Asmara Si Pedang Tumpul 17
Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
Karena sudah mempelajari keadaan dalam bangunan gedung itu, Sin Wan dan Kui Siang dapat berada di atas kamar besar milik keluarga itu melihat betapa kamar itu yang amat mewah, dalam keadaan kosong dan sunyi, Sin Wan berbisik-bisik dengan kekasihnya, mengatur siasat kalau sampai mereka ketahuan orang selagi dalam kamar itu, merencanakan jalan keluar dari kamar tanpa diketahui orang. Kemudian, mereka membuka atap dan bagaikan dua ekor burung rajawali, mereka melayang turun dari atas, masuk ke dalam kamar tanpa mengeluarkan suara.
Begitu tiba dalam kamar, dua orang pendekar muda yang sejak tadi menutupi muka mereka dengan kedok coklat dan biru, kedok yang sengaja dibuat mirip dengan kedok yang dipergunakan anak buah Si Kedok Hitam, segera bekerja dengan cepat. Mereka menggeledah dan mencari-cari apa saja yang dapat merupakan bukti bahwa dugaan mereka benar, yaitu bahwa Jenderal Yauw Ti merupakan pemimpin, atau setidaknya mempunyai hubungan dengan jaringan mata-mata Mongol.
Sampai kurang lebih satu jam mereka menggeledah, membukai almari dan laci-laci, memeriksa seluruh ruangan namun mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Memang mereka sudah menduga bahwa agaknya, andaikata benar bahwa Jenderal Yauw Ti menjadi pemimpin jaringan mata-mata Mongol, pasti keluarganya tidak ada yang mengetahui dan hal itu merupakan rahasia pribadi. Hal ini untuk mencegah terjadinya kebocoran dan kalau dia menyimpan sesuatu yang dapat membuka rahasianya, tentu barang itu disimpan di lain tempat.
"Ke kantornya," bisik Sin Wan dan mereka berdua segera meloncat lagi keluar dari kamar itu, membetulkan letak atap yang mereka buka dan tak lama kemudian mereka sudah keluar lagi melalui taman dan pagar tembok di belakang tanpa diketahui orang.
Tak lama kemudian, dengan bekerja cepat agar jangan sampai kedahuluan Jenderal Yauw Ti, dan hal ini sudan diatur oleh Jenderal Shu Ta agar Jenderal Yauw Ti agak lama berada di istana, Sin Wan dan Kui Siang sudah berada di kamar kerja Jenderal Yauw Ti yang terletak di dalam markas pasukan. Tentu saja mereka berdua tidak begitu ceroboh untuk memasuki benteng seperti yang mereka lakukan di rumah kediaman Jenderal Yauw tadi.
Mereka sudah membawa bekal surat perintah dan surat kuasa dari Jenderal Shu Ta untuk memasuki kamar kerja Jenderal Yauw Ti dan mengambil barang-barang yang diperlukan dalam persidangan di istana. Dengan bekal surat ini, para petugas jaga di markas itu tentu saja tidak berani menghalangi.
Surat perintah dari Jenderal Shu Ta sebagai panglima tertinggi oleh pasukan di situ lebih ditaati dari pada surat dari Kaisar sendiri sekalipun. Maka, mereka mempersilakan Sin Wan dan Kui Siang masuk dan tak lama kemudian dua orang muda perkasa ini sudah melakukan penggeledahan di dalam kamar kerja Jenderal Yauw Ti setelah mereka berdua menggunakan tenaga untuk membuka daun pintu kamar itu secara paksa.
Begitu masuk, mereka berdua mengenakan lagi kedok mereka untuk menjaga segala kemungkinan, walaupun tadi mereka masuk sebagai utusan Jenderal Shu Ta. Bahkan surat itupun dibuat oleh Jenderal Shu Ta mempergunakan tanda tangan dan cap palsu. Hal ini untuk menjaga kemungkinan Jenderal Yauw Ti tidak bersalah sehingga dia tidak akan terlibat dalam penggeledahan itu dan kedua orang muda itu yang akan dianggap sebagai penanggung jawab.
Di kamar kerja inipun Sin Wan dan Kui Siang tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Mereka hampir putus asa ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka dan sesosok bayangan berkelebat masuk. Ternyata dia adalah seorang yang mengenakan kedok abu-abu!
"Mau apa kalian di sini?" bentak si kedok abu-abu dengan suara bengis.
"Ah, kami sedang sibuk hendak membersihkan tanda-tanda yang terdapat di sini karena sebentar lagi tempat ini akan digeledah oleh pasukan istana. Kaisar telah mencurigai Yang Mulia. Di mana Yang Mulia? Apakah belum pulang dari istana?" kata Sin Wan.
Mendengar ucapan itu, si kedok kelabu nampak terkejut. Sepasang mata di balik kedok itu berkilat.
"Kalau begitu, aku harus cepat memberi kabar. kepada Pangeran!"
"Siapa Pangeran....?" Sin Wan menghentikan ucapannya, memaki diri sendiri yang terlanjur bicara. Dan benar saja, mendengar Sin Wan tidak mengenal siapa pangeran yang dia maksudkan, si kedok abu-abu segera mencabut pedangnya.
"Kalian palsu!" Dan pedangnya sudah menyambar dengan ganas ke arah Sin Wan.
Sin Wan yang menyadari kesalahannya, mengelak dan dari samping, Kui Siang sudah bergerak ke depan, tangannya menyambar dengan totokan dan si kedok abu-abu itupun terkulai lemas. Sin Wan merampas pedangnya dan menyambut tubuh itu agar tidak menimbulkan suara gaduh.
"Inilah bukti yang paling baik," bisiknya kepada Kui Siang. Tak lama kemudian, Sin Wan dan Kui Siang keluar dari kamar kerja Jenderal Yauw Ti, dan Sin Wan menggendong sebuah karung yang penuh, melangkah dengan tenang keluar dari kamar kerja itu.
Ketika para petugas jaga di luar melihat Sin Wan menggendong sebuah karung, mereka memandang heran, tidak dapat menduga apa isi karung itu, juga tidak berani bertanya.
"Kami telah menemukan barang yang dibutuhkan Jenderal Shu Ta dan Jenderal Yauw Ti," kata Sin Wan tenang dan para penjaga itupun tidak berani bertanya. Mereka semua mengenal Jenderal Shu Ta sebagai seorang jenderal yang tegas dan berdisiplin, maka mereka tentu saja tidak berani melanggar surat perintahnya.
Tentu saja isi karung itu adalah si kedok abu-abu yang telah ditangkap oleh Sin Wan dan Kui Siang. Mereka cepat membawa tawanan dalam karung itu ke rumah Bhok Cun Ki.
