Ceritasilat Novel Online

Sepasang Naga Lembah Iblis 6


Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 6




   Perdana menteri Ji yang sudah diberitahu dan hadir pula dalam persidangan itu lalu berkata.

   "Yang Mulia, karena belum dapat dibuktikan bahwa Gubernur Yen memberontak, maka tidak baik kiranya kalau secara mendadak kita menyerbu. Sebaiknya paduka mengirim panggilan kepadanya, baru kalau dia tidak mau datang, itu sudah berarti pemberontakan dan dapat segera di atur untuk menangkapnya. Sebaliknya, kalau dia mau datang, maka segalanya dapat di atur secara halus. Ini semua untuk menghindarkan pertempuran dan pertumpahan darah yang akan mengorbankan banyak prajurit dan rakyat."

   Kaisar Julan Khan mengangguk-angguk.

   "Bagaimana, Kok-su menurut pendapatmu, tepatkah apa yang di usulkan Perdana Menteri Ji itu?"

   "Hamba setuju sekali, Yang Mulia. Akan tetapi sebaiknya kepergian utusan itu di sertai pasukan yang kuat sehingga begitu Gubernur Yen menolak panggilan paduka, segera dapat dilakukan penyergapan. Dengan membawa leng-ki (bendera utusan) tentu tidak ada yang berani membangkang, kecuali kalau dia memang berusaha memberontak."

   "Dan menurutmu, panglima manakah yang sepatutnya melaksanakan tugas sebagai utusan itu?"

   "Hamba usulkan agar mengangkat Cian Kauw Cu sebagai panglima yang menjadi utusan dan di belakangya di kawal oleh Thian-te Ciu-kwi. Dengan demikian, maka tidak akan gagal perintah paduka."

   Kaisar setuju dan seketika mengangkat Kauw Cu sebagai panglima yang akan membawa pasukan memanggil Gubernur Yen dan kalau panggilan itu di tolak, dia diberi kuasa untuk menggempur dan menangkap gubernur itu sekeluarganya.

   "Kita lakukan itu lebih dulu terhadap Gubernur Yen sebagai percobaan. Kalau berhasil, maka harus dilakukan siasat demikian pula terhadap Gak di Nam-kiang, juga terhadap Coa-ciangkun," demikian kata Koksu kepada Perdana Menteri Ji setelah mereka mengundurkan diri.

   Yang merasa sibuk adalah kauw Cu. Dia merasa betapa tugasnya itu berat sekali. Sebagai utusan untuk memanggil gubernur tidaklah berat karena hanya menyampaikan perintah dan surat perintah, akan tetapi kalau sampai gubernur itu menolak, maka tugasnya menjadi berat. Dia harus menyerbu Lok-yang dan menangkap gubernurnya! Akan tetapi hatinya lega ketika gurunya membawa pasukan kecil mengawalnya dari belakang.

   Dengan pakaian sebagai seorang panglima muda, Akauw yang emnunggang seekor kuda nampak gagah bukan main. Tubuhnya yang tinggi besar itu memang pantas sekali mengenakan pakaian panglima perang yang gemerlapan. Sebatang pedang yang kini di beri sarung amat indah, tergantung di pinggangnya dan itulah Hek-liong Po-kiam yang ampuh itu.

   Dia memimpin pasukan yang seribu orang besarnya, di bantu oleh beberapa orang perwira tua yang berpengalaman. Dan agak jauh membayangi pasukan ini adalah Thian-te Ciu-kwi yang memimpin tiga losin orang prajurit pengawal!.

   Tentu saja pasukan ini menjadi tontonan orang di sepanjang jalan dan ketika keluar dari kota raja, dan terutama sekali orang-orang memandang kagum kepada panglimanya yang demikian gagah perkasa, menunggang seekor kuda putih.

   Dekat pintu gerbang kota raja, tiba-tiba Akauw melihat Bi Soan melintas di depan. Cepat dia menghentikan kudanya dan mengangkat tangan untuk menghentikan pasukannya,lalu dia melompat turun dari atas kudanya dan memanggil.

   "Soan-te.....!" Tentu saja semua perwira dan prajurit yang berada di bagian depan terheran-heran melihat panglima mereka menghentikan pasukan dan turun dari atas kuda hanya untuk berbicara dengan seorang pemuda remaja yang berpakaian sebagai seorang gelandangan! Akan tetapi, Bi Soan tidak berani lama-lama bicara. Setelah menghampiri dia lalu berkata, dengan suara lirih pula.

   "Kauw-ko, jagalah dirimu baik-baik dan berhati-hatilah melaksanakan tugas."

   Setelah berkata demikian Bi Soan lalu berlari meninggalkan panglima itu menyelinap di antara banyak orang yang menonton pasukan itu.

   Akauw menghela napas panjang. Dia sendiri merasa aneh mengapa dia amat tertarik dan sayang kepada Bi Soan, sahabat yang sudah di anggap sebagai adiknya sendiri itu. dia lalu melompat lagi ke atas kudanya dan memberi isyarat dengan tangan agar pasukannya bergerak kembali.

   Sebelum pasukan itu tiba di Lok-yang, lebih dahulu Gubernur Yen di Lok-yang telah mendengar dari mata-mata yang bertugas di kota raja bahwa kaisar mengirim pasukan untuk memanggil dia ke kota raja. Tentu saja Gubernur Yen terkejut dan segera mengadakan rapat kilat dengan para rekannya.

   Gubernur Yen adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang tinggi besar dan gagah. Dari isteri-isteri nya yang tiga orang jumlahnya dia mempunyai hanya dua orang anak saja, seorang laki-laki yang kini sudah berusia dua puluh lima tahun bernama Yen Gun dan seorang anak perempuan berusian sembilan belas tahun bernama Yen Sian. Kedua orang anaknya itu merupakan pendekar-pendekar gagah yang berkepandaian silat tinggi karena mereka berdua menerima gemblengan dari ayahnya sendiri. Gubernur Yen sebelum menjadi Gubernur adalah seorang ahli silat aliran Gobi-pai yang tangguh. Keluarga Yen ini berjiwa patriot dan biarpun Yen Kan menjadi seorang gubernur yang tunduk di bawah kekuasaan Kaisar Toba,namun dia memimpin daerahnya dengan bijaksana bahkan seringkali berani mengebiri perintah dari kota raja. dia amat prihatin melihat kekuasaan Kaisar Toba dan ingin sekali membebaskan tanah airnya dari kekuasaan penjajah, maka diam-diam dia bersekutu dengan para panglima yang bertugas di Lok-yang, bahkan mengadakan hubungan pula dengan perkumpulan-perkumpulan kang-ouw untuk memperoleh dukungan dan menghimpun tenaga untuk kelak kalau waktunya tiba dipergunakan untuk menggulingkan pemerintah penjajah.

   Dengan rencana yang di rahasiakan ini, Gubernur Yen sudah berlaku hati-hati sekali dan pada luarnya, dia merupakan seorang pejabat yang patuh kepada kaisar dan menjaga jangan sampai dia melakukan kesalahan sedikitpun. Maka, ketika para mata-matanya melaporkan kepadanya bahwa ada pasukan seribu orang dari kota raja menuju ke Lok-yang membawa perintah kaisar untuk memanggilnya, dia terkejut dan mengumpulkan semua rekannya dan keluarganya untuk berunding.

   "Saya khawatir ini merupakan panggilan yang mengandung kekerasan, taijin," kata seorang panglima yang paling tua, yaitu Panglima Kwee.

   "Kalau hanya mengundang taijin,kenapa harus membawa pasukan seribu orang jumlahnya?".

   "Ayah, aku khawatir undangan inipun merupakan jebakan atau perangkap, kalau ayah menaati dan datang ke kota raja, mungkin saja ayah akan di tangkap!" kata Yen Gun, puteranya.

   "Sebaiknya tolak saja panggilan itu, ayah, dan kita melawan kalau di gempur. Bukankah ayah memang bermaksud pada suatu hari akan menggempur Kerajaan Toba itu? Nah, sekaranglah saatnya! "kata puterinya, Yen Sian.

   "Kami setuju dengan pendapat nona Yen," kata seorang tokoh Hek I Kaipang yang juga hadir.

   "Kalau perlu kita hancurkan seribu orang pasukan itu dan berarti suatu kemenangan pertama bagi kita."

