Ceritasilat Novel Online

Si Pedang Tumpul 1


Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 1



Si Pedang Tumpul (Seri ke 01 - Serial Si Pedang Tumpul)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   PEGUNUNGAN yang berderet sepanjang sembilan puluh kilometer itu memang patut dengan namanya yang diberikan orang sejak ribuan tahun kepadanya, yaitu Gunung Api. Mentakjubkan kalau melihat pegunungan yang berkilauan merah seperti api membara itu. Baru melihat bentuk dan warnanya saja sudah menimbulkan perasaan panas, seperti orang melihat gunung yang terbakar membara. Apalagi kalau mengingat bahwa di kaki pegunungan itu sebelah selatan adalah daerah Turfan, daerah yang dikenal sebagai daerah yang paling panas di seluruh daratan Cina.

   Daerah Turfan merupakan daerah berlekuk seperti mangkuk yang amat rendah letaknya. Kalau para musafir kelana atau rombongan pedagang yang melawat ke atau datang dari See-thian (dunia barat, yang dimaksudkan India) lewat di daerah Turfan yang mereka takuti ini dan memandang ke utara, mereka semua selalu menganggap bahwa hawa panas itu tentu datang dari Gunung Api itu!

   Sesungguhnya tidaklah demikian. Pegunungan ini tidak mengandung api, bukan pula gunung berapi. Akan tetapi pegunungan ini terdiri dari batu padas yang warnanya merah seperti api membara. Tingginya sekitar lima ratus meter dari permukaan laut dan tidaklah begitu panas hawanya, sungguhpun pegunungan padas itu nampak gundul karena jarang ada tumbuh-tumbuhan yang dapat hidup di sana.

   Hanya binatang unta dan kuda dari daerah itu yang sanggup membawa rombongan kafilah melintasi daerah Turfan. Kadang-kadang, di tengah hari hawanya demikian panas menyengat, bahkan lebih panas dari pada hawa di Gurun Gobi.

   Namun, tanpa memikirkan hal-hal yang merugikan dan membahayakan manusia, pemandangan alam di daerah itu memang amatlah indahnya, keindahan yang tidak bisa didapatkan di daerah lain. Pantaslah kalau tempat ini oleh penduduk sekitar daerah yang lebih subur di wilayah itu, daerah Turfan dianggap sebagai tempat tinggal Dewa Api dan keluarganya.

   Menurut dongeng, Dewa Api telah melakukan kesalahan di kahyangan dan oleh Yang Maha Kuasa lalu dibuang ke Gunung Api, menjadi penunggu pegunungan itu. Indah dan agung, pegunungan membara yang melintang tiada putusnya, seolah menjadi benteng penghalang bagi para pedagang dari timur dan barat.

   Di sepanjang jalan yang dibuat oleh kafilah, terdapat tulang rangka manusia dan binatang berserakan, tanda bahwa sudah banyak korban jatuh ketika melewati daerah Turfan. Maka timbullah kepercayaan bahwa Dewa Api telah menyuruh anak buahnya untuk membantai orang-orang berdosa yang kebetulan melewati daerah itu. Makin jarang kafilah melalui daerah ini, dan kalau ada yang berani, tentu rombongan itu dikawal oleh sepasukan pengawal yang gagah berani dan berkepandaian tinggi.

   Matahari telah menggeser ke barat ketika rombongan yang cukup besar itu memasuki daerah Turfan. Sepuluh ekor unta, limabelas ekor kuda, membawa tujuhbelas orang dan banyak barang dagangan. Mereka datang dari timur, hendak menuju ke barat. Dua orang yang bertubuh gemuk dan menunggang unta-unta terbesar, adalah dua orang pedagang berbangsa Han. Lima belas orang berkuda adalah orang-orang Kasak yang terkenal gagah perkasa dan pandai menunggang kuda dan pada jaman itu, orang-orang Kasak yang terkenal jagoan mendapat banyak keuntungan dari pekerjaan mereka sebagai pengawal-pengawal yang boleh diandalkan.

   Dua orang pedagang Bangsa Han itu berusia kurang lebih lima puluh tahun. Mereka adalah pedagang-pedagang yang sudah berpengalaman, akan tetapi biasanya mereka berdagang ke Tibet, Bhutan dan Nepal. Baru sekali ini mereka menuju ke See-thian untuk berdagang dan membawa barang dagangan yang amat berharga, antara lain sutera dan batu-batu mulia yang mempunyai harga tinggi di dunia barat. Begitu memasuki Turfan, mereka disambut sengatan matahari yang membuat mereka mengeluh dan mereka beberapa kali menoleh kepada pasukan pengawal untuk mencari tempat teduh dan beristirahat.

   Kepala pasukan pengawal, seorang Kasak yang usianya sudah lima puluh tahun lebih dan bertubuh tinggi kurus, mengangkat tangan dan menggoyangnya sebagai tanda tidak setuju.

   "Kita harus dapat melewati Turfan sebelum malam tiba!"

   Dan diapun membunyikan cambuknya di belakang dua ekor onta itu, membuat dua ekor onta itu terkejut dan melangkah lebih cepat. Dua orang pedagang di atas punggung onta terangguk-angguk dan tidak berani membantah karena dalam perjalanan yang berbahaya itu, mereka harus tunduk kepada kepala pasukan pengawal yang mengatur keamanan perjalanan itu. Mereka hanya dapat minum air teh jeruk untuk melarutkan ketidaksenangan hati mereka. Setelah hati mereka sejuk kembali, dua orang saudagar itu terangguk-angguk melenggut di atas unta, sengatan matahari membuat mereka mengantuk.

   Tiba-tiba dua orang pedagang itu dikejutkan oleh suara ribut-ribut. Ketika mereka membuka mata, mereka melihat betapa sepuluh orang pengawal berkuda sudah mengelilingi mereka dengan sikap siaga, sedangkan lima orang lain, dipimpin kepala pengawal berhadapan dengan seorang laki-laki asing yang berdiri dengan sikap angkuh.

   Laki-laki itu berusia hampir enam puluh tahun, tubuhnva tinggi tegap dengan dada yang bidang. Kedua lengan baju yang digulung sampai siku membuat sepasang lengan itu nampak, kekar dan dihias otot melingkar-lingkar. Rambutnya sudah bercampur uban, diikat ke atas dan tertutup sebuah caping lebar yang melindungi wajahnya dari sengatan matahari. Telinganya yang lebar, bukit hidung yang tinggi, mata sipit yang kedua ujungnya menurun, bentuk pakaiannya, jelas menunjukkan bahwa pria itu adalah Bangsa Uighur. Suku Uighur dan suku Kasak merupakan dua suku bangsa yang paling banyak berada di daerah Sin-kiang atau daerah barat ini.

   Dua orang saudagar itu melihat betapa kepala pengawal marah-marah, dan mengusir orang Uighur itu, agar tidak menghalang di jalan. Akan tetapi, orang Uighur itu banya tertawa saja, suara ketawanya lantang dan bernada meremehkan.

   Kepala pasukan makin marah dan bersama empat orang anak buahnya, dia lalu berloncatan turun dari atas kuda mereka dan menyerang orang Uighur tinggi besar itu dengan golok mereka. Penghadang itu tidak bersenjata, namun tubuhnya berkelebatan di antara sinar lima batang golok yang menyambar-nyambar. Mengherankan dan mengagumkan sekali melihat tubuh yang tinggi besar itu dapat bergerak seringan itu, dengan kecepatan gerak seperti. seekor burung walet saja.

   "Siapa dia dan mengapa mereka berkelahi?" Saudagar gendut yang kepalanya botak bertanya kepada seorang anggauta pengawal terdekat.

   "Orang itu perampok."

   "Ahhh ...".!" Dua orang saudagar memandang terbelalak dan muka mereka berubah pucat sekali.

