Ceritasilat Novel Online

Si Pedang Tumpul 3


Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 3




   Setelah mengguncang-guncang tubuh ayahnya dan memanggil-manggil akan tetapi ayahnya tetap tak bergerak, mati dengan mata melotot, Sin Wan maklum bahwa ayahnya telah tewas. Dengan terisak dia lalu menggunakan jari-jari tangannya untuk menutup kedua pelupuk mata yang terbelalak itu sehingga sepasang mata itu kini terpejam. Lalu, perlahan-lahan dia bangkit berdiri, memutar tubuh menghadapi tiga orang tosu yang memandang dengan sikap tenang.

   "Kalian .... tiga orang pendeta yang kelihatannya saja alim dan baik, akan tetapi kalian telah membunuh ayahku! Aku bersumpah kelak aku akan ......."

   "Sin Wan, diam kau .......!!" Tiba-tiba ibunya membentak dan ternyata ibunya telah berada di sisinya. Sin Wan tidak melanjutkan ucapan sumpahnya yang hendak membalas dendam, dan dia menoleh kepada ibunya, lalu merangkul pinggang ibunya.

   "Ibuuuu....... ayah telah tewas .....!" isaknya.

   "Aku tahu, anakku."

   "Ayah telah dibunuh oleh tiga orang jahat itu ......."

   ''Hushh, diam kau, Sin Wan. Bukan mereka yang membunuh. Ayahmu bunuh diri, kita juga melihatnya tadi."

   "Tapi, dia bunuh diri karena tersudut oleh mereka, ibu. Kenapa ibu tidak menyalahkan mereka, dan tidak membela ayah?"

   "Sin Wan, ayahmu tewas karena ulahnya sendiri ......"

   Wanita itu lalu berlutut dan menggunakan kedua tangan untuk mencabut pisau yang masih menancap di lambung suaminya. Pisau itu berlumuran darah, akan tetapi kini tidak banyak lagi darah mengucur keluar dari luka di lambung.

   "Ibuuu ........!"

   Sin Wan berseru kaget melihat ibunya mencabut pisau yang berlumuran darah, dan dia melihat ibunya bercucuran air mata, menangis. Diapun merasa terharu dan sedih, mengira ibunya menangisi kematian ayahnya.

   "Ibu, ayah mati karena mereka, bagaimana kita tidak menjadi sakit hati? Ibu, jangan menangis, kelak anakmu yang akan ...."

   "Husssh, Sin Wan, jangan blcara sembarangan," kata ibunya sambil menghentikan tangis dan menghapus air matanya.

   "Ibumu bukan menangisi kematian ayahmu."

   Sepasang mata anak itu terbelalak.

   "Ibu ..... Apa maksudmu, ibu? Bagaimana mungkin ibu berkata demikian? Ayah amat mencinta ibu dan menyayangku, dan ibupun mencinta ayah. Kenapa ibu mengatakan bukan menangisi kematian ayahku?"

   "Sin Wan, dia ini bukan ayahmu."

   "Heeeii .....! Ibu ....! Apa ....... apa maksudmu?" Wajah anak itu berubah pucat dan dia memandang ibunya dengan mata terbelalak. Tiga orang tosu itupun saling pandang dan mereka diam saja, hanya kini mereka duduk bersila, untuk memulihkan tenaga dan juga, untuk tidak mengganggu ibu dan anak itu.

   "Sin Wan, anakku, sekaranglah saatnya ibumu membuka semua rahasia ini, di depan jenazah Se Jit Kong ini. Dengarkan baik-baik dan ingat semua kata-kataku, anakku. Sepuluh tahun lebih yang lalu, ketika itu usiaku baru delapanbelas tahun, namaku Jubaidah dan aku hidup berbahagia di samping suamiku yang baru setahun lebih menjadi suamiku. Suamiku. bernama Abdullah dan dia putera seorang kepala dusun di perkampungan bangsa kita, yaitu bangsa Uighur. Ketika itu, engkau telah berada di dalam kandunganku, Sin Wan, berumur tiga empat bulan."

   "Aahhhhh ....., jadi ayahku ..... ayah kandungku, yang bernama Abduilah itu .......?" Suara Sin Wan berbisik lirih dan dia menoleh ke arah wajah Se Jit Kong, orang yang selama ini dianggap ayahnya,

   "Mendiang Abdullah, anakku. Pada suatu hari, Se Jit Kong ini datang ke dusun kami dan dia .... dia menginginkan diriku, dia membunuh ayah kandungmu, mendiang Abdullah suamiku itu ........."

   "Ya Tuhan .......!!" Sin Wan menjadi lemas, wajahnya semakin pucat dan matanya seperti tidak bersinar lagi mengamati wajah Se Jit Kong. Orang yang menyayangnya dan disayangnya seperti ayah ini kiranya bahkan pembunuh ayah kandungnya!

   "Tenanglah Sin Wan. Engkau harus mendengarkan penuh perhatian dan ingat baik-baik semua keteranganku ini. Suamiku, Abdullah dibunuh oleh Se Jit Kong ini, dan aku diculiknya. Aku adalah seorang wanita beragama yang taat. Aku sudah bersuami dan biarpun suamiku tewas, aku tidak akan sudi menyerahkan diri kepada pria lain, apalagi kalau pria itu pembunuh suamiku. Menurut suara hatiku, semestinya aku membunuh diri pada saat suamiku dibunuh itu. Akan tetapi, semoga Tuhan mengampuni aku, aku .... aku tidak tega karena engkau berada di dalam perutku, anakku. Kalau aku bunuh diri, berarti .aku membunuhmu pula. Aku ingin engkau terlahir dan hidup, anakku. Aku ingin engkau menjadi saksi tunggal bahwa aku sama sekali bukan wanita yang begitu saja mudah melupakan suami dan menyeleweng dengan penyerahan diri kepada pria lain ......"

   Wanita itu memejamkan mata dan menahan agar tangisnya tidak datang lagi.

   Sin Wan tidak mengeluarkan suara, hanya memegang tangan ibunya, menggenggam tangan itu seolah memberi kekuatan kepada ibunya. Tangan kiri ibunya dingin sekali, sedangkan tangan kanan wanita itu masih memegang gagang pisau yang berlumuran darah Se Jit Kong.

   Agaknya sentuhan tangan puteranya memberi kekuatan kepada Ju Bi Ta atau Jubaidah ini dan ia melanjutkan bicaranya.

   "Dia ini memaksaku menjadi isterinya. Dia tidak memaksa dengan kekerasan, melainkan membujuk dengan lembut dan dia nampaknya amat sayang kepadaku. Aku lalu menyerah, akan tetapi, demi Tuhan, semua ini kulakukan untuk menyelamatkan anak dalam kandunganku. Aku menyerah dengan syarat bahwa dia harus menanti sampai anak dalam kandungan terlahir, kemudian syarat kedua adalah bahwa dia harus menganggap anakku seperti anak sendiri, menyayangnya, dan kalau sampai kelak dia melanggar Janji, aku akan membunuh diri. Dan dia ..... ya Tuhan ampunkan hamba, dia begitu sayang kepadaku, dia memenuhi semua permintaanku, tak pernah melanggar syarat-syaratku. Setelah engkau terlahir, dia begitu sayang kepadamu dan akan merasa benar bahwa dia amat cinta padaku. Maka, terpaksa sekali, walaupun di dalam hati aku menangis dan mohon ampun dan pengertian dari mendiang suamiku, aku menyerah dan menjadi isterinya ......."

   Kembali wanita ini menghentikan ceritanya, berulang kali menarik napas panjang seperti hendak mengumpulkan kekuatan. Sin Wan memandang bingung. Dia belum cukup dewasa untuk dapat menyelami keadaan ibunya, menjadi bingung dan tidak dapat mempertimbangkan baik buruknya keadaan itu.

