Ceritasilat Novel Online

Sepasang Naga Penakluk Iblis 18


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 18




   Betapa lucunya, betapa memalukan. Untuk menutupi rasa malunya, diapun lalu bertepuk tangan memuji. Karena lupa bahwa dia masih memegang cawan arak, maka ada arak tertumpah menimpa celananya sehingga dia memakin tersipu.

   Tujuh orang pembantu itu keluar setelah memungut senjata masing-masing. Kini Hek-liong-li berdua saja dengan Sun Ting. Wanita itu masih tersenyum geli.

   "Saudara Kam Sun Ting, minumlah araknya!"

   "Ah, terima kasih, lihiap. Latihan tadi sungguh...... sungguh hebat sekali."

   "Ah, engkau terlalu memuji! Bukankah engkau seringkali melihat Pek-liong-eng berlatih silat dan tentu latihannya lebih hebat lagi?"

   Sun Ting menggeleng kepalanya.

   "Sayang sekali tidak begitu, lihiap. Terus terang saja, saya dan adik saya baru saja berkenalan dengan Pek-liong-eng dan saya tidak sempat menyaksikan kelihaian ilmu silatnya. Saya dan adik saya adalah penyelam di Telaga Po-yang, mencari batu-batu berharga yang menjadi mata pencaharian kami, ketika kami diserang orang jahat dan ditolong oleh Pek-liong-eng." Dengan singkat Sun Ting menceritakan peristiwa itu.

   Hek-liong-li mendengarkan penuh perhatian. Mendengar akan tewasnya seorang hwesio dan seorang tosu di hutan, serangan terhadap kakak beradik itu, iapun menjadi tertarik sekali. Ia mengamati pemuda itu dari kepala sampai ke kaki. Ganteng dan bertubuh kokoh kuat.

   "Hemm, bagaimanapun juga, tentu engkau jauh lebih pandai dari pada aku kalau berada di air!"

   Sun Ting tersenyum dan nampak deretan giginya yang bagus dan bersih, juga kuat.

   "Ah, menyelam dan renang adalah pekerjaan kami sejak kami masih kecil, li-hiap. Akan tetapi mengenai ilmu silat, kami kakak beradik hanya diajar sedikit saja oleh mendiang ayah kami."

   "Hal itu masih harus dibuktikan kelak. Mari kita berangkat, saudara Kam Sun Ting. Kita berkuda saja agar dapat cepat tiba di sana."

   Iapun bertepuk tangan dan dua orang pelayan atau pembantunya muncul. Mereka diutus untuk menyediakan dua ekor kuda yang baik sementara Hek-liong-li mengajak tamunya untuk makan bersama.

   Sun Ting menjadi semakin kagum. Makin dikenal, makin banyak hal-hal mengagumkan pada diri wanita itu. Begitu ramah, dan juga tidak banyak peraturan sehingga mereka berdua makan minum di dalam ruangan makan dengan bebas, bagaikan dua orang sahabat lama saja.

   Wanita itu sama sekali tidak merasa canggung, bahkan dia sendirilah yang agak salah tingkah, karena selamanya belum pernah dia berdekatan dengan seorang wanita, apa lagi wanita secantik itu, bahkan makan bersama! Hal inipun diketahui Hek-liong-li yang menjadi semakin tertarik. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang gagah, jujur dan masih hijau, agaknya belum pernah berdekatan dengan seorang wanita.

   Kemudian berangkatlah mereka menunggang kuda dan di sepanjang perjalanan. Hek- liong-li minta penjelasan lebih lanjut tentang semua peristiwa yang terjadi dan yang diketahui oleh pemuda itu. Sikapnya demikian ramah dan manis sehingga tak lama kemudian mereka telah menjadi akrab, bahkan kadang-kadang Kam Sun Ting lupa bahwa dia melakukan perjalanan dengan seorang gadis yang selain cantik jelita juga amat perkasa, diharapkan oleh pendekar Pek-liong-eng untuk membantunya menghadapi gerombolan penjahat yang kejam dan lihai sekali!

   Hati Kam Cian Li agak kecewa. Selama hidupnya, sampai kini berusia sembilanbelas tahun, belum pernah ia jatuh hati kepada seorang pria dan baru sekaranglah ia benar-benar amat kagum dan tertarik kepada seorang pemuda. Biarpun ia dan kakaknya baru saja mengalami hal yang amat berbahaya dan kini bahkan keselamatan dirinya terancam, namun ia tidak merasa gentar sedikitpun juga. Ia bukan seorang gadis penakut.

   Bahaya bukanlah hal asing baginya. Pekerjaannya sebagai gadis penyelam selalu diliputi bahaya. Akan tetapi sekarang ia merasa amat kecewa. Ia disuruh pulang seorang diri.

   Kakaknya diberi tugas mengundang seorang sababat yang lihai dari Pek-liong-eng, dan pendekar itu sendiri katanya akan melakukan penyelidikan terhadap gerombolan penjahat yang hendak membunuh ia dan kakaknya tadi. Akan tetapi ia sendiri, ia disuruh pulang tanpa tugas apapun, disuruh bersikap seperti biasa. Ia merasa amat kecewa, terutama sekali karena harus berpisah dari pendekar yang dikaguminya itu. Ia telah jatuh cinta!

   Ketika ia mendayung perahunya, timbul rasa penasaran dalam hatinya. Kenapa ia tidak melakukan penyelidikan sendiri? Lima orang penyerangnya tadi, yang semua telah dibikin pingsan dengan perut kembung, mungkin masih menggeletak di atas perahu mereka.

   Ia dapat menyelidiki mereka, mengancam mereka agar mengaku dan menyebutkan nama semua orang yang berdiri di belakang mereka, selain Po-yang Sam-liong! Kalau ia memperoleh keterangan seperti itu, tentu hal itu amat berguna bagi Pek-liong-eng! Dan ia akan berjasa, akan membikin senang hati pendekar itu. Mengapa tidak?

   Dengan penuh semangat Cian Li mendayung perahunya ke tengah, menuju ke arah ditinggalkannya perahu besar yang ditumpangi lima orang penjahat yang sudah pingsan dengan perut kembung tadi. Akan tetapi, ternyata perahu itu sudah tidak ada lagi.

   Cian Li merasa penasaran dan ia terus mendayung perahu berputar-putar di sekitar tempat itu. Agaknya tidak mungkin kalau lima orang telah siuman dan dapat menyingkir dari tempat itu, kecuali kalau mereka itu ditolong orang lain. Kemudian ia melihat berapa perahu-perahu pesiar sudah mulai meninggalkan bandar, bahkan beberapa buah perahu nelayan telah hilir mudik. Maka iapun segera mendayung perahunya menuju pulang.

   Matahari telah naik tinggi ketika ia meninggalkan perahunya dan berjalan menuju ke rumahnya yang berada di sebuah dusun kecil tak jauh dari telaga itu. Dari mendiang ayah mereka, ia dan kakaknya menerima warisan sebuah rumah yang berada di ujung dusun itu, sebuah rumah yang sederhana namun cukup baik.

   Sambil membawa buntalan pakaian dan hasil penyelaman mereka pagi tadi, tidak berapa banyak, Cian Li melenggang dengan langkahnya yang gontai. Kedua kaki gadis ini berbentuk panjang dan kuat sehingga kalau melangkah, ia melenggang dengan lemas sekali, nampak menarik dan menggairahkan. Bentuk tubuh yang panjang ramping itu tentu saja hasil dari pada pekerjaan menyelam dan renang itu.

   Karena rumahnya memang tidak dipenuhi barang berharga, maka pintu rumahnya ditutup begitu saja tanpa dikunci. Ia mendorong daun pintu rumahnya dan melangkah masuk. Dengan hati masih kecewa, ia melemparkan buntalan pakaian dan batu hasil penyelaman itu ke atas meja, lalu memasuki kamarnya untuk membuka jendela. Rumah mereka mempunyai dua buah kamar, sebuah untuknya dan sebuah lagi untuk kakaknya.