   "Tidak perlu khawatir. Sebentar lagi dia tentu dapat dibunuh," pengawal itu menghibur. Akan tetapi, melihat betapa perampok itu belum juga dapat dirobohkan dan gerakannya seperti seekor burung walet saja, sepuluh orang pengawal yang bertugas melindungi dua orang pedagang itu sudah berloncatan turun dari atas kuda dan mereka semua telah mencabut senjata golok melengkung.

   Setelah belasan jurus lewat tanpa ada sebatangpun golok mampu menyentuhnya, perampok tinggi besar itu tertawa bergelak, kemudian kaki tangannya bergerak cepat dan dia mulai membalas serangan para pengeroyoknya. Dia memainkan ilmu silat yang aneh, kakinya berloncatan ke sana sini dan kedua tangannya diputar-putar, seperti gerakan seekor burung. Akan tetapi akibatnya bukan main!

   Empat orang pengeroyok roboh berpelantingan dan tidak mampu bangkit kembali karena di kepala mereka terdapat luka berlubang bekas ditembusi jari tangan perampok itu! Bahkan kepala pengawal juga hanya mampu menghindarkan maut setelah dia melempar tubuh ke belakang dan bergulingan menjauh.

   Kepala pengawal meloncat berdiri dan mukanya menjadi merah saking marahnya. Dia menudingkan goloknya ke arah perampok itu.

   "Siapakah engkau? Orang Uighur biasanya tidak saling mengganggu dengan kami Bangsa Kasak. Kenapa engkau hendak mengganggu pekerjaan kami?"

   "Ha ha ha! Kalian orang-orang Kasak yang pelit! Aku hanya menghendaki batu-batu giok (kemala) itu. Serahkan kepadaku dan kalian boleh ambil semua sisa barangnya. Dua ekor babi gemuk ini kita sembelih saja!" kata si perampok yang tinggi besar itu.

   "Orang rendah! Kami adalah orang-orang Kasak yang gagah! Kami bukan sahabat orang Han, akan tetapi sekali kami menerima tugas dan tanggung jawab, akan kami bela sampai mati! Jangan harap engkau akan dapat mengambil sepotongpun benda yang kami lindungi sebelum kami menggeletak sebagai mayat!" pimpinan pengawal Kasak itu berteriak lantang dengan sikap gagah.

   Kemudian dia menoleh ke arah anak buahnya.

   "Bentuk barisan pedang bintang!"

   Sepuluh orang pengawal yang telah melindungi dua orang pedagang, kini berloncatan mengepung perampok itu bersama kepala pasukan, dan mereka membentuk barisan pedang bintang yang memiliki gerakan teratur, mengelilingi si perampok sambil berlarian dan sambil memainkan golok yang digerak-gerakkan dari atas ke bawah, lalu diputar ke atas kembali. Gerakan ini mendatangkan sinar berkilauan karena tertimpa sinar matahari.

   Akan tetapi, perampok tinggi besar itu tidak menjadi gentar, bahkan tertawa. Kemudian dia mendengarkan suara melengking nyaring, menggerak-gerakkan kedua lengannya dan semua perampok melihat betapa kedua lengan yang berkulit kecoklatan terbakar sinar matahari itu kini berubah menjadi merah seperti api membara! Melihat ini, kepala pengawal terkejut bukan main,

   "Kau ...... kau ...... Datuk Besar Tangan Api?" Dia tergagap.

   "Bukankah engkau sudah mengundurkan diri bahkan tinggal di daerah kami Bangsa Kasak dan diterima dengan baik?"

   "Ha ha ha, matamu masih awas. Nah, serahkan kemala-kemala itu dan aku akan mengampuni kalian!" Si Tangan Api itu berkata.

   "Bukan watak kami Bangsa Kasak untuk menyerah tanpa melawan!" kepala pengawal itu berseru.

   "Kami adalah orang-orang yang setia kepada tugas sampai mati!"

   "Bagus, kalau begitu kalian akan mati!" bentak Si Tangan Api.

   Barisan bintang yang terdiri dari sebelas orang itupun sudah menggerakkan golok mereka dan melakukan penyerangan dengan serentak dan teratur. Yang mereka sebut Barisan Pedang Bintang itu sesungguhnya adalah barisan pedang yang teratur rapi dan mereka mempelajarinya dari seorang perwira Bangsa Mongol ketika pasukan Mongol menyerbu ke Barat. Akan tetapi karena mereka biasa menggunakan senjata golok, maka mereka bukan memainkan pedang, melainkan golok.

   Melihat senjata-senjata tajam itu menyambar-nyambar dengan ganas dan teratur. Si Tangan Api bersikap tenang saja, bahkan senyumnya tak pernah meninggalkan bibir. Dia menggunakan kedua tangannya yang telanjang sampai ke siku, kedua lengan yang kulitnya kemerahan seperti api membara, seperti Gunung Api yang nampak dari situ. Ketika dia menggerakkan kedua lengan menangkis, maka terdengar suara berdenting seolah-olah kedua lengan itu terbuat dari pada baja! Dan setiap kali lengannya menangkis, pada saat golok lawan terpental, secepat kilat tangan kedua menyambar.

   "Bukk!" Yang terpukul berteriak, tubuhnya terjengkang dan tak mampu bergerak lagi. Bagian tubuh yang terkena pukulan tangan terbuka itu seperti terbakar dan ada bekas telapak tangan di bagian itu, dan orangnya tewas seketika!

   Teriakan susul menyusul dan sebelas orang pengeroyok itu roboh satu demi satu! Si Tangan Api menyapu dengan pandang matanya. Melihat lima belas orang Kasak itu sudah roboh semua dan tidak ada yang bargerak lagi, diapun mengangkat muka ke atas lalu tertawa bergelak, suara ketawanya bergema sampai jauh.

   Dua orang saudagar yang menjadi ketakutan, sudah merosot turun dari onta mereka dan melihat seluruh pengawal mereka tewas, mereka lalu melarikan diri. Perut mereka yang gendut bergayutan dan karena tidak biasa bekerja keras apa lagi lari, mereka jatuh bangun dan belum ada seratus langkah, mereka sudah terengah-engah kehabisan napas. Melihat mereka lari, Si Tangan Api mengangkat tangan kanan ke atas dan dia berteriak lantang, suaranya berpengaruh.

   "Heiii ....! Kalian berdua, berhenti .....!!"

   Mendadak saja dua orang yang lari terhuyung-huyung itu berhenti, seolah kaki mereka mendadak melekat pada tanah yang mereka injak.

   "Kembalilah kalian ke sini!" teriak pula Si Tangan Api.

   Teriakan itu membuat mereka semakin ketakutan. Mereka ingin melarikan diri secepatnya, ingin meninggalkan tempat itu sejauhnya. Akan tetapi sungguh aneh. Kaki mereka bukan saja tidak mau diajak berlari, bahkan kini kaki itu membawa mereka membalik dan berlawanan dengan kehendak mereka, kedua kaki mereka melangkah menghampiri perampok yang telah membunuh semua pengawal mereka.

   Tentu saja kedua orang ini menggigil ketakutan ketika berdiri di depan perampok yang memandang kepada mereka sambil tersenyum itu. Mereka merasa bingung dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka merasa seperti dalam mimpi dan tidak dapat menguasai lagi tubuh mereka.

   "Berlututlah kalian!" teriak pula Si Tangan Api.

   Kini kedua orang itu menjatuhkan diri berlutut. Bukan saja karena kaki mereka menghendaki demikian, akan tetapi juga karena rasa takut yang menghantui hati. Si Tangan Api menggunakan kakinya menendang dua batang golok yang banyak berserakan di situ, ke arah dua orang saudagar itu.

   "Kalian ambil golok itu!"

   Sungguh aneh. Perintah ini tak mungkin dapat dibantah. Dua orang pedagang itu, di luar kemauan mereka, menjulurkan tangan mengambil golok pada gagangnya.

