Ceritasilat Novel Online

Sepasang Naga Lembah Iblis 3


Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 3




   Ketika Akauw berjalan sampai di tepi hutan yang sunyi, dia melihat seekor kijang. Timbul nalurinya untuk berburu, apalagi perutnya memang sudah lapar dan di tempat sunyi seperti itu tentu saja tidak mungkin dapat membeli makanan.

   Dia lalu melompat jauh dan melakukan pengejaran. Kijang itupun mendengar suara orang mengejar, diapun melompat jauh ke depan memasuki hutan, Akauw lalu meloncat ke atas pohon dan melakukan pengejaran melalui pohon-pohon. Dengan cara ini, kijang tidak dapat mencium baunya dan tidak tahu bahwa pemburunya sudah berada di atasnya.

   Semua ini tidak lepas dari pengamatan orang yang membayangi Akauw. Orang itu seperti kakek yang usianya tentu lebih dari enampuluh tahun, bertubuh pendek kecil akan tetapi mempunyai gerakan yang ringan sekali sehingga Akauw tidak tahu bahwa sejak dari kuil tadi orang itu membayanginya. Bahkan ketika dia melakukan pengejaran terhadap kijang, orang itu tetap membayanginya, walaupun tidak seperti dia meluncur dari pohon ke pohon. Orang itu berlari seperti terbang saja, menyelinap dari pohon ke pohon lain dan terus membayangi kemana saja Akauw pergi.

   Setelah tiba di atas kijang itu, Akauw mengeluarkan pekik seperti ketika dia masih hidup di antara kera-kera itu dan tubuhnya meluncur dari atas pohon, tepat menimpa punggung kijang itu. Kijang itu kaget,meronta, namun lehernya telah di pegang oleh sepasang tangan yang amat kuat dan kepalanya di punter, maka robohlah kijang itu, tidak bergerak lagi, mati seketika.

   Akauw mengeluarkan suara penuh kemenangan yang terdengar seperti lengking panjang, kemudian dia membuat api unggun dan tak lama kemudian dia sudah memanggang daging kijang muda yang sedap dan lunak.

   Sepasang mata yang mengintainya kini berkedip-kedip dan mulut kakek kecil itu berliur ketika bau sedap daging kijang panggang itu menyerang hidungnya.

   Dia lalu keluar dari tempat sembunyi sambil terkekh. Akauw terkejut bukan main. Dia melompat berdiri saking kagetnya. Bagaimana dia tidak dapat mendengar ada orang yang berada begitu dekat dengannya?.

   "He-he-he, anak muda, bolehkan aku mendapatkan sedikit daging kijang yang kau panggang itu?".

   "Ah, tentu saja, paman, tentu saja. Mari, silahkan duduk, paman danmari silahkan makan bersamaku," Akauw sudah hilang kagetnya dan dengan ramah dia menyilakan orang itu duduk menghadapi api unggun.

   "Terima kasih," orang itu memandang Akauw yang membolak-balik daging kijang yang sedang di panggangnya.

   "Engkau siapakah, anak muda?".

   "Namaku Cian Kauw Cu, paman. Dan paman siapakah dan bagaimana dapat berada di hutan yang amat lebat ini?".

   "Aku? ha-ha-ha, aku memang seringkali berkeliaran di hutan ini dan kebetulan melihat engkau memanggang daging kijang. Wah,, sudah masak rupanya."

   Akauw lalu mematahkan sebagian paha kijang dan menyerahkannya kepada tamunya yang memakan dengan lahapnya. Mereka makan daging panggang rusa itu tanpa berkata-kata. Setelah kenyang, kakek itu mengeluarkan seguci arak, lalu minum dari guci itu dengan suara menggelogok. Lalu dia menyerahkan guci itu kepada Akauw.

   "Nah, sebagai pengganti pemberianmu daging rusa, minumlah arak ini, orang muda."

   "Terima kasih,paman. Akan tetapi, aku tidak pernah minum arak. Aku hanya minum air the atau air putih saja."

   Mendengar jawaban ini, kakek itu bangkit berdiri dan tertawa terkekeh-kekeh.

   "He-he-he, orang begini gagah perkasa, minumnya hanya air the atau air putih saja, seperti seorang gadis pingitan. Ho-he-heh-he, engkau menolak arak pemberian Thian-te Ciu-kwi (Setan Arak Langit Bumi), itu berarti penghinaan. Orang muda, hayo kau harus mampu melawanku sebanyak sepuluh jurus. Kalau tidak mampu, engkau mampus karena berani menghina aku!".

   Akauw juga bangkit berdiri dan sepasang alis yang tebal itu berkerut.

   "Paman, siapa yang menghina? Aku menolak karena memang tidak suka minum arak."

   "He-he-he, suka tidak suka harus minum kalau sudah ku beri. Engkau akan mampus kalau tidak dapat bertahan lebih dari sepuluh jurus." Setelah berkata demikian, kakek itu sudah menyerangnya dengan guci araknya yang terbuat dari pada baja.

   Akauw terkejut karena serangan itu hebat sekali. Dari angina suara serangan itu saja dia tahu bahwa kakek itu menggunakan tenaga yang luar biasa besarnya. Cepat dia melompat ke belakang untuk menghindarkan diri.

   "Kakek, engkau jahat sekali! Engkau hendak membunuh orang yang tidak berdosa? Engkau jahat dan patut di hajar!" kata-kata terakhir ini di dapatnya dari suhengnya yang mengharuskan dia menghajar orang yang jahat. Setelah berkata demikian, diapun membalas dengan pukulan tangannya dan otomatis ia menggerakkan pukulan dari ilmu Bu-tek Cin-keng.

   "Siiuuttt.....! "Angin besar melanda kakek itu dan membuat si kakek berjungkir balik dan mengeluarkan seruan kaget.

   "Ehhh, ilmu apa ini? Engkau hebat juga, orang muda! "katanya dan kembali dia menyerang. Hebat memang serangan kakek kecil itu. Bukan saja tenaganya amat besar, akan tetapi juga kecepatan gerakannya mengangumkan. Kembali Akauw mengelak dengan lompatan ke belakang dan untuk kedua kalinya dia menyerang dengan menggunakan jurus dari Bu-tek Cin-keng. Terdengar lagi suara berciutan yang amat dahsyat dan biarpun kakek itu sempat menghindar, namun dia semakin kagum.

   "Berhenti dulu, orang muda!" kata kakek itu.

   Dengan girang Akauw berhenti.

   "Paman, engkau tidak boleh jahat begitu karena kulihat engkau seorang yang pandai, kenapa menggunakan kepandaian untuk membunuh orang?".

   "He-ho-ho-ho, baiklah aku tidak membunuh orang. Sekarang kita ganti taruhannya. Bukan nyawa lagi, akan tetapi dengan perjanjian bahwa kalau engkau mampu bertahan seranganku selama dua puluh lima jurus, aku akan membebaskanmu, akan tetapi kalau engkau kalah sebelum dua puluh lima jurus, engkau harus menjadi muridku selama beberapa tahun. Bagaimana?".

   Akauw juga bukan orang bodoh, akan tetapi jalan pikirannya memang sederhana sekali. Kalau dalam dua puluh lima jurus kakek ini mampu mengalahkannya, berarti dia lihai sekali dan apa salahnya menjadi murid seorang lihai selama beberapa tahun? Dia tidak akan rugi malah untung!.

   "Baiklah, paman. Mari kita mulai!".

   "Lihat pukulan jurus pertama!" bentak kakek itu dan kini dia menyerang dengan loncatan bagaikan burung wallet.

   Mula-mula tubuhnya melayang ke atas, kemudian dia menukik dan menyerang dengan kedua tangannya ke arah kepala Akauw.

   Akauw bersikap tenang, dia tetap menggunakan Bu-tek Cin-keng untuk menyambut serangan, kedua tangannya membuat gerakan menggunting ke atas untuk menyambut serangan yang dahsyat itu.

   "Desss....!" Dua pasang tangan bertemu di udara. kakek itu berjungkir balik beberapa kali dan tubuh Akauw terhuyung, merasa nyeri pada kedua pundaknya karena tadi dirasakan seolah dia telah menahan benda yang beratnya ribuan kati!.

   "He-he-he, ilmu yang hebat! Sungguh... hebat...!" kakek itu memuji dan diapun mulai menyerang lagi. Akauw juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk melakukan perlawanan, juga kalau sempat dia balas menyerang dengan tak kalah hebatnya. Berkali-kali kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran, akan tetapi bagaimanapun juga, kakek ini adalah seorang datuk dari daerah timur, maka tentu dibandingkan dengan Akauw, dia menang banyak dalam hal pengalaman bertandaing. Setelah beberapa kali mengadu tenaga, tahulah dia bahwa biarpun ilmu silat yang dimainkan pemuda itu amat aneh dan hebat bukan main, namun pemuda itu masih belum dapat mengimbangi kehebatan ilmu itu dengan tenaga. Tenaga sinking pemuda itu tidak berapa hebat, dia lebih mengandalkan tenaga otot.

