Ceritasilat Novel Online

Pedang Naga Hitam 9


Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



Kaisar Yang Ti mengirim pasukannya ke daerah yang kini di namakan Mongolia Dalam, Mongolia Luar, Kokonor, Sin-kiang, bahkan ke Asia Tengah yang pada waktu itu di diami bangsa-bangsa Toba, Turki dan Mongol dengan banyak suku-sukunya. Diantara suku-suku bangsa itu terdapat banyak pertikaian dan permusuhan karena memperebutkan wilayah dan kekuasaan. Kaisar Yang Ti mengirim banyak mata-mata memasuki daerah itu yang bertugas untuk meniup-niupkan permusuhan dan pertentangan itu. Maka bertambah panaslah suasana diantara suku-suku bangsa itu dan karena adanya perpecahan ini, maka pasukan Sui dapat menguasai daerah-daerah itu yang kemudian di beri nama Sin-kiang atau daerah baru.

   Usaha perluasan wilayah ini juga di tujukkan ke Timur Laut, yaitu daerah Mancuria Selatan dan Korea. Namun di sini Kaisar Yang Ti mengalami pukulan berturut-turut yang menyuramkan sinar kemenangannya di daerah lain.

   Sayang sekali, Kaisar Yang Ti tidak menuruni watak ayahnya yang menunjukkan seorang pendekar sejati, dahulu Kaisar Yang Chien selalu mengesampingkan kepentingan sendiri, tidak gila kedudukan dan gila kekuasaan, biarpun kaisar hidupnya sederhana dan selalu mengambil tindakan tegas terhadap siapa saja yang melakukan penyelewengan dan kesalahan. Sebaliknya, Kaisar ang Ti mengumbar nafsu kesenangannya secara berlebihan. Dia gemar sekali mengumpulkan wanita-wanita cantik untuk menjadi selir dan dayang, dan membangun istana-istana yang luar biasa indahnya. Kegemaran ini menghamburkan banyak sekali uang negara dan dia banyak menerima protes dari pejabat-pejabat tinggi yang setia. Namun, kedua telinganya seperti tuli terhadap semua protes dan kritik itu.

   Untuk memuaskan nafsunya, dia mempunyai seorang permaisuri, dua orang wakil permaisuri, enam kepala selir dan tujuh puluh dua selir. Semua itu masih belum memuaskan hatinya dan dia mengumpulkan gadis-gadis dari segalal penjuru dan suku, untuk dijadikan dayang yang jumlahnya mencapai tiga ribu orang. Kalau semua ini hanya di sembunyikan di istana saja masih belum terlalu mencolok, akan tetapi Kaisar Yang Ti memiliki cara yang mencolok untuk menyenangkan hatinya dan memuaskan nafsunya.

   Ketika pembangunan Terusan Besar yang menghubungkan utara dan selatan selesai dan dapat dipergunakan, maka untuk pembukaan pertama dia memerintahkan membuat sebuah perahu naga yang besar, kemudian, beberapa ratus gadis dayang di suruh menarik tambang yang mengikat perahu itu untuk menggerakkan perahu melawan arus. Sambil menarik tambang, para dayang itu bernyanyi. Di atas perahu naga, dayang-dayang cantik memainkan seruling dan Yangkim (siter) mengiringkannyanyian merdu. Dalam kamar perahu itu, kaisar Yang Ti dilayani oleh selir dan dayang yang di pilihnya untuk menemaninya dalam perahu itu. Tentu saja rakyat menonton peristiwa itu dengan takjub. Dan para menteri setia hanya menarik napas panjang dan menggeleng kepala.

   Keroyalan Kaisar Yang Ti mencapai puncaknya ketika dia memerintahkan Hsiang Sheng, pembuat bangunan terbesar di waktu itu, untuk membangun sebuah istana yang amat indah di Lok-Yang. Untuk membuat bangunan raksasa yang indah dan megah mewah ini dipergunakan tenaga pekerja lebih dari lima puluh ribu orang dan pekerjaan di selesaikan dalam waktu delapan belas bulan. Tentu saja bangunan ini memakan biaya yang luar biasa besarnya. Di bangun di tanah yang luas, istana atau bangunan utama di kelilingi oleh tiga puluh enam istana yang lebih kecil, semua tersembunyi di dalam hutan-hutan bunga beraneka macam dan warna. Pemandangan di sekitar istana mengingatkan orang akan dongeng tentang taman sorga. Akan tetapi karena istana itu mempunyai banyak bangunan dan lorong bunga yang berliku-liku dan simpang siur, maka Kaisar Yang Ti memberi nama aneh kepada istana itu, yaitu Istana Lorong Menyesatkan. Memang bagi orang yang belum mengenal betul daerah kumpulan istana ini, dia tentu akan tersesat di dalamnya dan sukar mencari jalan keluar lagi.

   Bangunan utama merupakan sebuah istana yang bertingkat tiga, berkilauan dalam sinar matahari bagaikan sebuah Pagoda emas yang luar biasa besarnya. Di dalam bangunan ini terdapat banyak kamar berbagai ukuran yang amat indah, di pisahkan oleh pintu-pintu yang berukiran halus. Yang terbesar adalah kamar utama yang menjadi tempat tidur kaisar Yang Ti. Kamar ini luar biasa besarnya, bisa muat seratus meja untuk berpesta. Dinding-dindingnya di hias dengan cermin dari sudut ke sudut. Asap dupa harum yang tipis selalu mengepul sehingga kamar besar itu berbau harum. Tirai-tirai sutera bermacam warna bergantungan dan lentera-lentera berbagai warna yang bergantungan dengan hiasan yang mengandung daya seni tinggi.

   Sungguh sayang sekali, ketika kaisar pertama Kerajaan Sui, yaitu Kaisar Yang Chien, memegang kendali pemerintahan, persatuan dapat di bina karena para pembesar di daerah tunduk dan taat kepada kaisar Yang Chien yang bijaksana, akan tetapi setelah Kaisar Yang Ti hidup bergelimang dengan kesenangan dan kemewahan, maka mulailah orang merasa tidak senang kepadanya. Rasa tidak senang ini, terutama sekali dari pembesar-pembesar daerah, merupakan bibit-bibit pemberontakan.

   Sudah berulang kali tercatat dalam sejarah, apa bila kaisarnya mulai terpengaruh kesenangan duniawi dan mementingkan kesenangan sendiri saja, maka tentu akan bermunculan pembesar-pembesar "Durna" alias penjilat-penjilat yang berhati palsu. Demikian pula dengan waktu itu. Ketika Kaisar Yang Chien berkuasa, tidak ada seorangpun penjilat berani mendekatinya, atau lebih tepat, tidak muncul pembesar yang berwatak penjilat karena kaisarnya bijaksana dan adil lagi tegas. Akan tetapi ketika Kaisar Yang Ti berkuasa, mulailah berdatangan pembesar-pembesar penjilat yang maklum akan kelemahan Kaisar Yang Ti. Pembesar-pembesar penjilat inilah yang bersikap penuh perhatian terhadap kebutuhan kaisar untuk memenuhi kesenangannya. Mereka ini yang menawar-nawarkan gadis baru yang cantik dan mendorong semua keinginan kaisar untuk beroyal-royal menghamburkan uang negara.

   Banyak pembesar tua yang dahulu membantu Yang Chien dengan setianya, dipensiun oleh Yang Ti, dan di gantikan dengan orang-orang muda yang lebih cocok dengan dia. Diantara mereka ini seorang pejabat tinggi bernama Lui Couw. Dia telah benyak berjasa dalam perang menundukkan daerah-daerah utara barat, maka diapun kini di angkat menjadi panglima besar. Bukan hanya karena dia berjasa, akan tetapi diapun pandai menyenangkan hati Kaisar Yang Ti. Dalam perang menundukkan daerah-daerah, Lui Couw ini tidak pernah lupa untuk menawan gadis-gadis cantik dan menyerahkan kesempatan pertama kepada Kaisar Yang Ti untuk meilih diantara gadis-gadis itu yang di senanginya. Karena "jasa" inilah maka kedudukan Lui Couw cepat naik dan kini setelah menjadi panglima besar maka kekuasaanyapun bertambah kuat.