   "Akan tetapi, betapapun besar cintanya kepadaku dan sayangnya kepadamu, bagaimana aku dapat mencinta seorang seperti dia, anakku? Bukan saja dia telah membunuh suamiku dan menculikku, akan tetapi dia ..... ohh, dia jahat sekali. Dia seorang datuk besar dunia hitam, dia tidak pantang melakukan kejahatan dalam bentuk apapun juga. Hanya satu yang tidak pernah dia lakukan, yaitu mengganggu wanita setelah dia mempunyai aku sebagai isterinya. Hal inipun karena permintaanku. Aku berulangkali membujuk, namun dia melakukan segala macam kejahatan secara diam-diam, di luar pengetahuanku. Bahkan kabarnya dia menjadi jagoan nomor satu dengan mengalahkan semua tokoh di timur. Dia jahat sekali, anakku, ahh, bagaimana mungkin aku dapat membalas cintanya? Aku hanya ingin mati, akan tetapi, aku khawatir bahwa kalau aku mati dia lalu bersikap jahat terhadap dirimu. Aku harus menjagamu ..... dan untuk melindungimu, aku rela menderita lahir batin ........"

   "Ibu ......!" Sin Wan kini merangkul ibunya, dapat merasakan benar betapa besar pengorbanan ibunya terhadap dirinya.

   "Akhirnya aku dapat membujuk dia untuk kembali ke barat sini. Aku tidak tahu bahwa dia telah mencuri benda-benda pusaka dari istana. Aku hanya Ingin agar engkau menjadi remaja dan cukup kuat untuk meninggalkan dia, melarikan diri dan selamat dari jangkauannya. Aku baru mau mati kalau engkau benar-benar terbebas dari tangannya, Sin Wan. Dan sekarang, karena ulahnya sendiri, akhirnya dia tewas. Kita bebas, Sin Wan. Engkau bebas, tidak terancam bahaya lagi, dan aku bebas ...... aku bebas menebus dosaku selama ini, aku bebas untuk pergi menyusul suamiku, untuk mengadukan semua ini kepadanya. Ya Allah, ampunilah dosa hamba ....... Abdullah suamiku, tunggulah aku ........."

   Tiba"tiba saja wanita itu lalu menggunakan pisau yang masih berlumuran darah itu untuk menusuk dadanya sendiri sekuat tenaga.

   "Ibuuuuuu ......!" Sin Wan menjerit dan menangkap tangan ibunya, akan tetapi karena tadinya dia tidak menduga sama sekali bahwa ibunya akan senekad itu, dia lerlambat. Pisau itu sudah menancap di dada ibunya, sampai ke gagang dan ibunya terkulai datam rangkulannya, mandi darah.

   'Ibuuu ....... ibuuuu ...... ya Allah, tolonglah ibu ......

   " Sin Wan meratap dan menangis,

   Wanita itu membuka mata, dan senyum lemah menghias bibir yang pucat, kedua tangannya bergerak lemah ke atas, mengusap air mata dari pipi Sin Wan.

   "Sin Wan ...... anakku ..... biarkan ibumu menebus dosa ....... engkau berjanjilah ....... akan menjadi mamusia yang baik ..... taat kepada Allah ..... tidak jahat, jangan seperti Se Jit Kong ....." Suaranya semakin lemah sehingga berbisik-bisik.

   Di antara tangis sesenggukan, Sin Wan mengangguk, .....

   "aku ...... berjanji ........, ibu ........" Kemudian, melihat ibunya terkulai lemas dia pun menjerit dan pingsan di atas dada ibunya.

   Tiga orang tosu yang duduk bersila itu membuka mata mereka. Pek-mau-sian Thio Ki, Si Dewa Rambut Putih, menghela napas panjang dan diapun bersanjak dengan suara lembut.

   "Sependek suka
sepanjang duka
sejumput manis
setumpuk pahit
ada gelap ada terang
ada senang ada susah
yang tidak mengejar kesenangan
takkan bertemu kesusahan !"

   Tiga orang tosu itu lalu menyadarkan Sin Wan, dan membantu anak itu mengangkat jenazah Se Jit Kong dan Ju Bi Ta, dibawa ke rumah keluarga mereka. Kepada para tetangga, tiga orang tosu itu mewakill Sin Wan untuk memberitahu bahwa kematian suami isteri itu karena terbunuh musuh yang tidak mereka ketahui siapa.

   ???

   Dua buah peti mati Itu berada di ruang depan, namun terpisah jauh, seperti yang dikehendaki Sin Wan. Peti mati Se Jit Kong berada di sudut kiri ruangan itu, sedangkan peti jenazah Ju Bi Ta berada di sudut kanan. Sin Wan berlutut di depan peti mati ibunya, kadang menangis lirih, kadang termenung Seperti kehilangan semangat. Hanya karena peringatan dari tiga orang tosu yang membantunya mengurus jenazah. Sin Wan memaksa diri untuk membalas penghormatan para pengunjung, yaitu para tetangga yang memberi hormat terakhir kepada suami isterl yang tewas secara aneh itu. Mereka hanya mendengar bahwa suami isteri itu tewas di tangan musuh mereka, akan tetapi mereka tidak tahu siapa musuh itu dan merekapun tidak ingin mencampuri urusan itu.

   Setelah yang datang melayat berkumpul, dua peti jenazah lalu diangkut ke tempat pemakaman. Juga atas permintaan yang sangat dari Sin Wan, dua peti jenazah itu dikubur secara terpisah pula, di kedua ujung yang berlawanan dari tanah pekuburan itu. Para pelayat pulang meninggalkan dua gundukan tanah kuburan yang baru, dan yang tinggal kini hanya Sin Wan bersama tiga orang tosu Sam Sian (Tiga Dewa), masih menunggu karena mereka belum selesai dengan tugas mereka.

   Mereka belum mengambil kembali benda-benda pusaka, dan mereka menanti sampai Sin Wan selesai berkabung dan sudah tenang kembali.

   Sin Wan kini menangis di depan makam ibunya, merasa kesepian, merasa khawatir karena secara tiba-tiba dia dihadapkan dengan kenyataan yang amat pahit. Pertama, melihat ayahnya bunuh diri dan tewas, lalu mendengar keterangan ibunya bahwa orang yang dianggap ayahnya itu sama sekali bukan ayahnya, bahkan seorang datuk penjahat besar yang telah membunuh ayah kandungnya dan memaksa ibu kandungnya menjadi isteri.

   Berarti bahwa sebenarnya Se Jit Kong adalah musuh besarnya! Kemudian disusul pula dengan kematian ibunya yang membunuh diri pula. Kini dia kehilangan segalanya! Perubahan mendadak yang membuat anak berusia sepuluh tahun itu menjadi nanar dan gelap, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

   Suara tangis Sin Wan tidak keras lagi karena dia sudah kehabisan suara dan tenaga, akan tetapi masih sesenggukan dan penuh kesedihan. Makin diingat keadaan dirinya yang sebatang kara di dunia ini, makin pedih hatinya, dan makin mengguguk tanglsnya.

   Sunyi senyap di tanah kuburan itu. Hanya tangis Sin Wan merupakan satu-satunya suara yang hanyut dalam kesunyian. Bahkan pohon-pohon di sekitar tanah kuburan itu tidak ada yang bergerak. Angin berhenti bertiup, entah sedang beriatirahat di mana. Agaknya segala sesuatu ikut pula prihatin melihat duka nestapa yang dltanggung remaja itu.

   Tiba-tiba suara tangis lirih itu ditimpa suara tawa bergelak. Suara tawa yang lepas dan tidak ditahan-tahan sehingga terdengar janggal karena suasana berkabung itu menurut umum tidak sepantasnya diisi suara tawa sebebas itu!

   Aneh sekali mendengar suara tangis yang kini dibarengi suara tawa itu. Dewa Rambut Putih Thio Ki mengerutkan alisnya dan menengok ke arah rekannya, Dewa Arak Tong Kui yang mengeluarkan suara tawa itu.

   "Dewa Arak, apa yang kautawakan ini?" tegurnya dengan alis berkerut.

