Si Pedang Tumpul 13
Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
Akan tetapi Maniyoko sudah mempergunakan kesempatan yang menguntungkan itu, selagi para pendukungnya mengejek dan mentertawakan lawan, dengan cepat berteriak.
"Sambut pedangku!" dan diapun menyerang dengan dahsyatnya.
Sin Wan cukup waspada dan diapun mengelak dengan geseran kakinya.
Maniyoko sudah pernah menyerang Sin Wan dan tahu akan kecepatan gerakan pemuda ini, maka dia tidak mau memberi kesempatan kepada lawan. Samurainya menyambar-nyambar, sambung menyambung dan setiap kali samurainya luput menyambar lawan, pedang itu sudah membalik dengan serangan yang lebih hebat. Dia mempergunakan kedua tangannya dan mengerahkan seluruh tenaga sehingga terdengar bunyi berdesing-desing ketika samurai itu berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar.
Karena dia belum mengenal ilmu pedang lawan yang aneh Sin Wan lalu mempergunakan ilmu langkah ajaib yang baru-baru ini dipelajarinya dari kakek Bu Lee Ki, yaitu Langkah Angin Puyuh, membuat tubuhnya berputar-putar dengan cepat akan tetapi selalu dapat menghindar dari sambaran pedang samurai itu.
Setelah lewat belasan jurus, Sin Wan dapat melihat jalannya ilmu pedang lawan, bahkan mengetahui bagian-bagiannya yang lemah. Setelah yakin bahwa dia dapat mengetahui ilmu pedang lawan, barulah pedang tumpul di tangannya menyambar dari samping.
"Tangggg .......!!!" Nampak bunga api berpijar dan nampak pula betapa tubuh Maniyoko hampir terpelanting. Dia terhuyung, akan tetapi dengan cekatan dia dapat berjungkir balik tiga kali sehingga tidak sampai terbanting roboh.
Cepat dia memeriksa samurainya dan matanya terbelalak melihat betapa ujung samurainya patah beberapa sentimeter! Samurainya dapat patah! Hanya oleh pedang tumpul dan buruk saja! Kalau tidak mengalaminya sendiri, pasti dia tidak akan percaya. Akan tetapi di samping kekagetan dan keheranan ini, Maniyoko menjadi marah bukan main.
"HYAAAATTT "".!!" Dia mengeluarkan pekik melengking panjang dan tubuhnya sudah menerjang dengan cepat, menyerang dengan samurainya yang menyambar ke arah leher Sin Wan.
"Singgg "" singgg "" singgg ""..!!" Pedang samurai itu menyambar-nyambar dan biarpun ujungnya sudah patah, namun senjata itu masih berbahaya sekali. Jangankan tubuh seorang manusia, biar sebatang pohon yang kokohpun, sekali terkena sambaran samurai ini tentu akan tumbang!
Namun, Sin Wan yang sudah waspada, menggunakan kecepatan gerakannya mengelak dan ketika dia berhasil berkelebat ke samping kiri Maniyoko, pedang tumpulnya menusuk dan karena pedang itu tumpul, maka dapat dia pergunakan untuk menotok punggung lawan.
"Dukkk!" Maniyoko merasa betapa tubuhnya kejang-kejang. Dia berusaha untuk membuyarkan pengaruh totokan itu dengan bergulingan. Tubuhnya bergulingan dan akhirnya dia jatuh ke bawah panggung dan samurainya terlepas ketika dia terjatuh, dan tubuhnya masih lemas sehingga dia perlu dibantu oleh para anak buahnya, dipapah kembali ke tempat duduknya. Matanya melotot dan mukanya berubah merah, apalagi ketika terdengar suara sorak dan tepuk tangan meledak, menyambut kemenangan pemuda yang mewakili Pek-sim Lo-kai itu.
"Hidup Pendekar Pedang Tumpul "".!!" teriak mereka.
Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan Lili telah berdiri di depan Sin Wan. Semua orang memandang dengan hati berdebar penuh ketegangan. Mereka tadi sudah melihat kelihaian gadis cantik itu yang dengan amat mudahnya mengalahkan kakek pengemis Ta-kau Sin-kai yang terkenal.
Sementara itu, Sin-Wan menghadapi Lili dengan alis berkerut pula. Sama sekaii tidak disangkanya bahwa gadis ini terlibat pula dalam urusan pemilihan pimpinan kai-pang, dan diapun melihat Bi-coa Sian-li hadir di sana.
"Hemm, kiranya engkau Pendekar Pedang Tumpul yang ingin menjadi pemimpin kaum jembel, ya?" Lili berkata mengejek.
"Lili, mungkin kehadiranku sama dengan kehadiranmu, hanya menjadi wakil. Kuharap engkau tidak menentangku, karena kiranya kurang pantas kalau seorang gadis seperti engkau ikut terlibat dalam pemilihan pemimpin kai-pang seperti ini."
"Sin Wan, tidak perlu banyak cakap lagi!" kata Lili dengan muka merah.
"Ada tiga perkara yang mengharuskan aku menentangmu dan di sinilah kita akan menentukan siapa lebih unggul. Pertama, engkau tadi lancang maju melawan si Jepang itu sehingga aku kehilangan kesempatan menghajarnya. Ke dua, engkau dan aku sama-sama mewakili calon pemimpin kai-pang, dan ke tiga, karena aku ...... aku benci padamu! Nah, cabutlah pedangmu!" Gadis itu sudah mencabut sebatang pedang dan nampak sinar putih berkelebat menyilaukan mata.
Sin Wan tadi telah menyarungkan kembali pedangnya setelah mengalahkan Maniyoko, sekarang dia ragu-ragu untuh mencabut pedang melawan Lili, gadis yang mendatangkan kesan mendalam di hatinya itu.
Melihat keraguan Sin Wan sedangkan gadis itu sudah mencabut pedang dan siap siaga, Kui Siang yang sejak tadi memandang penuh perhatian karena ia mengenal gadis itu sebagai gadis yang pernah dilihatnya tertidur di pangkuan Sin Wan, segera berseru dari tempat duduknya.
"Suheng, kalau engkau lelah, biar aku yang mewakilimu menghadapinya!"
Sin Wan terkejut. Dia teringat betapa sumoinya pernah melihat Lili, bahkan sampai cemburu, maka kalau sumoinya yang maju, tentu akan terjadi pertandingan mati-matian. Tidak, dia tidak boleh membiarkan dua orang gadis itu berhadapan sebagai lawan, maka cepat dia mencabut pedangnya dan menoleh ke arah Kui Siang.
"Sumoi, tidak perlu engkau turun tangan. Aku yang mewakili Bu-locianpwe," katanya sambil menghadapi Lili dengan sikap tenang.
"Kalau engkau mendesak, apa boleh buat. Majulah, aku sudah siap."