   Lui Couw ini mempunyai seorang putera bernama Lui Sun Ek, yang telah berusia dua puluh satu tahun. Lui Couw sendiri sudah berusia empat puluh lima tahun. Dari para selirnya yang banyak Lui Couw hanya mendapatkan seorang putera itulah, sedangkan istrinya juga tidak mempunyai keturunan. Maka biarpun hanya putera selir, Lui Sun Ek di manja dan di hormat sebagai keturunan tunggal. Bahkan ibunya juga naik "pangkat" tidak lagi menjadi selir, melainkan menjadi isteri kedua yang dalam kehidupan sehari-hari mendorong kedudukan isteri pertama dan meiliki kekuasaan lebih besar dalam keluarga Lui Couw.

   Lui Couw adalah seorang yang selain pandai dalam ilmu perang, juga ahli silat yang tangguh. Demikian pula puteranya, Lui Sun Ek, telah di gemblengnya sendiri sejak anak itu masih kecil sehingga kini Sun Ek menjadi seorang pemuda dewasa yang lihai sekali. Sebagai seorang panglima tinggi yang kedudukannya sudah sama dengan seorang menteri, Lui Couw memiliki sebuah rumah gedung yang megah.

   Pada suatu pagi, para menteri dan panglima menghadap Kaisar Yang Ti karena Kaisar mengundang mereka dalam sebuah sidang pertemuan. Para pembesar itu sudah lama menghadap ketika Kaisar masih bersenang-senang dengan para wanitanya dalam taman istana. Setelah para pembesar itu merasa kesal menanti, barulah kaisar keluar diiringkan para thaikam (sida-sida) dan pengawal pribadi.

   "Hidup Yang Mulia Kaisar" terdengar seruan mereka yang segera menjatuhkan diri berlutut menghadap kaisar.

   Kaisar Yang Ti memandang kepada semua pejabat itu, mengangguk senang karena mereka semua hadir selengkapnya, lalu duduk dan menggerakkan tangannya.

   "Kalian semua boleh duduk"

   "Terima kasih, Yang Mulia" serentak mereka menjawab lalu bangkit dan duduk di bangku-bangku yang sudah di sediakan untuk mereka.

   Kemudian Kaisar memberi kesempatan kepada mereka untuk satu demi satu menyampaikan pelaporan tentang jalannya pemerintahan, dan juga tentang gerakan pasukan Sui yang berusaha menundukkan daerah-daerah di Timur Laut.

   Dengan kecewa dia menerima laporan bahwa gerakan pasukan di Timur Laut mendapat perlawanan yang amat kuat dari mereka, terutama sekali dari bangsa Korea.

   "Hemmm, kalau demikian, lebih baik tarik mundur dulu pasukan dari sana karena kami mendengar bahwa daerah utara Shan-si juga para suku bangsa bar-bar mulai melakukan gerakan. Kami sendiri yang akan memimpin pasukan besar mengadakan pembersihan di Shan-si utara"

   "Ampun Yang Mulia. Akan tetapi hamba kira sebaiknya kalau paduka menyerahkan saja tugas itu kepada hamba atau kepada para panglima lainnya. Tidak perlu paduka berangkat sendiri memimpin pasukan. Daerah sana itu berbahaya sekali bagi paduka dan sebaiknya paduka tidak menempuh bahaya itu" kata Lui Couw.

   Kaisar Yang Ti mengerutkan alisnya dan wajahnya nampak marah ketika dia memandang kepada panglimanya itu "Liu-Ciang-kun. Lupakah kau siapa kami ini? Mendiang ayah kami adalah seorang pejuang yang gagah perkasa, dan sejak muda kami juga sudah bergelimang dengan pertempuran. Apa artinya bahaya bagi seorang kaisar yang memimpin pasukannya sendiri melakukan pembersihan? Kami akan berangkat sendiri"

   "Ampun, Yang Mulia. Hamba hanya mengkhawatirkan keselamatan paduka saja maka mengusulkan agar kami para panglima yang diperintahkan pergi. Akan tetapi kalau demikian kehendak paduka, hamba tentu saja tidak berani membantah" kata Liu Couw.

   "Pendeknya laksanakan perintah kami, yaitu, tarik mundur pasukan yang berperang di timur laut, dan kerahkan pasukan besar yang akan kami bawa asendiri ke utara Shan-si. Berapa lamakah pasukan itu dapat berkumpul?"

   Lui Couw saling pandang dengan para panglima yang hadir, kemudian setelah menghitung-hitung, dia menjawab" kalau pasukan yang berada di timur laut itu di haruskan kembali ke kota raja lebih dahulu, maka hal itu akan makan waktu lama, Yang Mulia. Akan tetapi kalau di kirim perintah agar pasukan itu langsung saja pergi ke Tai-goan di Shan-si dan bertemu dengan pasukan dari sini, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama pasukan dapat terkumpul di Tai-goan.

   "Baik, laksanakan perintah itu agar mereka segera di tarik ke Tai-goan"

   "Hamba siap melaksanakan perintah paduka" jawab Lui Couw.

   Setelah menerima laporan hal-hal lain dari berbagai menterinya, kaisar lalu berkata "Nah, sekarang kami hendak membicarakan sebuah persoalan penting" Dia memberi isyarat kepada seorang Thaikam yang maju berlutut dan menyerahkan sebatang pedang bersarung kepada Kaisar Yang Ti.

   Setelah menerima pedang itu dari seorang thai-kam, Kaisar Yang Ti lalu mengangkat pedang itu ke atas, memperlihatkannya kepada semua yang hadir lalu bertanya" tahukah kalian pedang apa ini?"

   Semua orang memandang penuh perhatian. Pedang itu memiliki sarung yang indah terukir sebuah naga, juga gagang pedangnya di ukir kepada naga dan warnanya putih seperti perak. Para menteri yang sudah menghambakan diri sejak dahulu tentu saja mengenal pedang itu.

   "Pek-liong-kiam (Pedang Naga Putih)" terdengar seruan beberapa orang.

   Kaisar Yang Ti mengangguk "Benar ini adalah Pek-liong-kiam, Pedang pusaka milik mendiang ayah yang telah berjasa besar. Lihatlah baik-baik" Kaisar menghunus pedang itu dan nampak sinar berkilauan yang menyeramkan "Sekarang pedang ini menjadi milik kami, maka kami juga harus berani bertindak tegas, membasmi semua pemberontakan dan kerusuhan dengan pedang ini. Akan tetapi ada satu hal yang merisaukan hati kami. Pedang ini mempunyai saudara yang di sebut Hek-Liong-Kiam (Pedang Naga Hitam). Hek-Liong-Kiam itu dahulu menjadi milik mendiang panglima besar Cian Kauw Cu. Kami menghendaki agar pedang itu dapat menjadi pusaka negara. Karena itu, kami memerintahkan kau, panglima muda Coa Hong Bu, untuk mencari Hek-Liong-Kiam dan membawanya ke sini, menyerahkan kepada kami"

   Coa Hong Bu adalah seorang panglima muda yang bertugas di istana. Dia seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun yang bertubuh jangkung kurus. Sebagai seorang murid yang pandai dari Hoa-san-pai, dia memiliki ilmu silat yang tinggi. Ketika mendengar perintah ini, Coa Hong Bu memberi hormat dan berkata dengan suara tegas seorang panglima "Hamba akan melaksanakan perintah paduka, hamba hanya mohon petunjuk, siapa yang kini memiliki pedang pusaka itu"

   Kaisar memandang kepadanya dengan marah "Hek-Liong-Kiam adalah milik mendiang Panglima Cian Kauw Cu. Setelah meninggal dunia, tentu saja pusaka itu berada di tangan keluarganya. Dan ada satu hal lagi. Ingat baik-baik, di dunia ini hanya dua orang yang mengenal ilmu yang ditemukan bersama sepasang pedang Pek-liong-kiam dan Hek-Liong-Kiam. Ilmu itu hanya dikenal oleh mendiang ayah dan mendiang Panglima Cian Kauw Cu. Karena ayah tidak meninggalkan kitab ilmu itu kepada kami, maka sangat boleh jadi bahwa kitab itu pun tadinya berada di tangan Panglima Cian. Maka, kau, Panglima Coa Hong Bu, kalau sudah menemukan Hek-Liong-Kiam, tanyakan pula adanya sebuah kitab yang di tinggalkan oleh Cian-Ciangkun dan serahkan padaku. Kalau pemegangnya menuntut penebusan uang, berikan kepadanya berapa saja yang dia minta"

   "Akan hamba laksanakan, Yang Mulia. Dapatkah Paduka memberitahu kepada hamba nama ilmu itu?"