Semua berkumpul di situ. Bhok Cun Ki sendiri, Sui In dan Akim yang belum berhasil membongkar rahasia Yauw Siucai yang selalu berdekatan dengan Pangeran Mahkota, Ci Han dan Ci Hwa. Hanya nyonya Bhok yang berada di dalam, tidak mau mencampuri urusan yang menggunakan kekerasan dan membutuhkan kepandaian silat itu.
Ketika tawanan itu dikeluarkan dari karung dan berlutut di atas lantai, dengan kedok terbuka, ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun. Dia seorang Han, bukan orang Mongol, bahkan dia seorang anggauta pasukan di bawah Jenderal Yauw Ti.
"Dengar baik-baik," kata Bhok Cun Ki yang memimpin pemeriksaan itu.
"Kalau engkau mau mengaku terus terang, hukumanmu akan diperingan. Akan tetapi kalau engkau berbohong dan tidak mau mengaku, akan kusuruh tangkap seluruh keluargamu dan kusuruh siksa mereka di depan matamu. Nah, jawab yang sebenarnya. Siapa namamu?"
Wajah orang itu menjadi pucat. Tadinya dia bersikap keras dan masa bodoh, akan tetapi ancaman terhadap keluarganya itu mengingatkan dia akan isterinya, tiga orang anaknya yang masih kecil, dan ibunya yang sudah tua dan luluh kekerasan hatinya.
"Nama saya Siauw Jin, ciangkun."
"Katakan, siapa sebenarnya pemimpin para orang berkedok, anggauta jaringan mata-mata Mongol itu. Jawab!"
"Saya...". saya tidak tahu..."....."
"Engkau menyebutnya Yang Mulia, bukan?"
Siauw Jin mengangguk.
"Kami semua hanya mengenal dia sebagai Yang Mulia, akan tetapi tak seorangpun di antara kami yang pernah melihat wajahnya. Kami semua tidak tahu siapa sebenarnya Yang Mulia."
"Dan siapa yang kau sebut pangeran itu?" tanya pula Bhok Cun Ki. Wajah orang itu berubah pucat sekali, matanya terbelalak dan dia menggeleng kepala.
"Saya..." saya tidak berani....!"
Pada saat itu, Sui In menjulurkan tangannya dan jari tangannya sudah menekan tengkuk tawanan itu. Wajah tawanan itu berkerut-kerut dan rintihan keluar dari mulutnya karena dia merasa betapa tubuhnya seperti ditusuki ratusan batang jarum yang panas, nyerinya tak tertahan lagi. Sui In melepaskan tangannya dan orang itu basah oleh keringat dingin.
"Hayo katakan, siapa pangeran itu!" kini Sui In membentak.
"Atau kau ingin kusuruh tangkap dan seret ke sini seluruh keluargamu!" Bhok Cun Ki menambahkan.
"Dia...". dia murid Yang Mulia...".."
"Hemm, siapa namanya? Di mana?" bentak Bhok-ciangkun lagi.
"Dia adalah Pangeran Yaluta...."
"Pangeran Mongol?"
Tawanan itu mengangguk dan tiba-tiba dia menjerit dan terkulai. Ternyata sebatang paku telah menancap di punggungnya. Sui In cepat mencabut paku itu dan diapun berkata kepada suaminya.
"Dia bagian kami! Hayo, Akim!" Dan wanita perkasa itu meloncat pergi, diikuti Akim karena memang Pangeran Yaluta merupakan bagian mereka. Mereka yakin bahwa yang disebut Pangeran Yaluta itu bukan lain adalah yang menyamar sebagai Yauw Siucai! Begitu mencabut paku itu dari punggung tawanan yang diserang secara menggelap, tahulah Sui In bahwa yang dahulu melukai pundak puterinya dengan paku merupakan orang yang sama, yaitu si penyambit tadi. Masih nampak tadi bayang biru putih berkelebat dan dengan cepat iapun melakukan pengejaran bersama Akim. Akan tetapi, bayangan itu sudah lenyap.
"Hayo, kita langsung saja ke istana Pangeran Mahkota! kata Sui In. Untuk keperluan ini ia sudah dibekali surat penggeledahan yang ditulis sendiri oleh Jenderal Shu Ta.
Dengan surat perintah jenderal Shu Ta itu, benar saja Su In dan Akim tidak menemui kesulitan untuk menerobos masuk ke dalam istana sang pangeran, walaupun para penjaga menjadi bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Mereka mengenal tanda tangan dan cap kebesaran Jenderal Shu Ta, dan kedua orang wanita itu tadi mengatakan bahwa mereka hendak bertemu dengan Yauw Siucai. Entah ada urusan apa maka Jenderal Shu Ta sampai memberi kuasa kepada dua orang wanita itu untuk menemui Yauw Siucai dan melakukan penggeledahan!
Karena merasa tidak enak hati walaupun tidak berani menghalangi, kepala jaga lalu memimpin pasukan kecil untuk masuk ke dalam, hendak melihat apa yang akan terjadi dan berjaga-jaga melindungi sang pangeran.
Sui In dan Akim juga sudah mendapat gambaran yang cukup jelas tentang keadaan istana sang pangeran, dan mereka tahu di mana letak kamar pangeran mahkota, di mana pula letak kamar puteranya dan kamar Yauw Siucai. Akan tetapi, ketika mereka lewat di kamar pangeran dan kamar Yauw Siucai, sunyi saja di situ. Seorang pengawal yang berjaga di situ memandang penuh curiga dan melintangkan tombaknya.
Sui In memperlihatkan surat kuasa dari Jenderal Shu Ta, membuat pengawal itu berdiri tertegun.
"Cepat katakan, di mana Yauw Siucai dan Sang Pangeran?"
Pengawal itu masih tertegun dan tidak mampu menjawab, hanya menunjuk ke arah taman. Sui In menggerakkan tangan menotoknya agar pengawal itu tidak membuat banyak ribut. Lalu bersama Akim ia lari ke dalam taman yang luas dan indah itu.
Berindah-indap mereka menghampiri Pangeran Mahkota yang kelihatan sedang duduk di atas bangku menghadapi Yauw Siucai yang kelihatan marah-marah "Sekali, kalau paduka menolak, terpaksa aku akan membunuhmu!" katanya kacau dan kadang kasar.
"Pangeran, cepat buatkan surat kuasa untukku dan aku tidak akan membunuhmu!"
Biarpun wajahnya pucat, pangeran yang nampak lemah dan tidak bersemangat itu kini mengangkat kepala membusungkan dadanya.
