengan tangan kanan yang kosong saja.

   Enam orang pemburu sudah menyerangnya dari segala jurusan. Namun, tubuh wanita berpakaian merah itu sungguh gesit bukan main. Bagaikan seekor burung merah, tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar golok dan tombak, menyelinap dan tak pernah ada senjata mampu menyentuh ujung, baju atau ujung rambutnya. Sambil berkelebatan, tangan kanannya membagi-bagi tamparan dan setiap kali ada pemburu yang kena ditampar, tentu terpelanting roboh dan tidak dapat bangkit kembali karena tewas seketika. Dalam waktu beberapa gebrakan saja, tujuh orar;g pemburu itu sudah roboh semua. Tewas! Dan wanita itu berlenggang memasuki hutan, mendaki bukit. Sebentar saja lenyap ditelan pohon-pohon, dan hanya tangis bayi itu saja yang menjadi petunjuk ke arah mana ia pergi.

   Tujuh orang pemburu yang lain datang mengejar dari perkampungan mereka. Mereka itu terkejut bukan main melihat mayat kawan-kawan mereka berserakan. Dengan hati gentar mereka mencoba untuk mengikuti jejak wanita itu dan akhirnya mereka menemukan bayi putera rekan mereka yang tadi diculik. Bayi itu telah tewas dengan leher terluka bekas gigitan dan hisapan! Gegerlah mereka dan dengan hati duka, marah dan juga takut mereka mengurus jenazah rekan-rekan mereka. Tahulah para pemburu itu bahwa wanita baju merah itu tentu seorang iblis betina, seorang wanita yang melatih ilmu sesat dan mengorbankan nyawa dan darah anak-anak bayi. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena maklum bahwa mereka bukanlah lawan iblis betina itu, apa lagi iblis itu lenyap tanpa meninggalkan bekas lagi. Para pemburu itu menduga benar.

   Wanita yang nampak cantik pesolek itu memang seorang iblis betina, seorang datuk sesat yang namanya pernah menggegerkan dunia kang-ouw di selatan. Ia berjuluk indah sekali, yaitu Ang I Sian-li (Dewi baju merah), seolah-olah ia seorang dewi yang selain cantik jelita juga berwatak mulia! Pada hal, ia seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua) yang tersohor itu, dan kejamnya tidak kalah oleh rekan-rekannya. Ia juga hidup kaya raya di pegunungan selatan, dan sudah lama tidak pernah muncul di dunia kang-ouw. Kini, begitu muncul, ia telah memperlihatkan kekejaman yang mendirikan bulu roma, hanya untuk memuaskan "kehausan" akan darah bayi untuk memperkuat ilmunya! Thai-san Ngo-kwi adalah lima orang tokoh kang-ouw yang sudah lama berkuasa di sekitar Pegunungan Thai-san, mengepalai para penjahat yang jumlahnya tidak kurang dari seratus orang!

   Pekerjaan mereka adalah menguasai jalan-jalan dan dusun-dusun di sekitar pegunungan itu. Kalau ada orang lewat di jalan yang mereka kuasai, maka orang lewat itu harus membayar pajak, kalau tidak ingin disiksa atau dibunuh. Dan para kepala dusun juga membayar pajak kepada mereka kalau tidak ingin dusunnya diobrak-abrik. Dari hasil pemerasan dan perampokan inilah mereka hidup, bahkan Thai-san Ngo-kwi dapat hidup cukup mewah karena di beberapa kota di kaki gunung itu, mereka juga menguasai rumah-rumah judi dan rumah-rumah pelesir. Mereka sendiri selalu tinggal di sarang mereka, di puncak Bukit Hitam, yaitu satu di antara puluhan buah bukit di Pegunungan Thai-san.

   Di puncak Bukit Hitam itu terdapat perkampungan mereka, dan di tengah-tengah berdiri bangunan besar yang cukup mewah, tempat tinggal Thai-san Ngo-kwi yang tidak pernah berkeluarga itu. Bangunan ini dikelilingi bangunan-bangunan lain yang menjadi tempat tinggal anak buah mereka yang jumlahnya seratus orang lebih. Juga tidak seorangpun di antara anggauta mereka itu diperbolehkan berkeluarga. Perkampungan para penjahat itu dikelilingi pagar tembok yang tebal dan tinggi, seperti sebuah benteng saja, dan di pintu gerbang siang malam selalu dijaga! Thai-san Ngo-kwi merupakan lima orang bersaudara seperguruan dan mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi dan kuat. Usia mereka dari tiga puluh lima sampai empat puluh lima tahun,

