Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 30


Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 30




   Ciong Pak Sui biarpun merasa kaget dan gentar, namun tidak mau menyerah kalah begitu saja. Ia masih dapat mempergunakan gagang tombaknya sebagai toya dan masih mengamuk hebat. Namun, dengan enaknya, berturut turut pedang di tangan Siauw Yang membabat putus gagang tombak itu sehingga akhirnya tinggal pendek saja.

   Pangeran Ciong mandi keringat. Permainan silatnya sudah kacau dan ngawur sehingga sebuah tendangan kilat melayang ke dadanya tanpa dapat ia elakkan pula.

   Tubuhnya terlempar ke atas lalu terbanting jauh. Siauw Yang tidak mau berhenti sampai di situ saja, karena ia teringat akan nasehat Pun Hui. Maka cepat ia melompat dan sedetik kemudian, ujung pedangnya telah ditodongkan ke arah tenggorokan pangeran itu dan ia berkata dengan suara dingin.

   "Pangeran yang curang! Kalau suhengku tidak mempunyai hati yang penuh welas asih dan sabar, tentu pedangku ini sekarang sudah kulanjutkan menusuk lehermu agar kau mampus!"

   "Eh, eh, nona. Bagaimanakah ini? Aku sudah kalah, ini aku terima dan kau boleh mengambil taruhannya. Bawalah kudamu dan alat catur itu, akan tetapi mengapa kau masih menghinaku? Apakah ini laku seorang gagah?" kata pangeran itu dengan wajah pucat.

   Siauw Yang tertawa menyindir. "Bangsat rendah! Kau masih berpura pura bersikap seakan akan kau seorang tokoh kang ouw yang terhormat dan gagah. Akan tetapi apa kaukira aku tidak tahu bahwa kudaku Ang ho ma itu telah kau beri makanan beracun? Dan apakah kaukira aku tidak tahu bahwa kau memang selain bermaksud merampas kuda, juga mau menjatuhkan kami berdua dengan jalan curang?"

   "Apa" apa kehendakmu sekarang, nona?"

   Pangeran itu memotong bicara Siauw Yang karena merasa malu, bingung, dan juga takut.

   "Kau harus dapat menyembuhkan kudaku, memberikan alat catur itu kepada kami dan berjanji takkan mengganggu kami lagi! Kalau kau tidak lekas melakukan semua permintaan ini, tentu lehermu akan tertembus pedang dan semua orangmu akan dihancurkan oleh suhengku."

   Pangeran Crong Pak Sui pernah diberi tahu oleh mendiang suhunya, yakni Pat jiu Giam ong Liem Po Coan, bahwa ilmu tombak yang telah dipelajarinya itu sudah amat tinggi. Kecuali murid murid tokoh besar dunia persilatan, yakni empat yang lain seperti Mo bin Sin kun, Kim Kong Taisu, Lan hai Lo mo dan Bu tek Kiam ong, agaknya sukar untuk mengalahkannya. Akan tetapi sekarang ia jatuh oleh pedang seorang gadis yang baru belasan tahun usianya!

   "Nona Siauw Yang, kau benar benar berani sekali menghina aku, seorang pangeran!" bentaknya marah.

   "Dunia orang gagah tidak membedakan pangkat atau harta! Yang ada hanya dua golongan, yakni yang baik dan yang jahat harus dibasmi," kata Siauw Yang dengan suara lantang.

   "Akan tetapi, aku adalah murid dari Pat jin Giam ong! Apa setelah mendengar nama ini kau tidak memandang muka mendiang orang tua itu?"

   "Kebetulan sekali, gurumu itu memang musuh besar ayahku, Thian te Kiam ong!"

   Mendengar nama ini, pucatlah wajah Pangeran Ciong.

   "Celaka! Orang orangku bermata buta! Hayo kalian penuhi semua permintaan lie taihiap (nona pendekar besar) ini!" serunya kepada semua orangnya.

   Kuda Ang ho ma lalu diberi minum obat penawar racun, kemudian seperangkat alat catur diberikan kepada Pun Hui. Bahkan setelah dilepaskan oleh Siauw Yang, pangeran itu memberi hormat dengan sopan dan memberi persembahan sekantong uang emas sebanyak limapuluh tail lebih.

   Siauw Yang tidak sudi menerima persembahan ini, akan tetapi Ciong Pak Sui berkata,

   "Harap lie taihiap sudi menerimanya, biarlah ini sebagai tanda penghargaan dan pernyataan maaf dariku yang telah berlaku sembrono."

   Akhirnya diterima jugalah pemberian ini oleh Siauw Yang dan kedua orang muda itu lalu berpamit pergi. Mereka menuju ke rumah penginapan, mengambil kuda tunggangan Pun Hui dan buntalan pakaian mereka, lalu mereka melanjutkan perjalanan pada hari itu juga.

   "Sumoi, kau benar benar amat mengagumkan. Kalau tidak karena kepandaian mu yang luar biasa itu tentu kita telah mengalami bencana hebat di tangan pangeran itu," kata Pun Hui di tengah perjalanan.

   "Suheng, semua berjalan dengan baik berkat adanya kau."

   "Eh, jangan kau menyindir, sumoi. Aku sudah merasa malu sekali karena disangka orang memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripadamu."

   "Siapa menyindir, suheng. Memang aku bicara terus terang, kalau tadi kukatakan bahwa memang kaulah yang telah menolong kita terbebas daripada bahaya. Kalau saja aku menurutkan nafsu marah, tidak mentaati nasehatmu,

   mungkin akan terjadi sebaliknya. Di samping itu persangkaan mereka bahwa kau memiliki kepandaian tinggi bukanlah hal yang memalukan, bahkan hal itu patut dibuat bangga, karena hal itulah yang membuat mereka itu takut untuk mengangkat tangan."

   "Akan tetapi, kalau kelak mereka bertemu lagi dengan aku dan melihat bahwa sebetulnya aku tidak bisa apa apa, bukankah aku yang akan malu sekali?"

   "Mengapa kau mengkhawatirkan hal itu? Bukankah kau adalah murid dari Yap supek dan akan menjadi seorang gagah kelak?"

   Mendengar ini, Pun Hui tersenyum dan berkata, "Aku mengharapkan pertolonganmu untuk kelak meminta kan ampun kepada suhu dan untuk sedikit mengisi kekosongan dalam diriku sehingga tidak terlalu memalukan kelak kalau bertemu lagi dengan mereka."

   Siauw Yang mengangguk angguk.

   Pengalaman yang dialami oleh dua orang muda itu membuat hubungan mereka menjadi makin erat saja dan biarpun keduanya maklum bahwa kepandaian Pun Hui masih jauh sekali untuk patut menjadi suheng, namun Siauw Yang merasa bahwa pemuda itu memang suhengnya sendiri dan iapun selalu taat akan semua nasihat. Pun Hui menganggap Siauw Yang seperti sumoinya sendiri dan ia tidak ragu ragu untuk mengemukakan pandangannya tentang hidup yang tentu lebih masak karena pemuda ini telah banyak mempelajari filsafat dari kitab kuno.

   Perjalanan dilakukan dengan cepat sekali karena kini kuda Ang ho ma sudah sembuh sama sekali, dan kuda yang ditunggangi oleh Pun Hui juga bukan kuda lemah.

   Siauw Yaug memang sengaja mengambil jalan dari utara karena gadis ini bermaksud hendak mengunjungi kota raja lebih dulu sebelum menuju ke Pulau Sam liong to. Ia mendengar dari penuturan Tek Hong bahwa pulau itu termasuk dalam Kepulauan Couwsan di sebelah selatan pelabuhan Sianghai.

   Keterangan ini cocok dengan petunjuk yang ia dapat dari Pun Hui, maka kini mereka bermufakat untuk menuju ke timur dan setelah tiba di pantai laut, hendak menggunakan perahu berlayar di sepanjang pantai timur daratan Tiongkok, terus ke selatan menuju ke Sianghai, sengaja gadis ini mengambil jalan memutar, bukan tanpa maksud. Telah lama sekali ia ingin mengembara dan selalu dihalangi dan tidak diperbolehkan oleh orang tuanya.

   Sekarang ia mempunyai keinginan hendak mencari pembuat peta yang dianggapnya sengaja memancing datang ayahnya, dan dalam kesempatan ini ia hendak menjelajah semua propinsi lebih dahulu. Iapun berpikir bahwa banyak kemungkinan ayah bundanya atau kakaknya akan menyusulnya.

