Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 36


Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 36




   "Siu Hiang, untuk apa kau menangis? Kami orang tuamu mengawinkan engkau dengan Tong wangwe demi kebahagiaanmu dan kebahagiaan kita serumah tangga. Keadaan begini sukar dan suami mana yang lebih baik daripada Tong wangwe? Biarpun dia sudah agak lanjut usianya, namun boleh dibilang masih belum tua. Dia orang terkaya di kota Kim ke bun, dan kau akan berbahagia menjadi isterinya. Makan cukup pakaian indah, tinggal di gedung besar, dilayani oleh banyak pelayan. Mau apa lagi?" terdengar laki laki tua itu berkata dengan suara setengah membujuk setengah memaksa.

   Gadis itu hanya terisak saja, tak berani menjawab.

   "Siu Hiang, anakku yang manis," wanita tua itu ikut membujuk, "kalau kau menjadi isteri Tong wangwe, berarti kau telah menolong orang tuamu yang setiap waktu terancam bahaya kelaparan. Keadaan begini sukar, mendapatkan suami seperti dia sama dengan kejatuhan bulan purnama. Kalau kau menurut dengan baik baik, berarti kau menjadi seorang anak yang berbakti dan hidupmu akan berbahagia. Ataukah kau lebih suka menjadi anak yang tidak berbakti dan akhirnya menikah dengan seorang pemuda sini yang untuk mencarikan isi perutnya sendiri saja sudah sukar sekali? Apakah kau lebih suka melihat orang tuamu mati kelaparan?"

   Setelah berkata demikian ibu anak itu menangis. Siu Hiang makin sedih tangisnya dan memeluk ibunya. Dengan suara terputus putus ia hanya dapat berkata,

   "Ibu...... aku tidak ingin menikah......"

   "Anak durhaka!" Si ayah marah marah. "Biar kau berkeras kepala dan aku akan bunuh diri kalau besok kau banyak rewel!" Selelah berkata demikian, orang tua itu. Lalu keluar dari kamar, menutup pintu keras keras dan menuju ke ruang depan untuk melayani para tamunya.

   Tinggal si ibu yang membujuk terus dan gadis itu hanya terisak perlahan, agaknya ia menyerah kepada nasib.
Bun Sam menghela napas panjang. Peristiwa yang ia lihat di dalam rumah kecil ini bukanlah hal baru dan aneh.

   Sudah banyak sekali terjadi hal demikian, yakni gadis petani petani miskin harus menikah dengan laki laki pilihan orang tua yang mendasarkan pernikahan itu karena melihat kekayaan calon mantu. Akan tetapi, di dalam pernikahan, orang tualah yang berhak menentukan, dia bisa berbuat apakah? Ia tidak berhak mencampuri urusan mereka. Dan dalam penyelidikan ini, ia terheran.

   Terang sekali bahwa baik orang tua maupun anaknya tidak tahu menahu tentang sepak terjang penjahat yang mengancam Ouw bin cu Tong Kwat. Kalau calon pengantin wanita tahu tidak nanti ia begitu putus asa dan berduka.

   Dengan demikian ia tidak dapat menyelidiki penjahat itu di tempat ini. Dan ia mendapat kenyataan pula bahwa dalam pernikahan ini, memang benar Ouw bin cu tidak mempergu nakan kekerasan. Pernikahan ini sah dan baik karena orang tua si gadis telah menyetujui, sungguhpun persetujuan ini berdasarkan keadaan calon mantu yang hartawan.

   "Lebih baik aku kembali ke Kim ke bun, siapa tahu kalau kalau penjahat itu sudah turun tangan." pikir Bun Sam yang mengkhawatirkan keadaan isterinya. Ia percaya bahwa kepandaian isterinya sudah cukup untuk menghadapi setiap orang penjahat, akan tetapi kasih sayang yang amat besar terhadap isterinya membuat ia merasa tidak enak kalau meninggalkan isterinya seorang diri untuk menghadapi lawan tangguh. Bun Sam cepat sekali berlari kembali ke kota Kim ke bun.

   "Demikian cepat? Bagaimana kabarnya?" tanya Sian Hwa ketika melihat suaminya sudah kembali lagi demikian cepatnya.

   "Di sana tidak ada apa apa," jawab Bun Sam. "Pernikahan biasa saja, hanya si gadis dipaksa oleh orang tua yang melihat tumpukan harta Ouw bin cu. Apakah penulis ancaman itu tidak muncul?"

   "Belum," kata Sian Hwa kesal. "Aku menunggu angin dingin saja di atas sini."

   "Kalau begitu marilah kita turun saja, kita lihat siapa saja di antara tamu tamu Ouw bin cu itu," kata Bun Sam yang merasa kasihan kepada isterinya.

   Turunlah mereka dengan gerakan ringan mengejutkan Ouw bin cu dan kawan kawannya yang tahu tahu melihat mereka telah berada di ruang tamu. Ouw bin cu segera menyambut mereka dengan penuh penghormatan dan mempersilahkan mereka duduk.

   "Bagaimana, taihiap? Apakah sudah berhasil?" tanyanya penuh harapan.

   Bun Sam menggeleng kepala. "Biar kami menanti datangnya pengancammu itu di sini."

   Ouw bin cu girang sekali dan segera berteriak menyuruh pelayan menghidangkan makanan dan arak.

   Kemudian ia memperkenalkan para tamunya kepada Bun Sam dan Sian Hwa. Sebagian besar daripada tamu tamu itu adalah orang orang kang ouw yang kasar, namun mereka sudah mengenal baik siapa adanya Thian te Kiam ong, maka mereka memandang dengan segan tidak berani bersikap kasar.

   Di antara mereka, yang menarik perhatian Bun Sam dan isterinya hanya dua orang yang cukup terkenal yakni Siauw giam ong Lie Chit yang dulunya seorang tosu, sekarang berobah menjadi seorang berpakaian mewah seperti hartawan pula, dan orang ke dua adalah Jeng jiu mo Thio Kim Si Iblis Tangan Seribu.

   Para pembaca tentu masih ingat bahwa Siauw giam ong Lie Chit adalah kawan dari Ouw bin cu dan mereka berdualah yang dahulu menuju ke Pulau Sam liong to dan kemudian tertawan oleh Lam hai Lo mo.