   Pada jurus ke duapuluh dua, tiba-tiba kakek itu menyerang dengan bergulingan di atas tanah. Hal ini membingungkan Akauw dan begitu kakek itu mengerahkan tenaga menarik, tanpa dapat di cegah lagi, Akauw roboh terpelanting!.

   "He-he-he, baru duapuluh dua jurus engkau sudah roboh. Engkau harus mengaku kalah, orang muda."

   Akauw adalah seorang yang jujur. Biarpun tidak menderita nyeri, akan tetapi dia sudah roboh dan dalam adu kepandaian itu berarti kalah. Maka dia lalu merangkap kedua tangan memberi hormat.

   "Aku mengaku kalah, paman."

   "Husshhh, kenapa menyebut paman? Engkah kalah dan engkau mulai saat ini harus menjadi muridku, tahu? Nah, engkau harus menyebut suhu kepadaku dan menaati semua perintahku."

   "Baik, suhu," kata Akau taat karena dia harus memegang janjinya.

   Kakek itu tertawa terkekeh-kekeh dan merasa girang sekali. Bukan girang karena mendapatkan murid saja, melainkan terutama sekali dia mendapatkan sebuah ilmu silat aneh melalui muridnya ini. Bagus, bagus! Siapa namamu, muridku?".

   "Suhu, namaku Cian Kauw Cu dan biasa di sebut Akauw saja."

   "Ha-ha-ha, aku sudah melihatmu tadi. Cocok nama itu dengan sepak terjangmu, he-he. Akauw mulai sekarang, engkau harus ikut denganku untuk memperdalam ilmu silatmu. Sebelum ku nyatakan tamat belajar, engkau tidak boleh meninggalkan aku, mengerti?".

   "Baik, suhu."

   "Buntalanmu itu, apa isinya?"

   "Pakaian dan pedang, suhu."

   "Hem, coba ku lihat engkau bermain pedang," katanya lagi.

   Akau menurut dan dia mengeluarkan sebatang pedang dari buntalan pakaiannya. Sarung pedang itu sederhana sekali dan si kakek sudah menganggap rendah pedang itu. Akan tetapi ketika Akauw mencabutnya, kakek itu terbelalak karena ada sinar hitam yang membuatnya bergidik!.

   "Tahan dulu, pedangmukah itu? Apa nama pedang itu, Akauw?" Sungguh pemuda ini mempunyai banyak kejutan, pikirnya.

   "Namanya Hek-liong-kiam, suhu."

   "Coba, aku ingin melihatnya."

   Ketika menerima pedang itu dari tangan Akauw, Thian-te Ciu-kwi merasakan jantungnya berdebar tegang. Dia pernah mendengar dongeng tentang sepasang pedang putih dan hitam yang di sebut Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam. Akan tetapi selama ratusan tahun pedang-pedang itu tidak pernah keluar dari dunia kang-ouw dan sekarang tahu-tahu berada di tangan pemuda yang seperti monyet ini!.

   "Akauw, darimana engkau memperoleh pedang ini?" tanyanya, sambil memandang penuh selidik.

   Akauw teringat akan pesan suhengnya.

   "Sampai bagaimanapun, jangan sekali-sekali membuka rahasia tempat ini kepada orang lain, sute. Baru emas itu saja dapat menimbulkan malapetaka kalau terjatuh ke tangan orang jahat."

   "Akan tetapi, aku harus bilang apa, suheng? Aku tidak dapat berbohong," bantahnya.

   "Katakan saja engkau mendapatkan disebuah guha dank au sudah lupa lagi tempatnya. Sekali waktu berbohong boleh asal bukan untuk menipu orang, sute."

   Demikianlah, teringat akan pesan suhengnya, Akauw lalu berkata.

   "Aku mendapatkannya dari guruku, suhu."

   "Juga ilmu silatmu yang aneh itu?"

   "Benar, suhu."

   "Dan siapa gurumu itu?"

   "Guruku sudah mati, namanya adalah Yang Kok It."

   Kakek kecil itu membelalakan matanya yang kecil.

   "Yang Kok It, bekas Panglima itu? Tahukah engkau bahwa dia adalah seorang bekas panglima yang buron dan menjadi kejaran orang. Dan tahukah engkau bahwa dia mempunyai seorang cucu pula? Apakah engkau cucunya itu?".

   "Ah, bukan suhu. Aku tidak tahu tentang cucunya. Suhu sudah meninggal dunia, dan aku sudah tidak mempunyai ayah ibu atau saudara lagi."

   Kakek kecil itu berpikir. Agaknya tidak mungkin kalau bocah ini cucu Yang Kok It. Bocah ini lagaknya seperti orang hutan saja, walaupun ilmu silatnya hebat dan pedangnya lebih hebat pula.

   "Nah, kau mainkan pedang itu!" katanya.

   Akauw segera bermain pedang. Akan tetapi berbeda dengan Yang Cien yang dapat mengubah ilmu pedang dari ilmu Bu-tek Cin-keng, Akauw hanya dapat memainkan ilmu pedang yang pernah dia pelajari dari Yang Kok It, yaitu ilmu pedang Gobi-pai. Yang Kok It adalah seorang murid Gobi-pai.

   Melihat ini, kakek itu kecewa. Dibandingkan ilmu silat tangan kosongnya, ilmu pedang pemuda ini tidak ada artinya, dan permainan pedang dengan ilmu pedang Gobi-pai itu membenarkan keterangannya bahwa dia murid Yang Kok It.

   "Cukup, simpan pedangmu baik-baik. Pedang itu amat berharga dan jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain, Akauw," katanya.

   "Mari kita berangkat, tempat tinggalku di puncak bukit sana itu."

   Datuk sesat seperti Thian-te Ciu-kwi tentu saja tidak bersungguh-sungguh ingin mengambil murid seperti Akauw. Dia ingin mengambil murid Akauw karena ingin mempelajari ilmu silat tangan kosong yang dimainkan Akauw tadi. Harus dia akui, bahwa kalau Akauw lebih matang ilmunya, agaknya akan sukar baginya untuk dapat mengalahkan ilmu pemuda itu. Apalagi setelah melihat Hek-liong-kiam. Tentu saja kini tidak hanya ilmu silat pemuda itu yang ingin dia peroleh, akan tetapi juga pedang hitam itu! Akan tetapi dia harus bersabar karena ilmu silat itu harus dia pelajari satu jurus demi satu jurus. Dan untuk membuat pemuda itu tidak curiga kepadanya, dia harus benar-benar mengajarkan sin-kang dan ilmu lain kepadanya. Kalau pemuda itu kelak menyenangkan hatinya, bukan hanya ilmu pedang dan pedang itu yang dapat menjadi miliknya, akan tetapi pemuda pemuda itupun dapat dijadikan pembantu yang amat berguna.

   Demikianlah, mulai hari itu Akauw menjadi murid Thian-te Ciu-kwi, dia tidak tahu bahwa gurunya adalah seorang datuk sesat yang amat jahat dan kejam.

   Baru setahun Akauw tinggal bersama Thian-te Ciu-kwi di puncak bukit itu, dia sudah merasa tidak betah sama sekali. Watak kakek itu mulai kelihatan. Setiap harinya hanya minum arak sampai mabok dan kalau sudah begitu dia memaksa Akauw untuk berulang-ulang melakukan jurus ilmu silat dari Bu-tek Cin-keng, mengulang dan mengulanginya lagi. Kakek itu merasa mendapatkan ilmu yang aneh dan sukar bukan main. Rasanya ada sesuatu yang salah dalam ilmu silat itu, akan tetapi harus diakuinya bahwa ilmu itu amat dahsyat. Maka agak sukarlah baginya untuk dapat mengerti inti sari ilmu itu.

   Dia juga mengajarkan Samadhi kepada Akauw dan justeru Akauw paling tidak suka pelajaran ini yang di anggapnya tidak berguna dan membuang-buang waktu saja.

   Pada suatu hari datanglah seorang tamu di puncak itu. Tamu ini seorang kakek berusia enampuluh tahun, tinggi besar, raksasa hitam karena kulitnya amat hitam. Dia membawa sebatang golok yang punggungnya seperti bentuk gergaji, pakaiannya mewah dan agaknya dia seorang pejabat tinggi, karena kedatangannya di iringkan selusin pasukan pengawal.