"Orang she Yauw! Baru sekarang aku menyadari bahwa engkau bukanlah orang baik-baik. Entah siapa engkau, akan tetapi jelas engkau menyusup ke sini untuk menguasai aku!"
"Ahhh, pangeran tolol! Kau sudah bosan hidup agaknya!" Yauw Siucai mengangkat tangan kanan ke atas dan memukul ke arah kepala Pangeran Mahkota untuk membunuhnya.
"Jahanam busuk!" Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan Akim sudah meloncat dan langsung saja memukul ke arah dada Yauw Siucai. Yauw Siucai atau Pangeran Yaluta itu terkejut merasakan sambaran angin, dia lalu menggerakkan tangan kirinya menangkis.
"Dukk! Plakk..."!" Baik Pangeran Yaluta maupun Akim terdorong mundur, akan tetapi pukulan Yaluta ke arah kepala pangeran mahkota tadi meleset dan mengenai ujung pundak kirinya. Walaupun pukulan itu tidak telak dan hanya menyerempet saja, namun cukup membuat pangeran itu terpelanting.
Yaluta kini berdiri berhadapan dengan dua orang wanita itu. Wajahnya agak pucat, mulutnya cemberut dan matanya mencorong. Dia segera mengenal dua orang itu. Dia tersenyum mengejek.
"Kiranya Bi-coa Sianli yang datang! Hemm, dahulu ketika bersama ayahmu dan puterimu engkau melarikan diri dikejar-kejar pasukan, aku yang menyelamatkan kalian dan...".."
"Tutup mulutmu, jahanam palsu! Kiranya engkau yang dahulu melukai pundak Lili! Nih, kukembalikan paku-pakumu yang dahulu melukai Lili dan tadi membunuh anak buahmu sendiri!" Tangan Sui In bergerak dan dua batang paku itu menjadi dua sinar hitam menyambar ke arah dada dan leher Yaluta! Akan tetapi tentu saja pangeran Mongol ini tidak sudi senjatanya makan dirinya sendiri. Sekali dia bergerak, dia sudah mengelak dan dua batang paku itu meluncur lewat.
"Pangeran, lihat baik-baik. Dua orang wanita ini datang untuk membunuh paduka! Bi-coa Sianli ini adalah ibu dari Lili, tentu ia datang untuk membunuh paduka. Dan gadis ini adalah pengawal pribadi Raja Muda Yung Lo, agaknya adik paduka itu memang hendak membunuh paduka maka mengirimnya ke sini. Awas, mereka akan membunuh paduka. Pengawal, cepat kurung dan tangkap dua orang pembunuh ini. Mereka hendak membunuh sang pangeran!"
Belasan orang pengawal yang sudah tiba di taman itu, menjadi bingung, akan tetapi mereka sudah siap dengan senjata di tangan, menanti perintah sang pangeran karena perintah dari Yauw Siucai kurang meyakinkan hati mereka.
Akim berkata kepada Pangeran Mahkota.
"Maaf, pangeran, apakah paduka masih belum menyadari benar? Orang ini hampir saja tadi membunuh paduka. Dia ini adalah seorang mata-mata, dia adalah Pangeran Yaluta, pangeran dari Mongol yang sengaja menyelundup ke sini untuk memimpin jaringan mata-mata Mongol."
Mendengar ucapan ini, pangeran yang kini sudah sadar benar itu mengangguk dan berkata kepada para pengawal.
"Tangkap sastrawan gadungan ini!"
"Jangan!" teriak Sui In.
"Biarkan kami berdua yang menangkapnya. Kalian jaga saja keselamatan pangeran!"
Yaluta tak dapat mengelak lagi, akan tetapi masih mencoba untuk membela diri.
"Alangkah lucunya. Kalau benar aku ini mata-mata dan memusuhi sang pangeran mahkota, tentu sudah lama aku menyerang atau membunuhnya karena setiap hari aku berdekatan dengannya. Itu hanya fitnah keji!"
"Yaluta, engkau orang Mongol licik! Engkau mendekati sang pangeran untuk menguasainya, bahkan engkau mengadu domba beliau dengan Raja Muda Yung Lo, engkau bahkan hampir membunuh kedua orang pangeran itu di Cin-an!" Kini Akim berkata dengan lantang.
"Engkau hendak membuat keluarga kerajaan menjadi lemah dan saling bermusuhan!"
"Sudahlah Yaluta, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Engkau bekerja sama dengan Yang Mulia memimpin jaringan mata-mata Mongol!"
Mendengar ini, pucatlah wajah Yaluta. Dia menyangka bahwa gurunya telah terbongkar rahasianya dan tertangkap. Dia menjadi nekat dan dia tertawa bergelak.
"Ha..ha..ha, benar aku adalah, Pangeran Yaluta! Aku hendak membangun kembali Kerajaan Mongol yang jaya! Ha..ha..ha, Kerajaan Beng akan hancur, pangeran mahkotanyapun hanya sekor kura-kura yang lemah, ha..ha..ha!"
Semua orang kini merasa yakin dan selagi pangeran Mongol itu masih tertawa, tiba-tiba saja dia sudah menerjang dan menyerang ke arah Pangeran Mahkota yang sudah dikepung dan dijaga oleh para pengawal. Para pengawal melindungi, dan tiga orang di antara mereka roboh disambar kipas yang digerakkan secara ganas dan dahsyat oleh pangeran Mongol itu. Akan tetapi, Akim dan Sui In segera menerjang maju dan sudah mencabut senjata pedang mereka. Ouwyang Kim sudah memegang Goat-im-kiam, sedangkan Cu Sui In sudah memegang Hek-coa-kiam yang bersinar hitam.
Sambil tertawa-tawa seperti orang gila, suara ketawa yang menyembunyikan kekecewaan hatinya karena siasatnya telah gagal dan hancur, Yaluta mengamuk dengan kipasnya. Ilmu silat pangeran Mongol ini cukup hebat karena sejak kecil dia sudah mempelajari segala macam ilmu berkelahi, gulat dan silat, dan akhir-akhir ini dia menjadi murid Yang Mulia.
Andai kata Akim seorang yang maju menandinginya, tentu tidak akan mudah bagi gadis itu untuk mengalahkan Yaluta. Akan tetapi, di situ terdapat Cu Sui In yang kedudukannya dalam dunia persilatan sudah tinggi, sebagai datuk. Maka, menghadapi sambaran sinar pedang hitam yang bergulung-gulung, segera Yaluta terdesak hebat.
