Ceritasilat Novel Online

Si Bayangan Iblis 8


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 8




   Liong-li hampir tidak percaya akan keterangan ini. Mana mungkin di dunia ini ada seorang laki-laki, apa lagi kalau dia pangeran, yang tidak akan mau menyentuh seorang wanita yang telah menjadi selirnya, kalau wanita itu tidak mau menyerahkan diri dengan suka rela?

   Sudah terlalu banyak ia mendengar akan nasib para wanita yang dipaksa menjadi dayang atau selir para bangsawan, kalau tidak diperkosa secara biadab, tentu ditundukkan dengan obat bius, dengan obat perangsang, atau dengan alat lain. Namun, terhadap segala macam obat atau cara lain itu ia tidak takut. Asal pangeran itu tidak memaksanya, ia mampu menjaga diri.

   "Siapakah pangeran itu, Yang Mulia?"

   "Dia Pangeran Souw Han, usianya baru duapuluh tahun dan berbeda dengan para pangeran lain, sampai sekarang dia belum mempunyai seorangpun selir. Bahkan beberapa orang gadis yang menjadi dayang dan pelayannya, belum pernah ada yang diganggunya. Dia seorang yang tekun mempelajari sastera dan seni dan tidak pernah mau memperebutkan kedudukan sehingga tidak seorangpun membencinya di istana ini. Nah, dengan menjadi selirnya, lain orang tidak akan berani mengganggumu dan engkau dapat dengan leluasa melakukan penyelidikan. Dan dia sendiripun tidak akan mengganggumu, Siauw Cu."

   "Tapi, Yang Mulia. Kalau beliau tidak pernah mau mempunyai selir, bagaimana hamba dapat menjadi selirnya? Tentu beliau akan menolak."

   "Hemm, kalau aku sendiri yang menghadiahi seorang selir kepadanya, bagaimana dia berani menolaknya? Dia amat sopan dan tahu aturan. Engkau akan menjadi selir pertamanya, akan tetapi aku yakin, kalau engkau tidak mau dijamahnya, dia terlalu angkuh untuk merendahkan diri memaksamu. Bagaimana?"

   Liong-li tertarik sekali. Kalau memang ada seorang pangeran yang seperti itu, tentu ia akan aman dan akan mudah sekali melakukan penyelidikan.

   "Akan tetapi, bagaimana kalau beliau curiga kepada hamba?"

   "Tidak. Sudah kukatakan, Pangeran Souw Han tidak mau mencampuri urusan persaingan. Kalau kujelaskan kepadanya bahwa engkau kuselundupkan sebagai selirnya untuk menyelidiki Si Bayangan Iblis, tentu dia tidak akan menaruh curiga lagi kepadamu."

   "Baiklah kalau begitu, Yang Mulia."

   Hek-liong-li mengerling ke arah pemuda itu dan jantungnya berdebar penuh kagum. Seorang pemuda yang masih muda sekali, usianya paling banyak duapuluh tahun, namun sikapnya demikian dewasa. Begitu tenang, begitu wibawa, begitu sopan santun ketika dia menghadap Sang Permaisuri yang mengundangnya.

   Pemuda itu begitu memasuki ruangan, langsung saja menghampiri sang permaisuri, tidak sedikitpun melirik kepadanya atau kepada Bi Cu dan Bi Hwa. Dengan sikap hormat dia berlutut dengan sebelah kaki dan merangkap kedua tangan di depan dada.

   "Semoga Thian selalu melindungi Ibunda dalam keadaan sehat dan bahagia selalu," katanya. Ucapannya juga lembut dan halus, dengan kata-kata yang indah.

   Bukan main pemuda ini, pikir Liong-li. Amat menarik, amat mengagumkan, akan tetapi juga membuat orang merasa canggung dan segan! Dengan sudut kerling matanya, tidak berani terlalu menyolok, diam-diam Liong-li mempelajari pemuda yang kini sudah dipersilakan duduk di atas kursi berhadapan dengan Sang Permaisuri itu.

   Pangeran Souw Han yang menghadap itu usianya kurang lebih duapuluh tahun, pakaiannya seperti pakaian pangeran, akan tetapi tidak terlalu mewah, bahkan mirip pakaian seorang sasterawan, hanya terbuat dari sutera halus dan topinya menunjukkan bahwa dia seorang pangeran.

   Pakaian itu rapi dan bersih, akan tetapi tidak pesolek, bahkan sederhana. Juga ketika dia memasuki ruangan itu, tidak tercium semerbak wangi seperti ketika Pangeran Souw Cun masuk tadi. Nampaknya seperti seorang pemuda biasa, namun wajahnya dan pembawaannya sungguh membuat Liong-li kagum bukan main.

   Sudah banyak ia berteman pria, akan tetapi belum pernah bertemu dengan seorang pria setampan ini, sehalus ini. Seperti wanita berpakaian pria saja! Hanya sepasang alis berbentuk golok yang hitam tebal itu saja yang menunjukkan dia seorang pria tulen, juga kalamanjing di lehernya.

   Wajahnya berkulit demikian putih halus seperti dibedaki saja, dan kedua pipinya merah jambon seperti buah tomat, segar seperti pipi gadis remaja saja. Hidungnya agak besar dan mancung, sepasang matanya lebar dan lembut, dan mulutnya? Hampir Liong-li sukar mengalihkan pandang matanya dari mulut itu. Bibir itu begitu merah seperti dipoles gincu. Akan tetapi tidak, bibir itu memang merah karena segar dan sehat.

   Ih, kau mata keranjang, Liong-li memaki diri sendiri dan iapun menundukkan pandang matanya yang tadi melekat di pipi dan bibir itu. Ia bukan seorang yang gila sex, bukan budak nafsu berahi. Ia hanya mau bermain cinta dengan pria yang benar-benar disukanya, bukan sembarang lelaki asal tampan saja! Akan tetapi ketampanan pangeran muda ini sungguh membuat ia terpesona, bukan membangkitkan gairah, hanya membangkitkan kagum dan heran mengapa di dunia ada seorang pria yang demikian tampannya! Seperti gambar saja!

   "Anakku Pangeran Souw Han yang baik, sungguh engkau menyenangkan sekali hatiku. Terima kasih, pangeran. Dan engkau juga nampak sehat. Bagaimana dengan pelajaranmu? Aku mendengar engkau rajin sekali mempelajari sastera dan seni."

   "Berkat doa Ibunda Permaisuri, hamba memperoleh kemajuan dan dapat menikmati ilmu yang hamba pelajari."

   "Aihh, Souw Han. Lain kesempatan ingin sekali aku mendengarkan permainanmu yang-kim dan suling, juga ingin sekali mendengarkan engkau bersajak atau melukis. Akan tetapi sekarang, aku mengundangmu untuk suatu urusan yang penting sekali."

   Wajah yang tadinya menunduk dan hanya memandang ke arah sepatu ibu tirinya itu, kini diangkat dan sepasang mata yang lembut itu menatap wajah sang permaisuri dengan penuh pertanyaan. Belum pernah dia mempunyai urusan penting dengan Permaisuri atau dengan siapa saja. Setiap hari dia hanya sibuk dengan urusan pelajaran sastera dan seni.

   "Ada urusan yang penting apakah, Ibunda?"

   "Anakku, Souw Han, katakan dulu. Maukah engkau menolong aku?"

   "Paduka tentu mengetahui bahwa hamba akan selalu mentaati perintah paduka, dan tentu saja suka membantu paduka dengan segala kemampuan hamba, asal saja perintah paduka itu benar dan sudah sepatutnya dilakukan oleh hamba sebagai putera paduka, Ibunda."

   Kembali Liong-li kagum. Jawaban itu demikian tepat dan benar, akan tetapi juga halus sehingga tidak akan menyinggung. Kalau permaisuri itu memiliki niat yang tidak patut, maka niat itu akan lenyap sebelum dinyatakan oleh jawaban itu.

   "Tentu saja, anakku. Dengar baik-baik. Engkau tentu telah tahu akan kekacauan yang terjadi oleh ulah apa yang dinamakan Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis), bukan?"