   Setelah keduanya, sebagaimana telah dituturkan di depan, berhasil minggat dari Sam liong to membawa harta dari dalam gua milik Lam hai Lo mo, keduanya menjadi hartawan hartawan besar dan melempar jauh jauh jubah tosu untuk kembali menjadi orang biasa yang kaya raya.

   Lie Chit juga menjadi hartawan dan tinggal di sebuah kota tak jauh dari Kim ke bun dan selalu dua orang ini masih mengadakan hubungan baik.

   Adapun Jeng jiu mo Thio Kim juga pernah pembaca kenal. Orang ini adalah tangan kanan dari Ciong Pak Sui atau Ciong Siauw ong ya, murid Pat jiu Giam ong yang tinggal di kota Ceng te dan yang gemar sekali memelihara kuda. Kalau kedatangan Siauw giam ong Lie Chit adalah sewajarnya untuk menghadiri pesta pernikahan sahabat baiknya, adalah kedatangan Thio Kim ini penuh rahasia.

   Dia telah mendengar dari Ciong Pak Sui bahwa dua orang bekas tosu ini dicari cari oleh Lam hai Lo mo. Thio Kim amat luas pergaulannya di dunia kang ouw, maka sebentar saja ia sudah dapat menemukan di mana bersembunyinya dua orang itu. Ia datang dan kebetulan di rumah Ouw bin cu sedang diadakan pesta pernikahan, maka ia berpura pura menghaturkan selamat.

   Padahal diam diam ia menjadi girang sekali karena selain Ouw bin cu, ia juga melihat Lie Chit. Inilah hasil yang amat besar baginya karena Ciong Pak Sui tentu akan girang sekali mendengar akan hal ini dan akan menyampaikan kepada Lam hai Lo mo yang telah menjadi sekutu Ciong Pak Sui.

   Sekarang, secara tidak terduga duga Thio Kim melihat pula Bun Sam dan Sian Hwa. Bukan main tegangnya hatinya. Ia berdebar dan menghaturkan selamat kepada diri sendiri yang begitu baik nasibnya sehingga tidak saja ia bisa mendapatkan dua orang yang telah menghia nati Lam hai Lo mo dan mencuri harta benda dari Sam liang to, bahkan ia kini bertemu pula dengan Thian te Kiam ong dan isterinya, dua orang yang di benci sekali oleh Lam hai Lo mo.

   Thio Kim tahu bahwa kalau dia bisa memancing suami isteri ini ke Pulau Sam liong to sehingga perkumpulan Sam hiat ci pai dapat menyerang mereka, jasanya akan besar sekali. Dia memutar otak dan sambil tersenyum ramah ia memberi hormat kepada Bun Sam dan Sian Hwa sambil berkata.

   "Siauwte Thio Kim sudah lama sekali mendengar nama besar Thian te Kiam ong suami isteri dan merasa berbahagia sekali dapat bertemu di sini. Kebetulan sekali belum lama ini siauwte juga mendapat penghormatan untuk bertemu dengan puteri taihiap yang gagah perkasa."

   Wajah Bun Sam dan Sian Hwa berobah, berseri dan penuh perhatian.

   "Saudara Thio yang baik, di manakah kau bertemu dengan puteri kami?" tanya Sian Hwa tidak sabar.

   "Dahulu siauwte bertemu dengan dia di kota Ceng te, akan tetapi puteri mu itu telah melanjutkan perjalanannya. Karena Siauwte tidak mendapat kesempatan bercakap cakap dengan puteri mu, maka tidak tahu ke mana dia pergi. Hanya Ciong Siauw ong ya yang tahu di mana dia berada karena Siauw ong ya yang bercakap cakap dengan nona Bun Sam itu."

   "Siapa itu Ciong Siauw ong ya?" tanya Bun Sam mengerutkan kening. Bagaimana puterinya dapat bercakap cakap dengan orang orang seperti Thio Kim ini?

   "Ciong Siauw ong ya bernama Ciong Pak Sui, seorang Pangeran penggemar kuda. Kebetulan sekali sekarang Ciong Siauw ong ya sedang berada di Ningpo. Kalau ji wi mau bertemu dengan dia, boleh Siauwte antarkan."

   Bun Sam mengangguk angguk dan bertukar pandang dengan Sian Hwa. Mereka tahu bahwa kota Ningpo adalah kota di sebelah timur Propinsi Cekiang, dekat dengan laut dekat pula dengan kepulauan di mana terdapat Pulau Sam liong to.

   Pada saat itu, Bun Sam mendengar sesuatu, ia memberi tanda dengan tangannya kepada semua orang agar menghentikan percakapan mereka. Pada saat itu, malam telah larut sekali dan tiba tiba Bun Sam berkata kepada Sian Hwa.

   "Isteriku, mari kita melihat ke atas. Saudara saudara harap jangan bergerak dan tinggal saja di sini. Biar kami berdua yang menyambut datang nya penjahat!"

   Semua orang terkejut, terutama sekali Ouw bin cu menjadi pucat. Mereka tidak mendengar sesuatu, bahkan sesungguhnya Sian Hwa sendiri belum mendengar sesuatu. Akan tetapi pendengaran Bun Sam luar biasa tajamnya dan pendekar ini sudah dapat mendengar tindakan kaki orang di atas genteng, masih agak jauh.

   Dengan tenang Bun Sam mengajak isterinya keluar dari ruang itu dan sekali melompat mereka telah berada di atas genteng. Keadaan gelap sekali karena di langit hitam tidak kelihatan bintang maupun bulan. Hanya sedikit sinar penerangan lampu yang menerobos dari celah celah genteng saja yang membuat mereka masih dapat melihat ke depan.

   Tiba tiba mereka melihat bayangan berkelebat, pesat sekali. Di dalam gelap mereka tidak dapat melihat wajah bayangan itu, yang mereka ketahui hanya bahwa bayangan itu bertubuh kecil langsing. Bun Sam sebagai seorang pendekar besar tidak suka bersembunyi, maka ia segera melompat keluar menghadang kedatangan bayangan itu.

