Ceritasilat Novel Online

Sepasang Naga Penakluk Iblis 3


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 3




   Malam itu, Kim Cu memperlihatkan kesedihan pada mukanya. Hal ini segera diketahui oleh Bhok Hin. Tergesa-gesa dia bertanya apa yang menyusahkan hati kekasihnya. Dia siap menolong. Uangkah? Atau apa?

   "Biarpun saya hidup serba kecukupan di sini, dan menerima budi kecintaan yang berlimpahan dari kongcu, akan tetapi, saya kadang-kadang merasa seperti seekor burung dalam kurungan. Saya sejak kecil mendengar betapa indahnya Lembah Sungai Kuning, dengan taman alamnya yang mempesona, dengan ribuan macam bunga. Ingin sekali saya merasakan betapa nikmatnya naik perahu di tepi sungai itu, dan berjalan-jalan di taman alam di Lembah Huang-ho (Sungai Kuning). Akan tetapi, ahhh...... itu hanya mimpi dan sampai matipun takkan dapat terlaksana......"

   Bhok Hin merangkul sambil tertawa.

   "Ha-ha, apa sukarnya untuk berpesiar ke sana? Besok, kalau engkau menghendaki, aku akan mengajakmu ke sana, naik kereta!"

   "Benarkah?" Kim Cu nampak gembira bukan main dan ia segera merangkul dan menciumi kedua pipi itu dengan mesra.

   "Ah, terima kasih, kongcu! Akan tetapi, jangan...... jangan katakan kepada Bibi Ciok bahwa kita berpesiar ke sana......!"

   "Kenapa? Kalau aku yang mengajakmu, apakah dia berani menghalangi?"

   "Bukan begitu, kongcu. Tentu saja ia tidak berani, akan tetapi kalau mendengar bahwa kita pergi terlalu jauh, tentu ia akan merasa khawatir dan kelak saya yang akan mendapat marah."

   "Hemm, begitukah? Lalu bagaimana?"

   "Sebaiknya kalau kongcu katakan bahwa kongcu mengajak saya jalan-jalan untuk seharian besok, terserah kepada kongcu mau diajak jalan-jalan ke mana." Kembali Kim Cu merangkul dan menciumi sehingga sambil tertawa dan merangkul kekasihnya itu, Bhok Hin menyetujui.

   Malam itu Kim Cu menghadiahi kemesraan yang lebih dari biasanya kepada Bhok Hin sehingga tentu saja orang ini merasa puas dan senang sehingga pagi-pagi sekali dia sudah menemui Bibi Ciok untuk menyampaikan niatnya, yaitu ingin mengajak Kim Cu berjalan-jalan dengan keretanya.

   Mendengar ini, Bibi Ciok mengerutkan alisnya. Tentu saja ia tidak setuju mendengar bahwa Kim Cu hendak keluar dari rumahnya, akan tetapi untuk membantah, ia tidak berani.

   "Ke manakah, kongcu?"

   "Putar-putar saja, ke taman-taman, mungkin singgah ke rumahku. Sore nanti kami kembali ke sini, harap bibi jangan khawatir."

   "Khawatir tidak. Bhok kongcu, hanya saya perlu memberitahukan kongcu bahwa nona Lie itu pernah memberontak dan kalau sudah begitu, ia bisa berbahaya sekali."

   Mendengar ini, Bhok Hin tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, makin hebat ia memberontak di pembaringan, makin hebat pula, bibi! Jangan khawatir, Kim Cu telah menjadi kekasihku, dan iapun cinta padaku. Tidak akan mengherankan kalau pada suatu hari aku akan menebusnya dari tanganmu, berapapun tinggi harganya."

   Bibi Ciok senang sekali mendengar ini. Tentu ia akan minta uang tebusan yang luar biasa tingginya, yang akan dapat membuat ia kaya raya dan uang itu dapat ia pakai untuk modal berusaha. Akan tetapi, wanita yang cerdik tidak mau lengah begitu saja.

   Ketika Bhok Hin menggandeng tangan Kim Cu yang sudah berdandan memasuki keretanya, diam-diam Bibi Ciok ini menyuruh lima orang tukang pukulnya yang pilihan dan jagoan, untuk membayangi kereta itu dari jauh, menjaga segala kemungkinan kalau-kalau Kim Cu akan memberontak dan melarikan diri Bagaimanapun juga, ia harus menjaga agar sumber emas berupa gadis cantik itu jangan sampai terlepas dari tangannya!

   Lima orang jagoan ini mengikuti dari jauh dengan menunggang kuda, dan mereka mulai khawatir ketika melihat betapa kereta yang ditumpangi Bhok Hin dan Kim Cu bersama seorang kusir itu dilarikan keluar kota sebelah utara. Keluar kota!

   Tentu saja lima orang jagoan yang diutus Bibi Ciok menjadi semakin curiga dan mereka terus membayangi dari jauh. Bahkan ketika kereta tiba di Lembah Huang-ho, karena khawatir kehilangan, mereka berlima membayangi dari jarak lebih dekat sehingga mereka dapat terus mengamati kereta.

   Girang bukan main rasa hati Kim Cu karena berhasil membujuk Bhok Hin untuk membawanya keluar dari rumah pelacuran milik Bibi Ciok, bahkan membawanya keluar kota yang sunyi, berdua saja, bertiga dengan kusir. Kesempatan yang amat baik dan lebar untuk membebaskan diri, melarikan diri dan orang lelaki tukang pelesir yang lemah seperti Bhok Hin, dan kusirnya yang kerempeng itu tentu tidak akan mampu menghalanginya melarikan diri.

   Ia sudah bersiap-siap ketika kereta memasuki daerah lembah yang luas dan banyak hutannya itu. Tentu saja ia berbohong ketika mengatakan kepada Bhok Hin bahwa ia tidak pernah melihat lembah ini. Ia ketika kecil seringkali diajak ayahnya untuk berburu di daerah ini sehingga ia hapal dan mengenal betul daerah ini! Akan tetapi, Kim Cu kini telah menjadi seorang wanita yang matang dan penuh perhitungan, cerdik bukan main dan kecerdikannya ini membuat ia selalu waspada dan hati-hati.

   Sebelum ia melaksanakan rencananya melarikan diri, ia pura-pura melongok keluar kereta, melihat ke arah belakang dan terkejutlah ia melihat ada lima orang penunggang kuda membayangi kereta itu! Celaka, pikirnya. Ulah siapakah ini? Apakah diam diam Bhok Hin menyuruh para pengawalnya untuk melindunginya? Kalau benar demikian, lenyaplah harapannya. Ataukah mereka itu utusan Bibi Ciok?

   "Ihhh......!" Ia sengaja menjerit kecil dan Bhok Hin cepat memegang lengannya.

   "Ada apakah?"

   "Bhok-kongcu...... aku takut........ di belakang itu ada lima orang penunggang kuda. Jangan-jangan mereka itu perampok!"

   Dan memang ada dugaan ketiga dalam hati Kim Cu, yaitu bahwa lima orang itu mungkin saja perampok yang hendak mengganggu mereka. Dan kalau benar demikian, ia sudah siap melawan untuk membela diri. Kalau ia berhasil mengusir perampok, berarti ia akan memperoleh kepercayaan dan perhatian yang lebih besar dari Bhok Hin.

   Mendengar ucapan itu, Bhok Hin melongok keluar dan diapun melihat lima orang itu. Dia lalu bertanya kepada kusirnya yang duduk di depan, di tempat terbuka sehingga mungkin kusirnya lebih tahu akan lima orang itu.

   Kusirnya segera menjawab.

   "Sejak tadi hamba telah melihat mereka, kongcu. Dan melihat betapa seorang di antara mereka yang berkumis itu hamba kenal sehagai jagoan pengawal Bibi Ciok, maka hamba yakin mereka adalah orang-orangnya Bibi Ciok yang sengaja diutus oleh majikan mereka untuk mengawal perjalanan kongcu dan nona."

   Bhok Hin mengangguk-angguk. Hatinya senang mendengar ini karena dia merasa aman dengan adanya pengawalan. Akan tetapi Kim Cu memperlihatkan wajah tak senang, bahkan marah.

   "Ini namanya penghinaan bagi kongcu!" katanya setengah berteriak.

   "Eh? Apa maksudmu? Mengapa penghinaan?" Bhok Hin bertanya heran.