   Biarpun sikapnya tetap tenang, namua Liong-li melihat betapa pangeran itu terkejut mendengar disebutnya nama itu.

   "Ibunda Permaisuri, hamba sudah mendengar akan tetapi hamba tidak mencampuri urusan itu yang seharusnya ditangani oleh para petugas keamanan."

   "Memang benar, anakku. Akan tetapi sampai kini usaha para petugas keamanan itu belum juga berhasil dan engkau tentu tahu berapa banyaknya korban yang telah jatuh. Apakah tidak sudah sepantasnya kalau engkau sebagai seorang pangeran ikut pula membantu agar penjahat yang membuat kekacauan itu tertangkap?"

   Pangeran itu memandang heran, sepasang matanya yang lebar itu terbelalak dan nampak indah.

   "Ibunda Yang Mulia, bagaimana seorang seperti hamba dapat membantu penangkapan seorang penjahat yang demikian lihainya?"

   "Engkau bisa, anakku. Bahkan justeru kepadamulah aku menggantungkan harapan akan berhasilnya usaha kami untuk membongkar rahasia si Bayangan Iblis itu. Kau lihat wanita ini!" Sang Permaisuri menunjuk ke arah Liong-li yang masih duduk dengan kepala tunduk.

   "Ia adalah dayangku yang kupercaya penuh bernama Siauw Cu. Ia seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi dan ialah yang kutugaskan untuk menyelidiki si Bayangan Iblis, bahkan menangkapnya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dapat ia lakukan kalau ia tidak diselundupkan ke dalam istana induk, dibagian putera......"

   "Ehhh? Jadi menurut Ibunda...... Si Bayangan Iblis itu berada di dalam istana?" Sang Pangeran benar-benar terkejut sekarang.

   "Itu baru dugaan kami, anakku. Oleh karena itu untuk menyelidiki benar tidaknya dugaan itu, kami ingin menyelundupkan Siauw Cu ini ke sana. Dengan demikian, ia akan dapat melakukan penyelidikan dengan leluasa."

   "Lalu apa hubungannya dengan bantuan hamba, Ibunda?"

   "Agar jangan menimbulkan kecurigaan komplotan si Bayangan Iblis, ia akan kuselundupkan ke sana sebagai selirmu, Pangeran!"

   "Ahh......!" Wajah yang berkulit putih kemerahan itu kini menjadi merah sekali dan pangeran itu menoleh kepada Liong-li. Sejenak pandang mata mereka bertemu, akan tetapi melihat betapa pangeran itu menjadi merah mukanya seperti seorang perawan dilamar, Liong-li menjadi tidak tega dan iapun cepat menunduk.

   "Bagaimana mungkin, Ibunda? Paduka mengerti bahwa hamba.... hamba tidak mempunyai selir dan belum ingin punya selir.....! Kenapa tidak Ibunda berikan saja kepada para kakak pangeran lain yang mempunyai banyak selir?"

   Permaisuri Bu Cek Thian menggeleng kepala.

   "Aku tidak percaya kepada siapapun lagi di sana kecuali Sribaginda Kaisar dan engkau, anakku. Kalau kuberikan kepada puteraku, Pangeran Tiong Cung, akan lebih mencurigakan lagi. Hanya engkaulah satu-satunya orang dapat kupercaya, Pangeran. Demi ketenteraman istana, bahkan kota raja dan negara, bantulah kami. Terimalah Siauw Cu sebagai selirmu."

   "Tapi...... tapi..... ah, Ibunda. Bukan hamba tidak ingin membantu. Akan tetapi....... selir? Bagaimana kalau ia hamba terima sebagai dayang saja? Seorang dayang baru? Hamba sudah mempunyai lima orang gadis dayang, kalau ditambah seorang lagi tentu tidak mencurigakan."

   "Akan tetapi kalau menjadi dayangmu, Siauw Cu harus tidur bersama para dayang lainnya dan hal ini membuat ia tidak leluasa melakukan penyelidikan, anakku. Kalau sebagai selirmu, tentu boleh tinggal di kamarmu, dan malamnya ia dapat melakukan penyelidikan tanpa dicurigai orang lain."

   "Tapi...... tapi.... Ibunda......."

   "Dengar dulu, Souw Han anakku. Aku sudah mendengar bahwa engkau tekun mempelajari sastra dan seni, dan mendengar bahwa engkau sampai sekarang belum pernah dan belum suka bergaul dengan wanita sehingga belum mempunyai seorangpun selir. Akan tetapi, jangan engkau mengira bahwa Siauw Cu akan menjadi selirmu yang sungguh-sungguh!

   "Kalau begitu, iapun tidak akan mau. Kalau ia mau menjadi selir sungguh-sungguh, tentu persoalannya lebih mudah dan ia sudah kuselundupkan menjadi selir Pangeran Souw Cun yang menginginkannya. Akan tetapi ketahuilah, anakku, Siauw Cu ini adalah seorang pendekar wanita.

   "Ia bertugas menyelidiki dan menangkap Si Bayangan Iblis dan iapun hanya mau diselundupkan sebagai selir asal tidak diganggu pria manapun. Jadi, kalau menjadi selirmu sudah cocok. Engkau tidak ingin menjamahnya, dan iapun tidak ingin disentuh pria. Engkau hanya mengakuinya saja sebagai selir, menyembunyikannya di kamarmu dan malamnya engkau biarkan ia melakukan penyelidikan. Nah, tepat, bukan?"

   Kini pandang mata pangeran itu mengamati Liong-li dengan penuh perhatian dan agaknya dia tertarik sekali. Belum pernah selamanya dia mendengar ada seorang wanita yang tidak mau dijamah pria, apa lagi pangeran! Dan di samping keheranannya, diapun kagum.

   "Kalau begitu, tentu saja hamba tidak berkeberatan, ibunda Permaisuri. Walaupun tentu hamba akan digoda setengah mati oleh para pangeran lainnya." Kemudian ditambahkannya sambil mengerling ke arah Liong-li.

   "Dan asal saja ia tidak menganggu pelajaran hamba!"

   Liong-li menahan senyumnya, mengangkat muka memandang pangeran itu dan berkata.

   "Harap paduka tenangkan hati, Pangeran. Hamba berjanji tidak akan mengusik atau mengganggu paduka sedetikpun!"

   Kembali dua pasang mata bertemu dan agaknya pangeran itu bergidik ketika melihat sepasang mata yang demikian indah dan jelitanya, juga yang mempunyai sinar mencorong, seperti mata harimau di malam hari!

   "Nah, sekarang juga bawalah Siauw Cu bersamamu Pangeran. Dan agar tidak menimbulkan kecurigaan, Siauw Cu harus berdandan lebih dulu seperti layaknya seorang gadis yang baru saja diboyong oleh seorang pangeran, dan biar diantar oleh enam orang dayang pribadiku sehingga orang-orang akan tahu bahwa selir yang kau bawa merupakan hadiahku untukmu."

   Liong-li diajak masuk ke dalam kamar oleh seorang dayang yang dipanggil masuk dan ketika wanita ini merias dirinya di depan cermin, jantungnya berdebar tegang. Ia akan hidup sekamar dengan seorang pemuda yang demikian tampannya! Hemm, tentu membutuhkan pengerahan tenaga batin yang kuat agar jangan sampai tergugah gairah kewanitaannya.

   Kalau pangeran ini bersikap lain, misalnya seperti Pangeran Souw Cun yang mata keranjang itu, tentu ia tidak perlu khawatir akan perasaan hatinya sendiri karena ia yakin bahwa sikap seorang pria seperti itu, yang mata keranjang dan kurang ajar, tentu tidak mungkin akan mampu menimbulkan gairahnya. Akan tetapi Pangeran Souw Han ini, hemmmm...... jantungnya berdebar tegang juga dan ia harus berhati-hati sekali menjaga dirinya sendiri.