   "Kitab itu berisi ilmu yang di sebut Bu-tek-cin-keng. Usahakan sampai pedang dan kitab dapat kau serahkan kepada kami, Coa-ciangkun. Kau akan mendapat hadiah besar dari kami"

   Setelah berkata demikian, Kaisar Yang Ti membubarkan pertemuan itu. Para pembesar, menteri dan panglima mengundurkan diri dan bersiap melaksanakan semua perintah yang dikeluarkan pada pertemuan itu oleh kaisar.

   Semua perintah yang diberikan kaisar dapat dilakukan dengan mudah oleh para pembesar, kecuali tugas yang diberikan oleh Panglima Coa Hong Bu. Panglima yang biarpun sudah berusia tiga puluh lima tahun akan tetapi masih hidup membujang ini setelah meninggalkan istana tidak langsung pulang ke rumahnya, akan tetapi segera melakukan penyelidikan untuk mengetahui dimana adanya Nyonya Cian Kauw Cu yang sudah pindah meninggalkan kita raja itu bersama puteranya. Setelah mengetahui kemana pindahnya keluarga Cian yang di carinya itu, Panglima Coa Hong Bu lalu membuat persiapan untuk pergi berkunjung ke rumah janda itu yang menurut keterangan yang dia peroleh telah pindah keluar kota dekat kuil Siuw-lim-si.

   ***

   Ji Goat, yaitu Nyonya Cian Kauw Cu yang hidup menyendiri di bukit dekat kuil, merasa prihatin dan kesepian sejak puteranya ia suruh pergi ke utara untuk mencari pedang pusaka Naga Hitam dan pembunuh suaminya. Kini ia hidup kesepian, hidup sederhana dari sisa bekal peninggalan suaminya, bercocok tanam seperti seorang petani. Namun, wanita yang kini sudah berusia lima puluh lima tahun itu tidak pernah merasa berduka. Ia hanya berdoa setiap hari agar puteranya selamat dan berhasil melaksanakan kewajibannya membalaskan kematian ayahnya. Satu-satunya orang yang menemani dan membantunya, adalah seorang wanita dusun sebelah yang sudah berusia lima puluh tahun. Wanita pembantu itu datang di waktu pagi sekali dan pulang ke rumahnya sendiri setelah hari menjadi gelap. Cio Si, demikian nama pembantu itu, adalah seorang dusun sederhana yang dapat menghibur hati Ji Goat di kala ia merasa kesepian teringat kepada puteranya.

   Biarpun kini hidup menyendiri, Ji Goat tidak pernah melupakan ilmu silatnya. Hampir setiap hari sekali ia berlatih silat sehingga tubuhnya tetap sehat dan kuat dan gerakannya tetap lincah. Biasanya ia berlatih di waktu pagi sekali, di belakang rumahnya yang merupakan kebun dan ladang yang cukup luas dan udaranya segar sejuk karena terpencil, jauh dari tetangga.

   Pada suatu pagi yang sejuk, ketika ayam jantan mulai berkokok dan matari sendiri belum keluar walaupun sinarnya sudah mulai mengusir kegelapan malam, seperti biasa Ji Goat berlatih silat di belakang rumahnya. Dan pada saat yang sama, Cio Si, wanita pembantu itupun meninggalkan rumah keluarganya menuju ke rumah Ji Goat yang tidak terlalu jauh letaknya dari rumah keluarganya.

   Karena pintu depan masih tertutup, seperti biasa Cio Si menuju ke kebun belakang karena ia tahu bahwa pada saat seperti itu nyonya majikannya tentu sedang berlatih silat di kebun belakang dan pintu belakang sudah dibuka. Akan tetapi ketika pembantu rumah tangga itu tiba di kebun belakang ia terkejut bukan main melihat nyonya majikannya sedang berkelahi melawan seorang laki-laki yang tidak dikenalnya. Ia menjadi ketakutan, kedua kakinya terasa lemas dan iapun berjongkok di belakang semak-semak.

   Apa yang telah terjadi dengan nyonya janda itu? Ketika Ji Goat sedang berlatih silat, seperti biasa ia memainkan ilmu silat Lo-hai-kun. Ilmu silat ini merupakan ilmu silatnya yang dahsyat dan yang dipelajarinya ketika ia masih muda dahulu dari gurunya, Toat beng Giam Ong yang menjadi Kok-su (Guru Negara) dari Kerajaan Toba. Ketika Ji Goat berlatih, daun-daun pohon yang berdekatan bergoyang-goyang karena sambaran angin yang timbul dari gerakan kedua tangan Ji Goat. Tiba-tiba saja terdengar seruan orang.

   "Bagus. Lo-hai-kun yang kau kuasai semakin lihai saja, suci"

   Ji Goat terkejut dan menghentikan gerakannya. Ketika ia menengok, ia melihat seorang pria berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh sedang dan tegap, telah berdiri di situ. Ia tidak mengenal pria ini dan tentu saja ia merasa heran di sebut suci (kakak seperguruan) oleh orang itu.

   "Siapa kau?" tanyanya curiga.

   Pria itu tertawa pendek "Ha-ha suci, lupakah kau kepadaku? Aku Lui Couw"

   "Lui Couw...?" Ji Goat mengulang nama itu sambil mengerutkan alisnya mengingat-ingat. Kemudian teringatlah ia. Ketika ia masih menjadi murid Toat beng Giam Ong Lui Tat, gurunya yang berpangkat tinggi itu mempunyai seorang putra dari seorang selirnya bernama Lui Couw. Ketika itu Lui Couw baru berusia enam tujuh tahun.

   "Kau.... putera suhu Toat Beng Giam Ong?. Hemmm, apa maksud kedatanganmu ini, Lui-sute?"

   "Suci, sudah lama aku menjadi seorang panglima dari Kerajaan Sui"

   Ji Goat mengerutkan alisnya. Ia sama sekali tidak tahu dan tidak mengira bahwa putera gurunya itu kini menjadi panglima "Lalu, apa maksud kedatangamu ke sini?"

   "Suci, Kaisar bermaksud untuk merampas kitab Bu-tek Cin-keng dari tanganmu, karena itu aku mendahului mereka datang ke sini menemui suci. Ku harap suci suka menyerahkan kitab itu kepadaku"

   Mereka saling berpandangan dengan sinar mata penuh selidik "Sute, kitab itu tidak ada padaku" jawab Ji Goat dengan tegas.

   "Suci, ingatlah Kaisar dan Kerajaan Sui adalah musuh kita. Mendiang ayahmu adalah Perdana Menteri Kerajaan Toba dan ayahku adalah Kok-su-nya. Maka Kerajaan Sui adalah musuh kita. Maka harap jangan ragu, serahkan kitab itu kepadaku agar jangan sampai terjatuh ke tangan Kaisar Yang Ti" suara Lui Couw terdengar keras dan mendesak.

   "Sudah ku katakan, kitab itu tidak ada padaku"

   "Kalau begitu, katakan dimana kitab itu? Ah, ya. Kau mempunyai seorang putera, bukan? Dimana dia? Apakah kitab itu kauberikan kepadanya?"

   Kerut diantara alis Ji Goat makin mendalam dan ia menggeleng kepalanya keras-keras "Tidak, aku tidak akan memberitahukan kepadamu atau kepada siapapun juga"

   "Suci. Sekali lagi kuminta kau memberitahu dimana adanya kitab Bu-tek Cin-keng" kini Lui Couw membentak marah.

   Akan tetapi Ji Goat memandang dengan mata berapi dan menjawab tegas, Tidak akan kuberitahu"

   "Kalau begitu apakah aku harus mempergunakan kekerasan?"

   "Terserah. Jangan di kira aku takut atau kepada siapapun juga", Ji Goat marah bagaikan seekor singa betina. Wataknya yang dahulu di waktu ia masih gadis muncul kembali dan ia sudah mengepal kedua tinjunya.

