Sepasang Naga Lembah Iblis 2
Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Pada keesokan harinya, barulah mereka menggali sebuah lubang yang cukup dalam untuk mengubur jenazah kakek Yang Kok It. Setelah selesai, Yang Cien mengangkat sebuah batu besar sebagai nisan kuburan yang berada di bawah pohon tempat tinggal mereka itu.
Setelah itu, Yang Cien lalu berkemas.
"Kita pergi sekarang saja, sute "
"Kemana, suheng?".
"Memenuhi pesan kakek. Kita harus kembali ke dunia ramai dan melanjutkan cita-cita mendiang ayahku untuk menyatukan seluruh negeri agar dapat menentang gangguan bangsa mongol yang datang dari barat dan utara."
Kauw Cu tidak menjawab, akan tetapi memandang penuh perhatian ketika Yang Cien mengambil sebuah kantung dari tumpukan pakaian kakeknya dan membuka, lalu mengeluarkan isi kantung itu. Ternyata berisi perak dan emas potongan yang amat diperlukan untuk bekal perjalanan.
"Itu apakah, suheng? Itu yang berkilauan kuning....
"
"Ah, inikah, sute? Ini yang dinamakan emas, dan ini perak. Kita membutuhkan sekali emas ini untuk bekal diperjalanan."
"Untuk apakah emas itu, suheng?".
"Untuk segala keperluan. Membeli pakaian, membeli makanan dan menyewa rumah penginapan atau membeli kuda atau perahu."
"Kalau begitu kita perlu membawa yang banyak, suheng."
"aih, darimana membawa banyak? Benda ini sukar sekali di dapatkan, dan amat berharga. Dikota segalanya harus dibeli, bahkan makanan. Engkau tak dapat mencari makanan seperti di sini. Semua pohon buah ada yang memilikinya, kalau membutuhkan harus dibeli."
"Aku tahu sebuah tempat yang penuh dengan emas ini, suheng."
"Ahhh? Yang Cien memandang heran.
"Benarkah, sute? Dimana itu?".
"Aku tidak mau memberitahukan atau menunjukkan kepadamu dimana tempatnya."
"Kenapa, sute?".
"Aku takut engkau menjadi jahat seperti Aki. Diapun menjadi jahat dan hendak membunuhku setelah kuperlihatkan tempat itu kepadanya."
"Ahhh.... Engkau kira aku ini orang macam apakah, sute? Apakah sampai sekarang engkau belum juga percaya kepadaku? Kalau begitu, tidak usah kau tunjukkan tempatnya kepadaku. Aku pun tidak ingin memperoleh banyak emas. Ini saja sudah cukup, dan kalau habis, kita dapat bekerja untuk mendapatkan penghasilan."
Akauw diam sejenak dan menatap wajah suhengnya. Kemudian, dia memegang tangan suhengnya.
"Maafkan aku, suheng. Mari, mari kutunjukkan tempatnya. Perjalanan dari sini cukup jauh, akan tetapi kalau engkau mempergunakan ilmu berlari cepat dan aku melakukan perjalanan melalui pohon-pohon, dalam waktu seperempat hari saja tentu akan sampai.
Timbul kegembiraan di hati Yang Cien yang dilanda duka karena kematian kakeknya itu. Bukan karena dijanjikan memperoleh banyak emas, melainkan akan melihat tempat lain daripada hutan yang selama lima tahun di huni bersama Akauw dan kakeknya. Dan dia ingin tahu sekali tempat apa itu yang dikatakan mengandung banyak emas oleh Akauw.
Disebutnya Lembah Iblis, mengapa ada tempatnya yang mengandung emas? Maka diapun berangkat. Akauw sebagai penunjuk jalan melakukan perjalanan dari pohon ke pohon, gerakannya cepat sekali berayun-ayun dan Yang Cien harus menggunakan gin-kangnya agar dapat berlari cepat menyusul sutenya yang berada di atas.
Setelah tiba di tempat yang penuh guha itu, Yang Cien terbelalak, terheran-heran dan terkagum-kagum. Pada guha pertama, melihat patung-patung batu yang terukir indah itu, dia mengeluarkan pujian.
"Luar biasa sekali, betapa indahnya ukiran arca-arca ini. Sayang sebagian besar belum selesai, dan sudah di tinggalkan pemahatnya.
Sute, semua ini menunjukkan bahwa di tempat ini dahulu tinggal satu atau beberapa orang-orang pandai sekali.
Baru Akauw tahu bahwa arca-arca itu merupakan buatan orang yang pandai dan menganggumkan. Dahulu Aki sama sekali tidak mengangumi arca-arca itu.
Kini, melihat suhengnya meneliti patung itu satu demi satu, diapun ikut meneliti dan ikut terkagum.Baru sekarang dia melihat betapa arca itu dibuat bagus sekali, ada yang nampak urat-urat menontol di bawah permukaan kulit.
Ketika agak memasuki guha itu, terdengan Yang Cien berseru kagum. Akauw cepat menghampiri dan die melihat bahwa suhengnya telah menemukan sebuah arca yang tingginya hanya satu meter, akan tetapi arca itu luar biasa indahnya. Menggambarkan seorang wanita yang cantik jelita. Begitu bagus buatannya sehingga kalau dilihat dari tempat agak jauh arca itu seolah hidup dan tersenyum manis!.
"Bukan main! Sute, selama hidupku belum pernah aku melihat arca seindah ini! "keduanya mengamati arca itu dengan kagum. Sampai lama Yang Cien melihat-lihat kumpulan arca dalam guha itu.
"Mari, suheng ketempat yang kumaksudkan."
"Ah, sampai lupa aku, sute. Arca-arca ini demikian menarik perhatianku. Kenapa baru sekarang kauberitahu, sute? Kalau dulu kakek mengetahui dan dapat melihat arca-arca ini, tentu kong-kong akan senang sekali dan barangkali saja kong-kong dapat menduga siapa pembuat arca-arca ini di sini."
"aku selalu khawatir kalau kong-kong dan engkau akan menjadi sejahat Aki, suheng. Maafkan aku."
"Sudahlah, mari kita pergi ke guha tempat emas itu."
Akauw lalu mengajak Yang Cien pergi ke guha lain, yang berada di tengah-tengah antara guha-guha yang banyak terdapat di situ. Akan tetapi baru saja tiba di pintu guha, dari dalam guha terdengar gerengan dahsyat dan muncullah seekor biruang hitam yang besar sekali.
"Awas, sute!" kata Yang Cien.
"Biar aku melawannya, suheng. Dia ini berbahaya akan tetapi aku tahu bagaimana harus melawannya. Biruang merupakan musuh utamaku sejak aku kecil."
Akauw menghampiri biruang itu, dan Yang Cien yang berada di pinggiran hanya menonton, akan tetapi siap siaga membantu kalau sutenya terancam bahaya. Akauw menghampiri dengan tenang dan diapun mengeluarkan gerengan kera marah. Biruang itu tiba-tiba saja menerkam, akan tetapi Akauw menghindar dengan lebih cepat lagi sehingga terkaman itu luput. Dan sebelum biruang yang besar dan lamban itu dapat membalikkan tubuhnya, Akauw sudah merangkul lehernya dari belakang dan mencekik leher itu dengan kedua tangannya,lengannya menyusup dibawah kaki depan biruang itu.
Dan terjadilah adu tenaga yang menegangkan. Biruang itu meronta, menggoyang tubuhnya, menggereng, akan tetapi tubuh Akauw tak pernah melepaskan, seperti seekor lintah melekat pada kaki seseorang. Biruang itu semakin marah dan juga ketakutan karena dia mulai sesak bernapas, lalu menjatuhkan diri bergulingan.
Yang Cien menjadi cemas melihat betapa tubuh biruang yang besar itu menggilas dan menindih tubuh Akauw, akan tetapi dia merasa lega melihat Akauw tidak apa-apa, dan ternyata memang tubuh sutenya itu kuat bukan main. Akhirnya, biruang itu menjadi semakin lemah dan lidahnya terjulur keluar, keempat kakinya hanya dapat bergerak-gerak lemah.