   Setelah Liong-li menyisir rambutnya, mengenakan pakaian yang lebih indah dari pada pakaian pelayan ketika ia menyamar Akim, lalu mengenakan bedak tipis dan membasahi kedua bibirnya dengan lidah, dayang yang tadi mengantarnya berias, memandang kagum.

   "Nona...... sungguh cantik jelita......" kata dayang itu.

   Liong-li tersenyum memandang kepada dayang itu, seorang gadis yang usianya paling banyak delapanbelas tahun dan berwajah manis sekali. Kalau berada di sebuah dusun, tentu gadis ini dapat menjadi kembang dusun yang menjadi rebutan semua pemuda. Akan tetapi di sini, di dalam istana ini, ia hanya seorang dayang, seperti benda hiasan, seperti setangkai bunga yang sudah dipetik dan ditaruh di dalam gedung indah, entah bagaimana nasibnya kelak.

   Kalau ia bernasib baik, ia akan dipilih menjadi selir seorang pangeran. Kalau tidak, ia hanya akan menjadi dayang sampai akhirnya ia dipaksa melayani seorang pangeran atau diberikan kepada seorang ponggawa, seperti setangkai bunga yang dibuang begitu saja setelah dipetik, diremas dan menjadi layu.

   "Engkau juga cantik, mudah-mudahan engkau akan mampu menjaga kecantikanmu itu," kata Liong-li dan iapun bangkit setelah selesai berdandan. Ia lalu diantar oleh dayang itu kembali ke dalam ruangan tadi di mana permaisuri dan Pangeran Souw Han masih menantinya.

   Permaisuri Bu Cek Thian mengangkat mukanya dan jelas sekali nampak kekaguman pada matanya ketika ia melihat Liong-li yang kini berdandan sebagai seorang selir, dengan pakaian yang lebih mewah dan lebih indah dibandingkan pakaian seorang dayang.

   "Siauw Cu, sungguh...... sudah kuduga....., engkau cantik jelita sekali! Mata Pangeran Souw Cun sungguh tajam bukan main, sekali lihat saja dia sudah tahu bahwa engkau seorang wanita yang memiliki kecantikan luar biasa!"

   Akan tetapi, Liong-li melihat betapa Pangeran Souw Han hanya memandang kepadanya sepintas lalu saja, seolah-olah ia hanya sebuah benda biasa saja yang tidak ada bedanya dibandingkan sebuah meja atau sebuah kursi. Dan di lubuk hatinya, ia merasa penasaran dan kecewa!

   Baru sekarang ia merasakan kekecewaan dan penasaran seperti ini. Kecewa karena tidak dihiraukan oleh seorang pria! Pada hal biasanya, kalau ia terlalu diperhatikan pria, ia malah marah.

   "Ibunda Permaisuri, hamba hanya mentaati perintah paduka ibunda, hanya untuk memberi tempat persembunyian kepada nona.... eh, Siauw Cu ini. Akan tetapi, hamba hanya dapat memberi waktu seminggu saja. Kalau sudah seminggu, hamba harap paduka mengambilnya kembali agar hamba tidak terlalu terganggu."

   Gemas juga perasaan hati Liong-li mendengar ucapan yang walaupun halus namun jelas menyatakan betapa pangeran itu merasa terganggu dan sebenarnya tidak suka kalau harus mengambilnya sebagai selir, walaupun hanya sebutannya saja demikian.

   "Yang Mulia, hamba hanya minta waktu lima hari saja. Kalau selama lima hari hamba belum berhasil menemukan atau membongkar rahasia Si Bayangan Iblis, hamba akan keluar saja dari istana ini!" katanya kepada Sang Permaisuri, akan tetapi matanya mengerling ke arah pangeran muda itu.

   Akan tetapi, sang Pangeran itu agaknya malah menyambut pernyataan Liong-li itu dengan gembira.

   "Bagus kalau begitu, lebih cepat lebih baik bagiku! Mari kita pergi. Ibunda, sudah siapkah para dayang yang akan menjadi pengikut?"

   "Sudah," kata Sang Permaisuri karena memang di situ kini sudah berlutut enam orang gadis dayang, yang akan menjadi "pengantar" Liong-li yang diangkat menjadi selir Pangeran Souw Han!

   Dua orang perajurit thai-kam yang gendut dan kuat dipanggil. Mereka datang membawa sebuah joli karena seperti sudah menjadi kebiasaan, seorang selir adalah seorang wanita yang mendapat kehormatan, maka sudah berhak diangkut dengan sebuah joli. Berangkatlah rombongan itu, sang pangeran di depan dengan langkahnya yang halus, di belakangnya joli yang ditumpangi Liong-li digotong dua orang thai-kam, dan di belakangnya berjalan enam orang dayang permaisuri dalam barisan dua-dua yang rapi.

   Semua penjaga dan perajurit pengawal mengenal Pangeran Souw Han, dan tahu pula bahwa enam orang dayang itu adalah dayang-dayang permaisuri, maka tidak ada seorangpun yang berani menghalangi atau bertanya ketika rombongan ini lewat, dari bagian puteri memasuki istana induk.

   Dan sebentar saja tersiarlah berita di dalam istana bahwa pangeran Souw Han telah dihadiahi seorang selir oleh Permaisuri. Berita ini mendatangkan perasaan gembira kepada semua orang, di samping keheranan dan peristiwa ini tentu saja menjadi bahan pergunjingan karena selama ini mereka mengenal Pangeran Souw Han sebagai seorang pemuda yang sama sekali tidak mau berdekatan dengan wanita!

   Tentu saja timbul keinginan tahu dari mereka untuk melihat seperti apa gerangan wanita yang terpilih menjadi selir pangeran yang disuka ini. Akan tetapi, selir itu jarang sekali keluar dari dalam kamar. Hanya beberapa orang dayang saja yang pernah melihatnya dan dari mulut merekalah tersiar berita, bahwa selir Pangeran Souw Han adalah seorang wanita yang cantik jelita seperti bidadari!

   Ketika enam orang dayang permaisuri yang mengantar Liong-li kembali ke istana bagian puteri, dan Liong-li sudah berada di dalam kamar Pangeran Souw Han, diperkenalkan kepada beberapa orang dayang pangeran itu, Liong-li merasa canggung juga. Ia bukanlah seorang perawan dusun yang pemalu. Ia seorang pendekar wanita yang sudah menjelajah dunia kang-ouw, sudah banyak pengalaman. Namun, kini diperkenalkan oleh "suaminya" yang lemah lembut itu kepada beberapa orang dayang, ia merasa canggung bukan main.

   Dan ia melihat betapa beberapa orang dayang pelayan pangeran itu tidak ada yang cantik seperti dayang permaisuri, hanya wanita biasa saja namun cekatan dan sopan. Tahulah ia bahwa memang sang pangeran ini tidak suka diganggu wanita cantik! Ia merasa semakin penasaran, merasa seperti ditantang kecantikannya sebagai wanita.

   Selamanya belum pernah ada secuwilpun ingatan dalam benaknya untuk memikat atau merayu pria. Dalam hal ini ia tinggi hati. Akan tetapi, keadaan Pangeran Souw Han sungguh membuat ia merasa rendah diri.

   Kalau saja ia tidak ingat bahwa ia sedang menghadapi tugas penting yang berat, ingin rasanya ia menyambut keadaan yang dianggapnya sebagai tantangan terhadap kewanitaannya itu. Ingin rasanya ia menjatuhkan hati pangeran yang tinggi hati terhadap wanita itu agar pangeran itu tahu bahwa ia adalah seorang wanita sejati, seorang wanita cantik jelita yang membuat banyak pria terpesona, dan agar pangeran itu tidak memandangnya sebagai sebuah kursi atau meja saja!

   Setelah Pangeran Souw Han memerintahkan semua dayangnya untuk keluar dari kamar, kini mereka hanya berdua saja di dalam kamar itu. Liong-li duduk di atas sebuah kursi, setelah tadi ia pindah dari tepi pembaringan. di mana ia disuruh duduk ketika pertama kali dibawa masuk kamar dan segera pindah ke kursi begitu para dayang keluar, sedangkan Pangeran Souw Han kini nampak berjalan-jalan hilir mudik, nampaknya bingung dam gelisah.