   Begitu ia masuk ke dalam kamarnya, tiba-tiba ia menjerit kecil dan matanya terbelalak, mukanya berubah pucat sekali. Seorang laki-laki tinggi besar yang berhidung besar telah berada di dalam kamarnya, dan orang itu menyeringai kepadanya. Mukanya demikian menyeramkan, dengan hidung besar, mata melotot dan gigi yang besar-besar nampak ketika dia menyeringai! Yang membuat ia terkejut adalah karena ia mengenal orang ini sebagai seorang di antara lima penjahat tadi, bahkan si hidung besar ini agaknya yang menjadi pemimpin para penjahat tadi!

   "He-he-he, nona manis, engkau baru datang? Sudah kesal aku menunggumu..... heh- heh-heh!"

   Cian Li cepat membalikkan tubuhnya hendak berlari keluar, akan tetapi ia terbelalak melihat betapa empat orang penjahat lainnya sudah berdiri di depan pintu, menghadangnya sambil menyeringai kejam.

   "Ha-ha-ha, engkau tadi menyiksaku, membenam-benamkan aku ke dalam air. Sekarang tiba saatnya kami membalas dendam. Bersiaplah untuk menerima siksaan sampai mampus!" kata seorang di antara mereka yang perutnya gendut.

   Cian Li merasa bulu tengkuknya meremang. Setankah mereka ini? Setan dari mereka yang telah mati dan kini hidup kembali untuk mengganggunya, membuat pembalasan? Perut gendut ini, bukankah karena perutnya kembung penuh air?

   "Tidak...... tidaaaakk....!" Ia menjerit dengan perasaan ngeri sekali.

   Dari pada menghadapi empat orang itu, lebih baik melawan yang seorang saja di dalam kamar, pikirnya dan iapun membalik lagi ke dalam kamar dan dengan nekat ia menerjang si hidung besar yang menyeringai lebar menyambut terjangannya dengan kedua lengan dikembangkan!

   Cian Li memang pernah belajar silat dari mendiang ayahnya. Akan tetapi ilmu silatnya itu tidak ada artinya dibandingkan dengan si hidung besar itu, seorang penjahat kawakan yang sudah biasa mampergunakan kekerasan dan sudah seringkali berkelahi. Cian Li melakukan dorongan dengan kedua tangannya, dengan maksud membuat si hidung besar itu terpelanting agar ia dapat melarikan diri lewat jendela kamarnya yang tertutup.

   "Plakk!" Si hidung besar menangkis dari samping dengan maksud untuk menangkis dengan satu tangan lalu tangannya yang lain mencengkeram dari samping: Akan tetapi, biarpun ilmu silatnya tidak tinggi, Cian Li memiliki tenaga yang kuat sebagai hasil dari kebiasaannya renang dan menyelam. Pertemuan kedua lengannya yang ditangkis itu sempat membuat si hidung besar terdorong ke samping dan terhuyung! Kesempatan ini dipergunakan oleh Cian Li untuk menggempur daun jendela dengan dorongan kedua tangannya.

   "Brakkkkk......!" Daun jendela itu pecah berantakan dan Cian Li berusaha untuk menerobos keluar. Akan tetapi hanya separuh tubuhnya saja yang sempat keluar karena tiba-tiba kedua pergelangan kakinya ditangkap orang dari belakang! Kiranya yang menangkapnya adalah si hidung besar!

   Kini Cian Li hanya dapat meronta karena tubuh bagian atas sebatas pinggang berada di luar jendela, akan tetapi dari pinggang ke bawah masih berada di dalam kamar. Dengan mudah si hidung besar sambil tertawa-tawa menarik tubuh Cian Li dan sebelum gadis itu sempat melepaskan diri, kedua lengan dari si hidung besar yang panjang dan kuat sekali itu telah memeluknya sehingga kedua tangannya tidak mampu bergerak.

   Si hidung besar itu memeluknya dari belakang. Ia meronta-ronta namun sia-sia belaka. Empat orang kawan si hidung besar, memasuki kamar sambil tertawa-tawa pula melihat gadis itu meronta dalam dekapan pemimpin mereka.

   "Toako, biar kubedah dadanya dan kukeluarkan jantungnya. Enak diganyang mentah- mentah, untuk obat kuat!" kata yang berewokan dengan sikap bengis dan di tangan kanannya nampak sebatang pisau tajam mengkilat.

   "Ia menyiksaku dan membenamkan kepalaku di air. Jangan dibunuh dulu, biar aku akan balas menyiksanya!" kata si perut gendut, siap untuk mempergunakan tangannya mencengkeram gadis yang sudah tidak berdaya itu. Akan tetapi si hidung besar membentak marah.

   "Mundur kalian semua! Sebelum aku selesai dengannya, kalian tidak boleh menyentuhnya! Gadis ini sekarang milikku dan setelah aku selesai dengannya, baru kuberikan kepada kalian. Nah, kalian cepat mencari benda itu sampai dapat. Geledah seluruh rumahnya, bawa semua yang berharga dan bakar saja yang tidak ada artinya!"

   Empat orang itu tidak berani membantah dan merekapun keluar dari kamar itu, meninggalkan si hidung besar berdua saja dengan gadis yang masih meronta-ronta dengan sia-sia dalam rangkulannya yang seperti dekapan seekor biruang itu.

   "Heh-heh, sejak di perahu itu aku sudah tergila-gila padamu, nona manis. Engkau cantik manis dan tubuhmu indah!" Si hidung besar melemparkan tubuh Cian Li ke atas pembaringan gadis itu.

   Cian Li terbanting ke atas pembaringannya dan cepat ia bangkit untuk melompat, melawan atau melarikan diri. Akan tetapi dengan cepat pula si hidung besar sudah menubruknya sehingga ia terjengkang kembali dan mereka bergumul di atas pembaringan itu.

   Cian Li melawan sekuat tenaga, meronta dan sekali ini berkat pekerjaannya berenang dan menyelam, ia tertolong. Tubuhnya telah menjadi kuat dan licin, dengan menggeliat-geliat ia selalu mampu menghindar sehingga biarpun pakaiannya sudah robek di sana-sini, namun si hidung besar tidak mampu menghimpitnya, bahkan beberapa kali Cian Li berhasil mencakar, menampar bahkan menggigitnya.

   Akhirnya si hidung besar menjadi marah dan penasaran bukan main. Tubuhnya sakit-sakit karena ulah gadis itu dan agaknya sampai habis tenaganya, akan sukar ia menundukkan gadis yang seperti seekor kuda betina liar ini, atau seekor anak harimau yang mengamuk. Dia melompat ke samping dan dicabutnya golok besarnya yang tadi dia taruh di atas meja. Golok yang amat tajam itu kini menempel di leher Cian Li, dan si hidung besar menghardik.

   "Hayo diam dan jangan bergerak! Kalau engkau tidak mau menyerahkan diri, terpaksa akan kusembelih kau!"

   Di sinilah letak kesalahan perhitungan si hidung besar. Dia mengira bahwa gadis ini sama seperti para korbannya yang sudah-sudah, yaitu merupakan seorang wanita yang takut mati dan akan menyerah bulat-bulat karena takut mati! Akan tetapi, Cian Li bukan seorang gadis penakut. Baginya, lebih baik ia mati dari pada harus menyerahkan kehormatannya tanpa melawan mati-matian.

   Melihat golok tajam itu menempel di lehernya dan si hidung besar mengancam, tiba-tiba saja ia bergerak ke depan dan kaki kanannya menendang sekuat tenaga. Yang diarahnya adalah bawah pusar. Akan tetapi si hidung besar sempat menarik tubuh ke belakang.

   "Bukk!" Yang kena tendang adalah perutnya yang gendut. Hampir dia terjengkang, dan perutnya terasa nyeri juga. Kemarahannya memuncak dan semua nafsu berahinya terbang entah ke mana, terganti nafsu amarah dan kebencian yang hanya akan mereda kalau dia sudah melihat darah tersembur dari tubuh yang sekarat.

   "Perempuan keparat! Mampuslah!" Bentaknya dan kini goloknya menyambar ganas ke arah leher Cian Li.

   "Tukk!" Golok itu terlepas dari pegangan "i hidung besar dan jatuh ke atas lantai ketika sebuah tangan menangkis pergelangan lengan si hidung besar dari samping. Kemudian, tangan itu dilanjutkan dengan sebuah tamparan dan si hidung besar terpelanting dan terbanting keras.