"Sute, jangan bunuh dia!" kata Yang Cien dan mendengar ucapan suhengnya ini, Akauw lalu melepaskan jepitan kedua tangannya dari leher biruang itu, dan dia lupa diri, menginjak dada biruang itu dan mengeluarkan pekik kemenangan, pekik kera yang menggetarkan jantung. Lalu dia menendang biruang itu yang dapat bangkit lagi lalu biruang itu melarikan diri dengan terhuyung-huyung.
"suheng, kenapa engkau melarang aku membunuhnya?".
"Sute, untuk kepentingan apa engkau membunuhnya?"
"Kepentingan apa? Tidak ada, karena dia menyerangku, maka sepatutnya aku membunuhnya."
"nah, mulai sekarang, kebiasaan seperti itu haruslah kau buang jauh-jauh, sute. Ketahuilah, dalam kehidupan antara manusia, membunuh adalah perbuatan yang jahat sekali dan dilarang. Kalau tidak terpaksa sekali dan jangan engkau sekali-kali melakukan pembunuhan.
Juga terhadap binatang, boleh saja engkau membunuhnya kalau memang kau memerlukannya untuk dimakan. Misalnya membunuh kijang, kelinci, ayam dan lain-lain. Akan tetapi kalau tidak memerlukannya, jangan membunuh apalagi membunuh manusia, kecuali dalam perang karena membunuh dalam perang tidaklah sama dengan membunuh seseorang dalam perkelahian dan urusan pribadi. membunuh itu hanya dilakukan orang yang kejam dan jahat, sute."
Akauw mengangguk-angguk.
"Aku mengerti, suheng.
Nah, mari kita memasuki guha, dan lihat itu, yang berkilauan itu, bukankah itu sama dengan yang berada di kantungmu tadi?".
Dan Yang Cien masuk, dan dia terbelalak kagum. Tak salah lagi, yang terdapat banyak di dinding itu adalah bongkahan batu-batu yang ternyata adalah emas murni bercampur batu karang.
Tak ternilai harganya. Dia mengambil beberapa potong dan menimbang-nimbang di telapak tangannya. Baru beberapa potong kecil ini saja sudah jauh lebih berharga dari pada milik gurunya yang ditemukan dalam kantung kecil itu.
Dia memandang sutenya, Akauw yang bajunya robek-robek karena perkelahian tadi sudah melepaskan baju atasnya dan kini nampak tubuhnya yang kekar, otot-otot melingkar di lengan dan dadanya, tubuhnya yang tinggi besar itu setengah kepala lebih tinggi dari tubuh Yang Cien yang sudah terhitung tinggi tegap. Yang Cien memandang kagum, lalu menghampiri dan menepuk pundak sutenya.
"Sute, engkau sungguh seorang laki-laki jantan yang gagah perkasa, aku bangga mempunyai seorang adik seperti engkau!".
"aih, suheng, kenapa mendadak memujiku. Engkau lebih hebat, aku tahu bahwa aku tidak akan berdaya, aku tahu bahwa aku tidak akan berdaya kalau bertanding melawanmu."
Mereka saling pandang dengan kagum. Yang Cien kini menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun yang tinggi tegap, wajahnya berbentuk persegi dengan dagu yang membayangkan kekuatan dan keteguhan hati, namun sinar matanya yang tajam itu lembut tanda bahwa dia berakal budi dan bijaksana. Hidungnya yang mancung dan mulutnya yang berbentu indah itu membuat wajahnya kelihatan tampan menarik sekali. Sedangkan Kauw Cu memiliki wajah yang bulat terlur, akan tetapi matanya yang lebar, sampai hidungnya yang besar dan bibirnya yang tebal memberi kesan kokoh, kuat, jujur, adil dan kaku.
Namun sinar matanya juga mengandung kelembutan, ini sebagai hasil pendidikan selama lima tahun oleh mendiang kakek Yang Kok It. Dia jauh nampak lebih jantan dari pada Yang Cien dan sukar mengatakan mana yang lebih menarik sebagai seorang pemuda di antara keduanya.
"Bagaimana, suheng? Benarkah semua ini emas?"
"Tidak salah, sute. memang ini adalah emas yang tidak ternilai harganya."
"Apakah engkau tidak girang melihatnya, suheng? Dahulu, Aki demikian girang sampai dia menari-nari dan berteriak-teriak bahwa dia menjadi kaya raya."
Yang Cien dengan tenang berkata sambil tersenyum.
"Adikku, emas merupakan harta benda yang dapat bermanfaat besar sekali kalau terjatuh ke tangan orang bijaksana. Dapat menolong rakyat keluar dari bahaya kelaparan, dapat memperkuat Negara, pendeknya dapat mengangkat rakyat keluat dari penderitaan. Akan tetapi kalau terjatuh ke tangan orang jahat, harta kekayaan dapat mendatangkan bencana kepada orang lain. Tentu aku girang menemukan semua ini, sute. Akan tetapi sat ini aku sama sekali tidakmembutuhkan. Entah kelak kalau cita-citaku berhasil, yaitu menyatukan seluruh negeri menjadi persatuan yang kokoh untuk mengusir bangsa-bangsa liar yang mengganggu keamanan rakyat. Mari, sute, kita periksa guha-guha yang lain, apakah engkau pernah memeriksa guha yang lain?".
"Sudah semua, suheng. Guha-guha yang lain semuanya kosong kecuali sebuah guha terbesar dimana kudapatkan hanya sebuah arca di dalam guha, tidak ada apa-apanya lagi."
"Mari kita periksa guha besar itu," ajak Yang Cien dan mereka lalu menuju ke guha itu.
Ketika menuju ke guha itu, Yang Cien terkejut. Nampak dari jauh, guha itu seperti wajah seorang raksasa. Guha itu menjadi mulutnya yang terbuka, dengan taring-taring berupa batu-batu yang bergantung runcing, dan di atas guha itu merupakan tebing yang terhias batu-batu besar yang menjadi sebuah hidung dan sepasang matanya. Sungguh merupakan wajah yang mengerikan dan sepatutnya kalau itu wajah iblis. Sekarang dia mengerti mengapa lembah itu dinamakan Lembah Iblis. Selain tempatnya amat berbahaya, banyak terdapat binatang buas dan tempat-tempat aneh, juga guha-guha ini memang menyeramkan sekali, terutama yang besar itu.
"Kenapa, suheng?"
"Kau lihat, sute. Bukankah itu seperti muka iblis yang menakutkan?" kata Yang Cien sambil menunjuk.
"Guha itu mulutnya dan penuh taring, batu besar di atasnya itu hidungnya dan yang sepasang mulut itu matanya."
"Ihh, benar! Kenapa dulu kau tidak memperhatikannya? Barangkali itu yang pantas di sebut Guha Iblis dan agaknya di jadikan tempat tinggal para iblis!", kata Akauw yang tidak memperlihatkan rasa takut karena di kalangan kera tidak ada istilah tahyul takut setan dan pengertiannya tentang setan sedikit sekali dari penuturan mendiang kakek Yang Kok It dan Yang Cien.
"Mari kita selidiki, sute."
Keduanya lalu berloncatan menuju ke guha itu. Dan benar saja seperti yang dikatakan Kauw Cu, guha besar itu kosong, hanya di dalam ruangan itu terdapat sebuah arca besar, sebesar manusia, arca seorang kakek tua yang sedang duduk bertopang dagu. Yang Cien memperhatikan arca itu. Jelas bahwa ukirannya serupa dengan arca-arca di guha pertama. Kenapa arca tunggal ini berada di sini? Tentu ada maksudnya, pikirnya. Ada sesuatu yang ganjil. Muka patung itu bukan menghadap ke kiri, akan tetapi seperti kepala yang di putar ke kiri, juga jari tangan kiri yang menopang dagu itu telunjuknya menunjuk ke kiri.
Yang Cien lalu pergi ke bagian dinding kiri guha itu, meraba-raba, akan tetapi tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Apa artinya kepala dan jari yang terputar ke kiri itu?.
"Engkau mencari apa, suheng?".
"Mencari barangkali ada rahasia tersembunyi di guha ini, sute. Tempat ini sungguh menarik sekali."
Dia memperhatikan lantai. Lantai dari batu itu terdapat jejak kaki manusia. Bukan main! Manusia macam apa yang dapat membuat jejak kaki pada lantai batu? Dan jejak kaki itu miring ke sana sini, dan ketika Yang Cien mengikuti jejak kaki itu menginjak dan melangkah dengan kakinya, maka terbentuklah langkah-langkah seperti orang bersilat!