   Gubernur Yen Kan mengangkat kedua tangan minta kepada semua orang untuk diam mendengarkan, lalu dia berkata.

   "Semua yang kalian ucapkan itu memang baik, akan tetapi bodoh. Kalau aku bertindak menuruti kehendak kalian, berarti cita-cita kita akan hancur dan kandas di tengah jalan, atau roboh sebelum jadi. Aku tahu bahwa Toat-beng Giam-ong, Koksu Lui itu adalah seorang yang amat cerdik. Kalau kerajaan sudah tahu bahwa kita bermaksud memberontak dan tinggal tunggu waktu saja, tentu mereka sudah mengirim pasukan besar untuk menyerang kita. Akan tetapi mereka tidak melakukan itu dan hanya memanggilku dengan pasukan yang sebesar hanya seribu orang. Mengapa begitu? Kurasa mereka tidak mempunyai bukti bahwa kita hendak memberontak dan bagaimana menghukum orang yang belum terbukti kesalahannya. Karena itu mereka mengirim pasukan itu. Kalau aku menolak panggilan Kaisar dan melakukan perlawanan, maka akan jelaslah bahwa aku memberontak dan mereka mempunyai bukti untuk menindak kita, menyerang Lok-yang. Nah, mengertikah kalian? Mereka itu sengaja memancing agar aku menolak sehingga ada buktinya".

   "Lalu bagaimana baiknya, ayah?" Tanya Yen Sian gelisah.

   "Tidak ada jalan lain. Aku akan memenuhi panggilan itu, menghadap kaisar."

   "Tapi ayah, itu berbahaya sekali!" seru Yen Gun.

   "Kalau ayah tiba di kota raja lalu di tahan, kami dapat berbuat apa?".

   "Mereka tidak mempunyai alasan untuk menahanku, tidak ada bukti apapun, kalian tidak usah khawatir."

   "Akan tetapi, ayah. Koksu amat licik dan curang, dapat saja dia melakukan fitnah dan ayah tetap akan di tangkap. Dan kaisar selalu mendengarkan apa yang dikemukakan Koksu," kata pula Yen Sian.

   "Nona Yen berkata benar," kata Panglima Kwee.

   "Saya kira panggilan itu merupakan jebakan, selain untuk melihat apakah taijin berani membangkang, juga kalau taijin mematuhi dan pergi,maka di kota raja taijin tentu akan di tangkap dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Sebaiknya kalau taijin tidak pergi dan kita melakukan perlawanan mati-matian!".

   "Dan kita dihancurkan, sehingga semua cita-cita kita kandas di tengah jalan. Kedudukan kita belum kuat, pasukan kita pun jauh kalah dibandingkan pasukan Kerajaan. Kalau sampai aku di tangkap dan di fitnah sekalipun, bahkan sampai mati, hal itu tidak mengapa asalkan perjuangan ini dapat dilanjutkan. Aku rela mati demi perjuangan ini bersama Kwee-ciangkun, di bantu oleh kawan-kawan dari Hek I Kaipang!".

   Ketika mengeluarkan ucapan itu, Gubernur Yen Kan berdiri dengan gagah dan ucapannya tidak dapat dibantah pula. Semua orang berdiam diri dan kedua orang anaknya menjadi pucat wajahnya ketika mereka memandang kepada ayah mereka dengan gelisah.

   "Nah, masih ada lagi yang meragukan kebenaran apa yang telah kuputuskan?" Tanya Gubernur Yen sambil memandang kepada semua orang yang hadir.

   "Kami tidak dapat membantah ayah, akan tetapi kalau ayah nanti hendak menghadap kaisar, perkenankan saya ikut untuk membantu dan menjaga keselamatan ayah."

   "Perkenankan saya yang mengawal taijin!" kata Kwee-ciangkun.

   Gubernur Yen mengankat tangannya.

   "Tidak cukup jelaskah apa yang ku katakana tadi? Kalau memang aku harus berkorban, biarlah aku saja. Yang lain harus tinggal di sini untuk melanjutkan perjuangan. Kalian boleh mati demi perjuangan, tidak boleh hancur karena kekoyolan kalian. Mengertikah semua? Aku tidak memerlukan pengawal atau pengantar. Biarkan aku pergi sendiri!"

   Tidak ada orang yang berani membantahnya lagi. Bahkan cucuran air mata tiga orang istrinya ketika mendengar akan tekad gubernur ini tidak dapat mencegah keputusannya.

   Pada keesokan harinya, pasukan yang di pimpin Akauw atau menurut laporan di sebut sebagai Cian-ciangkun itu telah tiba di Lok-yang dan langsung menghadap Gubernur. Pasukan itu berhenti diluar pintu gerbang dan hanya Akauw dan dua orang pembantunya yang memasuki kota Lok-yang membawa leng-ki (bendera utusan kaisar) sehingga di sepanjang jalan Akauw dan dua orang pembantunya dihormati orang.

   "Utusan Kaisar telah tiba!" terdengar teriakan ke dalam ketika mereka telah tiba di pintu depan gedung tempat tinggal gubernur. nampak Gubernur Yen tergopoh keluar lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Akauw. Memang setiap orang yang menerima utusan kaisar harus bersikap hormat seolah yang datang itu kaisar sendiri.

   Akauw lalu mengeluarkan gulungan surat perintah dan menyerahkan kepada pembantunya. Dia sendiri tidak pandai membaca, maka dia menyerahkan kepada pembantunya yang segera membacanya dengan suara nyaring.

   "Sribaginda Kaisar yang mulia memanggil dan memerintahkan Gubernur Yen Kan untuk segera datang menghadap istana kerajaan!"

   Setelah membacanya, pembantu itu menyerahkan gulungan kertas itu kepada Akauw dan Akauw juga menyerahkannya kepada Gubernur Yen. Gubernur menerima gulungan perintah itu dengan sikap hormat, setelah itu barulah dia bangkit berdiri dan kini yang dihadapinya adalah seorang panglima biasa.

   "Cian-ciangkun telah melakukan perjalanan jauh, tentu lelah. Silahkan masuk dan melepas lelah sambil makan minum yang akan kami hidangkan," kata Gubernur Yen dengan ramah sambil memandang tajam panglima yang tinggi besar dan gagah itu.

   Cian Kauw Cu memberi hormat dengan mengangkat tangan di depan dada.

   "Banyak terima kasih, taijin. Akan tetapi tugas kami hanyalah menyampaikan surat perintah, kemudian mengawal taijin sekarang juga untuk berangkat ke kota raja."

   Gubernur Yen dapat merasakan bahwa dalam ucapan itu terkandung kepastian yang tak dapat dibantah lagi dan tahu bahwa panglima seperti ini amat tegas dan jujur, tidak akan mudah untuk "di sogok."

   "Baiklah, ciangkun. Akan tetapi setidaknya berilah waktu kepada saya untuk berpamit dari keluarga saya."

   "Silahkan, taijin. Kami bertiga akan menanti diluar pintu gerbang."

   Akauw dan dua orang pembantunya lalu meninggalkan gedung itu, menunggu bersama pasukannya diluar pintu gerbang sebelah barat. Ketika gubernur memasuki ruangan dalam, dia di sambut oleh tangisan tiga orang istrinya. Bahkan Yen Sian yang biasanya gagah perkasa dan tabah, kini merangkul pundak ayahnya sambil menangis sedangkan Yen Gun berdiri mondar mandir dengan wajah keruh. Semua orang tenggelam ke dalam kedukaan dan kekhawatiran.