   "Kau perempuan bandel" Lui Couw sudah menyerang dengan pukulan dahsyat kearah muka Ji Goat. Wanita ini mengelak dan membalas dengan tidak kalah dahsyatnya. Lui Couw menangkis pukulan itu dan keduanya segera bertanding dengan seru. Karena kedua orang ini menggunakan ilmu yang sama, yaitu Lo-hai-kun, tentu saja keduanya sudah saling mengenal gerakan masing-masing dan perkelahian yang sesungguhnya itu nampak seperti dua orang sedang berlatih saja.
Ketika mereka bertanding inilah Cio Si, pembantu rumah tangga itu, memasuki kebun dan segera bersembunyi dengan tubuh gemetar. Akan tetapi ia dapat menonton perkelahian itu lewat calah-celah daun semak-semak.

   Setelah lewat tigapuluh jurus, mulailah Lui Couw terdesak. Bagaimanapun juga, dia masih kalah pengalaman oleh Ji Goat dan terutama sekali karena Ji Goat rajin berlatih setiap hari. Dalam hal kegesitan gerakan, Lui Couw kalah maka mulailah dia terdesak mundur.

   Tiba-tiba Lui Couw meloncat ke belakang dan ketika dia maju lagi tangannya sudah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar hitam yang menyeramkan. Ji Goat terbelalak dan menudingkan telunjuknya kearah muka Lui Couw.

   "Lui-sute. Jadi kaukah pengkhianat itu? Kau pembunuh suamiku dan pencuri Hek-Liong-Kiam?" teriak I Goat penuh perasaan terkejut, heran dan marah sekali.

   "Karena kau tidak mau menyerahkan kitab itu, kaupun akan ku kirim ke akhirat menyusul suamimu" bentak Lui Couw yang segera menerjang dengan pedangnya. Ji Goat memang sedang berlatih silat tangan kosong, maka ia tidak bersenjata. Pedangnya tertinggal di dalam kamarnya. Menghadapi serangan itu, iapun mengelak cepat dan terjadilah perkelahian lagi. Akan tetapi sekarang Ji Goat yang terdesak hebat. Pedang suaminya itu terlalu ampuh baginya dan setelah lewat belasan jurus, akhirnya ia kewalahan juga.

   "Mampuslah kau" bentak Lui Couw dan pedangnya menyambar seperti kilat kearah kedua kaki Ji Goat. Wanita itu melompat ke atas, akan tetapi Lui Couw juga melompat mengejar dan sekali pedang Hek-liong-pang menyambar, tanpa dapat di hindarkan lagi pedang itu telah menusuk lambung Ji Goat.

   "Cappp"" Ji Goat terkulai dan roboh mandi darah. Lui Couw menyerengai, menyimpan kembali pedangnya, memandang kepada wanita yang sudah roboh tak berkutik lagi itu dan memasuki rumah melalui pintu belakang. Dia hendak mencari Kitab Bu-tek Cin-keng, juga putera sucinya itu. Akan tetapi dia tidak dapat menemukan keduanya, maka segera pergi meninggalkan rumah yang sunyi itu.

   Setelah Lui Couw pergi, barulah Cio Si berani keluar dari balik semak-semak. Ia menghampiri nyonya majikannya, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Melihat nyonya majikannya menggeletak mandi darah dan sudah tidak bergerak lagi, tahulah ia bahwa Ji Goat telah tewas. Maka dengan kedua kaki gemetaran ia lalu lari ke rumah tetangga yang agak jauh dari situ sambil menangis.

   Sebentar saja semua penduduk di lereng bukit itu berlari-lari menuju ke rumah Ji Goat. Dari mulut ke mulut mereka bercerita tentang kematian Ji Goat seperti yang di ceritakan oleh Cio Si tadi, bahwa nyonya janda itu di bunuh orang. Hanya itu yang dapat di ceritakan Cio Si. Wanita dusun ini takut untuk mengatakan apa yang ia dengar dalam percakapan dua orang tadi. Ia takut kalau-kalau pembunuh itu akan mencarinya dan membunuhnya pula. Maka ia hanya bercerita bahwa majikannya terbunuh oleh seorang laki-laki yang tidak di kenalnya.

   Tiong Gi Hwesio, ketua kuil Siauw-lim-si yang berada di puncak bukit itu segera datang ketika mendengar bertita itu. Dia merasa ikut bersedih atas kematian ibu dari muridnya itu mati di bunuh orang selagi puteranya, Han Sin tidak berada di rumah. Karena dia mengenal baik wanita yang tewas itu sebagai ibu dari muridnya, maka Tiong Gi Hwesio mengatur pemakamannya. Kemudian rumah dan swah lading itu oleh Tiong Gi Hwesio di serahkan kepada Cio Si untuk di urus dan di rawat sampai kembalinya Han Sin.

   Pada keesokan harinya, muncullah Coa Hong Bu, Panglima yang di tugaskan oleh Kaisar untuk mencari Hek-Liong-Kiam dan kitab Bu-tek Cin-keng, di rumah nyonya Cian Kauw Cu. Dapat di bayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat peti mati di rumah itu, dan sejumlah orang yang melayat. Sebagai orang yang berpendidikan, dia memberi hormat kepada peti jenazah dan mengangkat hio. Setelah selesai upacara penghormatan itu, dia di sambut oleh Tiong Gi Hwesio yang yang mengenalnya sebagai seorang panglima istana.

   "Lo-suhu, apa yang telah terjadi dengan Nyonya Cian?" Tanya panglima itu kepada Tiong Gi Hwesio.

   "Omitohud. Hanya seorang saja yang mengetahui dan orang itu adalah Cio Si, Cian-hujin berkelahi dengan seorang laki-laki yang tidak dikenalnya dan Cian-hujin roboh terbunuh oleh laki-laki itu"

   Tentu saja Coa Hong Bu menjadi penasaran sekali "Lo-suhu, terus terang saja, aku di utus oleh Sri baginda Kaisar untuk menemui Nyonya Cian dan minta beberapa benda darinya. Karena itu, maka tentu saja peristiwa pembunuhan in penting sekali bagiku. Dapatkah aku bicara dengan wanita pembantu itu?"

   "Omitohud. Ternyata Ciang-kun membawa tugas yang demikian pentingnya. Tentu saja Cian-kun dapat berbicara sendiri dengan Cio Si. Mari, Ciang-kun, silahkan masuk ke dalam dan pin-ceng akan memanggil Cio Si"

   Coa Hong Bu melangkah masuk dan duduk di ruangan dalam rumah itu. Tak lama kemudian seorang wanita tua memasuki ruangan itu dan memberi hormat kepadanya.

   "Apakah ". Apakah ciangkun memanggil saya ""?" Tanya Cio Si dengan suara gemetar.

   "Benar, akan tetapi jangan takut, bibi. Duduklah, aku hanya ingin mendengar cerita bibi tentang peristiwa pembunuhan itu. Apa bibi mengenal orang yang berkelahi dengan majikanmu?"

   Cio Si duduk dan mengusap air matanya "Saya tidak mengenalnya, Ciang-kun. Saya belum pernah melihat orang itu"

   "Bagaimana air mukanya dan bentuk tubuhnya?"

   "Wajahnya gagah dan tubuhnya tegap"

   "Usianya?"

   "Tentu lebih dari empatpuluh tahun, ciangkun"

   "Bagaimana pakaiannya?"

   "Dia berpakaian biasa, warna "". kalau tidak salah ingat, biru"

   "Coba ceritakan dari awal ketika kau melihat peristiwa pembunuhan itu bibi" kata Coa Hong Bu dengan lembut sehingga wanita itu tidak lagi ketakutan.

   "Seperti biasa setiap pagi, kemarin pagi-pagi sekali saya berangkat dari rumah menuju ke rumah Coan-toako dimana saya sudah bertahun-tahun bekerja sebagai seorang pembantu. Dan seperti biasa pula, karena pintu depan belum di buka, saya menuju ke kebun belakang untuk memasuki rumah lewat pintu belakang. Biasanya setiap pagi toanio tentu berada di kebun berlatih silat. Akan tetapi kemarin pagi saya melihat toanio berkelahi dengan seorang laki-laki yang memegang pedang. Saya ketakutan dan hanya bersembunyi di balik semak-semak sambil mengintai dan saya melihat toanio roboh mandi darah terkena tusukan pedang lawannya itu"

   Coa Hong Bu mengerutkan silatnya. Dia tahu bahwa janda Cian itu adalah seorang wanita yang memiliki ilmu silat tinggi dan tidak sembarangan orang dapat mengalahkannya. Akan tetapi diapun maklum bahwa wanita itu di waktu mudanya membantu perjuangan Kaisar Yang Chien, maka tentu saja mempunyai banyak musuh.