   "Hay koko......!" Cian Li berseru girang sekali melihat munculnya pendekar muda berpakaian putih itu.

   "Biar kubereskan yang lain!" kata Pek-liong sambil berkelebat keluar dari kamar itu.

   Akan tetapi, hanya seorang penjahat lagi saja yang dia robohkan karena tiga orang yang lain sudah melarikan diri, dan bagian belakang rumah itu sudah terbakar! Pek-liong memadamkan kebakaran itu sebelum dia kembali ke kamar Cian Li dan matanya terbelalak melibat betapa tubuh si hidung besar itu telah menjadi mayat dan sebatang golok besar masih menancap dalam sekali di dadanya. Cian Li berdiri di sudut kamar itu dengan termenung.

   "Li-moi......!" Pek-liong berseru.

   "Apa yang kaulakukan ini?"

   Cian Li sadar dan terisak menangis.

   "Kubunuh dia......! Dia... dia terlalu jahat. Ah, kalau engkau tidak segera datang......"

   Pek-liong menarik napas panjang.

   "Sudahlah, Li-moi. Mungkin memang sudah tiba saatnya dia harus menebus kejahatannya dengan kematian. Akan tetapi, sekarang engkau harus meninggalkan rumah ini karena mereka tentu tidak akan tinggal diam."

   "Tapi...... tapi ke mana aku harus pergi?"

   "Untuk sementara kita tinggal di rumah penginapan saja."

   "Kita...... berdua.....?" Gadis itu mengerling dan wajahnya berubah kemerahan, akan tetapi mulutnya tersenyum.

   "Ya, kita berdua. Mulai sekarang aku harus selalu melindungimu."

   Senyum itu melebar.

   "Benarkah, Hay-ko? Engkau tidak akan meninggalkan aku lagi seperti tadi?"

   "Tadipun aku diam-diam membayangimu, adik manis. Memang engkau sengaja kujadikan umpan agar mereka datang. Tidak tahunya mereka sudah menunggumu di dalam rumahmu, sungguh hal yang tidak kusangka-sangka. Untung aku tidak terlambat dan melihat ketika mereka membakar rumahmu."

   "Kalau begitu, mari kita ke kota Hay-ko."

   "Tentu saja kita akan menggunakan dua buah kamar, Li-moi, sebuah untukmu dan sebuah untukku."

   Gadis itu diam saja, akan tetapi senyumnya berubah masam. Ia sendiri merasa heran mengapa perasaannya menjadi demikian tak tahu malu, ingin sekamar dengan pendekar itu dan hatinya merasa kecewa mendengar bahwa mereka akan menggunakan dua buah kamar. Teringat akan ini, wajahnya menjadi semakin merah.

   Mereka lalu meninggalkan perkampungan itu tanpa dilihat orang, pada saat para penghuni dusun lari berdatangan melihat rumah kakak beradik itu kebakaran bagian belakangnya. Mereka lalu memadamkan sisa api dan memeriksa ke dalam. Akan tetapi, mereka terheran-heran melihat bahwa rumah itu kosong, kakak beradik penyelam batu itu tidak ada dan mereka hanya menemukan keadaan kamar yang berserakan.

   Mereka tidak tahu bahwa baru saja seorang tinggi besar memondong sesosok mayat melarikan diri dari rumah itu. Dia adalah penjahat yang tadi dirobohkan Pek-liong. Penjahat ini menemukan mayat si hidung besar dan melarikan mayat itu tanpa diketahui orang.

   Pek-liong mengajak Cian Li pergi ke Telaga Po-yang. Dia bertekad untuk mencari keterangan tentang Po-yang Sam-liong karena dia merasa yakin bahwa lima orang penjahat itu adalah anak buah Po-yang Sam-liong, maka tentu tiga orang tokoh sesat itu yang menjadi biang-keladi penyerangan terhadap kakak beradik Kam, juga mereka pula yang mungkin sekali membunuh dua oraug pendeta, tentu saja dengan kawan-kawan mereka yang tergabung sebagai para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi! Dari tiga orang itulah dia mungkin akan dapat membuat kontak dengan beng-cu yang berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi itu.

   Akan tetapi, setiap orang nelayan atau pemilik perahu pelesir di telaga itu juga sama halnya dengan kakak beradik Kam. Tak seorangpun di antara mereka yang tidak mengenal nama Po-yang Sam-liong, akan tetapi tak seorangpun mengetahui di mana mereka tinggal. Mungkin ada yang tahu, akan tetapi siapakah berani membuka rahasia tiga orang tokoh sesat yang amat mereka takuti itu?

   Penyelidikan yang dilakukan Pek-liong sia-sia belaka.

   "Mereka tidak pernah muncul sendiri di sini," kata seorang nelayan yang agak berani.

   "Mereka menagih pajak melalui kaki tangan mereka yang banyak sekali. Kami tidak tahu dan tidak pernah berani menanyakan di mana tempat tinggal mereka."

   Ah, tidak ada lain jalan kecuali menanti munculnya seorang kaki tangan mereka, menangkap orang itu dan memaksanya mengaku di mana dia dapat bertemu dengan mereka, pikir Pek-liong. Karena hari mulai gelap, dia lalu mengajak Cian Li pergi ke kota Nan-cang dan mereka menyewa dua buah kamar di sebuah rumah penginapan kecil agar tidak menyolok dan tidak menarik perhatian.

   Bagaimanapun juga, Pek-liong masih mengharapkan bahwa Cian Li tetap merupakan "umpan" yang akan menarik datangnya kakap yang dia kehendaki. Dengan tewasnya si hidung besar oleh gadis itu, tidak mungkin mereka melupakan gadis itu demikian saja dan sekali waktu, pasti mereka yang akan datang mencari Cian Li. Syukur kalau Po-yang Sam-liong yang datang sendiri agar dia tidak usah bersusah payah mencari mereka.

   Setelah mandi, makan di sebuah restoran terdekat, mereka memasuki kamar masing-masing untuk beristirahat.

   "Engkau tidurlah, Li-moi, dan jangan khawatir, aku selalu menjagamu. Kalau engkau mendengar sesuatu yang tidak wajar, berdiam sajalah di kamar, jangan membuka jendela atau daun pintu," demikian pesan Pek-liong kepada gadis itu yang kelihatan lesu dan sedih ketika memasuki kamarnya.

   Bagaimana gadis itu tidak berduka? Kakaknya pergi dan ia tidak dapat kembali ke rumahnya sendiri, selalu terancam keselamatannya oleh gerombolan penjahat, dan pemuda yang diandalkannya itu, yang melindunginya berpisah kamar!

   Pek-liong-eng Tan Cin Hay tidak merebahkan badannya, melainkan duduk bersila di atas pembaringan tanpa melepas sepatunya. Dia tahu bahwa dia harus siap sedia menjaga keselamatan gadis di kamar sebelah dan dia tidak boleh lengah. Dengan duduk bersila, dia dapat melepaskan lelah, akan tetapi juga sekaligus dapat berjaga-jaga karena biarpun dia beristirahat, namun pendengarannya menjadi peka dan kalau ada suara yang tidak wajar sedikit saja pasti akan terdengar olehnya dan membuat dia sadar.

   Menjelang tengah malam, dia membuka kedua matanya. Telinganya mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya. Cepat dia turun dari pembaringan dan mendekati jendela. Daun jendela itu hanya dia tutup begitu saja, tidak dipalang agar memudahkan dia keluar kalau perlu.

   Kini dia mendorong sedikit kedua daun pintu sehingga terdapat kerenggangan di antara dua buah daun pintu itu. Kamarnya gelap, maka dia dapat mengintai ke luar di mana terdapat lampu gantung.

   Pek-liong menggigit giginya dengan gemas ketika dia mengenal empat orang laki-laki tinggi besar berada di luar kamar Cian Li! Mereka adalah empat orang penjahat yang tadi telah menyerbu rumah gadis itu.

   Betapa beraninya mereka itu! Betapa keras kepala dan dia harus memberi hajaran yang keras sekarang, menangkap mereka atau seorang di antara mereka untuk dipaksa mengaku di mana dia dapat bertemu dengan Po-yang Sam-liong.