   Kalau ia langumg menuju ke Kepulauan Couwsao, tentu ia akan tersusul dan maksudnya untuk merantau akan gagal.

   Demikianlah setelah tiba di pantai, Siauw Yang lalu dibawa oleh Pun Hui mengunjungi seorang sahabatnya di Tang Sin yang berada di pantai Laut Po Hai.

   Sahabatnya ini seorang she Tan dan pernah menjadi kawan sekolahnya ketika Pun Hui menempuh ujian di kota raja dahulu. Tan siucai seorang laki laki setengah tua yang mewarisi sebuah rumah gedung dan beberapa bidang sawah.

   Orangnya peramah sekali dan terpelajar, dan kedatangan Pun Hui bersama Siauw Yang diterima dengan gembira. Kepada Tan siucai inilah kuda Ang ho ma dan kudanya sendiri dititipkan dengan pesan agar di rawat baik baik dan kelak akan diambil kembali.

   Setelah menghaturkan terima kasih. Siauw Yang dan Pun Hui lalu mencari nelayan yang banyak tinggal di tepi pantai, Dengan beberapa tail emas pemberian dari Pangeran Muda Ciong, Siauw Yang membeli sebuah perahu yang kecil namun yang diperlengkapi dengan dua buuh dayung yang kuat dan seperangkat layar yang msaih baru. Maka berangkatlah dua orang muda ini berlayar di sepanjang pantai, terus menuju ke selatan.

   OOOOOOOOOOOO

   Perjalanan hanya ditunda kalau keduanya ingin makan dan beristirahat.Di waktu matahari amat teriknya, keduanya lalu mendayung perahu dan mendarat, mencari tempat yang teduh.

   Diam diam kesempatan seperti inilah Pun Hui tidak menyia nyiakan waktunya dan mulai mempelajari ilmu silat dari Siauw Yang. Sebaliknya gadis itu banyak mendengar sajak sajak indah dan mempelajari atau memperdalam pengetahuannya tentang kesusasteraan dan filsafat.

   Sepasang orang muda ini diam diam makin terikat erat satu kepada yang lain. Sikap keduanya saling sopan dan sama sekali tidak memperlihatkan tanda saling mengasihi, namun hubungan mereka benar benar seperti seorang suheng terhadap sumoinya.

   Makin sukalah hati Siouw Yang ketika mendapat kenyataan bahwa memang pemuda sasterawan itu sopan sekali, tidak pernah berlaku atau bicara secara kurang ajar. Sebaliknya Pun Hui makin kagum kepada Siauw Yang yang merupakan seorang gadis pilihan, seorang gadis yang cerdik sekali, periang dan memiliki ilmu silat yang tinggi.

   Perjalanan melalui air lebih cepat dan tidak melelahkan. Kalau angin baik mereka tidak usah keluar tenaga, dan mengandalkan lancarnya perantauan itu kepada layar dan angin. Adapun di waktu angin diam, Siauw Yang merupakan seorang pendayung yang kuat dan agaknya tak kenal lelah.

   Hubungan antara dua orang muda ini makin akrab, dan biarpun dari mulut mereka tak pernah terdengar kata kata yang menyatakan isi hati mereka, namun pandang mata yang mesra kadang kadang menyatakan seribu satu ucapan yang membawa suara hati masing masing.

   Setelah keluar dan Laut Po Hai dan memasuki Laut Kuning, perahu bergerak maju cepat sekali.

   Berpekan pekan mereka tiba di Laut Tiongkok Timur. Kepulauan Couwsan sudah nampak berkelompok dan jauh.

   "Sumoi, itulah pulau pulau yang menjadi tujuan kita," kata Pun Hui sambil menunjuk ke arah pulau pulau kecil di sebelah timur. Mereka mendarat dan berteduh di bawah pohon pohon yang tumbuh di tepi pantai, karena hawa amat panasnya.

   Siauw Yang memandang dengan hati tertarik. "Yang manakah Pulau Sam liong to, suheng?"
"Kita akan selidiki, tentu takkan jauh dari pulau kosong yang dijadikan sarang bajak bajak laut. Akan tetapi, sumoi, bajak bajak laut itu ganas dan kejam sekali, bagaimana kalau kita nanti bertemu dengan mereka?"

   Siauw Yang meraba pedangnya sambil tersenyum. "Apa kau takut?"

   Pun Hui menggeleng kepala. "Takut sih tidak hanya aku merasa khawatir apakah kau akan dapat bertahan menghadapi keroyokan manusia buas itu."

   Siauw Yang menjadi merah mukanya. "Suheng, kau memang aneh sekali. Kalau andaikata aku tidak dapat bertahan, apa kau kira kau juga takkan tertimpa bencana? Kau hanya mengkhawatirkan aku, akan tetapi lupa kepada dirimu sendiri."

   Pun Hui menghela napas. "Mengapa aku harus memusingkan soal diriku, sumoi? Bagiku sendiri, aku tidak khawatir. Nasibku sudah cukup buruk, dan terserahlah apa yang akan menimpa diriku selanjutnya. Hanya bagimu".. akan sakit hatiku kalau melihat kau menderita."

   Makin merah muka Siauw Yang. "Sudahlah, kau memang terlalu baik. Mari kita berangkat, sudah cukup kita beristirahat."

   Mereka lalu menaikkan guci air yang mereka isi penuh dan darat, masuk ke dalam perahu dan segera perahu kecil itu bergerak menuju ke Kepulauan Couwsan. Karena Pun Hui memberi tahu bahwa laut antara pulau pulau itu terdapat banyak ikan buas, Siauw Yang tidak lupa untuk membawa batu batu kecil sebesar ibu jari kaki, yakni batu batu karang yang putih dan keras.

   Baiknya angin tenang tenang saja sehingga perahu mereka meluncur cepat tanpa gangguan. Setelah perahu mendekati kelompok pulau, tiba tiba Siauw Yang menunjuk ke depan dan berkata tenang,

   "Agaknya itulah ikan ikan hiu yang kaukatakan tadi, suheng,"

   Pun Hui memandang dan biarpun ia seorang tabah, namun apa yang dilihatnya membuat ia merasa ngeri juga.

   Dari depan nampak barisan ikan yang membuat air laut bergelombang dan barisan ikan ini nampak kehitaman, kadang kadang timbul di permukaan air dan kelihatan mulut ikan yang mengerikan. Pernah ia melihat barisan ikan seperti ini, akan tetapi ia melihat dari sebuah kapal besar yang aman, tidak dari perahu kecil seperti yang mereka naiki sekarang ini, perahu yang besarnya mungkin kalah oleh seekor di antara ikan ikan itu!

   "Tenang, suheng!" kata Siauw Yang dan gadis ini menggerakkan tangan kinnya berulang ulang ke arah barisan ikan itu. Terdengar air bergelombang dan di antara barisan ikan itu menjadi kacau. Ternyata bahwa beberapa butir batu yang disambalkan oleh Siauw Yang mengenai sasaran. Tiap butir yang mengenai kepala ikan, merupakan peluru peluru yang menembus tulang kepala dsn cukup membuat ikan itu bergulingan. Darah yang keluar dari luka menjadi sasaran ikan ikan lain dan ikan ikan yang luka segera dikeroyok, dijadikan mangsa.

   "Sumoi, celaka, dari kanan itu " kata Pun Hui.

   Siauw Yang menengok, dan betul saja, dari sebelah kanan datang pula serombongan ikan dengan cepatnya.

   "Biar kuberi bagian kepada mereka!" kata Siauw Yang dan dara perkasa ini segera membagi bagikan batu batunya dengan kedua tangan. Terjadilah hal yang sama seperti kelompok ikan di depan tadi. Beberapa ekor ikan yang terluka oleh "peluru" batu yang disambitkan oleh Siauw Yang, menjadi korban keroyokan kawan sendiri dan dijadikan mangsa.

   Akan tetapi, tiba tiba Pun Hui berkata.

   "Lihat, sumoi, beberapa ekor ikan menuju ke sini!"