   Khawatir, kecewa, sedih sebagai kebalikan dari sejahtera, puas dan gembira adalah perasaan yang melanda setiap orang manusia di dunia ini, orang akan tenggelam dan merasa bahwa di seluruh dunia ini dirinyalah yang paling menderita, paling sengsara, paling celaka. Sebaliknya kalau sedang bergembira dia lupa segalanya, yang ada hanya kegembiraan itulah. Orang tenggelam ke dalam suka duka, susah senang, sedih gembira, seperti sebuah biduk yang di ombang ambingkan gelombang samudera. Barulah kalau kita dapat melihat diri sebagai orang luar, kita dapat melihat bahwa semua itu sudahlah wajar. Gelombang kehidupan menghempas dari kanan kiri, terombang ambing. Semua perasaan susah senang dalam kehidupan ini adalah wajar, sudahmerupakan romantika kehidupan. Kalau tidak ada susah mana ada senang dan kalau tidak ada duka mana ada suka? Romantika kehidupan ini justeru merupakan nikmat hidup.

   bagaikan makanan, kalau yang ada hanya manis saja, tanpa mengenal rasa asam pahir getir dan asin, mana mungkin kita dapat menikmati rasa manis? Bahkan rasa manis itu akan menjadi memuakkan. Demikian pula dalam kehidupan ini. rasa senang yang terus menerus tanpa di selingi perasaan lain seperti kecewa dan susah, akan menjadi perasaan yang menjemukan. Tidak ada kesenangan abadi di dunia ini karena sesuatu yang di anggap menyenangkan itu kalu diberikan terus menerus tanpa ada perubahan, akan kehilangan anggapan menyenangkan itu. Sebuah pantai laut dengan desir ombaknya akan terasa indah dan menyenangkan bagi pendatang dari kota, akan tetapi tanyakan kepada mereka yang tinggal di pantai, maka mereka akan mengatakan bahwa pemandangan itu membosankan dan mereka merindukan untuk pergi dan melihat kota dan gunung!. Sebaliknya orang kota ingin ke pantai, orang gunung ingin ke kota dan orang kota ingin ke gunung. Hiduo ini membutuhkan perubahan,perubahan pemandangan, penglihatan dan pendengaran.

   Bahkan penciuman dan rasa di mulut juga selalu menghendaki perubahan. Karena itu, tenggelam ke dalam satu macam perasaan saja adalah tidak bijaksana. Terimalah susah senang sebagai sesuatu yang wajar dan nyata, sebagai bumbu-bumbu kehidupan. Bukan tidak mungkin bahwa diujung sesuatu yang menyedihkan itu menanti sesuatu yang menggembirakan, dan sebaliknya di ujung jalan penuh kesenangan itu menanti kesusahan! Ada hikmah tersembunyi dibalik setiap peristiwa dan kalau kita menyerahkannya kepada Tuhan sambil tidak lupa berusaha sekuat tenaga, maka apapun yang terjadi menimpa diri tidak akan mendatangkan batin yang terlalu merasa gembira.

   "Sudahlah, cukup semua ini. Ingatlah kalian semua bahwa andaikata terjadi sesuatu dengan diriku, andaikata kematian menantiku di sana, maka kematianku adalah merupakan pupuk bagi perjuangan kalian. Juga andaikata kalian gagal pula, itu semua merupakan pupuk bagi perjuangan selanjutnya yang akan dilakukan rakyat terhadap penjajah Toba. Penjajahan harus lenyap dari tanah air kita!".

   Kata-kata yang penuh semangat dar Gubernur Yen ini agaknya merupakan obat yang manjur karena semua orang berhenti menangis, bahkan tiga orang istri itu segera mempersiapkan segala yang perlu di bawa suami mereka. Mereka berkemas dan tak lama kemudian Gubernur Yen Kan keluar dari gedung, masuk ke dalam keretanya yang sudah menanti diluar rumah. Kereta segera berangkat dan mereka semua mengantarkan gubernur sampai tiba diluar pintu gerbang sebelah barat dimana pasukan kerajaan sudah menanti.

   Biarpun Gubernur Yen berangkat seorang diri saja, namun para pembantunya telah menyebar mata-mata untuk mengikuti perjalanan gubernur itu dan untuk mengetahui bagaimana nasibnya kelak setelah tiba di kota raja.

   Diam-diam Akauw merasa kecelik. Tadinya dia menganggap bahwa Gubernur pemberontak ini seorang yang keras dan yang sudah mengambil keputusan untuk memberontak, tentu akan membangkang terhadap panggilan kaisar. Dia sudah siap untuk menggunakan kekerasan seandainya sang gubernur menolak. Akan tetapi sama sekali tidak si sangkanya bahwa gubernur itu menaati perintah kaisar dan segera berangkat, bahkan tanpa membawa pengawal. Diapun merasa kagum karena gubernur itu di anggapnya seorang yang gagah berani.

   Bagi Akauw yang kurang begitu mengerti tentang perjuangan atau pemberontakan, hanya menganggap bahwa seorang bawahan yang menentang atasannya itu adalah perbuatan yang tidak benar dan wajib di tentang.

   Oleh karena itu, betapa kecewa hati Akauw ketika mereka tiba di kota raja, Gubernur Yen Kan di hadapkan kepada Kaisar,langsung saja dia dibentak oleh kaisar dan di tuduh pemberontak. Bagaimanapun juga, belum ada bukti bahwa gubernur itu memberontak, biarpun dia sudah mendengar sendiri rapat yang diadakan gubernur itu dengan para sekutunya.

   "Gubernur Yen Kan, kami mendengar bahwa engkau telah mengumpulkan banyak pemuda untuk di jadikan prajurit, bahwa engkau telah memperkuat barisanmu. Engkau sudah membuat persiapan untuk memberontak? "

   "yang Mulia, berita yang dikabarkan orang itu memang benar. Hamba memang memperkuat barisan, akan tetapi hal itu hamba lakukan untuk menjaga keselamatan perbatasan dengan Negara lek-kok (Korea) dan juga untuk menjaga keamanan di sepanjang pantai timur karena terdapat banyak gangguna oleh bajak laut."

   "Bohong! Engkau memperkuat barisan untuk mengadakan pemberontakan. Engkau bergabung dengan berbagai golongan, juga dengan Hek I Kaipang. Engkau tidak perlu menyangkal lagi karena kami telah mengetahui segalanya! Pengawal, tangkap dia dan jebloskan ke penjara menanti pengadilan!".

   Gubernur itu tanpa di beri kesempatan membela diri lagi lalu di seret oleh para pengawal. Gubernur itu nampak tenang saja, sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan mengangkat dadanya dan menegakkan kepalanya. Sikap yang gagah perkasa ini membuat Akauw merasa kagum dan penasaran. Melihat kegagahan gubernur itu saja telah mendatangkan perasaan suka didalam hatinya.

   "Koksu, setelah dia di tangkap, lalu bagaimana sekarang? Ternyata dia sama sekali tidak mau mengaku, bahkan ketika di panggil juga tidak melawan atau membangkang."

   "Biarpun begitu, Yang Mulia, Kita tidak boleh bertindak lemah. Hamba kira ini semua adalah siasat belaka dari Gubernur Yen. Dia bersikap demikian agar tidak ada alasan bagi paduka untuk menyerbu Lok-yang. Dia agaknya hendak mengorbankan diri demi kelanjutan penghimpunan kekuartan di Lok-yang. Sebaiknya kalau paduka mengirimkan pasukan besar untuk menyerang Lok-yang, menangkapi para panglimanya dan mengangkat seorang gubernur baru di sana, juga panglima-panglima baru."

   Kaisar mengangguk-angguk, akan tetapi pada saat itu Perdana Menteri Ji menghadap Kaisar dengan kata-katanya yang tegas dan jelas.

   "ampun, Yang Mulia. Hamba kira bahwa tindakan itu tidaklah bijaksana. Kalau paduka menyerang Lok-yang tanpa ada bukti pemberontakan, berarti paduka menyerang tanpa alasan. Kita belum dapat menuduh Lok-yang akan memberontak, maka kalau tiba-tiba kita menyerang dan hal itu terdengar oleh para gubernur lain, tentu akan menimbulkan keresahan dan penasaran. Kita harus mendapatkan buktinya dulu. Sebaiknya kalau kita mengirim penyelidik lagi ke sana, untuk mendapatkan bukti-bukti, dan kalau perlu menyelidiki Hek I Kaipang yang kabarnya dijadikan sekutu oleh Gubernur Yen. Baru setelah mendapat bukti, paduka turun tangan menyerang dan tidak akan ada gubernur yang menyalahkan tindakan itu."

   Kaisar mengangguk-angguk, mengerutkan alisnya dan menoleh kepada koksu.

   "bagaimana, Lui Koksu, apakah engkau sependapat dengan apa yang dikemukakan Perdana Menteri Ji?"

   Koksu saling pandang dengan Perdana Menteri Ji dan diapun mengangguk.