"Sin Wan, sekali ini engkau akan mati ditanganku!" gadis itu berseru penuh kemarahan. Akan tetapi aneh, suaranya lirih dan mengandung suara serak seperti isak tertahan! Akan tetapi pada saat itu, sinar putih menyambar-nyambar dan sinar itu bergulung-gulung dengan dahsyat sekali.
Sin Wan bersikap waspada dan diapun berloncatan ke belakang sambil mengatur langkah untuk menghindarkan diri. Diapun kagum dan terkejut. Pedang putih yang dimainkan gadis itu memang hebat bukan main, seperti gerakan seekor ular yang amat ganas!"
Itulah Pek-coa-Kiam-sut (Ilmu Pedang Ular Putih) yang biarpun pada dasarnya sama dengan Ilmu pedang Hek-coa Kiam-sut (Iimu Pedang Ular Hitam) yang dikuasai Cu Sui In, akan tetapi ilmu pedang ciptaan See-thian Coa-ong ini dapat berkembang sesuai dengan watak orang yang menguasainya. Dasarnya adalah gerakan ular cobra dan setelah dikuasai Lili, maka gerakan itu mengandung keganasan yang terbuka, sebaliknya Sui In mempunyai gerakan yang penuh tipu muslihat. Bagaimanapun juga, karena diciptakan seorang ahli yang amat lihai, maka ilmu pedang itu dahsyat sekali dan mengejutkan hati Sin Wan.
Namun, pemuda ini telah menerima gemblengan yang masak dari Sam-sian, apalagi setelah mengusai Sam-sian Sin-kun, maka Sin Wan seolah-olah kini teiah menguasai kepandaian ketiga orang gurunya digabung menjadi satu! Ini semua masih disempurnakan oleh gemblengan kakek Bu Lee Ki yang walaupun hanya mengajarnya selama beberapa hari saja, namun jurus-jurus simpanan yang ampuh telah diajarkan kepada Sin Wan. Dengan bekal kepandaian yang hebat itu, ditambah sebatang pedang mustika seperti Pedang Tumpul, maka tentu saja tingkat kepandaian Sin Wan sudah mencapai ketinggian yang tidak dapat ditandingi oleh Lili.
Akan tetapi, hati Sin Wan gelisah juga. Dia harus menangkan pertandingan ini demi kakek Bu Lee Ki. Dia harus dapat menangkan Lili, akan tetapi dia tidak ingin menyinggung perasan gadis itu, apa lagi melukainya! Dia merasa kasihan kepada gadis ini, dan dia dapat merasakan bahwa pada dasarnya, Lili bukanlah seorang gadis yang berhati jahat. Dia gagah dan baik. Akan tetapi sikapnya ganas dan hal ini mudah dimengerti kalau gadis itu sejak kecil bergaul dengan seorang datuk sesat seperti Bi-coa Sian-li!
Dia harus memenangkan pertandingan ini tanpa melukai badan dan perasaan hati Lili, dan inilah yang sukar! Maka, dia lalu memutar pedangnya untuk membuat pertahanan sekuatnya sehingga sinar pedang putih bergulung-gulung itu tidak akan mampu mengenai dirinya sambil diam-diam dia memutar otak menanti kesempatan dan mencari cara yang sebaiknya agar dapat menang tanpa melukai.
Semua orang menonton dengan hati kagum. Yang nampak hanya dua gulungan sinar, yaitu sinar putih yang gerakannya amat lincah, menyambar-nyambar, dan gulungan sinar kehijauan yang membentuk lingkaran. Indah sekali, akan tetapi juga menegangkan hati.
Akan tetapi yang merasa gemas sehingga hampir menangis adalah Lili! Ia sudah memainkan Pek-coa-kiam dengan pengerahan tenaga sekuatnya, akan tetapi ia merasa seperti menghadapi benteng baja yang amat kuat, dan ke manapun sinar pedangnya menyambar, selalu bertemu dengan benteng itu dan pedangnya membalik setelah terdengar suara berdencing dan ia merasa betapa telapak tangannya panas dan lengan kanannya tergetar hebat!
Tahulah ia bahwa pemuda itu hanya bertahan diri, tidak membalas serangannya, namun ia kehabisan akal karena pedangnya tidak mampu menembus gulungan sinar kehijauan yang membentuk benteng itu. Ia tidak akan merasa begitu gemas dan ingin menangis kalau saja Sin Wan mau membalas serangannya. Memang ia sudah tahu bahwa pemuda ini amat lihai, dan ia tidak akan merasa penasaran kalau kalah, akan tetapi sikap Sin Wan yang hanya bertahan dan membuat ia tidak berdaya itu sungguh dianggapnya terlalu merendahkannya!
Telah hampir limapuluh jurus lewat dan belum juga ujung pedang Lili mampu menyentuh ujung baju Sin Wan! "Keparat, balaslah!" Lili menghardik dengan suara berbisik, mendongkol bukan main. Tubuhnya sudah basah oleh keringat dan napasnya agak memburu karena ia terus menerus melakukan penyerangan dengan nafsu menggelora, penuh kemarahan.
Sejak tadi Sin Wan sudah mempelajari Gerakan yang seperti ular itu, dan dia tahu bahwa hanya dengan gerakan seperti seekor burung dari udara sajalah dia akan mampu mematahkan serangan gadis itu dan membalas dengan serangan yang akan mengalahkannya tanpa melukainya. Maka, ketika pedang bersinar putih itu menyambar lagi, tubuhnya melayang ke atas, lalu menukik ke bawah dan dia menyerang dengan dahsyat. Pedang Tumpul di tangannya itu mengeluarkan suara mengaung nyaring.
Lili terkejut sekali dan cepat la memutar pedangnya ke atas, seperti seekor ular cobra yang mengangkat tubuh atas untuk melawan musuh dari atas.
"Trakkkk!" Pedang di tangan Lili bertemu dengan Pedang Tumpul dan ia tidak dapat menggerakkan pedangnya yang seolah menempel dan tersedot oleh pedang buruk itu, dan pada saat itu, tangan kiri Sin Wan bergerak cepat ke arah kepalanya dan rambut gadis itu yang panjang dan hitam, terlepas dari sanggul dan ikatannya, terurai riap-riapan menutupi kedua pundak dan punggung!
Lili menjerit dan melompat ke belakang, meraba kepalanya. Ternyata tusuk sanggul batu kemala berikut tali suteranya telah lenyap dan berada di tangan kiri Sin Wan yang sudah meloncat turun dan berdiri tegak di depannya.
Demikian cepat gerakan pemuda itu sehingga jarang ada yang dapat melihat bahwa pemuda ltu telah mencabut tusuk sanggul dan pita. Mereka yang menonton pertandingan itu hanya melihat betapa rambut gadis itu tiba-tiba saja terurai lepas sehingga pertandingan terhenti.
"Maafkan aku, Lili ......." kata Sin Wan lirih.
Wajah gadis itu tadi berubah pucat karena ia tahu apa yang terjadi, kini wajah itu menjadi merah sekali dan ia sudah memutar pedangnya hendak menyerang lagi. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan orang, seperti seekor burung saja bayangan itu melayang ke atas panggung.