   "Tentu saja! Bibi Ciok sungguh tidak memandang orang! Jelas bahwa ia tidak percaya kepada kongcu, mengira bahwa kongcu tentu akan membawa lari saya, maka karena tidak percaya itulah ia menyuruh lima orang jagoannya untuk selalu membayangi kereta ini. Kalau memang hendak mengawal, kenapa tidak terang-terangan saja?"

   Ucapan ini membakar hati Bhok Hin dan dia meneriaki kusir untuk berhenti. Dia menjenguk keluar, memandang ke belakang dan benar saja, begitu kereta berhenti, lima orang penunggang kuda itupun berhenti. Bhok Hin lalu turun dari kereta, memandang ke arah lima orang jagoan itu, lalu memanggil mereka dengan teriakan nyaring sambil melambaikan tangan, menggapai agar mereka datang dekat. Melihat ini, lima orang jagoan itu lalu melarikan kuda mereka menghampiri dan sama sekali mereka tidak mengira bahwa mantu jaksa tinggi itu memanggil mereka untuk marah-marah!

   "Heii! Kenapa kalian membayangi dan memata-matai aku? Hayo katakan, mengapa kalian membayangi kereta ini?" bentak Bhok Hin marah.

   Lima orang itu saling pandang, meloncat turun dari punggung kuda dan mereka memberi hormat. Si kumis tebal, pemimpin mereka segera berkata dengan suara penuh hormat karena dia mengenal siapa adanya kongcu ini.

   "Harap kongcu sudi memaafkan karena kami hanya menerima perintah Bibi Ciok untuk mengawal kereta ini agar selamat di dalam perjalanan."

   "Bohong! Apakah kalian ingin merasakan hukum cambuk sampai kulit punggung kalian terkupas semua? Hayo katakan! Bukankah kalian disuruh Bibi Ciok untuk mengamati kereta ini agar aku tidak melarikan nona Lie Kim Cu?"

   "Hamba...... hamba hanya diperintah......"

   Lima orang jagoan itu kini saling pandang dengan muka pucat mendengar ancaman hukum cambuk itu. Mereka maklum bahwa ancaman mantu jaksa tinggi bukan hanya gertak kosoog belaka. Melihat betapa siasatnya berhasil, Kim Cu lalu berkata seolah-olah di depan Bhok Hin ia membela lima orang jagoan yang sudah dikenalnya sebagai orang-orang kepercayaan Bibi Ciok dan mereka berlima itu memiliki ilmu silat yang tak mungkin dapat dilawannya.

   "Sudahlah, kongcu. Biarkan mereka pulang" kelak kongcu dapat menegur Bibi Ciok. Mereka ini hanyalah petugas."

   Bhok Hin mengangguk.

   "Nah, kalian pergilah dan awas, jangan membayangi kami lagi!"

   Lima orang itu mengangguk menyanggupi dan Bhok Hin lalu naik lagi ke dalam keretanya. Kereta meluncur perlahan, diikuti pandang mata lima orang jagoan itu.

   "Sialan!" dengus seorang di antara mereka.

   "Bagaimana baiknya sekarang?"

   "Bagaimana lagi? Pulang tentu saja!" kata orang kedua.

   "Dan kita mendapat marah besar dari Bibi Ciok? Mungkin dipecat?" cela orang ketiga.

   "Jangan ribut!" kata si kumis tebal pemimpin mereka.

   "Aku tetap curiga kepada wanita itu. Ia cerdik dan juga kuat. Kita bukan membayangi Bhok-kongcu, melainkan wanita itu. Kalau-kalau ia melarikan diri. Kalau ia melarikan diri di tempat sunyi ini, siapa yang akan mampu menghalanginya? Siapa tahu ia membujuk Bhok-kongcu membawanya ke sini agar ia dapat melarikan diri."

   "Wah, celaka kalau begitu!"

   "Dan Bhok-kongcu melarang kita mengawal, dengan ancaman hukuman cambuk!"

   "Jangan bodoh," kata pula si kumis tebal.

   "Kita tinggalkan kuda kita di sini, seorang di antara kita menjaga kuda dan menyembunyikannya dari jalan raya, dan empat dari kita melanjutkan pengamatan dengan jalan kaki dan secara diam-diam."

   Demikianlah, si kumis tebal dan tiga orang temannya melanjutkan tugas mereka membayangi kereta dengan jalan kaki, dan seorang di antara mereka menjaga lima ekor kuda di dalam hutan.

   Sementara itu, semenjak meninggalkan lima orang penunggang kuda, beberapa kali Kim Cu menjenguk dan melihat ke belakang, sehingga kelakuannya ini menjadi bahan tertawaan dan godaan Bhok Hin. Kini kereta mereka tiba di hutan cemara yang amat sunyi, sudah termasuk Lembah Huang-ho. Sungai itu tidak berapa jauh lagi dari situ. Tiba-tiba Kim Cu berseru kepada kusir kereta.

   "Berhenti dulu! Hentikan kereta!"

   Bhok Hin dan kusirnya memandang heran, akan tetapi kusir yang menoleh ke belakang itu segera menghentikan kudanya yang menarik kereta. Kim Cu lalu meloncat keluar dari kereta.

   "Bhok-kongcu, aku berhenti di sini. Pergilah engkau dengan keretamu!" kata Kim Cu. Kini suaranya terdengar kaku dingin, lenyap semua kemesraan dan kehangatan dari suaranya.

   Tentu saja Bhok Hin terkejut bukan main, juga terheran-heran. Dia juga meloncat keluar dari dalam kereta. Teringat dia akan kata-kata peringatan Bibi Ciok yang mengatakan bahwa Kim Cu pernah berontak! Akan tetapi dia tetap tidak percaya dan mengira bahwa Kim Cu hanya main-main dan menggodanya saja.

   "Eh, Kim Cu, nanti kalau engkau hendak berontak, di dalam kamar. Bukan di sini tempatnya......" katanya sambil tertawa

   Kim Cu mengerutkan alisnya. Semua kemuakannya selama ia diharuskan melayani pria-pria itu, termasuk Bhok Hin, kini memenuhi dadanya. Ingin rasanya ia membunuh laki-laki yang menyeringai di depannya ini. Tiba-tiba ia menggerakkan tangan kanannya.

   "Plakk......!" Tangan kanannya dengan amat kerasnya menyambar dan menampar pipi Bhok Hin.

   "Aduhhh......!" Bhok Hin terhuyung dan tangan kirinya cepat meraba pipi kirinya yang terasa nyeri sekali. Mulutnya berdarah dan tiga buah giginya tanggal, juga pipinya menjadi matang biru!

   "Kau...... kau......!"

   "Dukkkk!" Kini kaki Kim Cu menyambar, menendang dan mengenai perut yang agak gendut itu, dan tubuh Bhok Hin terjengkang.

   Melihat ini, kusir kereta menjadi marah. Tadi dia terkejut dan terheran-heran, memandang dengan mata terbelalak. Kini, melihat majikannya ditampar dan ditendang sampai roboh, diapun meloncat turun.

   "Heiii, apa yang kaulakukan ini......?" bentaknya.

   Akan tetapi, ia disambut dengan tamparan dua kali yang mengenai leher dan mukanya dan tubuh yang kerempeng itupun terpelanting roboh.

   Pada saat itu, muncullah si kumis tebal dengan tiga orang kawannya. Mereka berempat masih membayangi kereta dan ketika kereta itu berhenti, mereka berempat mempercepat lari mereka menghampiri dan mereka dapat melihat betapa Kim Cu merobohkan Bhok Hin dan kusir kereta, tepat seperti yang mereka khawatirkan.

   "Ia benar memberontak seperti yang kuduga!" teriak si kumis tebal dan empat orang jagoan itu lalu mengepung dan menyerang. Mereka menyerang untuk menangkap, maka mereka tidak mempergunakan senjata, hanya mempergunakan tangan kosong untuk mencengkeram dan menangkap.

   Melihat munculnya empat orang jagoan itu, Kim Cu terkejut bukan main. Ternyata perhitungannya meleset dan para jagoan itu ternyata juga cerdik sekali. Ia tidak memperhitungkan kecerdikan mereka dan kemungkinan mereka akan melanjutkan pengintaian secara diam-diam seperti itu. Melihat dirinya dikepung dan si kumis tebal yang paling lihai di depannya, tiba-tiba Kim Cu membalik dan kakinya menendang dengan cepat dan kuatnya ke arah jagoan yang tadinya berada di belakangnya.