   "Setelah membunuh Cian-toanio, lalu apa yang dilakukan laki-laki itu?"

   "Dia memasuki rumah ini lewat pintu belakang. Setelah dia keluar kembali dan melarikan diri barulah saya berani keluar dari tempat persembunyian saya dan lari minta tolong kepada para tetangga"

   "Lamakah dia memasuki rumah ini?"

   "Lama juga, ciangkun"

   "Ketika dia keluar, dia membawa apa?"

   "Tidak membawa apa-apa, dan pedangnya juga sudah di sarungkan di punggung"

   Tiba-tiba Coa Hong Bu teringat akan sesuatu "Ketika mereka berkelahi, orang itu memegang pedang, bagaimana dengan Cian-toanio? a memegang senjata apa?"

   "Cian-toanio tidak memegang senjata, ciangkun"

   "Hemmm, dan pedang orang itu, adakah sesuatu yang aneh pada pedang itu? Bagaimana bentuknya?"

   Cio Si ragu-ragu sejenak" Seperti pedang biasa """ akan tetapi, saya pernah melihat pedang-pedang itu putih mengkilat, akan tetapi pedang orang itu, warna hitam dan mengerikan"

   Hampir Coa Hong Bu terlonjak dari tempat duduknya. Dia menenangkan hatinya dan bertanya pula "Apakah ketika berkelahi mereka tidak mengeluarkan kata-kata?"

   Kembali Cio Si ragu-ragu sampai lama. Ia masih merasa takut. Kalau ia membuka rahasia pembunuh itu dengan menceritakan apa yang di dengarnya, ia takut kalau pembunuh itu marah kepadanya dan membunuhnya "Tidak, ciangkun" akhirnya ia berkata.

   Coa Hong Bu merasa heran sekali. Pedang itu agaknya Hek-Liong-Kiam yang di carinya. Akan tetapi kenapa pedang itu tidak berada pada Nyonya Cian, melainkan berada di tangan pembunuh itu? Dan pembunuh itu setelah melakukan pembunuhan lalu memasuki rumah, tentu hendak mencari sesuatu. Kitab Bu-tek Cin-keng. Apalagi yang di cari pembunuh itu selain kitab ini?.

   "Bibi. mari tunjukkan padaku kamar-kamar di rumah ini, akan ku periksa"

   Di temani Cio Si sebagai penunjuk jalan, Coa Hong Bu lalu mengadakan penggeledahan dalam usahanya mencari kitab Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi dia tidak menemukan kitab itu dan akhirnya dia bertanya lagi kepada Cio Si.

   "Bibi, setahuku Cian-toanio mempunyai seorang putera?"

   "Benar, ciangkun. Namanya Cian Han Sin"

   "Dimanakah dia?"

   "Sudah setengah tahun ini Cian-Kongcu pergi. Menurut keterangan dari mendiang Cian-toanio, kong-cu pergi merantau ke utara"

   Coa Hong Bu mengangguk-angguk" Berapa usia Cian-kongcu?"

   "Kurang lebih dua puluh tahun, Ciangkun"

   "Coa Hong Bu termenung. Pemuda itu sudah dewasa, tentu ilmu silatnya juga tinggi karena suami isteri Cian terkenal sebagai orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sangat boleh jadi kalau pedang dan kitab oleh Cian-toanio diberikan kepada puteranya yang telah dewasa itu. Akan tetapi bagaimana pedang itu dapat berada di tangan si pembunuh?.

   Setelah selesai dengan pemeriksaannya, Coa Hong Bu keluar dan menemui Tiong Gi Hwesio yang masih berada di luar. Dia dipersilahkan duduk dan mereka bercakap-cakap.

   "Lo-suhu tentu mengenal Cian Han Sin, putera keluarga Cian ini, bukan?"

   "Omitohud. Tentu saja mengenalnya, seorang pemuda yang baik seorang murid yang baik"

   "Ah, jadi dia itu murid lo-suhu?"

   "Dulu ibunya menitipkan Han Sin di kuil kami untuk diberi pelajaran silat, sastra dan agama"

   "Lo-suhu, saya di utus oleh Sribaginda Kaisar untuk mencari tahu tentang pedang Hek-Liong-Kiam milik mendiang Cian-ciangkun dan tentang sebuah kitab yang bernama Bu-tek Cinkeng, pernahkah lo-suhu melihat pedang dan kitab ini?"

   "Omitohud. Apa lagi melihat, mendengarpun belum pernah?"

   "Lo-suhu, saya mendengar dari Cio Si bahwa Han Sin pergi merantau. Tentu lo-suhu mengetahui kemana dia pergi"

   "Han Sin memang berpamit kepada pin-ceng ketika setengah tahun yang lalu dia hendak berangkat merantau. Katanya dia hendak merantau untuk meluaskan pengalamannya dan selain itu dia hendak menyelidiki tentang kematian ayahnya"

   Coa Hung Bu termenung. Dia masih ingat akan kematian Panglima Cian Kauw Cu. Dia tewas ketika memimpin pasukannya ke utara, gugur dalam pertempuran. Hanya itu yang di ketahuinya.

   "Bukankah Cian-ciangkun tewas dalam pertempuran?"

   "Benar, akan tetapi menurut Cian-toanio, kematian suaminya itu mencurigakan terkena anak panah yang datang dari belakang. Berarti pembunuhnya bukan pihak musuh, dan itulah yang akan di selidiki oleh Han Sin"

   Coa Hong Bu mengangguk-angguk. Dengan kematian Nyonya Cian, maka tinggal Cian Han Sin orang satu-satunya yang mungkin dapat menerangkan tentang kitab dan pedang. Akan tetapi pemuda itu kini sedang merantau ke utara untuk mencari pembunuh ayahnya.

   Karena tidak ada hal lain lagi yang perlu di selidiki, Hong Bu segera kembali ke istana dan menghadap Kaisar untuk melaporkan semua hasil penyelidikannya itu.

   Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kalau begitu, rahasia kitab dan pedang itu tentu di ketahui oleh putera mereka. Coa-ciangkun, carilah pemuda itu dan tanya dimana adanya kitab dan pedang. Ini adalah perintah Kaisar"

   "Hamba siap melaksanakannya perintah paduka. Akan tetapi karena Cian Han Sin itu pergi ke utara, maka hamba juga harus menyusul ke sana dan akan memakan waktu agak lama"

   "Tidak mengapa, cari dia sampai dapat dan kembalilah ke sini setelah membawa kitab dan pedang"

   Coa Hong Bu mengundurkan diri, karena dia hidup membujang, maka pada keesokan harinya dia berangkat melaksanakan tugasnya yang tidak mudah. Mencari seseorang di daerah utara merupakan pekerjaan yang sukar sekali. Dan agar memudahkan perjalanannya, dia mengenakan pakaian rakyat biasa, membawa buntalan pakaian dan pedangnya, lalu berangkat meninggalkan kota raja.

   ***

   Cu Sian berhenti berlari setelah kakek yang amat lihai itu tidak mengejarnya. Dia menyusup-nyusup hutan menuju ke tepi sungai Huang Ho. Kepuasan hatinya setelah berhasil membalaskan kematian ayah bundanya terganggu oleh kekecewaan bahwa Han Sin tidak membolehkan dia menemani sahabat itu dan membantunya mencari Hek-Liong-Kiam dan pembunuh ayahnya. Teringat akan pemuda itu, hatinya merasa resah dan kesepian. Juga terkandung kekhawatiran besar dalam hatinya. Baru menghadapi orang-orang Huang-ho Kwi-pang saja, Han Sin sudah dapat tertawan dengan mudah. Apalagi kalau menghadapi lawan lebih tangguh, pemuda itu pasti celaka, pikirnya, ingin dia membantu Han Sin, ingin dia melindunginya. Ayah dan kakeknya dulu seringkali bercerita tentang kehebatan dan kegagahan ayah pemuda itu. Kakeknya merupakan sahabat karib Panglima Cian Kauw Cu, bahkan teman seperjuangan. Akan tetapi kini puteranya tidak mau bersahabat dengannya, buktinya tidak mau di temaninya mencari pedang dan musuh ke utara.