   "memang tadi hamba telah terburu nafsu, Yang Mulia. Hamba setuju dengan pendapat Perdana Menteri Ji, karena kita masih menghadapi sikap membangkang dari Gubernur Gak dan Coa-ciangkun. Sebaiknya kalau paduka mengirim penyelidik yang boleh dipercaya, dan hamba kira Cian-ciangkun untuk kedua kalinya dapat paduka utus untuk menjadi penyelidik di Lok-yang."

   "Bagus, akupun sependapat dengan kalian. Cian-ciangkun, engkau telah berjasa besar dalam penangkapan Gubernur Yen. Kini kami mengangkat engkau setingkat lebih tinggi dari kedudukan mu sekarang, dan memerintahkan kepadamu untuk melakukan penyelidikan ke Lok-yang. Sekali ini untuk mencari bukti-bukti pemberontakan, dan carilah di kalangan Hek I Lo-kai. Entah siasat apa yang akan kau lakukan, terserah. Yang penting, engkau mendapatkan bukti itu. Sanggupkah engkau?"

   "Hamba sanggup dan kapan hamba diharuskan berangkat?"

   "Engkau boleh berisitirahat sepekan lamanya, kemudian engkau berangkatlah dan boleh membawa perlengkapan apa saja dan kalau perlu boleh pula membawa anak buah untuk membantumu di sana."

   "Terima kasih Yang Mulia, akan tetapi hamba tidak akan membawa seorangpun pembantu karena hal itu bahkan akan menghambat dan menjadi penghalang gerakan hamba." Akan tetapi di dalam hatinya Akauw ingin sekali membawa sahabatnya, Bi Soan dalam penyelidikan barunya itu. Hatinya akan merasa besar kalau saja Bi Soan dapat ikut dengannya karena dia tahu bahwa sahabatnya itu, biarpun kecil, memiliki kecerdikan luar biasa.

   Setelah meninggalkan istana, kebetulan tiga hari kemudian bulan purnama maka diapun bergegas pergi seorang diri di waktu bulan purnama itu, menuju ke kuil di luar kota. Baru saja dia tiba di halaman kuil kosong itu, terdengar suara orang memanggil.

   "kauw-ko....!"

   Dengan girang dia menoleh dan ternyata yang memanggil itu adalah sahabatnya, Bi Soan.

   "Eh, Soan-te, engkau sudah tiba di sini pula? Betapa girang hatiku karena aku memang sedang mencarimu."

   "Aku tahu, engkau mencariku untuk mengajak aku kembali ke Lok-yang, bukan?"

   "Eh, bagaimana engkau bisa tahu?"

   "Hemm, aku mempunyai banyak kawan di sini dan aku mendengar betapa engkau telah naik pangkat karena pergi menangkap Gubernur Yen, dan engkau lalu menerima tugas untuk mencari bukti pemberontakan Jendral Yen di Lok-yang."

   "Wah-wah, agaknya engkau mengetahui segalanya, adik Soan! Memang demikianlah, aku ingin sekali engkau membantu aku melakukan penyelidikan ke Lok-yang. Engkau tentu mau, bukan?".

   "Hemm, kalau engkau membutuhkanku, baru engkau ingat kepadaku. Kalau sudah tidak dibutuhkan lagi, aku yakin engkau akan sama sekali lupa kepada Bi Soan!" Pemuda remaja itu cemberut, masih dapat kelihatan cemberutnya karena bulan purnama sedang terang sekali saat itu.

   "Aih, jangan begitu, Soan-te. Aku selalu ingat kepadamu, bukan kalau sedang membutuhkan bantuanmu. Kalau andaikata engkau tidak mau membantuku sekalipun, aku akan tetap ingat kepadamu. Engkaulah satu-satunya sahabatku yang ku sayang."

   "Hem, merayu, ya? Sudahlah, apa yang kau bawa dalam buntalan itu?"

   "Ini ku bawakan engkau bebek panggang dan nasi, juga air the sedap!".

   "Wah, engkau bawa oleh-oleh? Hayo cepat buka selagi masih hangat dan kita makan dibawah sinar bulan purnama, tentu lezat sekali! "dengan gembira Bi Soan merampas buntalan itu, membukanya dan keduanya lalu makan minum dibawah sinar bulan, di halaman kuil kosong itu.

   Baru saja mereka selesai makan, tiba-tiba Akauw memegang tangan sahabatnya yang tengah minum air teh. Bi Soan memandang heran dan Akauw mengedipkan matanya. Bi Soan memperhatikan dan kini diapun mendengar gerakan-gerakan yang tidak wajar.

   "Kalian siapa yang mengintai? Keluarlah!" bentak Akauw sambil melompat berdiri. Tiba-tiba dari segala penjuru terdengar angina bersiutan dan beberapa batang senjata piauw (pisau terbang) menyambar ke arah mereka. Akauw terkejut dan khawatir kalau-kalau sahabatnya terluka. Dia menarik tangan Bi Soan dan menyembunyikan pemuda itu di belakangnya, lalu kaki tangannya bergerak menangkis runtuh semua piauw yang menyambar itu. Bi Soan bersembunyi di balik tubuh Akauw dan bertanya.

   "Siapakah mereka?"

   Setelah senjata piauw mereda tidak ada yang mengenai sasaran, kini berloncatan tujuh orang yang berpakaian hitam dari balik semak dan pohon, dan mereka semua bersenjata tongkat hitam, lalu menyerang tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Yang mereka serang adalah Akauw dan agaknya mereka sama sekali tidak menyerang Bi Soan. Pemuda cilik ini cepat berlari ke belakang sebatang pohon dan mengintai perkelahian itu.

   Akauw merasa penasaran sekali.

   "Hei, berhenti dulu! Siapa kalian dan mengapa menyerangku?".

   Akan tetapi jawabannya hanyalah menyambarnya tongkat-tongkat itu dengan dahsyat sekali. Tahulah Akauw bahwa tujuh orang yang berpakaian serba hitam dan semua memegang tongkat itu merupakan lawan yang tangguh. Dia masih mencoba menggunakan kecepatan gerakannya menghindar ke sana sini sambil berloncatan. Akan tetapi gerakan tongkat yang menyerang dengan bertubi-tubi sehingga kemanapun tubuh Akauw bergerak, dia selalu disambut tongkat lain. Ketika dia menangkis dengan tangannya, diapun dapat merasakan bahwa tenaga merekapun rata-rata kuat.

   "Syuuuuuuttt.....!" Dua batang tongkat menyambar dari kanan kiri dan ketika dia menangkis dengan kedua tangannya, dua tongkat lagi menyambar ke arah kedua kakinya.

   "Haiiihh....! Akauw mengeluarkan teriakan dan tubuhnya mencelat ke atas sekaligus menghindarkan dua tongkat yang menyerang kaki dan tiga batang tongkat lain yang menyerang dari atas.

   Demikian cepat gerakannya sehingga tiba-tiba tujuh orang itu telah kehilangan orang yang mereka keroyok. Akhirnya mereka tahu bahwa Akauw telah meloncat ke atas pohon. Maka, kini merekapun berloncatan dan menyerang ke arah tubuh Akauw yang kembali melompat turun. Dia menjadi repot juga karena tidak diberi kesempatan membalas. Selain itu, dia juga belum melawan sungguh-sungguh karena belum tahu mereka itu siapa dan mengapa menyerangnya.

   "Tahan senjata!" bentaknya.

   "Katakan siapa kalian dan apa salahku maka kalian menyerangku!"

   "Engkau telah mengambil alih tempat kami, karena itu harus kami pukul mampus!" bentak seorang diantara mereka sambil menyerang lagi. Kini Akauw mengerti. Kiranya kuil itu adalah tempat mereka dan mereka mengira dia dan Bi Soan mengambil kuil kosong itu.

   "Kami tidak mengambil alih, hanya berhenti di sini sebentar! Kami tidak bermalam di tempat ini!"

   "mampuslah!" bentak mereka dan tongkat-tongkat itu kembali menyerangnya dari semua jurusan. Melihat ini Akauw kehilangan kesabarannya. Dia sudah banyak mengalah. Kalaupun dia bersalah telah mengganggu ketentraman mereka, tidak semestinya mereka bertindak begini kejam, mengeroyok dengan serangan yang berbahaya, dapat mematikannya. Sepatutnya hanya menegur saja.

   "Singgg....!" nampak sinar hitam berkilat menyilaukan mata dimalam terang bulan purnama itu.