   Begitu melihat orang ini, Thian-te Ciu-kwi bersorak gembira.

   "Haiii, sahabatku yang baik, Toat-beng Giam-ong Lui Tat, angina apa yang meniupmu ke sini?."

   "Thian-te Ciu-kwi, angin baik yang membawaku ke sini, dan ku lihat engkau masih menjadi setan arak seperti dulu."

   "He-he-he, dan engkau menjadi seorang pejabat tinggi yang dimuliakan orang agaknya. Amboiii!".

   "Dan kedatangku ini untuk memberi bagian kemuliaan yang sama kepadamu, Ciu-kwi. Aku menawarkan kedudukan yang baik bagimu kalau engkau mau ikut bersamaku ke kota raja menghadap Sri baginda Kaisar."

   "Hemm, mari kita duduk dan bicara di dalam, Giam-ong." Kedua sahabat itu bergandeng tangan, seorang raksasa tinggi besar dan seorang yang pendek kecil, lalu memasuki pondok Ciu-kwi. Raksasa itu berteriak menyuruh anak buahnya beristirahat agak jauh dari situ agar jangan mengganggu percakapan mereka.

   Ketika berada di dalam dan melihat Akauw, Giam-ong mengerutkan alisnya.

   "Siapa dia, Ciu-kwi?".

   "Ha-ha, dia muridku yang baik, Giam-ong. Eeh, Akauw, cepat memberi hormat kepada sahabatku ini. Engkau harus menyebutnya taijin karena dia pejabat tinggi dari kota raja."

   "Heh, kalau dia muridmu tidak perlu memakai banyak peraturan, Ciu-kwi. Orang muda, sebut saja aku locianpwe."

   "Selamat datang, locianpwe," kata Akauw sambil memberi hormat.

   "Hei, Akauw. Cepat engkau menyuguhkan arak kepada dua belah orang pasukan pengawal sahabatku ini dan jangan engkau masuk ke sini kalau tidak kupanggil."

   "Baik, suhu," Akauw yang segera melaksanakan perintah itu karena suhunya memang menyimpan banyak sekali arak, berguci-guci banyaknya.

   "Sejak kapan engkau menjadi antek orang Mongol, Giam-ong?" Tanya Ciu-kwi dengan nada suara mengejek.

   "Hush, jangan berkata demikian. Kaisar-kaisar bangsa kita tidak becus memerintah. Buktinya, selama berabad mereka itu hanya saling serang, tiada henti-hentinya. Sekarang, Orang Toba memerintah, dan kalau itu menguntungkan kita, apa salahnya? Hidup satu kali haruslah dapat memetik manfaat dari keadaan, bukan? Nah, Kaisar Julan Khan ini dapat menggunakan tenaga kita, dan dia amat royal memberi pahala. Kalau engkau bersedia, asalkan datang bersamaku, engkau segera akan mendapatkan pangkat dan memiliki kemuliaan yang belum pernah kau impikan sebelumnya. daripada engkau di sini hidup bersama muridmu yang nampak ketololan itu."

   "Aih, aih, jangan memandang rendah kepada muridku, Giam-ong. Dia merupakan sumber kebesaran yang tidak kalah oleh kedudukanmu yang mulia sekarang ini." " Hem, apa maksudmu?"

   "Engkau tentu tidak menyangka sama sekali bahwa dia adalah murid Yang Kok It sebelum menjadi muridku."

   Toat-beng Giam-ong Lui Tat nampak terkejut mendengar ini.

   "Ah, kalau begitu aku harus menangkapnya untuk di Tanya, dimana adanya Yang Kok It dan cucunya, putera pemberontak Yang Koan itu!".

   "Tenang, tenang dan bersabarlah, sobat. Kakek Yang Kok It telah meninggal dunia dan dia sama sekali tidak tahu dimana adanya cucunya. Dia adalah seorang yang lugu, akan tetapi tentang Yang Kok It itu tidak penting. Ada yang lebih penting lagi dan engkau pasti akan tertarik sekali mendengarnya."

   "Hem, apa lagi yang penting itu?".

   "Dia mempunyai suatu ilmu yang amat hebat, dan aku sedang mempelajarinya. Orang ini dapat amat berguna kelak untuk membantu kita dalam segala hal."

   "Hemm, kalau dia masih mau menjadi muridmu, ilmu hebat apakah yang dia kuasai? "Tanya Toat-beng Giam-ong, tentu saja tidak percaya karena kalau pemuda itu memiliki ilmu hebat tentu tidak mau menjadi murid orang lain.

   "Giam-ong, untuk membuktikan omonganku tadi, mari coba kita main-main sebentar dank au boleh menyerangku dalam tiga jurus!".

   Giam-ong adalag seorang ahli silat dan dia mengerti benar bahwa rekannya itu tidak memiliki kepandaian silat yang terlalu istimewa akan tetapi paling hebat hanya dapat mengimbanginya saja. Tingkat kepandaian mereka tidak berselisih jauh, maka mendengar dia di tantang bertanding selama tiga jurus, hatinya tertarik sekali.

   "Baik, hendak ku buktikan omonganmu," katanya dan mereka berdua segera memasang kuda-kuda.

   "Ciu-kwi, lihat seranganku!" katanya kemudian dan dia menyerang dengan dahsyat, dengan kedua tangannya yang panjang besar.

   Akan tetapi Thian-te Ciu-kwi tidak mengelak, melainkan meluruskan kedua tangan menyambut dan dari kedua tangannya itu menyambar angina yang aneh, membuat Giam-ong terkejut dan mengelak, lalu melanjutkan dengan serangan jurus kedua. Kembali Ciu-kwi membuat gerakan aneh dan daya pukulan Giam-ong meleset dengan sendirinya. Jurus ketiga dipergunakan oleh giam-ong untuk menyerang dengan seluruh tenaganya, menggunakan pukulan jarak jauh dengan kedua tangan terbuka. Ciu-kwi menyambut dengan kedua tangan terbuka pula dan akibatnya. Giam-ong terdorong mundur sampai terhuyung!.

   "Wah, ilmumu meningkat hebat, Ciu-kwi!" seru Giam-ong terkejut dan kagum, juga penasaran.

   "Inilah berkat aku mempelajari ilmu aneh dari muridku, Giam-ong. Ini baru beberapa jurus saja dan amat sukar di pelajari. Nah, apakah murid seperti ini hendak dimusnakan begitu saja? Masih ada lagi hal penting lain kecuali ilmu ini. Dia memiliki Hek-liong-kiam."

   "Hek-liong-kiam......" Kaumaksudkan pek-hek-liong-kiam sepasang pedang kembar dalam dongeng itu?".

   "Tidak salah. Dia memiliki Hek-liong-kiam yang katanya dia terima dari mendiang Yang Kok It. Nah, karena itulah dia ku ambil murid dan orang macam ini dapat kita pergunakan. Sebagai muridku tentu dia akan menaati semua perintahku."

   "Ha-ha-ha, engkau cerdik sekali, Ciu-kwi. Bagus, kalau begitu engkau dan muridmu itu ku minta untuk bekerja di istana. Kaisar tentu akan senang sekali memberi kedudukan tinggi kepadamu."

   "Eh, Giam-ong, ada apa ini? Tiada hujan tiada angina engkau bersikap begitu baik padaku? Aku menjadi curiga."

   "Ha-ha-ha, kawan, siapa yang berbuat baik kepadamu. Aku berbuat baik bukan untukmu, melainkan untuk diriku sendiri. Sekarang banyak gejala timbulnya pemberontakan di sana sini dan dengan sendirinya sebagai seorang penasehat militer kaisar, aku mempunyai banyak tugas, mempunyai banyak musuh. Aku membutuhkan kawan yang dapat di andalkan, dapat di percaya dan aku memutuskan bahwa engkaulah orangnya yang tepat. Ciu-kwi, kita sudah semakin tua. Kalau tidak sekarang menggunakan kesempatan untuk hidup berkecukupan dan terhormat, mau kapan lagi?".

   Thian-te Ciu-kwi mengangguk-angguk "Engkau benar juga, kawan. Baiklah, aku akan membicarakan dengan muridku, dan sebaiknya kalau engkau pulang lebih dulu. Dalam bulan ini juga kami tentu akan pergi ke Tiang-an dan mengadap Kaisar di sana. Ku harap saja semua akan berjalan lancer."

   "Cari saja aku lebih dulu, mudah mencari rumah Lui-koksu (Guru Negara Lui) di sana aku akan membawamu menghadap Sri Baginda Kaisar."

   " Baik, Giam-ong, eh Kok-su!" kata Ciu-kwi gembira.