"Sumoi, mundurlah .........!" Dan tahu-tahu di situ telah berdiri Bi-coa Sian-li Cu Sui In.
Lili memandang sucinya, tahu bahwa sucinya memaklumi apa yang telah terjadi, maka dengan alis berkerut ia menatap wajah Sin Wan, lalu terdengar suaranya lirih namun ketus.
"Kelak akan kutebus semua ini!" dan iapun meloncat turun dan kembali ke tempat duduknya dengan wajah muram.
"Sin Wan, engkau turunlah!" Kakek Bu Lee Ki berjalan perlahan menuju ke panggung itu dan Sin Wan mengangguk, lalu mengundurkan diri. Kini kakek Bu Lee Ki berdiri berhadapan dengan Sui In.
Akan tetapi pada saat itu, dua orang panglima tadi bangkit berdiri dan seorang di antara mereka berseru nyaring.
"Hentikan semua pertandingan!"
Tentu saja Sui In merasa penasaran dan ia memandang kepada mereka itu. Juga kakek Bu Lee Ki memandang kepada mereka. Panglima yang bertubuh tinggi kurus lalu berkata dengan suara lantang.
"Baru saja kami menerima berita bahwa menurut keputusan yang merupakan perintah dari Raja Muda Yung Lo di Peking, kedudukan pemimpin kai-pang diserahkan kembali kepada Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki. Hal itu mengingat bahwa dia yang dahulu menjadi pemimpin, bahkan dia pula yang memimpin seluruh kai-pang menbantu perjuangan mengusir penjajahan Mongol. Dan melihat hasil pertandingan adu kepandaian, ternyata wakil dari Bu-Locianpwe yang menang. Oleh karena itu, kami sebagai wakil pemerintah memutuskan dan menganjurkan agar pertandingan dihentikan dan locianpwe Bu Lee Ki diangkat kembali menjadi pemimpin para kai-pang!"
Terdengar sorak sorai menyambut ucapan ini.
Panglima itu mengangkat kedua tangan ke atas dan semua orang berdiam diri.
"Agar pemilihan ini adil, maka kami minta pendapat empat buah kai-pang yang terbesar, yang mewakili seluruh kai-pang di empat penjuru. Ang-kin Kai-pang wakil utara, bagaimana pendapat kalian?"
Thio Sam Ki bangkit berdiri dan mengangkat tangan kanannya.
"Kami setuju sepenuhnya kalau locianpwe Bu Lee Ki menjadi pemimpin kai-pang!"
"Lam-kiang Kai-pang wakil selatan, bagaimana pendapat kalian?"
Kwee Cin bangkit dan dengan wajah berseri berkata.
"Kami setuju!"
"Bagaimana dengan Hek I Kai-pang wakil barat?"
Souw Kiat bangkit dia dengan suara lantang yang mengejutkan Sui In dan Lili, ketua Hek I Kai-pang ini berkata, ''Kami juga setujui"
Ketua Hek I Kai-pang ini bangkit semangatnya dan tidak takut lagi terhadap Sui In setelah melihat munculnya Pek-sim Lo-kai dan Sin Wan yang lihai itu.
"Dan bagaimana dengan Hwa I Kai-pang wakil timur?"
Biarpun dengan terpaksa, Siok Cu juga berseru.
"Kami setuju!"
Dia tadi telah melihat kekalahan Maniyoko, maka biarpun dia takut terhadap guru pemuda itu, akan tetapi di situ ada Pek-sim Lo-kai yang tentu akan melindungi Hwa I Kai-pang kalau diganggu oleh Tung-hai-liong dan anak buahnya.
"Bagus, kalau begitu, dengan suara bulat locianpwe Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki ditetapkan menjadi pemimpin besar para kai-pang kembali!" kata panglima itu.
Semua orang bersorak.
Wajah Sui In menjadi merah karena marahnya. Akan tetapi, ia maklum bahwa kalau sekarang ia menyatakan tidak setuju, maka bukan saja ia akan dimusuhi oleh seluruh kai-pang, bahkan pemerintah juga akan menetapnya sebagai pengacau. Hal ini tentu saja tidak dikehendaki gurunya. Maka iapun berkata kepada Bu Lee Ki dengan suara lirih namun penuh tantangan.
"Pek-sim Lo-kai, lain kali aku akan membuat perhitungan denganmu!" Setelah berkata demikian, iapun melompat turun dan memberi isyarat kepada Lili untuk meninggalkan tempat itu.
Para kai-pang menyambut pengangkatan kembali Bu Lee Ki sebagai pemimpin mereka dengan gembira dan Hwa I Kai-pang yang kini sepenuhnya mendukungnya, mengadakan pesta untuk merayakan peristiwa ini. Dan baru sekaranglah, semua ketua kai-pang berkumpul dan makan minum bersama dalam suasana yang akrab.
Dua hari kemudian, kakek Bu Lee Ki menemani Sin Wan mengantar Kui Siang ke Nan-king, di mana gadis itu akan menemui keluarganya sebelum kembali ke Peking untuk memenuhi permintaan Raja Muda Yung Lo, yaitu menjadi pengawal keluarga raja muda itu.
Mereka semua berkumpul di gedung yang dahulu menjadi tempat tinggal pembesar Lim Cun. Tiga orang paman dan dua orang bibi dari ayah dan ibu Kui Siang datang bersama isteri dan suami mereka, bahkan anak-anak mereka sehingga di situ berkumpul tidak kurang dari duapuluh lima orang anggauta keluarga Kui Siang!
Ketika gadis ini menghadap Ciang-Ciangkun dan memperkenalkan diri, Ciang-Ciangkun yang sebelas tahun lalu diserahi oleh Dewa Arak untuk menjaga dan mengurus rumah dan harta peninggalan Lim-Taijin (pembesar Lim) untuk Kui Siang, menyambut gadis itu dengan gembira bukan main.
Dia seorang perwira yang jujur dan amat menghormati Dewa Arak, maka selama sebelas tahun ini dia menjaga rumah keluarga Lim dengan baik, bahkan mempertahankan pelayan-pelayan yang lama di rumah itu, dan menyimpan semua harta peninggalan keluarga itu untuk Kui Siang.
Ciang-Ciangkun pula yang memberi kabar kepada keluarga Kui Siang tentang pulangnya gadis itu sehingga pada malam hari itu, mereka semua datang berkunjung dan berkumpul di rumah gedung yang kini menjadi milik Kui Siang. Selain para anggauta keluarga, hadir pula di situ Ciang-Ciangkun yang menerima undangan Kui Siang sebagai tamu kehormatan yang telah berjasa besar, dan hadir pula Sin Wan dan kakek Bu Lee Ki.
Kui Siang menyuruh para pelayan yang juga menyambutnya dengan gembira untuk mengatur sebuah pesta untuk merayakan perjumpaan kembali ini.