   "Sekali lagi, harap kalian mundur. Aku bersedia minta maaf kalau memang dianggap bersalah!" katanya untuk terakhir kalinya. Akan tetapi, tujuh orang itu bukannya mundur, bahkan mendesak maju dengan serangan mereka.

   "Kalian keterlaluan!" Akauw lalu menggerakkan pedangnya. Demikian kuat dan cepatnya gerakan itu sehingga yang nampak hanya sinar hitam bergulung panjang bagaikan seekor naga hitam mengamuk. Akan tetapi, dia tetap tidak ingin membunuh orang, dan sinar pedangnya hanya menyambar ke arah tongkat-tongkat para pengeroyok itu.

   "Trakk-trak-trak....!" berturut-turut tongkat mereka itu di babat Hek-liong Po-kiam dan patah menjadu dua potong. Tujuh orang itu terbelalak ketakutan dan mereka melarikan diri tanpa menoleh lagi. Akauw tersenyum dan menyimpan lagi pedangnya, tidak melakukan pengejaran.

   Bi Soan muncul dari balik pohon.

   "Wah, engkau memang hebat sekali, Kauw-ko. dan pedangmu itu, waahhh, seperti seekor naga saja. Pedang apakah itu, kauw-ko?"

   "Memang kata-katamu itu tepat seakli, Bi Soan. Pedangku ini namanya Hek-Liong Po-kiam (Pedang Naga Hitam)."

   "Benarkah? Bagus sekali. Bolehkah aku melihatnya sebentar, Kauw-ko?".

   "Tentu saja boleh," Akauw lalu menghunus pedangnya dan menyerahkannya kepada Bi Soan. Ketika menerima pedang itu, Bi Soan menerima dengan kedua tangannya memegang gagang, seolah pedang itu teramat berat baginya. Dan dia memandangi pedang itu dengan penuh kagum.

   "Po-kiam (Pedang pusaka) yang baik....

   "katanya memuji.

   "Bagaimana engkau tahu bahwa ini merupakan po-kiam yang baik, Soan-te?"

   "Mudah saja. Po-kiam ini tadi telah mematahkan semua tongkat mereka. Kalau tidak baik sekali mana mungkin begitu?".

   "Aku merasa heran mengapa orang-orang tadi begitu galak. Kalau Cuma kita mengganggu tempat tinggal mereka saja, tidak semestinya mereka hendak membunuh kita."

   "Aku tidak merasa heran, kauw-ko. Mereka itu adalah orang-orang dari Hek I Kaipang."

   "Ahhh....? Bagaimana engkau bisa tahu?"

   Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ingat saja pakaian mereka tadi serba hitam, bukan? Dan penuh tambalan. Juga mereka semua bersenjata tongkat. Mereka itu adalah para anggota Hek I Kaipang yang kabarnya bersekutu dengan pihak pemberontak. Jadi mereka tadi menyerangmu bukan karena tempat ini, melainkan karena memang mereka memusuhimu. Mereka agaknya tahu bahwa yang membawa Gubernur Yen ke sini adalah engkau, maka mereka hendak membalas dendam dan membunuhmu."

   "Aih, Soan-te, engkau sungguh hebat. Engkau agaknya mengetahui segalanya!".

   "Sudahlah, jangan terlalu memuji. Kita harus lebih berhati-hati. Engkau di utus ke Lok-yang untuk mencari bukti pemberontakan, bukan? Dan untuk itu engkau harus menyelidiki Hek I Kaipang. Akan tetapi agaknya mereka telah mengenalmu, maka engkau harus berhati-hati sekali."

   Akauw mengangguk-angguk.

   "Akan tetapi dengan adanya engkau yang begini cerdik dan tahu segala berada di sampingku, aku tidak takut, Soan-te."

   Tiga hari kemudian, berangkatlah mereka ke Lok-yang. Untuk keperluan ini, kembali Akauw mengenakan pakaian biasa, hanya saja dia membawa surat perintah dari Kok-su sebagai bekal, kalau-kalau dia akan berurusan dengan pejabat setempat.

   Malam itu masih terang bulan. Dua sosok tubuh orang yang berpakaian serba hitam, membawa tongkat, berjalan menuju ke sebuah rumah besar kuno. Rumah ini sejak dulu menjadi pusat dari Perkumpulan Hek I Kaipang di kota raja.

   Dua orang itu bukan lain adalah Song-pangcu, ketua cabang Hek I Kaipang di Nam-kiang dan yang kedua adalah Yang Cien yang menyamar sebagai seorang anggota Hek I Kaipang. Seperti diketahui, Song Pang-cu pergi ke kota raja karena undangan dari Cu-lokai, pangcu pusat Hek I Kaipang di Tiang-an.

   Tidak seperti biasanya, dibangunan kuno itu nampak sepi. Ketika mereka memasuki pekarangan yang sepi, dari dalam bangunan itu muncul belasan orang anggota Hek I Kaipang.

   Song-pangcu memandang penuh perhatian. Di beranda itu terdapat pula lampu gantung sehingga penerangan di situ cukup, dan dia dapat melihat bahwa para anggota Hek I Kaipang itu biarpun mengenakan pakaian serba hitam, namun pakaian mereka itu terbuat dari kain yang baru, dan sepatu mereka juga baru! Padahal, anggota Hek I Kaipang hanya mengenakan sepatu butut, bahkan banyak yang bertelanjang kaki.

   Lima belas orang itu lalu memberi hormat dengan membungkuk kepada Song-pangcu, cara penghormatan yang lajim dipergunakan oleh para anggota Hek I Kaipang.

   "Selamat datang, Song Pangcu....

   "teriak mereka serentak.

   "Hemm, kalian ini para anggota Hek I Kaipang, ataukah pengantin pria yang hendak dipertemukan? Belum pernah aku melihat anggota Hek I Kaipang menjadi pesolek seperti kalian. Dimana Cu Lokai?" kata Song Pangcu dengan nada teguran.

   Cu Pangcu menanti di ruangan belakang. Harap Song-pangcu langsung saja masuk kedalam," kata seorang di antara mereka yang tidak memperdulikan teguran dalam soal pakaian itu.

   Cu-pangcu mengangguk dan bersama Yang Cien dia memasuki bangunan kuno yang besar itu. Baru masuk saja dia sudah merasa heran. Biasanya, pusat Hek I Kaipang ini mempunyai banyak sekali anggotanya. Apalagi di waktu malam, para anggotanya pasti berkumpul di sini. Kenapa sekarang kelihatan sepi saja? "Mereka terus masuk ke ruangan belakang yang luas sekali. Ruangan ini dipakai untuk mengadakan rapat anggota, juga dipergunakan sebagai tempat latihan silat. Kini ruangan inipun kosong dan begitu mereka masuk, terdengar suara orang tertawa dan tempat itu sudah di kepung oleh belasan orang prajurit dan belasan orang berpakaian hitam yang menyambut mereka tadi. dan di depan sendiri berdiri Thian-te Ciu-kwi sambil tertawa-tawa. kakek yang kecil kurus ini menuangkan arak dari guci ke dalam mulutnya, lalu tertawa lagi.

   "Song-pangcu, engkau baru muncul?"

   Song-pangcu terkejut bukan main melihat munculnya belasan orang prajurit itu dan terutama sekali melihat kakek kecil kurus itu yang dikenalnya dengan baik. Siapa tidak mengenal Thian-te Ciu-kwi, dari timur itu. Dan hebatnya, kakek itu kini mengenakan pakaian seorang panglima!.

   "Thian-te Ciu-kwi, apa artinya ini? Dimana Cu-pangcu?" tanyanya dengan heran dan juga khawatir

   "Ha-ha-ha, engkau hendak bertemu dengan Cu Lokai? Tunggu sebentar!"

   Thian-te Ciu-kwi memberi tanda dan beberapa orang prajurit masuk sambil menggiring tujuh orang yang tangannya tereblenggu masuk ke tempat itu. Paling depan adalah Cu Lokai dan enam orang lain adalah para ketua cabang yang agaknya sudah menjadi tawanan pemerintah. Jelas sekarang bagi Song-pangcu bahwa undangan itu adalah palsu dan merupakan jebakan. Dia di undang ke situ hanya untuk di tangkap seperti mereka.

   "Ha-ha-ha, engkau melihat sendiri, semua telah tertangkap. Kami minta agar engkau menyerah saja, Song-pangcu sehingga kami tidak perlu melakukan kekerasan!."