   Dan mereka itu dikenal dari yang pertama sampai yang ke lima sebagai Thai-kwi (Setan Pertama), Ji-kwi (Setan Kedua), Sam-kwi (Setan Ketiga), Su-kwi (Setan Keempat) dan Ngo-kwi (Setan Kelima). Selain lima orang yang memiliki ilmu silat dahsyat dan kuat itu, juga anak buah mereka yang jumlahnya banyak merupakan suatu kekuatan yang disegani lawan. Karena itu, Thai-san Ngo-kwi dapat merajalela tanpa ada yang berani menentang mereka. Pada pagi hari itu, hari yang istimewa di mana terjadi hal-hal menyeramkan di kaki pegunungan sebelah selatan karena munculnya Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li, di sarang gerombolan penjahat itupun terjadi hal yang aneh. Matahari telah naik agak tinggi, telah mengusir embun dan hawa dingin sehingga belasan orang anak buah gerombolan yang berjaga di pintu gerbang, tidak lagi kedinginan.

   Api unggun sudah dipadamkan dan mereka duduk berjemur di bawah sinar matahari pagi yang hangat lembut sambil bercakap-cakap. Pintu gerbang sudah sejak tadi dibuka dan para anggauta gerombolan sudah berlalu lalang keluar masuk. Tiba-tiba para penjaga itu memandang keluar dan belasan orang itu segera bangkit berdiri dan menghadang di pintu gerbang, memandang kepada seorang pria yang entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah berada di depan pintu gerbang itu. Hal ini sungguh merupakan suatu keanehan. Bagaimana mungkin ada orang dapat sampai ke pintu gerbang itu? Pada hal, di bawah bukit sana terdapat banyak anak buah gerombolan dan orang ini pasti telah dihadang sebelum dapat tiba di pintu gerbang! Ataukah orang ini mengambil jalan melalui hutan-hutan dan sengaja bersembunyi, menyelundup sampai ke situ.

   "Heii, orang tua! Siapa engkau dan mau apa engkau datang ke sini?" bentak seorang anggauta gerombolan yang mukanya bopeng bekas cacar.

   "Hayo cepat pergi dari sini kalau tidak ingin kupenggal batang lehermu!"

   "Tidak, dia harus berlutut dan minta-minta ampun, lalu kita tangkap dia dan seret dia menghadap pimpinan!" kata orang kedua yang mukanya hitam. Kakek itu berdiri di depan mereka. Seorang kakek yang usianya enam puluh lima tahun, rambut dan kumisnya sudah putih semua, nampak tua dan ringkih, dengan pakaian yang agak kusut. Kakek ini memegang sebatang tongkat berbentuk ular.

   Kalau tongkat itu dari kayu yang diukir, maka sungguh pandai pengukirnya karena mirip ular benar-benar. Gagangnya menjadi kepala ular dan ujungnya menjadi ekor ular. Ketika dua orang anggauta gerombolan itu mengeluarkan ucapan kasar dan menghina kepadanya, kakek itu memandang kepada mereka dengan sinar mata mencorong, dan beberapa kali, secara aneh sekali, lidah kakek itu menjilat bibir sendiri dengan gerakan cepat, mengingatkan orang akan kebiasaan seekor ular yang suka menjilat bibir dengan lidah secara cepat. Lidah itu hanya nampak sekejap saja, menjulur ke luar dan lenyap lagi ke balik bibir. Si bopeng dan si muka hitam kini melangkah lebar menghampiri kakek itu.

   "Kami tidak menyukai matamu itu! Hayo cepat berlutut dan minta ampun sebelum kami congkel keluar kedua mata setanmu itu!" bentak pula si bopeng, dan kedua orang itu sudah mengangkat golok mereka mengancam dengan sikap bengis. Kawan-kawan mereka hanya menonton saja karena mereka tidak memperdulikan seorang kakek yang tidak mengesankan itu. Setelah memandang kepada dua orang itu dengan mata mencorong, kakek itu yang berdiri bersandar pada tongkatnya, berkata lirih.

   "Heeemmm, Thai-san Ngo-kwi memelihara dua ekor anjing buduk yang tidak ada gunanya ini, sungguh merugikan saja!" Mendengar ucapan kakek itu, si bopeng dan si muka hitam tentu saja menjadi marah bukan main. Orang ini malah berani memaki mereka sebagai dua ekor anjing buduk!

   "Tua bangka yang bosan hidup! Kucincang kau!" bentak si muka bopeng sambil mengayun goloknya.

   "Buntungi kaki tangannya, penggal lehernya!" teriak si muka hitam yang juga sudah menyerangnya. Dua orang anak buah gerombolan ini memang sudah terbiasa menggunakan kekerasan atau membunuh orang tanpa alasan yang kuat. Akan tetapi kakek itu agaknya sama sekali tidak perduli akan serangan dua orang kasar itu.