   Bayangan tadipun sudah melihatnya, dan tanpa banyak cakap lagi bayangan itu lalu menubruk maju sambil melakukan serangan dengan pukulan keras ke arah dada Bun Sam! Keadaan gelap sekali sehingga Bun Sam tidak sempat melihat pukulan apakah yang dilakukan oleh lawan ini, namun dengan sigapnya ia mengelak sambil membentak,

   "Penjahat ganas, siapakah kau begitu tidak tahu aturan? Sebelum mengadu kepandaian, kau mengaku dulu siapa kau dan apa maksudmu melakukan pemerasan terhadap Ouw bin cu!"

   Sebelum Bun Sam menghabiskan kata kata nya bayangan itu sudah tersentak kaget dan melompat jauh sambil berseru,

   "Hayaaa".!" Kemudian tanpa berkata apa apa lagi bayangan ini lalu melarikan diri. Bun Sam menjadi terheran dan juga penasaran.

   "Hayo kita kejar dia!" serunya kepada Sian Hwa yang juga merasa aneh.

   Kedua suami isteri ini lalu mengerahkan tenaga mengejar bayangan itu yang berlompat lompatan dari genteng rumah ke genteng rumah yang lain. Larinya begitu gesit dan cepat sehingga di dalam gelap, sukar bagi Bun Sam dan Sian Hwa untuk menyusulnya.

   Agak jauh dari rumah Ouw bin cu, bayangan itu melompat turun ke atas seekor kuda yang sudah ditunggangi orang, kemudian kuda yang kini dinaiki oleh dua orang ini membalap luar biasa cepatnya! Hanya terdengar derap kaki kuda dan sebentar saja kuda itu telah menghilang ke arah utara dengan kecepatan seperti setan. Kebetulan sekali larinya kuda melewati rumah penginapan, maka Bun Sam cepat mengeluarkan kudanya pek hong ma dan berkata kepada Sian Hwa,

   "Isteriku, kau tunggu saja di penginapan, biar aku menyusul mereka!" Ia lalu membalapkan Pek hong ma dan sebentar saja ia telah keluar dari kota, melalui pintu gerbang utara. Jalan ini menuju ke sebuah bukit berhutan lebat, dan Bun Sam tidak melihat seekor pun kuda atau seorang manusia di tengah malam buta itu. Akan tetapi ia tetap penasaran dan melanjutkan pengejarannya.

   Setelah tiba di luar hutan, Bun Sam menjadi bingung. Hutan itu gelap sekali, tak mungkin ia masuk hutan yang asing baginya ini dengan berkuda. Tiba tiba ia mendengar suara kuda meringkik tak jauh dan situ, maka ia lalu melompat turun dari kudanya, menepuk nepuk pundak Pek hong ma sambil berkata,

   "Kautunggu di sini, Pek hong ma dan jangan bersuara!"

   Dengan cepat Bun Sam lalu berlari memasuki hutan menuju ke arah suara kuda meringkik tadi. Tak lama kemudian ia melihat sebuah kuil tua di dekat pinggir hutan, dan dari dalam kuil terlihat penerangan. Juga seekor kuda ditambatkan pada pohon oi luar kuil. Kuda itu ternyata cerdik sekali karena begitu mencium bau orang asing, ia lalu berbunyi keras sekali.

   "Ang ho ma, kau kenapakah?" terdengar suara halus seorang laki laki yang keluar dan pintu kuil, lalu menepuk nepuk leher kuda itu. Bun Sam menyelinap dan bersembunyi di balik pohon. Setelah laki laki itu masuk kembali ke dalam kuil, ia lalu melompat dan mendekati kuil, mengintai dan sebuah jendela yang sudah rusak.

   Ketika ia mengintai ke dalam, tiba tiba wajah pendekar besar ini berobah, sebentar pucat sebentar merah, ia melihat seorang gadis cantik duduk di atas bangku bobrok, dan laki laki itu adalah seorang pemuda tampan dan halus, berpakaian seperti seorang sasterawan.

   "Yang moi (adik Yang), kau kenapakah berlari lari seperti dikejar setan tanpa memberi penjelasan? Aku sampai kaget setengah mampus! Apakah yang terjadi?" terdengar laki laki itu bertanya.

   Gadis yang dikenal oleh Bun Sam sebagai puterinya sendiri, yakni bukan lain adalah Siauw Yang menjawab,

   "Kau tidak tahu aku bertemu dengan....dengan""

   "Dengan siluman?" tanya pemuda itu yang tentu saja bukan lain adalah Liem Pun Hui!

   "Hush, jangan bicara sembarangan, suheng! Aku bertemu dengan ayah dan ibu!"

   "Lho, kalau bertemu dengan mereka, mengapa terkejut?"

   Pada saat itu, Bun Sam tak dapat menahan kesabarannya lagi, sekali tendang saja daun jendela hancur dan ia melayang masuk.

   "Ayah!" seru Siauw Yang sambil bangkit berdiri, sedangkan Pun Hui kaget setengah mati ketika tiba tiba ia melihat seorang laki laki setengah tua yang berdiri dengan gagah dan menakutkan di depannya!

   "Siauw Yang, apakah kau sudah gila? Apa yang kaulakukan di sini, mengapa kau hendak merampok orang dan siapa pula orang muda ini? Jangan kau main gila, Siauw Yang!"

   Untuk beberapa lama Siauw Yang menentang pandangan mata ayahnya yang marah itu tanpa takut sedikitpun, kemudian ia tertawa berkikikan dengan geli sehingga Bun Sam menjadi heran sekali dan Pun Hui tunduk kemalu maluan, tidak tahu harus berbuat apa.

   "Ayah, selama hidup baru sekarang aku melihat ayah bingung, marah dan cemburu! Tidak terjadi apa apa yang luar biasa dengan anakmu, ayah. Bahkan ayah yang amat luar biasa, tidak biasa ayah membantu orang jahat!"

   "Apa maksudmu? Katakan lekas, dan siapa orang ini?"

   "Jangan salah sangka yang bukan bukan, ayah. Dia ini adalah Liem suheng, bernama Liem Pun Hui. Dialah murid dan supek Yap Thian Giok." Sementara itu. Pun Hui yang sudah dapat menenangkan pikiran dan tahu dengan siapa ia berhadapan, segera menjatuhkan diri berlutut dan berkata lemah lembut,

   "Teecu Liem Pun Hui menghaturkan hormat kepada susiok (paman guru)."