   Setelah para tamunya pergi, Ciu-kwi memanggil Akauw.

   "Muridku yang baik, peruntunganmu memang bagus sekali. Kau tahu siapa yang datang berkunjung tadi?".

   Akauw menggeleng kepalanya.

   "Nampaknya seorang pembesar."

   "Memang benar. Akan tetapi pembesar yang bagaimana? Dia penasehat Kaisar! Dia pejabat yang kedudukannya tinggi sekali. Dan kau tahu apa keperluannya datang ke sini tadi?".

   "Tidak tahu, suhu. Agak dia berkunjung karena suhu adalah sahabatnya."

   "Memang benar, akan tetapi dia datang menawarkan kedudukan kepada kita."

   "Kita, suhu?"

   "Ya, engkau dan aku. Kita akan berangkat ke kota raja, Akauw dan di sana kita akan menjabat kedudukan tinggi, menjadi orang-orang terhormat dan mulia, hidup serba kecukupan."

   Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Akan tetapi di dalam hatinya, Akauw tidak begitu suka mendengar ini. Dia akan memasuki kehidupan baru dan dia teringat akan pengalamannya di Kota Raja. Teringat kepada jaksa yang sombong itu. Kalau para pejabat seperti itu wataknya, tentu kehidupan di kota raja akan menjadi tidak amat menyenangkan. Akan tetapi dia teringat kepada Bi Soan, pemuda remaja yang lucu dan menyenangkan itu! Dan mendadak saja wajahnya berubah berseri gembira!.

   "Suhu, aku senang sekali pergi ke kota raja. Di Sini sudah kurang lebih setahun, membosankan karena sepi sekali."

   "Bagus, kalau begitu kita berkemas, besok pagi-pagi kita melakukan perjalanan ke kota raja, Akauw".

   "Ayah, aku telah di hina orang, ayah!" kata gadis itu dengan sikap manja sekali.

   Perdana Menteri Ji Sun Cai mengerutkan alisnya. Gadis itu adalah puteri tunggalnya yang amat di sayangnya.

   "Siapa berani menghinamu?" tanyanya marah.

   "Seorang jaksa di rumah minum, dia telah menghinaku!".

   "Di kedai minum? Ahhh, engkau tentu telah pergi dalam penyamaranmu lagi, Goat-ji (Anak Goat)!" kata ayahnya mencela dan kemarahannya mereda. Kalau ada orang menghina anaknya dalam penyamaran, hal itu tidak aneh karena tentu orang itu tidak tahu bahwa Ji Goat adalah puterinya.

   Puterinya ini suka sekali keluyuran menyamar sebagai seorang pria, nakalnya bukan main.

   "Akan tetapi, Jaksa Gu itu memang kurang ajar sekali. Biarpun dia tidak mengenalku, dia tidak boleh menghina orang seenaknya saja. Aku dan seorang teman sudah memberi hajaran kepada dia dan anak buahnya, akan tetapi aku khawatir dia akan mencariku dan kalau bertemu tentu anak buahnya akan menyerangku."

   "Hemmm, lalu apa yang harus kulakukan? Jaksa Gu cukup berpengaruh di kalangan rakyat, dia seorang Jaksa yang keras."

   "Keras terhadap rakyat miskin, akan tetapi lunak terhadap orang kaya, bukan begitu, ayah? Jangan mengira aku tidak tahu, ayah? Kelakuan sebagian besar para pejabat di Kota Raja sudah berada di tanganku. Tidak sia-sia aku suka berkeluyuran menyamar sebagai pria karena banyak hal yang ku ketahui."

   "Sudahlah, jangan macam-macam. Lalu apa yang kau ingin lakukan?".

   "Undang Jaksa Gu ke sini ayah?"

   "He? Kalau sudah datang lalu bagaimana? Menegurnya?".

   "Tidak usah. Aku yang akan menghadapinya kelak."

   Saking cintanya kepada anaknya, dan kadang suka memanjakan, Perdana menteri Ji Sun Cai tidak menolak dan segera mengirim utusan menyampaikan surat mengundang datang Jaksa Gu.

   Jaksa Gu terkejut juga menerima undangan Perdana menteri Ji, maka bergegas dia datang berkunjung dalam pakaian kebesarannya yang mewah. Akan tetapi ketika tiba di rumah itu, penjaga mempersilahkan langsung ke kamar tamu di sebelah kiri dan kata penjaga Perdana menteri sudah tahu akan kedatangannya.

   Ketika dia memasuki ruangan tamu yang pintunya terbuka itu, dia tertegun melihat siapa yang menyambutnya. Anak muda kurang ajar yang tempo hari dijumpainya di kedai minum dan yang bersama pemuda tinggi besar yang telah menghajar dia dan para anak buahnya, pemuda ini sudah berhari-hari dia cari tak juga berhasil.

   "Engkau....! Setan cilik, mau apa engkau di sini. Aku memang sedang mencarimu, kebetulan engkau berada di sini!" Jaksa itu membuat gerakan seperti hendak menerkamnya.

   "Jaksa Gu, coba kau maki aku sekali lagi. Yang keras, yang lengkap begitu!".

   "Setan cilik kurang ajar, jahanan keparang anjing babi!" Jaksa itu memaki sambil menudingkan telunjuknya kepada Ji Goat yang berpakaian seperti seorang pemuda miskin dengan kepala di tutupi topi butut.

   Pada saat itu, sang perdana menteri muncul dari dalam. Melihat pembesar ini, Jaksa Gu cepat membungkuk memberi hormat.

   "Eeh, Jaksa Gu. Kenapa engkau marah-marah? Aku mendengar engkau memaki-maki, siapa yang kau maki itu?".

   "Maaf, yang mulia. Yang saya maki adalah setan cilik ini!" katanya sambil menudingkan telunjuknya kepada Ji Goat dengan mata mendelik.

   "Kenapa engkau memaki dia?".

   "Tempo hari, di kedai minum, dia telah menghina saya dan anak buah saya. Mungkin dia itu pemberontak, Yang Mulia. Harus di tangkap dan di hokum berat!".

   "Ah, begitukah? Goat-ji, lepaskan pakaian dan topimu itu!."

   Ji Goat lalu melepaskan topi penutup kepalanya dan baju laki-laki seperti jubah butut itu, dan kini nampaklah ia seorang gadis cantik dengan rambut terurai dan pakaian puteri yang indah.

   Jaksa Gu Terbelalak, lalu dia mengerti karena dia tahu bahwa Perdana Menteri mempunyai seorang anak perempuan. Bocah setan itu ternyata puteri Perdana Menteri. Mukanya seketika menjadi pucat sekali. Dengan tubuh gemetar ia berkata gugup.

   "Aahh... paduka... ahh, jadi ini adalah puteri paduka...".?".

   "Hemm Jaksa Gu, engkau hendak memaki lagi puteriku? Boleh, silahkan maki lagi sepuasmu."

   Tiba-tiba Jaksa Gu merasa lututnya lemas dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan Perdana Menteri.

   "Yang Mulia, hamba mohon ampun... karena tidak tahu maka hamba..."" "

   "Engkau memaki aku sebagai setan cilik kurang ajar, jahanam keparat dan anjing babi, ya?" kini Ji Goat bertanya sambil tersenyum mengejek.

   "Saya.... Saya tidak berani...". Mohon maaf sebanyaknya..." "kata Jaksa Gu dengan muka pucat dan berulang kali dia menganggukan kepalanya.

   "Ah, begitu? Jelas sekarang macam apa adanya engkau, Jaksa Gu. Dalam kedudukanmu dan tugasmu, engkau tentu bersikap seperti ini juga. Berhadapan dengan orang melarat, dengan rakyat jelata, engkau memaki-maki, bersikap kasar, mudah menjatuhkan hukuman dan melakukan penindasan semena-mena. Akan tetapi terhadap atasan dan orang kaya, engkau menunduk-nunduk dan membela, tentu karena menerima sogokan dari orang kaya, begitukah?".

   "Tidak, tidak berani..."..

   "Hanya itu yang dapat di ucapkan Jaksa Gu yang sudah tidak berdaya itu karena dia seorang telah tertangkap basah memaki-maki seenak perutnya kepada "setan cilik "tadi.

   "Kau memaki aku setan cilik, jahanam keparat dan anjing babi, hukuman apa yang harus ku balaskan kepadamu? Hayo kau pukul sendiri mukamu sebanyak sepuluh kali!" kata Ji Goat dengan marah.

   Karena sudah merasa bersalah dan mengharapkan pengampunan, Jaksa itu lalu menampari mukanya sendiri dengan kedua tangan sebanyak sepuluh kali sambil memaki diri sendiri.