   "Plak! Plak! Desss......!"

   Dua kali jagoan itu menangkis, akan tetapi tendangan bertubi yang ketiga kalinya mengenai pahanya sehingga jagoan itu terhuyung kehilangan keseimbangannya. Pada saat itu, seorang di antara mereka berhasil menangkap lengan kiri Kim Cu. Wanita ini mencoba menarik lengannya, sia-sia saja. Maka iapun lalu menunduk dan menggigit tangan yang memegang lengannya. Jagoan itu berteriak kesakitan, pegangannya terlepas dan Kim Cu lalu meloncat keluar kepungan dan lari secepatnya!

   "Kejar! Tangkap!" teriak si kumis tebal dan empat orang jagoan itupun lalu melakukan pengejaran.

   Kim Cu menyumpahi pakaiannya yang mewah dan merasa menyesal mengapa ia tidak siap dengan pakaiannya. Pakaian ini terlalu sempit sehingga ketika ia pakai untuk berlari dengan langkah lebar, gaun sempit itu terkuak dan robek-robek di bagian bawahnya, memperlihatkan kulit pahanya yang putih mulus. Namun ia tidak perduli dan berlari terus secepatnya.

   Namun, empat orang pengejarnya itu dapat bertari lebih cepat sehingga kurang lebih satu lie dari kereta tadi, mereka sudah dapat menyusulnya. Ia dikepung lagi dan kini mereka berada di daerah yang berbatu-batu.

   "Ha-ha-ha, nona manis. Tidak ada gunanya engkau lari, dan tidak ada gunanya engkau melawan. Lebih baik menyerah dan kami bawa kembali kepada Bibi Ciok untuk mempertanggungjawabkan kelakuanmu ini!" Si kumis tebal mengejek.

   Diam-diam Kim Cu bergidik, teringat akan ancaman Bibi Ciok bahwa, kalau memberontak lagi, ia tentu akan dijual obral dan diserahkan kepada siapa saja yang mau membayar murah untuk memperkosanya! Ia akan diperkosa bertubi-tubi oleh banyak orang sampai mati.

   "Tidak! Lebih baik aku mati!" teriaknya dan iapun mengamuk, menyerang si kumis tebal itu dengan sekuat tenaganya.

   Dengan mudah si kumis tebal mengelak dan tangan kanannya mencengkeram ke arah pundak Kim Cu. Wanita yang sudah nekat ini dapat meloncat ke samping, mengelak dari cengkeraman itu. Akan tetapi dari belakang, tiba-tiba rambutnya dicengkeram orang dan ketika ia meronta, cengkeraman itu terlepas berikut sanggul rambutnya yang terlepas pula. Rambut yang hitam panjang itu terurai sampai ke pinggang.

   Sambil berteriak-teriak marah Kim Cu mengamuk lagi dan kini ia menggunakan segala kemampuannya untuk melawan. Menampar, menghantam, menendang, mencakar bahkan menggigit! Empat orang jagoan itu yang tidak berniat merobohkannya atau melukainya, menjadi kerepotan juga melihat kenekatan wanita yang sudah berubah seperti seekor harimau betina buas yang sukar ditangkap itu. Kembali Kim Cu berhasil melompat keluar dari kepungan.

   Empat orang lawannya mengejar dan kaki Kim Cu tergelincir pada batu-batu kerikil. Ia roboh bergulingan. Kini bukan hanya rambutnya yang terurai, juga pakaiannya sudah robek di sana-sini.

   Sambil bergulingan, wanita yang cerdik ini menggunakan kedua tangannya untuk meraih batu-batu kerikil dan begitu empat orang lawan mendekat hendak menubruknya, iapun melompat bangun sambil melempar-lemparkan batu ke arah kepala empat orang lawannya! Sambitan itu tentu saja ngawur, akan tetapi sebuah batu sebesar telur ayam tepat mengenai dahi seorang jagoan sehingga dahi itu tumbuh telur yang rasanya berdenyut-denyut, membuat orang itu marah bukan main.

   Kim Cu berhasil lari lagi dan kini mereka tiba di lembah di mana terdapat banyak batu gunung dan juga guha-guha. Dan empat orang lawannya sudah pula menyusul dan mengepungnya.

   "Biar kurobohkan ia dengan totokan!" kata si kumis tebal yang merasa penasaran juga. Empat orang jagoan seperti mereka mengalami kesulitan untuk menangkap seorang wanita saja! Kini, mereka berempat mengepung ketat dan mengambil keputusan untuk tidak memberi kesempatan kepada Kim Cu untuk melarikan diri lagi!

   Bahkan ketika Kim Cu hendak mengamuk dan menerobos kepungan, mereka tidak segan-segan untuk mendorong atau menampar sehingga beberapa kali Kim Cu terhuyung, bahkan pernah terjatuh. Akan tetapi wanita ini meloncat bangkit kembali. Rambutnya riap-riapan, mukanya babak belur, pakaiannya robek-robek. Ia kini berteriak dengan suara lantang dan penuh amarah.

   "Kalian laki-laki semuanya adalah binatang buas! Iblis bertampang manusia! Akan kubunuh kalian semua, atau aku yang akan mati!" Teriakan ini bergema di sekitar tempat itu, agaknya suaranya dipantulkan kembali oleh guha-guha yang banyak terdapat di situ.

   Di antara pantulan suara itu, ada suara lain, suara wanita tertawa terkekeh-kekeh, lalu disambung dengan suaranya yang mencicit seperti suara tikus terjepit.

   "Hi-hi-hi-hik, benar sekali! Laki-laki adalah binatang buas dan kita wanita selalu menjadi mangsa dan korbannya, hi-hi-hik!"

   Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ telah muncul seorang nenek tua renta yang pakaiannya serba hitam. Nenek ini sudah keriputan, tubuhnya kecil kurus seperti tulang-tulang dibungkus kulit saja. Tangan kirinya bertopang pada sebuah tongkat hitam yang bentuknya melingkar-lingkar seperti ular kering.

   "Jangan khawatir, anakku. Jangan takut! Hajar saja mereka, binatang-binatang buas itu, hi-hi-hik!" katanya sambil menggerak-gerakkan tangan kanannya, ke arah Kim Cu dan empat orang pengeroyoknya.

   Dan terjadilah hal yang luar biasa anehnya! Kim Cu mengamuk dan kini semua tamparannya, semua tendangannya, semua pukulannya, tepat mengenai sasaran! Sedangkan gerakan balasan empat orang itu, setiap kali hendak menangkapnya, mencengkeramnya, atau menotoknya, gerakan itu tiba-tiba tertahan seolah-olah ada dinding tak nampak yang melindungi tubuh Kim Cu!

   Tentu saja Kim Cu menjadi girang bukan main. Ia sendiri tidak tahu mengapa empat orang lawannya tiba-tiba saja berubah seperti orang-orang tolol yang memberikan tubuh mereka untuk ia hajar tanpa mereka membalas sedikitpun juga.

   "Mampuslah!" bentaknya ketika kakinya menendang ke arah perut si kumis tebal.

   "Desss......!" tendangan itu tepat mengenai sasaran dan si kumis tebal yang biasanya lihai sekali itu mengaduh dan tubuhnya terjengkang.

   Kim Cu membagi-bagi pukulan dan tendangan dan anehnya, semua serangan itu mengenai sasaran dengan tepat sekali. Maka bercucuran darahlah sebuah hidung, sebuah mata menjadi hitam, beberapa buah gigi tanggal dan ada perut yang mulas mendadak karena dimasuki ujung sepatu dengan keras!

   Empat orang itu dihajar jatuh bangun dan akhirnya, walaupun dengan penuh rasa penasaran, mereka berempat yakin bahwa mereka menghadapi hal yang tidak wajar, dan bahwa kemunculan nenek seperti iblis itulah yang menjadi sebabnya. Maka, mereka merasa ketakutan dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, menjadi bulan-bulan pukulan dan tendangan tanpa mampu membalas sama sekali, akhirnya mereka mungkin mati di tangan Kim Cu! Mereka lalu merangkak dan melarikan diri, jatuh bangun dengan ketakutan seperti dikejar setan!