   "Nah, sekarang kalian bunuh diri dengan golok itu! Penggal leher kalian sendiri!"

   Perintah yang aneh. Tentu saja dalam hati kecil mereka, dua orang saudagar ini menentang dan tidak mau, akan tetapi, kekuatan yang amat besar mendorong dalam benak mereka, dan tanpa dapat dicegah lagi, tangan yang memegang golok itu mengayun golok dan dua orang pedagang itu menebas leher sendiri dengan golok di tangan masing-masing. Mereka tak sempat mengeluarkan suara, roboh mandi darah yang bercucuran keluar dari luka parah di leher mereka!

   "Ha ha ha, bagus! Ilmu silatku, tenagaku, dan ilmu sihirku, semua masih ampuh, ha ha ha!"

   Sambil tertawa-tawa dia lalu memeriksa semua barang bawaan, mengambil kantung terisi perhiasan emas permata dan terutama sekali ukiran batu giok (kemala), memilih tiga ekor kuda, meloncat ke atas punggung seekor kuda dan menarik tali kendali dua ekor yang lain lalu dia melarikan kuda meninggalkan tempat itu.

   Sunyi senyap di tempat pembantaian manusia itu. Sunyi yang mencekam dan mengerikan. Tiga ekor burung semacam rajawali terbang lalu dan mereka mengeluarkan bunyi mencicit panjang. Agaknya tiga ekor burung itu ikut merasa ngeri dan prihatin menyaksikan akibat ulah manusia yang dikenal sebagai mahluk paling mulia dan paling tinggi derajatnya di seluruh permukaan bumi.

   Bagi burung-burung itu, tidak ada mahluk yang lebih ganas dari pada manusia. Manusia membunuhi mahluk lain hanya demi mengejar kepuasan dan kesenangan, bukan karena kebutuhan mutlak.

   Hawa udara yang biasanya memang amat panas itu menjadi semakin panas. Nafsu adalah api yang paling panas, yang dapat membakar segala dengan liar, apabila tidak terkendali. Bahkan matahari bersembunyi di balik segumpal awan, seolah merasa malu melihat apa yang terjadi di daerah Turfan itu.

   Hanya untuk sekantung emas permata, seorang manusia tega membunuh tujuh belas orang manusia lain dengan hati dan tangan dingin. Hanya untuk merampas sekantung benda mati, karena benda itu dianggap akan dapat mendatangkan kesenangan dan kepuasan bagi gairah nafsunya.

   Kurang lebih sejam setelah Si Tangan Api pergi, muncul tiga orang pria lain di daerah yang panas itu. Usia mereka sekitar lima puluh tahun dan mereka berpakaian seperti pendeta atau pertapa, pakaian yang amat sederhana dari kain kasar berwarna putih dan kuning.

   Di daerah barat ini, di mana terdapat banyak pertapa yang mengasingkan diri dari kehidupan ramai, kehadiran tiga orang ini tentu bukan merupakan hal yang aneh lagi. Akan tetapi kalau mereka berada di timur, dunia persilatan akan mengenal mereka dengan baik karena mereka ini merupakan tiga orang manusia sakti yang dijuluki Sam Sian (Tiga Dewa)!

   Biarpun mereka bertiga itu tidak pernah muncul berbareng selama ini di dunia persilatan, namun karena ketiganya merupakan orang-orang sakti yang sukar dicari bandingnya, maka mereka mendapat julukan Sam Sian. Mereka juga jarang sekali muncul di dunia ramai semenjak mereka mengundurkan diri belasan tahun yang lalu.

   Ciu-sian (Dewa Arak) diberikan sebagai julukan Tong Kui yang bermuka selalu kemerahan seperti orang mabok. Wataknya ugal-ugalan seperti mabok, perutnya gendut walaupun tubuhnya tidak terlalu gemuk sehingga dia nampak seperti kanak-kanak bertubuh besar yang berpenyakit cacingan. Pakaiannya penuh tambalan.

   Dilihat sepintas lalu, tidak ada apa-apanya yang mengesankan. Namun, orang ini memiliki ilmu kepandaian silat tangan kosong yang sukar ditemukan keduanya, dan diapun memiliki sin-kang (tenaga sakti) dan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dahsyat.

   Orang ke dua bersama Louw Sun. Dia dijuluki Kiam-sian (Dewa Pedang) karena memang ilmu pedangnya sukar dikalahkan, bahkan belum pernah ada yang mampu menandinginya selama ini. Mukanya kekuningan tubuhnya tinggi kurus.

   Biarpun julukannya Dewa Pedang, namun tidak nampak dia membawa pedang seperti para pendekar lainnya yang menaruh pedang di punggung atau di pinggang. Selain ilmu pedang dia juga ahli banyak macam ilmu silat, ahli pula tentang filsafat Agama To, kepalanya dilindungi sebuah caping lebar dan pakaiannya yang juga sederhana itu nampak bersih.

   Orang ke tiga bernama Thio Ki dan dia dijuluki Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih). Entah mengapa, sejak berusia tigapuluh tahun rambutnya telah berubah putih semua. Wajahnya tampan dan dia selalu tersenyum ramah sehingga rambut yang kesemuanya putih itu tidak membuat dia nampak tua. Tubuhnya kurus sedang dengan pakaian yang terbuat dari kain sederhana akan tetapi potongannya rapi walaupun tetap longgar seperti pakaian pendeta. Di pinggangnya terselip sebuah kipas bergagang gading, lagak dan bicaranya menunjukkan bahwa dia seorang sasterawan atau setidaknya terpelajar.

   Penampilannya menunjukkan seorang yang lemah. Akan tetapi justeru penampilannya ini yang menyembunyikan kepandaian hebat. Selain ahli silat yang tingkatnya tidak di bawah dua orang rekannya. Dewa Rambut Putih inipun memiliki ilmu sihir yang cukup kuat!

   Tiga orang sakti itu segera melibat beberapa ekor kuda yang berlarian liar. Kuda-kuda itu masih dipasangi kendali. Tentu saja mereka merasa penasaran, bahkan mereka dapat menduga bahwa para penunggangnya tentu akan kehilangan. Dan peristiwa ini membuktikan adanya kejadian yang tidak wajar. Merekapun tanpa bicara lagi lalu menggunakan ilmu berlari cepat, menuju ke arah dari mana datangnya kuda-kuda itu.

   Tak lama kemudian mereka sudah tiba di tempat pembantaian tadi. Mereka menghampiri dan sejenak mengamati mayat-mayat itu dan tahu bahwa mereka itu menjadi korban pembantaian.

   "Siancai (damai) .....! Di mana-mana nafsu menguasai manusia sehingga terjadi kejahatan keji! Sungguh menyedihkan sekali, siancai......!"

   Kiam-sian Louw Sun menarik napas panjang.

   "Pek-mau-sian, engkau pernah bilang bahwa seluruh alam mayapada ini berputar karena keseimbangan antara Im (negatif) dan Yang (positif). Kalau tidak ada malam, mana ada siang? Kalau tidak ada kejahatan, mana ada kebajikan? Yang disebut baik baru ada kalau ada keburukan. Nah, kenapa sekarang engkau merasa bersedih?"

   "Ha ha ha ha!" Ciu-sian Tong Kui tertawa sambil berjalan di antara mayat-mayat yang berserakan dan barang-barang dagangan yang serba mahal juga berserakan, di antaranya gulungan sutera-sutera indah.

   "Mati bukan persoalan, semua manusia mesti mati. Hanya, cara kematian itulah yang penting! Mereka semua ini mati konyol namanya, mati penasaran dan roh-roh mereka menjadi setan penasaran!" Tiba-tiba Dewa Arak itu berhenti tertawa.

   "Ihhh ....! Dia ini belum mati," teriaknya.