   "Thian-te Ciu-kwi, aku tidak akan sudi menyerah!" Bentak Song-pangcu dengan marah sekali dan dengan tongkat hitamnya dia sudah menyerang Thian-te Ciu-kwi dengan dahsyatnya.

   Kepandaian Song-pangcu sudah cukup tinggi sebagai ketua cabang Hek I Kaipang, akan tetapi tentu saja jauh kalau dibandingkan dengan Ciu-kwi. Sambil terkekeh Ciu-kwi menyambut serangan itu dengan dorongan kedua tangannya dan akibatnya tubuh Song-pangcu terjengkang roboh!.

   Melihat ini, Yang Cien berseru.

   "Song-pangcu, bebaskan semua rekan." dan diapun sudah mencabut pedangnya lalu menerjang ke arah Thian-te Ciu-kwi. Si Setan Arak ini terkejut sekali melihat sinar putih bergulung-gulung bagaikan seekor naga putih itu. Para prajurit dan orang-orang yang menyamar sebagai anggota Hek I Kaipang sudah menyamar sebagai anggota Hek I Kaipang sudah menyambut pedang Yang Cien, akan tetapi mereka segera mundur dan terkejut karena senjata di tangan mereka patah-patah begitu bertemu dengan sinar putih bergulung-gulung itu.

   Thian-te Ciu-kwi maklum bahwa pemuda itu lihai dan memiliki pedang ampuh, maka diapun segera mencabut pedangnya di punggungnya dan menyerang dengan ganasnya. Yang Cien mengelak dan membalas dan segera pemuda ini di keroyok banyak orang.

   Sementara itu, Song-pangcu sudah melompat ke arah para tawanan. Beberapa orang prajurit menyambutnya, akan tetapi dengan gerakan tongkatnya, Song-pangcu merobohkan dua orang prajurit, merampas sebatang golok dan dengan golok itu dia membikin patah borgol yang mengikat tangan enam orang rekannya. Setelah para pimpinan kai-pang itu terlepas tangannya, mereka segera mengamuk dan membuat para prajurit dan anggota Hek I Kaipang palsu kocar kacir.

   Sementara itu, perkelahian antara Yang Cien melawan Thian-te Ciu-kwi berlangsung dengan serunya. Thian-te Ciu-kwi juga memiliki pedang yang ampuh dan tidak patah ketika bertemu Pek-liong Po-kiam, dan gerakan kakek ini cukup gesit, sehingga dapat mengimbangi amukan Yang Cien. Anak buahnya yang tadi ikut mengeroyok, kini sudah mundur dengan jerih karena setiap kali senjata mereka bertemu dengan Pek-liong Po-kiam, senjata mereka tentu patah-patah. Dan mereka kini ikut mengeroyok delapan orang pimpinan Hek I Kaipang yang mengamuk itu.

   Yang Cien harus mengakui bahwa kakek kecil kurus yang dilawannya itu lihai sekali dan agaknya tidak akan mudah baginya untuk mengalahkannya dalam waktu singkat. Kalau sampai datang bantuan berupa pasukan, tentu dia dan para pimpinan Hek I Kaipang akan terkepung ketat dan tidak akan lolos lagi. Maka dia segera berseru kepada Song-pangcu agar melarikan diri.

   "Cepat pergi sebelum terlambat!" Demikian dia mengeluarkan seruan nyaring dan Song-pangcu, juga yang lain-lain. Maklum apa yang dimaksudkan pemuda gagah perkasa itu. maka setelah merobohkan para penghalang mereka segera melarikan.

   Yang Cien mengerahkan tenaga Bu-tek Cin-keng menyerang dengan dahsyat dan biarpun Thian-te Ciu-kwi dapat menangkisnya, namun tubuhnya terdorong jauh ke belakang oleh hebatnya tenaga Bu-tek Cin-keng itu. Dia terkejut bukan main, maka ketika Yang Cien meloncat jauh ke belakang untuk menyusul teman-temannya. Dia tidak berani mengejar sendirian saja. Dia lalu meneriaki anak buahnya untuk melakukan pengejaran sementara Thian-te Ciu-kwi cepat melapor kepada Koksu akan adanya seorang pemuda yang amat lihai, yang memiliki sebatang pedang bersinar putih yang ampuh sekali, juga diam-diam dia terkejut ketika tadi Yang Cien menggerakkan tangan kiri mendorong ke depan.

   Gerakan itu persis dengan sebuah jurus dari ilmu silat yang dikuasai muridnya, namun tenaga yang keluar dari tangan pemuda berpakaian hitam itu jauh lebih dahsyat dibandingkan tenaga muridnya. Dia sendiri juga sudah mempelajari ilmu dari muridnya itu, akan tetapi dia menganggap ilmu itu amat aneh, bahkan pernah ketika mempelajari sebauh jurus, dia merasa dadanya sesak dan sakit seolah tenaga sinkangnya membalik dan memukul dirinya sendiri. Dia tidak tahu bahwa muridnya mempelajari ilmu itu secara ngawur, tidak menurut teori yang benar. Maka ketika dia mempelajari jurus itu, tenaganya membalik dan hampir saja dia terluka parah. Kalau muridnya tidak mengalami hal seperti yang di alaminya itu.

   Hal itu adalah karena Akauw memiliki tenaga murni yang wajar, bukan tenaga karena terlatih melalu Samadhi, melainkan tenaga yang timbul karena cara hidupnya seperti kera. maka, Akauw tidak mengalami guncangan. Akauw dapat memainkan guncangan. Akauw dapat memainkan semua jurus Bu-tek Cin-keng tanpa membahayakan dirinya. Walaupun dia tidak memiliki tenaga yang ampuh dari ilmu itu. seolah dia hanya menguasai kulitnya saja tanpa mengenal isinya. Itulah sebabnya ketika bertemu dengan Yang Cien yang memiliki dan menguasai ilmu itu seutuhnya, sekali dorong saja Thian-te Ciu-kwi hamper terjengkang!.

   Para pimpinan Hek I Kaipang yang delapan orang itu maklum bahwa kalau mereka tidak cepat keluar dari kota raja, pada keesokan harinya mereka akan terlambat karena tentu Koksu akan mengerahkan pasukan untuk mencari mereka. Maka, dengan bantuan Yang Cien, mereka lalu menyerbu pintu gerbang utara dan akhirnya setelah terjadi pertempuran kecil melawan para penjaga pintu gerbang yang hendak mencegah mereka lari, mereka akhirnya dapat keluar dari kota raja dengan selamat.

   Cu Lokai mengajak mereka memasuki sebuah hutan yang menjadi pusat dan tempat tinggal para anggota Hek I Kaipang untuk sementara. Setelah tiba di situ, kedelapan orang pimpinan Hek I Kaipang itu lalu menjatuhkan diri berlutut ke depan kaki Yang Cien menghaturkan terima kasih.

   Dengan gugup Yang Cien mengangkat mereka satu demi satu, dimintanya agar mereka bangkit dan jangan memberi hormat secara berlebihan.

   "yang kulakukan ini bukanlah pertolongan, melainkan suatu kewajiban. Harap cu-wi (Kalian) tidak bersikap sungkan."

   Song-pangcu lalu berkata kepada Cu Lokai dan yang lain-lain.

   "Harap para pangcu mengenalnya. Taihiap ini adalah taihiap Yang Cien yang telah menolong dan menguburkan jenazah mendiang Kam Lokai."

   "Ahhh....!" Semua orang berseru dan Cu Lokai yang menjadi ketua pusat cepat memberi hormat.

   "Kiranya Yang Taihiap yang telah menguburkan jenazah sute kami. Untuk kami kami merasa bersukur dan berterima kasih sekali."

   Mereka duduk mengelilingi meja dan kini mereka membicarakan urusan perjuangan mereka. Yang Cien yang sudah di anggap orang sendiri itu hanya mendengarkan. Dari cerita mereka Yang Cien tahu bahwa mereka semua telah di jebak oleh Koksu dan di tangkap setelah mereka semua di kalahkan oleh Koksu atau oleh pembantunya, yaitu Thian-te Ciu-kwi yang lihai."

   "Pemerintah telah mengetahui akan hubungan kita dengan para gubernur yang mengusahakan pemberontakan," kata Cu Lokai.