   Kembali lidahnya mencuat keluar lalu masuk kembali, dan kini mulutnya menyeringai dan mengeluarkan suara mendesis. Uap keabuan menyambar keluar, tersembur dari mulut yang menyeringai itu dan mengenai muka si bopeng dan si muka hitam. Mereka itu terhuyung, golok mereka terlepas, lalu terpelanting roboh, berkelojotan dan tewas dengan muka berubah merah melepuh! Para penjaga lainnya terkejut dan mereka berteriak-teriak marah. Mendengar teriakan mereka, para anggauta gerombolan yang berada di dalam dan di luar pintu gerbang, datang berlarian dan mereka semua marah melihat betapa dua orang rekan mereka tewas oleh seorang kakek asing. Kini puluhan orang anggauta gerombolan itu mengepung si kakek dengan senjata di tangan, agaknya siap untuk menghancurkan tubuh kakek itu dengan pengeroyokan mereka.

   "Bunuh tua bangka ini!"

   "Siapakah engkau yang lancang berani mengacau di sini?" bentak yang lain.

   Akan tetapi karena semua orang sudah marah dan siap menyerang, kakek itu tidak menjawab, melainkan mengangkat tongkatnya dan menempelkan gagang tongkat itu ke mulutnya. Ketika dia mengembungkan kedua pipinya, terdengarlah suara menggetar lirih dan tinggi, hampir tidak terdengar dan yang terdengar hanya suara desis mengerikan. Suara ini memanjang, berhenti sebentar, mulai lagi, dan karena semua orang tidak tahu apa artinya ini, perbuatan dan sikap kakek itu membuat mereka sejenak tertegun dan tidak melanjutkan serangan mereka. Akan tetapi, karena tidak terjadi apa-apa, mereka menganggap kakek itu hanya berlagak saja.

   "Bunuh dia!"

   "Tidak, tangkap dan hadapkan pimpinan!"

   "Siksa dia yang telah membunuh dua orang kawan kita!" Kini puluhan buah senjata tajam, golok, pedang dan tombak, menyambar-nyambar dengan mengancam di sekeliling kakek itu. Namun dia tetap tenang saja dan tiba-tiba, sekali tubuhnya bergerak, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek itu sudah lenyap dari dalam kepungan puluhan orang itu! Tentu saja semua orang terkejut dan ketika mereka mencari-cari, ternyata kakek itu telah berdiri jauh di luar kepungan, di luar pintu gerbang dalam jarak lima puluh meter!

   Melihat ini, semua orang menyerbu keluar untuk mengejar dan menyerang kakek itu. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak melarikan diri, bahkan menghadapi para penyerbu sambil mengangkat-angkat tongkatnya, dan kadang-kadang meniup gagang tongkat yang berbentuk kepala ular itu. Setelah tiba dekat pria itu, semua orang terbelalak dan serbuan mereka terhenti tiba-tiba. Mereka memandang ke atas tanah dan melihat betapa di depan dan kanan kiri kakek itu, nampak ratusan ekor ular merayap di atas tanah, berlenggang-lenggok menyerbu ke arah mereka! Kakek itu, ternyata dapat memanggil barisan ular dan menggerakkan barisan ular itu untuk menghadapi para anak buah gerombolan! Biarpun hati mereka merasa ngeri melihat munculnya banyak sekali ular itu,

   Namun anak buah gerombolan penjahat itu tentu saja tidak takut terhadap ular, apa lagi banyak di antara ular-ular itu kecil saja, sebesar ibu jari kaki dan yang paling besar sebetis orang. Mereka menggerakkan senjata dan menyambut ular-ular itu dengan serangan! Beberapa ekor ular terbabat senjata tajam dan mati, akan tetapi segera terdengar teriakan-teriakan ketika beberapa orang anak buah gerombolan terkena gigitan ular-ular yang seperti nekat itu. Dan ternyata bahwa ular-ular itu sebagian besar adalah ular beracun! Dalam waktu singkat saja, ada puluhan ular mati, akan tetapi juga ada limabelas orang anak buah gerombolan bergulingan sambil merintih-rintih kesakitan karena kaki mereka digigit ular berbisa! Keadaan menjadi geger dan pada saat itu muncullah lima orang yang sikapnya gagah dan berpengaruh.

   "Tahan senjata, semua mundur...!" Teriakan itu berpengaruh dan semua anak buah gerombolan segera mundur sambil menyeret limabelas orang rekan yang terluka. Lima orang itu adalah Thai-san Ngo-kwi yang segera berlari keluar ketika mendengar bahwa ada seorang kakek dengan barisan ular mengamuk. Mereka kini melangkah maju dan memberi hormat kepada kakek itu. Thai-kwi, orang pertama yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam, segera berseru dengan suara girang.

   "Kiranya su-pek (uwa guru) yang datang!"