   "Ha ... ha ... ha ... ha, apa yang kutawakan ? Dan apa pula yang ditangiskan anak itu? Apa pula yang membuat kalian berdua berwajah demikian serius dan muram? Ha ... ha ... ha, tangis dan tawa sama-sama menggerakkan mulut, kenapa tidak memilih tawa dari pada tangis? Tangis itu tidak sehat dan membuat wajah kelihatan buruk, sebaliknya orang berwajah jelekpun akan menjadi menarik kalau tertawa, juga menyehatkan. Ha-ha-ha-ha!" Si Dewa Arak tertawa lagi, kemudian meneguk arak dari gucinya.

   "Aku mentertawakan semua kepalsuan ini. Kenapa kalau ada kematian lalu ada tangisan? Apa yang ditangisi? Bukankah yang bersangkutan, yang mati malah tidak menangis dan wajahnya nampak tenang dan penuh damai! Sebaliknya, kelahiran disambut tawa gembira, sedangkan yang bersangkutan, begitu terlahir menangisi kelahirannya sampai menjerit-jerit. Ha .. ha .. ha ..!"

   Mendengar ucapan itu, seketika Sin Wan berhentl menangis. Semua ucapan itu memasuki benak dan hatinya dan berkesan sekali. Dia memang suka sekali membaca kitab-kitab kuno, sejarah, dongeng dan filsafat, juga pelajaran tentang hidup dalam kitab-kitab agama. Belum pernah dia mendengar orang bicara tentang kematian seperti yang diucapkan Dewa Arak itu, apa lagi mendengar ada orang tertawa-tawa menghadapi kematian, seolah-olah kematian merupakan peristiwa yang menyenangkan, bukan merupakan peristiwa duka. Dia merasa penasaran sekali dan setelah menghentikan tangisnya, dia lalu memandang kepada Dewa Arak.

   "Maaf, lo-cianpwe (orang tua gagah). Lo-cianpwe mencela saya menangis. Salahkah saya kalau menangisi kematian ibu saya yang tercinta?' suaranya lantang dan menuntut. Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih diam-diam tersenyum. Dewa Arak memang pintar sekali, dapat mengalihkan kesedihan anak itu.

   "Ha .. ha .. ha ..ha, kulihat dulu mengapa kau menangis? Coba katakan, mengapa engkau menangis, anak baik? Namamu Sin Wan, bukan? Nah, katakan, Sin Wan, kenapa engkau menangis, maka aku akan tahu apakah tangismu itu wajar ataukah palsu."

   "Saya menangis karena ibu saya meninggal dunia, lo-cianpwe. Bukankah itu wajar?"

   "Ya, akan tetapi kenapa kalau ibumu mati engkau menangis? Yang kautangisi itu ibumu ataukah dirimu sendiri?"

   "Apa ...... apa maksud lo-cianpwe?"

   "Katakan saja, bagaimana isi hatlmu. Jenguk isi hatimu dan katakan sebenarnya yang membuat engkau menangis. Karena engkau kehilangan orang yang kausayang? Karena engkau ditinggal seorang diri dan merasa kesepian? Karena meninggalnya orang kau sayang itu mendatangkan kesedihan karena engkau tidak akan menikmati lagi kesenangan dari orang yang meninggal?"

   Sin Wan mengerutkan alisnya, berpikir-pikir lalu mengangguk.

   "Memang demikianlah, lo-cianpwe. Hati siapa yang tidak akan bersedih ditinggal mati ibunya yang tercinta? Apa lagi setelah mendengar bahwa ayah kandung saya telah tiada. Saya hanya hidup berdua dengan ibu, dan sekarang, ibu meninggalkan saya seorang diri."

   "Bagus, jadi engkau menangisi keadaan dirimu sendiri, bukan? Nah, itu namanya jawaban jujur. Air matamu itu kaucucurkan karena engkau merasa kehilangan, karena engkau merasa iba kepada diri sendiri. Air mata itu air mata karena iba diri, karenanya air mata seorang yang lemah! Lemah sekali hatinya, cengeng dan penakut!"

   Sejak kecil Sin Wan digembleng oleh seorang datuk besar seperti Tangan Api. Biarpun ibu kandungnya selalu menekannya dan mengharuskan dia menjauhi kekerasan, namun bagaimanapun juga, dia digembleng sikap pemberani dan watak gagah seorang ahli silat oleh gurunya yang tadinya dianggap ayahnya sendiri itu.

   Kini, dicela sebagai orang yang hatinya lemah, cengeng dan penakut, tentu saja mukanya yang tadinya pucat itu berubah kemerahan, matanya mengeluarkan sinar tajam dan hal ini membuat tiga orang sakti itu memandang dengan wajah berseri.

   "Lo-cianpwe, kenapa lo-cianpwe begitu kejam? Lo-cianpwe mengetahui bahwa baru saja saya kehilangan ibu, bahkan kehilangan ayah yang ternyata tak pernah saya lihat itu, kehiiangan segalanya dan lo-cianpwe malah mentertawakan saya. Saya bukan lemah, cengeng apa lagi penakut!"

   "Ha .. ha .. ha, bagus sekali!" Dewa Arak itu tertawa.

   "Aku tidak mentertawakan engkau, melainkan mentertawakan kepalsuan yang dilakukan oleh sebagian besar orang di dunia ini. Kalau engkau tidak cengeng dan lemah, hapus air matamu dan jangan tenggelam ke dalam iba diri. Dan tidak perlu engkau menangisi ibumu yang sudah tiada. Bahkan kalau bisa tertawalah, tertawa gembira karena ibumu baru saja terbebas dari pada kedukaan hidup. Ingat betapa ibumu menderita lahir batin sejak kematian ayah kandungmu, dan baru sekarang ibumu terbebas dari himpitan penderitaan. Kenapa harus ditangisi?"

   "Saya tidak menaagisi kematiannya itu sendiri, melainkan terharu dan kasihan kalau mengenang betapa selama ini ibu telah menderita hebat dan mengorbankan diri karena saya."

   "Heii, Dewa arak, apakah engkau masih mabuk?" teriak Dewa Pedang Louw Sun.

   "Anak itu belum juga dewasa, sudah kau ajak bicara tentang hal-hal yang begitu mendalam. Dia bersedih, itu manusiawi, karena dia manusia yang memiliki perasaan. Tidak seperti engkau yang sudah tidak lumrah lagi. Semua orang di dunia ini kalau kematian menangis, apa salahnya dengan itu? Akan tetapi engkau menganjurkan anak ini agar tertawa-tawa ketika ibunya mati. Apa kau ingin dia dianggap orang gila? Kalau mau gila, engkau sendiri saja, jangan ajak-ajak anak kecil."

   "Ha .. ha .. ha, lebih baik mabuk dan bicara secara terbuka dari pada tidak mabuk dan bicaranya selalu palsu, bersembunyi di balik kedok sopan-santun dan peraturan yang pada hakekatnya hanya menonjolkan diri sendiri. Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, kalian sendiri bukan orang-orang yang dicengkeram nafsu, kenapa nampak murung seperti orang berduka? Benarkah kalian berduka karena kematian Se Jit Kong dan ibu anak ini? Terharu setelah mendengar pengakuan ibu Sin Wan?"

   "Aih, Dewa Arak, bagaimana orang-orang seperti kita masih terpengaruh perasaan hati dan mudah diombang-ambingkan antara suka dan duka? Tidak, Ciu-sian, pinto (aku) tidak murung, tidak berduka, hanya termenung heran mengapa orang-orang seperti mereka ini dengan cepat terbebas dari kurungan, sedangkan kita masih harus terhukum entah untuk berapa lama lagi," Dia menghela napas panjang. Dewa Arak memandang Dewa Pedang yang baru saja bicara itu dengan heran.

   "Siancai (damai) ......! Engkau ini tosu (pendeta To) macam apa? Baru sekarang aku mendengar pendeta To bicara sepertl ini! Bukankah biasanya para pendeta To bahkan berlumba mencari obat ajaib untuk membuat kalian berusia panjang sampai seribu tahun atau bahkan tidak akan mati selamanya?"

   "Pinto tidak termasuk mereka yang suka berkhayal dan bermimpi yang muluk-muluk. Pinto juga tidak menyesal, hanya merasa heran akan rahasia alam yang amat gaib ini, saudaraku."