   "Bahkan dari dalam penjara kami mendengar bahwa Gubernur Yen juga sudah di tangkap."

   "Aahhhh....!" Song-lokai berseru kaget.

   "Kalau begitu gerakan di timur gagal?"

   "Mungkin saja. Gubernur belum berhasil menyusun kekuatan akan tetapi telah di dahului, di panggil kaisar dan setelah sampai di sini langsung di tahan. Semua ini tentu akal dari Koksu Lui yang lihai sekali itu."

   "Akan tetapi, kenapa Gubernur Yen mau saja di panggil seperti seekor sapi masuk ke jagal?" Tanya Song-pangcu penasaran.

   "Tentu Gubernur Yen adalah seorang patriot sejati. Kalau dia membangkang berarti ada bukti akan pemberontakan di Lok-yang. Tentu Gubernur Yen mengorbankan diri demi perjuangan. Biarpun dia di tangkap, bahkan di bunuh sekalipun, perjuangan tidak boleh hancur sebelum di mulai. Tentu diam-diam ada yang menggantikannya, melanjutkan penghimpunan kekuatan di sana. Kita sudah tidak dapat lagi tinggal di kota raja, oleh karena itu semua anak buah harus di pindahkan. Aku akan membawa anak buah dari kota raja pindah ke sekitar Lok-yang, untuk membantu sewaktu-waktu Lok-yang menentang pemerintah."

   "Sebaiknya sebagian pula pindah ke Nam-kiang," kata Song-Pangcu.

   "di Nam-kiang juga terjadi pergolakan. Terjadi pertentangan antara Koksu dan Coa-ciangkun. kabarnya Coa-ciangkun telah menerima perintah dari kaisar untuk mengundurkan tentaranya akan tetapi dia masih menangguhkannya. Dan Gubernur Gak di Nam-kiang bersimpati kepada Coa-ciangkun. Ada gejalanya bahwa merekapun hendak menentang pemerintah penjajah."

   "Akan tetapi kenapa Kaisar memerintahkan Coa-ciangkun mundur? Bukankah pasukan Coa-ciangkun yang menjaga tapal batas di selatan?".

   "Entahlah, gerakan itu kalau benar dilakukan dan pasukan di tarik mundur, hanya akan menguntungkan Kerajaan Sun. Padahal kami mendengar bahwa Kerajaan Sun yang diperintah Sun Huang-te kini semakin kuat karena di bantu oleh banyak golongan kang-ouw. Kini di Nam-kiang itupun timbul desas-desus bahwa pemerintah Kerajaan Sun akan segera melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Toba."

   "Bagus!" kata Coa Lokai.

   "makin banyak yang memberontak semakin baik, tanda keruntuhan Kerajaan Toba sudah mendekati saatnya dan kita akan segera terbebas dari cengkraman penjajah."

   Yang Cien yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, segera ikut bicara.

   "Menurut pendapat saya yang bodoh, pemberontakan-pemberontakan kecil itu tidak ada artinya sama sekali. Satu demi satu akan di hancurkan oleh kekuatan Toba, tentu akan terjadi perebutan kekuasaan di antara mereka yang tak kunjung henti. dan rakyat tetap saja tidak dapat mengecam kedamaian dan ketentraman."

   "Hemmm, ada benarnya juga ucapan Yang-taihiap," kata Cu Lokai.

   "Akan tetapi, kalau kita semua tidak melakukan usaha perjuangan ini, lalu sampai kapan penjajah Toba dapat di usir keluar dari tanah air?"

   "Memang sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk mengusir penjajah dari tanah air, akan tetapi yang paling penting kita harus dapat bersatu padu menghimpun kekuatan. Dengan cara demikian, barulah kita memang tidak akan berhasil dan kalaupun kita memang tidak akan terjadi perebutan kekuasaan dan perang saudara yang tidak henti-hentinya. Lupakah cu-wi akan sejarah bangsa kita sebelum bangsa Toba menjajah tanah air kita? Mengapa sampai dapat terjajah? Karena kita saling hantam sendiri, karena perang saudara yang tiada henti-hentinya. Bangsa Toba menggunakan kesempatan itu untuk memukul dan menguasai tanah air. Coba andaikata kita bersatu padu, tak mungkin bangsa lain menjajah kita."

   Ucapan penuh semangat dari yang Cien ini di sambut gembira sekali oleh para pimpinan kaipang itu. Bahkan Song-pangcu saking gembiranya lalu mengusulkan." Dalam pemilihan pangcu yang akan di adakan dalam tahun depan, kami mengusulkan agar Yang-taihiap di pilih menjadi bengcu!".

   "Akur! Setuju!" Semua orang berseru dan Cu Lokai mengangkat tangan agar mereka diam. Setelah semua orang diam, Co Lokai berkata dengan suara nyaring.

   "Usul Song-pangcu itu memang tepat, akan tetapi bagi kami yang sudah mengenal baik Yang-Taihiap. Sedangkan golongan kaipang ada amat banyak. Mereka pun harus di yakinkan dulu akan kemampuan Yang-taihiap. Pertemua para kaipang akan di adakan di lereng Hoa-san dalam waktu tiga bulan lagi. Nah, dalam pertemuan itulah kita akan mengusulkan agar Yang-taihiap dijadikan calon tunggal dari pihak seluruh kaipang sebagai calaon bengcu."

   Semua orang menyatakan setuju dan kini Yang Cien yang bicara.

   "Maksud hati cu-wi amat baik dan saya mengucapkan banyak terima kasih atas kepercayaan itu. Akan tetapi harap di ingat bahwa saya tidak mau memperebutkan kedudukan bengcu. Saya hanya mau menjadi bengcu kalau semua pihak menghendakinya. Memang sudah menjadi tekad saya untuk mempersatukan semua golongan dan mengusir penjajah Toba dari Tanah air. kalau perebutan kedudukan bengcu itu berarti sudah mengarah kepada perpecahan, justeru saya menghendaki persatuan semua pihak demi kepentingan perjuangan mengusir penjajah."

   Semua orang menyatakan setuju dan demikianlah, para anggota kaipang kini tidak diperbolehkan berkeliaran di kota raja. Sebagian dari mereka berangkat ke Lok-yang untuk bergabung dengan Hek I Kaipang di sana. dan sebagian lagi ada yang ke selatan. Yang tinggal di hutan itu menerima latihan ilmu silat dari Yang Cien untuk melewatkan waktu menanti datangnya pertemuan besar antara para kaipang di Hoa-san.

   Ciang Kauw Cu dan Bi Soan melakukan perjalanan dengan santai ke kota Lok-yang kembali. akan tetapi mereka sama sekali tidak tahu bahwa perjalanan mereka sekali ini tidaklah sama dengan perjalanan pertama dahulu. Ketika itu, tidak ada orang mengenal mereka, maka perjalanan mereka tidak menemui banyak rintangan. Sekarang keadaannya lain lagi. Akauw sudah dikenal oleh orang-orang Hek I Kaipang, bahkan di kenal sebagai musuh karena mereka tahu bahwa Akauw adalah seorang panglima yang di tugaskan memanggil Gubernur Yen yang kemudian di tangkap. Bahkan ketika mengadakan pertemuan dengan Bi Soan di kuil tua dia sudah di serang oleh orang-orang Hek I Kaipang yang kini mengetahui bahwa dia adalah seorang jagoan yang amat lihai.

   Kini, perjalanan mereka di bayangi orang Hek I Kaipang dari jauh, bahkan orang-orang Hek I Kaipang sudah mengatur siasat untuk menghadangnya dan telah mendatangkan dua orang jagoan dari dunia kang-ouw untuk membantu mereka menaklukkan panglima tinggi besar itu. Mereka itu adalah ketua cabang di Lok-yang dan wakilnya, dua orang kakak beradik seperguruan yang ahli dalam hal penggunaan racun atau senjata beracun.

   Jauh di luar kota Lok-yang, di sebelah barat terdapat hutan yang di seling padang rumput yang luas. Ketika mereka tiba di padang rumput yang luas itulah muncul banyak orang. sedikitnya ada tiga puluh orang berpakaian hitam, berloncatan keluar dari balik rumput dan alang-alang, mengepung Akauw dan Bi Soan. Akauw merasa khawatir sekali akan keselamatan Bi Soan dan mulailah dia merasa menyesal mengapa dia mengajak Bi Soan karena kalau menghadapi bahaya begini Bi Soan tidak dapat membela diri dan terpaksa dialah yang harus melindunginya.