   "Selamat datang, supek!" kata empat orang adik seperguruannya. Kakek itu meniup tongkat ularnya dan semua ular kini lari keluar menuju ke hutan dan rumpun alang-alang tak jauh dari situ. Kakek itu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha-ha, kalian sudah mengangkat nama! Thai-san Ngo-kwi amat terkenal, akan tetapi sayang, anak buahmu kurang teratur sehingga akan melemahkan kedudukan kalian!" Lima orang itu memandang ke arah dua orang anak buah mereka yang tewas, dan limabelas orang anak buah yang lain merintih-rintih karena kesakitan. Tahulah mereka bahwa kalau tidak cepat mendapatkan obat penawar, limabelas orang anak buah itu akan tewas pula. Maka, dipimpin oleh Thai-kwi, mereka berlima menjatuhkan diri berlutut menghadap supek itu.

   "Harap supek maafkan. Karena selamanya belum pernah bertemu supek, maka mereka tidak mengenalmu. Bahkan kami sendiri hampir tidak percaya supek yang datang, kalau tidak melihat sendiri. Supek, mohon kemurahan hati supek. Berilah obat penawar bagi mereka, dan di dalam nanti tee-cu (murid) berlima akan menghaturkan maaf dan perjamuan selamat datang kepada supek." Kakek itu menyeringai dan menggerakkan tongkat ularnya dengan sikap congkak.

   "Hemm, kalau bukan kalian yang minta, mereka itu tentu akan mampus dalam waktu beberapa jam lagi." Dia mengeluarkan sebuah buntalan kain dari dalam saku .jubahnya, mengeluarkan limabelas butir pel hitam dan menyerahkannya kepada Thai-kwi.

   "Suruh mereka masing-masing menelan pel ini, minum air paling sedikit lima mangkok dan racun itu akan keluar dan mereka akan selamat."

   "Terima kasih, supek!" kata Thai-kwi yang segera membagi-bagi obat itu dan menyuruh anak buah yang lain mengambilkan air. Kemudian, dia dan para sutenya dengan sikap hormat mempersilakan supek mereka masuk ke dalam perkampungan itu dan langsung ke bangunan tempat tinggal mereka. Akan tetapi, pada saat itu terdengar suara wanita melengking lembut.

   "Heii, kamipun sudah tiba di sini!" Semua orang menengok dan nampak dua bayangan berkelebat ke pintu gerbang itu dan Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li telah berdiri di situ dengan gagah dan anggunnya! Kakek tukang ular itu adalah Pek-bwe Coa-ong, seorang di antara Kiu Lo-mo pula, dan yang tertua di antara mereka bertiga. Ketika dia melihat dua orang itu, dia tertawa.

   "Ha-ha-ha, kiranya kalian sudah datang pula, tepat pada waktunya! Thai-san Ngo-kwi, cepat beri hormat. Mereka ini terhitung susiok (paman guru) dan su-kouw (bibi guru) kalian!" Kim Pit Siu-cai mengebutkan lengan bajunya yang panjang ketika dia mengamati lima orang laki-laki gagah di depannya itu.

   "Jadi inikah murid-murid mendiang suheng Siauw-bin Ciu-kwi? Hem, nampaknya cukup boleh diandalkan, bukan, sumoi?" tanyanya kepada Ang I Sian-li. Ang I Sian-li yang tadi bertemu di lereng bukit Hitam dengan suhengnya, mengangguk.

   "Mereka cukup gagah." Nama besar Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua) terkenal di dunia kang-ouw sebagai segerombolan datuk yang saling bantu dan orang mengira bahwa mereka adalah saudara-saudara seperguruan karena mereka saling sebut seperti kakak beradik seperguruan. Pada hal, mereka itu sama sekali tidak ada hubungan perguruan, hanya karena mereka sudah sepakat untuk saling bantu agar memperkuat dan mempertahankan nama besar mereka, maka merekapun menganggap yang lain seperti saudara sendiri. Maka, tidak aneh kalau kini mereka saling menyebut suheng, sute dan sumoi! Seperti dikatakan Kim Pit Siu-cai tadi, Thai-san Ngo-kwi adalah murid-murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi (Iblis Arak Muka Tertawa),

   Seorang di antara Kiu Lo-mo, maka lima orang pimpinan gerombolan di Thai-san ini masih terhitung murid-murid keponakan, walau hanya dalam sebutan saja. Kiu Lo-mo atau Sembilan Iblis Tua kini hanya tinggal tiga orang itu, Pek-bwe Coa-ong (Raja Ular Ekor Seratus), Kim Pit Siu-cai, dan Ang I Sian-li. Ke mana lagi yang enam orang lainnya? Mereka sudah meninggal dunia, dan mereka itu adalah Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam)? Siauw-bin Ciu-kwi guru dari kelima orang kepala gerombolan itu, Lam-hai Mo-ong (Raja Iblis Laut Selatan), Tiat-thouw Kui-bo (Nenek Iblis Kepala Besi), dan dua orang kakek kembar yang dijuluki Lam-san Siang-kwi (Sepasang Iblis Bukit Selatan). Kini, sisa dari Kiu Lo-mo yang tinggal tiga orang mengadakan pertemuan atas undangan Pek-bwe Coa-ong,