   "Bagaimana dengan engkau, Dewa Rambut Putih? Engkaupun tidak nampak tersenyum seperti biasanya. Di mana perginya senyum simpulmu yang manis itu? Apakah engkau juga ikut prihatin dan berkabung?" Suara Si Dewa Arak mengandung ejekan.

   Pek-mau-sian Thio Ki menggerakkan bibir ke arah senyum, matanya menatap wajah rekannya dengan tajam dan dia menggerakkan telunjuknya menuding muka rekan itu.

   "Dewa Arak, engkau selalu ugal-ugalan, akan tetapi terbuka hati dan mulutmu. Seperti juga kalian, aku tidak mau terbelenggu nafsu dan perasaan, tidak mau terikat oleh apapun. Aku hanya termenung memikirkan kebodohan wanita itu. Ia telah mengambil jalan sesat. Bagaimana mungkin ia menebus dosa dengan cara membunuh diri? Itu namanya bukan menebus dosa, melainkan menambah dosa menjadi semakin besar lagi!"

   Sejak tadi Sin Wan mendengarkan dengan hati tertarik sekali. Tiga orang tua itu mempunyai pandangan yang aneh-aneh, yang berbeda dengan umum, namun diam-diam dia menemukan kebenaran dalam ucapan mereka yang janggal itu. Akan tetapi. mendengar ucapan Pek-mau-sian Thio Ki, dia merasa terkejut dan penasaran, juga ingin sekali tahu.

   "Maaf, lo-cianpwe. Kenapa lo-cianpwe mengatakan bahwa dengan membunuh diri, ibuku berdosa? Bukankah ibuku seorang wanita yang berhati bersih, yang tidak akan sudi diperisteri pembunuh suaminya kalau saja tidak ingin menyelamatkan aku? Setelah aku tidak terancam lagi, ibu menebus semua aib itu dengan membunuh diri, kenapa lo-cianpwe menganggap ia berdosa?"

   "Ha .. ha .. ha .. ha!" Dewa Arak tertawa.

   "Anak baik, aku tidak tahu apakah dia berdosa atau tidak, hanya Tuhan yang tahu! Akan tetapi aku tahu bahwa ia bodoh. Picik sekali orang yang membunuh diri! Kita tidak mampu menghidupkan, bagaimana boleh mematikan? Mati hidup di tangan Tuhan, akan tetapi bunuh diri merupakan kematian yang dipaksakan, karena itu, rohnya akan menjadi penasaran! Bodoh sekali ibumu, Sin Wan, tidak boleh kau. tiru perbuatannya itu."

   Sin Wan masih penasaran dan dia menoleh kepada dua orang pendeta yang lain. Dewa Pedang mengelus jenggot dan menggeleng kepala, menarik napas panjang.

   "Bunuh diri merupakan perbuatan sesat. Bagaimana mungkin persoalan dapat diselesaikan dengan bunuh diri? Bunuh diri adalah perbuatan yang penuh nafsu dan nafsu akan melekat terus merupakan pengganggu yang tiada habisnya selama dalam kehidupan ini kita tidak mampu membebaskan diri dari ikatan dan cengkeraman nafsu, ibumu patut dikasihani, anak baik."

   Sin Wan merasa semakin sedih.

   "Sejak muda sekali, sejak berusia delapanbelas tahun, baru saja setahun mengecap kebahagiaan bersama suaminya, ibumu direnggut dari kebahagiaan dan sejak itu menderita siksaan lahir batin, dan sekarang setelah mati masih menanggung dosa!"

   Dia masih penasaran dan menoleh kepada Dewa Rambut Putih yang pertama kali mengatakan bahwa ibunya telah melakukan dosa karena membunuh diri.

   "Lo-cianpwe, mendiang ibuku adalah seorang wanita yang saleh, selalu taat kepada Allah, dan juga tak pernah melakukan kejahatan terhadap orang lain. Ia menyerahkan diri kepada pembunuh suaminya dengan hanya satu tujuan mulia, yaitu menyelamatkan nyawa anaknya. Apakah itu dapat dikatakan salah dan dosa?"

   Karena anak itu bicara sambil memandang kepadanya, Dewa Rambut Putih tersenyum.

   "Sin Wan. ibumu telah terjebak ke dalam kekeliruan pendapat yang disilaukan oleh tujuan sehingga ia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Tujuannya adalah menyelamatkan anak dalam kandungan, kemudian menyelamatkan anaknya setelah terlahir Memang hal itu merupakan kewajiban seorang ibu, memelihara anaknya! Akan tetapi, baik buruk dan benar salahnya bukan terletak dalam tujuan, melainkan dalam caranya atau pelaksanaannya. Karena silau oleh tujuannya, ia memejamkan mata dan menempuh cara yang tidak selayaknya ia lakukan. Bagaimana mungkin cara yang salah dapat mencapai tujuan yang benar, cara yang kotor dapat mencapai tujuan yang bersih? Cara merupakan pohonnya, dan tujuan merupakan buahnya. Pohon yang buruk, mana dapat menghasilkan buah yang baik?"

   Sin Wan tertegun. Ucapan kakek rambut putih ini merupakan tusukan yang paling dalam dan membuka mata hatinya. Kasihan ibunya. Ibunya tidak sengaja melakukan perbuatan yang kotor dan salah. Dia harus sedapat mungkin membela lbunya!

   "Akan tetapi, lo-cianpwe, bukankah ibu telah berhasil menyelamatkan aku? Andaikata ibu menolak kehendak pembunuh suaminya, bukankah hal itu berarti ibu membunuh aku pula? Padahal, yang terutama baginya adalah menyelamatkan anaknya!"

   "Sian-cai ....! Anak baik, mati hidup berada di tangan Tuhan. Kalau Dia menghendaki engkau mati, siapa yang akan sanggup menyelamatkanmu? Sebaliknya, kalau Dia menghendaki engkau hidup. siapa pula yang akan dapat membunuhmu?"

   Kalimat terakhir ini segera disambar dan dipegang oleh Sin Wan sebagai bahan pembelaan terhadap lbunya dan juga hiburan dalam hatinya.

   "Kalau begitu, lo-cianpwe, kematian ibuku tentu juga telah dihendaki oleh Tuhan. Benarkah?"

   "Tentu saja!" jawab Pek-mau-sian Thio Ki dengan pasti.

   "Kalau tidak dikehendaki Tuhan, tentu ia tidak akan mati."

   "Nah, kalau begitu, ibu tidak berdosa! Ibu hanya melakukan sesuatu yang telah dikehendaki Tuhan!" kata anak itu dengan nada penuh kemenangan.

   Tiga orang pertapa itu saling pandang dan ketiganya lalu tertawa. Sin Wan memandang kepada mereka bergantian dengan heran.

   "Mengapa samwi (anda bertiga) tertawa? Apakah aku mengeluarkan kata-kata yang tidak benar?"

   "Siancai ...... engkau ini seorang anak yang berpemandangan luas dan memiliki bakat baik untuk mempelaiari ilmu tentang kehidupan, Sin Wan," kata Dewa Pedang.

   "Tidak keliru memang bahwa hidup dan mati berada di tangan Tuhan karena memang Tuhan yang menentukan segalanya. Adapun sikap menyerah dan pasrah kepada Tuhan merupakan sikap yang sudah sepatutnya dilakukan manusia. Akan tetapi, bukan berarti menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa kita melakukan apa-apa! Bukan berarti mempersekutu Tuhan, atau bahkan menuntut agar Tuhan bekerja demi kepentingan kita! Tuhan menciptakan kita terlahir di dunia ini lengkap dengan semua alat untuk hidup, untuk bekerja, untuk berihtiar mempertahankan hidup, untuk memuja Tuhan melalui segala perbuatan kita. Kalau kita tidak berbuat apa-apa, itu berarti kita melalaikan tugas hidup kita. Karena kita diberi hati akal pikiran, diberi pengertian tentang baik buruk, tentu saja menjadi tugas kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik di dunia ini. Berarti kita membantu pekerjaan Tuhan! Bagaimana Tuhan dapat membantu kita kalau kita tidak berusaha membantu diri kita sendiri?"