   Kim Cu sudah kehabisan tenaga, maka iapun tidak mengejar. Ia membalik dan memandang kepada nenek itu. Iapun bukan orang bodoh. Ia maklum bahwa tentu nenek aneh ini telah membantunya secara aneh sehingga ia yang tadinya sudah terancam dan nyaris tertangkap kembali, tiba-tiba saja keadaannya terbalik dan ia yang menghajar empat orang yang memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi dari padanya itu. Dengan tubuh lemas dan lelah sekali, juga nyeri di sana-sini, Kim Cu terhuyung menghampiri nenek itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek berpakaian hitam, dan roboh pingsan.

   Ketika Kim Cu siuman kembali, ia mendapatkan dirinya rebah di lantai sebuah guha yang lebar dan tinggi, di ruangan dalam karena ia tidak melihat mulut guha. Akan tetapi ada sinar matahari masuk dari langit-langit guha yang tinggi itu, melalui celah-celah yang banyak terdapat di antara batu-batu pedang yang bergantungan di langit-langit guha itu. Seluruh tubuhnya masih terasa nyeri dan ketika ia hendak bangkit duduk, suara mencicit seperti tikus itu terdengar.

   "Jangan bergerak, aku sedang merawatmu."

   Kim Cu melihat nenek itu duduk bersila di belakangnya karena ia tadi rebah miring, dan ternyata nenek itu menempelkan telapak tangan kirinya pada punggungnya, sedangkan telapak tangan kanan nenek itu menempel pada lantai guha. Ada hawa panas-panas hangat keluar dari telapak tangan kiri nenek itu, menjalar ke dalam tubuhnya!

   Aneh sekali, ia merasa seolah-olah ada uap panas masuk ke dalam tubuhnya, menjalar ke seluruh bagian tubuhnya dan semua rasa nyeri yang diterjang uap itu lenyap, terganti oleh rasa nyaman yang makin lama semakin panas. Hampir ia tidak tahan dan akan bergerak kalau saja suara nenek itu tidak melarangnya.

   "Pertahankan, aku akan mengisi kekuatan pada pusat-pusat jalan darah di tubuhmu!"

   Kim Cu merasa heran sekali dan tidak mengerti. Memang pernah ketika kecil ia belajar silat dengan tekun dan penuh semangat, namun yang dipelajarinya hanyalah ilmu silat luar, dan para gurunya belum pernah menceritakan kepadanya tentang tenaga-tenaga yang dapat dibangkitkan dari dalam tubuh, kecuali tenaga otot dan kelenturan, juga kekuatan yang timbul karena latihan.

   Ia diam saja dan merasakan betapa hawa panas itu kini memenuhi seluruh tubuhnya, membuat kepalanya berdenyut-denyut dan semakin panas, seolah-olah kepalanya dimasukkan ke dalam perapian besar! Terdengar bunyi berkeretekan pada tulang-tulangnya, akan tetapi, Kim Cu pasrah. Ia percaya kepada nenek yang jelas telah menolongnya itu, seorang nenek yang entah manusia, dewa ataukah setan karena memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Ia sudah pasrah dan andaikata ia harus matipun, ia akan menerimanya tanpa membantah!

   Akhirnya, siksaan itupun berhenti dan hawa panas itu berangsur turun, kembali menjadi hangat dan nyaman sekali. Dan akhirnya nenek itu melepaskan tempelan telapak tangan kirinya, terkekeh dan berkata,

   "Sekarang barulah engkau pantas untuk mempelajari ilmu dariku. Bangkit dan duduk- lah."

   Kim Cu bangkit dan merasa heran karena tubuhnya terasa ringan dan segar sekali, seperti ada kekuatan yang luar biasa terkandung di dalam semua anggauta tubuhnya. Maka, tanpa banyak cakap lagi iapun berlutut di depan nenek itu, membenturkan dahinya berkali-kali pada lantai guha.

   "Nenek yang baik, saya menghaturkan banyak terima kasih atas semua pertolongan nenek, dan kalau nenek sudi mengambil saya sebagai murid, saya bersumpah, selama hidup saya akan mentaati perintah nenek dan akan berbakti kepada nenek sampai titik darah terakhir!"

   Nenek itu terkekeh-kekeh, nampaknya girang sekali.

   "Hi-hi-hik! Memang kau sudah menjadi muridku sejak aku mendengar engkau memaki-maki kaum pria itu, hi-hik!"

   Bukan main girangnya rasa hati Kim Cu. Ia kini telah bebas dari cengkeraman manusia-manusia berhati iblis seperti Bibi Ciok dan kaki tangannya, dari cengkeraman kaum pria yang hanya menganggap wanita sebagai benda permainan saja, bebas dari penghinaan yang dialaminya setiap hari, harus melayani tiap orang pria yang tidak dikenalnya, apa lagi dicintanya, melayani dengan menyerahkan seluruh badannya, kehormatannya! Ia telah bebas!

   Kenyataan ini saja selalu bersorak di dalam hatinya. Apa lagi ditambah bahwa ia kini menjadi murid seorang yang sakti. Kalau ia dapat memiliki ilmu seperti ilmu yang dimiliki nenek ini, ia akan mampu menghadapi semua tantangan di dunia ini! Ia akan menghajar semua orang, terutama kaum pria, yang jahat! Akan menumpas mereka, membasmi mereka yang suka berbuat jahat! Saking girangnya, Kim Cu lalu merangkul nenek itu dan dengan air mata berlinangan, ia menciumi pipi yang keriput itu.

   Nenek itu menjerit kecil.

   "Ihhhhhh......! Apa-apaan ini? Jangan berbuat cabul kau! Masa seorang murid berbuat begini kepada subonya?"

   Kim Cu cepat berlutut.

   "Subo (Ibu Guru), harap maafkan teecu (murid). Saking girang dan berterima kasih, maka teecu merangkul dan menciumi subo!"

   Nenek itu mengusap kepala Kim Cu.

   "Murid macam apa kau ini?" nadanya menegur, namun di dalam suara itu terkandung keharuan oleh kelakuan Kim Cu tadi.

   "Hal pertama yang paling penting belum kaulakukan, yaitu memperkenalkan diri, memperkenalkan nama dan menceritakan riwayat hidupmu kepada gurumu."

   Kim Cu tertawa dan mendengar suara ketawanya, iapun merasa heran bukan main, bahkan terkejut! Belum pernah ia mendengar suara ketawanya seperti itu! Begitu bebas, begitu terlepas, bahkan terdengar binal!

   Dan ia teringat betapa sesungguhnya, semenjak ia diboyong oleh Pangeran Coan Siu Ong, ia telah kehilangan semua kegembiraan hidup, sudah kehilangan semua tawa. Kalau ia tersenyum manis dan tertawa merdu selama ini di rumah pelacuran milik Bibi Ciok, suara ketawa itu adalah buatan, hanya menutupi rintih dan tangis sanubarinya. Dan kini, secara tiba-tiba saja, ia telah menemukan kembali kehidupannya, harapannya, kegembiraannya, dan juga tawanya!

   "Aih, maafkan teecu, subo. Teecu sampai lupa, saking gembiranya hati ini! Subo, teecu bernama Lie Kim Cu......."

   Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hemmm! Kim Cu (Mustika Emas)? Menjadi mustika emas hanya menjadi rebutan orang, terutama para pria saja. Tidak, namamu terlalu lemah. Setelah menjadi muridku, engkau tidak boleh menjadi wanita lemah, namamu juga harus diganti agar sesuai dengan keadaan dirimu dan watakmu kelak. Namamu mulai sekarang adalah Liong Li (Wanita Naga), seperti seekor naga yang menaklukkan semua iblis di dunia ini!"

   Kim Cu girang sekali dan ia cepat memberi hormat.

   "Teccu menerima dengan gembira, subo. Mulai sekarang, teecu akan dikenal sebagai Liong Li, sedangkan nama Kim Cu tidak akan teecu perkenalkan sebagai nama teecu, kecuali untuk keperluan yang penting."

   "Bagus, teruskan cerita tentang dirimu."

   Kim Cu menceritakan tentang keluarganya, kemudian betapa ayahnya tergila-gila dengan permainan judi sampai habis-habisan.