   Bun Sam memandang tajam kepada pemuda itu dan sekilas pandang saja tahulah dia bahwa pemuda itu adalah seorang terpelajar dan memiliki watak yang baik.

   "Bangunlah, biarkan aku mendengarkan penuturan anakku yang nakal itu."

   "Ayah, Ouw bin cu adalah seorang jahat, bagaimana ayah bisa membantunya?"
"Bagaimana pula kau bisa bilang dia seorang jahat? Di dalam urusan pernikahannya dengan Siu Hiang, dia tidak melakukan sesuatu yang jahat," kata Bun Sam, akan tetapi ia segera menyambung nya, "Ibumu menanti nanti di rumah penginapan dengan hati cemas. Lebih baik kita pergi ke sana dan kau boleh menceriterakan semua pengalamanmu kepada kami."

   Siauw Yang tertawa tawa lagi dengan gembira. Pertemuan dengan ayahnya ini benar benar menggembirakan hatinya.

   "Mari, Liem suheng, kau ikut dengan kami."

   Akan terapi biarpun masih muda, Pun Hui memiliki pikiran luas.

   "Tak usah, sumoi. Biarlah aku menanti di sini saja. Pertemuanmu dengan kedua orang tuamu amat penting dan kau tentu akan bercakap cakap banyak persoalan dengan susiok dan susiok bo, tak boleh aku mengganggu."

   Kembali Bun Sam suka mendengar ucapan ini. Namun Sian Hwa tidak tega meninggalkan Pun Hui seorang diri, maka desaknya, "Tidak apa, suheng. Marilah kau ikut, tidak baik seorang diri di tempat sunyi ini."

   "Biarlah, Siauw Yang Kalau perlu, besok pagi kita boleh mengajaknya pergi dari sini," kata Bun Sam.

   "Nah, sumoi, aku menurut dan setuju sekali dengan usul susiok."

   Terpaksa Siauw Yang lalu pergi dengan Bun Sam. Ayah dan anak ini lalu naik kuda berendeng menuju ke kota Kim ke bun. Seperti juga suaminya, Sian Hwa menyambut Siauw Yang dengan terheran heran.

   "Kau". Siauw Yang?" Kegirangan Sian Hwa bercampur kekhawatiran ketika ia memandang kepada suami dan puterinya.

   "Mari kita ke dalam dan mendengarkan penuturan Siauw Yang," kata Bun Sam.
Siauw Yang memeluk ibunya dan mengajak ibunya masuk ke kamar penginapan.

   "Ada kesalahan faham antara aku dan ayah, ibu. Kesalah fahaman dalam urusan Ouw bin cu si Bandot tua."

   Kemudian, setelah mereka berada di dalam kamar, Siauw Yang menceriterakan semua pengalamannya. Banyak sekali pengalamannya itu, dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dia menceritakan tentang pertemuannya dengan Liem Pun Hui, tentang tertawannya oleh Tung hai Sian jin dan puteranya, dan bagaimana akhirnya ia bisa meloloskan diri dari ayah dan anak yang jahat itu.

   "Bangsat benar Tung hai Sian jin, kalau bertemu tentu akan kuketok kepalanya. Berani sekali dia menghina puteriku!" kata Bun Sam marah marah mendengar penuturan Siauw Yang itu.

   (Lanjut ke Jilid 45)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 45
Siauw Yang juga menceritakan tentang pertemuannya dengan Ciong Pak Sui murid Pat jiu Giam ong, tentang kuda Ang ho ma dan semua hal yang pernah dialaminya. Kedua orang tuanya mendengarkan dengan hati tertarik.

   "Yang hebat sekali, ayah. Ternyata bahwa Lam bai Lo mo masih hidup, kini makin jahat dan liar. Ia merajalela bersama seorang murid perempuannya. Kata orang, biarpun kini Lam hai Lo mo hanya berkaki satu, namun ia jauh lebih lihai daripada dahulu."

   "Berkaki satu?" Bun Sam saling pandang dengan isterinya. Teringat mereka akan isi surat dari Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luile yang menceritakan bahwa puteri mereka diculik oleh seorang kakek berkaki satu yang juga membunuh mereka.

   Siauw Yang lalu menceritakan penuturan Pun Hui tentang murid Lam hai Lo mo yang lihai, kemudian ia juga menceritakan penuturan Pun Hui bahwa Tek Hong kakaknya telah pula menyusul ke Sam liong to dan kemudian pergi untuk pulang ke Tit le minta bala bantuan.

   Mendengar semua ini, Bun Sam dan Sian Hwa menjadi lega karena sedikitnya mereka sudah mendengar bahwa putera merekapun selamat.

   "Dan bagimana tentang urusan Ouw bin cu ini? Mengapa kau hendak merampoknya dan hendak menghalangi pernikahannya?" tanya Bun Sam.

   Siauw Yang tertawa. "Ayah tentu sudah melihat tulisan di tembok dalam rumah Ouw bin cu itu. Itulah tulisan Liem suheng, ayah."

   "Hm, coba ceriterakan yang jelas."

   "Aku dan Liem suheng dalam perjalanan hendak ke Tit le, dan di luar kota Kim ke bun ini, kami melihat seorang pemuda petani hendak membunuh diri dengan jalan menggantung diri di pohon pinggir hutan itu. Kami menolongnya dan setelah bertanya, dia menceriterakan bahwa kekasihnya, yaitu Siu Hiang, dirampas oleh Ouw bin cu si bandot tua."

   "Bukan dirampas, melainkan dilamar dengan baik baik," membela Bun Sam.

   "Tentu saja begitu menurut ceritanya sendiri, ayah. Mana seorang maling mau mengakui perbuatannya yang busuk?"

   "Tidak demikian, Siauw Yang. Aku sudah menyelidiki ke dusun Kan si dan mendengar percakapan antara Siu Hiang dan orang tuanya. Pernikahan itu adalah atas persetujuan orang tuanya dan kuanggap sudah sepatutnya kita tidak mencampuri urusan orang lain dalam hal pernikahannya."