   "Siauw Yang memandang dan benar saja. Beberapa ekor ikan hiu berenang cepat dan kanan kiri menyerang perahu, ia berpikir cepat. Kalau ia menyerang dengan batunya dan membuat ikan ikan itu terluka di dekat perahu, akan berbahayalah keadaan mereka. Tentu ikan ikan lain akan datang mengeroyok ikan ikan yang terluka dan kalau hal ini terjadi di dekat perehu, maka perahu mereka dapat terguling dan sekali mereka terlempar keluar perahu, tak dapat diragukan lagi tentu mereka akan menjadi mangsa ikan ikan liar ini.

   "Suheng, kesinikan dayungmu dan kau berpeganglah kuat kuat pada pinggiran perahu!" seru Siauw Yang. Lalu dengan kedua dayung di tangan kanan kiri, gadis ini melompat ke atas dan tahu tahu ia telah menggunakan kedua kakinya untuk menunggang badan perahu seperti orang menunggang kuda, kemudian setelah ikan ikan itu datang dekat, ia menggunakan dua batang dayungnya menekan kepala ikan di kanan kiri.

   Pun Hui hampir berseru kaget ketika tiba tiba perahu yang mereka tunggangi itu dapat terbang ke atas. Memang perahu itu telah terbang.

   Ketika Siauw Yang menekan kepala kepala ikan dengan sepasang dayungnya, gadis ini mengerahkan tenaga lweekang. Sambil meminjam kepala ikan ikan itu, gadis ini menekan tiba tiba dan tubuhnya dienjot ke atas.

   Perahu berikut Pun Hui terbawa oleh kempitan betisnya dan perahu ini meluncur ke atas permukaan air melewati kepala kepala ikan itu dan turun lagi di depan. Siauw Yang cepat mendayung perahunya dan melihat beberapa ekor ikan mengejarnya, ia lalu menyambit, membunuh empat ekor ikan yang segera menjadi mangsa yang lain. Namun dengan adanya halangan ini, perahu mereka dapat meluncur cepat ke arah kiri tanpa ada gangguan yang menghadangnya.

   Setelah jauh dari rombongan ikan itu, baru Pun Hui sempat bernapas lega.

   "Sumoi, kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri, aku takkan percaya. Kau hebat sekali, seakan akan main sulap saja yang kaulakukan tadi."

   Siauw Yang tersenyum. "Ayah sering kali berkata, bahwa segala sesuatu memang kelihatan aneh dan mentakjubkan bagi orang yang belum mengerti dan belum dapat. Kalau kau sudah mempelajari ilmu. tentu hal tadi kauanggap biasa saja, suheng. Yang diperlukan hanya ketabahan, kesigapan dan perhitungan yang tepat."

   "Akan tetapi, tenagamu tadi benar benar luar biasa. Siapa orangnya yang dapat melompat sambil menjepit perahu seperti itu? Hampir aku tidak percaya!"

   "Bukan tenagaku yang besar sekali, melainkan berat badan ikan ikan tadilah. Tenaga mereka yang besar, suheng, karena tadi aku hanya meminjam tenaga mereka melalui tekanan dayungku."

   Sambil mendayung perahu, Siauw Yang memberi keterangan tentang penggunaan tenaga lweekang dan tentang cara meminjam tenaga.

   "Demikianlah siasat siasat dalam penggunaan tenaga bagi seorang ahli silat tinggi, suheng. Tak perlu kita menghabiskan tenaga sendiri, karena lawan merupakan sumber tenaga yang kita pinjam dan kita pergunakan untuk mengalahkannya."

   Pun Hui memang belum pernah melihat Pulau Sam liong to, hanya dapat menduga bahwa pulau tempat tinggal nona Siang Cu tentu berada di dekat pulau yang dijadikan sarang para bajak laut. Melihat deretan pulau pulau itu, Siauw Yang tertarik kepada sebuah pulau kecil yang nampak dari jauh seperti bukit kecil kehijauan. Ia lalu me menarik perhatian Sia alan, tahulah Siauw Yang bahwa dua or ndayung perahu mendekati pulau itu. Bukan main girangnya ketika ia melihat pulau itu ditumbuhi pohon pohon yang mengandung buah buah yang enak dimakan di antara daun daun pohon yang segar kehijauan..

   "Kita mendarat di sini saja!" kata Siauw Yang sambil mendayung perahu ke pinggir. Akan tetapi tiba tiba pun Hui berseru, "Celaka, sumoi. Itu mereka datang!"

   "Siapa?"

   "Bajak bajak laut itu!"

   Siauw Yang menengok dan benar saja, dari jauh nampak layar layar hitam mengambang. Beberapa buah perahu dengan cepat sekali meluncur ke arah mereka.

   "Bagus sekali baiknya kita bertemu dengan mereka di sini. Lebih leluasa bagiku untuk menghadapi mereka di darat," kata Siauw Yang. Gadis ini cepat menarik perahu mereka ke darat, kemudian berkata kepada pemuda itu untuk duduk saja di dekat perahu.

   Rombongaa perahu bajak mendekat dan segera kelihatan para bajak yang bertubuh pendek pendek itu melompat turun sambil berteriak teriak dan mengacungkan golok dan pedang.

   Semua ada duapuluh orang dan mereka ini berlompatan mendekat dengan sikap mengancam.

   Namun orang orang kate ini tidak menarik perhatian Siauw Yang. Sebaliknya, ia memandang tajam kepada dua orang yang turun paling akhir dari perahu, akan terapi yang cepat mendahului semua bajak dengan jalan mereka yang amat cepat. Melihat cara mereka berjalan, tahulah Siauw Yang bahwa dua orang ini memiliki kepandaian tinggi sekali.

   Dan orang laki laki ini adalah seorang tua bertubuh tinggi yang membawa tongkat kepala raga dan seorang pemuda berusia duapuluhan yang amat tampan dan gagah, juga bertubuh tinggi. Mereka berdua memakai pakaian yang mewah dan sikap mereka angker sekali.

   "Nona Siang Cu, kau pulang dari manakah?" dari jauh orang muda itu berseru dan mendengar suara yang dikirim dari jauh ini, Siauw Yang makin heran. Tak salah lagi, benar benar seorang lawan yang berat.

   "Itulah Tung hai Sian jin dan puterenya sumoi," kata Pun Hui perlahan dengan suara penuh kekhawatiran.

   "Mereka itu lihai sekali. Kau berhati hatilah!"

   Siauw Yang berdebar, ia pernah mendengar nama Tung hai Sian jin dari ayahnya dan tahu bahwa kakek itu lihai sekali. Akan tetapi ia tidak takut dan dengan cepat mencabut pedang dan berdiri dengan tenang, menanti kedatangan mereka.

   Sebentar saja Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat sudah tiba di hadapannya, sedangkan para anak buah bajak laut masih berlari lari mendatangi.

   Ketika melihat bahwa nona cantik yang berdiri dengan pedang di tangan ini sama sekali bukan Ong Siang Cu seperti yang tadi disangkanya, Eng Kiat memandang dengan terheran heran. Apalagi ketika ia mengenal Siauw Yang sebagai puteri Thian te Kiam ong yang pernah dilamar dan dirindukannya, ia berdiri seperti paturg..

   "Kau"? Kau"?" katanya gagap.

   Sebaliknya Siauw Yang lalu tersenyum dan berkata kepada kakek itu "Tung hai Sian in, sungguh tak tersangka sama sekali kita saling bertemu di tempat ini."

   Seperti juga puteranya, Tung hai Sian jin bengong dan terheran heran. Teringat olehnya betapa dahulu, dua tahun yang lalu, puteranya tergila gila kepada gadis ini di Tit le, akan tetapi lamarannya ditolak oleh Thian te Kiam ong sehingga ia dan puteranya bertempur melawan Raja Pedang itu dan puterinya ini. Dan ia menderita kekalahan. Sekarang gadis ini berada di sini, tentu saja timbul marahnya dan sakit hatinya.
.

   "Bagus! Puteri Thian te Kiam ong sengaja datang di sini, memudahkan aku untuk membalas dendam," kata Tung hai Sian jin sambil menggerakkan tongkatnya.

   "Ayah, jangan lukai dia, aku masih cinta kepadanya,"
kata Eng Kiat.

   Mendengar seruan puteranya ini Tung hai Sian jin tertawa.

   "Anak manja! Sudah berobah lagi hatimu? Bukankah kau suka kepada murid Lam hai Lo mo dan ingin mengambil dia menjadi isitrimu?"