Gadis yang kini menjadi dewasa dan cantik itu dihujani pertanyaan oleh para paman dan bibinya yang dalam pandangan Sin Wan jelas menunjukkan sikap kebangsawanannya! Mereka itu rata-rata bersikap angkuh, penuh sopan santun dan semua gerak gerik mereka terkendali dan teratur, membuat dia merasa sungkan dan rikuh. Tidak demikian dengan Bu Lee Ki yang bersikap biasa saja, minum sesenangnya dan tersenyum-senyum mengacuhkan mereka.
Kui Siang yang merasa kewalahan menghadapi hujan pertanyaan, akhirnya berkata dengan suara lantang kepada mereka semua.
"Para paman dan bibi dan saudara sepupu, saudara misan, aku sampai lupa untuk memperkenalkan dua orang tamu yang datang bersamaku, bahkan yang mengantar aku sampai ke rumah. Perkenalkan, locianpwe ini adalah Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki. Beliau seperti guruku sendiri dan beliau ini adalah pemimpin besar seluruh perkumpulan pengemis di empat penjuru!"
Bu Lee Ki yang diperkenalkan, senyum-senyum saja, mengangkat cawan arak kepada mereka semua lalu minum tanpa memperdulikan kenyataan bahwa tidak ada seorangpun yang menyambutnya.
"Pengemis ........!?" terdengar seruan-seruan tertahan dan semua anggauta keluarga itu memandang ke arah Bu Lee Ki dengan alis berkerut dan mereka kelihatan jijik kepada kakek yang berpakaian tambal-tambalan itu.
Diam-diam Sin Wan memperhatikan mereka dan dia merasa perutnya panas. Betapa sombongnya keluarga ini, pikirnya. Kakek Bu Lee Ki bahkan pernah menjadi tamu yang dijamu makan minum oleh Raja Muda Yung Lo, pangeran dan putera kaisar! Akan tetapi orang-orang ini, yang mungkin hanya merupakan bangsawan-bangsawan kecil, bersikap demikian angkuh dan tinggi hati!
Apakah selalu demikian sikap orang yang tanggung-tanggung? Yang sedikit mempunyai kedudukan menjadi besar kepala, yang mempunyai sedikit kepandaian menjadi sombong dan merasa diri paling pintar, dan seterusnya?
Tentu saja Kui Siang juga melihat dan mendengar sikap dan ucapan para keluarganya itu, akan tetapi ia tidak perduli.
"Dan ini adalah suhengku bernama Sin Wan. Dialah yang telah banyak membantuku selama ini."
Berbeda dengan Bu Lee Ki yang ketika diperkenalkan tetap duduk saja hanya mengangkat cawan ke arah mereka semua, Sin Wan bangkit berdiri, mengangkat ke dua tangan memberi hormat kepada mereka semua. Hal ini dia lakukan terutama sekali untuk menghargai Kui Siang yang memperkenalkan dia kepada keluarga gadis itu.
Akan tetapi, hanya beberapa orang saja yang membalas penghormatan Sin Wan, itupun hanya dengan anggukan kepala atau senyum. Bahkan Sin Wan melihat banyak pasang mata pria-pria muda yang menjadi saudara misan Kui Siang memandang kepadanya dengan tak senang.
"Adik Kui Siang," kata seorang pemuda yang usianya sekitar duapuluh lima tahun, tampan dan pesolek.
"kulihat suhengmu ini seperti bukan orang Han, benarkah?"
Kui Siang tersenyum.
"Penglihatanmu tajam, toako (kakak). Memang suheng seorang bersuku Bangsa Uighur."
Kembali banyak di antara mereka saling pandang dan terdengar seruan tertahan seperti tadi, dan terdengar pula kata penuh ragu.
"Uighur .....!?"
Tiba-tiba kakek Bu Lee Ki tertawa bergelak sehingga semua orang memandang kepadanya dengan alis berkerut.
"Ha..ha..ha..ha, aku sudah makan dan minum kenyang, Kui Siang. Karena kini semua keluargamu berkumpul, aku ingin bicara dengan mereka tentang urusanmu dengan Sin Wan."
Tiba-tiba wajah Kui Siang berubah kemerahan dan iapun menundukkan mukanya, mengangguk dan suaranya terdengar lirih.
"Silakan, locianpwe." Ia melirik ke arah suhengnya dan melihat betapa Sin Wan juga menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan, akan tetapi sepasang alis Sin Wan berkerut karena pemuda ini merasa khawatir sekali. Bagaimana kakek itu berani membicarakan urusan perjodohan kepada keluarga yang jelas sekali memperlihatkan sikap angkuh dan tidak suka kepada dia dan kakek itu?
Kini Bu Lee Ki bangkit berdiri dan setelah mengamati wajah mereka yang duduk di ruangan itu, lalu tersenyum dan suaranya terdengar lantang.
"Heh.. heh.. heh, tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang merasa menjadi wakil orang tua Lim Kui Siang yang sudah tiada, aku dalam hal ini menjadi wali dari Sin Wan muridku, untuk mengajukan pinangan, yaitu kami ingin menjodohkan Kui Siang dengan Sin Wan. Kami mengharap persetujuan anda sekalian sebagai pengganti keluarga Kui Siang."
Suasana menjadi gaduh sekali setelah kakek itu selesai bicara. Mata dibelalakkan, seruan-seruan protes dan bahkan kemarahan terdengar.
"Gila betul! Berani melamar keponakan kita?"
"Tak tahu diri!"
"Kui Siang dijodohkan dengan seorang Uighur? Tidak!"
Kakek itu terkekeh.
"Heh..heh..heh, begini kacau balau! Aku minta jawaban diwakili seorang saja, kalau mungkin paman tertua dari Kui Siang, agar tidak simpang siur seperti dalam pasar!"
Seorang laki-laki berusia limapuluh tahun lebih bangkit dari duduknya dan sejenak dia memandang ke arah Kui Siang dengan alis berkerut, lalu menghadapi kakek Bu Lee Ki. Dia seorang laki-laki tinggi kurus yang pakaiannya mewah dan sikapnya seperti bangsawan tulen, dahinya lebar dan ketinggian hatinya nampak pada lekuk bibir dan gerakan cuping hidungnya.
"Kami seluruh keluarga nona Lim Kui Siang menyatakan sepenuhnya menolak pinangan ini!"
Kui Siang mengangkat muka dengan alis berkerut, akan tetapi ia tidak dapat mengeluarkan suara karena tidak ingin memancing keributan di depan Sin Wan dan kakek Bu.
Pek-sim Lo-kai terkekeh lagi.
"Heh..heh..heh, tegas dan jelas penolakan itu, akan tetapi setiap penolakan sepatutnya disertai alasannya. Kenapa anda sekalian menolak pinangan kami? Ingat, kedua orang muda itu saling mencinta dan telah bersepakat untuk hidup bersama sebagai suami isteri."
"Tidak!" kata laki-laki itu dengan angkuh.