Pernah ada orang berlatih silat di sini, dan kaki nya meninggalkan bekas di lantai batu! Bukan main. Hanya sinking yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali saja yang dapat membuat kaki meninggalkan jejak seperti itu di atas batu keras, seolah-olah lantai itu terbuat dari tanah liat yang lunak saja.
"Rahasia apa, suheng? Arca ini tidak menunjukkan sesuatu. Barangkali rahasianya terletak dibawahnya, coba ku angkat!" berkata demikian, raksasa muda itu memeluk arca lalu dicobanya untuk di angkat. Akan tetapi arca itu tidak dapat di angkatnya. Padahal menurut besarnya patung, sudah pasti Kauw Cu dapat mengangkatnya. Akan tetapi arca ini seolah-olah ada sesuatu yang menahannya dari bawah sehingga tidak dapat terangkat.
"Ah, arca ini berakar di bawahnya, suheng!" kata Akauw penasaran.
Yang Cien mendekati.
"Hentikan usahamu, sute. Kalau arca ini tidak dapat kau angkat, berarti memang dibawahnya terkait sesuatu. Ah, mungkin itulah rahasia yang akan ditunjukkan kepada kita." Dia lalu memegang arca itu, dan meutarnya ke kiri. Untuk itu dia harus mengerahkan seluruh tenaganya dan tiba-tiba arca itu dapat d putar ke kiri. Saat itu terdengar suara gemuruh seperti ada banyak batu runtuh dan di dinding kiri guha itu tiba-tiba saja runtuh berlubang besar!.
Yang Cien dan Akauw melompat keluar guha agar jangan sampai tertimpa batu-batu yang runtuh. Debu mengepul tebal dari reruntuhan itu dan setelah batu berhenti berjatuhan, debu juga mulai menipis, Yang Cien memasuki guha, diikuti Akauw yang agak takut karena merasa ngeri melihat kejadian yang aneh itu.
Nalurinya seolah memberitahu kepadanya bahwa dibalik reruntuhan itu terdapat bahaya besar mengancamnya!.
"Hati-hati, suheng....! "bisiknya dan dia berjalan dekat sekali di belakang suhengnya.
"Kita harus waspada, sute," bisik Yang Cien.
Keduanya memasuki lubang dari dinding yang runtuh tadi, dan ternyata di balik dinding itu terdapat sebuah tangga batu menuju ke bawah yang gelap sekali!.
"Wah, gelap sekali, suheng..."".
"
"Tidak apa, sute. Kita meraba-raba dan tetap waspada......"
Keduanya setengah merangkak mengikuti lorong itu dan seratus langkah kemudian nampaklah sinar didepan. Ternyata lorong itu membawa mereka ke sebuah ruangan yang lebih luas daripada guha di depan dan penerangan itu datang dari atas, dimana terdapat celah-celah batu yang berbentuk segi delapan dari mana sinar matahari dapat menerobos masuk!.
Dan di tengah-tengah ruangan itu terdapat meja sembahyang daripada batu, tempat lilin batu dimana masih ada lilinnya yang tidak menyala, tinggal sepotong lilin itu. Di kanan kiri meja sembahyang terdapat dua buah patung, patung seorang pria dan patung seorang wanita yang merupakan arca batu yang sama besarnya dengan arca wanita di guha yang lain itu. Dua buah arca ini sama bagusnya dengan arca wanita itu, ukirannya demikian indah dan halusnya sehingga garis-garis telinga dari arca itu nampak jelas. Yang pria berusia kurang lebih tigapuluh tahun, tampan dan berwibawa, yang wanita cantik sekali, sama cantiknya dengan arca wanita di guha yang lain, akan tetapi alisnya berkerut dan tarikan wajah cantik ini membayangkan kekerasan hati dan kekejaman! Di seluruh dinding tempat itu terdapat ukir-ukiran yang membentuk gambar-gambar dari orang yang bersilat, demikian jelas gambar-gambar itu dan demikian teratur sehingga tanpa penerangan sekalipun orang dapat mempelajari silat dengan meniru kedudukan jurus-jurus dalam gambar itu.
Seluruhnya ada tigapuluh enam jurus yang terbagi dalam banyak perkembangan sehingga untuk menggambarkan satu jurus saja terdapat lebih dari lima gerakan dalam gambar. Begitu jelasnya sehingga Akauw yang melihatnya segera mulai bergerak-gerak menirukan gambar itu.
"Akauw, jangan lancing."
"Maaf, suheng." Dan diapun mengikuti suhengnya yang sudah menjatuhkan dirinya berlutut di depan meja sembahyang, sekaligus menghadap dua arca itu.
"Teecu berdua Yang Cien dan Ciang Kauw Cu, secara kebetulan saja memasuki tempat ini tanpa ijin lo-cian-pwe, harap lo-cian-pwe sudi memberi maaf yang sebesarnya," kata Yang Cien dengan sikap dan suara menghormat.
Hampir saja Akauw tertawa. Apakah suhengnya mendadak menjadi gila "suheng," bisiknya.
"Itu hanya arca batu..." "
"Hushhhh, sute, lihatlah di belakang meja sembahyang itu," bisik kembali Yang Cien.
Akauw mengangkat kepalanya dan menjenguk. Matanya terbelalak dan wajahnya berubah agak pucat. Di sana, dibelakang meja, di atas kursi, duduk sebuah kerangka manusia lengkap dengan tengkoraknya, telunjuk kanannya menuding kepadanya dan telunjuk kirinya menuding ke atas, matanya yang berlubang itu seperti melotot kepadanya.
"Ampun, ampunkan saya, lo-cian-pwe," katanya dengan suara gemetar sehingga kini Yang Cien yang ingin tertawa.
Yang Cien melakukan penghormatan itu untuk menghormati arwah orang yang telah mati dan telah menjadi kerangka di balik meja sembahyang itu. Ketika dia melihat lagi, di atas meja sembahyang itu terdapat sebuah kitab dan sebuah sarung pedang yang terisi dua batang pedang. Sema-ciang dan siang-kiam (pedang pasangan). Tentu saja ingin sekali dia mengambil kitab dan pedang untuk memeriksanya, akan tetapi dia tidak berani lancing.
"Sute, engkau membawa alat pembuat api?".
"Ada, suheng."
"Buatlah api untuk menyalakan lilin di atas meja sembahyang ini, kita perlu mohon ijin dulu."
Akauw dengan kedua tangan gemetar lalu membuat api dan menyalakan lilin itu yang masih dapat menyala dengan baik. Kemudian Yang Cien, di turut oleh sutenya, lalu memberi hormat sambil berlutut, dan berkata "Saya Yang Cien mohon ijin kepada lo-cianpwe untuk membaca kitab dan melihat pedang itu."
Setelah berkali-kali berkata demikian, dia lalu bangkit berdiri dan dengan sikap hormat, dia menjulurkan tangannya mengambil kitab yang tidak berapa besar itu. Akan tetapi, begitu dia mengangkat kitab itu dari atas meja, tiba-tiba dia berseru kesakitan, lalu terhuyung-huyung dan roboh di depan meja sembahyang, pingsan!.
"Suheng.....! Ah, suheng...". Jangan mati, suheng.....
"Akauw berteriak-teriak karena baru saja dia kematian kakek Yang Kok It, merasa takut melihat Yang Cien jatuh pingsan. Kemudian, dia bangkit berdiri dan mengepal tinju, mengamangkan tinjunya kepada kerangka itu dan memaki.
"Iblis busuk, bangkitlah dan lawan aku kalau berani! Kami telah bersikap sopan, akan tetapi malah engkau membunuh suhengku! Hayo bangkit dan lawan aku atau akan kuhancurkan meja dan arca-arca ini!".
Untuk sebelum dia menghancurkan segalanya, Yang Cien siuman dan membuka matanya.
"Sute...""! Dia mencegah sutenya ketika mendengar sutenya menantang-nantang kerangka itu dan akan menghancurkan meja dan arca.
"Jangan, sute......"
Mendengar seruan suhengnya, Akauw lalu berlutut dan membantu kakaknya bangkit duduk, hatinya lega karena melihat Yang Cien tidak mati.