   "Tidak, ayah. Aku lebih suka kepada nona ini. Kalau tidak bisa mendapatkan nona ini sebagai isteri, baru aku mau mengambil Siang Cu."

   "Jadi, kau suka kepada keduanya?"

   "Kalau keduanya mau, lebih baik ayah."

   Tung hai Sian jin tertawa bergelak. Akan tetapi Siauw Yang sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.

   "Bangsat rendah bermulut kotor," makinya dan sinar kuning emas melayang menuju ke tenggorokan Eng Kiat.

   Pemuda ini sudah maklum akan kelihaian ilmu pedang gadis ini dan dahulu di Tit le iapun hampir saja tewas di ujung pedang kalau saja gadis ini tidak dicegah oleh Tian te Kiam ong. Maka cepat ia mempergunakan siang kiamnya (sepasang pedangnya) untuk menangkis sambil melompat mundur.

   Dalam kemarahannya, Siauw Yang mendesak terus, akan tetapi tiba tiba tongkat kepala naga di tangan Tung hai Sian jin bergerak menghadangnya sehingga gadis ini terpaksa melayani kakek yang sakti itu.

   Tung hai Sian jin pernah menghadapi Thian te Kiam ong Song Bun Sam ayah gadis ini dan ia menderita kekalahan oleh ilmu pedang yang luar biasa dan raja pedang itu. Kini ia menghadapi puteri nya dan biarpun ilmu pedang yang dimainkan oleh Siauw Yang sama dengan ilmu pedang ayah nya dan hanya tingkatnya kalah sedikit namun tenaga dan pengalaman gadis ini jauh di bawah tingkat ayahnya.

   Oleh karena itu, pertempuran berjalan ramai sekali. Tung hai Sian jin dengan tongkatnya yang berat dan ilmu tongkatnya yang lihai sekali, mengamuk dan bernafsu sekali mengalahkan puteri musuhnya ini.

   Akan tetapi ilmu pedang dari Siauw Yang benar benar amat mengagumkan. Pedangnya merupakan gulungan sinar kuning emas yang menyilaukan mata dan ke manapun juga tongkatnya menyambar, selalu dapat ditangkis oleh sinar pedang. Sebaliknya, biarpun dengan kelincahannya dan dengan ilmu pedangnya, Siauw Yang seakan akan berada di fihak yang mendekat, namun tiap kali pedangnya beradu dengan tongkat kakek itu, Siauw Yang merasa telapak tangannya tergetar, tanda bahwa tenaga kakek ini masih lebih besar daripada tenaganya sendiri.

   Pertempuran ini berjalan seimbang dan sukarlah untuk diduga lebih dulu siapa yang akan menang. Berpuluh jurus telah berlalu dan bayangan Tung hai Sian jin dan Siauw Yang telah lenyap diselimuti gundukan sinar pedang dan sinar tongkat. Gulungan sinar pedang demikian ringannya seakan akan sepucuk api beterbangan, sebaliknya gerakan tongkat mendatangkan angin dan tenaga sehingga debu mengebul tinggi dan daun daun pohon terkena sambaran angin bergoyang goyang.

   Agaknya pertempuran ini akan berjalan lama sekali. Melihat ini, Eng Kiai menjadi khawatir, ia tahu bahwa kini tidak mungkin bagi ayahnya untuk mengalahkan gadis itu tanpa melukainya, maka ia segera menggerakkan sepasang pedangnya sambil berkata,

   "Ayah, mari kita bersama menangkap gadis liar yang cantik ini. Jangan lukai dia, ayah!" Ia melompat dan mulai bergeraklah sepasang pedangnya membantu ayahnya. Ilmu pedang dan Eng Kiat juga sudah tinggi dan kepandaiannya tidak kalah jauh kalau dibandingkan dengan Siauw Yang, hanya kekalahannya terletak pada ilmu pedang.

   Melihat pemuda itu maju, Pun Hui menjadi marah, ia bangkit dari tempat duduknya dan berkata keras,

   "Sungguh tak tahu malu. Dua orang laki laki mengeroyok seorang gadis muda. Mana ada aturan seperti ini?"

   Mendengar ini, Eng Kiat membentak keras dan berkata kepada anak buahnya, "Beri dia limapuluh kali cambukan biar dia menutup mulutnya!"

   Seorang algojo bajak menyeringai dan maju Mengayun cambuknya ke arah Pun Hui yang segera jatuh.

   "Jangan ganggu dia!"

   Siauw Yang menjerit sambil melompat hendak menyerang algojo itu, akan tetapi Tung hai Sian jin dan Eng Kiat mencegahnya turun tangan. Terpaksa gadis ini dengan marah sekali memutar pedangnya menghadap keroyokan ayah dan anak ini. Hatinya serasa disayat sayat ketika ia mendengar bunyi cambuk berkali kali menimpa tubuh Pun Hui.

   Biarpun tidak terdengar satu kalipun keluhan atau ratapan dari mulut Pun Hui, namun pemuda yang lemah itu mana kuat menghadapi hukuman cambuk sampai limapuluh kali? Ia telah menjadi pingsan dan selanjutnya tidak merasai lagi perihnya ujung cambuk memecah kulit.

   Menghadapi Tung hai Sian jin seorang saja keadaannya sudah seimbang, apalagi sekarang Eng Kiat maju mengeroyok. Agaknya Siauw Yang masih akan dapat melakukan perlawanan mati matian dan nekad kalau saja ia tidak melihat keadaan Pun Hui yang membuat kedua kakinya gemetar saking kasihan dan terharunya.

   Ia mendengar betapa Pun Hui tadi memaki Eng Kiat dan hendak membelanya, dan sekarang pemuda yang lemah namun gagah perkasa itu dicambuki sampai pingsan tanpa mengaduh sedikitpun juga. Melihat betapa Pun Hui sudah telentang tak bergerak dengan muka pucat dan pakaian penuh darah, lemaslah Siauw Yang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tung hai Siang jin untuk mengirimkan tusukan dengan gagang tongkatnya yang tepat mengenai jalan darah di pangkal lengan gadis itu. Siauw Yang mengeluh, pedangnya terlepas dan pegangan lalu ia roboh lemas tak berdaya lagi.

   Tung hai Sian jin menyuruh anak buahnya cepat cepat meninggalkan pulau itu dan ia tertawa berkelak ketika melihat puteranya dengan wajah girang memondong tubuh Siauw Yang dibawa ke perahu bajak. Sambil tertawa tawa kakek ini memungut pedang Kim kong kiam yang tadi terlepas dan tangan Siauw Yang, lalu mengikuti puteranya menuju ke perahu.

   
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sebentar saja, perahu perahu bajak itu sudah berlayar pergi, meninggalkan Pulau Sam liong to yang kosong dan meninggalkan tubuh Pun Hui yang menggeletak di atas tanah dalam keadaan setengah mati.

   Seorang pemuda yang gagah mendayung perahunya dengan cepat sekali. Ia memandang ke kanan kiri dengan heran. Banyak sekali ikan hiu di laut itu, yang mengherankan adalah beberapa ikan hiu yang mati dan mengambang di atas laut, menjadi keroyokan ikan ikan lain.

   "Aneh," pikirnya. "Ikan ikan ini tidak bisa mati begitu saja, agaknya ada orang telah turun tangan ketika dikeroyok oleh ikan ikan ini."

   Pemuda gagah ini bukaa lain adalah Song Tek Hong, putera dari Thian te Kiam ong Song Bun Sam. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, pemuda ini meninggalkan Tit le atas perintah ayah bundanya untuk menyusul adiknya, Siauw Yang. Ia merasa gemas dan mendongkol sekali kepada Siauw Yang, adiknya yang terkenal keras kepala itu. Gadis itu pergi tanpa meninggalkan jejak, hanya memberi tahu hendak pergi ke Sam liong to, ke mana ia harus mencari? Ayahnya menduga bahwa Siauw Yang tentu akan merantau dan sangat boleh jadi Siauw Yang pergi ke kota raja yang sudah lama ingin dilihatnya.

   Tek Hong menyusul ke kota raja, akan tetapi tetap saja ia tidak dapat menemukan jejak adiknya. Hatinya menjadi mendongkol akan tetapi tercampur rasa gelisah. Bagaimana kalau terjadi sesuatu kepada adiknya yang amat dikasihinya itu? Semenjak kecil Tek Hong amat sayang kepada Siauw Yang, dan sungguhpun berkali kali Siauw Yang amat nakal dan mengganggunya, namun ia tetap sabar dan mencinta.