"Kami menolak. Pertama, keponakan kami Kui Siang telah kami jodohkan dengan seorang keponakan kami yang lain. Ke dua Kui Siang tidak akan menikah dengan seorang yang tidak sederajat dengannya. Ke tiga, muridmu, itu adalah seorang Suku Bangsa Uighur, suku asing yang tentu tidak mengenal peradaban Bangsa Han kami! Dan masih banyak lagi alasan kami menolak, akan tetapi sudah cukuplah dan harap jangan bicarakan lagi urusan pinangan yang tak masuk akal itu!"
"Cia-Supek (Uwa Ciu), engkau sungguh melewati batas!" Tiba-tiba Kui Siang berteriak marah.
"Aku tidak pernah minta engkau atau siapapun mewakili orang tuaku!"
"Sumoi ......!" Sin Wan memperingatkan sumoinya agar tidak bersikap kasar kepada keluarga sendiri.
Teringat akan hal ini, Kui Siang lalu menghadapi Sin Wan dan kakek Bu Lee Ki.
"Harap locianpwe dan suheng suka meninggalkan kami. Malam ini aku akan berurusan dengan mereka ini, dan besok pagi aku akan menemui kalian di rumah penginapan Lok-an."
"Baiklah, sumoi, akan tetapi harap engkau bersabar. Mari, locianpwe, kita pergi mencari kamar di hotel Lok-an!" Sin Wan mengajak kakek yang tersenyum-senyum itu keluar dari tempat itu, diikuti pandang mata penuh kebencian oleh para keluarga Kui Siang.
Setelah dua orang itu pergi, Kui Siang menyuruh semua pelayan keluar dari dalam ruangan itu. Kemudian ia menutupkan daun pintu ruangan itu dan dengan mata, mencorong ia memandang kepada semua keluarga yang berkumpul di situ.
"Kalian ini sungguh orang-orang yang tidak sopan! Apakah hak kalian untuk menentukan jalan hidupku? Aku masih menghargai kalian dan malam ini mengumpulkan kalian di sini sebagai keluarga dan tamu yang kuhormati. Akan tetapi ternyata kalian menyia-nyiakan itikad baikku dengan bersikap lancang dan tidak sopan terhadap orang yang kuhormati seperti Bu-locianpwe dan orang yang kucinta seperti suhengku! Kalian tidak berhak mewakili aku menolak secara kasar pinangan mereka terhadap diriku!"
Kui Siang yang biasanya pendiam dan halus itu kini menjadi galak karena merasa sakit hati dan marah, timbul dari perasaan iba terhadap Sin Wan yang mengalami penghinaan dari mereka ini.
"Tapi, Kui Siang! Engkau adalah puteri tunggal mendiang kakanda Lim Cun yang berkedudukan tinggi, seorang bangsawan yang berdarah bersih! Bagaimana kami tidak marah mendengar engkau dilamar seorang pemuda dusun Bangsa Uighur? Itu suatu penghinaan namanya! Suku Uighur tiada bedanya dengar suku-suku liar dan biadab lainnya seperti Mongol, Kasak dan lain-lain. Bukankah ayahmu juga dibunuh oleh si Tangan Api, orang Kasak?"
"Paman Lui!" bentak Kui Siang kepada adik ayahnya itu.
"Baik buruknya seseorang bukan ditentukan oleh bangsanya, kedudukannya, kepintarannya atau kekayaannya! Bangsa atau suku apapun berdarah sama, darah manusia, kotor dan bersihnya ditentukan oleh sepak terjangnya dalam hidup! Jangan kalian menghina seorang manusia karena keadaan, lahiriahnya! Banyak sekali bangsawan yang terhormat, pintar dan kaya raya, busuk hatinya, sebaliknya rakyat kecil yang dianggap bodoh dan miskin, berhati mulia!"
Para paman dan bibi itu menjadi ribut-ribut dan suasana menjadi gaduh sekali. Mereka menganggap Kui Siang seorang gadis yang menyeleweng dan merendahkan keluarga bangsawan sendiri.
Melihat ini, Ciang-ciangkun yang menjadi tamu kehormatan dan bukan anggauta keluarga, segera bangkit berdiri dan berkata dengan nyaring, mengatasi semua kegaduhan.
Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami mohon diri karena tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan keluarga. Banyak terima kasih atas undangan dalam pesta kekeluargaan ini, dan sebagai ucapan selamat tinggal, harus kami nyatakan bahwa kami amat menghormat semua pendapat dalam ucapan nona Kui Siang. Mendiang ayahnya, sahabat baikku Lim Cun, tentu akan merasa bangga kalau mendengar ucapannya tadi, Selamat malam!" Perwira tinggi itu lalu memberi hormat dan meninggalkan ruangan tamu itu.
Keluarga itu masih terus ribut. Tak seorangpun di antara mereka yang dapat menyetujui pendapat Kui Siang dan mereka semua berkeras menolak kalau Kui Siang akan berjodoh dengan pemuda Uighur itu. Satu demi satu para paman dan bibi itu memberi nasihat panjang lebar kepada Kui Siang.
Gadis ini merasa penasaran, sedih dan juga marah. Ia membiarkan mereka itu bicara sampai habis yang memakan waktu berjam-jam. Kemudian, setelah semua orang merasa lelah, Kui Siang berkata kepada mereka dengan suara yang tenang karena ia berusaha menguasai hatinya, namun suaranya tegas dan nyaring.
"Paman dan bibi, terima kasih atas semua nasihat dan anjuran kalian yang tentu dilakukan karena rasa sayang kalian kepadaku. Akan tetapi maaf, aku tidak mungkin dapat menyetujui. Bagiku, perjodohan haruslah didasari cinta dan suheng Sin Wan mencintaku seperti juga aku mencintanya. Dan cinta tidak mengenal suku, tidak mengenal bangsa, tidak mengenal derajat dan pangkat, kaya atau miskin, pintar atau bodoh. Tentu para paman dan bibi yang sudah lebih tua dan berpengalaman, maklum akan hal itu."
"Budak Uighur itu mengaku cinta? Hemm, Kui Siang, cintanya itu palsu! Dia tentu saja cinta padamu karena engkau cantik dan terutama karena engkau seorang gadis bangsawan yang kaya raya. Dia mengaku cinta untuk dapat menguasai hartamu!"
Perlahan-lahan Kui Siang bangklt berdiri, wajahnya berubah pucat dan matanya mencorong. Tak mungkin ia dapat menahan kesabarannya lagi. Orang-orang ini terlalu menghina Sin Wan!
"Paman, hentikan ucapan kotor itu!" bentaknya dan ia memandang kepada mereka semua, satu demi satu dengan sinar mata mencorong.
"Kalian mengukur watak orang lain dengan watak kalian sendiri! Apakah kalian tidak menyadari bahwa sejak dahulu aku telah tahu benar bahwa sesungguhnya kalianlah yang mengincar harta kekayaan warisan orang tuaku? Kalianlah yang menginginkan harta warisan ayahku, bukan suheng Sin Wan!"