"Kita tangkap dia hidup-hidup," kata Cu Sui In kepada Akim. Akim maklum bahwa calon ibu mertua tirinya ini hendak menangkap sang pangeran Mongol hidup-hidup agar dapat diseret ke depan suaminya dan agar seluruh jaringan mata-mata itu dapat dibongkar. Maka, Akim lalu mendesak dengan pedangnya, membuat pangeran itu sibuk menangkis dan tidak sempat menyerang lagi sehingga Akim memberi kesempatan kepada calon ibu mertuanya untuk merobohkan lawan. Dan memang usahanya berhasil baik karena dengan gerakan lengan kirinya yang seperti ular Cu Sui In berhasil menotok roboh Yaluta!
Akan tetapi, ketika ia dan Akim hendak meringkus pangeran Mongol itu, tiba-tiba Yaluta mengeluarkan jeritan dan mukanya berubah menghitam. Dia tewas seketika! Sui In cepat memeriksanya dengan menekan gerahamnya sehingga mulutnya terbuka dan nampak betapa mulut itu penuh dengan cairan menghitam. Tahulah ia bahwa sejak tadi, pangeran Mongol itu sudah mempersiapkan diri, sudah memasukkan semacam pel di mulutnya sehingga kalau dia menghendaki, setiap saat dia dapat menggigit pecah pil itu dan diapun membunuh diri tanpa dapat dicegah lagi. Dia sudah memperhitungkan agar jangan sampai tertawan hidup-hidup, karena hal itu berarti suatu penghinaan baginya. Selain tak mungkin dia diampuni, juga dia tidak ingin kaki tangannya terbasmi semua.
Pangeran Mahkota jatuh pingsan dan digotong oleh para pengawal ke dalam. Sejak itu dia jatuh sakit. Pangeran Mahkota ini sejak di Cin-an mengalami guncangan batin, dan kini dia bahkan menyadari betapa selama ini dia telah memperhamba seorang pangeran Mongol, seorang pemimpin mata-mata yang hendak menghancurkan kerajaan ayahnya! Inilah tekanan yang paling berat, yang membuat dia tidak dapat bangkit kembali.
Setelah memesan kepada para pengawal agar menjaga jenazah Pangeran Yaluta dan memasukkan dalam peti agar jangan sampai ada anak buah orang Mongol itu yang mencoba untuk mencuri mayat, Sui In dan Akim lalu bergegas pulang ke rumah keluarga Bhok.
Setiba di rumah, mereka melihat Sin Wan dan Kui Siang sudah menanti mereka dan menceritakan bahwa Bhok-ciangkun menemukan sebuah buku catatan di saku dalam tawanan tadi di mana terdapat catatan tentang sarang-sarang yang dipergunakan oleh jaringan mata-mata Mongol. Bhok-ciangkun sedang keluar untuk bekerja sama dengan para panglima lainnya, menyerbu sarang-sarang itu.
Tak lama kemudian Bhok Cun Ki datang dan mengajak Cu Sui In, Akim, Sin Wan, dan Kui Siang untuk ikut bersama dia, siap membantu kalau diperlukan dan mereka pergi ke rumah Jenderal Shu Ta. Kiranya Bhok-ciangkun memang sudah mengirim berita rahasia kepada Jenderal Shu Ta tentang hasil penyelidikannya dan para pembantunya, tentang tewasnya Yauw Siucai yang bukan lain adalah Pangeran Yaluta dari Mongol, tentang jaringan mata-mata yang kini sedang diserbu oleh para panglima, kemudian tentang kecurigaannya yang mendalam bahwa Jenderal Yauw Ti terlibat, bahkan mungkin menjadi pemimpin besar jaringan mata-mata Mongol!
Jenderal Shu Ta yang baru keluar dari persidangan, menerima berita rahasia ini dari seorang perwira pengawal istana. Tentu saja jadi terkejut dan girang, akan tetapi tidak diperlihatkannya kepada rekan-rekannya, di antaranya Jenderal Yauw Ti yang bersama-sama dia baru keluar dari istana. Bahkan dia lalu mendekati Jenderal Yauw Ti, menggandeng lengannya dan berkata.
"Yauw-goanswe, mari singgah ke rumahku sebentar sebelum kau pulang. Ada hal penting sekali mengenai tugas kita yang ingin kurundingkan denganmu sehubungan dengan pertemuan di istana tadi."
Jenderal Yauw Ti yang merupakan pembantu utama Jenderal Shu Ta, menerima undangan itu tanpa curiga sedikitpun. Kedua orang jenderal besar ini naik ke sebuah kereta milik Jenderal Shu Ta, lalu keduanya menuju ke rumah panglima besar itu.
Tidak terjadi sesuatu ketika mereka tiba di pekarangan rumah sang jenderal dan keduanya sambil bicara turun dari kereta dan memasuki gedung itu. Jenderal Shu Ta mengajak tamunya memasuki ruangan tamu yang luas. Setelah mempersilakan tamunya duduk, Jenderal Shu Ta berkata, suaranya tenang namun tegas.
"Nah, setelah kita duduk, mari kita bicara secara terbuka, Yang Mulia."
Tentu saja Jenderal Yauw Ti terkejut bukan main. Dia mengerutkan alisnya, lalu memandang kepada Shu-goanswe dan bertanya,
"Apa maksudmu, Jenderal Shu?"
"Maksudku sudah jelas, Yang Mulia. Bukankah engkau sudah terbiasa disebut Yang Mulia?"
Yauw Ti bangkit berdiri, juga Shu Ta bangkit berdiri. Kedua orang jenderal yang selama bertahun-tahun menjadi rekan seperjuangan itu, yang bersama-sama membantu Chu Goan Ciang yang kini menjadi Kaisar Thai-cu mengusir penjajah Mongol dan mendirikan Kerajaan Beng, bahkan keduanya pula yang memimpin pasukan mengejar sisa pasukan Mongol sampai ke utara, menaklukkan seluruh kota Mongol, kini berdiri saling berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik.
"Jenderal Shu Ta, jelaskan, apa maksudmu dengan ucapan itu? Kata-katanya juga tegas dan keras.
"Masih kurang jelaskah? Engkau, yang kukenal sebagai Jenderal Yauw Ti yang gagah perkasa, rekan seperjuanganku yang biasa kuhormati, yang sudah menerima banyak anugerah dari Sribaginda Kaisar, setelah menjadi tua telah berubah menjadi pengkhianat bangsa! Engkau telah bersekongkol dengan orang-orang Mongol, memimpin jaringan mata-mata Mongol di sini dan engkau menyamar sebagai Si Kedok Hitam yang disebut Yang Mulia! Engkau menyelundupkan Pangeran Yaluta dari Mongol ke dalam istana Pangeran Mahkota untuk meracuni dan merusak sang pangeran. Engkau pula yang mengusahakan adu domba antara Pangeran Mahkota dan Raja Muda Yung Lo, bahkan mengirim pembunuh-pembunuh untuk membunuh mereka berdua. Masih kurang jelaskah?"