   Jelas bahwa mereka itu datang untuk mengganggu Cian Li. Kasihan gadis itu. Tidak perlu dibikin kaget lagi, Biarkan ia tidur nyenyak, demikian pikir Pek-liong dan sekali dorong, daun jendela terbuka dan di lain saat dia sudah meloncat keluar dari dalam kamarnya.

   "Jahanam, kalian agaknya sudah bosan hidup!" bentaknya lirih agar jangan membuat gaduh.

   Empat orang itu menengok dan melihat pemuda berpakaian putih itu, mereka lalu melompat dan melarikan diri! Pek-liong tersenyum dan melakukan pengejaran. Memang dia ingin menggertak mereka agar pergi dari situ dan dia akan menghajar mereka di tempat sunyi, bukan di rumah penginapan itu yang akan mengejutkan semua orang, termasuk Cian Li. Dia tidak ingin menjadi pusat perhatian orang.

   Seperti yang diharapkannya, empat orang tinggi besar itu melarikan diri keluar kota. Untung pada malam itu udara bersih, bulan bersinar terang sehingga dia dapat terus membayangi empat orang itu. Dia sudah cukup berhati-hati. Karena maklum bahwa dia bermain dengan api yang besar, dan setiap saat ada bahaya mengancam, maka sejak meninggalkan rumah Cian Li, dia selalu meninggalkan tanda rahasia sebagai jejaknya. Siapa tahu, Hek-liong-li mungkin akan membutuhkan tanda-tanda itu!

   Empat orang itu membelok memasuki pekarangan sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi. Kuil itu besar dan kuno, namun kotor karena memang sudah tidak terawat dan tidak dipergunakan, merupakan bangunan kuno peninggalan sejarah.

   Ketika Pek-liong tiba di pekarangan kuil kuno itu, empat orang yang dibayanginya telah memasuki kuil. Selagi dia mengamati ke arah kuil dengan hati-hati, tiba-tiba dari kanan kiri bermunculan tujuh orang dan mereka itu bukan lain adalah empat orang penjahat tadi, kini ditambah dengan tiga orang yang tubuhnya lebih besar dari pada mereka berempat.

   Tiga orang ini dapat disebut sebagai raksasa-raksasa yang menyeramkan! Mereka bertiga berdiri di depan pintu kuil dan seorang di antara mereka, yang mukanya penuh cambang bauk dan berewok, berseru kepada empat orang penjahat untuk menyerang.

   Empat orang itu dengan penuh semangat sudah menggerakkan senjata di tangan mereka, ada yang memegang pedang, ada yang memegang golok dan ada pula yang membawa ruyung besi. Dari empat jurusan, mereka membacok dan menusuk ke arah Pek-liong. Namun, Pek-liong-eng sudah waspada. Gerakan mereka itu tidak ada artinya baginya, mereka hanya mengandalkan tenaga otot saja.

   Dengan amat mudahnya, dia mengelak dari sambaran senjata itu, kemudian dengan gerakan amat cepat, dia sudah berkelebatan ke empat penjuru dan empat orang pengeroyok itu terpelanting roboh terkena tamparan dan tendangannya. Sekali ini, mereka roboh pingsan, ada yang menderita tulang patah dan luka dalam yang cukup membuat mereka selama beberapa hari tidak akan dapat berkelahi lagi!

   Melihat ini, tiga orang raksasa itu menjadi marah.

   "Bagus, kiranya engkau memiliki kepandaian lumayan juga, orang muda! Pantas saja engkau berani menentang kami!" kata si berewok. Mereka kini maju menghadapi Pek-liong dan pemuda ini memandang kepada mereka penuh perhatian.

   Sinar bulan cukup terang untuk dapat mengamati wajah mereka. Seorang di antara mereka yang hrewok itu memegang sebatang golok gergaji yang besar dan mengerikan. Orang kedua berkepala botak dan memegang sebatang pedang pendek. Adapun orang ketiga yang menyeringai dan memperlihatkan mulut ompong, memegang sebatang rantai baja. Ketiganya tinggi besar dan usia mereka kurang lebih empatpuluh tahun.

   "Hemm, apakah kalian ini yang berjuluk Po-yang Sam-liong?" tanya Pek-liong dengan sikap tenang.

   "Benar sekali. Kamilah Po-yang Sam-liong. Namaku Poa Seng, ini adikku Poa Leng dan itu adikku Poa Teng. Engkau siapa, orang muda dan mengapa engkau membela kakak beradik penyelam itu dan berani menentang kami di wilayah kami sendiri?"

   "Namaku Tan Cin Hay. Tentu saja aku menentang setiap perbuatan busuk dan jahat. Kakak beradik Kam itu tidak berdosa, mengapa kalian hendak membunuh mereka? Dan mengapa pula Tiong Tosu dan Yong Hwesio itu dibunuh? Bukankah kalian juga ikut campur dalam pembunuhan itu? Bukankah kalian disuruh oleh majikan kalian, yaitu Beng-cu yang berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi? Hayo katakan terus terang, atau aku akan memaksa kalian mengaku!"

   Tiga orang raksasa itu terbelalak, saling pandang lalu si berewok tertawa bergelak, diikuti oleh dua orang adiknya.

   "Ah, kiranya engkau sudah tahu terlampau banyak, karena itu engkau harus mampus! Engkau hendak memaksa kami mengaku? Ha-ha-ha, alangkah lucunya! Seekor cacing hendak menggertak tiga ekor naga!"

   Tiga orang raksasa itu kini mengepung dalam bentuk segi tiga, senjata mereka siap di tangan. Pek-liong-eng maklum bahwa kini para pengepungnya tidak boleh disamakan dengan empat orang tadi. Mereka ini telah membuat nama besar di Po-yang dan tentu mereka telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi.

   Dari gerakan mereka saja sudah dapat diduga bahwa mereka setidaknya memiliki tenaga yang amat kuat, karena itu, tiga macam senjata mereka itu cukup berbahaya. Sekarang belum waktunya untuk membunuh mereka, pikirnya. Masih banyak yang harus dikorek dari mereka untuk mengetahui rahasia itu. Rahasia beng-cu mereka dan rahasia peta Patung Emas.

   Dia menduga bahwa tentu ada hubungannya dengan semua pembunuhan yang diceritakan oleh Yong Hwesio mengenai perebutan peta Patung Emas dengan beng-cu mereka itu. Maka, dia hendak menggunakan siasat. Kalau mereka maju bertiga, baginya terlalu berbahaya kalau tidak merobohkan mereka dengan keras, kalau perlu membunuh mereka. Sukar menaklukkan tiga orang kuat ini kalau hanya menundukkan saja.

   "Hemm, kiranya yang bernama besar Po-yang Sam-liong bukanlah naga-naga sejati, melainkan ular-ular belang yang licik dan curang, beraninya hanya main keroyok seperti pencoleng-pencoleng pasar saja!" katanya dengan nada mengejek.

   Mendengar ini, tiga orang tokoh sesat itu menjadi marah sekali. Marah dan malu. Muka mereka berubah merah dan si berewok menghardik.

   "Siapa hendak mengeroyok? Sam-te, kautangkap bocah sombong lancang mulut ini!" Si berewok memerintah adiknya, yaitu Poa Teng yang bermulut ompong dan bersenjata rantai baja.

   Si ompong ini segera melangkah maju menghadapi Pek-liong. Rantai baja itu diputar-putar dan mengeluarkan suara angin bersiutan. Makin lama, putaran rantai itu semakin kuat dan cepat, dan rantai itupun diulur semakin panjang.

   "Bocah sombong, mampuslah!" tiba-tiba si ompong membentak dan ujung rantai bajanya menyambar ke arah muka Pek-liong.

   Pemuda ini cepat mengelak dengan langkah ke belakang. Akan tetapi, rantai itu membalik dan kini menyambar ke arah pinggangnya. Pek-liong kembali mengelak dengan loncatan ke samping, ujung rantai yang lain kini menyambar, dari bawah ke atas mengarah perut!

   Memang hebat sekali gerakan Poa Teng itu. Rantai bajanya dapat bergerak cepat, menyerang secara bertubi dari arah yang berlawanan dan tidak terduga-duga. Bukan hanya satu ujung rantai saja yang bergerak, melainkan juga ujung yang lain.