   Dua orang rekannya berkelebat cepat dan kini mereka bertiga sudah berjongkok dekat tubuh kepala pengawal. Dia memiliki tubuh yang lebih kuat dari pada kawan-kawannya, maka kalau semua anak buahnya mati seketika terkena hantaman lawan, dia roboh dan masih dapat bertahan.

   Setelah tiga orang sakti itu memeriksanya sejenak, tahulah mereka bahwa orang ini tidak mungkin dapat diselamatkan pula. Ciu-sian Tong Kui menotok jalan darah di tengkuk dan kedua pundak, mengurut dada dan kepala pengawal itu mengeluh lirih, membuka kedua matanya dan memandang tiga wajah di atasnya itu dengan mata kuyu.

   "Apa yang terjadi ? Siapa yang membunuh kalian?" tanya Dewa Pedang.

   Si kepala pengawal memejamkan mata, mengerahkan tenaga terakhir, membuka matanya lagi dan dengan sukar mulutnya bergerak mengeluarkan suara yang parau setelah dia muntah darah menghitam.

   "Si ...... Tangan ....... Api ....."

   Dia terkulai dan matanya terpejam. Tiga orang itu terbelalak dan kelihatan bersemangat ketika mendengar disebutnya nama Si Tangan Api. Melihat keadaan orang yang terluka parah itu, Dewa Rambut Putih segera mengerahkan kekuatan batinnya, mengusap muka dan dada orang itu. Dan, sungguh aneh, kepala pengawal yang tadi kelihatan sudah putus napasnya itu membuka matanya yang sudah kosong sinar, seperti orang mimpi saja.

   "Cepat katakan, di mana Si Tangan Api?" kata Dewa Rambut Putih, suaranya tidak wajar, melengking dan penuh getaran yang berwibawa. Kiranya orang sakti ini sedang mempergunakan seluruh tenaga dan kekuatan sihirnya untuk memberi dorongan semangat sehingga pada saat terakhir orang yang sudah sekarat itu masih akan dapat memberi keterangan yang diinginkannya.

   "......... di ..... Yin-ning .... Yi-li ......" Hanya sekian orang itu dapat bicara. Dia terkulai dan tewas. Akan tetapi, disebutnya Yin-ning dan Yi-li itu saja sudah cukup bagi Tiga Dewa. Sudah berbulan-bulan mereka berkeliaran di daerah barat ini, bahkan menjelajahi Tibet dan Sin-kiang untuk mencari satu orang saja, yaitu Si Tangan Api! Mereka tahu bahwa Yin-ning adalah sebuah kota yang terdapat di daerah Yi-li, daerah yang menjadi pusat tempat tinggal orang-orang Kasak.

   Siapakah Tiga Dewa dan apa hubungan mereka dengan Si Tangan Api? Seperti telah kita ketahui, Tiga Dewa adalah tiga orang tokoh persilatan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sebetulnya sejak belasan tahun yang lalu, mereka telah menarik diri dari dunia persilatan, tekun bertapa untuk memajukan perkembangan jiwa mereka.

   Akan tetapi, akhirnya mereka keluar juga ketika mereka mendengar bahwa di dunia persilatan terjadi kegemparan. Di dunia persilatan muncullah seorang jagoan, seorang datuk kaum sesat yang berjuluk Si Tangan Api.

   Bukan saja datuk ini menguasai dunia kang-ouw (sungai telaga atau dunia persilatan), akan tetapi juga dia menggunakan ilmu kepandaiannya yang hebat untuk menalukkan para pimpinan perguruan perguruan silat besar seperti Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Kong-thong-pai, bahkan berani menghina pimpinan Siauw-lim-pai! Mendengar akan hal ini, Tiga Dewa terpaksa keluar dart tempat pertapaan mereka dan memenuhi permintaan para pimpinan perguruan-perguruan silat itu untuk menghadapi Si Tangan Api!

   Akan tetapi, mereka terlambat. Si Tangan Api telah melarikan diri setelah melakukan hal yang amat menggemparkan, yaitu dia telah memasuki gudang pusaka dari istana kaisar dan mencuri belasan buah benda pusaka! Tentu saja Kaisar Thai-cu, yaitu kaisar pertama Dinasti Beng menjadi amat marah dan melalui para jagoan-jagoan istana dan penasihatnya, Kaisar Thai-cu juga minta bantuan Tiga Dewa untuk menangkap Si Tangan Api dan merampas kembali benda-benda pusaka itu.

   Demikianlah, Tiga Dewa lalu melakukan penyelidikan dan mereka mengikuti jejak Si Tangan Api yang memboyong keluarganya ke barat. Akan tetapi, di barat, mereka kehilangan jejak. Mereka mencari-cari sampai berbulan-bulan lamanya, namun belum juga berhasil menemukan datuk sesat yang mereka cari itu.

   Kalau di timur, dunia persilatan mengenal Si Tangan Api sehingga akan mudah mencari jejaknya. Akan tetapi di daerah barat ini, agaknya tak seorangpun mengenal namanya.

   Akhirnya, tibalah mereka di Turfan, dan secara kebetulan saja mereka melihat korban keganasan tangan Si Tangan Api dan kebetulan pula seorang di antara para korban itu masih sempat memberi keterangan kepada mereka sebelum mati.

   Setelah mendengar keterangan dari kepala pengawal itu, tiga orang sakti saling pandang, kemudian Ciu-sian Tong Kui tertawa bergelak-gelak.

   "Ha ha ha ha, akhirnya Tuhan berkenan mengulurkan bantuan kepada kita!"

   "Hwe-siang-kwi (Iblis Tangan Api), sekali ini engkau tidak akan lolos dari tanganku!" kata pula Kiam-sian Louw Sun sambil meraba gagang pedang yang tak pernah meninggalkan pinggangnya. Tidak nampak dari luar dia membawa pedang, namun sesungguhnya, sebatang pedang yang aneh, pedang yang lentur tipis, melilit pinggang dalam sarung pedang dari kulit ular.

   Pek-mou-sian Thio Ki tersenyum lebar dan menengadah memandang langit.

   "Pohon yang buruk, cepat atau lambat, pasti akan menghasilkan buah yang buruk pula. Setiap kejahatan membawa hukumannya sendiri, seperti setiap kebaikan membawa pahalanya sendiri. Tuhan Maha Adil dan Maha Kuasa."

   "Bagaimana dengan mayat-mayat ini? Kita tidak mungkin dapat meninggalkan mereka begini saja," kata Dewa Arak.

   "Engkau benar, Ciu-sian. Akupun tidak tega membiarkan mereka seperti itu," Dewa Pedang membenarkan.

   " Entah bagaimana pendapat Pek-mou-sian,"

   "Tentu saja kita harus mengubur mayat-mayat itu lebih dulu." jawab Dewa Rambut Putih.

   "Kenapa tidak dibakar saja, Pek-mou-sian?" tanya Ciu-sian Si Dewa Arak.

   "Sama saja. Jasmani kita terdiri dari empat unsur, api, air, tanah, dan udara. Setelah jasmani ditinggalkan jiwa, dia kembali ke asalnya, empat unsur Air kembali kepada sumbernya. Dalam keadaan seperti ini, paling mudah dan tepat kalau kita mengubur mereka. Untuk membakar mereka, kita kekurangan bahan bakar dan akan makan waktu, sedangkan kita perlu segera mencari Si Tangan Api ke daerah Yi-li."

   Dua orang yang lain mengangguk setuju. Di antara mereka bertiga, memang Dewa Rambut Putih yang paling pandai mengeluarkan pendapat dan mengambil keputusan. Tiga orang sakti itu lalu bekerja dengan cepat menggali lubang yang besar, menggunakan golok-golok yang berserakan di situ. Sebelum senja tiba, mereka sudah selesai mengubur tujuh belas mayat itu ke dalam sebuah lubang yang besar dan menimbuni lubang itu.