   "Akhirnya, karena ayah korupsi, mempergunakan uang negara dan banyak hutang bahkan semua itu diketahui oleh atasannya, Pangeran Coan Siu Ong, maka pangeran itu menekan dan menggertaknya akan menuntutnya. Hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan keluarga ayah, yaitu kalau dia menyerahkan teecu sebagai selir Pangeran Coan Siu Ong."

   "Heh-heh-heh, cerita lama itu. Sejak jaman dahulu kala, semua kaum bangsawan seperti itu, haus kedudukan, haus kemuliaan, haus kekayaan dan haus wanita cantik."

   Kim Cu menceritakan segala hal yang terjadi di dalam kamar mewah sang pangeran itu. Betapa setelah melihat pangeran itu, timbul kejijikannya dan ia melawan, memukul pangeran itu. Karena marah, pangeran itu lalu menyuruh para pengawalnya untuk membelenggu kaki tangannya dan iapun diperkosa sampai pingsan.

   "Karena sakit badan dan batin, teecu menggunakan akal. Teecu pura-pura menyerah sehingga pangeran jahanam itu melepaskan ikatan kaki tangan teecu. Begitu bebas, teecu menghajarnya dan tentu akan membunuhnya kalau saja tidak muncul para pengawalnya. Pangeran Coan marah. Teecu dihajar, diikat dan dijual murah ke rumah pelacuran milik Bibi Ciok."

   Nenek itu menyeringai, memandang kepada Kim Cu dengan sinar mata kadang-kadang kagum karena dalam menceritakan semua pengalaman pahit ini, Kim Cu sama sekali tidak menangis. Seorang gadis yang amat tabah, pikirnya, makin suka kepada muridnya ini.

   "Di sana, teecu disiksa dan diancam akan dijual murah agar diperkosa mereka yang mau membayar sampai teecu mati. Untuk memberontak, tidak ada gunanya karena Bibi Ciok juga mempunyai tukang-tukang pukul yang kuat. Terpaksa, untuk mencari peluang agar dapat membebaskan diri dan tidak mati konyol, teecu menyerah.

   Ah, betapa tersiksanya hati ini, betapa terhinanya badan ini ketika teecu harus melayani para tamu selama hampir satu bulan! Teecu terpaksa menjual senyum dan pelayanan yang mesra, pada hal di dalam hati, teecu menjerit dan menangis, apa lagi ketika dari para langganan itu teecu mendengar akan nasib ayah dan ibu teecu......"

   Sampai di sini, kedua mata yang jeli dan bagus itu menjadi basah dan beberapa titik air mata menetes turun ke atas sepasang pipi. Akan tetapi, tetap saja Kim Cu tidak mengeluarkan suara tangisan.

   "Apa yang terjadi dengan mereka? Bukankah setelah kau diserahkan kepada pangeran itu, orang tuamu telah bebas?"

   "Tidak, subo. Agaknya pangeran itu sakit hati kepada teccu dan bukan saja ia menjual teecu kepada rumah pclacuran, juga ayah ditangkap lagi dan dihukum buang. Di dalam perjalanan, demikian teecu dengar, ayah nekat membunuh diri dengan terjun ke dalam jurang. Adapun ibu teecu, karena diusir keluar dari rumah dan tidak kuat menahan derita, jatuh sakit dan meninggal pula."

   Nenek itu mengangguk-angguk, di dalam hatinya merasa gembira karena dengan kenyataan bahwa gadis ini telah yatim piatu, tidak mempunyai siapapun di dunia ini, berarti ialah yang memilikinya. Sebagai murid, juga sebagai keluarga!

   "Lalu, pelarian sekarang ini yang kau rencanakan?"

   "Benar, subo. Teecu berhasil memikat hati putera mantu jaksa tinggi, dan membujuknya untuk mengajak teecu pesiar ke tempat di lembah Huang-ho. Dan di sini teecu berhasil melarikan diri. Akan tetapi, tiba-tiba muncul empat orang jagoan kaki tangan Bibi Ciok melakukan pengejaran. Kalau tidak ada subo, tentu sekarang teecu sudah dipaksa kembali ke rumah pelacuran itu dan mengalami siksaan yang lebih hebat dari pada maut. Karena itu, terima kasih, subo."

   Kembali Kim Cu merangkul dan mencium pipi keriput itu dan sekali ini nenek itu tidak menolak, hanya mendorong tubuh Kim Cu untuk duduk kembali ke atas lantai.

   "Muridku, engkau sungguh seorang gadis yang beruntung telah dapat bertemu dengan aku di sini. Bukan hanya beruntung karena dapat terhindar dari penangkapan mereka, akan tetapi beruntung karena engkau dapat menjadi muridku karena ribuan orang gagah di dunia ini yang ingin sekali menjadi muridku dan mewarisi ilmu kepandaian dari Huang-ho Kuibo (Nenek Iblis Sungai Kuning)!" Nenek itu terkekeh.

   "Heh-heh-heh, memang engkau anak yang beruntung sekali, Liong-li!"

   Kim Cu atau yang kini bernama atau berjuluk Liong-li (Wanita Naga) mengamati wajah nenek itu penuh perhatian. Wajah itu masih memperlihatkan bekas wanita cantik. Biarpun pakaiannya serba hitam sederhana dan tubuh itu kurus sekali, namun nenek itu agaknya menjaga diri sehingga bersih, bahkan tidak berbau apak.

   "Subo, mengapa subo disebut Kuibo (Nenek Iblis)? Subo sama sekali tidak kelihatan seperti nenek iblis! Siapakah nama subo yang sesungguhnya?"

   "Hik-hik, aku sudah lupa lagi siapa namaku. Orang-orang menyebutku Huang-ho Kuibo karena aku selalu berkeliaran di sepanjang sungai ini, dan karena aku tidak pernah mau mengampuni orang-orang jahat, maka kaum kang-ouw menjuluki aku Kuibo. Mulai sekarang, engkau harus berlatih dengan tekun, Liong-li. Aku akan membuat engkau menjadi seorang wanita yang ditakuti, dan tidak ada seorangpun laki-laki di dunia ini yang akan mampu menghina dan mempermainkanmu lagi, heh-heh-heh!"

   Demikianlah, mulai hari itu, Kim Cu atau Long Li menjadi murid Huang-ho Kuibo, seorang nenek yang sakti dan berilmu tinggi. Dan tepat seperti julukannya, nenek itu mengajak muridnya berkeliaran di sepanjang lembah Huang-ho.

   ?Y?

   Waktu tujuh tahun bukan merupakan waktu yang cukup panjang bagi seseorang untuk mempelajari ilmu silat tinggi sampai berhasil dengan baik. Akan tetapi, menjadi murid seorang sakti seperti Pek I Lojin lain lagi. Dalam waktu tujuh tahun, Cin Hay digembleng oleh Pek I Lojin dengan ilmu silat yang bermacam-macam dan yang kesemuanya merupakan ilmu-ilmu silat tinggi.

   Memang Cin Hay telah memiliki dasar yang kuat dan bakat yang amat baik. Maka, setelah selama setahun penuh siang malam dia digembleng ilmu menghimpun, memperkuat dan mempergunakan tenaga dalam dengan hawa sakti yang dibangkitkan dalam tubuh sehingga dalam waktu setahun itu dia telah mengumpulkan kekuatan yang dahsyat, yang dapat dipergunakan sebagai dasar atau modal mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi yang serba sukar, maka enam tahun selanjutnya dia dengan amat tekunnya melatih diri dengan ilmu-ilmu yang diwariskan oleh Pek I Lojin kepadanya!

   Bukan hanya ilmu silat tingkat tinggi yang diajarkan oleh kakek tua renta itu kepada Cin Hay, akan tetapi juga gemblengan batin sehingga terbentuklah watak penuh kesabaran, tahan derita, tidak terbawa oleh perasaan, dalam diri Cin Hay dan menjadikan dia seorang laki-laki yang jantan, pendiam, tenang, tabah dan matang. Gurunya juga mengajarkan dia ilmu untuk melakukan penyamaran, beralih rupa dengan alat-alat istimewa, mengubah suara dan sebagainya. Pendeknya, dalam waktu tujuh tahun, kakek ita menurunkan semua ilmunya yang paling hebat kepada Cin Hay.