   "Ayah baru mendengar sedikit tidak tahu banyak," membantah Siauw Yang "Memang cara Ouw bin cu bekerja amat licin dan busuk. Ayah tidak tahu rupanya. Orang tua Siu Hiang bukanlah orang tua sebenarnya, melainkan orang tua pungut yang memelihara Siu Hian semenjak kecil karena orang tua Siu Hiang tewas dalam bencana kelaparan. Mereka itu menjual Siu Hiang untuk sebidang tanah dan sedikit uang, dan sebetulnya semenjak kecil Siu Hiang telah ditunangkan dengan petani itu. Apa yang dilakukan oleh Ouw bin cu? Untuk memutuskan pertunangan itu, ia telah merampas sawah pemuda itu yang tak berdaya, kemudian mengusir pemuda itu dari kampungnya. Siapa berani melawannya? Selain kaya raya, juga ia berkepandaian tinggi. Dalam pandangan umum, memang agaknya Ouw bin cu melamar secara baik baik, namun yang menjadi persoalannya, pernikahan paksa itu sama dengan pernikahan seekor domba untuk disembelih. Karena itulah maka aku turun tangan, ayah. Aku bersama Liem suheng pergi ke rumah Ouw bin cu, aku yang menotok mereka dan Liem suheng yang menuliskan ancaman di tembok. Malam ini aku hendak menakut nakutinya dan hendak merampas uang agar dapat kuberikan kepada Siu Hiang dan tunanganaya, hendak kusuruh pergi jauh jauh membawa uang itu. Sayang datang ayah yang membantu Ouw bin cu..."

   Mendengar ini, Bun Sam dan Sian Hwa mengerutkan keningnya.

   "Hm, kalau begitu, marilah sekarang juga kita pergi kepada Ouw bin cu, minta supaya ia berlaku bijaksana dan membatalkan pernikahannya itu," kata Bun Sam.

   Siauw Yang menjadi girang dan mereka bertiga lalu malam malam pergi ke rumah Oaw bin cu. Waktu itu, fajar mulai menyingsing akan tetapi keadaan masih amat gelap, ketika mereka bertiga berlari cepat menuju ke rumah hartawan itu, tiba tiba dari depan berkelebat bayangan yang gesit sekali, yang berlari cepat bagaikan terbang.

   Bun Sam curiga dan membentak, "Siapa itu?"

   Akan tetapi bayangan itu tidak menjawab, melainkan mengelak ke kiri dan melanjutkan larinya, Bun Sam dan Sian Hwa tidak mau mengejarnya, hanya Siauw Yang yang berdarah panas, dan samping mengulurkan tangan hendak menangkap lengan pelari itu. Namun alangkah kagetnya ketika orang itu sekali menyampok telah dapat menangkisnya dan Siauw Yang merasa betapa sampokan itu kuat bukan main!

   "Kurang ajar, berhenti!" bentak Siauw Yang namun orang itu tidak melayaninya dan terus lari. Siauw Yang hendak mengejar akan tetapi ayahnya melarangnya.

   "Tak perlu mencari perkara, Siauw Yang. Kita tidak kenal dia dan tidak tahu apa yang dilakukannya. Jangan jangan kita mengganggu orang baik baik."

   Dengan gemas dan kecewa Siauw Yang membatalkan niatnya mengejar dan mengikuti kedua orang tuanya ke rumah Ouw bin cu. Akan tetapi, dari jauh saja sudah terlihat bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat di rumah itu.

   Terdengar orang sibuk ke sana ke mari, teriakan teriakan orang seperti mencari seorang maling, dan terdengar pula suara orang menangis.

   "Ah, apakah yang terjadi?" kata Bun Sam yang mempercepat larinya, diikuti oleh Sian Hwa dan Siauw Yang.

   Benar saja, kejadian hebat sekali menimpa rumah Ouw bin cu, dan terjadi baru saja. Ketika Bun Sam dan anak isterinya masuk, di ruang tamu menggeletak para tamu dalam keadaan mengerikan. Ada yang lengannya putus, ada yang kepalanya pecah dan darah mengalir di mana mana. Di antara para tamu, kelihatan Siauw giam ong Lie Chit menggeletak dengan leher putus!

   Bun Sam lari masuk dan di tengah ruangan menggeletak tubuh Ouw bin cu, juga dengan leher putus! Kemudian atas penuturan orang orang yang masih hidup, Bun Sam memandang ke arah dinding di mana terdapat tulisan darah :

   OUW BIN CU DAN SIAUW GIAM ONG PENGKHIANAT DAN PERAMPOK, KARENANYA HARUS MAMPUS!

   Tulisan itu halus seperti tulisan wanita, dan Bun Sam sedang bingung memikirkan hal ini, ketika muncul Jeng jiu mo Thio Kim dengan tubuh gemetar.

   "Aduh, taihiap, celaka besar. Kalau taihiap berada di sini tak mungkin terjadi hal sehebat ini...." Kemudian ia melihat Siauw Yang, wajahnya berobah dan ia berseru, "Ah, kiranya nona sudah berada di sini pula?"

   Siauw Yang mengenal Thio Kim, maka tanyanya, "Siapakah yang melakukan amukan ini? Hayo ceritakan!"

   Dengan wajah masih pucat, Thio Kim lalu berceritera.

   Ketika Ouw bin cu dan para tamu sedang makan minum dan bersenda gurau, tiba tiba terdengar bentakan,

   "Ouw bin cu manusia keparat, nonamu datang untuk mengambil nyawamu!" Dan entah dari mana datangnya, sesosok bayangan berkelebat dan tahu tahu seorang nona cantik berbaju merah telah berdiri di ruang itu dengan pedang di tangan.

   Ouw bin cu dan Siauw giam ong yang mengenal nona itu, menjadi pucat.

   "Nona Siang Cu...." teriak mereka perlahan.

   "Ha, Siauw giam ong, jahanam besar. Kau pun berada di sini? Kebetulan sekali!" Setelah berkata demikian, nona yang bukan lain dari Ong Siang Cu murid Lam hai Lo mo, menyerang dengan pedangnya. Siauw giam ong Lie Chit mengelak dan serentak Ouw bin cu dan kawan kawannya lalu maju menyerbu.