   Kemudian merekapun meninggalkan tempat itu untuk melakukan pengejaran terhadap Si Tangan Api. Dewa Arak tidak lupa untuk mengambil beberapa meter sutera putih dan kuning untuk pengganti pakaian mereka kelak kalau ada kesempatan untuk membuatnya.

   Daerah Yi-li adalah nama yang diberikan kepada daerah subur di lembah Sungai Yi-li yang letaknya di perbatasan Cina bagian barat laut. Lembah itu amat subur. Terbentang luas padang yang hijau dan subur, indah permai. Padang inilah yang disebut daerah Yi-li, termasuk daerah Sin-kiang dan di daerah ini menjadi pusat tempat tinggal Suku Bangsa Uighur dan Kasak.

   Dua suku bangsa ini merupakan penghuni yang paling besar jumlahnya dan yang sudah turun-temurun tinggal di daerah itu. Masih banyak lagi terdapat suku-suku bangsa yang kecil-kecil jumlahnya, seperti Suku Mongol, Hui, Mancu, Usbek, Tatar, Sipo, dan lain-lain. Bahkan ada pula Suku Han yang merupakan suku terbesar dan mengaku sebagai pribumi di Cina.

   Namun di daerah Yi-li, Bangsa Han merupakan kelompok kecil saja walaupun tentu saja mereka terpandang karena setelah kekuasaan Mongol jatuh, kini Cina kembali dikuasai oleh kerajaan baru yang disebut Dinasti Beng (Terang), dipimpin oleh orang-orang Han. Pada hal, kalau ditelusur benar-benar silsilah seseorang, sukarlah dipastikan bahwa seseorang itu benar-benar aseli!

   Pernikahan antar suku sudah terjadi sejak ribuan tahun yang lalu, apa lagi dalam sebuah negara yang daerahnya luas dan memiliki suku yang puluhan banyaknya. Akan tetapi, rupa-rupanya kaum peranakan, keturunan dari hasil kawin campuran itu tetap mempertahankan kelas mereka dan mengaku sebagai Suku Han, karena agaknya cap pribumi mendatangkan semacam perasaan unggul dan bangga. Mereka lupa atau sengaja lupa bahwa di dalam tubuh mereka mengalir darah bermacam suku, hasil pernikahan nenek moyang mereka dengan suku-suku lain, baik dari pihak nenek moyang ayah maupun ibu.

   Di daerah Yi-li, yang paling kuat karena terbanyak jumlahnya adalah Suku Kasak dan Suku Uighur. Mereka hidup berkelompok dan berpisah, namun dalam kehidupan sehari-hari. karena kebutuhan, mereka bergaul. Di dalam pasar mereka bersatu, juga warung-warung teh dan rumah-rumah makan menjadi tempat pertemuan dan pergaulan antar suku yang tidak membeda-bedakan.

   Kota Yin-ning adalah sebuah kota di daerah Yi-li yang dihuni sebagian besar oleh orang-orang Kasak. Namun di kota inipun tinggal banyak orang dari suku bangsa lain, terutama Suku Bangsa Uighur yang sebagian besar beragama Islam.

   Biarpun ada kemiripan pada wajah dan kulit mereka, namun mudah membedakan mereka dari pakaian mereka, terutama pelindung kepala. Orang-orang Uighur yang beragama Islam yang pria hampir semua mengenakan semacam peci berwarna putih atau hitam atau juga belang-belang seperti kulit harimau, sedangkan wanitanya sebagian besar berkerudung dengan warna-warni indah.

   Suku Kasak ada pula yang berpeci, akan tetapi banyak yang memakai kain pembungkus kepala. juga pakaian mereka berbeda, dan topi para wanitanya terbuat dari bulu. Para prianya, banyak pula yang mengenakan topi bulu domba, dan Suku Kasak ini terkenal tangkas dan pandai menunggang kuda. Sebaliknya Suku Uighur lebih ahli memelihara ternak domba dan bertani.

   Selain kota Yin-ning, di daerah Yi-li terdapat banyak kota lain seperti Cau-su, Capu-cai, Sui-ting dan lain-lain. Akan tetapi kota Yin-ning terletak di lereng bukit yang indah pemandangan alamnya dan sejuk hawanya. Pegunungan di sana menghasilkan rumput yang baik dan padang-padang rumput terbentang luas di lereng-lereng bukit, di antara pohon-pohon cemara yang rimbun dan menjulang tinggi.

   Sungguh merupakan tempat yang menguntungkan sekali bagi para pemelihara ternak. Maka, terkenallah bulu-bulu domba yang gemuk dan halus dari daerah Yi-li, sehingga bulu domba merupakan hasil besar yang dikirim ke barat dan ke timur.

   Juga hasil panen gandum dari sawah ladang, dan buah-buahan dari kebun-kebun, membuat penduduk daerah Yi-li pada umumnya dan kota Yin-ning pada khususnya, hidup berkecukupan, bahkan boleh dibilang makmur untuk ukuran kehidupan di daerah pegunungan.

   Penghuni pegunungan tidak dikejar banyak kebutuhan. Bagi mereka, asalkan keluarga dalam keadaan sehat cukup makan dan pakaian, mempunyai rumah yang kokoh, mereka merasa kecukupan. Untuk bergembira, mereka secara berkelompok seringkali mengadakan pertemuan, menikmati hasil panen, makan hidangan berupa masakan sendiri dan buah-buahan dari kebun sendiri, minuman buatan sendiri, dan mereka menari dan bernyanyi di bawah sinar bulan. Apa lagi yang dikehendaki seseorang dalam hidupnya?

   Keluarga Si Tangan Api tinggal di sudut kota Yin-ning, memiliki pekarangan dan kebun yang luas. Si Tangan Api datang kurang lebih setahun yang lalu, bersama seorang isteri dan seorang anak laki-laki, dan dia membeli rumah besar dengan pekarangan besar itu, lalu tinggal di situ sebagai orang yang dianggap kaya. Si Tangan Api ini adalah keturunan Uighur yang belum beragama Islam, melainkan Agama Hindu karena sejak muda dia merantau ke India dan berguru kepada orang-orang sakti di India.

   Namanya Se Jit Kong dan setelah pulang dari India, dia langsung mengembara ke daratan Cina sebelah timur dan muncul sebagai seorang jagoan, seorang datuk! Dia malang melintang di sepanjang perjalanan dari daerah barat ke timur, bahkan namanya terkenal sampai di kota raja Nan-king.

   Dia bukan saja terkenal dengan ilmu silatnya dan juga tenaganya yang dahsyat, akan tetapi terkenal pula dengan ilmu sihirnya. Kemenangan demi kemenangan membuat dia tekebur dan sombong, bahkan dia mengangkat diri menjadi jagoan nomor satu di dunia. Dia bahkan berani mendatangi partai-partai persilatan besar seperti Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai bahkan Siauw-lim-pai untuk menantang para pimpinan perguruan silat, dan telah membunuh beberapa orang tokoh penting di dunia persilatan.

   Para pendekar menjadi marah, namun sebegitu jauh belum ada seorangpun pendekar yang mampu menandingi Si Tangan Api. Akhirnya, karena maklum bahwa dia dimusuhi para pendekar dia mengambil keputusan untuk kembali ke barat. Apa lagi dia sudah mulai tua, sudah hampir enam puluh tahun usianya dan dia ingin hidup tenang di kampung halamannya, yaitu di daerah Yi-li.

   Akan tetapi, bukan Si Tangan Api kalau dia pergi begitu saja tanpa meninggalkan nama besar dan perbuatan yang menggemparkan. Dia menyelundup ke dalam gudang pusaka milik Kaisar dan mencuri belasan buah benda pusaka yang amat berharga. Gegerlah kota raja, dan berita tentang perbuatan Si Tangan Api ini segera terdengar di seluruh dunia kang-ouw.

   Di Yin-ning, Se Jit Kong terkenal sebagai seorang hartawan, bahkan dia segera memperlihatkan kepandaiannya dan ditakuti orang.