Sepasang mata itu mencorong dan mulut itu tersenyum mengejek. Memang luar biasa sekali kekerasan hati Jenderal Yauw Ti. Menghadapi tuduhan sehebat itu, wajahnya tidak berubah sama sekali!
"Hemm, Jenderal Shu Ta. Betapa mudahnya menuduh orang lain dengan fitnah. Akan tetapi, kalau engkau tidak dapat menunjukkan bukti-bukti yang memperkuat tuduhanmu itu, aku sebaliknya yang akan melapor kepada Sribaginda Kaisar bahwa engkau melakukan fitnah keji kepadaku! Bahkan aku tidak segan untuk membunuhmu sekarang juga kalau fitnah itu tidak berbukti, karena itu berarti bahwa engkau telah menghinaku!"
Sikapnya tenang, namun matanya yang mencorong menunjukkan bahwa dia marah bukan main.
Jenderal Shu Ta adalah su-te (adik seperguruan) Sribaginda Kaisar, biarpun pernah menjadi murid perguruan Siauwlim-pai, namun tingkat ilmu silatnya tentu saja jauh dibandingkan dengan Yauw Ti yang dahulu ketika memasuki perjuangan memang sudah seorang jagoan tingkat tinggi. Maka, Jenderal Shu Ta tertawa dan ini merupakan isyarat bagi para pembantunya.
Nampak bayangan banyak orang berkelebat memasuki ruangan itu dan ketika Yauw Ti memandang, diam-diam dia terkejut bukan main. Dia melihat Bhok Cun Ki, Cu Sui In, Sin Wan, Liem Kui Siang, dan Ouwyang Kim berdiri di situ sambil memandang kepadanya dengan sinar mata menyatakan kemarahan mereka.
(Lanjut ke Jilid 18 - Tamat)
Asmara Si Pedang Tumpul (Seri ke 02 - Serial Si Pedang Tumpul)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 18 (Tamat)
"Jenderal Shu Ta! Apa artinya semua ini?" bentaknya marah.
"Yauw Ti, bukankah engkau tadi minta bukti untuk memperkuat tuduhanku? Nah, bukan hanya bukti, melainkan banyak saksi yang akan memperkuat tuduhanku," jawab Shu Ta.
Tiba-tiba Jenderal Yauw Ti tertawa.
"Ha..ha..ha, siapa yang tidak tahu mereka ini semua adalah antek-antek dan kaki tanganmu? Jenderal Shu Ta, bukan aku yang pengkhianat, akan tetapi engkau sendiri yang mengumpulkan kekuatan dan agaknya engkau yang hendak memberontak. Bhok Cun Ki ini memang sejak dahulu menjadi anak buahmu, dia orang yang licik dan curang! Dan siapakah Cu Sui In ini? Bukankah ia seorang datuk sesat berjuluk Bi-coa Sianli, puteri datuk besar See-thian Coa-ong? Dan gadis ini, bukankah ia bernama Ouwyang Kim, puteri datuk sesat Tung-hai-liong Ouwyang Cin, datuk segala bajak laut? Gadis yang seorang inipun mencurigakan. Pernah menjadi pengawal pribadi Raja Muda Yung Lo dan sekarang berada di sini, siapa tahu engkau yang mengirim ia ke utara untuk memata-matai raja muda itu! Dan akhirnya pemuda ini. Hah, siapa dia? Seorang biadab bangsa Uighur, putera Si Tangan Api Se Jit Kong, datuk penjahat kelas satu! Engkaulah yang mengumpulkan orang-orang jahat untuk memberontak, dan engkau hendak menuduh aku, dengan mengajukan saksi orang-orang jahat ini?"
"Jenderal Yauw Ti," kata Liem Kui Siang,
"engkau tidak dapat mengelabui aku! Ketika terjadi penyerangan atas diri Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota, engkau yang mendalangi. Hanya ketika melihat munculnya suheng Sin Wan dan adik Lili, dan melihat betapa penyerangan itu gagal, engkau berbalik dan engkau pura-pura sibuk mengatur pertempuran antara pasukanmu dan pasukan Raja Muda Yung Lo. Engkaulah yang mengatur sehingga terjadi bentrokan itu, untuk memancing para pengawal agar sibuk bertempur sehingga anak buahmu dapat menyusup dengan mengenakan pakaian seragam, lalu mencoba untuk membunuh kedua orang pangeran itu."
"Huh, fitnah. Dugaan yang tidak berdasar dan berbukti!" kata Yauw Ti mengejek.
"Yauw Ti, jangan kira aku dapat melupakan saat ketika engkau dan orang-orangmu menawanku. Engkau boleh berkedok dan mengubah suaramu, akan tetapi ketika aku dan Sin Wan mengeroyokmu, mestinya engkau mampus di ujung pedangku. Akan tetapi, perut gendutmu itu palsu! Si Kedok Hitam yang berperut gendut itu adalah engkau yang menyamar, dengan membuat perut palsu sehingga tidak terluka ketika tertusuk pedangku! Engkau berani menyangkal?" kata Akim.
"Huh, menggelikan! Pedangmu itu yang agaknya pedang rombengan sehingga tidak dapat melukai musuhmu, lalu engkau menuduh yang bukan-bukan. Itu bukan merupakan bukti tuduhanmu bahwa aku adalah Si Kedok Hitam!"
"Hemm, Yauw Ti alias Si Kedok Hitam, tak perlu engkau bersilat lidah! Muridmu, Pangeran Yaluta dari Mongol yang menyamar sebagai Yauw Siucai itu telah mengaku.
"Tak mungkin!" Kini Jenderal Yauw Ti menjadi pucat dan dia memotong ucapan Cu Sui In diluar kesadarannya saking kagetnya mendengar ucapan itu.
"Hemm, teriakanmu itu sudah membuka kedokmu, Si Kedok Hitam! Pangeran Yaluta bukan saja sudah mengaku, akan tetapi diapun sudah tewas! Ketika kami merobohkannya dan hendak menawannya, dia membunuh diri dengan mengunyah pil racun hitam."
Kini Yauw Ti tidak ragu-ragu lagi dan habislah kesabarannya. Agaknya semua siasatnya yang telah berjalan sedemikian baik dan mulusnya, hari ini telah mengalami kehancuran total!