   Mereka mengira bahwa nona inilah yang telah meninggalkan surat ancaman di tembok. tetapi orang orang itu mana mampu menandingi Siang Cu. Dengan cepat sekali pedangnya mengamuk dengan ilmu pedangnya yang ganas dan liar sehingga tak lama pula terdengar pekik pekik kesakitan dan robohnya orang orang yang terluka hebat.

   Siauw giam ong mempertahankan diri sedapat mungkin, namun pedang yang berkilauan itu terus mengejarnya sampai pada suatu saat lehernya terbabat putus oleh pedang di tangan Siang Cu!

   Melihat hal ini, Ouw bin cu menjadi ketakutan dan berlari masuk. Akan tetapi, Siang Cu meninggalkan pengeroyoknya dan mengejar ke dalam, dan di ruang tengah ia berhasil memenggal leher Ouw bin cu pula.

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengan hati puas karena telah berhasil membunuh orang orang yang telah mengkhianati suhunya, Siang Cu lalu menuliskan kata kata itu di atas tembok, mempergunakan darah musuhnya sebagai tinta.

   "Demikianlah, nona Song dan taihiap berdua, yang melakukan pengamukan adalah nona Siang Cu murid Lam hai Lo mo sebagai pembalasan atas sakit hati Lam hai Lo mo terhadap dua orang itu."

   "Sakit hati yang mana? Bagaimana kau bisa tahu persoalan mereka?" tanya Bun Sam yang cerdik.

   Thio Kim terkejut dan merasa telah kelepasan omong. Akan tetapi dasar ia cerdik, maka ia berkata tanpa ragu ragu,

   "Dahulu kedua orang ini telah menjadi pelayan di Pulau Sam liong to. Pada suatu hari mereka minggat sambil membawa harta benda yang besar dari pulau itu. Hal ini siauwte ketahui karena pernah Lam hai Lo mo mampir di rumah Ciong siauw ong ya dan menuturkan hal tersebut."

   "Kau tahu di mana adanya Lam hai Lo mo jahanam tua itu?" tanya pula Bun Sam.

   "Siauwtte mana tahu! Akan tetapi kalau sam wi (kalian bertiga) mau mengunjungi tempat baru siauw ong ya di kota Ningpo, tentu siauw ong ya akan dapat memberi keterangan lebih jelas pula. Sam wi dapat datang sebagai tamu karena kebetulan sekali siauw ong ya sedang mempersiapkan pesta pernikahannya. Siauwte berlancang mewakili siauw ong ya untuk mengundang sam wi menghadiri pesta itu," kata Si Tangan Seribu dengan cerdik.

   Tidak saja ia mempergunakan nama Lam hai Lo mo untuk menarik perhatian, juga dengan ucapan ini ia memancing mereka agar datang di dekat pusat perkumpulan Sam hiat pai agar tiga orang berbahaya ini dapat ditewaskan!

   Sudah tentu Bun Sam tak dapat percaya omongan Thio Kim bahwa murid Pat jiu Giam ong itu mempunyai rasa persahabatan dengan dia, karena bukankah Pat jiu Giam ong dahulu tewas di dalam tangannya? Akan tetapi pendekar besar ini tidak merasa takut, karena memang ia ingin sekali mencari Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin untuk membikin perhitungan. Orang semacam Lam hai Lo mo memang amat berbahaya kalau masih hidup di dunia ini, sedangkan terhadap Tung hai Sian jin ia hendak membalas penghinaan yang dilakukan terhadap puteri nya.

   Setelah beristirahat karena semalam tidak tidur, pada siang harinya Bun Sam, Sian Hwa dan Siauw Yang diantar oleh Thio Kim berangkat menuju ke Ningpo, setelah menjemput Pun Hui yang masih menanti di dalam kuil di hutan itu.

   Perjalanan dilakukan dengan cepat. Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka tahu bahwa diam diam Thio Kim telah menyuruh seorang kakitangannya untuk berangkat lebih dulu tanpa penundaan dan berganti ganti kuda, untuk menuju ke Ningpo memberitahukan tentang kedatangan rombongan Thian te Kiam ong ini!.

   Memang betul seperti pernah dikatakan oleh Lam hai Lo mo kepada kawan kawannya dalam pembukaan perkumpulan Sam hiat ci pai di atas Pulau Sam liong to, bahwa Ciong Pak Sui atau yang biasa disebut Pangeran Ciong, telah mendapatkan peti rahasia berisi harta benda peninggalan Kaisar Jengis Khan. Peti ini adalah hasil rampasan dari dunia barat ketika Kaisar Jengis Khan menyerang ke barat dan isinya adalah benda benda terbuat daripada emas permata yang tak ternilai harganya.

   Sudah lama murid dari Pat jiu Giam ong ini memang mengandung cita cita untuk menggulingkan kedudukan kaisar dan hendak mengangkat diri sendiri menjadi kaisar, ia merasa telah cukup kuat, karena selain ia sendiri memiliki ilmu silat yang amat tinggi, juga ia mendapat bantuan orang orang pandai, ditambah pula dengan penemuan harta benda itu.

   Untuk memperkuat cita citanya, ia selain mengadakan hubungan dengan panglima panglima perang, kepala kepala pasukan yang di sogoknya dan dijadikan kaki tangannya, juga ia bersekongkol dengan supeknya Lam hai Lo mo di Pulau Sam liong to. Untuk maksud ini ia mempergunakan Pulau Sam liong to sebagai markas besar perkumpulan Sam hiat ci pai yang dibentuk oleh supeknya. Dan agar memudahkan hubungan pangeran ini lalu membeli rumah di kota Ning po di pantai utara sehingga mudah baginya untuk mengadakan kontak dengan Pulau Sam liong to.

   Agar orang tidak menaruh curiga kepadanya, maka semua pergerakannya ini diselimuti oleh kesukaannya mengumpulkan kuda kuda yang bagus sehingga kelihatannya ia pergi ke tempai itu hanya untuk mencari kuda dan sekalian berpelesir.