   "Anjing kau, babi kau, jahanam keparat kau...!"

   "nah, sekarang kau harus berjanji, kalau engkau masih melanjutkan sikapmu seperti itu, menindas orang kecil dan menjilat orang besar, memeras orang dan koropsi, ayah pasti akan melaporkannya kepada Sri Baginda!".

   "Ampun, saya tidak berani lagi....

   "Jaksa itu meratap, mukanya pucat, hanya kedua pipinya yang membengkak merah karena di tampari sendiri tadi.

   "Pergilah!" Ji Goat membentak dan Jaksa yang gendut itu setengah merangkak meninggalkan ruangan itu.

   Setelah dia pergi, Ji Goat tertawa terkekeh-kekeh. Ayahnya mengerutkan alisnya.

   "Ji Goat, engkau agak keterlaluan. Biarpun di depan kita dia tidak berani apa-apa, akan tetapi aku khawatir dia mendendam kepadamu."

   "Takut apa, ayah? Kalau baru dia dan selusin pengawalnya saja, mampu berbuat apa kepadaku? Dan juga nama besar ayah tentu membuat dia ketakutan, lebih lagi kalau aku melapor kepada suhu, tentu dia akan di hajar."

   "Sudahlah, jangan membawa-bawa gurumu dalam urusan kecil itu. Jangan urusan ini di besar-besarkan karena ku rasa Jaksa Gu sudah jera dan tidak akan berani bermain gila lagi."

   "Aku akan tetap mengawasi orang-orang macam dia, ayah."

   "Engkau akan kekurangan tenaga dan kelelahan, anakku. Di jaman ini, hamper semua pejabat tidak jujur. Akan tetapi sudahlah, lebih baik engkau membantu usaha gurumu yang menentang gerakan mereka yang hendak memberontak."

   "Justeru pemberontak itu tidak akan terjadi kalau para pejabatnya bertindak adil dan jujur, memperhatikan kepentingan rakyat, ayah."

   "Aih, engkau anak kecil tahu apa. Yang penting, kita bekerja untuk Kerajaan dan kita harus melaksanakan tugas dengan baik. Kalau tidak demikian, sebaiknya jangan menjadi seorang pejabat pemerintah."

   "Ayah, aku akan pergi dulu," gadis itu mengenakan kembali pakaian dan topinya. Ayahnya menghela napas.

   "Ji Goat, aku khawatir sekali sekali waktu engkau akan mengalami malapetaka dengan ulahmu ini. Apakah engkau tidak dapat tinggal di rumah saja seperti puteri-puteri lain?".

   "Dan untuk apa sejak kecil aku mempelajari ilmu silat, ayah? Aku dapat menjaga diri, dan kalaupun kekuatanku tidak mampu untuk menjaga diri, masih ada nama suhu dan nama ayah yang akan melindungiku!".

   Tanpa menanti jawaban ayahnya, Ji Goat sudah berlari keluar. Ayahnya hanya menggeleng kepalanya. Anak itu terlalu manja, pikirnya. Anaknya memang hanya satu itu dan dia amat menyayanginya. dan anak itu boleh dibuat kagum.

   Menurut Kok-su, yang menjadi guru anaknya, Ji Goat memiliki bakat yang besar sekali sehingga Koksu sendiri amat sayang kepada murid itu. Beberapa bulan yang lalu, seorang diri saja, Ji Goat sudah berhasil membongkar pencurian-pencurian di istana kaisar yang ternyata dilakukan oleh orang dalam, beberapa pengawal istana. Dengan ilmu silatnya yang tinggi, Ji Goat berhasil menangkap lima orang pencurinya yang kesemuanya juga lihai karena mereka adalah pengawal istana. Semenjak saat itu, nama Ji Goat dikenal orang sebagai puteri perdana menteri yang lihai ilmu silatnya. Akan tetapi kalau dia sudahmenyamar pria, tidak ada yang mengenalnya kecuali ayahnya sendiri dan orang kepercayaan ayahnya. Bahkan para penjaga tidak mengenalnya, maka ia selalu keluar masuk rumah itu melalui sebuah jalan rahasia.

   Perdana Menteri Ji Sun Cai bukan seorang koruptor. Bagi dia, tidak perlu melakukan korupsi, karena kaisar amat percaya kepadanya dan menganggapnya sebagai tangan kanan sehingga kaisar amat royal dengan hadiah-hadiah untuknya. Dia mendapatkannya pembagian tanah yang cukup luas, rumah seperti istana serba lengkap. Dan Menteri Ji ini amat setia terhadap Kaisar. Dalam tugasnya ini, dia amat dekat dengan Koksu dankedua pejabat inilah yang merupakan tenaga terpenting bagi kaisar. Semua pejabat yang lain hanya akan mengekor saja apa yang di usulkan dua pejabat ini kepada kaisar yang telah mempercayai mereka berdua.

   Karena itu, hubungan antara perdana menteri Ji dan Lui Koksu amatlah akrabnya, demikian akrabnya sehingga Perdana menteri Ji mempercayakan puteri tunggalnya untuk menjadi murid Lui Koksu. Dalam segala hal menyangkut tugas kenegaraan, mereka selalu mengadakan perundingan.

   Ketika itu, terdapat perasaan permusuhan antara Perdana Menteri Ji berdua Lui Koksu terhadap seorang Panglima yang bertugas di selatan. Panglima ini menjaga keamanan di selatan dan Panglima Coa ini yang menjadi benteng Negara, menghalau semua kerusuhan dan musuh-musuh dari selatan, yaitu para raja muda di selatan yang berdiri sendiri di wilayah masing-masing.

   Mula-mula adalah suatu Kerajaan Sun yang cukup kuat di selatan. Menurut Perdana Menteri dan Koksu, Kerajaan Sun ini perlu di dekati dan di ajak bersahabat, karena memiliki pasukan yang kuat. Akan tetapi tidak demikian dengan sikap yang di ambil oleh Coa-ciangkun. Panglima ini tidak memandang bulu. Penguasa di selatan yang tidak mau tunduk, pasti akan di serbunya dan di tundukkan dengan kekerasan.

   Akhirnya, karena bujukan Ji-Sin-Siang (Perdana Menteri Ji) dan Lui Koksu, kaisar mengutus penguasa untuk pergi ke selatan, menyerahkan surat perintah Kaisar agar Coa-ciangkun tidak melanjutkan penyerbuannya terhadap Kerajaan Sun. Hal ini amat mengecewakan hati Coa-ciangkun yang menjadi marah sekali. Pasukan Sun selalu mengganggu perbatasan, melakukan perampokan dan perkosaan, mengapa dia tidak boleh di serbu? Dan dia mendengar akan usaha Sin-Siang dan Koksu yang hendak melakukan pendekatan kepada Kerajaan Sun. Hal ini membuatnya marah sekali. Apakah Sin-siang dan Koksu hendak menjual Negara? Timbul kecurigaannya dan dia mengira bahwa kedua pejabat tinggi itu agaknya hendak mengadakan persekutuan rahasia dengan Kerajaan Sun. Padahal, bukan itu yang dikehendaki mereka. Mereka hanya maklum akan kekuatan Kerajaan Sun dan kalau sampai Kerajaan Toba dapat bersekutu dengan mereka, tentu seluruh wilayah selatan akan dapat dikuasai dengan kerjasama dengan Kerajaan Sun.

   Permusuhan atau persaingan ini secara diam-diam masih dirasakan kedua pihak. Hanya mereka tidak berani bertindak lancing, karena selain kaisar juga mempercayai Coa-ciangkun, panglima ini memiliki pasukan besar yang kuat.

   Karena adanya permusuhan inilah maka Koksu lalu berkunjung kepada Im Yang Ciu-kwi, karena dia hendak menarik orang-orang pandai sebanyaknya agar dia dapat menyingkirkan para musuhnya yang hanya akan menjadi penghalang bagi kemajuan kedudukannya.

   Im Yang Ciu-kwi dan Akauw melakukan perjalanan seenaknya ke kota raja. Akauw merasa gembira karena dia membayangkan Bi Soan. Dia rindu sekali kepada sahabatnya ini dan mengharapkan akan dapat bertemu dengan Bi Soan di kota raja.

   Selama tinggal dengan Ciu-kwi, Akauw tidak pernah mengeluarkan uang, dan hanya karena kebetulan saja pada suatu hari gurunya itu melihat kantung uang berisi potongan-potongan emas mentah itu.

   Suhunya memeriksa potongan emas itu dan bertanya.

   "Akauw, dari mana engkau mendapatkan potongan-potongan emas ini?".

   Akauw masih ingat akan pesan suhengnya, maka diapun berkata.