   "Sudahlah" dia mendengus marah "Mau apa kalau dia tidak mau? Dasar orang tak tahu diri, orang lemah seperti dia bagaimana dapat merantau ke utara mencari musuh besarnya? Dia mencari celaka sendiri. Untuk apa aku harus memikirkan orang yang tinggi hati seperti dia? Lebih baik aku kembali ke selatan"

   Dia lalu melangkah cepat menuju ke tepi sungai untuk mencari perahu yang berlayar ke hilir untuk menumpang pergi ke selatan.

   Akan tetapi kebetulan pada hari itu tidak ada perahu yang lewat minggir. Semua berada di tengah dan jarang. Percuma saja meneriaki perahu yang berada jauh di tengah itu. Selain belum tentu terdengar, juga tukang perahu tidak akan mau meminggirkan perahu. Tempat itu merupakan hutan, bagaimana mungkin perahu yang muat barang-barang dagangan itu mau berhenti hanya untuk mengangkut seorang penumpang tambahan? Jangan-jangan dia akan di sangka penjahat.

   Cu Sian duduk di atas batu di tepi sungai dengan hati kesal. Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi dan Cu Sian menjadi tertarik sekali. Dia mendengarkan dan memperhatikan kata-kata dalam nyanyian itu.

   "Kata-kata yang jujur tidak bagus,
Kata-kata yang bagus tidak jujur.
Orang yang cerdik tidak banyak bicara,
Orang yang banyak bicara tidak cerdik.
Orang yang tahu tidak sombong,
Orang yang sombong tidak tahu.
Orang bijaksana tidak menyimpan,
Dia menyumbang sehabis-habisnya.
Tapi semakin menjadi kaya,
Dia memberi sehabis-habisnya
Tapi semakin berlebihan.
Jalan yang di tempuh langit
Menguntungkan, tidak merugikan
Jalan yang di tempuh orang bijaksana
Memberi, tidak merebut"

   Cu Sian segera mengenal kata-kata dalamnyanyian itu. Itu adalah kata-kata pelajaran agama To, bagian terakhir dari Kitab To-tek-keng. Hemmm, tentu penyanyinya seorang Pendeta To, seorang Tosu. Di samping pelajaran ilmu silat, sejak kecil Cu Sian juga belajar sastra dan membaca kitab-kitab agama To dan Budha.

   Andaikata dia mendengar sajak itu dinyanyikan orang di dalam kota, tentu dia tidak akan tertarik. Apa anehnya kalau seorang tosu mengulang ujar-ujar dalam kitab agama mereka? Akan tetapi karenanyanyian itu di dengarnya di tempat yang sunyi selagi dia duduk termenung dengan hati kesal, maka hatinya menjadi tertarik dan diapun turun dari atas batu, lalu melangkah kearah suara itu.

   Setelah tiba di tepi sungai, dia tertegun. Bukan tosu yang di dapatkannya seperti yang di sangkanya semula, melainkan seorang pemuda yang duduk di atas batu tepi sungai memegangi sebatang bambu panjang dengan tali kail menggantung di ujungnya. Pemuda itu sedang memancing ikan di tepi sungai. Akan tetapi bukan itu yang membuatnya terkejut heran dan juga girang, melainkan ketika dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Cian Han Sin.

   Timbul wataknya yang ugal-ugalan. Saking gembiranya dapat bertemu dengan Han Sin di tempat yang tidak di sangka-sangkanya itu, dia lalu berjalan perlahan, berindap-indap menghampiri pemuda yang sedang tenggelam dalam lamunan, perhatiannya sepenuhnya di arahkan kepada ujung joran. Kemudian Cu Sian mengambil sebongkah batu dan melemparkannya ke air, tepat ke ujung joran pancing Han Sin.

   "Byyuurrrr" air muncrat dan Han Sin tersentak kaget sambil menarik tangkai pancingnya, agaknya mengira bahwa suara itu adalah berkecopaknya seekor ikan yang besar. Tentu saja kailnya terangkat tanpa membawa hasil apapun dan ketika mendengar suara tawa di belakangnya, dia menoleh.

   Ketika Han Sin melihat Cu Sian yang tertawa-tawa di belakangnya, tahulah dia apa yang telah terjadi "Ah, Sian-te, kiranya kau. Ku kira tadi ada ikan besar hendak menyambar umpanku" kata Han Sin.

   "He-he-he, Sin-ko, memang umpanmu telah menarik datangnya ikan besar. Akan tetapi bukan umpan di ujung kailmu itu, melainkan umpan berupanyanyian dari To-tek-keng tadi. Dan akulah ikannya yang tertarik olehnyanyianmu dan datang ke sini"

   "Aih, kau mengejutkan hatiku Sian-te. Bagaimana kau tiba-tiba saja meninggalkan Huang-ho Kwi-pang itu?" Han Sin melepaskan pancingnya di atas tanah dan memandang sahabat itu.

   Cu Sian memandangnya dengan mata bersinar-sinar "Ah, aku telah berhasil membalas kematian ayah ibuku, Sin-ko. Aku telah membunuh Sin-to-kwi Ban Koan. Dialah yang dahulu membunuh ayahku. Juga para pembantunya dan semua anak buahnya di basmi oleh Huang-ho Kwi-pang"

   "Hemmm, sudah puaskah hatimu? Tahukah kau bahwa kau telah bekerja sama dan membantu Huang-ho Kwi-pang padahal perkumpulan itu hanya gerombolan perampok dan bajak sungai?"

   "Aku tidak membantu mereka. Ketika mereka di basmi kakek yang amat sakti itu, aku tidak membantu mereka. Ah, kakek itu sungguh mengerikan Sin-ko. Pernahkan kau mendengar akan seorang datuk berjuluk Pak-Te-Ong?"

   "Belum. Mengapa dia?"

   "Dia muncul setelah Huang-ho Kwi-pang membasmi gerombolan Kwi-to-pang, dan tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang itu di bunuhnya dengan mudah. Aku sendiripun akan celaka di tangannya kalau saja aku tidak dapat berlari cepat sekali"
Han Sin tersenyum. Kalau dia tidak turun tangan menghadang kakek itu belum tentu Cu Sian dapat lolos dari pengejarannya.

   "Wah, kalau begitu kau jago lari, Sian-te" katanya menggoda.

   Wajah pemuda remaja itu menjadi merah "Habis, apakah aku harus mati konyol? Melarikan diri dari ancaman bahaya yang tidak dapat dilawannya adalah perbuatan cerdik, bukan karena takut. Sebaliknya kalau sudah tahu diri tidak mampu menandingi lawan akan tetapi nekat terus, dia akan mati konyol karena kebodohannya.

   Melihat sahabatnya itu berbicara keras dan matanya menyinarkan kemarahan, Han Sin berkata "Aku tidak bermaksud mengejekmu, Sian-te. Maafkan aku. Setelah kau berhasil membalas dendam orang tuamu, bahagiakah rasa hatimu?"

   Cu Sian menjatuhkan diri duduk di atas batu di depan Han Sin lalu dia menghela napas panjang dan menggeleng kepala. Aku tidak mengerti apa itu yang dinamakan bahagia, Sin-ko. Ku rasa kebahagiaan hanya menjadi sebutan, buah bibir belaka. aku meragukan apakah ada di dunia ini seorang yang berbahagia benar-benar, sudah bebas daripada segala masalah dan kedukaan. Sudah wajar kalau hidup ini seperti permukaan samudera yang sebentar ke kanan sebentar ke kiri, sebentar suka dan sebentar duka"

   "Kau benar, Sian-te, Tak kusangka semua ini kau sudah pandai berfilsafat. Hati akal pikiran kitalah yang menjadi gelombang itu, yang mengacaukan batin dengan kesenangan dan kesusahan. Kita biasanya keliru mengenal kesenangan sebagai kebahagiaan. Padahal kesenangan itu hanyalah terpuaskannya nafsu dan bersifat sementara saja karena kesenangan mempunyai saudara kembar yaitu kesusahan yang sewaktu-waktu akan menggantikan kedudukannya. Kalau ada senang tentu ada susah dan sebaliknya, seperti gelombang tentu ke kanan dan ke kiri, berganti-ganti. Kebahagiaan tidak mengenal senang dan susah seperti itu, kesenangan dan kesusahan hanya permainan pikiran sendiri belaka"

   "Aduh, kalau saja aku tidak melihatmu, mendengar ucapanmu tadi tentu aku mengira seorang pertapa yang tua renta yang bicara. Sin-ko, kau ini orang aneh. usiamu tidak berselisih banyak dengan usiaku, akan tetapi bicara mu seperti kakek pertapa yang berusia seratus tahun" kata Cu Sian sambil tertawa.