   "Soan-te, cepat kalu lari, aku yang akan melindungimu," kata Akauw yang melihat banyaknya orang yang mengepung mereka. Kalau Bi Soan sudah melarikan diri, maka dia akan lebih tenang menghadapi pengeroyokan mereka. Baru dari pakaian mereka saja dia dapat menduga bahwa tentulah mereka anggota Hek I Kaipang.

   "Heiii, siapakah kalian dan mengapa menghadang perjalanan kami?" Akauw membentak dengan sikap gagah.

   Dua orang pemimpin mereka, yaitu Thio Ci Ketua Hek I Kaipang cabang Lok-yang dan Thio Kui, adiknya atau wakil ketua, segera berteriak.

   "Antek Mongol, lebih baik kalian menyerah daripada harus mampus di tangan kami!".

   Akauw marah sekali mendengar dirinya di maki antek Mongol. Dia bekerja kepada Koksu dan kaisar hanya untuk membantu gurunya, Thian-te Ciu-kwi dan selama dia tidak melakukan pekerjaan yang kotor, dia tidak merasa menjadi antek Mongol.

   "Kalian orang-orang Hek I Kaipang pemberontak jahat! Cepat pergi atau aku akan menghajar kalian dan kalau ada yang tewas di antara kalian jangan salahkan aku!" Akauw selama ini memang selalu menjaga agar jangan sampai membunuh orang. Akan tetapi sekarang, ketika keselamatan Bi Soan terancam, dia tidak akan segan untuk membunuh semua orang itu, demi keselamatan Bi Soan!.

   "Jangan khawatir, Kauw-ko, aku dapat melindungi diri sendiri!" bisik Bi Soan dan ketika dia mengerling ke arah kawannya itu, ternyata Bi Soan telah memegang sepasang pedang pendek seperti belati, entah darimana dia mendapatkan itu, tentu di sembunyikan di bawah pakaiannya. Melihat ini, Akauw merasa agak lega. Pada saat itu, kedua saudara Thio sudah memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk maju menyerang.

   Bi Soan berdiri beradu punggung dengan Akauw dan ketika pemuda remaja ini mulai bergerak menyambut serangan para pengeroyok, hati Akauw menjadi kagum. Ternayat gerakan pemuda itu cukup hebat, bahkan terlalu hebat karena dalam beberapa gebrakan saja Bi Soan telah dapat merobohkan dua orang pengeroyok yang berada di depannya dengan sepasang pedangnya itu. Dia pun menjadi gembira dan dengan Hek-liong-kiam di tangan Akauw mengamuk. Begitu pedang nya berkelebat, beberapa batang tongkat terpotong menjadi dua dan tiga orang roboh oleh tendangan dan tamparan tangan kirinya. Akan tetapi para pengeroyok mendesak terus. Karena jumlah mereka memang banyak.

   Yang menganggumkan adalah Bi Soan. Pemuda remaja ini bergerak dengan cepat bagaikan seekor burung wallet saja dan dia berloncatan ke sana sini dengan gulungan sinar kedua pedangnya. Para pengeroyok menjadi panic ketika dua orang pemuda itu merobohkan banyak teman mereka.

   Tiba-tiba terdengar sambaran angina yang berciutan. Akauw maklum akan datangnya senjata rahasia maka dia memutar pedangnya sehingga beberapa batang jarum dan juga pisau terbang runtuh. Akan tetapi dia mendengar kawannya mengeluh lirih. Tahulah dia bahwa Bi Soan terkena senjata rahasia, maka dia lalu mengamuk. melihat betapa Bi Soan terhuyung-huyung, hati Akauw menjadi gelisah sekali dan timbullah sifatnya yang liar. Dia mengeluarkan gerengan seperti kera yang marah dan gerakannya menjadi luar biasa sekali. Enam orang roboh mandi darah oleh gulungan sinar pedangnya yang hitam dan melihat ini, kedua saudara Thio menjadi gentar. Kalau di lanjutkan bisa habis anak buah mereka. dan penyerangan mereka menggunakan senjata rahasia terhadap pemuda tinggi besar itupun sia-sia saja, bahkan tangkisan pemuda itu membuat senjata rahasia mereka menyeleweng dan mengenai kawan-kawan sendiri. Karena maklum bahwa pemuda tinggi besar itu sakti, Thio Ci memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk melarikan diri sambilmembawa kawan-kawan yang terluka. Mereka lari cerai berai akan tetapi Akauw tidak mengejar karena dia sudah merangkul Bi Soan yang roboh terguling.

   Akauw memondong tubuh Bi Soan setelah menyimpan sepasang pedangnya yang masih di pegangi Bi Soan, lalu membawanya lari pergi dari tempat itu, khawatir kalau-kalau para musuh tadi datang kembali.

   Setelah memasuki sebuah hutan, dia berhenti. Keadaan di hutan itu cukup sunyi dan aman. Dia merebahkan Bi Soan di bawah sebatang pohon dan dilihatnya Bi Soan dalam keadaan pingsan! Cepat diperiksanya dan di pundak pemuda remaja itu nampak sebatang paku besar yang masuk sampai hamper seluruhnya. dan sekitar luka itu nampak menghitam. Racun! Tahulah dia bahwa paku itu beracun. Maka cepat dia mencabut paku itu dan mengalirkan darah yang kehitaman.

   "Breeettt....! "Akauw tanpa ragu-ragu lagi membuka baju temannya di bagian dada dan pundak dan tiba-tiba dia terbelalak! Matanya menatap ke arah dada itu dan tiba-tiba mukanya berubah merah sekali. Kawannya itu adalah seorang wanita! Sejenak Akauw tidak dapat berpikir, seperti patung dia menatap dada itu, kemudian barulah dia teringat akan ajaran suhengnya tentang tata susila, maka cepat-cepat dia menutupkan kembali baju itu, hanya meninggalkan bagian pundak saja yang terbuka. Kemudian dengan agak gemetar karena masih terguncang oleh kenyataan bahwa kawannya itu adalah seorang gadis, dia lalu mendekatkan mulutnya pada luka di pundak itu dan mengisapnya. Darah terisap olehnya lalu di ludahkan, lalu mengisap lagi. Sampai tiga kali dia mengisap, mempergunakan tenaganya sehingga darah beracun itu terisap keluar semua.

   Ketika dia mengisap untuk keempat kalinya, gadis itu siuman. Ia merintih dan melihat ada orang menempelkan mulut di pundaknya, ia menjerit. Akauw lalu mengangkat mukanya dan meludahkan darah yang merah, tidak menghitam lagi dan pada saat itu Bi Soan atau sekarang lebih baik mengenalnya sebagai Ji Goat menampar pipinya.

   "Plakk, plakk!" Dua kali tangan itu menampar pipi Akauw dan Ji Goat kembali roboh dengan lemas dan ia pingsan lagi.

   "Soan-te... eh... Bi Soan, kenapa engkau memukul aku? Aku mengobati lukamu...

   "Akan tetapi Akauw segera tahu bahwa gadis itu tak sadarkan diri lagi maka dia memodong tubuhnya dan membawanya lari. Dia harus mendapatkan rumah orang agar gadis ini dapat beristirahat dan dapat dia titipkan karena dia harus cepat dapat mencari daun dan getah obat.

   Tak lama kemudian dia melihat sebuah dusun dan di rumah pertama dia melihat seorang wanita setengah tua di depan pintu. maka dia segera menghampiri wanita itu yang memandangnya dengan heran dan khawatir.

   "Maafkan, bibi. Sahabatku ini terluka parah, bolehkah kami mendapatkan pertolongan bibi agar sahabatku ini dapat sekedar mengaso di dalam rumah bibi?".

   "Ah, dia kenapa....?" Tanya wanita itu dengan khawatir.

   "Dia terluka dan keracunan."

   "Baik, bawa dia masuk.... Di sini, masuklah di kamar ini, ini kamarku....

   "

   Akauw merasa senang sekali dan membawa Ji Goat masuk kamar dan merebahkannya di pembaringan.

   

Si Bayangan Iblis Eps 4 Asmara Si Pedang Tumpul Eps 12 Si Bayangan Iblis Eps 13

Cari Blog Ini