"Bukan itu saja, Yauw Ti. Juga semua anak buahmu, jaringan mata-mata yang kau pimpin sudah hancur. Para perwira yang kaulibatkan dalam jaringan itu telah kami serbu dan kami tangkap, di antaranya adalah Perwira Lu, Song, Kui, Gak...""
Jelas nampak betapa semangat Yauw Ti terkulai. Dia tidak ragu lagi bahwa semua itu bukan gertak. Habislah sudah.
"Shu Ta, sekarang kita berdiri sebagai laki-laki. Tak perlu kupungkiri lagi bahwa akulah Si Kedok Hitam. Nah, Shu Ta, kalau memang engkau laki-laki dan jantan, mari kita selesaikan perhitungan ini di ujung senjata!" dan bekas jenderal besar itu meraba gagang pedangnya yang tergantung di pinggang.
Shu Ta maklum bahwa tantangan itu merupakan akal pula dari Yauw Ti yang tahu bahwa dalam hal ilmu silat, pasti pemberontak dan pengkhianat itu akan menang.
Kini Sin Wan yang maju.
"Yauw Ti atau Si Kedok Hitam, akulah lawanmu. Sudah banyak perhitungan di antara kita yang bertumpuk, dan saat ini tiba waktunya bagi kita membuat perhitungan. Shu-goanswe adalah seorang jenderal yang setia kepada kerajaan, kalau beliau yang bertindak, maka beliau akan mengerahkan pasukan untuk menangkap pengkhianat sepertimu ini. Kalau engkau menghendaki mengadu kepandaian satu lawan satu, akulah lawanmu!"
Kui Siang juga melompat ke depan, ke dekat Sin Wan.
"Atas nama Raja Muda Yung Lo yang hampir menjadi korban kecuranganmu, aku juga akan maju menangkapmu, Yauw Ti!"
Bekas jenderal itu tertawa bergelak.
"Ha..ha..ha, engkau hendak mewakili Raja Muda Yung Lo, nona? Katakan saja engkau hendak membantu Sin Wan mengeroyokku!"
"Aku membantunya sudah cukup pantas. Dia adalah suhengku, juga calon suamiku."
"Ha..ha..ha, bukankah engkau puteri mendiang bangsawan Liem Cun, nona? Puteri seorang bangsawan bangsa Han, bangsa pribumi asli hendak menjadi isteri seorang keturunan Uighur yang biadab, putera datuk sesat keji Si Tangan Api, bahkan agamanyapun asing? Memalukan sekali!"
Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bekas jenderal yang sudah kehilangan harapan itu kini menyebar penghinaan ke mana-mana untuk melampiaskan kedukaan, kekecewaan dan keputus-asaan.
Sin Wan tersenyum saja, sama sekali tidak merasa terhina.
"Yauw Ti, menilai seorang manusia tidak dapat didasarkan kepada kebangsaannya, agamanya, kedudukannya, kekayaannya atau kepintarannya, melainkan kelakuan dan sepak terjangnya dalam hidup ini. Engkau boleh jadi bangsa pribumi asli, beragama peninggalan nenek moyang, berkedudukan tinggi sebagai panglima besar, pintar, kaya raya dan terhormat. Akan tetapi kalau engkau menjadi pengkhianat, kalau engkau berkelakuan curang dan licik, kalau sepak terjangmu dalam hidup penuh kekejian dan kepalsuan, tetap saja engkau seorang manusia yang rendah budi!"
"Singggg...""..!" Nampak sinar terang menyilaukan mata ketika bekas jenderal itu mencabut pedangnya.
"Sin Wan dan engkau nona, majulah kalau ingin mati di tanganku!" tantangnya, dan memang dia selain lihai, juga cerdik dan curang karena tanpa menanti kedua orang lawannya mencabut pedang, dia sudah menggerakkan pedangnya dan menyerang dengan dahsyat ke arah kedua orang muda itu.
Sin Wan dan Kui Siang, biarpun belum mencabut pedang, namun sejak tadi sudah siap siaga dan waspada, maka begitu pedang menyambar, mereka sudah meloncat ke tengah ruangan itu yang luas.
"Kalian maju, dan tangkaplah pengkhianat itu!" teriak Jenderal Shu Ta yang khawatir kalau-kalau bekas pembantunya yang dia tahu amat lihai itu dapat meloloskan diri.
Mendengar ini, Yauw Ti tertawa bergelak.
"Ha..ha..ha, boleh, boleh! Kalian semua majulah dan biarpun aku akan mati di tangan kalian, aku mati sebagai seorang gagah perkasa yang dikeroyok banyak orang. Sebaliknya, biarpun kalian akan menang, nama kalian akan tetapi dijadikan bahan ejekan karena sebagai tokoh-tokoh persilatan besar, kalian hanyalah pengecut-pengecut yang mengandalkan pengeroyokan untuk mencapai kemenangan, ha..ha..ha!"
"Tidak perlu, Shu-goanswe. Sin Wan dan Kui Siang sudah lebih dari cukup untuk mengalahkan pengkhianat itu," kata Cu Sui In.
"Benar, Shu-goanswe, harap tidak khawatir. Sin Wan dan Kui Siang pasti akan mampu menundukkannya," sambung Bhok Cun Ki sehingga legalah hati Jenderal Shu Ta. Mereka semua menonton dan para pengawal sudah mengepung ruangan itu.
Karena maklum bahwa dia tidak mungkin dapat meloloskan diri, dan menyerahpun tidak akan diampuni Kaisar, Yauw Ti menjadi nekat. Dia segera memainkan ilmu silatnya yang aneh, yaitu tubuhnya berpusing, seperti gasing, pedangnya mencuat dari pusingan itu menjadi sinar yang menyilaukan seperti kilat menyambar, dan juga tangan kirinya bergerak mengirim serangan dengan totokan It-tok-ci (Satu Jari Beracun) yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan pedangnya.
Akan tetapi sekali ini dia menghadapi pengeroyokan sepasang orang muda yang amat lihai. Sin Wan dan Kui Siang tahu pula betapa lihainya maka begitu mereka mencabut pedang, mereka berdua segera memainkan ilmu mereka yang paling ampuh, yaitu Sam-sian Sin-ciang. Pedang Tumpul di tangan Sin Wan nampaknya tidak berbahaya, akan tetapi justeru Yauw Ti amat gentar menghadapi pedang buntut itu karena dia pernah terkejut ketika pedangnya rusak oleh pedang itu.