   Dan mereka memilih puncak Bukit Hitam karena di situ menjadi sarang gerombolan yang dipimpin Thai-san Ngo-kwi, murid-murid keponakan mereka sendiri. Tiga orang datuk itu dijamu oleh Thai-san go-kwi dalam sebuah pesta yang meriah. Lima orang pimpinan gerombolan itu sudah lupa sama sekali bahwa dua orang mati konyol dan limabelas orang nyaris tewas pula dari gerombolan mereka. Mereka gembira bukan main mendapatkan kunjungan tiga orang datuk itu, suatu hal yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka. Setelah kenyang makan minum, dan melihat betapa tiga orang datuk itu nampak gembira dan puas, Thai-kwi yang menjadi orang tertua dari Thai-san Ngo-kwi, mengangkat cawan arak menghaturkan selamat datang kepada mereka bertiga, kemudian berkata dengan suara lantang dan gembira.

   "Teecu berlima merasa gembira sekali dan mendapat kehormatan besar yang tidak kami sangka-sangka dengan kunjungan supek, susiok dan su-kouw ke tempat kami. Teecu merasa yakin bahwa kunjungan sam-wi (anda bertiga) tentu bukan sekedar melancong, pasti membawa hal yang teramat penting. Kalau boleh teecu mengetahui, angin apakah yang meniup sam-wi datang berkunjung ini?" Pek-bwe Coa-ong yang tadinya nampak gembira tertawa-tawa, kini memandang serius kepada lima orang murid keponakannya. Kemudian, menjawab pertanyaan Thai-kwi, dia berbalik bertanya.

   "Apakah kalian berlima masih ingat, berapa lama sudah guru kalian, Siauw-bin Ciu-kwi meninggal dunia?" Lima orang itu memandang heran mendengar pertanyaan tiba-tiba itu.

   "Kurang lebih sudah empat tahun, supek," kata seorang di antara mereka.

   "Dan kalian masih ingat bagaimana matinya guru kalian? Siapa pembunuh guru kalian itu?" Kini Thai-kwi yang menjawab karena para sutenya nampak gentar menghadapi sikap supek yang berubah galak itu.

   "Tentu saja teecu masih ingat supek. Pembunuhnya adalah Pek-liong-eng dan Hek-liong-li." Tiba-tiba supek itu menggebrak meja sehingga mangkok-mangkok berloncatan ke atas.

   "Bagus! Murid-murid macam apa kalian ini? Tahu guru kalian dibunuh dua orang itu, dan kalian enak-enak saja di sini membuat nama besar, menumpuk harta, sama sekali tidak berusaha untuk membalas kematian guru!" Lima orang kepala gerombolan itu saling pandang dan nampak pucat, akan tetapi Thai-kwi segera menjawab.

   "Supek tentu mengetahui jelas mengapa teecu berlima tidak berusaha membalas dendam. Tentu saja kami juga menaruh dendam sakit hati terhadap Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) dan Hek-liong-li ('wanita Naga Hitam).

   "Akan tetapi, kami tidak berdaya. Sedangkan mendiang suhu saja kalah oleh mereka, bagaimana mungkin kami dapat membalas dendam? Sebelum kami berhasil membalas dendam, tentu mereka berdua sudah membunuh kami! Kepandaian dua orang pendekar itu setinggi langit, teecu berlima sama sekali bukan lawan mereka. Bahkan baru satu-dua tahun yang lalu, paman guru Lam-hai Mo-ong dan bibi guru Tiat-thouw Kui-bo di istana kerajaan juga menjadi korban kelihaian Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Kalau mereka berdua saja tewas di tangan dua orang pendekar itu, apa yang dapat kami lakukan?" Pek-bwe Coa-ong mengepal tinju.

   "Itulah yang membuat hatiku sakit bukan main! Pek-liong-eng dan Hek-liong-li itu agaknya hendak memusuhi kita Kiu Lo-mo! Pertama kali, mereka membunuh suheng Hek-sim Lo-mo, kemudian membunuh Siauw-bin Ciu-kwi dan paling akhir, membunuh Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo. Empat orang di antara Lo-mo telah mereka bunuh! Kalau kita tidak cepat turun tangan membalas dendam, tunggu kapan lagi!" Ang I Sian-li mengangguk-angguk.

   "Suheng benar. Dua orang muda sombong itu telah membunuh empat orang saudara kita. Sayang bahwa dua saudara kembar kita Lam-san Siang-kwi juga tewas di dalam pertempuran melawan pasukan pemerintah di daerah selatan. Di antara Kiu Lo-mo, tinggal kita bertiga. Sekaranglah saatnya kita membalas dendam!"