   Namun, Pek-liong cukup waspada. Dengan langkah-langkah yang amat cepat, loncatan"loncatan ringan, dia selalu dapat mengelak. Sampai belasan jurus dia terus mengelak karena rantai itu kini menyerang bergantian dengan kedua ujungnya. Tiba-tiba, ketika Pek-liong melompat agak jauh ke belakang, rantai itu menyerang dan terulur panjang! Saat inilah yang dinanti-nanti oleh Pek-liong.

   Dengan terulur panjang, berarti rantai itu hanya dapat dipergunakan satu ujungnya saja, sedangkan ujung yang lain menjadi gagang atau tempat berpegang pemiliknya. Begitu melihat ujung rantai panjang itu menyambar, Pek-liong kini tidak mengelak lagi melainkan menangkis dengan lengannya!

   "Plak!" Rantai itu melibat dan memang ini dikehendaki oleh Pek-liong. Tangannya cepat ditekuk dan dia sudah berhasil menangkap ujung rantai, lalu dia mengerahkan tenaga menarik! Betapapun kuatnya Poa Teng, dia tidak mampu bertahan dan tubuhnya ikut tertarik ke depan! Namun, dia mengerahkan tenaga dan bertahan.

   Terjadilah tarik menarik dan tubuh Poa Teng yang berat itu bergantung ke belakang agar tarikannya lebih kuat lagi. Tiba-tiba Pek-liong melepaskan ujung rantai yang dipegangnya, bahkan melontarkannya ke arah pemiliknya.

   Tak dapat ditahan lagi, tubuh Poa Teng terjengkang keras dan begitu dia terbanting, ujung rantai yang dilontarkan Pek-liong datang menimpa dadanya.

   "Bukkk!!" Poa Teng mengaduh dan sejenak dia tidak mampu bangkit karena dadanya terasa nyeri bukan main dan berdarah.

   "Keparat, berani engkau menghina adikku!" bentak Poa Leng.

   Si botak ini sudah menyerang dengan tombak pendeknya, tombak itu menusuk ke arah pelipis Pek-liong dan ketika pemuda itu mengelak dengan menarik kepala ke belakang, tombak itu sudah menyambar lagi ke arah tenggorokannya. Pek-liong terkejut, Si botak ini lihai juga, pikirnya sambil merendahkan tubuhnya ke belakang lagi, kakinya bergeser dan sekali melangkah, dia telah berada di sebelah kanan lawan. Namun, tombak itu sudah menyambar lagi dan kini diikuti oleh gerakan tangan kiri yang mencengkeram ke arah lambung!

   Pek-liong meloncat ke kiri dan tiba-tiba ada angin keras menyambar. Kiranya golok gergaji di tangan Poa Seng si berewok telah menyambar. Dia cepat mengelak dan rantai baja Poa Teng kini juga ikut mengeroyoknya. Dia dikeroyok tiga!

   Dengan kelincahan tubuhnya, Pek-liong berloncatan ke sana-sini dan mencari kesempatan untuk merobohkan lawannya satu demi satu. Kalau dia menghendaki, tentu saja dia dapat mempergunakan pukulan yang ampuh untuk membunuh mereka, atau kalau dia mengeluarkan pedang pusaka Naga Putih yang disembunyikan di balik bajunya, dengan sekali serang saja dia akan mampu membuat patah semua senjata di tangan mereka. Akan tetapi dia tidak ingin membunuh karena dia masih membutuhkan mereka, dan diapun merasa mampu menandingi mereka tanpa senjata.

   Mendadak terdengar bentakan nyaring.

   Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tahan semua senjata! Sam-liong, mundurlah! Pek-liong-eng, menyerahlah! Lihat siapa yang berada di tanganku!"

   Tiga orang raksasa itu menahan senjata lalu mundur dengan patuh. Pek-liong menoleh dan dia terkejut melihat Kam Cian Li sudah ditelikung kedua tangannya ke belakang oleh seorang pemuda tampan, dan pemuda itu menempelkan pedangnya di leher gadis itu! Maklumlah dia bahwa dia telah tertipu. Dia hendak memancing, malah terpancing!

   Kiranya empat orang tinggi besar tadi sengaja datang ke rumah penginapan untuk memancingnya keluar dari rumah penginapan, meninggalkan Kam Cian Li seorang diri dan pemuda tampan itu telah menawannya! Diapun menjadi lemas, merasa tertipu dan tidak berdaya! Akan tetapi, dia teringat kepada Hek-liong-li dan tiba-tiba saja Pek-liong membuat lompatan jauh dan diapun menghilang di samping kuil.

   Para musuhnya menjadi terkejut dan sejenak tidak tahu harus berbuat apa. Akan tetapi tak lama kemudian, pemuda berpakaian putih tu telah muncul pula di atas wuwungan genteng kuil tua itu, berdiri tegak sambil bertolak pinggang, suaranya terdengar penuh wibawa ketika dia berseru.

   "Kalian orang-orang rendah dan pengecut! Lepaskan gadis tak berdosa itu dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!"

   Po-yang Sam-liong diam saja, juga empat orang pembantunya yang tadi dipukul roboh oleh Pek-liong dan kini sudah bangkit kembali, hanya berdiri dan tidak banyak cakap. Pemuda yang menawan Cian Li itulah yang menjawab setelah tertawa mengejek.

   "Pek-liong-eng Tan Cin Hay, tidak perlu bersikap gagah-gagahan. Turunlah dan mari kita bicara. Kalau engkau menyerah dengan damai, baik sekali. Kalau tidak, apakah engkau ingin melihat aku menyembelih gadis ini di depan matamu?"

   Pek-liong mengukur dengan matanya. Kalau dia menggunakan jurus dari Pek-liong Sin-kun dan menyambar dari bawah menyerang pemuda yang menawan Cian Li itu, terlalu berbahaya bagi Cian Li. Dia belum tahu sampai di mana kelihaian pemuda itu, dan dia tidak boleh mempertaruhkan keselamatan nyawa Cian Li.

   "Hay-koko, jangan mau menyerah! Biar mereka membunuhku, jangan kau menyerah!" Gadis itu berteriak dan mendengar teriakan ini, si pemuda itu lalu menggunakan tangan kirinya menotok.

   Sekali totok, tubuh gadis itu menjadi lemas dan ia tidak dapat meronta atau mengeluarkan suara lagi. Gerakan totokan ini saja sudah cukup bagi Pek-liong untuk mengetahui bahwa pemuda itu lihai bukan main! Akan celakalah keselamatan nyawa Cian Li kalau dia mencoba-coba untuk menyerang. Diapun menarik napas panjang.

   "Hemm, sobat. Engkau lihai akan tetapi licik dan curang bukan main. Baiklah, aku akan turun dan bicara denganmu!" Diapun melayang turun ke depan pemuda itu dan keduanya kini saling berhadapan dan saling pandang dengan penuh perhatian.

   Pek-liong tidak mengenal pemuda itu. Seorang pemuda yang tidak begitu muda lagi, sedikitnya tentu ada tigapuluh lima tahun usianya. Wajahnya tampan, matanya tajam dan senyumnya genit. Pakaiannya, sungguh aneh sekali, juga serba putih seperti pakaiannya sendiri. Hanya bedanya, kalau pakaiannya yang putih itu terbuat dari kain yang kuat dan kasar, berpotongan sederhana saja, sebaliknya pakaian putih pemuda itu terbuat dari sutera halus dan disulam.

   "Sobat, engkau sudah mengenalku, akan tetapi aku belum pernah bertemu denganmu dan belum mengetahui siapakah engkau ini, dan mengapa pula engkau mempergunakan akal busuk ini untuk memaksa aku menyerah?" tanya Pek-liong dengan senyum mengejek. Orang itu mengamatinya dan ada sinar kagum membayang di matanya.

   "Sungguh mengagumkan sekali. Kukira yang berjuluk Pek-liong-eng adalah seorang yang sudah matang dan sudah cukup umur. Kiranya seorang pemuda yang belum dewasa benar! Pek-liong-eng, aku bernama Ciong Koan dan orang menyebut aku Pek I Kongcu (Tuan Muda Pakaian Putih)."