   "Maksud lo-cianpwe?"

   "Contohnya, untuk dapat hidup kita harus makan dan untuk kebutuhan itu, Tuhan telah menyediakan tanah, air, udara, bahkan bibit tanaman pangan untuk kita. Akan tetapi, untuk dapat mempertahankan hidup dengan makan, kita harus mengolah tanah, menanam, memelihara, memetik hasilnya. Bahkan setelah itu, tugas kita belum selesai. Kita masih harus memasaknya dan kalau sudah menjadi masakan terhidang di depan kita, kita masih harus mengunyah dan menelannya! Kalau kita diam saja, Tuhan tidak akan melakukan semua itu untuk kita! Dan kita diberi pula akal budi sehingga kita dapat mengerti bagaimana cara yang terbaik untuk mendapatkan makanan, yaitu dengan bekerja, bukan dengan jalan mencuri atau merampok misalnya. Dalam pelaksanaannya itulah menjadi tugas kita. Tuhan tiada hentinya bekerja. Kitapun harus bekerja. Bukankah segala sesuatu di alam mayapada ini, baik yang bergerak maupun yang tidak hidup tumbuh dan bekerja ? Pohonpun tiada hentinya bekerja, akarnya, daunnya, kembang dan buahnya. Mengertikah engkau, Sin Wan ?"

   Anak itu mengangguk, lalu menundukkan kepalanya. Tiga orang pertapa itu seperti menguak kesadarannya, membuka hatinya dan mengisinya dengan kebenaran-kebenaran yang Dapat dia rasakan. Ibunya telah meninggal.

   Musuh besarnya juga telah meninggal. Semua itu sudah dikehendaki Tuhan, Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa ibuku, demikian pikirnya dan teringat akan ajaran ibunya tentang agama Islam, yaitu agama ibunya, diapun menggumam lirih.

   "Innalilahi wainna illahi rojiun ......"

   "Hemm, apa artinya ucapan itu, Sin Wan?" tanya Pek-mau sian Thio Ki.

   "Berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan, demikianlah yang diajarkan ibu kepadaku dalam menghadapi kematian."

   "Berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan! Ha .. ha .. ha .., bagus sekali itu, Sin Wan!" kata Dewa Arak.

   "Itu merupakan penyerahan yang mutlak atas kekuasaan Tuhan. Bagus sekali!"

   "Siancai, semua agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan, semua agama mengajarkan bahwa ADA SESUATU YANG MAHA KUASA, yaitu yang kita sebut Tuhan. Sekarang, setelah engkau mengerti, kami ingin mengajak engkau pulang ke rumahmu karena ada sebuah urusan penting yang akan kami bicarakan denganmu, Sin Wan." kata Pek-mau-sian Thio Ki.

   Sin Wan memandang kepada pertapa rambut putih itu.

   "Lo-cianpwe tentu maksudkan benda-benda pusaka yang dicuri .... ayah tiriku dari gudang pusaka istana kaisar itu bukan?"

   "Hemm, engkau memang anak yang cerdik," kata Dewa Pedang dengan kagum.

   "Memang benar, kami adalah utusan dari Sribaginda Kaisar untuk membawa kembali benda-benda pusaka yang dicuri Se Jit Kong itu."

   "Sebentar Lo-cianpwe. Aku belum memberi penghormatan terakhir kepada ayah tiriku."

   Sin Wan lalu berlari menuju ke makam Se Jit Kong yang berada di ujung yang berlawanan dari tanah kuburan itu, dan dengan sikap hormat dia memberi penghormatan di depan makam itu. Tiga orang tosu mengikutinya dan memandang perbuatan Sin Wan itu dengan slnar mata yang kagum dan mereka mengangguk-angguk.

   Setelah selesai, Sin Wan menghadapi mereka.

   
Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mari, sam-wi lo-cianpwe, akan kuserahkan peti terisi benda-benda pusaka itu kepada sam-wi."

   Mereka berjalan meninggalkan tanah kuburan, dan karena tidak dapat menahan keinginan tahunya untuk mengenal isi hati Sin Wan, Dewa Arak lalu bertanya.

   "Sin Wan, kenapa engkau tadi memberi hormat kepada makam Se Jit Kong? Bukankah dia telah membunuh ayah kandungmu dan juga telah menculik dan memaksa ibumu?"

   Sambil melangkah Sin Wan menundukkan kepalanya dan menggelengnya, lalu menjawab.

   "Aku harus menghormatinya karena aku teringat akan kebaikannya. Dia selalu baik kepadaku, dan kulihat dia baik pula kepada ibuku."

   "Ha .. ha .. ha .. ha, engkau sama juga dengan yang lain, Sin Wan, menilai kebaikan dari keadaan lahir saja. Kebaikan macam itu palsu adanya."

   "Ehh? Bagaimana lo-cianpwe mengatakan palsu? Aku yang merasakan sendiri dan memang dia amat baik kepada ibu dan aku. Dia lembut dan mentaati ibu, dia menyayangku dan mengajarku dengan sepenuh hati."

   "Ha .. ha .. ha, tentu saja! Tentu saja dia baik kepadamu karena dia harus berbaik, kalau tidak, tentu ibumu tidak akan sudi menyerahkan diri kepadanya. Kebaikan macam itu datangnya dari nafsu, hanya merupakan akal-akalan saja karena kebaikan macam itu berpamrih. Itu bukan kebaikan namanya, melainkan cara yang licik untuk mendapatkan hasil sesuatu, ha .. ha .. ha!"

   Biarpun masih kecil, Sin Wan sudah membaca banyak macam kitab, maka dia dapat mengerti apa yang menjadi inti ucapan Dewa Arak. Dia menjadi semakin kagum kepada tiga orang tua itu dan dia ingin sekali dapat menjadi murid mereka. Kalau dia berguru kepada mereka, dia dapat mempelajari banyak macam ilmu. Bukan saja ilmu silat, akan tetapi juga lima pengetahuan tentang hidup. Mereka melanjutkan perjalanan memasuki kota Yin-ning karena tanah kuburan itu berada di luar kota. Matahari sudah condong rendah ke barat.

   ???

   Ketika tiga orang pertapa dan Sin Wan tiba di pekarangan rumah itu, mereka terkejut melihat seorang di antara para pelayan mereka rebah di ruangan depan dalam keadaan terluka parah. Sin Wan cepat berlutut dekat pelayan itu.

   "Apa yang terjadi?" tanyanya dan Pek-mau-sian Thio Ki yang pandai ilmu pengobatan segera menolong pelayan itu.

   "Celaka .... tuan muda .... lima orang datang dengan kereta, kami kira tamu ..... mereka menyerbu dan melarikan peti hitam.

   "

   "Itu peti benda-benda pusaka!" kata Sin Wan kaget.

   "Mari kita kejar mereka !" kata Ciu-sian dan dia lalu menyambar tubuh Sin Wan dan berlari cepat seperti terbang saja. Di antara mereka bertiga, memang Dewa Arak ini yang paling tinggi.tingkat ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang dimilikinya, maka dia yang memondong tubuh Sin Wan. Dua orang tosu lainnya juga lari mengejar dan sebentar saja mereka sudah keluar dari kota Yin-ning mengikuti jejak kereta yang meninggalkan jalur rodanya di tanah yang agak basah.

   Karena tiga orang itu melakukan perjalanan cepat sekali, mengerahkan ilmu berlari cepat mereka yang membuat tubuh mereka seperti terbang saja, maka tak lama kemudian mereka sudah dapat menyusul sebuah kereta yang berada tak jauh di depan, di luar sebuah hutan. Agaknya kereta itu hendak memasuki hutan dan bersembunyi sambil melewatkan malam di tempat gelap itu.