   "Aku setuju!" kata Kim Pit Siu-cai dengan suaranya yang lembut.

   "Kalau kita bertiga menyatukan tenaga, ditambah dengan bantuan Thai-san Ngo-kwi dan anak buah mereka, tentu kita akan berhasil membalas dendam kepada Pek-liong-eng dan Hek-liong-li!" Mendengar ucapan tiga orang datuk itu dan melihat sikap mereka, timbul keberanian dan kegembiraan dalam hati Thai-san Ngo-kwi. Mereka bersemangat lagi untuk membalas kematian para datuk itu.

   "Teecu sekalian siap untuk membantu sam-wi menghancurkan Pek-liong-eng dan Hek-liong-li!" kata mereka serempak.

   "Bagus! Kalau begitu, tidak percuma kalian menerima ilmu dari mendiang guru kalian," kata Pek-bwe Coa-ong.

   "Aku memang sengaja mengundang susiok dan su-kouw kalian, agar hari ini kami mengadakan pertemuan di sini. Kami membutuhkan bantuan banyak orang, dan hanya anak buah kalian yang dapat kami percaya.

   "Akan tetapi, mulai sekarang, mereka harus diperintah dengan tangan besi agar tidak sembarangan dan tidak boleh bertindak sendiri-sendiri seperti ketika aku datang tadi. Mulai sekarang, kalian berlima dan anak buah kalian harus mentaati semua siasat yang akan kami rencanakan. Menghadapi dua orang macam Pek-liong-eng dan Hek-liong-li tidak bisa dilawan dengan kekuatan dan kekasaran semata. Harus menggunakan siasat yang matang."

   "Supek, kami juga pernah menyelidiki keadaan mereka untuk mencari tahu dan untuk melihat kemungkinan kami membalas dendam. Akan tetapi apa yang kami dapatkan tentang mereka membuat kami jerih dan tidak berani turun tangan karena hal itu sama saja dengan membunuh diri," kata pula Thai-kwi.

   "Ceritakan, apa yang kauketahui dari penyelidikanmu itu?" tanya Kim Pit Siu-cai.

   "Pek-liong-eng bernama Tan Cin Hay, kini berusia tiga puluhan tahun dan dia tinggal di dusun Pat-kwa-bun di dekat Telaga See-ouw di Hang-kouw. Dia tinggal menyendiri di dalam rumahnya yang besar dan kokoh kuat, bersama enam orang pelayan pria yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh sekali. Selain Pek-liong-eng sendiri sakti dan enam orang pelayannya lihai, juga rumahnya yang kokoh kuat itu lebih sukar diserbu dari pada sebuah benteng! Rumah itu penuh dengan jebakan-jebakan rahasia yang amat berbahaya."

   "Hemm, dan bagaimana dengan Hek-liong-li ?" tanya Ang I Sian-li.

   "Kami juga sudah melakukan penyelidikan terhadap wanita itu. Hek-liong-li bernama Lie Kim Cu. Ia amat cantik dan tinggal menyendiri pula di kota Lok-yang, di sebelah ujung barat. Seperti juga rumah Pek-liong-eng, rumah wanita itu kokoh kuat dan sukar ditembus, penuh alat-alat rahasia, jebakan maut, dan selain wanita sakti itu yang sukar dikalahkan, ia masih dibantu sembilan orang gadis pelayan yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lihai." Pek-bwe Coa-ong mengangguk-angguk.

   "Bagus laporanmu itu menunjukkan bahwa kalian memang selama ini tidak tinggal diam dan sudah menyelidiki keadaan dua orang musuh besar itu. Kita harus mengatur siasat dan tidak putus asa dengan kenyataan tentang kekuatan mereka itu. Kita harus dapat menghancurkan mereka, dan kita dapat menggunakan siasat melalui sahabat-sahabat mereka.

   "Sian-li, bagaimana dengan hasil penyelidikanmu tentang kematian Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo? Siapa saja sahabat-sahabat baik Pek-liong-eng dan Hek-liong-li yang patut masuk catatan kita?"

   "Sudah kuselidiki, suheng. Aku tidak melibatkan para pangeran, apa lagi keluarga kaisar. Akan tetapi, jelas bahwa dua orang musuh besar kita itu bekerja sama dengan dua orang yang kemudian menjadi sahabat baik mereka. Bahkan kini, dua orang itu telah menjadi suami isteri! Mereka adalah Cian Hui atau Cian Ciang-kun yang bekerja sebagai penyelidik, sedangkan orang kedua yang kini menjadi isterinya bernama Cu Sui In, keponakan Ciok Taijin."

   "Hemm, yang pria seorang panglima dan yang wanita keponakan seorang pembesar kota raja?" Pek-bwe Coa-ong mengerutkan alisnya.