   "Ini adalah pemberian mendiang suhu Yang Kok It."

   Tentu saja Im Yang Ciu-kwi tidak menaruh curiga lagi dan hanya merasa heran darimana Yang Kok It mendapatkan potongan emas yang masih bercampur batu karang itu.

   Ketika mereka tiba di sebuah padang rumput di luar hutan yang tandus, mereka melihat sebuah kedai arak di tempat sunyi itu. Ciu-kwi yang mencium bau arak ingin mencoba arak dari kedai itu, maka dia mengajak muridnya berhenti. Ada lima orang penjaga kedai, dan karena lalu lalang di situ sedang sepi, maka tidak nampak ada tamu seorangpun kecuali mereka.

   Seorang pelayan segera menghampiri mereka.

   "Bawa seguci arak terbaik ke sini," kata Ciu-kwi.

   "Dan sepoci air the untukku," kata Akauw yang biarpun sudah pernah merasakan minum arak, tetap saja dia memilih air the daripada arak.

   Ketika pelayan itu mengambilkan pesanan, sepasang mata Ciu-kwi yang berpengalaman melihat gerak-gerik mereka yang mencurigakan. Oleh karena itu ketika arak dan air the datang, dia mencegah muridnya untuk minum air tehnya dan dia menangkap lengan pelayan itu.

   "Hayo kau minum dulu arak ini!".

   Dia menuangkan sedikit arak dari guci ke dalam cawan kosong.

   Pelayan itu menjadi pucat wajahnya. Dia meronta dan menggeleng kepalanya.

   "Tidak aku... tidak biasa minum arak......"

   "Kalau begitu, engkau cicipi air the ini!" bentak Ciu-kwi dan ketika orang itu pun menggeleng kepala, Ciu-kwi memaksa mulutnya terbuka dengan tangan kirinya dan tangan kanannya menuangkan air teh ke dalam mulutnya. Lalu dia melepaskan orang itu yang nampak terhuyung-huyung lalu roboh pingsan!.

   Empat penjaga lain sudah mencabut golok masing-masing.

   "Kenapa dia suhu?"

   "Mereka orang jahat, Akauw. Minuman kita diberi racun!" kata Im-yang Ciu-kwi.

   Seorang di antara empat orang itu mengeluarkan sempritan yang di tiupnya nyaring dan dari belakang kedai bermunculan belasan orang yang kesemuanya memegang golok.

   Im-yang Ciu-kwi duduk menghadapi meja, mengeluarkan arak dari gucinya sendiri dan sambil menghadapi guci dan cawan arak, dia berkata.

   "Akauw, keluarkan pedangmu dan kau lawanlah penjahat-penjahat itu!".

   "Baik, suhu," kata Akauw dan dia sudah mencabut pedang Hek-liong-kiam dari sarungnya. Begitu dia menggerakkan pedangnya, nampak gulungan sinar hitam berkelebat kian kemari dan menyambut pengeroyokan belasan orang itu. Terdengar suara berkerontangan nyaring dan banyak golok menjadi patah ketika bertemu dengan Hek-liong-kiam. Akauw yang hendak menyenangkan gurunya, menggunakan ilmu pedang yang dia pelajari dari gurunya, memainkan pedangnya sehingga sinar pedang itu bergulung-gulung merobohkan belasan orang itu dalam waktu singkat saja. Penjahat harus di hajar, dia teringat pesan suhengnya, akan tetapi jangan mudah membunuh orang kalau tidak terpaksa sekali. Maka diapun hanya merobohkan para pengeroyok nya tanpa membunuh, hanya melukai paha atau pundak mereka saja. Dalam waktu beberapa menit saja, semua orang yang mengeroyoknya telah di robohkan, dan cepat pula pedang itu sudah memasuki sarung kembali.

   "Ihh, Akauw, mengapa begitu engkau memainkan pedangmu? Coba beri aku pinjam sebentar," kata Ciu-kwi.

   Karena tidak mengerti maksud suhunya dan mengira suhunya itu hendak memperlihatkan jurus yang mungkin kurang benar dia menggerakkannya, maka dia mencabut pedangnya dan menyerahkannya kepada suhunya.

   "Seharusnya begini engkau menggunakan pedang!" Gurunya bergerak berloncatan ke sana sini dan Akauw terbelalak, karena gurunya telah membabati pengeroyoknya tadi, di tebasnya semua leher orang-orang itu termasuk pelayan yang tadi terbius sehingga dalam waktu singkat saja semua kepala terpisah dari badannya.

   "Suhu... mengapa suhu....?" Akauw berseru heran ketika gurunya mengembalikan pedang itu kepadanya. Memang gurunya hebat. Memenggal belasan batang leher itu pedangnya sama sekali tidak ternoda darah! Hal ini hanya dapat terjadi saking kuat dan cepatnya pedangnya itu membabati leher belasan orang itu.

   "Mengapa apa? Mereka menghendaki kematian kita, kenapa kita tidak mendahului saja mereka? Hayo kita pergi dari sini!".

   "Tapi, mereka itu, suhu.....," Akauw teringat akan pelajaran dari kakek Yang Kok It bahwa mayat manusia haruslah di kubur sebagaimana mestinya.

   "Mereka sudah mampus, tidak perlu di pikirkan lagi. Mereka hendak mencelakakan kita, berarti mereka itu musuh yang pantas di bunuh. hayolah, Akauw!" bentak Ciu-kwi agak kecewa melihat sikap muridnya yang di anggapnya lemah itu. Terpaksa Akauw mengikuti gurunya dan beberapa kali dia menoleh memandang ke arah belasan mayat manusia yang berserakan itu.

   Sejak sat itu Akauw mulai menaruh hati syak wasangka terhadap gurunya. Tak dapat dia melupakan betapa gurunya itu memenggal kepala belasan orang yang sudah tidak berdaya itu secara kejam sekali. Padahal menurut ajaran Yang Kok It dan juga suhengnya, seorang gagah tidak akan membunuh orang yang sudah tidak berdaya dan tidak dapat melawan. Dan lebih lagi, gurunya meninggalkan belasan mayat itu begitu saja tanpa mau menguburkannya.

   Ketika mereka memasuki kota raja Tiang-an, tiba di dekat pasar dimana terdapat banyak orang berlalu lalang, tiba-tiba Akauw melihat seorang pemuda bertopi butut.

   "Bi Soan.....!" Dia memanggil dan mengejar, akan tetapi Bi Soan menyelinap di antara orang banyak dan memasuki pasar. Akauw mencari beberapa lamanya, akan tetapi dia tidak melihat lagi Bi Soan. Dia tidak mungkin salah lihat. Jelas yang dilihatnya tadi Bi Soan, pemuda remaja yang di rindukannya itu. Dia merasa menyesal sekali mengapa Bi Soan tidak mau menemuinya. Padahal dahulu pemuda remaja itu amat baik terhadap dirinya.

   "Akauw, engkau mencari siapakah?" gurunya menegur setelah dapat mencari pemuda itu di dalam pasar.

   "Suhu, aku mencari seorang kenalan yang tadi ku lihat berada di sini. Akan tetapi dia menghilang di antara orang banyak."

   "Kenalan? Siapa dia?" Tanya gurunya heran dan curiga.

   Tentu saja Akauw tidak ingin menceritakan pengalamannya bentrok dengan seorang jaksa, maka dia menjawab singkat.

   "Dahulu aku pernah bertemu dan berkenalan dengannya dalam perjalananku, akan tetapi perkenalan itu hanya sepintas saja. Mungkin dia sudah lupa kepadaku, suhu."

   "Sudahlah, jangan pedulikan sembarang orang. Kita akan menjadi tamu Koksu dan bahkan akan mendapatkan jabatan tinggi yang terhormat, jangan bergaul dengan segala macam orang. Mari kita lanjutkan perjalanan kita."

   Akauw mengikuti suhunya, akan tetapi dia masih memandang ke sana sini mencari-cari dan hatinya merasa kecewa sekali. Bi Soan merupakan orang yang selalu teringat olehnya, kenapa sekarang tidak lagi mau mengenalnya? Apa barangkali Bi Soan sudah lupa kepadanya? Dia sungguh kecewa karena tadinya dia mengira bahwa Bi Soan amat baik kepadanya, seperti halnya suhengnya.

   Sangat mudah bagi Thian-te Ciu-kwi untuk mencari tahu dimana rumah Koksu Lui. Semua orang juga mengetahui dimana istana tempat tinggal penasehat Kaisar itu.

   Rumah besar seperti istana itu di jaga oleh belasan orang prajurit yang menghadang guru dan murid itu.