   "Bocah bengal, sekali aku bertemu denganmu, akan kujewer telingamu sampai merah!"

   Tek Hong mengomel panjang pendek sambil melanjutkan perjalanannya keluar dari kota raja. Ia melakukan perjalanan sambil berhenti di setiap kota untuk melakukan penyelidikan, kalau kalau adiknya pernah lewat di situ. Oleh karena inilah maka biarpun Siauw Yang melakukan perjalanan lebih dulu, dara ini lebih cepat tiba di Sam liong to. Akhirnya Tek Hong tiba di pantai timur dan dengan sebuah perahu ia mencari Pulau Sam liong to di antara Kepulauan Couwsan. Ia telah memeriksa dan memnaca peta palsu yang dibawa oleh Coa Kiu, maka ia segera mencari Pulau Kura kura dan mencari pulau ke tujuh dari pulau ini.

   Ketika melihat bangkai bangkai ikan yang terapung dan dijadikan mangsa oleh ikan ikan lain, pemuda yang cerdik ini telah dapat menduga bahwa tentu ikan ikan itu sebetulnya dibunuh oleh adiknya sendiri. Tidak tahu pula bahwa di saat ia mendayung perahu menuju ke Sam liong to, adiknya telah bertempur mati matian melawan keroyokan Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat sehingga kemudian tertawan.

   Ia sedang mengira ngira di mana letaknya Pulau Sam liong to, ketika tiba tiba ia melihat beberapa buah perahu layar hitam muncul dari pantai sebuah pulau yang penuh dengan pohon. Perahu perahu ini bergerak dengan cepat sekali. Tek Hong mendayung perahunya hendak mengejar, akan tetapi sebentar saja perahu-perahu itu telah meninggalkannya sehingga pemuda itu membatalkan niatnya, sebaliknya lalu memutar perahu menuju ke pulau yang baru saja ditinggalkan oleh perahu perahu itu.

   Tek Hong menaksir bahwa perahu perahu itu tentulah bukan perahu orang baik baik, dan tentu perahu perahu bajak laut karena cat dan layarnya hitam serta bentuknya tidak seperti perahu nelayan atau perahu pedagang.

   Pemuda ini mendayung perahunya ke pantai pulau dan setelah menarik perahu ke darat, ia melihat tubuh seorang pemuda menggeletak di atas tanah seperti mayat. Pakaian pemuda ini robek semua, mukanya pucat dan badannya penuh darah.

   "Terkutuk bajak bajak itu," seru Tek Hong marah, "orang ini tentu telah menjadi korban mereka."

   Segera ia menghampiri dan berlutut di dekat tubuh pemuda yang bukan lain adalah Pun Hui yang masih pingsan. Ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu masih hidup, Tek Hong cepat mengeluarkan seguci arak dari buntalan pakaiannya da n memberi minum sedikit arak. Pun Hui mengeluh dan siuman kembali. Dengan lega Tek Hong mendapat kenyataan, setelah memeriksa tubuh korban ini, bahwa tidak terdapat luka yang berat melainkan luka luka di kulit yang pecah pecah akibat cambukan yang kejam.

   Pun Hui membuka matanya. Melihat seorang pemuda tampan dan gagah berlutut di dekatnya sambil memegang guci arak, ia segera bangun, tahu bahwa orang ini telah menolongnya.

   "Saudara, kau siapakah dan mengapa kau rebah terluka di tempat ini?" tanya Tek Hong.

   Pun Hui mengeluh. Tubuhnya terasa sakit sakit dan perih sekali. Kalau tadi ketika dicambuki ia tidak mau mengeluh, hanyalah karena selain ia tidak sudi memperlihatkan kelemahan di hadapan para bajak, juga ia tidak ingin membuat Siauw Yang menjadi gelisah. Kini karena di situ hanya ada pemuda yang asing baginya ini, ia mengeluh,

   "Aduh" mereka bekerja kepalang tanggung. Mengapa tidak dihabiskan saja nyawaku?"

   "Selama orang masih hidup, ia tidak boleh mengharapkan kematian," kata Tek Hong, dan pemuda ini mengeluarkan seperangkat pakaian dari buntalannya. "Kaupakailah pakaian ini untuk mengganti pakaianmu yang robek robek!"

   Pun Hui memandang dan ia merasa suka melihat wajah penolongnya yang gagah itu.

   "Heran sekali," katanya, "di tempat seperti ini aku masih dapat bertemu dengan seorang manusia yang berbudi mulia. Saudara yang budiman, siauwte adalah Liem Pun Hui, seorang kutu buku yang lemah dan bodoh, yang membiarkan dirinya dicambuki bajak tanpa dapat membalas, lebih lebih lagi yang membiarkan sumoinya tertawan oleh bajak laut. Kasihan sumoi... Siauw Yang, bagaimana nasibmu"?" Ucapan ini dikeluarkan oleh Pun Hui dengan suara berduka sekali.

   Terkejut hati Tek Hong mendengar pemuda ini menyebut nama adiknya. Akan tetapi ia pikir bahwa tentu yang dimaksudkan itu adalah seorang gadis lain, karena mana mungkin adiknya menjadi sumoi dari orang ini.

   "Sumoi mu itu, mengapakah dia?" tanyanya.

   "Aku mengantar sumoi ke pulau ini dan bertemu dengan bajak laut yang dipimpin oleh Tung hai Sian Jin dan puteranya. Dengan gagah perkasa sumoi melawan mereka dan aku".. aku yang lemah dan bodoh tak berdaya menolong, bahkan aku lalu dicambuki oleh bajak dan sumoi". sumoi tentu tertawan oleh mereka karena sekarang aku tidak melihat dia dan para bajak itu."

   KEMBALI Tek Hong terkejut. Nama Tung hai Sian jin telah didengar sebagai nama tokoh besar yang lihai sekali. Dan sumoi dari orang ini berani melawannya.

   "Sumoimu yang gagah perkasa itu, siapakah dia? Siapa nama keturunannya dan dia murid siapa sehingga berani melawan seorang lihai seperu Tung hai Sian jin?" tanyanya dengan hati berdebar.

   " Sumoi adalah seorang gadis yang paling gagah di dunia ini, tiada duanya. Dia she Song dan dia adalah puteri dari Thian te Kiam ong yang terkenal "

   Sampai di sini, Tek Hong tak dapat menahan hatinya lagi. Ia melompat berdiri dan memandang dengan mata tajam serta sikap mengancam.

   "Kau....penipu bohong!"

   Pun Hui juga terkejut. Mengapa pemuda tampan dan gagah ini tiba tiba marah kepadanya?

   "Saudara, aku selama hidup tak pernah berbohong. Memang Siauw Yang adalah sumoiku. Kau siapakah berani menuduh aku sebagai penipu?".

   "Kepada orang lain kau boleh membohong sesukamu, akan tetapi kepadaku tak mungkin," jawab Tek Hong.

   "Karena Song Siauw Yang adalah adik kandungku sendiri dan dia tidak punya suheng. Kau ini seorang lemah bagaimana berani mati mengaku padaku sebagai sumoimu?"

   "Jadi..... jadi kau adalah Song Tek Hong? Sumoi seringkah bicara tentang kau. Kalau begitu kau adalah suteku sendiri."

   Pun Hui lalu menceritakan kepada Tek Hong yang terheran heran itu tentang segala pengala mannya, bagaimana ia diambil murid oleh Sin pian Yap Thian Giok dan bagaimana ia telah tertolong oleh Siauw Yang dan melakukan perjalanan bersama ke Pulau Sam liong to, kemudian bertemu dengan Tung hai Sian jin.

   Baru mengertilah Tek Hong setelah mendengar penuturan ini dan ia menjadi amat gelisah mendengar

   betapa adiknya tertawan oleh Tung hai Sian jin yang lihai, "Aku harus tolong adikku! Ke manakah mereka membawanya? Aku tadi melihat beberapa perahu hitam berlayar pergi dari sini, apakah mereka itu rombongan bajak laut yang dipimpin oleh Tung hai Sian jin?

   "Memang itulah mereka. Aku tahu di mana letak pulau yang dijadikan sarang oleh bajak laut akan tetapi aku tidak tahu apakah sumoi dibawa ke sana."