   Akan tetapi rencana besarnya itu tertunda bahkan ia tidak dapat datang menghadiri pembukaan perkumpulan Sam hiat ci pai sebagaimana telah dituturkan di bagian depan karena dalam perjalanannya menuju ke Ningpo itu, ia bertemu dengan seorang gadis yang luar biasa, ia demikian tertarik oleh gadis itu sehingga tiada hentinya ia berusaha untuk menarik gadis ini sebagai isterinya! Baru pertama kali ini di dalam hidupnya, pangeran berusia empatpuluh tahun yang terkenal mata keranjang dan mempunyai banyak sekali selir selir ini, benar benar jatuh cinta pada seorang gadis!

   Akhirnya jerih payahnya berhasil dan ia dapat menarik gadis itu menjadi isterinya dan pernikahannya akan dilangsungkan tak lama lagi. Kota Ningpo menjadi gempar karena pesta pernikahan yang akan diadakan oleh pangeran ini merupakan pesta yang luar biasa besarnya, melebihi ramainya pesta menyambut datangya tahun baru! Ciong Pak Sui tidak sayang membuang uang untuk pesta pernikahannya ini, sebagai tanda daripada kegirangan hatinya mendapatkan seorang isteri yang sudah lama diidam idamkannya.

   Tidak saja di ruang depan gedungnya yang amat luas, juga halaman depan yang lebar sekali itu dipasangi tetarup dan dihias mentereng sekali. Ratusan orang tamu dari jauh diundang, bahkan siapa saja yang berada di kota Ningpo boleh menghadiri pesta ini tanpa undangan!

   Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila penduduk berjejal jejal mendatangi Ningpo dan dusun dusun di kitarnya, hanya untuk menonton dan mendengarkan tetabuhan dan macam macam permainan yang diadakan untuk meramaikan pesta. Tiga hari sebelum pesta pernikahan dilangsungkan, siang malam telah diadakan pesta dan berbagai pertunjukan.

   Pangeran Ciong tidak mau menyia nyiakan waktu baik ini. Di samping mengundang sahabat sahabat jauh untuk menghadiri pernikahannya, juga ia ingin mengumpulkan banyak orang gagah untuk diajak bersekutu dalam melaksanakan cita citanya. Ia tahu bahwa orang orang gagah sedunia tidak suka dengan pemerintahan Goan tiauw yang dianggapnya pemerintah asing, dan kalau ia mengajak mereka untuk menumbangkan pemerintahan ini tanpa menyatakan akan kehendaknya menjadi kaisar, tentu ia akan mendapatkan banyak pembantu. Soal pengangkatan diri sendiri menjadi kaisar, adalah soal mudah setelah pemerintah dapat ditumbangkan!

   Akan tetapi, kebahagiaan yang besar dalam hati Ciong Pak Sui itu tiba tiba terganggu oleh datangnya pesuruh dari Thio Kim. Orang kepercayaannya ini sengaja diutus mewakilinya menghadiri pernikahan Ouw bin cu sekalian untuk mengundang kepada beberapa orang gagah di daerah itu.

   Sekarang, Thio Kim belum pulang dan tahu tahu seorang suruhannya datang membawa warta yang menggi rangkan namun berbareng amat mengagetkan Thian te Kiam ong dengan isteri dan puterinya akan datang.

   Kedatangan mereka bukan hanya untuk menghadiri pesta, akan tetapi terutama sekali untuk mencari Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin!

   Dalam kegugupannya, Pangeran Ciong cepat mendatangkan tokoh tokoh besar dari Pulau Sam liong to dan mengajak mereka berunding bagaimana baiknya untuk menghadapi orang orang gagah itu.

   "Isteri dan puterinya itu tak perlu dikhawatirkan," kata Tung hai Sian jin. Yang penting bagi kita adalah Thian te Kiam ong sendiri. Ilmu pedangnya bukan main lihainya."

   "Betapapun juga, kalau mereka itu maju bersama dengan Ilmu Pedang Tee coan Liok kiamsut sukar juga bagi kita akan dapat mengalahkannya," kata Lam hai Lo mo sambil mengerutkan keningnya. Kemudian, kakek yang lihai dan juga amat cerdik dan curang ini lalu berseri wajahnya yang buruk dan ia berkata,

   "Aku mendapat akal! Harus dilakukan siasat begini...." Ia lalu bicara kasak kusuk membentangkan siasatnya untuk memancing Song Bun Sam. Semua orang menyatakan setuju dan mengangguk angguk. Kemudian tokoh tokoh besar itu kembali ke Pulau Sam liong to dan pada pernikahan pangeran itu mereka tidak muncul.

   Pada pagi hari sebelum pesta itu dilangsungkan, datanglah rombongan Thian te Kiam ong. Ciong Pak Sui sendiri menyambut kedatangan mereka dengan wajah berseri. Tentu saja ia ber pura pura tidak mengenal Song Bun Sam dan isterinya, melainkan langsung menyambut Song Siauw Yang.

   "Aduh angin manakah yang meniupmu ke sini, nona Song? Pesta pernikahanku menjadi lebih meriah dan berbahagia dengan kehadiranmu di sini. Ia menengok kepada Pun Hui yang berdiri dengan tenang, lalu menjura dan berkata kepada pemuda itu, "Selamat datang, Liem taihiap. Aku akan girang sekali kalau dapat melayanimu bermain catur lagi!"

   "Banyak lain hal yang lebih penting daripada bermain catur, Pangeran Ciong," jawab Pun Hui tenang. Jawaban pemuda ini sebenarnya hendak menyatakan bahwa tidak pantas bermain catur di waktu tuan rumah merayakan hari pernikahannya, akan tetapi oleh Ciong Pak Sui diterima keliru.

   Disangka oleh pangeran ini bahwa Pun Hui menyindirkan bahwa di sana ada hal hal lebih penting lagi, seperti misalnya mencari Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin. Sampai saat itu, Pangeran Gong masih menganggap bahwa ilmu silat dari pemuda sasterawan ini tentu jauh lebih tinggi diri kepandaian nona Siauw Yang yang sudah begitu lihai.

   Sambil memandang kepada Bun Sam dan Sian Hwa, Ciong Pak Sui pura pura bertanya, "Dan ini siapakah dua orang sahabat yang gagah perkasa yang datang bersamamu, nona Song?"

   Dengan suara bangga, Siauw Yang memperkenalkan kedua orang tuanya. "Mereka inilah ayah bundaku, Pangeran Ciong, harap diperkenalkan!"