Sedangkan pedang Jit-kong-kiam di tangan Kui Siang mengeluarkan cahaya gemilang sesuai dengan nama pedang itu, yaitu pedang Sinar Matahari. Karena kedua orang muda ini memainkan ilmu pedang yang sama, maka mereka dapat saling dukung, baik dalam penyerangan maupun dalam pertahanan, bahkan tenaga mereka berdua seperti tergabung dalam gerakan mereka itu.
"Awas, moi-moi, itu It-tok-ci !" kata Sin Wan memperingatkan kekasihnya akan bahayanya jari beracun lawan itu.
"Baik, koko," kata Kui Siang dan pedangnya membuat gerakan menyambut jari yang menotok ke arah tubuhnya. Kalau totokan itu dilanjutkan, jari itu akan bertemu pedangnya dan tentu jari itu akan terbabat buntung!"
Serang menyerang terjadi dan benar seperti pendapat Bhok Cun Ki dan Cu Sui In, sebentar saja, tidak sampai tigapuluh jurus, bekas jenderal itu sudah terhimpit dan terkurung dua gulungan sinar pedang lawan. Kalau jenderal itu tidak menjadi nekat, tentu dia sudah tidak akan mampu membalas dan hanya bertahan melindungi diri saja.
Akan tetapi, dia sudah nekat. Biar dia mati, dia harus dapat menjatuhkan lawan, keduanya atau seorang di antaranya. Oleh karena itu, gerakannya membabi buta dan napasnya terengah-engah karena dia terlalu banyak mengerahkan tenaga dalam dorongan nafsunya untuk membunuh lawan.
Kalau Sin Wan dan Kui Siang berniat membunuh Yauw Ti, kiranya mereka sudah dapat melakukannya sejak tadi. Ilmu silat mereka Sam-sian Sin-ciang memang hebat bukan main, apalagi dimainkan oleh mereka berdua yang mewarisi ilmu ciptaan Tiga Dewa itu. Akan tetapi mereka maklum bahwa perlu sekali pengkhianat ini ditangkap hidup-hidup agar dapat diseret ke pengadilan.
Oleh karena itu, terpaksa mereka membatasi penyerangan mereka hanya untuk merobohkan tanpa membunuh. Agaknya, sikap kedua orang lawannya ini diketahui Yauw Ti, maka dia mempergunakan kesempatan itu untuk keuntungannya dan dia bahkan yang lebih banyak menyerang mati-matian dengan jurus-jurus maut yang dikuasainya.
"Hyaatttt..."..!!" Ketika mendapat kesempatan, pedang di tangan Yauw Ti menyambar dari atas ke arah kepala Sin Wan. Jenderal ini amat benci karena Sin Wan, bukan hanya karena pemuda ini adalah keturunan bangsa Uighur yang dibencinya, melainkan juga semenjak pertama kali, pemuda ini selalu menghalangi dan mengacaukan siasatnya. Dengan sepenuh tenaga dia membacokkan pedangnya. Melihat ini, Sin Wan cepat mengangkat pedangnya menangkis dan sekaligus mengerahkan sin-kang untuk disalurkan melalui pedangnya.
"Trakkk!" Dua batang pedang bertemu di udara dan bekas jenderal itu terkejut karena pedangnya itu seperti menempel pada besi semberani, seperti ada tenaga menyedot yang membuat pedangnya melekat pada Pedang Tumpul. Dia marah sekali dan jari tangan kirinya meluncur, menotok ke arah leher Sin Wan. Pemuda ini sudah memperhitungkan dan melihat kesempatan baik untuk mengalahkan Yauw Ti. Melihat tangan itu menyambar, diapun memutar tubuh, tangan kirinya bergerak melintang dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan jenderal Yauw Ti.
"Cepat, moi-moi!" katanya dan Kui Siang memang sudah melihat kesempatan ini! Pedangnya menyambar bagaikan kilat dan menyambar jari telunjuk yang warnanya hijau menghitam itu.
"Crokk!" Jari telunjuk yang berbahaya itu terbabat pedang dan putus! Yauw Ti berteriak keras, dan pada saat itu, Sin Wan sudah menarik pedangnya dan sekali pedangnya meluncur ke depan, pedang yang tumpul itu kini dia pergunakan sebagai tongkat dan menotok jalan darah di dada dan pundak lawan. Bekas jenderal itu roboh terkulai dan tak mampu bergerak lagi, hanya matanya melotot dan mulutnya mendesis menahan rasa nyeri di tangannya yang kehilangan jari telunjuk.
Jenderal Shu Ta merasa terharu juga melihat bekas rekan terbaik ini menggeletak tak berdaya. Dia menghampiri dan setelah saling pandang dengan bekas rekannya itu, Jenderal Shu Ta berkata,
"Yauw Ti, sungguh aku tidak mengerti. Engkau telah diberi banyak anugerah oleh Sribaginda, diberi kedudukan yang hanya berada di bawah kedudukanku, dipercaya dan dihormati. Kenapa engkau memilih jalan sesat dan menjadi pengkhianat, rela diperhamba orang-orang Mongol?"
Yauw Ti tersenyum mengejek.
"Huh Kaisar yang tolol dan tidak adil. Jasaku jauh lebih besar darimu, juga kepandaianku jauh lebih tinggi darimu, akan tetapi dia yang mengangkat engkau menjadi panglima tertinggi, bukan aku! Dia pilih kasih dan mengangkat engkau, sutenya, di atasku. Orang Mongol memberi harapan lebih banyak, kalau berhasil, aku sedikitnya menjadi panglima tertinggi, atau raja muda, bahkan Kaisar!"
Jenderal Shu Ta menghela napas panjang. Kemudian, setelah bekas jenderal yang berkhianat itu dibawa ke tahanan, Jenderal Shu Ta mengerahkan pasukan untuk dipimpin Bhok-ciangkun membikin pembersihan, menangkapi semua pembantu Jenderal Yauw Ti.
Semua pendekar berkumpul di rumah Bhok Cun Ki, merayakan kemenangan karena kalau sampai sebulan lewat para pemberontak itu tidak dapat dihancurkan, tentu Kaisar akan menghukum keluarga Bhok.
Kaisar sendiri yang mengadili bekas Jenderal Yauw Ti. Bukan main marahnya Kaisar, apalagi melihat sikap bekas jenderal itu yang kini tidak mau tunduk kepadanya.
"Seret dia dan seluruh keluarganya, semua isterinya dan anaknya, juga semua pelayan dan penghuni rumahnya, hukum mati mereka semua tanpa kecuali perintahnya.