   "Liem suheng, apakah kau cukup kuat untuk mengantarkan aku ke sana?"

   "Aku tidak apa apa, sute. Hanya kulit saja yang luka dan perih, akan tetapi luka lukaku terlalu kecil tak berarti kalau dibandingkan dengan bahaya yang mengancam sumoi. Mari kuantar kau ke sana!"

   Tek Hong lalu mendesak kepada Pun Hui supaya berganti pakaian pemberiannya dan kedua orang pemuda ini lalu naik perahu yang di dayung oleh Tek Hong, menuju kepulau bajak di mana dahulu Pun Hui tertawan dan hampir dibunuh kalau tidak tertolong oleh Siang Cu murid La m hai Lo mo.

   Dalam pelayaran ini, Pun Hui menceritakan semua pengalamannya itu dan Tek Hong mende ngar dengan penuh keheranan bahwa Lam hai Lo mo musuh besar ayahnya itu benar benar masih hidup, bahkan mempunyai seorang murid perempuan yang lihai. Akan tetapi pikirannya segera melupakan hal ini. karena ia lebih mencurahkan seluruh perhatian dan pikiran kepada Tunghai Sian jin dan Bong Eng Kiat yang kini menawan adiknya, ia tahu bahwa keadaan adiknya amat berbahaya.

   Bukankah dahulu Eng Kiat tergila gila kepada adiknya dan mengajukan lamaran yang ditolak oleh ayahnya? Mungkin mereka akan membatas dendam dan ia merasa ngeri kalau mengingat akan hal ini.

   Diam diam ia juga kagum atas kecerdikan adiknya yang menduga tepat sekali bahwa peta palsu yang dibawa oleh Coa Kiu itu adalah sebuah pancingan dari searang musuh besar ayahnya, dan dalam hal ini tak salah lagi tentulah Lam hai Lo mo yang memancing ayahnya datang ke tempat itu untuk membalas dendamnya yang dahulu.

   Karena Tek Hong amat bernafsu untuk segera tiba di pulau bajak, maka didayungnya perahu nya dengan sekuat tenaga sehingga tak lama kemudian sampailah mereka di pulau itu. Hari telah menjadi senja dan keadaan mulai gelap.

   Namun dengan nekat kedua orang muda itu men darat di pulau itu Akan tetapi, alangkah kecewa hati Tek Hong karena pulau itu ternyata kosong, hanya kelihatan bekas bekas pondok para bajak laut yang telah ditinggalkan.

   Bahkan di sekeliling pulau itupun tidak kelihatan ada sebuahpun perahu bajak. Agaknya para bajak telah meninggalkan pulau ini dan telah pergi ke mana.

   Malam itu mereka bermalam di pulau bajak yang kosong. Tek Hong merasa gelisah sekali, bahkan pemuda sasterawan ini nampak amat berduka.

   Diam diam Tek Hong menduga bahwa pemuda ini tentu jatuh hati kepada adiknya. Pemuda manakah yang takkan jatuh hati melihat Siauw Yang, adiknya yang mania itu? Tek Hong merasa bangga dan iapun suka melihat Pun Hui, hanya kecewa melihat pemuda ini amat lemah.

   Dalam percakapan, ia mendapat kenyataan bahwa dalam ilmu kesusasteraan, Pun Hui jauh lebih tinggi kepandaiannya daripadanya. Akan tetapi, ia anggap bahwa pemuda ini tidak patut menjadi jodoh adiknya yang gagah perkasa. Heran ia mengapa supeknya. Sin pian Yap Thian Giek, mau mengambil murid seorang pemuda sasterawan yang begini lemah.

   Ketika Tek Hong mengeluarkan bungkusan dan mengisi perut dengan bekal makanan kering.Pun Hui yang ditawannya tidak mau makan. Tek Hong tidak memaksa dan malam itu mereka duduk di dekat api unggun yang mereka buat di dalam sebuah pondok bekas tempat tinggal bajak laut.

   Menjelang tengah malam, terdengarlah suara sayup sayup dari luar pondok.

   "Song Tek Hong, katakan kepada ayahmu bahwa adikmu akan mendapat kehormatan menjadi mantu Tung hai Sian jin. Permusuhan antara kita lelah lenyap oleh hubungan kekeluargaan ini."

   Mendengar suara ini, Tek Hong melompat ke luar pondok dengan pedang di tangan.

   "Tung hai Sian jin tua bangka siluman. Mari kita bertempur seribu jurus untuk menentukan siapa yang lebih unggul!" serunya sambil mengejar ke pantai dari mana suara tadi datang.

   Ia melihat bayangan dalam malam yang suram diterangi bintang.

   Bayangan ini berlari ke arah sebuah perahu dan dan bentuk tubuh bayangan itu, tahulah ia bahwa yang dalang bukanlah Tung hai Sian jin, melainkan Bong Eng Kiat, Bayangan itu tertawa bergelak.

   "Iparku yang baik, kau bersikap tidak patut sekali terhadap moi hu (adik ipar)!" kata bayangan itu sambil tertawa tawa.

   "Eng Kiat, jahanam pangecut! Jangan lari kalau kau memang laki laki," kata Tek Hong yang mengejar terus. Akan tetapi yang dikejarnya telah melompat ke dalam perahu dan sebentar saja perahu itu lenyap di ualani gelap.

   Tek Hong yang hendak mengejar dengan perahunya, tahu bahwa usahanya akan sia sia belaka, maka ia berdiri di pantai sambil membanting banting kakinya.

   "Bangsat Bong Eng Kiat, kalau kau mengganggu adikku, aku bersumpah takkan mau berhenti sebelum aku dapat menghancurkan kepalamu! Teriaknya berulang ulang Akan tetapi yang menjawabnya hanyalah suara air laut yang memukul batu karang di pantai. Dengan leuas dan kecewa Tek Hong kembali ke dalam pondok. Ia bertemu dengan Pun Hui yang sudah keluar dari pondok pula

   "Siapa yang datang?" tanya Pun Hui.

   (Lanjut ke Jilid 38)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 38
"Bangsat Eng Kiat itu yang datang. Sayang aku tak dapat mencekik batang lehernya kata," Tek Hong.

   Pada keesokan harinya, Tek Hong dan Pun Hui naik perahu dan mencari cari di seluruh Kepulauan Couwsan. Namun tidak ada jejak dari bajak laut yang agaknya sudah pergi jauh dari tempat itu.

   Tek Hong menjadi bingung sekali. Ia tidak berdaya dan memikirkan nasib adiknya, ia menjadi gelisah dan khawatir.

   "Aku harus pulang untuk melaporkan hal ini kepada orang tuaku," Katanya kepada Pun Hui.

   "Kami sekeluarga takkan berhenti mencari sebelum kami dapat menolong Siauw Yang dan tangan mereka. Apakah Liem suheng mau turut?"

   Pun Hui menggeleng kepalanya dengan lemas. "Tidak, sute. Kalau tidak dapat sertaimu kembali dengan Song sumoi dan melihatnya, aku bersumpah takkan mau pergi dari kepulauan ini!"

   Kata kata ini keluar dengan suara tegas dan membayangkan cinta kasih dan kesetiaan yang amal besar sehingga Tok Hong menjadi terbaru juga. Ia tahu kalau pemuda ini amat lemah, namun bersemangat gagah. Kalau sampai para bajak itu datang, tentu pemuda ini akan celaka.

   Akan tetapi ia tidak dapat memaksa Pun Hui untuk ikut pergi. Lagi pula, kalau Pun Hui ikut, ia takkan dapat melakukan perjalanan dengan cepat, padahal ia ingin sekali segera bertemu dengan orang tua nya untuk melaporkan tentang keadaan Siauw Yang yang terjatuh ke dalam tangan Tung hai Siap jin dan Bong Eng Kiat.

   Setelah meninggalkan pesan agar berhati hati menjaga diri di tempat berbahaya itu, Tek Hong lalu berlayar pergi dan situ Pun Hui berdiri di pantai memandang sampai perahu itu lenyap dari pandangan mata, kemudian Pun Hui lalu menyeret perahu yang dulu dipakai oleh Siauw Yang, menurunkannya ke dalam air dan mendayungnya.

   Ia mengambil keputusan untuk mencari Siauw Yang seorang diri Ia hendak mengunjungi semua pulau pulau kosong itu sekali lagi, dan biarpun tadi sudah ternyata bahwa tidak terlibat bayangan siapapun juga di dalam pulau pulau itu, namun ia tidak putus asa.