   "Berhenti, siapa kalian dan ada keperluan apa datang ke sini?" bentak perwira jaga dengan keren.

   Ciu Kwi tertawa dan berkata.

   "Heii, perwira, jangan bersikap kasar terhadap kami. Kalau Koksu mengetahui, pangkatmu tentu akan di turunkan. Cepat laporkan kepada Koksu bahwa Thian-te Ciu-kwi dan muridku sudah datang untuk bertemu dengan dia."

   Melihat lagak dan mendengar ucapan kakek itu, si perwira menjadi ragu dan gentar juga. Dia tahu bahwa Koksu adalah bekas seorang datuk persilatan dan tentu mengenal segala macam orang aneh dari dunia kangouw. Kalau dia bersikap kasar dan kemudian ternyata bahwa mereka ini memang sahabat baik Koksu, tentu setidaknya dia akan mendapat teguran dari atasannya. Akan tetapi untuk bersikap hormat kepada kakek dan pemuda yang pakaiannya seperti petanimiskin ini dia merasa enggan juga.

   "Baiklah, harap kalian menanti si sini, aku hendak melapor ke dalam lebih dulu," katanya dan perwira itu sendiri lalu melapor ke dalam. Benar saja seperti di khawatirkan perwira itu, begitu mendengar di sebutnya nama Thian-te Ciu-kwi, Kok-su Lui menjadi gembira dan wajahnya berseri-seri.

   "Cepat persilahkan mereka duduk di ruangan tamu, dan bersikaplah hormat kepada mereka!".

   Tentu saja perwira itu menjadi takut dan begitu berhadapan dengan Ciu-kwi dan Akauw, dia cepat memberi hormat dengan sikap merendah.

   "harap lo-cianpwe berdua suka memberi maaf atas sambutan kami yang kurang hormat karena tidak mengenal lo-cianpwe. Lui-kosu mempersilahkan lo-cianpwe berdua menanti di kamar tamu. Silahkan!".

   Sambil tersenyum dan mengangkat dadanya yang kerempeng, Ciu-kwi mengikuti perwira itu bersama Akauw yang memandang bangunan seperti istana itu dengan penuh kagum. Belum pernah dia memasuki rumah semewah dan sebesar ini. Mereka duduk di kursi-kursi berukir yang berada di ruangan tamu itu dan perwira itu dengan hormat mempersilahkan mereka menunggu, lalu dia memberi hormat dan keluar dengan hati lega.

   Taklama mereka duduk menanti, Koksu itu memasuki ruangan tamu dari dalam, mengenakan pakaian yang mewah gemerlapan.

   "Ha, Ciu-kwi, engkau datang juga!" tegurnya girang.

   "Tentu saja, Giam-ong. Sekali berjanji kepadamu, tentu ku penuhi. Hanya tinggal menagih janjimu saja kepadaku untuk memberi kedudukan kepada aku dan muridku."

   "Kebetulan aku memang hendak menghadap Sri Baginda Kaisar, mari kalian ikut aku menghadap dan kuperkenalkan kepada Sri Baginda. kami hendak membicarakan sikap Gubernur Gak yang agaknya condong melakukan hubungan dengan Coa-ciangkun, yang ku maksudkan dengan kami adalah aku dan Ji-taijin. Menteri Ji Sun Cai mendengar dari penyelidikan bahwa hubungan antara Gubernur Gak di perbatasan selatan amat dekat dengan Coa-ciangkun, orang keras kepala yang agaknya akan menjadi penghalang besar bagi kemajuan kami. Marilah sebelum ku ajak singgah di kediaman Perdana Menteri Ji Sun Cai untuk kuperkenalkan. Engkau harus tahu, Ciu-kwi, bahwa Perdana Menteri adalah rekan kerjaku yang baik dan di antara kami ada kerja sama yang cocok sekali

   "Baiklah, Giam-ong. Aku menurut saja apa katamu, yang penting kami berdua memperoleh kedudukan yang baik di kota raja ini."

   Mereka bertiga lalu memasuki sebuah kereta yang sudah dipersiapkan oleh para penjaga di luar, dan berangkatlah mereka menuju ke kediaman Perdana Menteri, di kawal oleh beberapa orang yang mengiringkan kereta.

   Benar saja, ketika tiba di gedung Perdana Menteri yang juga amat indah bagi Akauw, Lui-Koksu di terima dengan hormat oleh para penjaga dan langsung di antar ke kamar tamu.

   
Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tak lama mereka duduk, muncullah Perdana Menteri Ji Sun Cai bersama seorang gadis yang cantik jelita. Akauw terbelalak memandang gadis itu, bukan saja karena cantik jelitanya, melainkan karena dia merasa sudah sering melihat wajah itu dalam mimpi! Setiap kali dia membayangkan wajah bidadari seperti itulah bentuk wajahnya! Ketika gadis itu memandang kepadanya, Akauw tersipu dan cepat menundukkan mukanya karena menurut ajaran yang diterima dari suhengnya, sikap seperti itu, memandang langsung wajah seorang gadis yang tidak dikenalnya, apalagi dengan pandangan kagum, adalah sikap yang tidak sopan!.

   Lui-Koksu Toat-beng Giam-ong segera memberi hormat kepada Perdana Menteri dan puterinya.

   "Maafkan kalau kami mengganggu Ji-taijin dan Ji-siocia."

   "ah, sama sekali tidak, suhu," kata gadis itu yang bukan lain adalah Ji Goat.

   "Akan tetapi suhu datang bersama... siapakah mereka ini, suhu?".

   "Koksu, siapakah kedua orang ini yang kau ajak datang berkunjung?" Perdana Menteri Ji juga bertanya.

   "Taijin, inilah yang pernah saya bicarakan tempo hari. Ini adalah Thian-te Ciu-kwi."

   "Ah, datuk kang-ouw itu? Siapakah nama lo-cianpwe yang mulia?" kata pula Perdana Menteri Ji dengan sikap cukup hormat. Agaknya Perdana Menteri ini dapat menghargai orang-orang pandai di dunia kang-ouw.

   "He-he-he, Yang Mulia Perdana Menteri Ji, saya sendiri sudah lupa siapa nama saya pemberian orang tua. Harap sebut saja saya Ciu-kwi (Setan Arak), karena itu sudah menjadi nama saya, he-he-he."

   "Begitukah? Dan siapakah orang muda yang gagah ini, Ciu-kwi?" Tanya Perdana Menteri itu dengan ramah.

   "Akauw, hayo perkenalkan dirimu."

   "Tai-jin, nama saya Cian Kauw Cu, biasa di sebut Akauw," berkata demikian die mengerling ke arah wajah gadis jelita itu yang kelihatan tersenyum manis.

   "Dia murid saya, taijin "kata Ciu-kwi dengan bangga.

   "Aih, dia muridmu, Ciu-kwi?" Ji Goat berseru. Gadis ini tidak ragu lagi menyebut Ciu-kwi begitu saja, sesuai dengan perkenalan diri Thian-te Ciu-kwi kepada ayahnya tadi.

   "Aku sudah pernah mendengar namamu di puji-puji suhu, akan tetapi belum pernah mendengar engkau mempunyai seorang murid. Menilai kelihaian gurunya dapat di lihat dari kepandaian muridnya, maka aku ingin sekali bertanding ilmu silat dengan Akauw ini!".

   "Hsss, Ji Goat, jangan kurang ajar!" tegur ayahnya.

   "Ha-ha-ha, apa salahnya, taijin? Ji Sio-cia adalah murid saya dan Akauw ini adalah murid Ciu-kwi. Kami berdua adalah sahabat sejak lama dan saya sudah pula menguji ilmunya. Apa salahnya kalau Ji Siocia menguji ilmu murid Ciu-kwi? Mari kita sama menonton!".

   Karena ruangan tamu itu cukup luas, maka Ji Goat yang ingin sekali menguji kepandaian Akauw sudah memasang kuda-kuda menghadapi pemuda tinggi besar itu dan berkata.

   "Akauw, aku sudah siap, keluarkan ilmumu agar ayah dan aku dapat melihatnya."

   "Akauw, kita hendak mencari pekerjaan di kota raja, maka perlihatkanlah kemampuanmu," kata pula Thian-te Ciu-kwi kepada muridnya.

   Sebetulnya Akauw merasa enggan sekali untuk bertanding melawan gadis itu. Gadis yang demikian cantiknya lemah gemulai sehingga tertiup angina keras saja agaknya akan roboh, kulitnya begitu halus, bagaimana dia dapat memukul seorang gadis seperti itu? Dia meragu, dan berdiri biasa saja, tidak memasang kuda-kuda seperti nona itu.