   "Ah, kiranya murid Kun-lun-pai yang murtad itu?" Pek-liong berseru karena dia sudah pernah mendengar nama ini.

   "Seorang kongcu, yang curang dan tidak pantas disebut kongcu, juga wataknya amat hitam walaupun pakaiannya dari sutera putih!"

   Sepasang alis yang tebal hitam itu berkerut dan mata itu kini memancarkan kemarahan.

   "Cukup, Pek-liong-eng! Engkau menyerah dengan damai atau harus ku bunuh dulu gadis ini?"

   Tahu bahwa orang itu marah dan menjadi berbahaya sekali bagi keselamatan Cian Li, Pek-liong lalu menarik napas panjang kembali.

   "Baiklah, aku menyerah. Akan tetapi, apa artinya semua ini? Aku berkenalan dengan Tiong Tosu dan Yong Hwesio, dan kalian membunuh mereka tanpa sebab! Kemudian, aku berkenalan dengan gadis penyelam itu dan kalian juga berusaha membunuhnya. Ada apakah di balik semua permainan kotor ini?" Pertanyaan ini diajukan dengan suara penasaran seolah-olah dia memang merasa penasaran sekali.

   Kini Pek I Kongcu Ciong Koan tersenyum mengejek.

   "Tidak perlu banyak cakap. Engkau menyerah saja, membiarkan kedua tanganmu dibelenggu dan engkau bersama gadis ini akan kami hadapkan kepada Beng-cu! Di sana baru engkau boleh bicara. Tugas kami hanya menawan kalian berdua!"

   Cian Li memandang pemuda yang dikaguminya itu. Wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak seperti mata kelinci yang dicengkeram harimau. Mata itu indah sekali, Pek-liong masih sempat kagum. Dan gadis itu menggeleng-geleng kepalanya kepada Pek-liong, seolah-olah hendak memintanya agar dia tidak mau menyerah.

   Akan tetapi, kalau dia tidak menyerah, belum tentu dia akan mampu menyelamatkan Cian Li, pikir Pek-liong. Pula, kiranya hanya dengan jalan menyerahkan diri saja dia akan dapat menyelidiki dengan baik untuk membongkar rahasia mereka.

   "Baiklah, aku menyerah...... tapi......" Dia nampak meragu karena tiba-tiba dia teringat bahwa Pedang Naga Putih berada di balik jubahnya. Kalau dia menyerahkan diri, sudah pasti sekali orang-orang sesat itu akan merampasnya dan hal ini amatlah berbahaya.

   "Nanti dulu, aku khawatir, jangan-jangan kalian ini bertindak curang. Biar aku memberitahu dulu kawanku sehingga kalau kalian curang dan membunuh aku dan nona Kam Cian Li, kawanku itu yang akan membalas dendam dan menumpas kalian!"

   Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja dia meloncat jauh dan dalam beberapa detik saja bayangannya lenyap dari situ. Tentu saja Pek I Kongcu Ciong Koan menjadi terkejut, akan tetapi diapun menjadi ragu-ragu karena tidak dapat menduga apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh Pek-liong-eng yang dia tahu amat lihai itu.

   Untuk melakukan pengejaran dia tidak berani. Maka dia hanya dapat mengerutkan alisnya dan memandang kepada Kam Cian Li yang masih bersikap tabah dan tenang itu.

   "Nona, kebohongan dan akal busuk apakah yang sedang dilakukan oleh Pek-liong-eng itu?"

   Gadis itu tersenyum mengejek.

   "Pek-liong-eng tidak pernah berbohong dan tidak pernah menggunakan akal busuk! Kalau dia mengatakan mempunyai kawan baik, hal itu memang benar. Kawan-kawannya adalah bangsa malaikat dan dewa yang tentu kelak akan menumpas kalian kalau kalian bertindak curang!"

   Tentu saja Pek I Kongcu bukan seorang bodoh dan tahyul yang mudah saja digertak dan dibohongi. Akan tetapi sebelum dia bicara lagi, tiba-tiba terdengar suara Pek-liong-eng.

   "Ucapan nona Kam Cian Li memang benar!" Dan muncullah Pek-liong-eng yang tersenyum-senyum.

   Pek I Kongcu memandang penuh perhatian, akan tetapi tidak melihat perubahan apapun pada diri pendekar itu yang dapat dicurigai. Tentu saja dia tidak tahu bahwa sebatang pedang pusaka ampuh yang tadinya tersembunyi di balik jubah, kini telah tidak ada lagi.

   "Nah, aku menyerah dan cepat bawa kami menghadap pemimpin kalian!" kata Pek-liong-eng Tan Cin Hay sambil menjulurkan kedua lengannya ke depan.

   Pek I Kongcu memberi isyarat kepada Po-yang Sam-liong yang menjadi pembantunya.

   "Belenggu kedua lengannya, satukan dengan gadis ini!" katanya.

   Karena memang sudah diatur terlebih dahulu, mereka sudah mempersiapkan pula sebuah rantai panjang yang kuat dan di ujung rantai itu terdapat belenggu-belenggu yang kuat pula. Tanpa melawan, Tan Cin Hay membiarkan kedua pergelangannya yang disatukan itu dibelenggu, kemudian belenggu di ujung rantai yang lain dipergunakan membelenggu kedua tangan Cian Li.

   Gadis itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan ia tersenyum girang ketika ia berdiri berdampingan dengan Pek-liong-eng. Rantai itu menyatukan mereka, membuat mereka tak dapat saling berpisah jauh dan selalu berdampingan, seperti sepasang pengantin! Pek-liong-eng sendiri sampai merasa heran sekali melihat gadis manis itu tersenyum-senyum demikian gembiranya!

   Setelah melihat Pek-liong-eng dibelenggu, Ciong Koan sendiri lalu menggeledah dan memeriksa tubuh Pek-liong-eng untuk mencari senjata yang disembunyikan. Akan tetapi dia tidak menemukan apa-apa dan diam-diam Pek-liong-eng merasa bersyukur bahwa pada saat terakhir dia teringat kepada pedang pusakanya dan masih sempat mengelabuhi mereka dan menyimpan senjata itu di tempat persembunyian yang hanya dia sendiri mengetahuinya.

   "Ha-ha, orang she Ciong. Kalau engkau mencari uang dan emas, engkau tidak akan mendapatkannya padaku!" Pek-liong berkata sambil tersenyum mengejek.

   Wajah Pek I Kongcu Ciong Koan menjadi kemerahan. Ucapan itu sama dengan mengatakan bahwa dia adalah seorang yang suka mencopet atau merampas barang orang! Dia dianggap sebagai seorang penjahat pasar yang kecil saja. Akan tetapi, dia tidak mampu membalas karena bagaimanapun juga "kemenangannya" sekali ini adalah kemenangan yang tidak boleh dibanggakan.

   Dia memaksa Pek-liong menyerah bukan dengan mengalahkannya dalam perkelahian, melainkan memaksanya dengan menyandera gadis itu. Sebetulnya, diapun ingin sekali menguji kepandaian pendekar itu sampai tuntas dan dia harapkan sekali waktu akan mampu membuat pendekar itu menyerah di bawah todongan pedangnya yang ampuh.

   "Mari kita pergi!" Hanya demikian dia mendengus untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, memberi isyarat kepada Po-yang Sam-liong. Dua orang tawanan itu digiring oleh Po-yang Sam-liong, diikuti pula oleh Pek I Kongcu, dan empat orang anak buah mereka yang telah luka-luka itu menyusul di belakang sambil terpincang dan terhuyung.

   Kam Cian Li menengok ke kanan kiri, ke belakang, dan ia tersenyum-senyum, nampak gembira sekali.
(Lanjut ke Jilid 20)
Sepasang Naga Penakluk Iblis (Seri ke 01-Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo

   Jilid 20
Melihat ini, tentu saja Pek-liong menjadi heran dan khawatir. Jangan-jangan saking takutnya dan gelisahnya, gadis manis ini menjadi sinting, pikirnya.

   "Cian Li. kenapa engkau senyum-senyum begini gembira?" Tak dapat dia menahan keinginan tahunya dan dia bertanya dengan suara berbisik.

   Dengan wajah berseri dan mulut tersenyum sehingga nampak semakin manis, gadis itu menoleh kepada Pek-liong yang berjalan di samping kirinya.