   Nama julukannya Si Tangan Api segera dikenal orang di seluruh Yi-li. Akan tetapi, berkat permintaan isterinya, di Yi-li dia tidak pernah melakukan kejahatan dan hidup tenang tenteram seperti yang diidamkannya.

   Isteri Se Jit Kong adalah seorang wanita, yang jauh lebih muda, berusia duapuluh delapan tahun dan memiliki kecantikan yang khas Suku Uighur. Wanita Uighur memang memiliki kecantikan yang khas, manis dan anggun.

   Se Jit Kong amat sayang kepada isterinya ini, dan hal ini nampak dalam kehidupan mereka sehari-hari. Bahkan datuk itu memanjakan isterinya, membelikan banyak pakaian sutera yang indah-indah, juga perhiasan yang mahal-mahal. Dan wanita itupun kelihatan mencinta suaminya, walaupun ia pendiam dan tidak pernah mau bercerita tentang keadaan keluarganya.

   
Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Suami isteri ini mempunyai seorang anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun, diberi nama Sin Wan oleh ayahnya. Datuk besar itu amat sayang kepada Sin Wan dan sejak berusia lima tahun, anak itu telah digembleng oleh ayahnya sehingga kini dalam usia sepuluh tahun dia telah menjadi seorang anak yang bertubuh kuat dan pandai bersilat.

   Akan tetapi sungguh jauh bedanya dengan watak ayahnya. Kalau ayahnya seorang datuk yang keras hati dan suka mencari musuh, ingin menonjol dan paling jagoan, sebaliknya Sin Wan seorang anak yang pendiam dan sama sekali tidak bengal, bahkan penurut sekali, terutama terhadap ibunya. Mungkin dia mewarisi watak ibunya yang juga pendiam dam lembut, wanita yang tidak pernah kelihatan marah, dan tidak pernah pula kelihatan ribut dengan suaminya.

   Tentu saja sebagai suami isteri, pernah Ju Bi Ta ribut dengan suaminya. Hanya karena ia seorang wanita yang sopan dan lembut, ia tidak pernah mau ribut di depan orang lain, bahkan tidak mau ribut dengan suaminya di depan anak mereka. Kalau sudah di kamar berdua, barulah wanita yang lembut ini menegur dan memprotes suaminya dan kalau sudah begitu, biasanya datuk besar yang keras hati dan keras kepala ini selalu tunduk dan mengalah!

   Setelah setahun tinggal di Yin-ning dan hidup dengan tenteram, pada suatu hari Se Jit Kong pergi meninggalkan rumahnya. Dia berpamit kepada isterinya bahwa dia hendak pergi mengunjungi sahabat-sahabat lamanya di daerah Turfan, di sekitar pegunungan Api.

   "Ilmuku Tangan Api kudapatkan di pegunungan itu pula. Aku ingin melihat apakah guruku masih berada di sana, dan aku ingin menjenguk teman-temanku."

   Se Jit Kong pergi selama sebulan dan ketika dia kembali, dia disambut oleh isteri dan puteranya dengan gembira. Akan tetapi malam hari itu, setelah Sin Wan tidur di kamarnya sendiri dan suami isteri itu tinggal, berdua saja di kamar mereka, Ju Bi Ta nampak marah-marah kepada suaminya.

   "Bukankah engkau sudah berjanji bahwa engkau akan cuci tangan, tidak lagi melakukan kejahatan di sini? Lupakah engkau akan janjimu kepadaku? Di timur engkau telah mengganas dan terkenal sebagai seorang datuk besar, tidak pantang melakukan segala bentuk kekejaman. Akan tetapi di sini, kita berada di antara bangsa sendiri. Aku akan merasa malu sekali kalau di sini aku dikenal sebagai isteri seorang penjahat besar!"

   "Ah, kekasihku, isteriku yang manis. Kenapa engkau marah-marah? Lihat, kepergianku untuk mencarikan benda-benda yang amat indah untukmu. Lihat emas permata dan batu-batu giok ini. Tak ternilai harganya. Semua ini kuserahkan kepadamu, semua untukmu, sayang."

   "Tidak sudi aku!"

   Ju Bi Ta yang biasanya kelihatan pendiam dan lembut itu, kini benar-benar marah, mukanya kemerahan dan matanya bersinar-sinar menatap wajah suaminya, lalu melihat ke arah peti hitam terbuka yang berisi emas permata dan batu kemala itu. Ia menuding ke arah peti itu.

   "Dari mana engkau mencuri atau merampok benda-benda ini? Aku seperti melihat barang-barang itu bergelimang dan berlepotan darah! Kembalikan, aku tidak sudi menerimanya!"

   "Bi Ta, isteriku yang kucinta, jangan begitu. Sungguh mati, aku tidak merampasnya dari orang-orang di sini. Aku sudah memenuhi janji, tidak membikin ribut di sini. Aku merampasnya dari kafilah orang Han di dekat Gunung Api sana, tidak ada orang tahu."

   Wanita cantik itu mengerutkan alisnya.

   "Tidak ada orang tahu? Apakah engkau ini bukan orang? Iblis barangkali? Dan bagaimanapun juga, Tuhan melihat dan mengetahuinya! Ya Allah! Sampai kapankah engkau akan menyadari semua kesalahanmu? Sampai kapankah engkau akan bertaubat dan minta ampun kepada Allah?"

   "Sudahlah, kalau engkau belum mau menerimanya, maafkan aku, isteriku. Biar kusimpan dulu benda-benda ini, akan tetapi jangan kau marah kepadaku. Aku hanya merampas benda-benda ini untuk menyenangkan hatimu, sayang,"

   "Se Jit Kong, kalau engkau ingin menyenangkan hatiku, jangan lakukan kejahatan lagi, bertaubatlah kepada Allah, bahkan pergunakan kepandaian yang kaumiliki untuk melakukan darma bakti kepada Allah, untuk menolong sesama umat manusia, menderma kepada fakir miskin, menentang yang jahat dan membela yang lemah tertindas. Kalau engkau mau bersikap seperti itu, sungguh hatiku akan senang sekali."

   "Baiklah ........ baiklah, aku berjanji. Isteriku manis, coba kauingat saja, bukankah selama sepuluh tahun ini aku selalu memegang janjiku terhadap dirimu? Bagaimana sikapku terhadap dirimu, dan terhadap anak kita Sin Wan? Pernahkah aku melanggar janji?"

   Wanita itu termenung di tepi pembaringannya dan beberapa kali ia menarik napas panjang,

   "Kalau engkau tidak memegang janji, apakah kaukira aku masih suka hidup sampai sekarang? Engkau memang memenuhi janjimu itu, akan tetapi di luaran, engkau tiada hentinya menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendakmu. Bahkan di sinipun, biar engkau tidak melakukan kejahatan, akan tetapi engkau memamerkan kepandaian sehingga sebentar saja semua orang Kasak tahu belaka bahwa engkau adalah Si Tangan Api yang ditakuti itu."

   Se Jit Kong menarik napas panjang dan menyimpan kembali peti hitam itu. Dia sendiri seringkali merasa heran mengapa terhadap isterinya ini, dia seperti kehilangan semua kekerasan hatinya, kehilangan semua keangkuhannya, bahkan kehilangan semangat.

   Dia tahu bahwa tanpa Ju Bi Ta, hidupnya tidak ada artinya. Bahkan dia harus mengakui dalam hati bahwa semua perbuatan yang dia lakukan, untuk menjadi orang gagah nomor satu di kolong langit, mengumpulkan benda-benda pusaka dan benda berharga, semua itu dia lakukan demi isterinya, dan menyenangkan hati isterinya!

   "Baiklah, isteriku yang baik. Mulai saat ini aku akan mentaati semua kehendakmu. Engkau lihatlah, mulai sekarang, harimau yang ganas ini akan berubah menjadi domba yang lemah dan jinak."