   Dengan sudut matanya yang mengerling Liong-li mengikuti gerakan pemuda bangsawan itu dan hatinya merasa geli sekali, juga kasihan. Ia dapat membayangkan betapa kehadirannya di dalam kamar pangeran itu membuat dia menjadi salah tingkah, bingung dan agaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

   "Pangeran," ia memanggil lirih.

   Hanya lirih saja namun agaknya mengejutkan pemuda itu karena dia tiba-tiba menghentikan langkahnya, membalik dan memandang kepadanya. Tidak menjawab, hanya memandang dengan penuh selidik. Mulutnya yang indah itu, dengan bibirnya yang merah segar, nampak agak cemberut, membuat Liong-li menjadi semakin geli.

   "Pangeran, saya...... saya tidak ingin mengganggu paduka. Biarlah saya mengundurkan diri, di manakah saya harus tinggal? Di mana kamar saya?"

   "Di mana lagi?" Pangeran itu berkata, bukan menjawab melainkan bertanya, dan mulutnya makin meruncing cemberutnya.

   "Aku tidak seperti para pangeran lain yang mempunyai banyak kamar! Kamarku hanya sebuah ini, kubikin cukup luas. Ini kamar tidurku, kamar kerjaku, kamar belajarku, kamar makan, kamar bersantai. Di sebelah itu kamar para dayang. Di mana lagi kau dapat tinggal?"

   Pangeran itu menghela napas panjang, lalu menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi. Mereka duduk berhadapan, dalam jarak lima meter, saling pandang. Liong-li tersenyum simpul, Pangeran Souw Han cemberut.

   Liong-li mengerling ke kanan kiri. Kamar itu memang luas, seperti empat buah kamar dijadikan satu, dan karena ruangan yang luas itu maka hawanya sejuk dan menyenangkan. Hanya ada sebuah tempat tidur di situ, yang didudukinya tadi. Tempat tidur yang bersih dan cukup lebar, cukup untuk empat orang dan longgar sekali kalau hanya untuk dua orang!

   Ada meja kursi makan, meja kursi duduk, almari penuh buku, almari pakaian, pot-pot kembang, lukisan dan sajak-sajak dengan tulisan indah bergantungan. Lantainya bertilam permadani tebal. Sebuah kamar yang enak ditinggali! Apa lagi berdua dengan seorang pangeran seperti itu. Sayang muka yang tampan itu kini muram dan mulut yang indah itu cemberut.

   "Tempat tidurnya....... hanya sebuah......?" Ia bertanya, hanya untuk memancing percakapan karena tanpa bertanyapun sudah jelas bahwa di situ hanya ada sebuah tempat tidur.

   Pangeran itu mengangguk.

   "Tentu saja hanya sebuah! Hanya aku sendiri yang tidur di kamar ini, sejak aku, remaja!"

   "Kalau begitu, biarlah saya tidur bersama para dayang di kamar sebelah saja, Pange- ran."

   "Itu baik sekali!" Pangeran Souw Han berseru gembira sambil bangkit berdiri, akan tetapi, segera sepasang alis yang tebal hitam itu berkerut dan dia jatuh terduduk kembali.

   "Tidak mungkin! Ibunda Permaisuri tentu akan marah kepadaku. Bagaimana mungkin seorang....... selir tidur di kamar dayang? Tentu akan dibicarakan orang dan menimbulkan kecurigaan, dan orang-orang akan tahu bahwa engkau hanya pura-pura saja menjadi selirku. Semua rahasia akan terbuka dan Ibunda akan marah kepadaku!"

   "Kalau begitu, jangan khawatir, Pangeran. Biarlah kalau siang hari saya bersembunyi di sini. Dapat kulakukan pekerjaan membersihkan semua perabot di kamar ini, mengaturnya sehingga rapi. Kalau malam, diam-diam saya akan menyelinap keluar dan melakukan penyelidikan......."

   "Tapi tentu tidak semalam suntuk. Kalau engkau malam-malam kembali ke kamar ini......."

   "Tidak perlu paduka bingung. Saya dapat tidur di sudut sana itu, di atas lantai yang sudah ditilami permadani dan saya tidak akan mengganggu paduka. Paduka tidurlah seperti biasa di atas pembaringan paduka dan......"

   Tiba-tiba pangeran itu bangklt berdiri dan memandang kepada Liong-li dengan mata bersinar dan alis berkerut.

   "Siauw Cu! Kaukira aku ini orang apa?"

   Liong-li terbelalak.

   "Paduka? Paduka seorang pangeran yang terhormat......"

   "Lebih dari itu, aku seorang laki-laki! Seorang laki-laki sejati, tahu engkau?"

   Liong-li memandang heran, terkejut dan menelan ludah sambil mengangguk, tidak berani membuka mulut karena khawatir salah bicara.

   "Dan kaukira seorang laki-laki sejati begitu tak tahu malu enak-enak tidur di atas pembaringan dan membiarkan seorang wanita menggeletak di atas lantai begitu saja? Huh! Kau kira aku seorang laki-laki yang tidak tahu tata susila, tidak tahu menghargai kaum wanita yang lemah?"

   Sepasang mata yang jeli dan indah itu semakin terbelalak, akan tetapi bukan hanya karena kaget dan heran, melainkan kini penuh kagum. Bukan main pangeran ini! Sungguh jauh melampaui segala kekagumannya!

   "Lalu...... lalu.... bagaimana maksud paduka? Saya..... hamba... hanya menurut saja....."

   "Kalau engkau ingin tidur, siang ataupun malam, engkau tidur di atas pembaringan ini, tidak boleh di atas lantai! Mengerti?" Pangeran itu berkata, suaranya masih lembut akan tetapi mengandung perintah yang tidak mau dibantah.

   Liong-li mengangguk dan jantungnya berdebar aneh. Kiranya pangeran ini tidaklah seaneh yang ia sangka, kiranya masih sama saja dengan pemuda lainnya, menghendaki ia tidur bersamanya!

   "Aku yang akan tidur di atas lantai!"

   Buyarlah semua renungan Liong-li dan ia terkejut lagi, memandang aneh.

   "Tapi...... tapi.... bagaimana mungkin hamba tidur di atas pembaringan sedangkan paduka, seorang pangeran...... tidur di lantai.....?" Liong-li benar-benar terkejut.

   "Aku sudah biasa. Seringkali kalau membaca kitab ketiduran di lantai. Kalau hawa udara panas akupun tidur di lantai. Mengapa? Engkau wanita, sudah sepatutnya mendapat tempat terbaik."

   Liong-li menjadi bengong. Kalau saja ia seorang wanita cengeng tentu ingin ia menangis saat itu. Akan tetapi, ia tidak menangis, hanya mengamati wajah itu dan lupa bahwa ia berhadapan dengan seorang putera kaisar ia berkata.

   "Pangeran, paduka....... paduka adalah seorang jantan, seorang laki-laki yang...... hebat!"

   Wajah yang berkulit putih halus itu menjadi kemerahan.

   "Hushh, jangan coba merayuku! Engkau duduk yang baik dan mari kita bicara. Engkau harus berterus terang karena aku harus mengenal benar siapa wanita yang tidur di kamarku. Siapa namamu?"

   Liong-li tersenyum. Kini ia mengenal watak pangeran ini. Seorang pangeran yang berwatak halus, bukan saja halus budi bahasanya, juga wataknya amat baik, dan kiranya di antara seribu orang pangeran belum tentu dapat menemukan seorang yang seperti ini! Ia sudah percaya seribu persen kepada Souw Han.

   "Nama saya? Siauw Cu........" ia masih mencoba.

   "Huh, kaukira aku bisa dibohongi begitu saja? Namamu Siauw Cu adalah nama yang diperkenalkan Ibunda Permaisuri kepadaku. Sebenarnya, tentu engkau seorang gadis perkasa yang berilmu tinggi, kalau tidak demikian, tak mungkin engkau disuruh menangkap Si Bayangan Iblis. Hayo katakan, siapa namamu dan dari mana engkau datang?"