   "Hay-ko, apakah engkau tidak merasa seperti yang kurasakan?"

   Berbalik ditanya, Pek-liong mengerutkan alisnya dan menjawab.

   "Yang kurasakan sama sekali bukan kegembiraan. Kita menjadi tawanan, tidak ada alasannya untuk bergembira. Apa sih yang membuatmu begini gembira?"

   "Koko, kita berjalan bersanding seperti ini, di belakang kita ada para pengikut kita. Aku merasa seperti menjadi sepasang pengantin! Bukankah menggembirakan sekali?"

   Sejenak Pek-liong terbelalak, akan tetapi dia lalu tersenyum, diam-diam dia memuji ketabahan hati gadis manis ini dan ada keharuan karena dia dapat melihat bahwa gadis manis ini agaknya telah jatuh cinta kepadanya. Hanya seorang gadis yang jatuh cinta saja yang menjadi begitu gembira membayangkan dirinya menjadi pengantin dengan pria yang dicintanya, tentu saja!

   "Aih, engkau ini ada-ada saja, Li-moi!" katanya sambil tertawa, akan tetapi dia berbisik lirih sekali, menggunakan khi-kang sehingga suaranya hanya dapat didengar oleh telinga gadis itu sendiri.

   "Engkau harus pandai mengulur waktu dan bersikap sabar sampai munculnya kakakmu dan Liong-li......"

   "Apakah...... ia akan benar-benar muncul?" balas Cian Li berbisik lirih.

   "Sudah pasti, jangan engkau gelisah."

   "Siapa gelisah? Aku gembira malah, koko!"

   Pek-liong mengatupkan mulutnya agar tidak bicara lagi. Gadis ini amat pemberani, dan saking beraninya, jangan-jangan malah akan merusak siasat dan rencananya. Dia membiarkan diri ditawan bukan semata untuk menyelamatkan Cian Li, melainkan terutama sekali agar dia dapat mengetahui dengan jelas keadaan gerombolan yang dipimpin seorang di antara Kiu Lo-mo itu.

   Dia tahu bahwa dia telah melakukan permainan berbahaya, mempertaruhkan nyawanya. Andaikata dia tidak mengatur rencana siasat, tidak merasa yakin bahwa tentu Hek-liong-li akan muncul, tentu dia tidak akan melakukan permainan gila ini. Menyerah kepada seorang datuk sesat seperti Siauw-bin Ciu-kwi yang baru dikenal namanya saja, seorang di antara datuk-datuk besar Kiu Lo-mo, sungguh merupakan suatu kenekatan dan nyawanya berada dalam ancaman bahaya.

   Setelah mereka tiba di kaki Bukit Merak, tidak jauh dari Telaga Po-yang, Pek I Kongcu Ciong Koan menyuruh Po-yang Sam-liong untuk mengikatkan kain hitam di depan mata kedua orang tawanan itu. Selanjutnya, Poa Teng, orang ketiga dari Po-yang Sam-liong memegang rantai diantara dua orang tawanan dan dengan demikian menarik dan menuntun mereka yang tidak dapat melihat itu untuk mendaki Bukit Merak.

   Biarpun kedua matanya ditutupi kain hitam dan dia sama sekali tidak dapat melihat, namun diam-diam Pek-liong memperhatikan jalan yang dilaluinya, tanjakan-tanjakannya, macam tanah yang diinjaknya, baru tumbuh-tumbuhan di kanan kirinya dan mencatat semua itu dalam ingatannya.

   Dia tahu bahwa mereka melalui tebing jurang sebanyak lima kali, memasuki hutan cemara dua kali, hutan pohon-pohon liar dua kali dan menyeberang sungai kecil dua kali. Juga dia dapat mengetahui dari pendengarannya yang tajam bahwa ada lima lapis penjagaan sebelum mereka akhirnya tiba di depan rumah besar yang menjadi tempat tinggal Siauw-bin Ciu-kwi.

   Penutup mata hitam itu baru dibuka setelah mereka memasuki sebuah ruangan. Biarpun mereka berada di dalam ruangan, ketika tutup mata itu dibuka, Pek-liong dan Cian Li mengejap-ngejapkan kedua mata beberapa kali sebelum mampu membukanya karena ruangan itu masih terlalu terang bagi mata mereka yang untuk beberapa lamanya tadi ditutup kain hitam. Mereka merasa silau melihat cahaya matahari masuk ruangan itu melalui jendela-jendela ruangan yang dibuka lebar.

   Pek-liong mengamati ruangan itu. Mereka berada di sebuah ruangan yang luas sekali, dan tidak banyak perabot terdapat di situ. Tentu sebuah lian-bu-thia (ruangan bermain silat), pikir Pek-liong, melihat adanya sebuah rak besar terisi bermacam senjata di sudut ruangan.

   Dia dan Cian Li berdiri berdekatan, dan mereka menghadapi beberapa orang yang duduk di atas kursi-kursi berjajar, dengan meja di depan mereka. Banyak cawan dan beberapa guci arak berada di atas meja.

   Sepasang mata Pek-liong mengamati orang-orang itu satu demi satu. Mula-mula pandang matanya bertemu dengan pandang mata kekanak-kanakan dari seorang laki-laki berusia kurang lebih limapuluh tahun. Tubuhnya gendut sekali, dan bentuknya pendek sehingga nampaknya bulat seperti bola. Kepalanya yang botak gundul itu juga bulat seperti bola. Mukanya lucu, seperti muka kanak-kanak yang lugu dan murni, selalu tersenyum.

   Kalau tidak melihat sinar matanya yang kadang-kadang mencorong kejam itu, tentu orang akan merasa heran melihat orang yang kelihatan begitu "baik budi" berada di sarang gerombolan penjahat itu. Pek-liong tidak pernah mengenal orang ini dan sama sekali tidak tahu bahwa justeru orang berwajah kekanak-kanakan itulah dia Siauw-bin Ciu-kwi, seorang di antara Kiu Lo-mo.

   Orang keduanya yang duduk di sebelah kanan si gendut itu adalah seorang wanita cantik manis yang tubuhnya menggiurkan, matanya genit penuh daya pikat, mulutnya dengan bibir yang merah basah dan rongga mulut merah, deretan gigi putih dan ujung lidah merah jambu yang kadang-kadang menjilat bibir itu penuh gairah. Pakaiannya juga pesolek indah, tangan kiri mengebut-ngebutkan sebuah kipas bulu yang indah.

   Wanita berusia kurang lebih tigapuluh tahun ini memandang kepada Pek-liong dengan sinar mata penuh gairah dan bibir tersenyum manis. Ialah Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si dan Pek-liong diam-diam dapat menduga siapa adanya wanita cantik ini. Ia pernah mendengar tentang iblis betina ini, apa lagi melihat kipas bola itu, iapun menduga bahwa mungkin wanita yang belum pernah dijumpainya inilah yang berjuluk Tok-sim Nio-cu itu.

   Ketika dia bertemu pandang dengan Lim-kwi Sai-kong, diapun segera dapat menduga siapa adanya kakek berusia enampuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi seperti muka singa, penuh cambang bauk, matanya lebar, pakaian serba hitam ini. Maka diam-diam dia mencatat dalam hatinya.

   Dia sudah mendengar akan kelihaian Tok-sim Nio-cu, juga Lim-kwi Sai-kong dan di samping kedua orang ini, di situ masih ada Pek I Kongcu yang tentu amat lihai pula, yang dibantu oleh Po-yang Sam-liong yang biarpun tidaklah selihai tokoh-tokoh sesat ini namun harus diperhitungkan pula karena tiga orang raksasa itu amat kejam dan bertenaga besar.

   Dan di samping Pek I Kongcu Ciong Koan, masih ada pula seorang pria tinggi kurus yang kulit mukanya hitam, mukanya yang buruk bengis itu dingin seperti topeng dan usianya empatpuluh lima tahun. Dia tidak tahu siapa orang ini, namun dapat menduga tentu lihai pula mengingat dia duduk pula di situ, sejajar dengan yang lain.