"Kui Siang!" pamannya membentak dam menudingkan telunjuknya ke arah muka gadis itu.
"Pendeknya, apapun yang terjadi, kami tidak sudi menyetujui perjodohanmu dengan budak Uighur itu. Kalau kami tidak sudi menjadi walimu, hendak kami lihat apakah engkau akan melakukan pernikahan secara liar, tanpa direstui keluarga? Engkau berarti akan mencemarkan nama baik mendiang orang tuamu!"
"Tidak perduli! Aku tidak membutuhkan restu kalian!" Kui Siang menjerit dan kini ia tidak dapat menahan berlinangnya air matanya.
"Pergi kalian dari sini! Pergi!" Ia menuding ke arah pintu.
Semua paman dan bibinya tertegun dan seorang paman menghampiri Kui Siang dengan marah.
"Kui Siang! Berani engkau mengusir kami, paman-paman dan para bibimu sendiri Beginikah yang kaudapatkan dalam mengejar ilmu selama ini?"
"Kenapa tidak berani? Kalian bukan manusia! Pergi kataku!" Tangan Kui Siang menyambar sumpitnya yang tadi terletak di atas meja dan sekali tangan itu bergerak, sepasang sumpit itu meluncur dan menancap pada dinding, amblas hampir seluruhnya.
Semua orang terbelalak. Kalau sambitan itu mengenai tubuh mereka, tentu akan tembus! Bergegaslah mereka berlari keluar dari ruangan itu, meninggalkan Kui Siang yang duduk seorang diri bertopang dagu.
Akhirnya ia hanya dapat menangis, kemudian ia pergi ke kamar sembahyang di mana terdapat meja abu ayah dan ibunya, dan iapun berlutut di depan meja itu dan menangis, dalam hati ia melaporkan nasibnya kepada orang tuanya.
Akhirnya gadis itu menggeletak tertidur di atas lantai depan meja sembahyang. Seorang pelayan wanita tua yang merasa kasihan kepada nonanya, tidak berani membangunkan, hanya mengambil selimut dan menyelimuti tubuh nonanya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kui Siang sudah keluar dari rumahnya, pergi ke rumah penginapan Lok-an. Pagi itu masih gelap, cuaca remang-remang. Ketika ia tiba di jalan raya luar rumah penginapan itu, ia melihat Sin Wan berhadapan dengan belasan orang dan agaknya mereka bercekcok. Hatinya tertarik dan cepat Kui Siang menyelinap dekat dan mengintai.
Dilihatnya Sin Wan berdiri tegak dan bersikap tenang, dihadapi tigabelas orang pria berusia antara empatpuluh sampai limapuluh lima tahun lebih yang kelihatan menyeramkan. Tigabelas orang itu dipimpin oleh seorang kakek tinggi kurus yang usianya tentu sudah mendekati enampuluh tahun. Di punggung pria ini nampak sepasang pedang dan yang lainpun semua membawa senjata di punggung atau pinggang.
"Hemm, kiranya kalian ini adalah kaki tangan pemuda Jepang Maniyoko itu, ya? Nah, katakan, apa maksud kalian pagi-pagi begini mencariku di sini," kata Sin Wan dengan sikap tenang.
"Eh, toa-ko (kakak)! Aku seperti pernah melihat bocah ini!" Tiba-tiba seorang di antara tigabelas orang itu, yang berkepala botak dan bertubuh pendek, di kanan kiri mulutnya terdapat bekas luka seolah mulut itu pernah terobek, maju dan menuding ke arah Sin Wan.
"Tidak salah lagi, ini tentu bocah itu, anak Iblis Tangan Api Se Jit Kong!"
"Ah, benar dia! Kita mana bisa melupakan iblis kecil ini?" teriak yang lain.
Si tinggi kurus yang memimpin gerombolan itu memandang Sin Wan dengan penuh perhatian.
"Benarkah engkau putera Iblis Tangan Api Se Jit Kong?" tanyanya.
Klni Sin Wan teringat. Dahulu pernah ada tigabelas orang menyerbu rumah ayah tirinya itu untuk merampas pusaka istana yang dicuri ayah tlrinya. Dialah yang pertama kali menyambut kunjungan mereka ini, bahkan si pendek botak itu menyerangnya dengan sambitan pisau terbang, kemudian si botak ini karena menghina ibunya, dihancurkan mulutnya oleh ayah tirinya.
"Ah, kiranya kalian Bu-tek Cap-sha-kwi (Tigabelas Iblis Tanpa Tanding) itu? Tidak salah penglihatan kalian. Aku Sin Wan adalah putera mendiang Se Jit Kong. Habis, kalian mau apa?"
Di tempat sembunyinya, wajah Kui Siang mendadak menjadi pucat dan jantungnya berdebar keras. Sin Wan, suhengnya itu, putera Se Jit Kong? Tidak mimpikah ia? Sin Wan itu putera dari musuh besarnya, yang telah membunuh ayahnya dan menyebabkan kematian ibunya pula? Se Jit Kong yang menghancurkan keluarganya, dan selama ini ia bergaul dengan putera musuh besarnya itu? Sin Wan, suhengnya yang dicintanya!
Hampir ia tidak percaya. Suhengnya memang tidak pernah menceritakan riwayat hidupnya atau asal usulnya dengan jelas, hanya menceritakan bahwa ayah ibunya adalah Bangsa Uighur dan keduanya sudah meninggal dunia. Kiranya dia putera Iblis Tangan Api Se Jit Kong! Menggigil rasanya kedua kaki gadis itu, dan tubuhnya gemetar.
"Bagus!" Si tinggi kurus mencabut sepasang pedangnya.
"Kalau begitu, kami bukan hanya akan membalaskan kekalahan Maniyoko darimu, akan tetapi juga karena ayahmu sudah mampus, kami dapat membalas kekalahan kami dahulu kepadamu, puteranya!"
Tigabelas orang itu sudah mencabut senjata mereka masing-masing dan mengepung Sin Wan. Pemuda ini maklum bahwa dia berhadapan dengan tokoh-tokoh sesat yang lihai dan amat kejam, yang mungkin sejak kalah dari Se Jit Kong telah memperdalam ilmu mereka sehingga menjadi lihai sekali, maka diapun segera menghunus senjatanya. Melihat sebatang pedang yang buruk dan tumpul, si botak pendek tertawa.
"Ha..ha..ha..ha, lihat, bocah setan ini mempergunakan sebatang pedang buruk dan tumpul. Ha..ha..ha!"
"Bodoh!" bentak si tinggi kurus yang berjuluk Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding).
"Itulah pedang pusaka yang disebut Pedang Tumpul, sebuah mustika yang langka, satu di antara benda-benda pusaka istana!"