   Bukan main, pikir Liong-li, pangeran ini sungguh memiliki banyak segi yang mengagumkan. Sudah bertumpuk semua hal yang mengagumkan hatinya, ditambah memiliki kecerdikan lagi.

   "Baiklah, Pangeran. Saya mengaku kalah. Nama saya Lie Kim Cu dan saya tinggal di kota Lok-yang."

   Kini pangeran itu bangkit berdiri, menghampirinya dan mengamati wajah dan tubuh Liong-li dengan penuh perhatian. Sepasang mata yang bersinar tajam namun lembut dan tidak mengandung kecabulan atau kekurangajaran sama sekali.

   "Hemm, kiranya engkau inilah yang berjuluk Hek-liong-li?"

   Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Liong-li semakin kagum dan iapun bangkit dan memberi hormat dengan membungkuk.

   "Paduka memang hebat, Pangeran. Benar, sayalah yang disebut Hek-liong-li. Akan tetapi, bagaimana paduka dapat menerkanya? Kalau paduka mempelajari ilmu silat, bergaul dengan para ahli silat, hal itu tidak mengherankan. Akan tetapi menurut yang saya dengar dari Yang Mulia Permaisuri, paduka hanya suka mempelajari sastera dan seni."

   Pangeran itu tersenyum dan Liong-li merasa hatinya seperti ditarik-tarik. Belum pernah ia melihat senyum sedemikian manisnya dari seorang pria!

   "Aku juga banyak mendengarkan berita yang menarik dari luar istana, li-hiap (pendekar wanita)."

   "Ihhh......! Pangeran, harap jangan menyebut saya li-hiap. Apa lagi kalau sampai terdengar orang. Ingat, nama saya Siauw Cu!"

   "Hemm, tidak enak rasanya menyebutmu Siauw Cu. Biarlah kusebut Enci Cu saja. Engkau tentu lebih tua dariku."

   "Tentu saja, Pangeran. Usia saya sudah duapuluh lima tahun."

   "Ah, sukar dipercaya. Kukira tadinya hanya lebih tua satu-dua tahun dari aku. Aku sudah duapuluh tahun."

   Bukan main, pikir Liong-li. Sudah duapuluh tahun dan agaknya belum pernah bergaul dengan wanita! Masih perjaka tulen!

   "Pangeran, saya bukan sekedar memuji. Biarpun paduka baru duapuluh tahun, akan tetapi paduka telah memiliki kebijaksanaan yang dewasa, bahkan paduka lebih dewasa dari pada Pangeran Souw Cun yang pernah saya lihat tadi di ruangan Yang Mulia Permaisuri."

   "Kakanda Souw Cun? Ahh! Engkau harus berhati-hati terhadap pangeran yang satu itu, Cu cici!" Diam-diam Liong-li girang sekali mendengar sebutan Cu cici (kakak Cu) ini, sebutan yang amat akrab dari seorang pangeran!

   "Dia kenapakah, Pangeran?"

   Pangeran Souw Han menarik napas panjang, lalu duduk di depan Liong-li. Kini mereka duduk berhadapan dekat, hanya dalam jarak dua meter saja.

   "Sebenarnya, tidak pantas bagiku, seorang pangeran, untuk membicarakan keburukan keadaan keluargaku sendiri. Akan tetapi mengingat akan terjadinya kekacauan dan mengingat pula bahwa engkau diangkat oleh Ibunda Permaisuri untuk menangkap pengacau, biarlah aku ceritakan semua keadaan di istana ini. Katakanlah dulu, Enci Cu, tugasmu ini untuk menyelidiki dan menangkap Si Bayangan Iblis, ataukah untuk menyelidiki perang dingin antar anggauta keluarga kerajaan?"

   "Eh? Apa hubungannya Si Bayangan Iblis dengan keluarga kerajaan, Pangeran?"

   "Kukira hubungannya erat sekali, enci. Ketahuilah, jauh hari sebelum muncul tokoh rahasia yang dikenal dengan julukan Si Bayangan Iblis itu, di dalam istana telah terjadi semacam perang dingin."

   "Perang Dingin?" tanya Liong-li heran.

   "Maksud paduka......"

   "Semacam permusuhan terselubung, permusuhan dan kebencian karena persaingan yang tidak dilakukan secara terbuka atau terang-terangan. Orang-orang saling membenci, ingin saling menjatuhkan, memperebutkan kedudukan dan memperebutkan perhatian ayahanda Sribaginda Kaisar. Aku jemu dengaa semua itu, enci. Maka aku tidak perduli akan semua urusan istana, aku lebih menenggelamkan diriku ke dalam sastera dan seni."

   "Maukah paduka memberi penjelasan yang lebih terperinci? Siapa yang bermusuhan? Dan di pihak mana kiranya Si Bayangan Iblis itu berdiri? Barangkali paduka tahu pula siapa kiranya tokoh itu? Sungguh saya mengharapkan bantuan paduka dalam hal ini, Pangeran."

   "Nanti dulu!" kata pangeran itu dan kini pandang matanya penuh selidik.

   "Engkau memang didatangkan oleh Ibunda Permaisuri dan dibayar untuk menangkapnya, untuk bekerja demi kepentingan Ibunda Permaisuri?"

   Liong-li menggeleng kepala.

   "Tidak, Pangeran. Terus terang saja, saya dimintai bantuan oleh Perwira Cian Hui, dan saya diselundupkan ke dalam istana, akan tetapi Yang Mulia Permaisuri mengetahui rahasia saya."

   Ia lalu menceritakan semua yang terjadi, kemudian menyambung.

   "Saya tidak berpihak kepada siapapun yang bermusuhan di istana ini. Saya hanya ingin menangkap pengacau dan membantu agar istana dan kota raja menjadi tenteram, tidak lagi terganggu oleh penjahat yang melakukan pengacauan dengan pembunuhan-pembunuhan gelap."

   "Bagus! Kalau begitu, aku mau memberitahu kepadamu segala yang kuketahui. Pertama-tama Ibunda Permaisuri sendiri. Beliaulah yang sesungguhnya merupakan pengacau besar di istana!"

   "Ehhh......??" Liong-li terkejut dan terbelalak.

   Pangeran itu menarik napas panjang.

   "Aku merasa diriku sebagai seorang pengkhianat tak tahu malu, cici. Akan tetapi entah mengapa kepadamu aku tidak ingin menyimpan rahasia, karena aku percaya bahwa engkaulah agaknya orangnya yang akan mampu mendatangkan ketenteraman di keluarga kami.

   "Ibunda Permaisuri adalah seorang yang memiliki ambisi besar sekali. Jelas bahwa ia kini telah menguasai seluruh kekuasaan di kerajaan. Ayahku...... semoga Thian mengampuninya, ayahku seperti...... boneka saja di tangan Ibunda Permaisuri.

   "Memang harus kuakui bahwa beliau amat pandai, akan tetapi...... kadang-kadang beliau dapat bersikap tegas dan bahkan kejam terhadap siapa saja yang dianggap menjadi penghalang ambisinya. Beliau juga mempunyai pasukan pengawal khusus, mempunyai jagoan-jagoan........"

   "Saya tahu bahwa Bi Cu dan Bi Hwa, gadis kembar yang menjadi pengawal pribadi beliau itu, adalah dua orang wanita yang lihai."

   "Mereka hanya dua di antaranya. Masih banyak lagi dan siapa saja yang dianggap berbahaya oleh Ibunda Permaisuri, jangan harap dapat hidup! Selain itu...... ah, bagaimana, ya? Rasanya aku membongkar rahasia busuk di dalam keluarga sendiri."

   Liong-li adalah seorang wanita yang cerdik bukan main. Ketika Pangeran Souw Can muncul pagi itu, ia sudah menduga bahwa ada rahasia busuk pada diri permaisuri yang agaknya diketahui bahkan disindirkan oleh pangeran itu.