   Ia ingin mencari terus sampai ia bisa mendapatkan Siauw Yang atau sampai ia tewas di tempat itu. Setelah menghadapi gadis itu dalam ancaman bahaya, baru ia insaf betul betul bahwa ia mencintai Siauw Yang, mencintai dengan sepenuh hati dan jiwanya.

   "Siauw Yang!" teriaknya berkali kali sambil mendayung perahunya,

   Tek Hong melakukan perjalanan secepat mungkin menuju ke Tit Ie. Ia hendak segera bertemu dengan aahnya dan kemudian bersama ayah bundanya akan pergi mencari Siauw Yang untuk melanjutkan usahanya mencari seorang diri, ia merasa kurang kuat. Untuk menghadapi Tung hai Sian jin, tidak ada lain orang yang lebih tepat selain ayahnya sendiri.

   Musuh terlampau kuat, dan di samping Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat yang lihai, di sana masih ada Lam hai Lo mo. Kalau Lam hai Lo mo masih hidup, maka hal ini bukan main main lagi. Ayahnya sudah menyatakan kepandaian Lam hai Lo mo amat mengerikan dan hebat Ayahnya harus turun tangan sendiri.

   Akan tetapi, biarpun Tek Horg melakukan perjalanan yang amat cepat, ia ternyata telah terlambat. Ketika tiba di Tit le, ia mendapatkan rumah orang tuanya telah menjadi tumpukan puing terbakar habis sama sekali, rata dengan bumi, tiga orang pelayan orang tuanya telah tewas dalam keadaan mengerikan, yakni lehernya putus dan mayatnya terbakar hangus.

   Para penduduk Tit Ie tak seorangpun yang tahu mengapa rumah itu terbakar dan siapa yang membunuh para pelayan itu.

   Apakah yang terjadi tiga hari sebelum Tek Hong tiba di Tit le? Mari kita mengikuti peristiwa aneh itu yang tak terlibat oleh seorangpun.

   Pada malam hari, tiga hari yang lalu, dua sosok bayangan yang gesit sekali berlompatan di atas genteng rumah rumah di Tit le. Yang seorang tinggi bongkok dengan kaki hanya sebelah, dan orang ke dua bertubuh kecil langsing dengan gerakan seperti seekor burung saja gesitnya.

   Mereka ini adalah Lam hai Lo mo Seng Jin Siang su dan muridnya yakni Ong Siang Cu,Seperti telah dituturkan di bagian depan, guru dan murid ini meninggalkan Sam Iiong to untuk mengejar dua orang tosu yang minggat dan membawa lari banyak emas dari Pulau Tiga Naga itu. La m hai Lo mo marah sekali dan karena toso kedua yang membawa lari hartanya, yakni Siauw giam ong Lie Chit adalah anak murid Go bi pai, maka ia langsung mengajak muridnya menyusul ke Go bi san.

   Perjalanan ke Pegunungan Go bi san bukanlah perjalanan yang mudah Go bi san merupakan daerah pegunungan yang penuh dengan tanah tandus dan padang pasir. Akan tetapi, bagi Lam hai Lo mo dan Siang Cu yang memiliki kepandaian tinggi, perjalanan itu tidak terasa sukar dan dapat dilakukan dengan amat cepat.

   Pada waktu itu, Go bi pai merupakan sebuah partai persilatan yang terkenal dan besar, mempunyai murid yang banyak sekait jumlahnya. Karena selain ilmu silat, di pusat partai persilatan Go bi pai ini juga diajarkan ilmu batin menurut ajaran Nabi Buddha, maka sebagian besar anak murid Go bi pai adalah orang orang gagah yang menjun jung tinggi peri kebajikan. Tentu saja bukan merupakan jaminan bahwa semua murid Go bi pai tentu baik.

   Ada juga beberapa orang anak murid yang menyeleweng, silau oleh godaaa duniawi dan buta karena bujukan nafsu ibls. Bahkan banyak pula yang mengganti agama seperti halnya Siauw g ia m ong Lio Chit yang tadinya berkepala gundul lalu merobah diri menjadi penganut Agama To dan memelihara rambut, ia melakukan hal ini terutama sekali agar jangan sampai guru guru besar Go bi pai tahu bahwa dia adalah anak murid Go bi pai.

   Go bi pai diketuai oleh tiga orang hwesio tua yang disebut Go bi Sam thaisu (Tiga orang guru besar Go bi pai). Mereka ini adalah tiga orang hwesio seperguruan yang berusia kurang lebih enam puluh tahun dan hidup sebagai orang suci dan pertapa pertapa yang saleh, di samping bekerja sebagai ketua partai partai persilatan dan mem beri pelajaran kepada murid murid di Pegunungan Go bi san.

   Hwesio pertama bernama Thian Seng Hwesio, terkenal dengan senjata toyanya yang bernama Ouw liat pian (Tongkat Besi Hitam). Hwesio ke dua bernama Thian Beng Hwesio, lihai sekali dengan senjata kipasnya yang terbuat dan pada daun daun alang alang dan yang disebut kipas Ngo heng san (Kipas Lima Zat). Hwesio ke tiga bernama Thian Lok Hwesio dan senjatanya yang hebat adalah seikat tasbeh dari perak yang selalu dipegangnya dan dipergunakannya di waktu ia berdoa.

   Tiga orang ketua Go bi pai ini jarang sekali memperlihatkan ilmu kepandaian sitat mereka dan dalam memberi pelajaran ilmu silat kepada para anak murid, mereka menyerahkan pekerjaan ini kepada murid murid kepala yang jumlahnya ada tujuh orang hwesio yang sudan tinggi ilmu silatnya.

   Para murid dari tujuh orang murid kepala ini sebaliknya mengajar pula kepada murid murid yang lebih rendah tingkatnya. Dengan demikian maka tiga orang ketua Go bi pai ini hanya menjadi pengawas saja dan kalau merasa turun tangan sendiri, hanyalah di waktu memberi wejangan ilmu batin kepada para anak murid, terutama sekali mengenai pelajaran Agama Buddha.

   Selain mengurus partai Go bi pai yang lebih bersifat perkumpulan Agama Buddha daripada partai persilatan, juga tiga orang Go bi Sam Thaisu ini sering kali turun gunung untuk memperluas dan memperkembangkan Agan a Buddha yang mereka bertiga pelajar! dari seorang pendeta Buddha dari India.

   Apabila mereka turun gunung maka segala sesuatu diserahkan kepada tujuh orang murid kepala itu, yang diketuai oleh Giok Seng Hosiang hwesio berusia limapuluh tahun yang mempunyai kesabaran besar dan juga mempunyai ilmu silat tinggi. Dalam keadaan demikian, enam orang sutenya yang semuanya juga hwesio, menjadi pembantu pembantunya.

   Pada waktu itu, perkembangan Agama Buddha mendapat tentangan banyak dari agama agama lain, terutama sekali di bagian Go bi san mendapat tentangan darisebuah perkumpulan agama yang disebut Pek in kauw (Perkumpulan Agama Mca Putih), Perkumpulan ini sebetulnya adalah pemecahan atau boleh disebut juga penyelewengan daripada Agama To yang timbul dari pelajaran Nabi Lo Cu.

   Intisari pelajaran agama Pek in kauw irn, para anak muridnya diusahakan untuk dapat hidup aman dan tenteram penuh damai seakan akan keadaan mega mega putih di angkasa. Selain ilmu batin, juga Pek in kauw merupakan agama yang kuat sekali karena dipimpin oleh orang orang yang memiliki kepandaian tinggi.

   Tidak jarang terjadi bentrokan antara Go bi pai dan Pek in kauw, dan semenjak itu, maka Gi bi pai selalu menjaga diri kuat kuat. Apalagi kulan Go bi Sam Thaisu sedang turun gunung, maka murid kepala di bawah pimpinan Giok Sang Hosiang lalu mengadakan penjagaan yang kuai. Puncak Go bi san di mana terdapat sebuah kelenteng besar tempat bertapa ketua Go bi pai, dijaga dan bawah dengan lapisan lapisan penjaga yang k lini sekali.