   Dia menghampiri isterinya dan merangkul. Ju Bi Ta memejamkan matanya dan seperti biasa, ia tidak pernah menolak menerima tumpahan kasih sayang suaminya. Ia seorang isteri yang baik, yang tidak pernah mengurangi kewajibannya, dan biarpun baru saja ia menegur dan marah kepada suaminya, kini ia siap melayani suaminya dengan pasrah.

   Malam itu, Sin Wan asyik dengan oleh-oleh ayahnya, yaitu sebuah kitab dongeng sejarah. Sejak kecil, oleh ibunya Sin Wan diharuskan mempelajari ilmu sastera, sehingga dalam usia sepuluh tahun, dia sudah pandai baca tulis.

   Ketika mereka tinggal di timur, ibunya mengundang sasterawan untuk mengajarnya. Selain itu, Ju Bi Ta juga mengharuskan dia membaca kitab-kitab Agama Buddha, kitab-kitab guru besar Khong Cu, juga ibu yang bijaksana ini mengajarkan pembacaan ayat kitab Al Quran. Ibunya mengajarkan budi pekerti, sehingga biarpun sejak kecil anak itu digembleng ilmu silat oleh ayahnya, namun dia tetap berwatak lembut, percaya dan memuja Tuhan Allah, pencipta seluruh alam mayapada berikut isinya.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali muncul belasan orang di pekarangan rumah keluarga Se Jit Kong. Mereka adalah belasan orang laki-laki yang berusia antara tiga puluh sampai lima puluh tahun dan semua kelihatan gagah perkasa. Dari sikap, pakaian dan senjata yang ada pada mereka mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa bertualang di dunia kang-ouw (sungai telaga) orang-orang yang sudah biasa hidup keras mengandalkan kepandaian silat, ketebalan kulit dan kekerasan tulang.

   "Hwe-ciang-kwi (Iblis Tangan Api) Se Jit Kong, keluarlah dari tempat persembunyianmu!" teriak seorang di antara tiga belas orang itu yang usianya sudah lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan bermata satu karena mata kirinya buta.

   Se Jit Kong masih tidur pada pagi hari itu karena dia memang masih lelah karena habis melakukan perjalanan jauh. Isterinya sudah sejak pagi subuh tadi bangun dan sibuk di dapur mempersiapkan sarapan untuk suami dan anaknya, sedangkan Sin Wan juga sudah tekun melanjutkan pembacaan kitabnya.

   Mendengar teriakan yang melengking lantang sekali karena didorong kekuatan khi-kang, baik Sin Wan maupun ibunya terkejut bukan main. Teriakan yang melengking itu menebus sampai ke seluruh bagian rumah itu, bahkan terdengar ke seluruh kota Yin-ning.

   Ju Bi Ta berlari keluar dari dalam dapur, hampir bertabrakan di ruangan tengah dengan puteranya kemudian mereka berdua cepat menuju ke pintu depan. Ketika mereka membuka pintu depan, mereka melihat tiga belas orang yang sikapnya bengis dan mengancam itu.

   Sin Wan adalah seorang anak yang lembut hati dan pendiam, akan tetapi sejak kecil oleh ibunya ditekankan tentang susila dan sopan santun. Oleh karena itu, melihat sikap tiga belas orang itu, dia merasa tak senang.

   "Cuwi (anda sekalian) adalah orang-orang tua yang kelihatan gagah, akan tetapi kenapa datang sebagai tamu tak diundang yang bersikap kurang ajar! Bersikaplah sopan kalau menjadi tamu!"

   Tiga belas orang itu memandang kepada Sin Wan dan ibunya, dan tiga belas pasang mata itu memandang kepada Ju Bi Ta dengan kagum dan pandang mata liar, dan mereka memandang kepada Sin Wan dengan marah.

   Seorang di antara mereka, yang bertubuh pendek dan berkepala botak memaki.

   "Bocah setan, jaga mulutmu itu, aku akan merobeknya!"

   Berbareng dengan kata terakhir, si botak pendek itu sudah menggerakkan tangan kirinya dan meluncurlah sinar menyilaukan sebatang hui-to (pisau terbang) ke arah mulut Sin Wan! Kalau anak lain yang menghadapi serangan ini, tentu pisau itu benar-benar akan merobek mulutnya.

   Namun, sejak kecil Sin Wan sudah digembleng ilmu silat oleh ayahnya. Menghadapi serangan itu, dia sama sekali tidak menjadi gugup. Tangan kanannya bergerak dan dia telah menangkap pisau itu diantara jari-jari tangan yang menjepitnya kemudian tanpa banyak cakap lagi. Sin Wan melontarkan pisau itu ke arah penyambitnya!

   "Ehhh ......?" Si pendek botak terkejut, akan tetapi diapun lihai, dan dapat menangkap lagi senjata rahasianya.

   Pada saat itu terdengar suara lantang dari dalam rumah.

   "Anjing-anjing dari mana sudah bosan hidup dan ingin menjadi bangkai?"

   Muncullah Hwe-ciang-kwi Se Jit Kong dari dalam rumah dengan pakaian dan rambut yang sudah rapi. Agaknya dia tadi mendengar pula kedatangan tiga belas orang itu, akan tetapi dia tidak tergesa-gesa dan berganti pakaian, mencuci muka dan menyisir rambut lebih dahulu. Melihat suaminya muncul dan mendengar suaranya yang mengancam, isteri datuk itu segera berkata dengan nada suara yang serius.

   "Berjanjilah bahwa engkau tidak akan membunuh orang!"

   Sin Wan melihat ayahnya menatap wajah ibunya dan tampak ragu- ragu, dan belum juga menjawab ucapan isterinya itu.

   "Berjanjilah!" desak pula Ju Bi Ta kepada suaminya.

   Datuk besar itu menghela napas lalu mengangguk.

   "Baik, aku berjanji tidak akan membunuh orang. Kalau anjing-anjing ini kurang ajar, aku hanya akan memberi ajaran kepada mereka agar tidak berani datang mengganggu lagi."

   Ju Bi Ta kelihatan lega dan iapun memegang tangan puteranya.

   "Sin Wan mari kita masuk. Biar ayahmu yang menghadapi mereka itu."

   Sin Wan juga mengenal ketegasan dan perintah dalam suara ibunya yang lembut. Dia mengangguk dan mereka berdua lalu masuk kembali ke dalam rumah. Wanita itu melanjutkan pekerjaannya di dapur, sedangkan Sin Wan mencoba untuk melanjutkan bacaannya, akan tetapi sia-sia karena ingatannya melayang ke luar rumah.

   Akhirnya dia tidak dapat menahan perasaan hatinya dan diapun keluar dari ruangan itu, menuju ke depan dan mengintai dari balik pintu depan, melihat bagaimana ayahnya menghadapi tiga belas orang kasar dan tidak sopan itu.

   Agaknya ketika dia masuk tadi, tiga belas orang itu telah memperkenalkan diri kepada ayahnya karena kini dia melihat ayahnya tertawa bergelak sampai perutnya terguncang dan mukanya menengadah. Betapa gagahnya sikap ayahnya menghadapi tiga belas orang kasar yang nampak bengis mengancam itu.

   "Ha ha ha ha, kiranya kalian ini yang di daerah pantai Pohai dikenal dengan julukan Bu-tek Cap-sha-kwi (Tiga belas Iblis Tanpa Tanding)? Ha ha ha, sungguh tekebur, mempergunakan julukan seperti itu. Dahulupun aku sudah mendengar akan nama kalian, akan tetapi setelah mendengar bahwa kalian hanyalah penjahat-penjahat kecil yang menjadi antek para bajak laut Jepang, akupun tidak perduli. Sekarang kalian datang mencari aku, ada urusan apakah?"

   Kalau saja tidak ingat akan pesan isterinya, tentu datuk besar ini tidak sudi banyak cakap lagi dan sejak tadi dia sudah turun tangan membunuh mereka ini!