Semua pejabat tinggi terkejut mendengar keputusan hukuman yang berat itu. Seorang di antara mereka, seorang menteri yang usianya sudah enampuluh tahun dan yang sejak Kaisar masih menjadi pemimpin rakyat Chu Goan Ciang sudah membantu perjuangan melawan orang Mongol, yaitu Menteri Coa, maju berlutut.
"Mohon ampun, Sribaginda. Hamba mohon agar paduka mengingat akan jasa-jasa bekas Jenderal Yauw Ti. Memang dia telah berdosa besar, akan tetapi keluarganya tidak tahu menahu akan dosanya itu. Maka, hamba mohon agar paduka mengampuni keluarganya dan hanya menjatuhkan hukuman mati kepada dia seorang."
Kaisar membelalakkan matanya dan memukul meja di depannya.
"Brakk!" dia melotot.
"Menteri Coa, jelas engkau membela pemberontak. Seret dia dan hukum mati, biar dia tetap menjadi pembela si pemberontak di neraka! Dan siapa pun yang berani membela pemberontak, akan menemani keluarga pemberontak memasuki neraka!"
Tentu saja semua orang terkejut. Bahkan Jenderal Shu Ta sendiri lalu menjatuhkan diri berlutut,
"Mohon ampun, Sribaginda..."""."
"Jenderal Shu Ta! Engkau suteku, aku akan merasa menyesal sekali kalau harus menjatuhkan hukuman mati kepadamu dan seluruh keluargamu!" bentak Kaisar sehingga Jenderal Shu Ta tidak berani bicara lagi. Kaisar lalu membubarkan persidangan itu.
Bekas Jenderal Yauw Ti, berikut seluruh keluarganya, tidak ada kecualinya, sampai semua hamba sahayanya, dijatuhi hukuman mati. Kaisar memang telah berubah menjadi seorang yang teramat kejam dan tak mengenal ampun, apa lagi kalau dia mencurigai seseorang. Biar orang itu bekas teman seperjuangan sekalipun, seperti menteri Coa, akan dihukum mati agar hatinya menjadi tenang."
Tak lama kemudian setelah peristiwa itu, Pangeran Chu Hui San, yaitu Pangeran Mahkota, meninggal dunia. Simpang siur berita tentang kematiannya. Secara resminya, dia dikabarkan meninggal dunia karena menderita penyakit, akan tetapi desas-desus menyiarkan berita bahwa dia sengaja dihukum mati secara rahasia oleh Kaisar, ayahnya sendiri, dengan disuruh minum racun!
Kedua berita itu mungkin saja, karena Kaisar menganggap puteranya telah berkhianat dengan bergaul bahkan menarik Pangeran Yaluta sebagai penasihat, dan kedua, mungkin dia mati karena penyakit karena badannya sudah lemah sekali oleh candu, arak dan pelesir yang tak mengenal batas.
Bhok Cun Ki sendiri juga merasa tidak senang dengan sikap yang amat kejam dari Kaisar. Tak lama kemudian, dia menerima utusan Raja Muda Yung Lo yang melamar Lili untuk menjadi isteri pangeran di utara itu. Karena Lili sendiri sudah setuju, maka pinangan itu diterima dengan gembira dan kedudukan Lili sebagai isteri Raja Muda Yung Lo itu memungkinkan keluarga Bhok untuk pindah sekeluarga ke Peking, dengan alasan Raja Muda Yung Lo yang menjadi mantunya yang menghendaki agar mereka diboyong semua ke utara. Di Peking, Bhok Cun Ki membantu mantunya dan menjadi seorang panglima yang disegani karena kepandaian dan kecerdikannya.
Mengingat jasa Sin Wan dan hubungannya yang amat dekat dengan keluarga Bhok, maka Bhok Cun Ki dengan senang hati menjadi wali pemuda itu dan dia yang mengirim utusan kepada keluarga Liem, yaitu para paman dan bibi Kui Siang, untuk meminang Kui Siang secara resmi. Karena yang mengirim lamaran adalah Bhok Cun Ki, tentu saja keluarga Kui Siang yang mata duitan itu menerima dengan senang hati.
Pernikahan antara Si Pedang Tumpul Sin Wan dengan sumoinya, Liem Kui Siang, dirayakan berbareng dengah pernikahan antara Bhok Ci Han dan Ouwyang Kim, yang dihadiri pula oleh ibunya yang telah menjadi janda. Perayaan pernikahan rangkap itu dirayakan dengan meriah, bahkan Raja Muda Yung Lo dan Lili datang pula menghadiri perayaan.
Tak lama kemudian, seluruh keluarga itu, termasuk pula Sin Wan dan Kui Siang, berbondong pindah ke utara! Jenderal Shu Ta maklum akan perasaan mereka yang tidak puas akan sikap Kaisar, akan tetapi dia sendiri adalah seorang yang amat setia kepada Kaisarnya, atau suhengnya, maka bagaimanapun juga, Jenderal ini tetap tidak pernah meninggalkan Nan-king sampai matinya.
Kaisar Thai-cu yang selalu curiga kepada siapa saja yang dikira akan menjatuhkannya, mengangkat Pangeran Chu Hong, yaitu putera mendiang Pangeran Chu Hui San, yang masih kanak-kanak, menjadi pangeran mahkota menggantikan ayahnya. Hal ini kelak mendatangkan bencana dan terjadi perang saudara yang amat hebat, karena Raja Muda Yung Lo tidak dapat menerima keputusan ayahnya itu.
Menurut pendapatnya, setelah Pangeran Chu Hui San meninggal dunia, sepantasnya dia yang menjadi pengganti kakaknya, menjadi pangeran mahkota, bukan keponakannya, Pangeran Chu Hong yang masih kecil itu. Namun, keputusan Kaisar Thai-cu sudah resmi, bahkan Pangeran Chu Hong yang masih kecil itu sudah diberi nama kebesaran Hui Ti!
Dengan bantuan para pendekar, di utara Raja Muda Yung Lo menyusun kekuatan, sedangkan di selatan, di Nan-king, keadaan Kerajaan Beng menjadi semakin lemah karena para pejabat merasa tidak puas dan takut kepada Kaisar yang berubah menjadi kejam dan lalim.
Sampai di sini, selesailah sudah kisah ini disertai harapan pengarang, semoga ada manfaatnya bagi para pembaca. Sampai jumpa di lain kisah.
TAMAT
Penerbit : CV. GEMA, Solo
Cetakan Tahun : 1995
andu, http://indozone.net/literatures/literature/676
Pedang Sinar Emas Eps 22 Si Pedang Tumpul Eps 9 Si Pedang Tumpul Eps 1