   Pada suatu hari, ketika Go bi Sam 1 hai ju sedang turun gunung, datanglah Lam hai Lo mo Seng Jin siansu dan Ong Siang Cu di lereng gunung iiu. Mereka hendak mencari Siauw giam oug Lie Chit dan hendak menuntut para pengurus Go bi pai untuk mempertanggung jawabkan perbuatan anak murid Go bi pai itu.

   Tentu saja mereka bertemu dengan penjaga lapisan pertama yang terdiri dari duapuluh orang anak murid Go bi pai.

   "Ji wi siapakah dan ada keperluan apakah hendak naik ke puncak?" tanya seorang diantara penjaga itu dengan normal sebagai lajim nya sikap seorang alim.

   Lambai Lo mo hanya tertawa terkekeh kekeh, daa Siang Cu yaag menjawab dengan suara dingin,

   "Kami berdua datang untuk mencari bangsal kecil yang bernama Siauw giam ong Lie Chit, anak murid Go bi pai yang jahat. Lekas kalian panggil dia keluar untuk menerima hukuman!"

   Mendengar ucapan ini, para penjaga itu menjadi tidak senaug karena merasa bahwa Go bi pai dihina.

   "Ji wi siapakah?"

   "Tidak perlu tahu kami siapa. Yang penting lekas panggil keluar Lie Chit."

   Melihat sikap Siang Cu yang galak, seorang penjaga menjawab dengan suara dingin pula,

   "Kalian tentulah dari Pek in kauw yang sengaja hendak mencari kekacauan. Di kuil ini tidak ada seorang bernama Lie Chit."

   Siang Cu memang berwatak keras, ia sudah sering kali mendengar dari suhunya bahwa pendeta pendeta adalah orang orang yang paling pabu di dunia ini.

   Kependetaannya hanya merupakan kedok untuk menyembunyikan watak yang sebenarnya jahat. Lebih baik berhadapan dengan seorang penjahat kasar daripada seorang penjahat yang bersembunyi di balik kependetaan, begitu nasihat Lam hai Lo mo. Hal ini telah terbukti pula dengan adanya kecurangan dan Siauw giam oug Lie Chit dan Ouw bin cu Tt.ng Kwat. Bukankuh Gua orang ini juga pendeta pendeta yang ternyata berwatak curang?

   "Jangan bohong! Siauw giam ong Lie Chit adalah anak murid Go bi pai, tak mungkin ia tidak berada di sini. Ia telah mencuri emas kami dan karenanya kami hendak menangkapnya!"

   Memang sebenarnya para penjaga itu tidak kenal akan nama Siauw giam ong Lie Chit, karena semua anak murid Go bi pai yang berada di situ mendapat nama sebagai seorang hwesio. Demikian pula Lie Chit yang dahulu mendapat nama hwesio, hanya setelah u menyeleweng, maka ia raengguua kan nama lain,

   "Nona, harap kau jangan menghina kami. Pembohongan merupakan pantangan besar bagi kami. Memang benar benar di sini tidak ada orang bernama Lie Chit atau Siauw giam ong. Harap kau pergi dan mencarinya di lain tempat."Kami hendak mencari dan memeriksa ke atas," kata Siang Cu.

   "Nona, kau tidak boleh mengotorkan kelenteng kami" kata para penjaga sambil maju menghadang. "Kalau begitu, kalian mencari penyakit sendiri,"

   Ketika beberapa orang penjaga bergerak maju Siang Cu meaggerakkan kaki dan tangannya dan empat orang penjaga terjungkal. Gadis ini hanya menjatuhkan mereka saja, akan tetapi ia tidak tega untuk melukai mereka. Beberapa om n g maju pula namun mereka ini juga terjungkal roboh oleh kaki dan tangan Siang Cu yang amat cekatan.
Tiba tiba terdengar suara terkekeh kekeh yang mencela gadis itu, "Siang Cu, kau terlalu membuang buang waktu!" kata kata ini disusul oleh pekik mengerikan dan lima orang hwesio penjaga telah roboh tewas dengan kepala pecah. Ternyata bahwa Lam hai Lo mo telah turun tangan yang mendatangkan akibat amat mengerikan. Para penjaga lain melihat bal ini mundur dengan ketakutan.

   "Suhu, mengapa harus membunuh....?" kata Siang Cu, akan tetapi suhunya sudah menyeret tangannya diajak terus naik melalui para penjaga yang berdiri menjauh dengan muka pucat.

   Pada lapisan penjaga ke dua. kembali Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu yang buntung kakinya itu menggerakkan tongkatnya dan membunuh beberapa orang penjaga dengan amat mudah, semudah orang mencabut rumput kering saja.

   Tentu saja keadaan menjadi geger. Makin tinggi Lambai Lo mo dan muridnya naik, makin gemparlah keadaan. Penjaga di bukit itu diatur sedemikian rupa sehingga makin tinggi, para penjaga terdiri dan orang orang yang lebih tinggi ilmu silatnya. Namun, sampai di tempat penjagaan ke lima, sekali saja mengerakkan tongkat, selalu beberapa orang penjaga roboh tak bernyawa pula dalam keadaan mengerikan kalau tidak kepalanya pecah tentu lehernya putus tulangnya!

   Akhirnya Lam hai Lo mo dan Siang Cu berhadapan dengan tujuh orang murid kepala dari Go bl pai yang turun tangan sendiri dan menjaga di depan gerbang pintu masuk yang menuju ke kelenteng!

   Melihat tujuh orang hwesio yang sikapnya seperti orang orang berkepandaian, Siang Cu yang sejak tadi merasa gelisah dan menyesal sekali melihat keganasan suhunya, segera mendahului suhu nya dan bertanya,

   "Cu wi suhn harap jangan menghadang dijalan dan lekas beritahukan di mana adanya bangsat besar Siauw giam ong Lie Chit. Kami datang hanya hendak menghukumnya, kalau tidak dihalangi kami takkan mengganggu lain orang."

   Akan tetapi, tujuh orang murid kepala yang sudah mendengar betapa kakek buntung dan muridnya ini telah menewaskan banyak sekali anak urind Go bi pai, sudah menjadi marah sekali. Giok Seng Hosiang menggerakkan toyanya dan berkata keras,

   "Siluman buntung dan siluman rase datang datang mengacau dan membunuh orang orang tak berdosa, karang kau menghendaki supaya kami mengalah saja? Sudah berkali kali diberitahukan bahwa di sini tidak ada orang bernama Siauw giam Lie Chit, akan tetapi kalian tidak percaya dan memaksa naik mengotori tempat kami yang suci. Demi nama Buddha yang penuh welas asih, kami selalu akan menolong orang orang baik dan memelihara nyawa binatang binatang yang tak berdosa. Namun siluman siluman seperti kalian ini yang selalu merusak dan membunuh, harus kami basmi!"

   Siang Cu memang berwatak keras. Tadinya ia merasa kasihan melihat tujuh orang hwesio tua ini dan berusaha untuk mendahului suhunya, menyelamatkan mereka dari keganasan tongkat suhunya yang lihai. Akan tetapi ketika ia mendengar ucapan ini, mendengar betapa suhunya dimaki siluman buntung dan dia sendiri dimaki siluman rase yang dalam dongeng suka menjelma menjadi wanita cantik, ia menjadi marah bukan main.

   "Bangsat tua bangka! Kepala gundulmu dan jubahmu hanya untuk kedok saja, ternyata kalian memang orang orang busuk yang sudah bosan hidup. Kalau ingin mampus, majulah!"

   Giok Seng Hosiang dan enam orang adik seperguruannya lalu menggerakkan senjata masing masing, menyerbu dengan marah sekali ke arah Siang Cu. Melihat gerakanmereka, gadis ini terkejut juga.

   Angin keras menyambar dari senjata toya yang dipegang oleh Giok Seng Hosiang dan lain lain hweso yang memegang pedang, golok dan tongkat, juga memiliki kepandaian yang Cukup tinggi.

   Siang Cu di samping kekejamannya, juga timbul kegembiraannya karena sebagai murid seorang pandai yang telah memiliki ilmu silat tinggi tidak ada kegembiraan yang lebih besar daripada menghadapi lawan yang tangguk!

   Maka segera ia menggerakkan pedangnya, melayang layang di antara sambaran senjata senjata dari tujuh orang hwesio itu.

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   

Pedang Naga Kemala Eps 9 Pedang Naga Kemala Eps 26 Pedang Naga Kemala Eps 11

Cari Blog Ini