   "Ha-ha-ha-ha, Akauw, jangan engkau memandang rendah nona ini. Ia adalah murid Toat-beng Giam-ong, tahukah engkau? Dan tingkat kepandaian Lui Koksu ini tidak berada di bawah tingkatku. Hati-hatilah jangan sampai engkau kena di robohkan!" Ciu-kwi menegur muridnya yang kelihatan tidak bersungguh-sungguh.

   "Lihat serangan!" tiba-tiba gadis itu menyerang dan Akauw betul-betul terkejut ketika matanya nyaris tertusuk jari tangan gadis itu yang menyambar sedemikian cepat dan kuatnya. Baru angina pukulan tangan itu saja dapat dia rasakan dan ketahui bahwa gadis ini memiliki tenaga sakti yang amat kuat dan juga gerakannya tadi amatlah cepatnya. Kalau dia tidak membuang diri ke belakang sebagai gerakan terdorong naluri sebagai gerakan terdorong naluri sebagai gerakan kera, tentu dia akan terkena totokan itu! Diapun cepat membuat gerakan silat dan otomatis karena bertangan kosong dia lalu bergerak menurut ilmu silat yang di latihnya di dalam guha itu. Dia tidak tahu bahwa ilmu silat itu adalah ilmu dari Bu-tek Cin-keng.

   Sekarang Ji Goat yang terkejut karena dari gerakan tangan Akauw menyambar angina yang lembut namun dahsyat sekali, yang membuat serangannya berikutnya membalik. Cepat ia lalu mengerahkan gin-kangnya dan dengan mengandalkan kecepatan gerakannya di lancarkan serangan yang bertubi-tubi kepada Akauw.

   Pemuda ini bersikap tenang saja. Memang gadis itu memiliki gerakan yang cepat, akan tetapi gerakan gadis itu cepat karena latihan gin-kang sedangkan dia sendiri memiliki gerakan cepat alami dan juga karena naluri.

   Dia mampu mengimbangi gerakan gadis itu dan semua serangan dapat di hindarkan dengan elakan atau tangkisan.

   Sebetulnya kalau Akauw menghendaki dan mau menggunakan tenaganya, tentu gadis itu akan dapat di robohkannya. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau merobohkan gadis sejelita itu. Namanya keterlaluan kalau dia melakukan itu, dan suhengnya tentu akanmerasa tidak senang sekali. Gadis itu menyerangnya hanya untuk menguji kepandaian, bukan berkelahi sungguh-sungguh maka tentu saja dia tidak ingin membuat malu dengan merobohkannya.

   Akan tetapi hal ini amat merugikannya karena dia hanya mengelak dan menangkis saja. dan tidak pernah membalas! dan betapa pun rapat pertahanannya karena ilmu silat gadis itu yang di warisi dari datuk Toat-beng Giam-ong juga merupakan ilmu silat tinggi, akhirnya pundaknya terkena pukulan tangan kiri gadis itu.

   "Dukkk..."!" Akibatnya, tubuh Akauw terdorong ke belakang, akan tetapi sebaliknya Ji Goat juga terhuyung dan dia memegangi kepalan kirinya yang terasa nyeri. Dia merasa seolah memukul pundak yang terbuat dari baja, bukan dari kulit daging!.

   "Siocia amat lihai, saya mengaku kalah! "kata Akauw cepat-cepat agar gadis itu menyudahi pertandingan.

   Wajah Ji Goat berubah merah karena penasaran. Memang kelihatannya saja dia menang karena dia dapat memukul pundak itu, akan tetapi dia sendiri terhuyung dan tangannya sakit sedangkan yang dipukulnya tidak apa-apa!.

   "Kepandaianmu hebat, tidak percuma menjadi murid Thian-te Ciu-kwi!" katanya sambil membalas penghormatan Akauw yang mengangkat kedua tangan depan dada. Sementara itu, Ciu-kwi mengerutkan alisnya dan tidak merasa puas dengan pertandingan yang dilakukan muridnya itu. Menurut dia, kalau Akauw bersungguh-sungguh tentu dia akan mampu mengalahkan gadis itu. Baginya, tidak ada perasaan sungkan atau tenggang rasa seperti yang dirasakan Akauw terhadap seorang gadis.

   Perdana Ji Girang sekali. Dari pengamatannya tadi dia pun dapat menduga bahwa pemuda itu cukup gagah perkasa dan akan menjadi seorang pembantu yang amat baik. Dia lalu mempersilahkan tamu-tamu duduk, sedangkan Ji Goat berpamit untuk masuk ke dalam.

   Setelah kini duduk berempat saja, Perdana Menteri itu lalu berkata.

   "Memang sebaiknya kalau lo-cianpwe ini dan muridnya di hadapkan kepada Sri Baginda dan sedapat mungkin diperbantukan padamu, Koksu. Dengan demikian kita dapat bekerjasama. aku ingin sekali agar Akauw atau gurunya melakukan penyelidikan kepada Gubernur Gak. Mereka belum di kenal dan akan mudah sekali melakukan penyelidikan ke sana tanpa khawatir diketahui orang."

   "Tepat sekali, taijin. Memang saya pun berpendapat demikian, maka sebelum membawa mereka menghadap Sri Baginda, saya membawa mereka ke sini lebih dulu untuk mendapatkan persetujuan taijin."

   "Tentu saja saya setuju sekali, Koksu. dan sebaiknya kalau koksu membawa mereka menghadap Kaisar, lebih cepat lebih baik. Jangan lupa untuk membujuk agar Sri Baginda suka memanggil pulang Coa-ciangkun dari garis depan agar penyerangan terhadap Kerajaan Sun dapat dihentikan.

   Tanpa di panggilnya pulang Coa-ciangkun, saya kira usaha kita tidak akan berhasil. Sementara itu, saya akan bertugas membujuk Sri Baginda agar bersikap lunak kepada Kerajaan Sun, menariknya sebagai sekutu agar lebih mudah bagi kita menguasai daerah selatan pada umumnya."

   "Baiklah, taijin. Kita membagi tugas dan sebaiknya kalau taijin menghubungi para thaikam kepala agar ikut membujuk kaisar."

   "Jangan khawatir, Koksu. Mereka semua sudah berada di tanganku."

   Setelah berunding sebentar, Lui Koksu berpamit dan bersama Ciu-kwi dan Akauw mereka lalu naik kereta menuju ke istana. kalau tadi melihat istana Kok-su dan Perdana Menteri yang mewah itu Akauw sudah merasa terkagum-kagum, kini begitu dibawa masuk istana, dia benar-benar terpesona. Tak pernah dibayangkan semula ada rumah manusia seperti itu mewah dan megahnya. Semuanya serba besar, serba indah dan serba mewah. baru pintunya saja sudah begitu besar dan tinggi, agaknya pintu itu dibuat untuk masuk seekor gajah!.

   Dan dimana-mana penuh tanaman buatan, taman-taman kecil, air pancuran, batu-batu karang beraneka bentuk, ukiran-ukiran, lukisan-lukisan,pendeknya, tidak habis-habisnya dia kagumi. Sampai nanar dia di buatnya memandangi semua keindahan itu.

   Para prajurit pengawal yang berjaga di setiap lorong dan tikungan istana itu memberi hormat kepada Koksu, dan setelah mereka tiba di bagian dalam, para pengawal yang berjaga adalah orang-orang sida-sida atau Thaikam.

   Akhirnya mereka dibawa menghadap kaisar di sebuah ruangan yang amat indahnya. Karena saat itu bukan waktu persidangan, maka Koksu di terima oleh kaisar diperpustakaan, dimana Sri Baginda sedang memilih buku untuk di bacanya. Biarpun dia Kaisar bangsa Mongol (Toba), namun kaisar Julan Khan suka akan kesusastraan, di samping lihai pula ilmu silatnya. Para pengawal thaikam itu segera di suruh keluar dari ruangan setelah kaisar melihat bahwa yang menghadapnya adalah Lui Koksu yang dipercaya penuh, bersama seorang kakek kecil kurus dan seorang pemuda yang gagah perkasa. Mereka bertiga segera menjatuhkan diri berlutut menghadap kaisar. Hal ini di lakukan oleh Akauw setelah lebih dulu dia diberitahu dan di ajari bagaimana harus bersikap kalau berhadapan dengan kaisar, akan tetapi ketika menjatuhkan dirinya berlutut, tetap saja caranya kasar karena memadang di dalam hatinya dia masih meragu mengapa dia harus berlutut seperti itu di depan seorang yang baru saja di jumpainya dan belum di kenalnya sama sekali.

   

Si Bayangan Iblis Eps 6 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 11 Asmara Si Pedang Tumpul Eps 16

Cari Blog Ini