   Kini, Pangeran Souw Han juga membayangkan adanya rahasia busuk dan pangeran ini merasa ragu untuk menceritakan kepadanya. Memang bukan urusannya, akan tetapi siapa tahu bahwa hal itu ada sangkut pautnya dengan si Bayangan Iblis. Kalau mungkin, ia ingin mengetahui semua rahasia agar memudahkan ia melakukan penyelidikan terhadap Si Bayangan Iblis.

   "Pangeran, kalau memang paduka merasa keberatan, lebih baik jangan diceritakan kepada saya. Apakah itu menyangkut penyelundupan pemuda tampan yang secara diam-diam diselundupkan ke istana bagian puteri?"

   Pangeran itu membelalakkan matanya.

   "Kau...... kau....... sudah tahu?"

   Liong-li tersenyum.

   "Saya hanya menduga saja, Pangeran."

   Pangeran Souw Han menghela napas.

   "Sudahlah, engkau sudah tahu. Memang itulah kelemahan Ibunda Permaisuri. Beliau...... ah, bagaimana, ya..... sungguh memalukan. Beliau suka kepada pemuda pemuda tampan. Akan tetapi sudahlah, itu urusan pribadinya, kita tidak perlu membicarakan hal itu. Hanya ia amat berambisi dan akan menempuh cara apapun saja untuk melenyapkan mereka yang dianggap menentang kekuasaannya."

   "Tapi, Pangeran. Dari Cian Ciang-kun saya mendengar bahwa korban pembunuhan rahasia yang dilakukan Si Bayangan Iblis terdapat pula orang-orang yang dekat dengan Sribaginda Kaisar, dekat dengan Yang Mulia Permaisuri. Bahkan ada pula korban yang menentang beliau...... sungguh membingungkan."

   "Itulah! Tadinya, ketika jatuh korban mereka yang menentang Ibunda Permaisuri, aku sendiri mencurigai Ibunda Permaisuri. Akan tetapi setelah jatuh korban lain yang dekat dengan beliau, aku menjadi bingung dan ragu. Memang sungguh aneh dan memang sebaiknya kalau engkau dapat membongkar rahasia ini, Enci Cu."

   "Apakah selain Yang Mulia Permaisuri masih ada lagi orang lain yang kiranya patut dicurigai?"

   "Aih, banyak permusuhan di sini. Di antara para pangeran juga banyak yang bersaingan memperebutkan perhatian ayahanda Kaisar. Aku muak sekali, dan aku tidak sudi! Aku tidak membutuhkan kedudukan!"

   "Bagaimana dengan pangeran Souw Cun?"

   "Dia? Ah, diapun agaknya tidak perduli akan kedudukan dan kekuasaan. Baginya, asal dia dapat hidup senang, berfoya-foya, mengumpulkan selir sebanyaknya, berganti-ganti selir, berpesta setiap hari. Dia seorang yang genit, mana dia mampu memikirkan urusan negara?"

   "Tapi, bukankah dia seorang pangeran yang pandai ilmu silat?"

   "Kakanda Souw Cun? Aha, dia hanya suka pelesir, mana mampu ilmu silat? Setahuku, dia tidak pernah berlatih atau belajar ilmu silat."

   Diam-diam Liong-li merasa heran. Ketika pangeran itu memegang dagunya, ia merasakan benar adanya kekuatan yang terkandung dalam jari-jari tangan itu!

   "Kalau begitu, dia lebih suka mempelajari sastera seperti paduka?"

   "Huh, Dia hanya belajar asal bisa baca huruf saja! Gurunya pun kulihat brengsek! Sasterawan macam apa itu yang disebut, Bouw Sianseng? Mungkin baru dapat menulis beberapa ribu macam huruf saja, lagaknya seperti seorang mahaguru, akan tetapi tata susilanya demikian kasar. Tidak enci Cu kurasa Pangeran Souw Cun boleh kau lewatkan dari perhatianmu. Dia memang menjemukan, akan tetapi penyakitnya, hanyalah mata keranjang dan berfoya-foya saja. Sukar menghubungkan dia dengan urusan Si Bayangan Iblis."

   "Kalau dia tidak dapat dicurigai, lalu siapakah kiranya yang patut saya selidiki, Pangeran?"

   Pangeran itu menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya.

   "Keluarga kami berada dalam kemelut, enci Cu. Terlalu ruwet, juga sukar untuk menduga siapa sebetulnya Si Bayangan Iblis. Aku sendiri sudah tidak perduli. Biarkan mereka bersaing, saling memperebutkan kekuasaan dan kedudukan, aku tidak butuh! Ah, benar, engkau bertugas menyelidiki hal itu. Aku tidak dapat menduga siapa penjahat itu, akan tetapi biarlah kuceritakan kepadamu semua keadaan keluarga kami dengan semua rahasianya yang kotor."

   Dengan perlahan dan sikap masih tenang sekali, Pangeran Souw Han lalu menceritakan keadaan keluarga ayahnya, yaitu Kaisar Tang Kao Cung yang mempunyai banyak selir disamping permaisurinya, yaitu Permaisuri Bu Cek Thian. Banyak hal-hal yang tadinya amat rahasia, oleh pangeran itu diceritakan kepada Liong-li, rahasia yang amat mengejutkan hati pendekar wanita itu.

   Kiranya keadaan keluarga kerajaan itu sungguh dipenuhi dengan persaingan yang kotor, kebencian dan iri hati. Bahkan ada fitnah memfitnah, bunuh membunuh dengan menggunakan pembunuh bayaran. Banyak pula gadis-gadis yang menjadi korban kejalangan nafsu para pangeran yang tidak menghendaki keturunan dari para dayang dan selir sehingga kalau ada selir atau dayang yang mengandung, maka wanita itu akan lenyap tanpa ketahuan jejaknya!

   Dari Pangeran Souw Han pula ia tahu bahwa Sang Permaisuri mempunyai dua orang putera. Yang seorang adalah Pangeran Mahkota Tiong Cung dan yang kedua adalah Pangeran Li Tan yang masih kecil. Secara halus Pangeran Souw Han menyindirkan keraguannya bahwa Pangeran Li Tan adalah putera ayahnya. Karena sudah lama sekali ayahnya jarang bermalam di kamar permaisuri. Juga dia mencela sikap para pangeran yang kebanyakan memiliki watak yang amat buruk, menjadi hamba nafsu yang kerjanya setiap hari hanya mengejar kesenangan.

   "Biarpun dengan perasaan malu, terpaksa aku harus mengakui bahwa saudara-saudaraku itu sebagian banyak hanyalah manusia-manusia yang tiada gunanya!"

   "Aih, mengapa paduka demikian pahit, Pangeran? Banyak rakyat yang menghormati keluarga Sribaginda Kaisar, sebagai para bangsawan agung, dan banyak pula yang bermurah hati memberi derma kepada kuil-kuil, kepada para miskin dalam jumlah besar."

   Liong-li sengaja memancing dengan memuji atau menyatakan kebalikan dari apa yang diceritakan pangeran itu. Akan tetapi ucapan ini bahkan membuat Pangeran Souw Han nampak penasaran.

   "Palsu! Semua itu palsu! Keagungan, kemuliaan dan kehormatan dapat dibeli! Kau bilang sokongan dan dermaan itu tanda murah hati? Hemmm, enci Cu. Kalau engkau memiliki satu juta lalu kaudermakan yang seribu, apakah artinya itu? Murah hatikah itu? Aku akan jauh lebih menghargai seseorang yang memiliki duapuluh akan tetapi dengan rela memberikan yang sepuluh kepada orang lain untuk menolongnya! Mereka itu pura-pura, munafik, bangsawan pakaian saja!"

   Diam-diam Liong-li menjadi semakin bingung mendengar semua keterangan pangeran itu kepadanya. Ia hanya merasa terharu bahwa pangeran itu sungguh percaya kepadanya sehingga membongkar semua rahasia kebusukan keluarga istana yang sebelumnya tak pernah disangkanya.