   Pada suatu pagi, selagi memberi petunjuk untuk jurus terakhir yang amat sukar dari ilmu silat Naga Terbang, Pek I Lojin memberi contoh kepada Cin Hay bagaimana memainkan jurus terakhir itu dengan baik. Untuk jurus ini, harus dikerahkan tenaga sekuatnya dan kakek itu bersilat dengan penuh semangat. Cin Hay memperhatikan dan mengerti, lalu dia menirukan gerakan gurunya, memainkan jurus itu dengan baiknya.

   "Bagaimana, suhu? Apakah sekarang sudah tepat?" tanyanya begitu dia selesai menggerakkan bagian terakhir.

   Akan tetapi gurunya tidak menjawab dan ketika dia menengok, dia terkejut sekali melihat gurunya sudah duduk bersila dengan muka pucat dan napas terengah-engah. Ketika dia berlutut mendekati, gurunya masih dapat memberi isyarat dengan tangan agar murid itu memondongnya dan membawanya pulang ke pondok. Cin Hay dengan hati-hati dan cepat melaksanakan permintaan ini dan tak lama kemudian kakek itu sudah rebah di atas pembaringannya di dalam kamar pondok itu.

   Cin Hay melakukan pemeriksaan dengan teliti. Dia telah menerima pelajaran dari gurunya untuk memeriksa dan mengobati luka-luka sebelah dalam akibat pukulan atau salah penggunaan hawa sakti. Dan dia mendapat kenyataan betapa gurunya seperti orang yang kehabisan tenaga dan keadaannya lemah sekali. Dia merasa heran dan tidak mengerti.

   "Sudahlah......, Cin Hay....... salahku sendiri......"

   "Tapi, mengapakah, suhu?" Dia bertanya.

   "Tidak semestinya aku...... aku yang tua...... memainkan jurus itu......, tapi ini agaknya sudah kehendak Tuhan...... sudah tiba saatku......"

   "Suhu......!"

   Tiba-tiba kakek itu mengangkat tangannya dan telunjuknya memperingatkan.

   Cin Hay segera teringat bahwa tanpa disadarinya, dia telah menunjukkan kelemahan! Maka, dalam waktu sedetik saja telah dapat melenyapkan perasaan khawatir dan dukanya.

   "Maafkan teecu, suhu."

   "Ingatlah, iangan sekali-kali engkau menunjukkan kelemahan dalam keadaan apapun juga," tiba-tiba saja kakek itu bersemangat.

   "Nyawa manusia bukan berada di tangannya, melainkan di tangan Tuhan. Agaknya memang latihan tadi yang menjadi jalan ke arah kematianku. Aku sudah.tua sekali, sudah sepatutnya meninggalkan dunia ini, akan tetapi ada pesanku......" kakek itu nampak lemah kembali.

   Cin Hay mendekatkan mukanya.

   "Suhu, tee-cu mendengarkan. Apakah pesan suhu itu?"

   "Masukilah dunia sebagai seorang jantan, seorang gagah yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Dan jangan lupa, engkau pergilah ke Kim-san (Gunung Emas) yang berada di lembah Huang-ho di perbatasan Propinsi Honan sebelah utara...... di sana ada sebuah kuburan tua seorang pangeran dari jaman Dinasti Han, ratusan tahun yang lalu. Dalam kuburan itulah terdapat mustika naga yang disebut Kim-san Liong-cu, sebuah pusaka yang amat luar biasa. Dahulu pernah menjadi perebutan para pendekar, dan aku telah gagal. Sekarang, engkau wakili aku pergilah ke sana, carilah sampai dapat...... Kim-san Liong-cu......"

   Kakek itu telah terlalu banyak bicara, agaknya dia telah menggunakan seluruh tenaga terakhir dan kini dia terkulai. Ketika Cin Hay memeriksanya, maka ternyata jantungnya tidak berdetak lagi, napasnya putus dan nyawanya telah melayang meninggalkan raganya.

   Cin Hay bersila sambil termenung sampai lama, tetap memegang nadi pergelangan tangan gurunya, memejamkan mata dalam samadhi, seolah-olah dengan semangatnya dia hendak mengantar suhunya yang berangkat pulang ke tempat asalnya itu. Kemudian dia sadar dan dia teringat betapa suhunya pernah berpesan bahwa kalau dia mati, ia ingin jenazahnya diperabukan, dan abu jenazahnya di buang ke sungai manapun juga. Semua sungai menuju ke lautan, demikian kata gurunya, maka membuang abu ke sungai berarti juga membuangnya ke lautan.

   Dengan tabah, Cin Hay lalu mengatur pembakaran jenazah gurunya. Diletakkan jenazah gurunya di atas pembaringannya, di tengah pondok. Dikumpulkannya semua milik suhunya yang tidak banyak, hanya beberapa potong pakaian, kemudian mengumpulkan kayu kering, menumpuknya di dalam pondok dan di sekeliling pembaringan, menutupi jenazah gurunya dengan pakaiannya. Dia memilih kayu yang mengandung damar agar pembakaran itu dapat sempurna. Diruntuhkan dan dibuangnya atap pondok agar jangan menimpa dan merusak abu jenazah suhunya. Setelah siap dan melakukan sembahyang terakhir untuk menghormati gurunya, Cin Hay lalu membakar pondok itu.

   Sehari penuh pondok itu terbakar. Cin Hay duduk bersila agak jauh, mengenang suhunya. Semua manusia akan mengalami hal yang sama, yaitu kematian. Karena itu, setiap kematian adalah hal yang wajar saja. Siapa terlalu membesarkan akunya, terlalu menghargai akunya, dialah yang takut akan kematian dan akan menderita kalau menghadapi kematian, menderita karena khawatir membayangkan bahwa aku-nya yang amat dijunjung tinggi itu akan hilang begitu saja!

   Pada hal, sepandai-pandainya orang, sebaik-baiknya orang, sesakti- saktinya orang, dia hanyalah seorang manusia biasa yang lahir kemudian mati menurut kekuasaan Alam yang mengaturnya. Manusia timbul tenggelam seperti ombak-ombak lautan, nampak kemudian menghilang tanpa bekas, dan terlupakan! Suhunya pernah bicara mengenai ini. Yang penting adalah karya yang baik, demikian kata suhunya. Karya yang baik dapat dinikmati orang lain, baik si karyawan masih hidup ataupun sudah mati.

   Jangan mengira bahwa nama atau orangnya yang akan dikenang, melainkan karyanya yang baik. Orangnya akan dilupakan. Mungkin akan dikenang, secara paksa, oleh sekelompok orang, akan tetapi itupun hanya merupakan suatu upacara belaka, yang hanya berlaku beberapa menit. Kemudian terlupa sudah! Maka, siapa mengharapkan nama kekal, siapa mengharapkan agar aku-nya selalu diingat, dia akan kecewa kelak! Karya baikpun bukanlah ciptaan si orang itu. Orang itu hanyalah menyalurkan berkah Tuhan melalui tangannya, melalui pikirannya. Tanpa berkah dan kekuasaan Tuhan, manusia tidak ada artinya sama sekali.

   Setelah api padam, Cin Hay mencari abu jenazah gurunya. Dia merasa gembira bahwa pembakaran itu ternyata sempurna, tidak ada sepotong pun tulang yang tidak menjadi arang dan mudah dia hancurkan, kemudian dibungkusnya abu jenazah itu dengan sebuah jubah lebar.

   Setelah itu, berangkatlah dia meninggalkan tempat itu, membawa miliknya yang juga tidak berapa banyak, hanya beberapa potong pakaian, dan memanggul bungkusan abu dan pakaiannya, lalu melangkah lebar dengan wajah tenang, tanpa menengok lagi. Masa lalunya di pondok itu sudah lewat dan tidak akan dikenangnya kembali!

   Beberapa hari kemudian, nampak Cin Hay duduk bersila di depan sebuah makam, di lereng bukit kecil yang menghadap ke Telaga See-ouw. Makam tunggal yang sunyi, makam Gu Ci Sian, isterinya yang tewas secara menyedihkan di waktu mereka berperahu di telaga itu. Tujuh tahun yang lalu! Ketika hal itu terjadi, dia baru berusia delapanbelas tahun dan kini dia telah berusia duapuluh lima tahun.