"Engkau tidak mati, suheng? Aku takut engkau mati...""."
Yang Cien menggigit bibir menahan sakit, lalu memeriksa tangan kanannya, yang ternyata tertusuk sebatang jarum dan telapan tangannya itu menghitam. Dengan jari dia mencabut jarum itu dan merasa tangannya seperti di baker.
"Sute, ambilkan buku itu." Kitab itu terlepas dari pegangannya dan terlempar. sutenya mengambil kitab kesil itu dan menyerahkannya kepadanya. Dengan tangan kirinya Yang Cien membuka lembar pertama dan di situ ada tulisan tangan yang jelas sekali.
"Muridku, Engkau telah keracunan Ban-tok-ciam (jarum selaksa racun) dan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawamu, engkau harus tekun berlatih dari kitab ini selama lima tahun di sini "
Thian Beng Lojin.
Yang Cien tertegun. Dari kakeknya, dia pernah mendengar nama Thian Beng Lojin (Kakek Anugerah Tuhan) ini, seorang kakek sakti luar biasa yang tidak diketahui dimana tinggalnya atau matinya, beberapa abad yang lalu. Dia di angkat murid! Akan tetapi diapun keracunan Ban-tok-ciam dan harus tekun berlatih selama lima tahun di tempat itu!
Dia di lukai ketika mengambil kitab, yang dipasangi alat yang membuat jarum itu menyebar, dilukai untuk "dipaksa "menjadi murid! Lima tahun! Bukan waktu yang pendek. Dan bagaimana dengan sutenya?.
"Bagaimana, suheng? Apa yang terdapat dalam kitab ini?".
"Sute, aku telah keracunan Ban-tok-ciam, dan tidak dapat disembuhkan oleh obat apapun juga."
"Jangan khawatir, suheng. Aku mengenal daun obat yang dapat dipergunakan mengobati gigitan ular berbisa."
"Sute, jarum ini mengandung selaksa racun. Jalan satu-satunya untuk mengobati, menurut kitab ini selama lima tahun, aku harus berlatih dari kitab ini selama lima tahun di sini."
"Lima tahun! Gila! Lima tahun itu sama dengan ketika kakek mengajar kita! "
"Apa boleh buat, sute. Kalau aku masih ingin hidup, aku harus menaati pesan dalam kitab itu.
Dan engkau boleh merantau dulu seorang diri, sute. Bekal ilmu sudah cukup ada padamu, dan bekal uang juga cukup. Carilah pengalaman di luar, akan tetapi ingat, jangan mencari perkara, jangan suka berkelahi dan terutama sekali jangan membunuh orang."
Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, suheng. Kalau aku pergi, siapa yang menemanimu? Aku akan menemanimu? Aku menemanimu di sini, jangan khawatir."
"Akan tetapi, sute, lima tahun...
"
"Kalau lima tahun mengapa? Jangankan lima tahun, biar selamanya aku manu menemanimu di sini. Aku tidak punya siapa-siapa lagi, dan aku takut memasuki dunia manusia tanpa engkau....."
"Sute..."!" Yang Cien merangkul sutenya dengan hati penuh keharuan. Anak ini, biarkan di besarkan oleh kera, akan tetapi memiliki watah yang amat baik.
"Kalau begitu, sesukamulah. Aku harus mulai membaca kitab itu sekarang."
"Aku akan mencari bahan makanan dan mengambil semua perabot kita untuk memasak air, untuk memasak makanan dan lain-lain. Nanti sore aku sudah kembali lagi, suheng."
"baiklah, sute."
Setelah Akauw pergi, Yang Cien juga membuka lembaran kedua dan di situ tertulis bahwa untuk mempelajari ilmu menghimpun tenaga dalam kitab itu dia tidak boleh tergesa-gesa, tidak boleh membuka lembaran berikutnya sebelum mengerti benar dan melatih lembaran pertama. Kalau hal itu di langgar, kalau cara melatihnya tidak menurut aturan yang ditentukan, maka mempelajari ilmu itu dapat membuat dia menjadi gila!.
Yang Cien bergidik ngeri. Begitu hebatkah ilmu ini? Di lembar ke tiga di tulis nama dari ilmu itu.
Bu Tek Cin Keng! Dan lembar berikutnya barulah pelajaran pertama, yaitu pelajaran cara melatih pernapasan dan bermeditasi. Seketika itu juga Yang Cien mulai berlatih diri menurut petunjuk kitab itu.
Sorenya Akauw datang membawa semua perabot masak, juga pakaian mereka, dan sejak itu, dengan tekunnya Yang Cien berlatih dari Kitab itu dan Akauw melayaninya dengan rajin. dan benar saja baru sebulan dia berlatih diri, dan baru dapat tiga lembar saja, warna hitam di telapak tangannya sudah mulai menipis.
Kalau Yang Cien sangat tekun melatih diri dengan pernapasan dan siulan begitu tekun sampai setahun lewat tanpa dia rasakan, adalah Akauw yang mulai uring-uringan karena bosan. Setiap hari dia hanya melihat suhengnya duduk bersila dan melakukan pernapasan yang aneh-aneh, kadang-kadang napasnya bersuara seperti orang mengorok, kadang-kadang seperti kuda meringkik, kadang tidak bersuara sama sekali.
Karena bosan dan iseng, mulailah dia memperhatikan gambar-gambar orang bersilat yang terdapat di dalam dinding itu. maka mulailah dia berlatih silat melalui gambar-gambar, menirukan setiap gerakan. Dasar dia memang berbakat baik sekali, telah memiliki kesigapan alami, maka tidak berapa sukar baginya untuk menirukan jurus-jurus itu. Yang Cien melihat ini dan dia diam saja, dia tahu betapa jemunya sutenya itu berdiam diri saja di tempat itu, setiap hari hanya mempersiapkan segala keperluan untuk dirinya. Dia amat berterima kasih kepada sutenya yang setia, maka melihat sutenya giat berlatih silat, dia mendiamkan saja. Dan ternyata Akauw mendapatkan kesibukan tersendiri dan dia tekun sekali berlatih.
Setelah mempelajari siu-lan selama dua tahun, pada lembar-lembar berikutnya barulah ternyata olehnya bahwa latihannya itu adalah untuk persiapan mempelajari ilmu silat yang gambarnya terdapat pada dinding. Ilmu silat yang dilatih oleh sutenya itu ilmu Bu Tek Cin Keng. dan sutenya telah mempelajarinya begitu saja, tanpa petunjuk kitab. Padahal, sutenya sudah melatihnya selama dua tahun, dan agaknya sudah menguasai semua jurus dari Bu Tek Cin Keng.
"Sute, tahan....!" Dia berseru ketika membaca lembaran kitabnya pada bagian itu.
"Sute, engkau tidak boleh melatih ilmu silat itu begitu saja. Harus menurut peraturan yang terdapat dalam kitab ini. Mari ku bacakan. Dimulai dari jurus pertama dulu, sute. Ketika berdiri tegak dan merangkap kedua tangan depan dada, seluruh hati akan pikiran haruslah di tundukkan ke arah kepasrahan kepada Thian, haruslah kosong dan biar terisi oleh kekuasaan Thian. Selaras dengan bunyi ujar-ujar Thian-beng-ci wi-seng (Anugerah Tuhan adalah yang dinamakan Aseng). Nah, kita mengosongkan hati akal pikiran itu, agar Seng (watak asli) kita bangkit, terbebas dari pengaruh segala nafsu, kembali murni seperti aslinya. Setelah itu, barulah kedua tangan yang di rangkap depan dada itu berpisah, yang kanan menuding keatas, yang kiri ke bawah, yang ini yang dinamakan pisah akan tetapi kumpul, seperti pisahnya bumi dan langit yang sebetulnya tidak pernah berpisah karena memang menjadi satu rangkaian.
Gerakan pertama dari jurus pertama ini dilakukan dengan tarikan napas panjang, menyimpan di perut, baru pada gerakan kedua dihembuskan keluar dan bersuara aaahhhhh, kemudian pada gerakan ke tiga......"