   Han Sin juga tertawa. Heran dia, setiap bertemu dengan pemuda remaja ini, dia merasakan kegembiraan yang luar biasa. Seolah kelincahan dan kejenakaan pemuda yang menyamar sebagai pengemis itu menular kepadanya.

   "Aih, Sian-te. Aku juga sama dengan kau, hanya membacakan dari kitab-kitab. Akan tetapi aku tidak berhenti mempelajarinya, mencari bukti kebenarannya"

   "Hemmm, bagaimana caranya?"

   "Dengam mengalaminya sendiri. Dengan mengamati kehidupan sendiri dan kehidupan di sekeliling kita karena kenyataan itu hanya dapat di alami bukan hanya diketahui melalui ajaran kitab. Pelajaran dari Kitab tentang kehidupan hanya mengenal kulitnya saja. Isinya kita dapatkan dengan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Kita selalu harus meragukan kebenaran apa yang di ajarkan kitab"

   "Meragukan? Kitab-kitab itu di tulis oleh orang-orang jaman dahulu yang bijaksana"

   "Keraguan akan kenyataan hidup perlu selalu terdapat dalam hati, karena tanpa keraguan tidak akan ada usaha pencarian tentang kebenaran itu"

   "Wah, wah. kau memang hebat, Sin-ko. Tadipun ketika aku mendengar nyanyian tentang o-te-keng, aku mengira yang bernyanyi itu seorang kakek pendeta To. Kiranya kau. Sekarang kita bicara tentang hal lain, Sin-ko. Kalau terus kau ajak bicara tentang kehidupan dan filsafatnya, aku khawatir sebentar saja rambutku akan berubah putih"

   Han Sin tertawa "Tanpa kau sengaja kau sudah melakukan hal yang terbaik dalam hidup, yaitu selalu bergembira. memang, pada akhirnya kita akan menemukan bahwa kita ini mahluk yang berbahagia. karena Tuhan telah memberikan segalanya untuk kita. Kita harus menikmati dan menyukuri pemberian uhan yang berlimpah untuk kita. Nah, kau hendak bicara tentang apa, Sian-te?"

   "Begini, Sin-ko. aku telah berhasil membalas dendam atas kematian ayah bundaku. Karena itu, sekarang tidak ada lagi penghalang bagiku untuk membantumu. aku akan membantumu mencari pedang pusaka Hek-Liong-Kiam milik ayahmu yang hilang itu. aku akan mencarinya sampai dapat dan menyerahkannya kepadamu"

   Han Sin terkejut, akan tetapi tidak diperlihatkannya" akan tetapi dimana hendak kau cari pedang itu?"

   "Tentu saja di daerah utara, dimana ayahmu dahulu gugur dalam pertempuran. Kurasa pasti ada yang mengetahuinya siapa yang mengambil pedang itu"

   Hemm, Kalau Cu Sian mencarinya sendiri, amat berbahaya bagi pemuda itu, pikir Han Sin. Dia sudah melihat akan kelihaian, keberanian dan kederdikan Cu Sian ketika berhadapan dengan Huang-ho Kwi-pang. Cu Sian dapat menjadi seorang kawan dan pembantu yang boleh diandalkan.

   "Sian-te, mencari pedang pusaka ayahku itu merupakan tugasku, tidak semestinya kau menjadi repot karenanya. Biarlah aku yang mencarinya sendiri"

   "Sin-ko, kenapakah kau selalu menolak uluran tanganku untuk membantumu? Apakah kau tidak suka bersahabat denganku? Atau barangkali kau tidak percaya kepadaku?"

   "Ah, sama sekali tidak, Sian-te. Aku senang sekali dapat bersahabat denganmu. Dan tentu saja aku percaya sepenuhnya kepadamu, bukankah kau cucu Lo-kai yang menjadi sahabat karib mendiang ayahku? Dan bukankah kau sudah berulang kali menolongku, dari tangan keluarga gila kemudian dari tangan para pimpinan Huang-ho Kwi-pang? Aku hanya tidak ingin membikin susah kepadamu, merepotkanmu"

   "Kalau aku tidak merasa dibuat susah dan merasa tidak merepotkan, bagaimana? Kalau aku dengan suka rela ingin membantumu mencari pusaka itu sampai kau mendapatkannya, bagaimana? Apakah kau juga masih menolakku?"

   Han Sin menghela napas. Memang lebih baik membiarkan pemuda remaja itu bersama dia agar dia dapat melindunginya kalau ada marabahaya"Tentu saja tidak, Sian-te. Aku akan berterima kasih sekali, akan tetapi""""""

   "Akan tetapi apa?"

   "Aku harap kau tidak melakukan penyamaran lagi"

   Cu Sian menatap wajah Han Sin penuh selidik, seolah hendak menjenguk isi hati pemuda itu "Apa maksudmu, Sin-ko?" akhirnya dia bertanya.

   "Kau bukan seorang pengemis, mengapa menyamar sebagai seorang pengemis? Lebih baik memakai pakaian biasa saja, tidak usah berpakaian pengemis"

   Cu Sian mengerutkan alisnya "Akan tetapi itu perlu untuk menyembunyikan keadaan asliku. Eh Sin-ko, apakah kau merasa jijik dan malu bersahabat dengan seorang yang berpakaian seperti pengemis?"

   "Sama sekali tidak, Sian-te. Akan tetapi justeru dengan penyamaranmu ini, kau menarik perhatian banyak orang. Coba pikir dengan baik, bukankah orang-orang akan tertarik melihat kita bersahabat dan melakukan perjalanan bersama karena keadaan kita yang berbeda? Kalau kau berpakaian biasa seperti aku, tentu tidak akan menarik perhatian orang. memang benar kalau kau melakukan perjalanan seorang diri, mungkin saja kau tidak akan menarik perhatian orang"

   "Hemm, benar juga pendapatmu, Sin-ko. baiklah, aku akan menanggalkan penyamaranku dan berpakaian seperti orang biasa" Cu Sian akhirnya mengalah.

   Han Sin tersenyum senang "Kalau begitu mari kita menyusuri sungai ini ke utara sampai kita tiba di sebuah kota dimana kita dapat membeli pakaian untukmu. aku juga membawa bekal pakaian, akan tetapi tentu terlalu besar kalau kau pakai"

   "Tidak perlu repot-repot, Sin-ko. Aku sudah mempersiapkan segalanya. Kau tunggu sebentar" pemuda remaja itu lalu berlari dan lenyap di balik semak belukar dalam hutan di tepi pantai sungai itu. Han Sin mengikutinya dengan pandang heran. Kalau Cu Sian sudah mempersiapkan segalanya, juga pakaian biasa, hal itu berarti bahwa memang pemuda remaja itu sudah bermaksud untuk menanggalkan penyamarannya. Dia tersenyum duduk lagi di atas batu, kini tidak memancing lagi hanya memandangi air yang mengalir tiada putusnya itu, menghayutkan segala macam benda dipermukaannya. Han Sin termenung. Pikirannya seolah ikut hanyut bersama air, sampai jauh. Kehidupan seperti mengalir air sungai itu. Mengalir terus, bergerak terus sampai berakhir di samudera.

   "Sin-ko, dengan melamun seperti itu mana bias kau memperoleh ikan?"

   Teguran dengan suara nyaring ini mengejutkan Han Sin dan menyeretnya kembali kepada kenyataan. Dia segera menoleh dan memandang pemuda remaja yang berdiri di depannya dan dia terpesona. Demikian tampan dan eloknya pemuda remaja itu, seperti seorang pangeran dalam dongeng, walaupun pakaiannya hanya sederhana.