   Cin Hay tidak bersedih, apa lagi menangis. Dia hanya duduk bersila dengan wajah tetap tenang, termenung untuk mengingat isterinya dengan penghormatan, dengan doa semoga isterinya sekarang, di manapun ia berada, dalam keadaan bahagia dan damai. Tanpa dirasakannya, sudah dua jam dia berada di depan makam isterinya, dan tahu-tahu ada air hujan menitik turun dari atas. Hal ini menyadarkan Cin Hay dan diapun bangkit, di dalam batin berpamit kepada isterinya lalu meninggalkan makam itu dengan cepat menuruni bukit untuk mencari tempat duduk di tepi telaga.

   Ketika tiba di bandar di mana perahu-perahu berkumpul untuk menampung para pelancong yang hendak pelesir di telaga dengan perahu, dia melihat ribut-ribut. Bukan keributan karena turunnya hujan gerimis, melainkan keributan terjadi, bahkan dia melihat seorang wanita meronta-ronta ketika ditarik oleh seorang laki-laki menuju ke sebuah kereta.

   Wanita itu masih muda sekali, baru belasan tahun usianya dan agaknya ia bukan seorang pelancong, melainkan seorang gadis kampung di sekitar telaga, dan ia meronta sambil menjerit-jerit, namun tidak berdaya karena pria yang menyeretnya itu kuat sekali. Akhirnya gadis itu dilemparkan ke dalam kereta yang tertutup dan agaknya ada yang menerima dan meringkusnya dari dalam. Hanya tangisnya yang terdengar dan kereta itupun lalu bergerak pergi. Tiga orang laki-laki berkuda mengikuti dari belakang sambil tertawa-tawa.

   Melihat tiga orang itu, berkerut alis Cin Hay. Tak salah lagi, kini dia mengenal laki-laki muka hitam. gendut pendek yang tadi menyeret gadis itu

   Dan si muka kuning pucat yang tinggi kurus, dan seorang lagi yang tinggi besar dan mukanya penuh berewok. Biarpun mereka itu kini lebih tua dari pada dahulu, namun dia masih ingat wajah ketiga orang jagoan yang pernah mengeroyoknya di atas perahu besar milik Koan Ki Sek! Merekalah See-ouw Sam-houw dan mungkin Koan Wan-gwe berada pula di dalam kereta itu. Mereka berempat yang telah menyebabkan kematian isterinya dan yang nyaris membunuhnya pula.

   Dan kini, agaknya mereka menculik seorang gadis kampung! Gemblengan batin yang diterimanya dari Pek I Lojin membuat semua bentuk dendam hilang dari dalam hatinya. Akan tetapi kini melihat mereka melakukan kejahatan di depan matanya, tentu saja Cin Hay tidak mau tinggal diam. Kedua kakinya berloncatan dan bagaikan seekor kijang muda, diapun berlari cepat melakukan pengejaran ke arah kereta yang dilarikan cepat meninggalkan bandar itu tanpa ada seorangpun yang berani melakukan pengejaran.

   Kereta itu telah tiba di tengah hutan ketika tiba-tiba dua ekor kuda yang menarik kereta, meringkik kaget dan berhenti berlari, mengangkat kaki depan ketakutan. Kusir kereta itu terkejut, apa lagi melihat bahwa tiba-tiba saja nampak seorang pemuda berpakaian serba putih yang menahan kuda itu dari depan.

   "Heii! Mau apa kau?" bentak kusir itu mengangkat cambuknya mengancam untuk memukul. Ketika cambuk menyambar, Cin Hay menyambut, menangkap ujung cambuk dan sekali tarik dengan sentakan kaget, kusir itu berteriak dan tubuhnya tertarik jatuh dari atas kereta!

   "Ada apa......?" bentak suara dari dalam kereta. Tiba-tiba pintu kereta yang sudah berhenti itu terbuka dari luar dan tirainya tersingkap.

   Cin Hay melihat seorang laki-laki setengah tua sedang menggeluti gadis tadi yang pakaiannya sudah tidak karuan. Gadis itu meronta dan menangis. Cin Hay tidak pangling melihat laki-laki ini, maka sekali sambar, tangannya sudah menangkap lengan Koan Ki Sek dan ditariknya orang itu keluar dari dalam kereta.

   "Ehhh......! Ohhh......! Tolong......!" teriak Koan Ki Sek ketika tubuhnya terbanting ke atas tanah. Gadis itupun cepat turun, dengan ketakutan mencoba untuk membereskan pakaiannya yang cabik-cabik.

   "Dukkk!" Kaki kiri Cin Hay melayang dan tepat menyambar dagu Koan Ki Sek yang sedang merangkak hendak bangun. Tendangan itu keras sekali, mematahkan tulang rahang dan membuat gigi di sebelah kiri copot semua. Koan Ki Sek menjerit dan hendak lari, akan tetapi sambaran kaki Cin Hay tepat mengenai lututnya dan diapun terjengkang dan terpelanting tak dapat bangkit kembali karena sambungan lututnya terlepas!

   "Heiii......! Siapakah engkau berani mati memukul majikan kami? Apakah engkau sudah bosan hidup?" Tiga orang jagoan yang bukan lain adalah See-ouw Sam-houw sudah berloncatan turun dari atas kuda mereka dan mengepung Cin Hay.

   Cin Hay memandang mereka dengan alis berkerut. Tiga orang ini jahat bukan main, pikirnya. Tujuh tahun yang lalu sudah menjadi penjahat kejam, sekarang sama sekali tidak berubah, bahkan semakin jahat, berani di tempat ramai menculik seorang gadis dusun! Koan Wan-gwe juga seorang yang berwatak jahat dan kejam, akan tetapi tanpa adanya jagoan-jagoannya seperti tiga orang ini, belum tentu hartawan itu berani melakukan kejahatan seperti itu.

   "Hemm, tujuh tahun yang lalu kalian hampir membunuhku, dan kalian berhasil membunuh isteriku. Kini, setelah tujuh tahun, ternyata kalian semakin jahat saja. Entah berapa banyak sudah orang-orang tak berdosa menjadi korban kekejian kalian."

   "Siapa engkau?" bentak Hek-bin-houw Ban Sun yang bermuka hitam, masih memandang rendah lawannya.

   "Mengakulah sebelum kami mencabut nyawamu!"

   Cin Hay tidak ingin memperkenalkan namanya. Dia ingin meniru gurunya yang hanya mempunyai nama julukan, seperti juga dia meniru gurunya yang suka mengenakan pakaian serba putih. Teringat akan pakaiannya yang serba putih, dan akan tugasnya mencari Mutiara Naga dari Gunung Emas,
(Lanjut ke Jilid 04)
Sepasang Naga Penakluk Iblis (Seri ke 01-Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo

   Jilid 04
diapun segera memperkenalkan diri,

   "Sebut saja aku Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) selagi kalian masih sempat, karena tugasku adalah melenyapkan manusia-manusia jahat macam See-ouw Sam-houw!"

   "Wah, bukankah dia ini orang yang naik perahu kecil bersama isterinya beberapa tahun yang lalu itu?" Phang Ek berseru.

   "Ban-toako, apakah engkau lupa? Engkau melemparkan perahu kecilnya kepadanya setelah dia kulukai dengan pisau terbangku. Dan kita mengira dia mampus!"

   "Ha-ha-ha, benar sekali!" Siang-kiam-houw Kim Lok tertawa.

   "Dan isterinya yang cantik dan seperti kuda binal, kuda yang bunting muda....., ha-ha, sayang sekali, ia tidak kuat dan......"

   "Wuuuutttt, plakkk!" Kim Lok menangkis ketika Cin Hay maju menyerang dengan tamparan tangannya.

   Tangkisan itu mengenai tangan Cin Hay, akan tetapi akibatnya, tubuh Kim Lok terpelanting saking kerasnya tamparan itu dan lengannya terasa seperti akan patah! Dia terbanting keras dan selain terkejut, diapun merasa heran bukan main melihat betapa kuatnya tamparan pemuda itu.

   Melihat betapa dalam segebrakan saja Kim Lok terbanting keras, Ban Sun dan Phang Ek juga terkejut. Maklumlah tiga orang jagoan ini bahwa pemuda yang berada di depan mereka kini tidak boleh disamakan dengan ketika mereka menghajarnya tujuh tahun yang lalu.

   "Singgg......!" Hek-bin-houw Ban Sun sudah mencabut golok besarnya.