   "Benar, akan tetapi mereka bukan kerabat istana, dan orang yang bernama Cian Hui itu sudah banyak mencelakakan kawan-kawan di dunia kang-ouw. Sudah kuselidiki ilmu kepandaian silat suami isteri itu.

   "Suami itu ilmu silatnya tidak perlu dikhawatirkan, akan tetapi dia cerdik bukan main. Dan sang isteri lebih lihai dari suaminya karena ia murid Kun-lun-pai. Akan tetapi juga tidak perlu dikhawatirkan karena tingkat kepandaiannya tidak lebih tinggi dari pada tingkat seorang di antara Thai-san Ngo-kwi ini." Wanita cantik baju merah itu mengakhiri keterangannya.

   "Kalau begitu, tidak perlu dikhawatirkan benar. Hanya mereka harus dipancing keluar, tidak perlu kita membikin kacau di istana. Di sana banyak sekali jagoan yang pandai. Bahkan di kota raja pun kita tidak boleh membikin ribut agar usaha kita membalas dendam kepada Pek-liong-eng dan Hek-liong-li tidak terganggu. Dan bagaimana dengan hasil penyelidikanmu tentang kematian Siauw-bin Ciu-kwi, Siu-cai?" Kim Pit Siu-cai tersenyum.

   "Tidak sukar menyelidiki tentang peristiwa yang terjadi empat tahun yang lalu itu. Suheng Siauw-bin Ciu-kwi memang tewas di tangan Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, dan yang membantu dua orang muda sombong itu adalah kakak beradik she Kam. Merekalah yang menggagalkan suheng mendapatkan harta karun, bahkan menemui kematiannya. Kam Sun Ting dan Kam Cian Li itu kakak beradik ahli renang dan ahli selam. Mereka bahkan kabarnya juga kekasih Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Kini mereka hidup dengan makmur dan kaya raya sebagai pedagang kain di Nam-cang."

   "Bagus! Tentu kita dapat mempergunakan mereka. Bagaimana kepandaian silat mereka?"

   
Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, biasa-biasa saja. Mereka bukan ahli silat, melainkan ahli menyelam."

   "Nah, sekarang kuceritakan hasil penyelidikanku tentang kematian suheng Hek-sim-Lo-mo enam tahun yang lalu. Dan biarpun kematian suheng juga di tangan Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, namun dalam pertentangan itu, yang membantu Pek-liong-eng dan Hek-liong-li adalah dua orang muda yang sekarang telah menjadi suami isteri. Yang pria bernama Song Tek Hin, dan yang wanita bernama Su Hong Ing, murid Bu-tong-pai. Akan tetapi ilmu silat suami isteri ini tidak ada artinya, dan sudah kuselidiki keadaan mereka. Merekapun merupakan orang-orang penting yang dapat kita pergunakan untuk menjebak dua orang musuh besar kita."

   Tiga orang datuk itu bersama Thai-san Ngo-kwi lalu mengadakan perundingan, mengatur rencana siasat untuk membalas dendam mereka terhadap Pek-liong-eng dan Hek-liong-li! Semua orang di kota Lok-yang, bahkan sampai jauh di seluruh daerah Lok-yang, mengenal belaka siapa yang tinggal di rumah gedung besar di sudut barat kota Lok-yang itu. Semua orang tahu siapa adanya gadis cantik jelita gagah perkasa yang mereka sebut Liong-lihiap (Pendekar Wanita Naga) atau Liong-li (Wanita Naga) itu. Ia adalah Lie Kim Cu yang julukannya sebetulnya adalah Hek-liong-li (Pendekar Wanita Naga Hitam). Akan tetapi, orang-orang yang melihat wajah yang cantik jelita dan manis itu, kulit yang putih mulus, merasa sungkan menyebutnya Hek-liong-li.

   Kata "Hitam" itu agaknya tidak pantas untuk seorang gadis yang kulitnya putih mulus kemerahan seperti itu, walaupun ia selalu mengenakan pakaian sutera hitam. Pakaian yang membuat kulitnya makin nampak putih mulus. Biarpun Hek-liong-li Lie Kim Cu atau lebih terkenal dengan Liong-li saja usianya sudah dua puluh delapan tahun, namun ia belum menikah. Iapun bukan seorang gadis yang perawan, karena sejak muda sekali ia sudah terjatuh ke tangan seorang pangeran di Lok-yang, diperkosa dan kemudian dijual kepada seorang mucikari sehingga ia dipaksa menjadi seorang pelacur! Ia berhasil membebaskan diri dari cengkeraman mucikari yang menjadikannya sumber uang itu, dan setelah mempelajari ilmu silat tinggi dari Huang-ho Kui-bo, seorang datuk sesat yang sakti, ia membalas dendam kepada pengeran itu dan kepada sang mucikari.