   Dapat dibayangkan betapa kaget hati lima orang yang berada di kereta ketika tiba-tiba mereka melihat tiga orang dan seorang anak laki-laki berdiri menghadang di depan kereta. Seorang di antara mereka, yang menjadi kusir segera membentak dan mencambuki dua ekor kudanya. Dua ekor kuda itu meringkik dan meloncat ke depan, menubruk ke arah Tiga Dewa dan Sin Wan!

   Dewa Arak tertawa, menyambar tubuh Sin Wan dan dia sudah meloncat tinggi melewati kuda dan hinggap di atas kereta, sedangkan Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih menyambut dua ekor kuda itu dengan menangkap kendali di dekat mulut dan sekali tarik, dua ekor kuda itupun jatuh berlutut dengan kaki depan mereka dan tidak mampu berkutik lagi!

   Lima sosok bayangan hitam berloncatan dari kereta itu dan ternyata mereka adalah lima orang berpakaian hitam yang rata-rata nampak kokoh dan menyeramkan, berusia antara empatpuluh tahun sampai limapuluh tahun. Sebatang golok besar terselip di punggung mereka.

   Dewa Arak meloncat turun lagi dan kini tiga oraag kakek itu berdiri menghadapi lima orang berpakaian hitam. Sin Wan berdiri agak di belakang Sam Sian, memandang penuh perhatian kepada lima orang itu.

   Seorang di antara mereka, yang kumisnya melintang sekepal sebelah, melangkah maju dan dengan sikap gagah dan suara menggeledek dia mengajukan pertanyaan sambil menudingkan dua jari tangan kiri ke arah tiga orang kakek.

   "Siapa kalian, berani mati menghadang perjalanan kami Hek I Ngo-liong (Lima Naga Baju Hitam)?"

   Ciu Sian Si Dewa Arak tertawa.

   "Ha .. ha .. ha, banyak benar naga di jaman ini! Sekali muncul sampai ada lima ekor! Pada hal, di jaman dahulu, naga merupakan mahluk dewa, dipuja sebagai penguasa lautan dan penguasa hujan! Hek I Ngo-liong, nama kami tidak ada harganya untuk kalian ketahui. Yang penting kami harap kalian mempertahankan julukan naga sebagai mahluk sakti yang membantu pekerjaan Tuhan dan kembalikanlah peti yang kalian curi dari rumah Se Jit Kong!"

   Lima orang itu otomatis menoleh ke arah kereta sehingga mudah diduga bahwa peti itu tentu disimpan di dalam kereta. Si kumis melintang mengerutkan alisnya mendengar olok-olok kakek yang mukanya merah dan sikapnya seperti pemabukan itu.

   "Agaknya kalian bertiga adalah orang-orang yang mengenal peraturan di dunia kangouw. Se Jit Kong mencuri pusaka, dan kami mencurinya dari dia. Semua itu menggunakan kekerasan. Dan kalian ingin minta begitu saja dari kami?"

   "EH .. HEH .. HEH, gagahnya! Lalu apa yang harus kami lakukan untuk dapat menerima peti terisi pusaka-pusaka istana itu?" tanya pula Dewa Arak.

   "Kalian harus dapat mengalahkan golok kami!"

   Setelah berkata demikian, lima orang itu menggerakkan tangan kanan ke belakang.

   "Sing-sing-sing-sing-sing "..!!"

   Nampak lima sinar berkelebatan dan Hek I Ngo-liong telah mencabut golok besar mereka. Golok di tangan mereka itu lebar dan putih berkilauan saking tajamnya, ujungnya melengkung ke belakang dan runcing, gagangnya dihias ronce-ronce kuning. Dari gerakan mereka mencabut golok saja sudah dapat diketahui bahwa mereka berlima adalah ahli-ahli golok yang tangguh.

   Kini lima orang itu berbaris setengah lingkaran menghadapi tiga orang kakek, tubuh agak direndahkan, kaki kiri di depan kaki kanan di belakang, lengan kiri lurus dengan jari telunjuk menuding ke arah lawan, golok di tangan kanan diangkat di belakang kepala dengan lengan melengkung dan golok itu lurus menunjuk ke arah lawan di depan pula. Gagah sekali kuda-kuda mereka ini, dan melihat pasangan itu, Dewa Pedang mengangguk-angguk.

   "Agaknya ini yang dikenal dengan sebutan Ngo-liong To-tin (Barisan Golok Lima Naga) itu, ya? Bagus, tentu cukup baik untuk pinto (aku) berlatih pedang!"

   Tidak terdengar suara apa-apa, hanya ada kilat menyambar dan tahu-tahu Kiam-sian Louw Sun yang tinggi kurus itu, yang tadi tidak nampak membawa pedang kini telah memegang sebatang pedang yang tipis, pedang yang tali melilit pinggangnya. Itulah Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari)! Kakek ahli pedang ini bahkan tidak melepas jubahnya, tidak melepas capingnya yang menutupi kepala dan menyembunyikan mukanya.

   Dewa Arak dan Dewa Rambut Putih juga sudah siap membantu Dewa Pedang, namun Kiam-sian Louw Sun berkata.

   "Kalian berdua menjadi penonton sajalah. Aku ingin sekali berlatih dan kebetulan ada mereka yang menjadi teman berlatih baik sekali!"

   Mengertilah Ciu-sian dan Pek-mau-sian bahwa rekan mereka ltu sedang ketagihan bermain pedang sehingga timbul kegembiraannya menghadapi Barisan Golok Lima Naga itu, untuk melatih dan menguji ilmu pedangnya tentu saja. Maka, merekapun mundur ke belakang dan hanya menjadi penonton saja.

   Sin Wan juga berdiri menonton dengan hati agak tegang. Dia mulai melihat kenyataan betapa kehidupan orang-orang yang menjadi ahli silat selalu terisi penuh pertentangan. Ayahnya sendiri selain dimusuhi orang dan kini tiga orang pendeta inipun demikian. Dan kalau bentuk kehidupan sudah sedemikian rupa, agaknya orang harus mengandalkan kepandaian silatnya untuk dapat bertahan, untuk dapat menang, bahkan untuk dapat hidup lebih lama.

   Dia mulai penasaran! Dia teringat akan cerita ibunya. Ayahnya, atau orang yang tadinya dianggapnya sebagai ayahnya, adalah seorang jahat. Dan tiga orang pendeta ini adalah orang-orang yang baik. Akan tetapi kenapa sama saja?

   Baik ayahnya maupun tiga orang kakek ini, selalu dihadapi musuh yang setiap kali siap mengadu nyawa! Tak dapat dia menahan perasaan penasaran di hatinya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, dia tidak mempunyai kesempatan untuk melontarkan perasaan ini menjadi pertanyaan kepada mereka.

   Hek I Ngo-liong menjadi marah sekali karena mereka merasa diremehkan. Mereka adalah Hek I Ngo-liong yang sudah membuat nama besar di dunia kang-ouw (sungai telaga, daerah persilatan), sehingga orang-orang kangouw yang tidak memiliki tingkat yang tinggi jarang ada yang berani menentang mereka.

   Akan tetapi sekarang laki-laki berpakaian pendeta ini, melarang kawan-kawannya untuk membantunya dan hendak menghadapi Barisan Golok Lima Naga mereka seorang diri saja! Ini namanya penghinaan!

   "Tosu sombong, engkau memang sudah bosan hidup!" bentak si kumis melintang dan dia mengelebatkan goloknya.

   Gerakan ini merupakan isyarat atau aba-aba kepada empat orang rekannya dan merekapun bergerak secara aneh. berputaran dan membentuk lingkaran mengepung Kiam-sian Louw Sun. Setelah mengepung, mereka terus berlari mengitari Si Dewa Pedang, hanya berhenti untuk berganti posisi kedua tangan dan lari lagi.

   Dewa Pedang yang berada di tengah-tengah, berdiri tegak lurus dengan kedua kaki terpentang dan ditekuk. Dia membuat kuda-kuda yang disebut Menunggang kuda. Kedua lengan, bersilang depan dada, pedang di tangan kanan, berada di luar dan pedangnya tegak lurus pula. Dia tidak bergerak, hanya kedua matanya saja yang bergerak, melirik ke kanan kiri dengan tenang namun tak pernah berkedip mengikuti gerakan lima orang lawannya.