"Wah, sudah, sudah. aku menjadi pening, suheng. Kau saja yang mempelajari dari kitab. Aku hanya ingin mempelajari segala gerakannya saja, tidak ingin mempelajari segala artinya. baru satu jurus saja sudah begitu panjang lebar belum juga selesai kau terangkan, bagaimana aku dapat mengerti dan ingat? Padahal semua ada tiga puluh enam jurus dank au tahu suheng? Semua jurus itu sudah hafal olehku. Nah, kau lihat ini! "Akauw lalu mulai bersilat, dari jurus pertama sampai selesai tegapuluh enam jurus. Gerakannya gesit bukan main dan ilmu silat itu memang indah sekali seperti orang menari-nari. akan tetapi setelah selesai bersilat, napas Akauw agak memburu dan dia tertawa bergelak-gelak saking girangnya.
Yang Cien mengerutkan alisnya. Dari suara ketawa sutenya itu saja tahulah dia bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam sikap Akauw.
"Sute, engkau harus taat kepadaku, ingat? Aku katakana, engkau mulai sekarang tidak boleh memainkan ilmu silat itu, kecuali kalau engkau mau mempelajari dari semual menurut petunjuk kitab ini. Mari kita mempelajari berdua, sute."
"Ah, sudah hafal di mulai lagi dari pertama, untuk apa? Aha, suheng, agaknya engkau iri kepadaku. Aku sudah hafal semua dan engkau baru mulai dari jurus satu. Suheng, aku sudah jemu di sini. Sekarang setelah tanganmu sembuh, marilah kita pergi dari sini, melanjutkan perjalanan kita."
"Sute, aku ingin mempelajari ilmu silat ini lebih dulu seperti pesan suhu."
"Suhu siapa?"
"Suhu Thian Beng Lojin. seperti yang tertulis di dalam kitabnya. Aku harus menaati pesannya, kalau tidak berarti aku bukan seorang murid yang baik. Kalau kakek masih hidup, tentu demikian pula pesannya kepadaku dan kepadamu. Tunggulah sampai aku selesai mempelajari kitab ini, baru kita pergi melanjutkan perjalanan kita, sute."
"Sampai kapan, suheng?".
"Sampai tiga tahun lagi, karena menurut kitab ini, aku harus berlatih selama lima tahun dan ini baru lewat dua tahun."
"Tiga tahun? Wah, terlalu lama, suheng. Kita pergi sekarang, kalau engkau tidak mau, biar aku pergi sendiri."
Jelas bahwa telah terjadi sesuatu pada diri Akauw, pikir Yang Cien. Apakah ini ada hubungannya dengan melatih ilmu Bu Tek Cin Keng tanpa tuntunan? Kalau dulu dia pernah menganjurkan sutenya untuk merantau dulu seorang diri, kini dia berbalik malah khawatir.
"Sute, jangan pergi dulu, tunggu sampai aku selesai melatih ilmu."
"Suheng, aku bukan anak kecil lagi. Suheng juga seringkali mengatakan bahwa aku telah dewasa, usiaku sudah dua puluh satu tahun. Aku sudah mempunyai bekal ilmu yang cukup untuk menjaga diri, dan juga bekal emas yang cukup untuk biaya hidup. Suheng biarlah aku merantau dulu, dan paling lama tiga tahun, sebelum engkau selesai melatih ilmu di sini, aku pasti akan datang menjemputmu."
Yang Cien menghela napas panjang. Kalau dia mencegah terus, sutenya bisa menduga bahwa dia terlalu memikirkan diri sendiri. Kini lukanya sudah sembuh, tinggal melatih ilmu saja untuk membuat semua racun lenyap dari tubuhnya. Dia dapat mencari makan sendiri, dapat mengatur keperluan dan memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan sutenya.
"Baiklah kalau engkau berkeras, sute. Hanya jangan lupa, di dunia banyak sekali terdapat orang jahat. Engkau tentu masih ingat akan semua pelajaran yang kau terima dari kakek atau dariku, dapat membedakan mana baik dan mana jahat. Dan sekali lagi, jangan engkau mudah melibatkan diri dalam perkelahian, dan terutama sekali, jangan membunuh orang tanpa sebab."
"Aku mengerti, suheng. Akan tetapi tentu engkau tidak keberatan kalau aku membunuh orang yang jahat sekali dan yang suka mencelakakan orang, bukan?".
Yang Cien menghela napas panjang, teringat akan dasar watak sutenya yang keras.
"Engkau tentu dapat memilih, pendeknya, jangan terlalu mudah membunuh orang, kecuali kalau engkau menjadi seorang prajurit yang bekerja untuk sebuah kerajaan. Akan tetapi engkau harus dapat memilih kerajaan macam apa, dibawah raja macam apa engkau mengabdi."
"Jangan khawatir, suheng. Aku tidak akan menjadi seorang prajurit kalau tidak bersama engkau. Nah, aku sudah mempersiapkan segalanya malam tadi, selamat tinggal, suheng, aku berangkat."
"Sute, selamat jalan, jaga dirimu baik-baik, sute."
"Suheng....!" Akauw menghampiri suhengnya dan merangkulnya. Yang Cien balas merangkul dan saat itu dia merasa betapa sayangnya dia kepada sutenya ini yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri dan betapa besar dan kokoh tubuh sutenya sehingga tidak pantas kalau dia selalu menahan dan menjaganya."
"Sute, pergilah."
Dia mengikuti sutenya yang berloncatan dengan sigap sekali di antara batu-batu besar di luar guha. Setelah sutenya pergi, baru dia merasa betapa sepinya hidup ini. Dia merasa kehilangan sekali dan merasa kesepian.
Dalam setiap perpisahan, selalu pihak yang di tinggalkan merasa lebih berat dan kehilangan, seolah-olah dalam hidupnya menjadi tidak lengkap lagi.
Sebaliknya, yang meninggalkan tidaklah begitu merasa berat karena pikirannya penuh dengan hal-hal baru, yang akan dihadapinya dalam perjalanan.
Setelah dapat menentramkan batinnya yang terguncang dan merasa nelangsa di tinggalkan sutenya dan hidup sendiri di tempat terasing itu, mulailah Yang Cien melatih diri dengan ilmu silat yang gambarnya memenuhi dinding, menurut petunjuk dalam kitab. Dan bukan main kagumnya karena dia menemukan ilmu silat yang luar biasa sekali hebatnya. Dan juga menurut petunjuk kitab itu, setiap jurus haruslah digerakkan sesuai dengan peraturan pernapasan dan pencurahan perhatian di tujukan kepada suatu tertentu. Sehingga untuk melatih setiap jurus membutuhkan waktu kurang lebih satu bulan! Dan untuk melatih dan menguasai semua tigapuluh enam jurus itu di butuhkan waktu tiga tahun! Akan tetapi sutenya telah menghafal dan melatih seluruh jurus itu hanya dalam waktu dua tahun.
Ketika sutenya pergi jauh dan dia memeriksa pedang yang berada di atas meja sembahyang, baru dia tahu bahwa sebatang di antara dua batang pedang itu telah lenyap. Sarung pedang itu kini hanya tinggal berisi sebatang pedang saja, yati pedang yang bersinar putih. Sedangkan pedang yang bersinar hitam tidak ada. Pasti sutenya yang membawanya. Pedang hitam itu memang biasa di pakai sutenya untuk berlatih silat.
Ketika dia menemukan kitab Bu-tek Cin-keng, di dekat kitab itu terdapat sepasang pedang itu. Ketika dia dan sutenya memeriksanya, ternyata sepasang pedang itu adalah pedang sinarnya berlainan sama sekali, bahkan berlawanan.
Yang satu bersinar putih dan yang lain bersinar hitam. Namun bentuknya, panjangnya, beratnya sama benar. Dan karena pedang itu di hias ukiran naga, maka mereka berdua sepakat untuk menamakan pedang itu Pek-liong-kiam (Pedang Naga Putih) dan Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam). Ternyata pedang itu terbuat dari logam yang aneh dan kuat bukan main. Batu karang saja dengan mudah terbelah oleh pedang-pedang itu.
Begitu melihat pedang itu, Akauw sudah merasa sangat suka kepada pedang yang hitam. Warna hitamnya seperti arang dan kalau di gerakkan dengan pengerahan tenaga sin-kang, pedang itu mengeluarkan suara mengaum seperti singa. Akauw selalu berlatih dengan pedang ini dan seringkali
membawanya kalau dia keluar guha untuk melindungi dirinya.