"Wahhh .....? Kalau begitu kita harus merampasnya!" kata si botak dan diapun sudah menyerang dengan ganas, mempergunakan goloknya. Namun, dengan mudah Sin Wan mengelak dan kini para pengeroyoknya menyerbu serentak sehingga Sin Wan dihujani senjata yang rata-rata digerakkan dengan kuat dan ganas sekali.
Namun Sin Wan tidak menjadi gentar atau gugup, dengan tenangnya diapun menggerakkan Pedang Tumpul dan nampak sinar kehijauan bergulung-gulung. Pemuda yang pantang membunuh ini mengerahkan sin-kangnya dan memainkan ilmu Sam-Sian Sin-kun. Gulungan sinar hijau itu menyambar-nyambar dan terdengarlah suara berkerontangan disusul teriakan-teriakan kaget ketika tigabelas orang itu terpaksa melepaskan senjata masing-masing.
Tidak kuat mereka menahan getaran tenaga dahsyat yang membuat tangan mereka, terasa nyeri, dan banyak pula senjata mereka yang patah begitu bertemu dengan pedang di tangan Sin Wan! Mereka terkejut sekali karena selama ini mereka sudah memperdalam ilmu kepandaian mereka. Siapa kira, pemuda itu bahkan kini tidak kalah lihainya dibandingkan Iblis Tangan Api Se Jit Kong sendiri!
"Lari!" teriak si tinggi kurus memberi aba-aba dan tigabelas orang yang tidak terluka itu, segera melarikan diri cerai berai karena takut kalau sampai dirobohkan.
Sin Wan tidak mengejar, bahkan cepat menyimpan kembali pedangnya. Untung pagi itu masih sunyi sehingga agaknya tidak ada orang yang melihat perkelahian singkat itu. Akan tetapi, langkah-langkah yang lembut membuat dia menengok.
"Sumoi .....!" Sin Wan berseru dan lari menghampiri. Akan tetapi ketika dia hendak memegang tangan gadis itu, Kui Siang menarik tangannya dan pandang mata gadis itu membuat Sin Wan undur selangkah.
"Sumoi, kau kenapakah?"
"Jadi engkau adalah putera Iblis Tangan Api Se Jit Kong?!?"
Mendengar pertanyaan itu, Sin Wan terkejut dan mengertilah dia bahwa tadi Kui Siang telah mendengar percakapan antara dia dan Cap-sha-kwi.
"Sumoi, aku ........"
Tiba-tiba terdengar suara orang di depan rumah penginapan itu.
"Orang muda, sebaiknya engkau berterus terang! Apakah engkau putera Se Jit Kong?"
Sin Wan menoleh dan terkejut melihat bahwa yang mengajukan pertanyaan itu bukan lain adalah Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki! Dan suaranya itu! Sungguh berbeda dari biasanya yang lembut, kini suara itu tegas dan ketus.
"Locianpwe, sumoi, agaknya perlu aku memberi penjelasan. Marilah kita bicara di dalam saja agar tidak terdengar orang lain," kata Sin Wan dan sikapnya masih tetap tenang karena dia tidak merasa bersalah atau menyembunyikan sesuatu.
Kakek itu mengangguk dan tanpa bicara mereka bertiga memasuki rumah penginapan dan rnenuju ke kamar Bu Lee Ki. Setelah mereka masuk kamar, kakek itu menutupkan daun pintu dan merekapun duduk menghadapi meja dan Sin Wan menghadapi kedua orang itu, merasa seperti seorang tertuduh dihadapkan kepada dua orang hakim!
"Maaf bahwa selama ini aku tidak berterus terang karena aku ingin melupakan semua pengalaman hidup yang teramat pahit itu." Sin Wan memulai.
"Katakan, benarkah engkau putera Se Jit Kong!?" Bu Lee Ki bertanya, sinar matanya tajam penuh selidik menatap wajah Sin Wan.
"Bukan anak kandung, melainkan anak tiri. Harap locianpwe dan sumoi dengarkan baik-baik, aku akan menceritakan segalanya. Se Jit Kong bukan ayah kandungku, bahkan dialah yang membunuh ayah kandungku yang bernama Abdullah. Kemudian ibuku menjadi isteri Se Jit Kong dan sejak terlahir sampai berusia sepuluh tahun, aku dirawatnya dan aku menganggap dia ayah kandungku sendiri."
"Ayahmu dibunuh dan ibumu malah menjadi isteri Se Jit Kong?" tanya Bu Lee Ki dengan muka membayangkan kejijikan.
Wajah Sin Wan berubah merah.
"Harap locianpwe tidak salah sangka dan kasihanilah ibuku. Ibu pasti membunuh diri begitu ayah kandungku dibunuh Se Jit Kong. Akan tetapi, ketika hal itu terjadi, aku berada dalam kandungan ibu. Demi untuk menyelamatkan diriku, anak tunggalnya, maka ibu terpaksa mengorbankan diri. Dengan batin menderita, ibu menjadi isteri Se Jit Kong dengan syarat bahwa Se Jit Kong tidak akan menggangguku, bahkan menganggap aku anaknya sendirl. Dia sayang kepadaku dan ketika itu akupun sayang kepadanya yang kuanggap ayah kandung sendiri."
"Hemm, lalu bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa dia bukan ayah kandungmu dan dia bahkan membunuh ayahmu?" Bu Lee Ki mendesak.
"Ketika Se Jit Kong tewas di tangan Sam-sian, ibuku yang merasa bahwa aku tidak terancam lagi dengan kematian Se Jit Kong, lalu menebus dosa dan membunuh diri, sehabis membuka rahasia itu kepadaku. Ketika Cap-sha-kwi menyerang Se Jit Kong, ketika itu aku masih merasa sebagai anak Se Jit Kong. Nah, demikianlah riwayatku. Ketika Sam-sian mengetahui riwayatku, maka Sam-sian lalu mengambilku sebagai murid. Terserah kepadamu, sumoi, dan kepadamu locianpwe, bagaimana kalian akan menilai diriku."
"Ya Tuhan, siapa sangka ......?" Bu Lee Ki bangkit, mondar-mandir di kamar dan berulang kali menggeleng kepala dan menghela napas panjang. Kemudian dia berhenti dan duduk kembali di depan Sin Wan, memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam dan suaranya terdengar sungguh-sungguh.
"Aku percaya bahwa Sam-sian tidak akan salah memilih engkau sebagai murid, Sin Wan. Akan tetapi bagaimanapun juga, engkau dikenal sebagai putera Se Jit Kong, berarti namamu sudah tercemar lumpur kejahatan. Cap-sha-kwi tentu tidak akan tlnggal diam dan akan menyiarkan bahwa Sin Wan adalah putera Se Jit Kong! Engkau akan dimusuhi seluruh pendekar. Hanya ada satu jalan bagimu, yaitu sebagai Pendekar Pedang Tumpul, engkau harus mencuci kecemaran namamu itu dengan perbuatan-perbuatan yang nyata. Engkau harus dapat membuktikan bahwa dirimu tidak jahat seperti Se Jit Kong walaupun engkau anaknya atau anak angkatnya. Adapun aku ....... ah, engkau tahu bahwa aku dipercaya menjadi pimpinan para kai-pang, kalau diketahui bahwa aku bergaul dengan putera Se Jit Kong, sebelum engkau mencuci nama, aku akan kehilangan muka. Terpaksa kita akan berpisah di sini, sekarang juga. Nah, kalian jaga diri kalian baik-baik, aku akan pergi." Kakek itu lalu menyambar buntalannya dan meninggalkan kamar itu dengan cepat.