   Tiba-tiba si kumis melintang mengeluarkan bentakan nyaring dan pada saat itu dia berada di belakang Dewa Pedang. Bentakannya disusul menyambarnya golok besar di tangannya ke arah tengkuk Dewa Pedang.

   "Syuuuuttt ""..!" Namun, biarpun golok menyambar dari belakang ke arah tengkuk, tubuh belakang Kiam"sian Louw Sun seolah mempunyai mata. Dengan tenang saja dia merendahkan tubuhnya sehingga golok menyambar lewat di atas kepalanya. Pada detik berikutnya, seorang lawan dari kiri sudah membacokkan goloknya pula, kini golok itu menyambar dengan babatan ke arah kedua kakinya!

   Dewa Pedang, dengan tubuh masih ditekuk rendah, melompat ke atas menghindarkan babatan pedang, hanya untuk menerima bacokan susulan dari kanan. Dia menggerakkan pedang menangkis.

   "Tranggg ""..!" Bunga api berpijar. Dewa Pedang memutar tubuh, kini pedang yang menangkis tadi menggunakan tenaga pentalan tangkisan, melindungi tubuhnya dari dua serangan lain dari golok berikutnya secara beruntun.

   "Singgg "".. trang-tranggg........!" Lebih banyak lagi bunga api berpijar.

   Kiranya barisan lima batang golok itu menggunakan jurus yang mereka namakan Lima mRajawali Mengepung Ular. Sang lawan diibaratkan ular dan mereka mengepung lalu mengirim serangan bertubi-tubi dan beruntun secara teratur sekali. Setiap serangan yang dihindarkan lawan, disusul serangan dari orang kedua, ketiga dan selanjutnya" sehingga lawan yang dikepung tidak diberi kesempatan sama sekali untuk membalas!

   Kiam-sian Louw Sun adalah seorang tokoh dunia persilatan yang sudah kenyang dengan pengalaman. Sebelum dia menjadi pertapa dan tidak pernah atau jarang lagi terjun di dunia persilatan, dia sudah menjadi petualang dan menghadapi lawan yang tangguh dengan bermacam ilmu yang aneh-aneh. Oleh karena itu, dalam segebrakan saja, tahulah dia bahwa dia dalam keadaan yang berbahaya dan tidak menguntungkan.

   Biarpun dia mampu melindungi dirinya dengan gulungan sinar pedangnya, namun lima orang lawannya bukan orang lemah dan mereka memegang golok yang tidak. mudah dirusak oleh pedang pusakanya. Kalau dia harus selalu mengelak dan menangkis, tanpa dapat membalas, berarti dia terdesak dan terancam bahaya.

   Tiba-tiba Dewa Pedang mengeluarkan suara melengking tinggi, pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata, tubuhnya tertutup benteng sinar pedang sehingga lima orang lawannya sukar untuk menembus sinar pedang itu dan tubuhnya lalu meloncat ke atas, lalu berjungkir balik membuat salto sampai tujuh kali baru dia turun dan sudah berada di luar kepungan!

   Dengan cara demikian, Dewa Pedang berhasil membuyarkan kepungan barisan golok itu. Dia tidak mau dikepung lagi dan untuk mencegah hal ini terjadi, dia mendahului mereka dengan serangannya! Karena pedangnya memang lihai bukan main, orang yang diserang menjadi terhuyung dan baru dapat terhindar dari ciuman ujung pedangnya kalau dibantu oleh satu doa orang rekan.

   Begitu gagal menyerang, Dewa Pedang sudah membalik dan meloncat untuk menyerang pengeroyok lain! Dengan demikian, lima orang itu sama sekali tidak sempat untuk melakukan pengepungan seperti tadi.

   Barisan golok itu kembali membuat bentuk barisan lain atas isyarat si kumis melintang. Mereka menggunakan siasat Dua Golok Tiga Perisai untuk menghadapi gerakan Dewa Pedang itu. Mereka berkelompok dan setiap serangan Dewa Pedang, selalu dihadapi oleh tiga orang pengeroyok yang saling bantu untuk menghalau serangan pedang, seolah-olah tiga orang itu membentuk tiga perisai melindungi diri dan pada saat itu, dua orang pengeroyok lain sudah menyerang Dewa Pedang dari belakang atau kanan kiri!

   Siasat ini akhirnya merepotkan Kiam-sian Louw Sun pula. Serangan-serangannya selalu gagal karena dihadapi tiga orang sekali gus, sedangkan dua orang yang lain selalu membalas dengan cepat sehingga dia tidak mungkin dapat melanjutkan serangan tanpa membahayakan diri sendiri.

   Sin Wan melihat betapa dua orang kakek lain kini malah duduk bersila dan menjadi penonton. Sedikitpun tidak bergerak membantu kawan yang nampaknya terdesak dan terancam bahaya itu. Hal ini membuat Sin Wan penasaran.

   "Kenapa ji-wi lo-cianpwe (dua orang tua gagah) tidak cepat membantu lo-cianpwe yang terancam bahaya itu, malah enak-enak menonton dan tersenyum-senyum?" tegurnya sambil memandang kepada Dewa Arak yang kini bahkan meneguk arak dari guci sambil tersenyum senang seperti orang yang menikmati pertunjukan wayang di panggung saja!

   "Heh .. heh .. heh. Sin Wan, apa kau ingin melihat Dewa Pedang marah-marah kepada kami? Kalau kami membantunya. Dia akan menganggap itu suatu penghinaan dan dia bahkan akan menyambut bantuan kami dengan sambaran pedangnya yang lihai! kata si Dewa Arak.

   "Ah, kenapa begitu?" Sin Wan bertanya, tak percaya.

   Dewa Rambut Putih yang kini berkata seperti orang bersajak.

   "Seorang bijaksana memperhitungkan dengan matang sebelum bertindak. Seorang pendekar menaruh kehormatan lebih tinggi dari pada nyawa. Seorang gagah memegang janjinya sampai mati dan selamanya takkan menyesali perbuatannya!"

   "Ha-ha. ha, dan si Dewa Pedang adalah seorang bijaksana dan seorang pendekar yang gagah!" Dewa Arak menyambung.

   Sin Wan mengerti, mengangguk kagum dan diapun memandang kembali ke arah pertandingan. Dia kini mengerti bahwa ketika maju menghadapi lima orang itu, pertapa berpedang itu telah memperhitungkan bahwa dia akan mampu menandingi mereka, dan tindakannya melawan mereka itu merupakan suatu keputusan bahwa dia akan menghadapi segala akibatnya seperti sebuah janji yang takkan dijilatnya kembali dan tidak akan menyesal andaikata dia kalah dan tewas. .Karena itu, kalau dia dibantu, dia tentu akan menjadi marah karena bantuan kawan-kawannya itu sama dengan merendahkan dia!

   Begitu memandang ke arah pertandingan, Sin Wan menjadi kagum. Kiranya kini pertapa itu sama sekali tidak terdesak lagi. Gerakannya demikian cepatnya seperti seekor burung walet dan pedangnya menjadi gulungan sinar menyilaukan mata dan karena dia terus berloncatan ke sana sini, maka lima orang pengeroyoknya mendapatkan kesukaran untuk rnenyudutkannya.

   Terpaksa merekapun mengejar ke sana sini dengan kacau dan tidak mempunyai kesempatan lagi untuk membentuk atau mengatur barisan. Menghadapi seorang lawan seperti ini, mereka merasa seperti menghadapi lawan yang lebih banyak jumlahnya.

   Memang benar seperti yang dikatakan Dewa Arak dan Dewa Rambut Putih tadi. Sebelum menghadapi lima orang itu seorang diri saja, Kiam-sian Louw Sun memang sudah memperhitungkan bahwa dia akan mampu menandingi mereka. Dari gerakan mereka ketika meloncat turun dari kereta, ketika mereka mencabut golok dan memasang barisan, dia sudah dapat mengukur sampai di mana kira-kira kekuatan mereka.