Yang Cien tidak merasa aneh kalau sutenya membawa pedang Naga Hitam itu pergi. Bahkan dia tadi lupa, kalau tidak tentu diapun mengusulkan agar sutenya membawa pedang hitam itu. akan tetapi yang membuat dia merasa sayang, kenapa sutenya tidak bilang kepadanya. Padahal kalau mengatakan, tentu saja dia membolehkannya.
Bagi Yang Cien, dia merasa lebih cocok dengan pedang Naga Putih. Pedang itu kalau di gerakkan mengeluarkan suara nyaring melengking seperti suara burung hong betina. Dan ilmu Bu-tek Cin-keng ternyata merupakan ilmu silat yang serba cocok untuk memainkannya dengan atau tanpa senjata. memang pada gambar-gambar itu, orangnya bersilat dengan tangan kosong, namun bagi orang yang sudah menguasai dasar-dasar ilmu pedang, maka dengan sedikit perkembangan, ilmu silat itu cocok sekali untuk di jadikan ilmu silat pedang. Maka, sambil melatih ilmu tangan kosong dari Bu-tek Cin-keng, Yang Cien kadang juga melakukan gerakan-gerakan itu dengan Pedang Naga Putih dan merangkai sebuah ilmu silat Pedang yang dia namakan Pek Liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Putih)!.
Keadaan di Cina utara pada waktu itu memang baru saja di landa perang saudara yang hebat. Seperti tercatat dalam sejarah, pada tahun 221-265, Cina di kuasai oleh tiga kerajaan dan masa itu di kenal sebagai Zaman Sam Kok (Tiga Negara). Sam Kok ini menyusul runtuhnya Kerajaan Han Timur. Negara Cina terpecah-pecah menjadi tiga kelompok.
Kerajaan Wei berkuasa di utara, yaitu di Shan-si, Shan-si utara dan daerah lain di utara. Kemudian di Barat daya berkuasa Kerajaan Shu yang kekuasaannya meliputi daerah Hupei, Huna, Se-cuan dan Yunan. Adapun di Tenggara berkuasa Kerajaan Wu. Dengan demikian, selama 221-265, Cina memiliki tiga orang Kaisar.
Tiga Kerajaan ini tiada hentinya berperang, saling bermusuhan sehingga rakyat menderita sengsara karena perang segi tiga yang tiada henti-hentinya. Akan tetapi akhirnya pada tahun 265, Kerajaan Wei keluar sebagai pemenangnya, menaklukan dua kerajaan yang lain dan Cina di kuasai dan dipersatukan oleh Kerajaan atau Dinasti Wei.
Namun apakah ini berarti bahwa keadaan Negara menjadi tentram? Jauh daripada itu! Keadaan Kerajaan Wei tetap saja lemah, Kesatuan tidak dapat dipelihara dengan baik. Para tuan tanah, pejabat daerah, jendral-jendral silih berganti berperang memperebutkan kekuasaan di daerah-daerah. Pertempuran kecil dan besar timbul di seluruh Cina, dari bagian utara sampai selatan. Kekuasaan berganti-ganti jatuh ke tangan pemenangnya, dari jendral ini di rebut kembali oleh jendral itu.
Wangsa-wangsa baru berdiri jatuh-bangun, timbul-tenggelam. Itu semua masih belum hebat. Masih di tambah lagi penyerbuan suku-suku Nomad yang berebutan menduduki daerah-daerah luas di pinggiran. Suku Hsiung nu, Suku Tibet, Turki dan Bangsa Toba yang paling berpengaruh itu menyerbu dari utara dan barat, bahkan Bangsa Toba akhirnya mendirikan Kerajaan Toba yang berkuasa di seluruh Tiongkok utara. Tiongkok terpecah-belah dan kekacauan ini berlangsung terus sejak tahun 265 sampai sekarang, hamper tiga abad lamanya.
Di selatan juga banyak sekali raja-raja kecil timbul sebagai akibat dikuasainya daerah utara oleh Bangsa Toba dan di antara raja-raja kecil inipun selalu timbul perang memperebutkan wilayah.
Bangsa Toba adalah suatu suku dari bangsa Mongol yang termasuk suku yang gagah perkasa, pandai menunggang kuda dan pandai menggunakan anak panah yang pada waktu itu merupakan senjata paling ampuh dalam perang. Juga Bangsa ini sejak dari kampong halamannya si utara, sudah suka sekali akan kekerasan dan olah keperwiraan. Mereka itu ahli gulat dan juga memiliki semacam ilmu bela diri yang cukup ampuh karena mereka mendapatkannya dari bangsa India dan juga banyak orang Han yang mengajarkan ilmu silat mereka kepada bangsa ini.
Bagaimanapun juga, Kerajaan Toba ini tak dapat di bilang kuat. Kerajaan ini membagi-bagi daerah kepada sekutunya, yaitu kepada Bangsa Hsiung-nu, bangsa Tibet, Turki dan lain-lain. Karena daerah itu terpecah-pecah dan dibagi-bagikan, maka tentu saja kekuasaannya terbatas. Apalagi pada masa kisah ini terjadi, Kaisar Bangsa Toba yang terakhir adalah seorang pemabok dan yukang pelesir yang tidak ketulungan lagi. Dia berjuluk Julan Khan, berusia limapuluh tahun dan biarpun dia seorang yang memiliki ilmu silat dan ilmu perang yang ampuh, namun karena dia hanya bersenag-senang saja, maka dia dapat dibilang seorang kaisar yang lemah. Untuk mendapatkan seorang wanita saja, dia tidak segan untuk mengerahkan pasukannya menyerang daerah dimana wanita yang digandrunginya itu tinggal.
Kalau wanita itu dengan baik-baik di serahkan, dia tidak akan sayang untuk menghujani hadiah kepada keluarganya atau kepada kepala daerahnya, akan tetapi kalau sampai di tolak, tentu daerah itu di gempur, banyak orang tewas dan akhirnya wanita itu dibawanya sebagai hasil menang perang!.
Raja Julan Khan memilih Tiang-an sebagai kota raja dan di sini dia hidup serba mewah dan berenang dalam lautan kesenangan, tidak memperdulikan bahwa semua pejabat, dari pusat ke daerah, semua melakukan koropsi dan penindasan kepada rakyat jelata.
Mendiang kakek Yang Kok It adalah seorang yang setia kepada Kerajaan Han dan Wei, maka dia tidak mau bekerja lagi ketika Kerajaan Toba berdiri, apalagi dia sudah tua. Akan tetapi puteranya, Yang Koan, bekerja kepada Kerajaan Toba yang ketika itu masih di pimpin oleh ayah kaisar yang sekarang. Akan tetapi, mendiang Yang Koan paling membenci rekan-rekannya yang melakukan penindasan kepada rakyat. Dan akhirnya karena berselisih paham, Yang Koan dan istrinya tewas ditangan saingannya, yaitu para pembesar yang korup, yang menggunakan seorang sakti untuk membunuhnya, bahkan lalu orang sakti yang bernama Toang-beng Kiam-ong Lui Tat itu mendapat tugas untuk mengejar dan mencari kakek Yang Kok It yang melarikan diri bersama cucunya yang bernama Yang Cien. Akhirnya pengejaran dihentikan karena tidak terdengar lagi berita tentang kedua orang itu.
Toat-beng Giam-ong Lui Tat yang berjasa membunuh Yang Koan sekeluarga, oleh para pejabat lalu dihadapkan kaisar dan diberi pujian sehingga kakek ini lalu di angkat menjadi penasehat militer yang tentu saja memiliki kedudukan yang tinggi di kota raja.
Pada suatu siang udara sangat panas karena musim panas sedang berada di tengah-tengah. Panasnya udara membuat orang segan keluar dan kedai-kedai minuman di penuhi tamu yang akan melepas dahaga.