   "Srattt.......!" juga Siang-kiam-houw Kim Lok mencabut sepasang pedangnya dan Hui- to-houw Phang Ek mencabut dua batang pisau yang dipegang oleh kedua tangannya. Mereka mengepung Cin Hay dengan senjata di tangan, siap untuk mencincang tubuh lawan ini.

   Sementara itu, Koan Ki Sek masih merintih-rintih, ditolong oleh kusirnya yang juga babak bundas ketika terlempar dari atas kereta tadi. Mereka hanya menonton, mengharapkan tiga orang jagoan mereka akan dapat membunuh pemuda berpakaian putih itu.

   Cin Hay mengeraskan hatinya, menulikan telinganya yang masih saja mendengar ucapan-ucapan tiga orang jagoan itu tadi. Kini dia mengerti betapa isterinya dahulu tewas. Tentu setelah diperkosa oleh Koan-wangwe, lalu diberikan kepada tiga orang jagoan ini yang memperkosa isterinya sampai tewas, pada hal mereka tahu bahwa isterinya mengandung!

   Dia mengusir dendamnya. Orang-orang ini amat jahat, kalau tidak disingkirkan, tentu kelak hanya akan mencelakakan kehidupan orang-orang lain yang tidak berdosa, demikian suara hatinya, sedikitpun tidak mengingat atau mengenang lagi akan perbuatan mereka terhadap dirinya dan terhadap isterinya.

   "Mampus kau......!" Hek-bin-houw Ban Sun sudah menyerang dengan bacokan goloknya. Bacokannya itu cepat dan kuat sekali, dari atas ke bawah, mengarah kepala Cin Hay, agaknya dalam kemarahannya, si muka hitam itu ingin membacok kepala pemuda baju putih itu agar terbelah menjadi dua! Dan pada detik berikutnya, sepasang pedang di tangan Kim Lok juga menusuk ke arah leher dan lambung!

   Cin Hay mengelak dengan mudah terhadap bacokan golok dan melihat tusukan dua batang pedang itu, kakinya menendang, mendahului tangan kanan lawan sehingga sebelum pedang datang menusuk, pergelangan tangan Kim Lok tertendang, tepat mengenai urat nadinya sehingga pedangnya terlepas, tepat pada saat Cin Hay mengelak dari tusukan kedua. Cepat tangan Cin Hay menyambar pedang yang terpental lepas dari tangan kanan Kim Lok.

   Pada saat itu, Phang Ek datang menyerang dari belakangnya, menusukkan kedua batang pisaunya ke arah lambung dan punggung. Gerakannya cepat dan kuat sekali. Cin Hay mendengar gerakan ini dan dia memutar tubuh, mendahului dengan sambaran pedang rampasannya.

   "Cring! Trang......!" Dua batang pisau di tangan Phang Ek itu terpental dan patah-patah ketika bertemu dengan sambaran pedang yang amat kuat itu. Phang Ek mengeluarkan seruan kaget dan meloncat ke belakang dengan mata terbelalak.

   Saat itu, Ban Sun sudah menyerang lagi dengan bacokan golok besarnya, membacok ke arah leher. Golok itu membabat dengan cepat, mengeluarkan suara berdesing saking kuatnya. Cin Hay menggerakkan pedang rampasannya, menangkis dan memutar pedang itu sambil mengerahkan sin-kangnya untuk menempel.

   Ban Sun terkejut. Goloknya seperti melekat dan ikut terputar walaupun dia mencoba untuk mempertahankan sekuatnya. Tiba-tiba Cin Hay mengeluarkan bentakan pendek, pedangnya membuat gerakan memutar dan menyentak dan...... golok itu membalik, tidak dapat dikuasai oleh tangan Ban Sun dan tanpa dapat dicegah lagi, golok yang membalik itu menyambar ke arah perut yang gendut itu.

   "Cappp......!" Ban Sun terbelalak memandang ke arah perutnya yang dimakan goloknya sendiri, lalu terjengkang!

   Melihat ini, Kim Lok menusukkan pedangnya yang tinggal sebatang, akan tetapi tusukan itu dapat ditangkis oleh pedang Cin Hay yang membuat lengan Kim Lok tergetar hebat dan dia terpaksa melangkah mundur agar tidak sampai jatuh.

   Phang Ek sudah mengambil dua batang pisau lagi dan kini dia menyambitkan dua batang pisau itu ke arah Cin Hay sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Cin Hay menangkis sebatang pisau sehingga runtuh ke atas tanah, dan pisau kedua disambarnya dengan tangan, kemudian, dengan tangan kiri yang menyambut pisau tadi, dia menyambit. Nampak sinar terang berkelebat dan tahu-tahu pisau itu telah menembus leher Phang Ek. Orang ini mengeluarkan suara aneh, mencoba untuk mencabut pissu itu, namun agaknya pisau itu terjepit tulang kerongkongan, dan diapun roboh terkulai!

   Kim Lok terbelalak dengan muka pucat. Dalam satu dua gebrakan saja, dua orang kawannya telah roboh dan tewas, sedangkan majikannya masih mengerang kesakitan bersama kusir yang ketakutan. Dia maklum bahwa nyawanya terancam maut, maka tanpa banyak pikir lagi, secara pengecut Kim Lok lalu membalikkan tubuhnya dan mengambil langkah seribu, melarikan diri!

   Akan tetapi baru saja kakinya melangkah beberapa kali, nampak sinar terang berkelebat dan sebatang pedang, pedangnya sendiri yang tadi terampas lawan, telah meluncur dan menghujam punggungnya sampai tembus ke dadanya! Dia tersentak, terbelalak, lalu jatuh menelungkup.

   Melihat betapa tiga orang jagoannya tewas semua, Koan Ki Sek yang sudah menderita nyeri dan ketakutan itu hampir pingsan. Kusir kereta juga ketakutan dan dia sudah berdiri dan hendak melarikan diri, akan tetapi Cin Hay membentak.

   "]angan lari!"

   Kusir kereta itu berhenti dan celananya menjadi basah! Dia terkencing-kencing saking takutnya. Koan Wan-gwe sendiri lalu merangkak dan berlutut menghadap pemuda itu, mulutnya berkeluh kesah minta dikasihani dan diampuni.

   Cin Hay tersenyum dingin.

   "Kau masih ingat padaku?" tanyanya.

   Koan Ki Sek merasa mulutnya remuk dan nyeri sekali, akan tetapi dia memaksa diri mengangguk dan berkata.

   "......ampunkan...... aku...... ampunkan......"

   "Engkau masih ingat isteriku...... wanita muda berpakaian kuning yang mengandung muda itu?"

   Koan Ki Sek semakin ketakutan.

   "Ampun..... ampun...... bukan aku yang membunuhnya ...... ia... ia mencakari aku...... kuberikan kepada mereka bertiga dan... dan....... ampunkan aku......"

   Hemm, orang semacam ini memang tidak ada gunanya diberi kesempatan hidup lagi. Paling-paling akan mengulangi perbuatannya yang sesat. Tidak akan sukar bagi hartawan itu untuk mencari pengganti jagoan yang lebih kuat lagi karena dia mampu membayar, dan makin merajalela mengumbar nafsu-nafsunya. Akan tetapi dia teringat akan keadaannya. Dia melakukan perjalanan jauh dan dia membutuhkan biaya. Dari mana dia akan memperoleh uang? Paling baik memperoleh dari hartawan kejam ini!

   "Hayo naik ke kereta!" bentaknya, lalu menoleh kepada kusir.

   "Engkau juga! Bawa aku ke rumahmu, Koan Wan-gwe dan aku ingin menukar nyawamu dengan tigaratus tail emas!"

   "Baik...... baik..... terima kasih......" Hartawan itu mengangguk, lalu dengan tubuh gemetar dia naik ke dalam kereta, seperti seekor tikus berdekatan dengan kucing ketika dia duduk berdampingan dengan Cin Hay yang nampak tenang saja. Kereta lalu dijalankan oleh kusir yang juga ketakutan itu.

   Setelah kereta berhenti di depan gedung tempat tinggal Koan Ki Sek, Cin Hay memegang lengan pria berusia hampir enampuluh tahun itu dan berkata dengan nada suara mengancam.

   

Iblis Dan Bidadari Eps 6 Pedang Sinar Emas Eps 50 Pedang Sinar Emas Eps 39

Cari Blog Ini