   Akan tetapi, semua keterangan itu sama sekali tidak membantunya dalam penyelidikannya tentang Si Bayangan Iblis. Bahkan makin mengacaukan, karena kalau mendengar keterangan itu, boleh dibilang semua pangeran, semua selir, bahkan Permaisuri sendiri dan Kaisar sendiri bisa saja dicurigai sebagai majikan dari Si Bayangan Iblis!
(Lanjut ke Jilid 09)

   Si Bayangan Iblis (Seri ke 02 - Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09
Biarlah, ia tidak akan memusingkan semua itu. Yang dicarinya adalah Si Bayangan Iblis, dan ia merasa yakin akan dapat menangkapnya kalau benar penjahat itu bersembunyi di istana. Setiap malam ia akan melakukan pengintaian dan sekali penjahat itu keluar dari tempat persembunyiannya, tentu akan dapat ditangkapnya!

   "Terima kasih atas semua keterangan paduka Pangeran. Mulai malam ini saya akan menyelinap keluar dari dalam kamar ini dan melakukan pengintaian. Mudah-mudahan saja malam ini juga Si Bayangan Iblis keluar sehingga dapat kutangkap dia!"

   "Mudah-mudahan begitulah, enci Cu. Akan tetapi harap engkau berhati-hati, karena menurut pendapatku, seorang yang telah dapat menggegerkan kota raja dengan semua pembunuhan itu, pastilah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan berbahaya sekali."

   "Terima kasih, Pangeran. Tentu saja saya akan berhati-hati sekali, terutama tidak akan melibatkan paduka."

   Pangeran itu menghela napas panjang, lalu bangkit dari duduknya.

   "Siang ini engkau boleh mengaso dan tidur di pembaringan itu. Waktu makan nanti, dayang kepercayaanku akan mengantarkan makanan ke dalam kamar. Aku ingin membaca kitab." Diapun melangkah menghampiri almari yang penuh kitab dan memilih-milih.

   Liong-li juga bangkit dari tempat duduknya. Tentu saja tidak mungkin baginya untuk enak-enak tidur begitu saja di pembaringan orang, apa lagi pangeran pemilik kamar itu berada di situ, walaupun ia tahu bahwa, pangeran itu tidak akan mengganggunya, bahkan mungkin sekali tidak akan pernah mau meliriknya. Menyakitkan hati sekali sikap acuh itu!

   Ia lalu melihat sebuah yang-kim (semacam gitar) tergantung di dinding. Diambilnya yang-kim itu dan iapun duduk di atas bangku lain dicobanya alat musik itu dengan jari-jari tangannya yang mungil dan terlatih. Tali temali yang-kim itu sudah distel dengan baik dan suaranya sungguh merdu. Sebuah alat musik yang amat baik buatannya.

   Dalam keadaan melamun, seperti tanpa disengaja, dengan sendirinya jari-jari tangannya memainkan sebuah lagu. Lagu yang dimainkannya itu sebuah lagu yang amat sukar, juga amat indah, namanya lagu itu "Badai".

   Dawai (senar) yang-kim itu berkentang-kenting, mula-mula membentuk serangkaian nada-nada yang indah, namun makin lama menjadi semakin nyaring, cepat, makin mendesak-desak, nadanya naik turun dan mengamuk bagaikan datangnya badai yang semakin mendahsyat.

   Pangeran Souw Han yang tadinya sudah memilih sebuah kitab sajak kuno, menoleh, tadinya acuh, namun akhirnya dia terduduk dan memandang dengan penuh perhatian. Sepasang matanya tak pernah berkedip memandang ke arah jari-jari tangan yang memainkan yang-kim itu, telinganya menangkap semua nada itu dan segera dia mengenal lagunya.

   Dia memandang kagum, sama sekali tidak pernah mengira bahwa wanita yang amat terkenal sebagai seorang ahli silat, seorang pendekar wanita yang ditakuti semua orang penjahat di dunia hitam, ternyata adalah seorang gadis yang selain cantik jelita, halus tutur sapanya, cerdik dan berani, juga ternyata pandai sekali memainkan alat musik yang-kim!

   Dia tidak jadi membaca kitab sajak yang masih dipegangnya, bahkan lalu meletakkannya di atas meja, kemudian dia melangkah maju mendekat, berhenti dalam jarak sepuluh meter dan memandang dari samping.

   Betapapun juga, Liong-li hanyalah seorang wanita biasa. Sejak pertemuannya pertama dengan Pangeran Souw Han, hatinya dipenuhi rasa penasaran dan marah terhadap pangeran yang sama sekali acuh terhadap dirinya itu. Bukan ia minta disanjung dan dikagumi, akan tetapi sebagai wanita wajarlah kalau ia ingin agar dirinya tidak dihadapi pria dengan sikap demikian dinginnya. Apa lagi pria itu seperti Pangeran Souw Han!

   Tadinya ia memainkan yang-kim hanya untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, untuk menghibur diri sambil menanti datangnya malam karena ia hanya dapat bekerja di waktu malam saja. Akan tetapi, pendengarannya yang terlatih dan amat tajam itu dapat menangkap gerak gerik Pangeran Souw Han yang melangkah perlahan menghampirinya dan kini berdiri di sebelah kanannya, dalam jarak yang tidak begitu jauh lagi.

   Hal ini membangkitkan kegembiraan dan meningkatkan harga dirinya, maka setelah habis memainkan lagu itu, jari-jarinya tidak berhenti, melainkan mengulang kembali dan kini iapun menambah dengan nyanyian dari mulutnya, dengan suaranya yang merdu!

   "Badai menderu
mengamuklah air dan salju
angin puyuh menyapu bumi
segala pohon dipaksa menari
betapa buas dan gagah
betapa indah!

   Badai dahsyat di bukit itu
akhirnyapun, lewat, berlalu
sunyi, hening, sayu
kelu, lelah, lembut tenang
aman dan betapa indahnya!"

   Lagu "Badai" itu memang indah sekali, dimulai dengan suara yang menggegap gempita, yang gagah perkasa, buas dan liar, akan tetapi kemudian perlahan-lahan makin melembut, dan akhirnya terdengar demikian penuh damai, seperti keindahan alam hening setelah badai lewat.

   Begitu Liong-li berhenti bernyanyi, tiba-tiba terdengar suara suling yang melengking lembut, maka meninggi dan terdengarlah suling itu melagukan lagu yang sama, yaitu lagu "Badai". Suara suling itu ditiup dengan ahli, amat merdunya sehingga otomatis jari-jari tangan Liong-li kembali bergerak, dan kembali ia memainkan lagu itu, kini mengiringi suara suling dan di dalam kamar itu terdengarlah paduan suara suling dan yang-kim yang amat serasi, yang cocok dan menghasilkan suara yang amat indahnya.

   Setelah lagu itu habis dimainkan dan ke dua alat musik itu tidak bersuara lagi, keadaan di kamar itu menjadi sunyi bukan main. Liong-li perlahan-lahan menengok dan kini dua pasang mata itu bertemu, bertaut dan perlahan-lahan senyum indah merekah di bibir Liong-li.

   Ia mulai melihat sinar kagum membayang di pandang mata pangeran itu! Sedikit saja kekaguman sudah cukup baginya, menandakan bahwa pangeran itu adalah seorang manusia biasa, seorang pria normal, bukan manusia berhati kayu.

   "Tiupan sulingmu amat indah, Pangeran."

   "Enci Cu, tidak kusangka engkau begitu pandai bermain yang-kim, dan suaramu juga amat merdu. Sungguh heran......"

   "Kenapa paduka heran, Pangeran?"

   "Seorang wanita seperti engkau, enci Cu, yang selalu berkecimpung dalam dunia kekerasan, yang pandai bermain pedang, pandai membunuh lawan, bergelimang kekerasan, bagaimana mungkin dapat memainkan yang-kim dan bernyanyi demikian merdunya, sedemikian lembutnya......"