Seorang pemuda memasuki kedai minuman itu. Dia seorang pemuda tinggi besar, mukanya agak gelap seperti muka yang banyak terbakar matahari, pakaiannya seperti pakaian orang dusun namun bersih. Rambutnya yang panjang dibiarkan terjurai ke belakang punggung, di ikat dengan sehelai kain putih dan punggungnya yang lebar menggendong sebuah buntalan panjang. Orang ini mendatangkan kesan kokoh kuat sehingga tidak ada yang berani untuk mencoba mengganggunya. baru kedua lengannya saja yang nampak tersembul keluar dari lengan bajunya yang di gulung, nampak kekar berotot sebesar jari tangan. Usianya sekitar duapuluh satu tahun dan begitu memasuki kedai minuman itu dia langsung memesan minuman kepada pelayan. Suaranya besar dan dalam, kata-katanya singkat saja. Pemuda ini bukan lain adalah Cian Kauw Cu atau Akauw.
Perantauannya membawa dia ke kota raja Tiang-an di siang hari itu dan biarpun dia amat menganggumi besarnya dan indahnya rumah-rumah di sepanjang jalan yang dilaluinya, namun dia tidak memperlihatkan kekaguman dan keheranannya.
Kini dia sudah terbiasa melihat banyak orang, sungguh pada waktu pertama kali memasuki sebuah dusun dan melihat begitu banyaknya manusia, dia menjadi panic dan gentar juga. Apalagi ketika pertama kali melihat wanita muda, dia sampai melotot memandanginya dan wanita itu menjadi ketakutan lalu melarikan diri. Tak di sangkanya bahwa bangsanya ada juga betinanya, dan begitu mempesona! Akan tetapi karena sebelumnya dia sudah banyak mendengar keterangan Yang Cien, maka keheranannya tidaklah begitu mengubah sikap dan wataknya. Dia harus sopan terhadap wanita, demikian ajaran suhengnya. Sopan itu berarti tidak menegur mereka kalau tidak kenal, tidak memandang terlalu lama, dan tidak mendekati mereka. Kecuali kalau sudah berkenalan.
"Pelayan, cepat sediakan the dingin untukku! Aihh, panasnya!" suara nyaring ini menarik perhatian Cian Kauw Cu. Dia segera menengok dan hamper saja dia tertawa. Seorang pemuda, melihat bentuk tubuhnya yang ceking tentu masih remaja, akan tetapi sikapnya seperti seorang yang sudah dewasa saja, memasuki kedai itu lalu memilih tempat kosong, tak jauh dari tempat duduk Kauw Cu. Dan begitu the yang dipesannya tiba, dia lalu mengangkat sebelah kakinya ke atas bangku dan minum dengan lahapnya. Kauw Cu tersenyum dan kebetulan pemuda remaja itu juga memandang kepadanya. Mereka saling pandang dan Kauw Cu melihat betapa sepasang mata itu memiliki senar tajam penuh selidik dan manik matanya bergerak gerak amat cepatnya, menunjukkan kecerdasan otaknya.
"Hemm, kalau orang tersenyum-senyum sendiri tanpa sebab itu namanya orang gila. Ku harap engkau masih waras, sobat. Kenapa engkau tersenyum-senyum sendiri yang menatap aku seperti itu?".
Pertanyaan inipun di anggap lucu oleh Kauw Cu.
"Aku tersenyum melihat engkau minum begitu lahapnya, sobat. Agaknya engkau sudah haus sekali."
"Siapa tidak haus dalam hawa sepanas ini?" kata pemuda itu dan selanjutnya dia tidak memperdulikan lagi kepada Kauw Cu yang juga sudah mengalihkan perhatiannya kepada minumannya. Yang Cien menasehati bahwa dia tidak boleh usil, tidak boleh mencampuri urusan orang lain. Inipun demi menjaga kesopanan dan menjauhkan percekcokan.
Dan melihat bahwa di meja lain duduk seorang yang melihat pakaiannya seperti seorang pembesar, bersama tiga orang yang berpakaian seperti ahli silat, mungkin tukang-tukang pukulnya. Pembesar itu dengan alis berkerut melirik ke arah pemuda yang nongkrong mengangkat sebelah kakinya sambil minum the dengan suara berseruputan dan agaknya dia tidak senang sekali. Lalu dia berbisik kepada seorang pengawalnya yang bertubuh tinggi besar bermuka bopeng. Biarpun dia berbisik, namun Kauw Cu dapat mendengar bisikan itu. Telinganya sudah terlatih baik, bersatu dengan nalurinya.
"Beri hajaran kepada anak muda kurang ajar itu dan lempar dia keluar!". kata sang pembesar kepada tukang pukulnya yang bertubuh tinggi besar.
Tukang pukul ini lalu bangkit. Tubuhnya memang tinggi besar, lebih tinggi dibandingkan tubuh Kauw Cu sehingga mengingatkan Kauw Cu akan seekor biruang, musuh utamanya di hutan. Si Biruang itu lalu menghampiri pemuda tadi dan menghardik.
"bocah liar! Di sini terdapat seorang pembesar, dan engkau duduk nongkrong mengangkat kaki seperti monyet, minum berseruputan seperti babi!".
Pemuda itu sama sekali tidak nampak ketakutan di hardik dan dimaki seperti itu, malah membelalakkan matanya dan nampak keheranan.
"Aih, aih.... Engkau ini mabok,ya? Di sini tempat umum, aku boleh nongkrong, boleh duduk sesukaku, aku tidak merugikan orang lain kenapa rebut-ribut?".
Si muka bopeng menggerakkan tangannya, memegang leher baju bagian belakang pemuda remaja itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi, sehingga tubuh pemuda itu tergantung.
"Engkau banyak membantah, ya? Hayo pergi dari sini....!".
Dia membawanya keluar dan hendak melemparkan tubuh pemuda itu ketika Akauw sudah datang menghadangnya.
"Sobat, anak ini tidak bersalah apa-apa, tidak merugikan siapa-siapa, harap jangan di ganggu."
Menghadapi pemuda yang membela anak itu, si muka bopeng menjadi marah sekali. Dia melepaskan anak muda itu yang segera lari ke belakang meja untuk berlindung.
"Jahanan busuk, engkau tidak tahu aku siapa, ya? Aku pengawal Gu-taijin, jaksa di sini tahu?".
"Maaf, aku memang tidak mengenalmu, sobat. Dan aku tidak mencari keributan. Aku hanya minta agar engkau jangan memukul anak yang tidak bersalah itu."
"Baik, kalau aku tidak boleh memukul dia, aku akan memukulmu!."
Setelah berkata demikian, si muka bopeng menggerakkan tangan kanannya yang dikepal sebesar kepala anak-anak itu meluncur dan menghantam ke arah muka Akauw. Dengan tenang Akauw menggerakkan tangan kirinya, menyambut kepalan tangan kanan lawan itu dan mencengkramnya.
"Auuwww....!" si muka bopeng berteriak kesakitan, akan tetapi dasar dia tidak tahu diri, kini tangan kirinya melayang ke arah kepala Akauw.
Akauw menggunakan tangan kanannya menyambut dan menangkap kepalan kiri itu dan kini kedua tangan lawan itu berada dalam genggamannya dan si muka bopeng mengaduh-aduh karena dia merasa kedua kepalan tangannya remuk. Akauw lalu mendorongnya ke belakang karena pada saat itu, dua orang pengawal yang lain sudah menerjangnya. Akan tetapi kedua orang itu terbelalak ketika tiba-tiba saja orang yang mereka serang itu menghilang. Kiranya Akauw melompat dengan cepat sekali ke atas dan bergantung kepada tiang, kemudian selagi kedua orang tukang pukul itu kebingungan, dia pun meloncat turun ke belakang mereka, kedua tangannya menjambak rambut kepala mereka dan mengadukan dua buah kepala itu, tidak terlalu keras akan tetapi cukup membuat kepala itu benjol dan bermunculan ribuan bintang yang membuat kedua orang itu pening dan terkulai. Untung Akauw masih ingat untuk tidak membunuh orang. Kalau terlalu keras dia mengadukan kepala itu sudah pecah dan tentu saja orangnya mati.
Geger di kedai minuman itu. Melihat ketiga tukang pukulnya sudah roboh, si tinggi besar masih berjingkrak karena kedua tangannya terasa nyeri, kiut miut rasanya dan kedua orang yang masih duduk memegangi kepala yang rasanya seperti berputar-putar. Jaksa itu pun tahu diri dan bangkit keluar dari kedai meinuman. Akan tetapi sebelum keluar, sesosok bayangan menyelinap dan pemuda remaja itu sudah berdiri di depannya.