   Biarpun belum pernah mengenalnya, dengan mudah Pek-liong-eng dapat menduga siapa adanya Siauw-bin Ciu-kwi. Siapa lagi kalau bukan si gendut bundar itu, pikirnya. Dia sudah pernah mendengar tentang keadaan diri datuk besar ini, namun setelah kini berhadapan, dia diam-diam merasa terkejut dan heran.

   Tak disangkanya bahwa seorang di antara Kiu Lo-mo belum tua benar dan wajahnya seperti seorang kanak-kanak yang berhati wajar dan bersih. Namun dia sudah mendengar bahwa seperti para datuk lain yang disebut Kiu Lo-mo, si gendut ini amat lihai, memiliki kesaktian dan merupakan lawan yang amat tangguh. Apa lagi di sampingnya terdapat demikian banyaknya pembantu yang lihai. Yang nampak saja di situ empat orang tokoh sesat, belum lagi Po-yang Sam-liong dan tentu saja banyak anak buah mereka. Sungguh merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi apakah yang sedang mereka cari? Rahasia Patung Emas?

   Tiba-tiba terdengar suara ketawa terpingkal-pingkal. Yang tertawa adalah si gendut Siauw-bin Ciu-kwi. Dia tertawa seperti melihat sesuatu yang lucu. Para pembantunya hanya ikut tersenyum karena tidak tahu apa yang ditertawakan oleh Beng-cu mereka. Si gendut mengakhiri ketawanya, lalu menuding ke arah Pek-liong-eng dan tertawa lagi walaupun tidak separah tadi.

   "Ha-ha-ha-ha, heh-heh, inikah yang disebut Pek-liong-eng? Ha-ha-ha, seorang pemuda yang masih hijau! Lihat, masih ada ingusnya di bawah hidungnya! Dan bocah ini yang membasmi Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya? Ha-ha-heh-heh-heh, sungguh sukar dipercaya. Tentu Hek-sim Lo-mo kini sudah menjadi terlalu tua bangka dan sudah pikun dan lemah sehingga mudah saja dikalahkan seorang bocah ingusan. Heh, Pek liong-eng Tan Cin Hay! Benarkah engkau memiliki kemampuan untuk mengalahkan mendiang Hek-sim Lo-mo?" Sepasang mata dari wajah kekanak-kanakan itu kini mencorong bengis ketika memandang kepada Pek-liong.

   Pek-liong maklum bahwa namanya telah menggemparkan dunia kaum sesat dan agaknya mereka itupun menjadi gentar pula kepadanya. Maka, dia lalu mengambil sikap angkuh, membusungkan dadanya dan dia memandang kepada si gendut itu dengan pandang mata tajam penuh tantangan.

   "Engkau agaknya Siauw-bin Ciu-kwi yang disebut Beng-cu. Ciu-kwi, tidak perlu banyak bertanya, kalau engkau ingin mencoba kepandaianku, silakan, aku sudah siap sedia!"

   Mendengar ucapan yang nadanya menantang ini, semua orang terbelalak, dan para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi memandang marah. Akan tetapi si gendut itu sendiri tertawa geli walaupun sinar matanya semakin mencorong berbahaya.

   Cian Li kagum bukan main kepada Pek-liong. Ia tentu saja merasa gelisah dan takut, akan tetapi karena di dekatnya ada Pek-liong, semua rasa takut lenyap dan dara ini bahkan merasa berbahagia sekali bahwa ia dapat menghadapi pengalaman berbahaya itu berdua dengan Pek-liong.

   "Hay-koko, engkau sungguh hebat!" katanya tanpa mengecilkan suaranya, tidak perduli bahwa semua orang mendengarnya.

   "Aku berani bertaruh seekor babi muda bahwa engkau yang akan keluar sebagai pemenang!"

   Melihat sikap yang luar biasa tabahnya dari gadis itu, Pek-liong juga kagum. Gadis ini tidak berapa hebat kepandaiannya, namun memiliki keberanian yang mengagumkan. Pada hal, ketika pertama kali bertemu dia melihat gadis ini tidaklah begitu tabah.

   "Li-moi, apakah engkau mempunyai babi?" tanyanya, berkelakar, untuk mempertahankan wibawanya sebagai seorang tawanan yang lain, yang sama sekali tidak takut bahkan menantang pimpinan gerombolan!

   "Tentu saja aku mempunyai peliharaan seekor babi muda, dan belasan ekor ayam dan..... aihh, celaka, siapa yang akan memberi makan mereka? Babiku dan ayam-ayamku tentu mati kelaparan! Uh, mereka ini sungguh jahat, menyebabkan babi dan semua ayamku kelaparan!"

   Sikap kedua orang tawanan yang sama sekali tidak menghormati Beng-cu mereka, bahkan pemuda itu berani secara terbuka menantang Beng-cu mereka!

   "Beng-cu, biarkan aku mematahkan tulang punggung bocah sombong ini," Lim-kwi Sai-kong berteriak marah.

   "Hemm, akupun ingin menghancurkan kepala manusia sombong ini, Beng-cu. Serahkan saja kepadaku!" Hek-giam-ong Lok Hun juga berseru garang.

   "Aku yang lebih dulu menemukannya dan membawanya ke sini. Beng-cu tentu akan membiarkan aku mewakilinya untuk menghajar bocah lancang ini!" kata Pek I Kongcu.

   Mendengar kesanggupan para pembantunya, Siauw-bin Ciu-kwi tertawa gembira, lalu tiba-tiba dia menoleh kepada Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si yang duduk di sebelahnya. Dia melihat betapa wanita cantik itu sedang mengamati Pek-liong dengan penuh selidik, dan dia merasa seolah-olah pembantu utamanya itu sedang menaksir seekor kuda jantan untuk dibelinya.

   "Dan engkau bagaimana, Nio-cu? Sanggupkah engkau menandingi Pek-liong-eng?"

   Tanpa menoleh kepada Beng-cu itu, Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si masih mengamati Pek-liong dari kepala sampai ke kaki, menjawab.

   "Hemm sebelum membunuhnya, aku ingin melihat kejantanannya lebih dulu. Nampaknya dia jantan......"

   Siauw-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. Biarpun pembantu utamanya ini juga menjadi kekasihnya, namun dia mengenal benar watak pembantunya ini yang cabul, genit dan gila pria, maka dia tidak pernah merasa cemburu kalau melihat pembantunya ini mengeram laki-laki muda di dalam kamarnya. Dan wanita itupun tak pernah menyembunyikan "hobby" itu dari siapa saja.

   Bahkan dengan Pek I Kongcu Ciong Koan iapun sudah melakukan hubungan mesra tanpa memperdulikan Beng-cu yang juga hanya menyeringai saja. Kalau melihat seorang pria muda yang tampan dan gagah, wanita ini seketika bangkit gairahnya, maka jawabannya itupun tidak mengejutkan semua rekannya.

   "Ha-ha-ha, kalau tiba saatnya kita akan membunuh dia, tentu lebih dulu kau akan kuberi kesempatan untuk menghisap darahnya sampai habis, Nio-cu. Ha-ha-ha!" kata Siauw-bin Ciu-kwi.

   "Akan tetapi sekarang belum boleh, aku ingin bicara dengan dia. Hei, Pek-liong-eng, aku minta engkau bicara terus terang atau terpaksa kami akan membunuh engkau dan gadis itu setelah menyiksa kalian!"

   Pek-liong membusungkan dadanya.

   "Siauw-bin Ciu-kwi, engkau adalah seorang datuk besar yang amat terkenal sebagai seorang di antara Kiu Lo-mo, dan engkau di sini dibantu pula oleh banyak tokoh yang lihai, banyak pula memiliki anak buah. Akan tetapi sungguh tidak kusangka bahwa engkau demikian penakut sehingga tidak berani menerima aku tanpa membelenggu tanganku. Apakah engkau khawatir kalau aku memberontak dan membunuh kalian semua?"

   Kembali ucapan Pek-liong ini membuat semua anak buah Beng-cu menjadi marah, kecuali Tok-sim Nio-cu yang mengangguk-angguk kagum. Seorang pria segagah Pek-liong belum pernah terjatuh ke dalam pelukannya dan kini ia memandang penuh kagum.

   

Pedang Sinar Emas Eps 51 Pedang Sinar Emas Eps 38 Iblis Dan Bidadari Eps 6

Cari Blog Ini