   "Pangeran, bukankah segala hal itu dapat saja dipelajari manusia? Dan bukankah di dalam segala keadaan itu terdapat keindahannya kalau saja kita mau membuka mata dan melihat apa adanya? Seperti lagu tadi, Pangeran. Ketika badai mengamuk dahsyat, menggegap gempita, keras dan kasar, namun gagah perkasa dan penuh kebuasan, ada keindahan di sana. Setelah badai lewat keheningan dan kedamaian tiba, juga terdapat keindahan di sana.

   "Apakah hanya taman bunga dan gunung hijau yang tenang saja mengandung keindahan? Bukankah batu karang yang kokoh kuat, lautan yang menggelora diamuk badai yang ganas, di sana terdapat pula keindahan?"

   "Engkau benar, enci Cu. Semua itu adalah ciptaan Tuhan, dan apapun bentuknya, ciptaan Tuhan itu selalu sempurna dan indah. Ehh, kiranya engkau pandai pula berfilsafat, enci? Apakah engkau juga mempelajari dan pernah membaca kitab-kitab filsafat?"

   Liong-li tersenyum.

   "Di dalam kamar perpustakaanku di rumahku saja terdapat segala macam kitab filsafat dari ke tiga agama (Budhisme, Taoisme, dan Khong-hu-cu), Pangeran."

   "Amboiii......! Jangan katakan bahwa engkau pandai pula bersajak, pandai menari dan pandai melukis dan menulis halus, enci Cu!"

   "Pandai sih tidak, Pangeran, akan tetapi saya pernah mempelajari itu semua."

   "Aih, kalau begitu engkau seorang wanita serba bisa, enci Cu! Hebat!"

   Liong-li tersenyum. Hatinya girang. Pangeran Souw Han itu seorang manusia biasa, seorang pria biasa, bukan dewa bukan pula pertapa!

   "Dibandingkan dengan paduka, saya bukan apa-apa, Pangeran."

   Pada saat itu, daun pintu kamar itu dan pintu kamar itu didorong orang dari luar dan terbuka Pangeran Souw Han membalikkan tubuh dengan cepat dan mukanya merah. Yang muncul adalah seorang pemuda lain yang membuat jantung dalam dada Long-li berdebar tegang dan merasa tidak enak sekali karena ia mengenal wajah itu. Pangeran Souw Cun!

   Berubah sikap Pangeran Souw Han ketika melihat siapa orangnya yang memasuki kamarnya tanpa ijin itu. Dia tidak jadi marah, tersenyum dan dengan sikap hormat dia lalu memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada.

   "Ah, kiranya engkau yang datang, kakanda Pangeran Cun. Kenapa tidak memberitahu lebih dulu akan berkunjung? Membuat hatiku terkejut saja."

   Pangeran Souw Cun tertawa, lalu maju dan merangkul adik tirinya.

   "Engkau tahu, adikku Souw Han. Di antara semua saudara kita, engkaulah satu-satunya orang yang paling kukagumi dan kusukai. Maka, perlukah kita berbasa-basi lagi? Aku tadi lewat dan ingin sekali bertemu dan bicara denganmu, adikku."

   Sejak tadi Liong-li menunduk sambil mengerling tajam, namun tak pernah pangeran itu memperhatikannya. Maka iapun pura-pura tidak melihat dan sibuk membalik-balik kitab sajak yang tadi diletakkan di atas meja oleh Pangeran Souw Han.

   "Terima kasih, kakanda. Akan tetapi, tidak seperti biasa kakanda datang berkunjung. Ada keperluan apakah?"

   "Ha-ha-ha, engkau memang selalu cerdik, belum orang bicara engkau sudah dapat menebak isi hati orang. Memang ada keperluan, adikku. Aku datang terdorong oleh perasaan yang luar biasa. Ada perasaan kaget, heran, girang, dan ingin sekali tahu."

   "Aku ikut merasa girang, kakanda. Akan tetapi apakah itu yang mendatangkan bermacam perasaan?"

   "Aku mendengar engkau diberi hadiah seorang gadis untuk menjadi selirmu oleh Ibunda Permaisuri. Benarkah berita luar biasa itu?"

   Seketika wajah Pangeran Souw Han menjadi kemerahan.

   "Benar, kakanda. Apa anehnya itu?"

   "Apa anehnya? Ha-ha-ha. Adinda Pangeran! Berita itu merupakan berita yang paling aneh di dunia ini, juga amat menggembirakan dan lucu! Engkau menerima hadiah seorang selir. Engkau? Ha-ha, sejak kapan engkau belajar bergaul dengan wanita? Biasanya, melirik saja engkau tidak mau. Para dayangmu pun tidak ada yang cantik dan tak pernah ada yang kaujamah seorangpun.

   "Dan tahu-tahu engkau kini menerima seorang selir! Apa tidak aneh itu? Aku kaget, heran dan juga girang, akan tetapi menjadi penasaran dan ingin sekali melihat seperti apa macamnya wanita yang herhasil menjatuhkan hati adikku yang terkenal sebagai seorang pertapa suci yang tak pernah tergiur kecantikan wanita itu.

   "Dan ketika aku lewat tadi, aku mendengar permainan suling, yang-kim dan nyanyian! Aih-aih, jadi engkau malah sudah rukun dan bersenang-senang, bermain musik dengan selirmu? Itukah selirmu yang hebat itu?" Dan kini Pangeran Souw Cun menoleh ke arah Liong-li yang masih duduk menghadapi kitab yang dibuka di atas meja.

   "Siauw Cu, ke sinilah dan perkenalkan, ini adalah kakanda Pangeran Souw Cun, engkau harus memberi hormat kepadanya," kata Souw Han yang terpaksa memperkenalkan isteri atau selirnya itu.

   
Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Liong-li meninggalkan kursinya dan menghampiri sambil menundukkan mukanya, lalu menjura dengan sikap hormat.

   "Maaf, Pangeran, karena saya tidak tahu maka saya tidak sempat menyambut kunjungan paduka," katanya dengan sikap halus, akan tetapi sama sekali tidak merendahkan diri, dan melihat sikap ini, Pangeran Souw Han juga merasa senang.

   Akan tetapi Pangeran Souw Cun terbelalak menatap wajah yang cantik jelita itu.

   "Ah-ahhh...... kiranya engkau? Bukankah engkau dayang pribadi Ibunda Permaisuri?"

   Liong-li menundukkan mukanya dan mengangguk.

   "Kami memang pernah bertemu satu kali, Pangeran."

   Tiba-tiba Pangeran Souw Cun tertawa dan memandang kepada wajah adiknya.

   "Ha-ha- ha-ha, tadinya kusangka engkau menerima hadiah seorang selir yang seperti bidadari. dan masih amat muda. Kiranya dayang Ibunda Permaisuri ini? Ha-ha-ha, sungguh aku merasa semakin heran, dan aku kasihan sekali kepadamu, adikku!"

   "Hemm, mengapa kakanda berkata demikian? Dan mengapa pula merasa kasihan kepadaku?"

   "Adindaku, bagaimana mungkin seorang seperti engkau dapat jatuh cinta kepada seorang gadis seperti ini? Katakan, benarkah engkau telah jatuh jatuh cinta kepadanya?"

   Selama hidupnya, Souw Han tidak pernah berbohong. Akan tetapi sekali ini, bagaimana dia dapat berkata lain? Kalau dia mengatakan bahwa dia tidak mencinta Liong-li, bukankah hal itu akan menimbulkan suatu kecurigaan dan akan membahayakan rahasia gadis itu?

   "Aku cinta padanya, kakanda."

   "Kau? Yang selama ini tidak pernah bergaul dengan wanita? Bagaimana mungkin! Tentu bertemu pun baru sekali itu, dan engkau sudah jatuh cinta? Lihat baik-baik, adinda. Biarpun aku tidak dapat mengatakan bahwa wanita itu buruk, akan tetapi ia sungguh tidak cocok untuk menjadi selirmu! Lihat, biarpun ia cantik manis, namun usianya tentu jauh lebih tua darimu! Nona, siapakah namamu?"

   

Asmara Si Pedang Tumpul Eps 8 Lembah Selaksa Bunga Eps 10 Si Pedang Tumpul Eps 3

Cari Blog Ini