   Akan tetapi ia telah kehilangan seluruh keluarganya. Mendiang ayahnya adalah seorang bangsawan, akan tetapi karena keluarganya sudah habis, Liong-li hidup seorang diri, menjadi pendekar wanita dan petualang yang sebentar saja membuat nama besar bersama Pek-liong-eng yang kemudian menjadi sahabat dan rekannya yang setia walaupun mereka tinggal berpisah agak jauh. Sebagai seorang pendekar wanita, Liong-li terkenal, ditakuti para penjahat dan disegani para pendekar. Ia bukan seorang petualang asmara, bukan pengejar cinta gairah berahi, akan tetapi, apabila bertemu seorang pria yang berkenan di hati dan saling menyukai, iapun tidak pantang untuk mengadakan hubungan cinta dengan pria itu asalkan dasarnya suka sama suka dan tidak ada ikatan apapun antara mereka. Hanya merupakan petualangan sepintas saja.

   Karena ini, banyak pria yang jatuh cinta kepadanya dan menderita patah hati karena terpaksa mereka berpisah lagi sesuai dengan janji yang sebelumnya dituntut oleh Liong-li, yaitu tidak ada ikatan apapun antara mereka! Tak dapat diragukan lagi, orang yang paling dicintanya, paling disayangnya di dunia ini adalah Pek-liong-eng Tan Cin Hay, rekannya yang sudah sering berjuang bahu-membahu, saling bantu, saling bela dengan taruhan nyawa dalam berbagai petualangan. Seperti juga Pek-liong-eng, Liong-li juga rela mengurbankan nyawanya kalau perlu demi menolong rekannya itu! Hubungan cinta kasih antara mereka melebihi cinta kasih antar saudara bahkan antar kekasih! Anehnya, kalau Liong-li tidak pantang menyerahkan diri dalam buaian cinta bersama seorang pria yang berkenan di hatinya, dengan Pek-liong hubungannya hanyalah hubungan batin!

   Belum pernah mereka itu bermesraan, apa lagi berhubungan badan! Memang aneh, dan keduanya juga merasa aneh, namun nyatanya demikian dan mereka berdua seolah takut kalau sampai berhubungan badan, maka hubungan itu bahkan akan melenyapkan atau mengurangi hubungan batin mereka yang saling menyayang dan saling membela! Lebih aneh akan tetapi nyata pula, tiap kali ia melihat Pek-l.iong berhubungan cinta dengan wanita lain, ia sama sekali tidak merasa cemburu atau iri karena ia yakin sedalam-dalamnya bahwa Pek-liong-eng hanya menaruh cinta nafsu saja kepada wanita lain, sedangkan cinta sejati pendekar itu hanya untuk ia seorang! Ia rasakan dan yakin benar! Liong-li memang seorang wanita yang cantik jelita. Usianya membuat ia menjadi seorang wanita yang masak.

   Wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing sehingga nampak manis sekali. Mulutnya kecil, dengan bibir yang merah membasah selalu, tanda bahwa ia sehat dan belahan bibir lembut itu selalu cerah mengandung senyum, dihias lesung pipi di kanan kiri dan sebuah tahi lalat di bawah mata kiri. Ilmu kepandaiannya tinggi, bahkan semakin meningkat selama ini, karena setiap hari ia berlatih diri dengan para pelayannya yang menjadi lawan berlatihnya. Juga ia tekun sekali mempelajari setiap jurus yang telah dikuasainya, untuk dicari perkembangannya dan selalu memperbaikinya dengan menutup bagian-bagian yang lemah. Seperti Pek-liong-eng yang mempunyai sebatang pedang pusaka yang disebut Pek-liong-pokiam (Pedang Pusaka Naga Putih), maka Liong-li juga memiliki sebatang pedang pusaka yang disebut Hek-liong-pokiam (Pedang Pusaka Naga Hitam).

   Dan bersama Pek-liong-eng, Long-li menciptakan ilmu pedang yang mereka namakan Sin-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti) yang dapat mereka mainkan secara berpisah maupun digabung menjadi satu. Selain ilmu pedang yang mereka ciptakan bersama itu, Liong-li juga menguasai ilmu pedang istimewa Hek-liong-kiam-sut. Ilmu silatnya tangan kosong juga banyak macamnya, akan tetapi yang membuat ia disegani adalah ilmu silatnya tangan kosong yang disebut Bi-jin-kun (Silat Wanita Cantik) yang gerakannya lemah gemulai dan cantik indah, namun menyembunyikan bahaya maut bagi lawan! Juga ia menguasai Lie-eng-pouw (Langkah Enam Bintang), yang disebut langkah ajaib karena dengan langkah-langkah yang aneh itu ia mudah mengelabui lawan dan dapat menyelamatkan diri dari hujan senjata pengeroyok.

   

Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 18 Si Bayangan Iblis Eps 6 Si Bayangan Iblis Eps 7

Cari Blog Ini