   Seorang di antara mereka, yang tinggi kurus dan nampak tenang, usianya lima puluh tahun lebih dan di punggungnya terdapat sepasang pedang, melangkah maju dan agaknya dialah pemimpin rombongan itu. Sepasang matanya tajam mencorong, sikapnya angkuh dan dia memandang tuan rumah itu seperti seorang atasan memandang bawahan.

   "Hwe-ciang-kwi, ketika engkau merajalela di timur sana, kami masih mendiamkan saja karena kita dari satu golongan dan seperti kami, engkau juga memusuhi para pendekar. Kami menganggap engkau orang segolongan maka kami tidak mencampuri. Akan tetapi, engkau telah mencuri pusaka istana. Engkau seorang Suku Bangsa Uighur yang liar telah berani melarikan pusaka-pusaka istana. Hemm, kami sebagai orang-orang Han tidak bisa membiarkan saja perbuatanmu ini. Kembalikan pusaka-pusaka itu kepada kami"

   "Wah ... wah, sungguh bebat. Kalau aku tidak mau mengembalikan, kalian mau apa?" tantang Se Jit Kong sambil tersenyum mengejek.

   "Terpaksa kami tidak akan memandang segolongan lagi, dan kami akan menangkap dan menyeretmu ke istana agar menerima hukuman sebagai pencuri!"

   Kembali So Jit Kong tertawa bergelak.

   "Ha ha ha, sungguh lucu sekali! Bu-tek Cap-sha-kwi sudah biasa membantu para bajak laut Jepang, sekarang tiba-tiba ingin menjadi pahlawan? Kamu yang berjuluk Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding) itu, dan yang memimpin gerombolan tigabelas orang ini? Katakan saja bahwa kalian menginginkan pusaka-pusaka itu untuk kalian sendiri, bukan untuk dikembalikan kepada Kaisar! Bukankah begitu, Cap-sha-kaw (tiga belas ekor anjing)?"

   Sengaja datuk besar itu mengubah julukan Cap-sha-kwi (Tiga belas Iblis) menjadi Tiga belas Anjing!

   Si pendek botak yang tadi menyerang Sin Wan, menjadi marah sekali. Dia melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Se Jit Kong,

   "Iblis sombong, berani kau menghina kami? Sekarang, bukan saja semua pusaka harus kau serahkan kepada kami, juga wanita cantik tadi. Ia isterimu, bukan? Iapun harus diserahkan kepadaku, sebagai hukuman atas sikapmu ini!"

   Seketika wajah Se Jit Kong menjadi merah. Dia sudah biasa mendengar ucapan kasar menghina, dan hal itu dianggap lumrah. Akan tetapi ada suatu pantangan baginya. Siapapun juga di dunia ini tidak boleh menghina isterinya tersayang!

   Sinar matanya seperti berapi dan panas ketika dia menatap wajah si pendek botak itu. Si botak ini memang berwatak mata keranjang. Dia merupakan seorang di antara tiga saudara berjuluk Bu-tek Sam-coa (Tiga Ular Tanpa Tanding) yang masuk menjadi anggauta kelompok Tigabelas Iblis Tanpa Tanding.

   Semua anggauta gerombolan ini menggunakan julukan Bu Tek (Tanpa tanding) yang menunjukkan kesombongan watak mereka. Dan di daerah Po-yang, di sepanjang pantai laut timur, mereka memang amat ditakuti, apalagi setelah mereka bergabung dengan para bajak laut Jepang yang selalu mengganggu keamanan di perairan laut timur dan di sepanjang pantai,

   "Jahanam busuk, aku harus menghancurkan mulutmu," bentaknya dan tiba-tiba saja tubuh Se Jit Kong yang tinggi tegap itu sudah melayang ke depan, ke arah si pendek botak.

   Biarpun dia pendek, namun si botak ini terkenal dengan kecepatan gerakannya dan juga tenaganya yang besar.

   "Engkau yang akan mampus di tanganku!" bentaknya dan diapun sudah melolos rantai yang kedua ujungnya dipasangi pisau seperti pisau terbang yang biasa dia pergunakan sebagai senjata rahasia.

   Begitu Se Jit Kong meloncat dekat, dia sudah menyambut dengan serangan rantainya. Dua batang pisau itu menyambar-nyambar dahsyat dan terdengar suara bersiutan nyaring.

   Diam-diam Se Jit Kong menilai gerakan lawan dan tahulah dia bahwa lawannya ini tidak boleh dipandang remeh. Apa lagi ketika dua orang saudara si botak juga maju mengeroyoknya. Mereka bersenjata golok besar dan gerakan merekapun dahsyat.

   Se Jit Kong yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi tingkatnya, mempergunakan kelincahan gerakannya untuk mengelak, berloncatan menyelinap di antara gulungan sinar rantai dan golok. Namun, dia tidak membalas kepada dua orang yang lain, karena perhatiannya dia tujukan kepada si botak pendek untuk melaksanakan ancamannya. Dia harus menghancurkan mulut yang telah berani menghina isterinya itu!

   Setelah lewat belasan jurus dikeroyok tiga orang yang berjuluk Tiga Ular Tanpa Tanding itu. Se Jit Kong melihat kesempatan baik. Ketika kedua ujung rantai yang dipasangi pisau itu menyambar kepadanya dengan berbareng, satu dari atas dan satu lagi dari samping, dia tidak mengelak melainkan menyambut kedua batang pisau yang amat tajam berkilauan itu dengan kedua tangannya.

   Dia berhasil menangkap dan mencengkeram kedua batang pisau itu, menangkap rantainya dan sebelum si botak tahu apa yang terjadi, kedua lengannya telah terbelit rantai dan tubuhnya terangkat dari atas tanah lalu diputar-putar menyambut golok kedua orang saudaranya. Tentu saja dua orang itu, terkejut dan menarik kembali golok mereka, bahkan meloncat ke belakang karena khawatir kalau golok mereka akan melukai saudara sendiri.

   Se Jit Kong menghentikan putaran tubuh si pendek botak yang kedua lengannya telah terbelit rantai, menurunkannya dan sekali dia menggerakkan tangan kiri, jari-jari tangannya yang panjang dan besar, yang kuat bagaikan baja mentah, sudah menampar ke arah mulut si botak.

   "Prakkk.....!"

   Tubuh si botak terpelanting dan diapun roboh dengan muka mandi darah karena mulutnya telah remuk. Tulang rahang berikut semua giginya hancur dan biarpun dia tidak akan tewas dengan luka itu, namun sukar dibayangkan bagaimana dia akan mampu bicara dan bagaimana pula dia akan mengirim makanan ke dalam perutnya!

   Se Jit Kong selalu teringat akan janjinya kepada isterinya, maka ketika tangannya menampar tadi, dia membatasi tenaganya agar jangan membikin hancur kepala botak itu.

   Melihat betapa si botak itu roboh dengan muka bagian bawah remuk, tentu saja duabelas orang lainnya menjadi marah sekali. Bu-tek Kiam-mo yang memimpin gerombolan itu segera mengeluarkan bentakan dan mencabut sepasang pedangnya, kemudian bersama rekan-rekannya dia lalu mengepung Se Jit Kong yang berdiri dcngan tenang dan tegak di tengah-tengah, tanpa memegang senjata apapun.

   Biarpun demikian, dia tetap waspada karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian para pengepungnya ini samasekali tidak boleh disamakan dengan kepandaian limabelas orang Kasak yang dibunuhnya baru-baru ini ketika dia merampas barang berharga dari kafilah itu. Kini yang mcngeroyoknya adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal dan rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi dan tenaga yang besar.

   

Pedang Sinar Emas Eps 33 Lembah Selaksa Bunga Eps 4 Pedang Sinar Emas Eps 52

Cari Blog Ini