"Heii, jaksa. mau kemana kau? sudah membikin kacau hendak menghina orang, kini mau pergi begitu saja?".
Jaksa yang gendut itu menjadi marah. Dia memang gentar menghadapi Akauw, akan tetapi bocah kurang ajar yang ceking ini tentu saja tidak membuatnya takut.
"Minggir, bocah setan atau ku pukul kepalamu!" bentaknya.
"Wah, malah mau pukul? Kepalan tahumu itu bisa memukul. Coba hendak ku rasakan kepalan tahumu itu. Jangan-jangan untuk memukul kepalaku malah remuk!".
Di ejek begitu sang jaksa lalu mengerahkan seluruh tenaganya mengayun kepalan tangan kanannya memukul kepala anak itu, akan tetapi tiba-tiba bocah itu merendahkan tubuhnya sehingga pukulan itu luput dan tubuhnya terbawa oleh tenaga pukulan terhuyung ke depan. Tubuh yang perutnya gendut itu terhuyung, maka ketika kaki pemuda itu mengganjal kakinya, tanpa dapat di cegah lagi tubuhnya jatuh menubruk meja di depannya. Celakanya, tamu meja depan itu memesan semangkok besar bubur ayam yang masih panas dan ketika roboh menelungkup, muka si jaksa masuk ke dalam mangkok besar bubur ayam sehingga berlepotan bubur panas. Dia mengaduh-aduh dan menjerit-jerit seperti babi di sembelih.
Akauw merasa tangannya di pegang orang dan ternyata pemuda remaja itu yang memegang tangannya.
"Hayo cepat, kenapa bengong melulu? Apa engkau kepingin mati?".
"Kepengin mati? Tentu saja tidak!"
"Kalau tidak, hayo cepat ikut aku!".
Pemuda remaja itu lalu menggandeng tangannya dan menariknya berlari keluar dari kedai minuman itu.
"Nanti dulu," Akauw membantah.
"Aku belum membayar harga minumanku."
"Alaa, biarkan pembesar gendut itu yang membayarnya. Hayo cepat kita lari."
Akauw membiarkan saja dirinya ditarik dan dibawa lari. Mereka pergi keluar kota dan memasuki sebuah kuil tua kosong yang berada diluar kota raja. Barulah pemuda remaja itu melepaskan tangannya dan dia terengah-engah, duduk di lantai bersandarkan dinding tua.
Akauw juga ikut duduk di depannya, bersila.
"Eh, sobat cilik, kenapa kau bilang aku tadi kepengin mati? Apa yang kau maksudkan? Dan kenapa pula engkau mengajakku lari-lari seperti ini dan bersembunyi di tempat ini?".
"Wah, engkau tidak mengerti, ya? Kok Tolo benar sih kau ini? Tubuhmu saja besar akan tetapi engkau bodoh sekali."
Heran. Akauw tidak marah bahkan merasa geli. Biarpun dimaki, akan tetapi cara memaki pemuda itu terdengar lucu, karena sikapnya bukan seperti orang yang menghina atau merendahkan, melainkan seperti seorang nenek memarahi cucunya!.
"Memang aku bodoh. Nah, katakana mengapa?."
"Kau tahu? Orang gendut tadi seorang jaksa! Kau tahu apa itu jaksa?".
Akauw mengingat-ingat. Setahunya, jaksa itu seorang pembesar yang bekerja di pengadilan.
"Seorang jaksa itu orang yang menuntut seseorang penjahat agar di adili dan di hukum. Seorang jaksa menentang kejahatan."
"Itu jaksa yang baik. Akan tetapi Gu-taijin itu bukan seorang jaksa yang baik. Dia malah menghukum orang baik-baik yang tidak bersalah, membenarkan orang jahat asal orang jahat itu memberinya uang. Dia sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya, memaksakan kehendaknya seperti kaulihat tadi di kedai minuman. Dia mempunyai banyak tukang pukul untuk menyiksa orang, untuk memaksa orang yang tidak bersalah membuat pengakuan palsu.
"Hemmm, kalau begitu dia jahat sekali, sudah pantas diberi hajaran. Akan tetapi mengapa engkau membawa aku pergi melarikan diri?".
"Karena, seperti kataku tadi, dia berkuasa dan mempunyai banyak pengawal. Dia tentu tidak akan tinggal diam dan kalau kita tidak cepat lari, sampai dia memanggil banyak pengawalnya, kita dapat saja di fitnah sebagai pemberontak dan di hokum mati."
"Wah, kalau begitu kita tidak semestinya lari dari sana. Kita bahkan harus menghukum jaksa jahat itu sampai dia jera berbuat kejahatan lagi.
"Berkata demikian, Akauw mengepal kedua tinju tangannya dan mengamangkan tinjunya.
Pemuda remaja itu memandang kagum, lalu dengan kedua tangannya dia memegang dan menekan untuk mencoba kekerasan lengan Akauw yang berotot itu.
"Hemm, engkau memang kuat. Bukan main, lenganmu seperti besi baja saja. Akan tetapi, engkau tadi mampu merobohkan tiga orang tukang pukul, apakah engkau mampu mengalahkan tiga puluh orang, atau bahkan tiga ratus orang? Engkau akanmenghadapi ribuan atau puluhan ribu pasukan dan hendak ku lihat engkau akan bisa berbuat apa."
"Apakah ada pemberontak-pemberontak seperti itu, sobat?".
"Kenapa tidak ada? Banyak sekali! "
"Kenapa? Tentu untuk merebut kekuasaan. Dan satu antara lain sebabnya adalah pembesar-pembesar tidak becus seperti jaksa itu. Mereka berbuat tidak adil sehingga membuat orang menjadi penasaran dan memberontak. Pemberontakan seperti itu harus di basmi karena menimbulkan perang yang akan menyusahkan rakyat saja."
"Sobat, engkau ini masih kecil akan tetapi otakmu cerdas sekali, mengetahui banyak hal!" kata Akauw kagum.
"Dan engkau ini besar, kuat dan pandai silat akan tetapi lagakmu begini bodoh. Siapa sih namamu?".
"Namaku Cian Kauw Cu, akan tetapi engkau boleh menyebutku Akauw saja, seperti di sebut oleh orang-orang yang baik kepadaku. Dan siapa namamu?"
"Aku bermarga Bi namaku Soan."
Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bi Soan? Namamu indah, memang engkau tampan seperti bulan," puji Akauw.
"Tampan seperti bulan? Mana ada seorang laki-laki tampan seperti bulan?".
"Tapi engkau memang tampan, aku suka sekali padamu, Bi Soan," kata Akauw.
"Engkau pintar, tidak seperti aku yang bodoh."
"Hem, aku juga suka padamu, engkau kuat, pandai bersilat, dan juga jujur sekali. Terlalu jujur sehingga nampak bodoh. Akan tetapi aku tidak mengatakan engkau bodoh, engkau seperti orang yang berpura-pura bodoh saja."
"Sudahlah, Bi Soan. Sekarang aku harus pergi. Kalau kau anggap berbahaya kembali ke kota,aku akan pergi meninggalkan Tiang-an, aku tidak suka tempat itu karena terlalu ramai, terlalu bising."
"Engkau hendak kemana, Akauw?".
"Melanjutkan perantauanku. Sudah setahun aku merantau dan baru hari ini aku bertemu dengan seorang yang baik seperti engkau. Selamat tinggal."
"Selamat jalan, Akauw. Sampai berjumpa kembali....."
Akauw sudah meninggalkan kuil itu dan tidak kembali ke Tiang-an, melainkan melanjutkan perjalanan ke timur. Dia tidak tahu bahwa dari belakang kuil itu berkelebat bayangan hitam yang membayanginya dari jauh. Juga dia tidak tahu bahwa Bi Soan nampak melamun setelah dia pergi.
"Bukan main! Orang yang kuat dan mengagumkan sekali, sayang dia bodoh, kalau tidak.... Hemmmm....
"
Bi Soan lalu pergi dari kuil itu, kembali ke kota Tiang-an dengan sikap seenaknya, seolah dia sama sekali tidak takut kalau-kalau akan bertemu dengan tukang pukulnya Jaksa Gu.
Dendam Sembilan Iblis Tua Eps 3 Si Pedang Tumpul Eps 11 Asmara Si Pedang Tumpul Eps 14