Sin Wan bangkit berdiri seperti juga Kui Siang, mukanya pucat ketika dia memandang kepada Kui Siang.
"Sumoi, bagaimana dengan engkau?" tanyanya, penuh harap.
Kui Siang mengusap kedua matanya untuk menghapus beberapa butir air mata yang tadi jatuh di atas pipinya.
"Engkau tahu bahwa keluargaku hancur oleh kejahatan Se Jit Kong. Dan ternyata engkau ...... puteranya, walaupun putera tiri. Aku ..... aku ...... bagaimana mungkin berdekatan denganmu? Suheng, maafkan aku ini ..... aku .... aku akan ke Peking dan aku ..... ahhh ....." Gadis itu terisak dan cepat berlari keluar.
Sin Wan berdiri seperti patung. Mukanya pucat sekali. Jantungnya seperti diremas-remas rasanya. Kedua tangannya menekan meja dan dia memejamkan matanya.
"Engkau benar, sumoi, engkau benar. Aku hanyalah seorang suku biadab Uighur, keturunan orang jahat, aku hanya seorang dusun yang pandir dan miskin, berlepotan nama busuk Iblis Tangan Api Se Jit Kong. Memang sebaiknya engkau menjauhkan diri dariku, sumoi, agar jangan ikut tercemar ......"
Dia menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan merebahkan kepala di meja, sampai lama dia berdiam dalam keadaan seperti itu.
Sesosok bayangan berkelebat masuk kamar itu, ringan sekali gerakannya. Namun tidak cukup ringan bagi Sin Wan untuk tidak mengetahuinya. Dia menoleh dan ternyata seorang gadis cantik telah berdiri di kamar itu. Timbul harapannya ketika dia mengira bahwa gadis itu sumoinya. Akan tetapi ketika dia memandang lebih jelas, ternyata gadis itu adalah Lili!
"Lili, kau ........?"
Lili tersenyum, lalu duduk di atas kursi yang tadi diduduki Kui Siang. Memang ada persamaan antara kedua orang gadis itu. Sama cantiknya!
"Sin Wan, kenapa engkau harus berduka! Seorang gagah tidak akan mudah membiarkan diri terbenam dalam duka. Kalau mereka pergi meninggalkanmu, biarkanlah. Di sini masih ada aku, Sin Wan. Aku akan siap menerimamu sebagai sahabatmu. Marilah kita berdua bertualang di dunia yang luas ini. Dengan kepandaian kita berdua, kita akan dapat berbuat banyak!"
Sin Wan bangkit, kemarahannya timbul. Dia akan diajak oleh gadis ini ke dalam dunia sesat? Dia akan diajak mengikuti jejak ayah tirinya? Sebelum mati, ibunya berpesan agar dia tidak mengikuti jejak Se Jit Kong.
"Tidak!" bentaknya kepada Lili dan dia menuding ke arah pintu.
"Pergilah kau, jangan bujuk aku. Pergi .....!"
Lili bangkit berdiri, tersenyum manis.
"Engkau sedang dalam keadaan kacau dan berduka. Baiklah, aku pergi, akan tetapi aku selalu menantimu di Puncak Bukit Ular, di Pegunungan Himalaya. Datanglah ke sana kalau engkau teringat kepadaku dan suka menerimaku sebagai sahabat. Selamat tinggal! Jangan terlalu bersedih, Sin Wan. Orang berduka cepat menjadi tua! Gadis itu terkekeh lalu pergi dari situ.
Sin Wan kembali menjatuhkan diri duduk di atas kursi. Habislah sudah! Kakek Bu Lee Ki yang dihormatinya sebagai gurunya, sumoinya yang dicintanya dan dianggap sebagai calon isteri, kini memisahkan diri, meninggalkannya dan menjauhinya. Dia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Lili! Tidak, dia tidak mau terseret ke dalam dunia sesat. Tiba-tiba dia meloncat berdiri.
"Suhu Ciu-sian!" dia berseru. Ah, kenapa dia sampai melupakan gurunya itu? Di dunia ini masih ada gurunya, Si Dewa Arak. Dia akan pergi ke Pek-in-kok, lembah Gunung Ho-lan-san itu.
Diapun teringat akan pesan Raja Muda Yung Lo di Peking. Akan diterimakah kedudukan panglima yang ditawarkan raja muda itu! Kenapa tidak? Dengan kedudukannya itu, dia akan dapat berbuat banyak untuk bangsa dan negara sehingga dia akan dapat mencuci noda yang dicemarkan oleh nama busuk Se Jit Kong.
Akan tetapi, di sana ada Kui Siang! Sungguh tidak enak kalau harus bekerja dekat sumoinya, juga kekasihnya yang telah menjauhkan diri darinya itu. Dia akan menghadap dulu gurunya, Si Dewa Arak yang periang, dan mohon nasihatnya.
Yang pasti, dia akan menunjukkan kepada dunia, bahwa hldupnya tidak sia-sia. Tuhan telah menciptakan dia, menurunkan dia ke dunia bukan hanya untuk menjadi permainan nasib, bukan untuk membenamkan diri dalam duka. Dia harus menjadi seorang manusia yang berguna agar tidak sia-sia Tuhan menciptakannya. Dia harus mengabdi kepada Tuhan kalau ingin membuktikan penyerahannya yang tulus ikhlas dan tawakal. Dan mengabdi kepada Tuhan hanya dapat dibuktikan dengan pengabdian kepada manusia, kepada dunia, dengan membela kebenaran dan keadilan.
Dia akan membuktikan kepada dunia bahwa dia adalah putera ibunya yang dia tahu berhati mulia, bahwa dia tidaklah sama dengan Se Jit Kong yang menjadi hamba nafsu-nafsunya dan menjadi tokoh sesat, bahkan datuk sesat!
"Suhu Ciu-sian, tunggulah teecu (murid) yang akan menghadapmu!" Sin Wan berteriak lalu dia meninggalkan kamar itu.
Malam telah berganti pagi. Kegelapan mulai ditembusi cahaya terang. Sinar matahari menjanjikan hari yang cerah bagi mereka yang pagi-pagi telah terbangun dari tidurnya.
TAMAT
Penerbit : CV. GEMA, Solo
Cetakan Tahun : 1995
andu, http://indozone.net/literatures/literature/650
Pedang Sinar Emas Eps 30 Pedang Sinar Emas Eps 37 Pedang Sinar Emas Eps 36