   Kini, setelah dia berhasil keluar dari himpitan barisan golok, Dewa Pedang meloncat jauh ke kiri, ke lawan yang paling ujung dan begitu lawan ini menyambutnya dengan bacokan golok, dia menangkis sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) disalurkan lewat pedang sehingga ketika pedang bertemu golok, pedang itu seperti mengandung semberani yang amat kuat, menyedot dan menempel golok. Si pemegang golok terkejut ketika tidak mampu melepaskan goloknya dari tempelan pedang dan pada saat itu, tangan Kiam-sian Louw Sun meluncur ke depan.

   "Cratt ""." Orang itu berteriak kesakitan, goloknya terlepas dan dia meloncat ke belakang, memegangi lengan kanan dengan tangan kiri karena lengan kanan yang tercium tangan kiri Kiam-sian tadi terluka dan berdarah seperti ditusuk pedang! Ternyata dengan tangan kirinya si Dewa Pedang mempergunakan ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan kalau dia menggunakan ilmu itu, tangan kirinya seperti pedang saja, dapat melukai lawan!

   Empat orang pengeroyok lain maju serentak, namun Dewa Pedang sudah menghindarkan diri dengan gerakannya yang amat cepat, meloncat ke samping, lalu meloncat ke atas membuat salto tiga kali dan ketika tubuhnya melayang turun, dia sudah menyerang orang yang berada di paling ujung!

   Bagaikan seekor garuda menerkam dari atas, pedangnya meluncur dan orang yang diserangnya cepat mengangkat golok menangkis. Akan tetapi, pada saat golok bertemu pedang, orang itu berteriak dan roboh, pundaknya berdarah terkena tusukan tangan kiri Kiam-sian Louw Sun.

   Berturut-turut Dewa Pedang melukai lima orang lawannya, bukan luka berat, akan tetapi cukup untuk membuat mereka jerih karena yang terluka adalah tangan, lengan atau pundak kanan mereka. Mengertilah Hek I Ngo-liong bahwa mereka berhadapan dengan orang yang jauh lebih tinggi tingkat ilmunya. Tentu saja mereka merasa kecewa dan menyesal bu. tan main.

   Peti terisi pusaka-pusaka istana telah terjatuh ke tangan mereka dengan mudah dapat mereka curi dari rumah Si Tangan Api selagi pemilik rumah tidak berada di rumah. Mereka lari ketakutan, takut kalau sampai Iblis Tangan Api dapat menyusul mereka. Kiranya bahkan tiga orang pertapa ini yang mengalahkan mereka dan yang akan merampas pusaka-pusaka itu. Baru melawan seorang saja dari tiga pertapa itu, mereka tidak mampu menang. Apa lagi kalau mereka bertiga itu maju semua!

   Si kumis melintang mewakili teman-temannya, membungkuk ke arah tiga orang itu dan berkata.

   "Kami Hek I Ngo-liong mengaku kalah. Harap sam-wi (anda bertiga) suka memperkenalkan nama agar kami tahu oleh siapa kami dikalahkan."

   "Ho .. ho .. ho, kami tidak perlu memperkenal diri, tidak ingin dikenal. Hanya ketahuilah bahwa kami yang berhak atas pusaka-pusaka itu, maka kami melarang kalian mencurinya," kata Dewa Arak.

   "Lo-cianpwe (orang tua gagah), berlakulah adil antara sesama orang kang-ouw. Pusaka itu cukup banyak dan kami akan berterima kasih sekali kalau lo-cianpwe memberi kepada kami seorang sebuah saja."

   "Hemm, tidak boleh, tidak boleh """

   "Kalau begitu empat buah saja ".. atau tiga buah """

   Melihat Dewa Arak masih menggeleng kepala, si kumis melintang menurunkan permintaannya.

   "Sudahlah, dua buah saja, lo-cianpwe .... atau sebuah saja untuk kami berlima!"

   Dewa arak menghentikan tawanya dan memandang dengan mata melotot.

   "Kami adalah utusan Sribaginda Kaisar untuk mendapatkan kembali pusaka pusaka itu! Semestinya kalian kami tangkap dan kami seret ke kota raja agar dihukum. Sekarang kalian masih berani rewel minta bagian?"

   Mendengar ucapan itu, Hek I Ngo-liong terkejut dan ketakutan. Tanpa banyak cakap lagi mereka mengambil golok masing-masing dan hendak berloncatan ke kereta mereka. Akan tetapi Dewa Arak berseru.

   "Berhenti! Kami telah memaafkan kalian dan tidak menangkap kalian, dan untuk itu kalian harus dihukum sebagai penggantinya. Kereta dan kuda itu kami butuhkan. Nah, kalian pergilah......, eh, nanti dulu. Kami harus memeriksa dulu apakah pusaka itu masih lengkap!"

   Dewa Arak lalu sekali berkelebat meloncat ke dalam kereta dari jarak yang cukup jauh sehingga mengejutkan lima orang itu. Peti itu berada di dalam kereta dan setelah membuka tutup peti dan melihat bahwa isinya masih lengkap, dia menjenguk keluar.

   "Kalian berlima boleh pergi sekarang dan sekali lagi bertemu dengan kami, tentu kalian akan kami tangkap dan seret ke kota raja agar dihukum."

   Lima orang itu saling pandang, dalam batin menyumpah-nyumpah, akan tetapi karena maklum bahwa mereka tidak mampu berbuat sesuatu, merekapun segera lari meninggalkan tempat itu.

   Sam Sian mengajak Sin Wan naik kereta rampasan itu lalu mereka kembali ke rumah anak itu. Para pelayan yang terluka oleh Hek. I Ngo-liong mendapat pengobatan dari Sam Sian. Untung mereka tidak terluka parah dan setelah mendapat pengobatan, mereka tidak menderita lagi. Sam Sian selalu membawa bekal obat-obat luka yang amat manjur.

   Malam itu, Sam Sian mengajak Sin Wan bercakap-cakap di ruangan tamu. Mereka merasa suka dan juga kasihan kepada anak itu yang kini sudah tidak memiliki siapapun di dunia ini. Ayah kandungnya telah lama tewas oleh Se Jit Kong, ibunya dan ayah tirinya juga tewas. Tidak ada sanak kadang, tidak ada handai taulan, hidup sebatang kara di dunia dalam usia sepuluh tahun! Mereka sudah sepakat untuk menolong anak itu.

   "Sin Wan, besok kami akan pergi mengantar pusaka ke kota raja. Kami ingin sekali mengetahui, apa rencanamu sekarang?" tanya Pek-mau-sian Thio Ki dengan suara lembut.

   Pertanyaan ini seperti menyeret Sin Wan kembali kepada kenyataan hidup yang pahit, menyadarkannya dari lamunan. Sejak tadi dia. memang sedang memikirkan keadaan dirinya. Besok tiga orang kakek ini meninggalkannya, lalu apa yang harus dia lakukan?

   Tetap tinggal di rumah besar peninggalan Se Jit Kong dengan segala harta kekayaaanya itu? Bagaimana dia akan mampu mengurus rumah tangga seorang diri saja, mengepalai tujuh orang pelayan itu? Dan dia tahu betapa di dunia ini lebih banyak terdapat orang jahat dari pada yang baik.

   Pengalamannya dalam beberapa hari ini saja sudah membuka matanya betapa orang-orang yang kelihatannya baik, ternyata adalah orang yang amat jahat. Seperti ayah tirinya itu! Seperti Bu-tek Cap-sha-kwi, tigabelas orang yang mencoba untuk merampas pusaka, kemudian Hek I Ngo-liong.

   Pertanyaan Dewa Rambut Putih itu justeru merupakan pertanyaan yang sejak tadi mengganggunya.

   "Lo-cianpwe, saya ..... saya tidak tahu. Kalau sam-wi lo-cianpwe mengijinkan, saya ingin ikut saja dengan sam-wi (anda bertiga) ."

   

Pedang Sinar Emas Eps 17 Pedang Sinar Emas Eps 51 Pedang Sinar Emas Eps 14

Cari Blog Ini