   "Eh, Sin-ko. Apakah ada yang tidak benar dengan pakaianku?" Cu ian mengamati pakaiannya dan tidak menemukan sesuatu yang aneh.

   "Sian-te "., hampir aku tidak mengenalmu. Kau begitu. Kau begitu tampan, kau seperti """. seorang putera bangsawan tinggi. Eh, Sian-te, kau tentu seorang pengeran atau putera bangsawan tinggi"

   Cu Sian tersenyum dan Han Sin semakin kagum. Bukan main tampannya pemuda ini kalau tersenyum, pikirnya.

   "He-he, Sin-ko. Kau mimpi. Sudah kau ketahui bahwa aku cucu seorang ketua pengemis. Kalaupun aku pangeran, barangkali pangeran pengemis, putera dari raja pengemis, ha-ha-ha"

   Han Sin juga tertawa, dan dia menjadi tenang kembali. Hilang sudah pesona yang tadi sempat membuatnya tertegun "Ah, Sian-te, kalau saja aku ini seorang wanita, tentu aku sudah jatuh hati kepadamu"

   Cu Sian juga tertawa geli "Dan aku akan melarikan diri, seperti kau ketika melarikan diri dari keluarga gila yang hendak memaksamu kawin"

   "Uhhh. Kau anggap aku sama dengan gadis gila itu?"

   "Biarpun tidak gila, kau jauh lebih tua dariku. Sudahlah, simpan saja pujian itu untuk lain kali. Sekarang katakan bagaimana pendapatmu setelah aku mengenakan pakaian biasa? Kau tidak keberatan lagi melakukan perjalanan bersamaku?"

   "Aku tidak pernah merasa keberatan, Sian-te. Hanya canggung kalau kau menyamar sebagai pengemis. Kalau seperti ini, aku tidak ragu lagi, bahkan bangga mengaku kau sebagai adikku"

   "Sebagai adik, atau sebagai pengawalmu, Sin-ko?"

   "Pengawal?" Han Sin memandang wajah tampan itu penuh selidik.

   "Ya, pengawal. Tanpa pengawalanku, kau tentu akan menghadapi banyak bahaya dalam perjalanan. akan tetapi dengan adanya aku di dekatmu, jangan khawatir, Sin-ko. Aku yang akan membasmi semua halangan yang akan mencelakaimu" kata Cu Sian dengan sikap gagah.

   Han Sin tersenyum "Benar sekali, Sian-te. Kau ku anggap adikku, juga pengawal dan pelindungku. Akan tetapi aku pesan agar kau tidak terlalu keras hati sehingga dimana-mana kau menghadapi keributan dan perkelhian seperti yang terjadi dalam rumah makan itu"

   Cu Sian berdiri di depan Han Sin dan mengangguk sampai dalam seperti sikap seorang hamba terhadap majikannya "Baik, Sin-ko. Akan kulaksanakan perintahmu"

   Mau tidak mau Han Sin tertawa melihat sikap pemuda remaja itu. Hatinya merasa senang sekali. Cu Sian bagaikan sinar matahari yang membuat dunia nampak cerah dan indah. Sejak berpisah dari pemuda itu, hatinya selalu merasa tidak enak dan khawatir kalau-kalau sahabt muda ini akan teancam bahaya karena wataknya yang nakal dan terlalu berani.

   Maka diam-diam dia selalu membayanginya sehingga dia berhasil melindunginya ketika pemuda remaja itu terancam oleh Pak-Te-Ong. Setelah itu, dia sengaja menghadangnya, sambil memancing ikan dan menyanyikan sajak tadi. Kini, dia tidak perlu merasa khawatir lagi. Dengan melakukan perjalanan bersama, diam-diam dia dapat melindungi Cu Sian.

   "Nah, sekarang sebelum kita melanjutkan perjalanan, aku ingin mengetahui kemana kita akan pergi, sin-ko"

   "Seperti telah ku ceritakan kepadamu, Sian-te, aku hendak mencari pedang pusaka ayahku yang hilang ketika ayah memimpin pasukan di shansi utara. Karena aku tidak tahu persisi dimana pertempuran itu terjadi ketika itu, maka aku harus mencari keterangan di Tai-goan. Peristiwa itu sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu, maka untuk menyelidikinya hanya para pejabat tinggi di Tai-goan saja yang dapat memberi keterangan"

   "Jadi kita pergi ke Tai-goan sekarang? Hayo kita berangkat, Sin-ko" kata Cu Sian penuh semangat.

   "Ah, kau kelihatan amat bergembira, Sian-te. Ada apakah?"

   "Bagaimana hatiku tidak akan bergembira dapat melakukan perjalanan bersamamu, Sin-ko? Tadinya aku selalu mengkhawatirkan keselamatanmu. Untuk melakukan perjalanan berbahaya ini orang harus membekali dirinya dengan ilmu silat tinggi. Kau yang tidak memiliki itu, tentu setiap saat terancam bahaya. akan tetapi sekarang aku tidak khawatir lagi. Kau dekat dengan aku yang selalu dapat melindungimu"

   Han Sin tersenyum. Sungguh terdapat persamaan dalam hati mereka. Dia pun selalu mengkhawatirkan keselamatan pemuda remaja itu.

   Tiba-tiba mereka melihat sebuah perahu meluncur di atas air sungai, tidak terlalu jauh dari tepi sehingga mereka dapat melihatnya dengan jelas. Seorang pria muda mendayung perahu itu, seorang diri saja, akan tetapi perahu itu dapat meluncur cepat melawan arus.

   "Hemmm, dapat mendayung perahu melawan arus secepat itu menunjukkan bahwa orang itu memiliki tenaga yang kuat sekali" kata Han Sin "Dia tentu seorang yang berkepandaian tinggi"

   Cu Sian memandang penuh perhatian. Orang yang mendayung itu seorang pemuda yang gagah, bertubuh tinggi besar dan kekar, kulit mukanya agak hitam, hidungnya besar, matanya lebar dan mulutnya juga lebar. Di punggungnya tergantung sebatang pedang bersarung indah.

   "Dia tentu bukan orang baik-baik" kata Cu Sian lirih, kemudian dia bangkit berdiri dari atas batu yang di dudukinya" Ah, aku ingat sekarang. Dia adalah pemuda sombong yang menghinaku di rumah makan tempo hari"

   Han Sin memperhatikan dan kini diapun teringat. Pemuda yang pernah rebut mulut dengan Cu Sian di rumah makan, yang mengatakan bahwa sepantasnya semua pengemis di basmi itu. Kini makin yakinlah dia bahwa pemuda tinggi besar itu tentu seorang yang berkepandaian tinggi.

   "Heiii""" Cu Sian berteraik kearah penunggang perahu itu, akan tetapi Han Sin menarik lengannya.

   "Sssttt, Sian-te. Biarkan dia berlalu, jangan mencari keributan di sini" tegurnya.

   "Akan tetapi si sombong itu ""

   "Sudahlah, perjalanan kita masih jauh, untuk apa mencari gara-gara? Dan ingat akan janjimu, katanya kau akan menaati semua perintahku"

   Cu Sian yang tadinya masih penasaran, kini tersenyum mengangguk "Baiklah, Sin-ko. Maafkan aku"

   "Nah, begitu baru namanya adik yang baik" kata Han Sin senang dan tersenyum.

   "Dan pengawal yang taat" sambung Cu Sian.

   Ke duanya tertawa lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke ke kota Taigoan yang dari situ terletak di Timur laut.

   ***

   Pada waktu itu, propinsi Shan-si merupakan daerah perbatasan paling utara dari Kerajaan Sui. Di sebelah utara Shan-si adalah daerah luas dan menjadi perebutan antara bangsa dan suku yang hidupnya mengembara tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Mereka adalah bangsa dan suku Tartar, Mongol, Merkit, Karait, Naiman dan Ugur serta masih banyak lagi suku-suku bangsa yang kecil. Para suku bangsa dari utara inilah yang oleh Kerajaan Sui dianggap sebagai ancaman dari utara sehingga di sepanjang perbatasan itu di bangun benteng pertahanan yang kokoh.

   

Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 21 Si Bayangan Iblis Eps 12 Si Bayangan Iblis Eps 10

Cari Blog Ini