   Ciong Pak Sui mengangkat kedua tangan dan menepuk kepalanya. "Ah, sungguh kurang hormat. Gunung Thai san menjulang tinggi di depan mata, masih tidak mengenalnya. Thian te Kiam ong dan isterinya yang tersohor di seluruh kolong langit. Maaf, maaf, taihiap berdua." Kemudian ia pura pura marah kepada Thio Kim yang berdiri di pinggir.

   "Thio Kim, bagaimanakah kau ini? Datang tamu agung tidak lekas lekas memberitahukan?" Dengan sikap amat menghormat ia kembali memandang kepada Bun Sam dan Sian Hwa, lalu berkata dengan senyum membayang di belakang kumisnya yang gagah.

   "Selamat datang Thian te Kiam ong, selamat datang di rumahku yang buruk. Sudah lama siauwte mengenal nama taihiap, pendekar terbesar yang telah menjatuhkan banyak sekali jago jago silat, diantaranya suhuku sendiri sudah roboh di tanganmu." Kemudian, melihat pandang mata Bun Sam menajam, ia cepat cepat mengalihkan pandangan kepada Sian Hwa dan menjura.

   "Dan inikah pendekar wanita yang sesungguhnya masih suciku sendiri? Selamat datang, selamat datang, mari silahkan duduk di kursi kehormatan." Ia mempersilahkan mereka duduk di tengah tengah ruangan, di tempat yang agak tinggi.

   Memang ia sengaja menyediakan tempat untuk mereka ini, namun sengaja pula ia membawa Pun Hui dan Bun Sam di tengah tengah ruang bagian tamu laki laki sedangkan Siauw Yang dan ibunya duduk di tengah tengah ruangan bagian tamu wanita. Semua orang memandang kepada rombongan ini dengan penuh perhatian karena kawan kawan Ciong Pak Sui yang hadir di situ telah mendapat bisikan terlebih dahulu dan tuan rumah bahwa musuh besar akan datang di tempat itu.

   Sian Hwa yang memang berhati lemah lembut, merasa terharu menyaksikan keramahtamahan Ciong Pak Sui dan diam diam ia memuji tuan rumah ini yang memang benar masih terhitung sutenya sendiri karena pangeran ini adalah murid Pat jiu Giam ong. Bagi nyonya ini yang sudah biasa bergaul dengan golongan bangsawan, tidak kikuk kikuk lagi dan merasa senang.

   Sebaliknya, Bun Sam merasa tidak enak hati. Bukankah baru saja tuan rumah memperkenalkan dia sebagai pembunuh gurunya? Dan tuan rumah agaknya sama sekali tidak menaruh sakit hati, bahkan demikian ramahnya.

   Ciong Pak Sui sengaja menyuruh selir selirnya untuk melayani Sian Hwa dan Siauw Yang, adapun dia sendiri melayani Bun Sam dan Pun Hui. Pernikahan dilangsungkan beberapa jam lagi, karena waktunya belum tiba.

   "Maaf, Pangeran Ciong. Sesungguhnya biarpun kami amat berterima kasih atas undanganmu yang disampai kan oleh saudara Thio Kim, akan tetapi kami sebenarnya mempunyai lain urusan yang lebih penting. Kedatangan kami ini hendak minta pertolonganmu, yakni menunjukkan kepada kami di mana adanya Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin. Aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Menurut keterangan Thio Kim, kau tahu tempat tinggal mereka."

   Ciong Pak Sui pura pura kaget. "Ah, lancang benar Thio Kim! Bagaimana aku tahu tempat tinggal mereka? Memang benar, Lam hai Lo mo adalah supekku dan tak salah kalau kukatakan bahwa mungkin ia berada di Pulau Sam liong to, akan tetapi bagaimana aku bisa tahu tempat tinggal Tung hai Sian jin?"

   "Tidak apa, Pangeran Ciong. Kalau kau mengetahui tempat tinggal Lam hai Lo mo, bagiku sudah cukup. Benarkah dia berada di Pulau Sam liong to?" tanyanya ragu ragu karena dari Siauw Yang ia mendapat keterangan bahwa pulau itu sudah kosong.

   "Mungkin sekali, taihiap. Siapa mengetahui tempat tinggal yang tetap dan supek yang suka berkelana? Akan tetapi, dia tentu datang di kota ini, karena sudah kuundang. O ya, mengapa sampai sekarang ia belum juga datang? Eh, Thio Kim!" ia memanggil pembantunya ini. "Tanyakan kepada penjaga di luar kalau kalau ia telah melihat supek datang."

   Thio Kim menjawab lalu keluar. Tak lama lagi ia datang bersama seorang pelayan yang bertugas menjaga pintu depan. Pelayan itu dengan takut takut memberi hormat dan berkata, "Siauw ong ya, mohon beribu maaf. Memang ada datang seorang pesuruh dari Lam hai Lo mo cianpwe menyerahkan sebuah surat untuk siauw ong ya."

   "Bodoh, mengapa sejak tadi tidak kauberikan kepadaku?" Ciong Pak Sui membentak.

   "Hamba melihat siauw ong ya asyik bercakap cakap dengan tamu agung, maka hamba tidak herani mengganggu."

   "Lekas ke sinikan suratnya!"

   Setelah memberikan surat itu, pelayan dan Thio Kim lalu pergi, sesuai dengan rencana mereka. Pangeran itu membuka surat dan membaca beberapa baris tulisan yang seperti cakar ayam, dan wajahnya berobah.

   "Bagaimana, Pangeran Ciong? Apakah dia akan datang?" tanya Bun Sam tak sabar melihat perobahan muka itu.

   Ciong Pak Sui menggeleng gelengkan kepala.

   "Ah, celaka.... Mari, bacalah sendiri suratnya, taihiap" Ia memberikan surat itu kepada Bun Sam yang segera mebacanya.

   "LAM HAI LO MO MELIHAT THIAN TE KIAM ONG, MENANTANG DIA DATANG KE PULAU SAM LIONG TO. KALAU DIA BUKAN SEORANG PENGECUT DIA AKAN DATANG SENDIRI TIDAK BERKAWAN."

   LAM HAI LO MO

   Merah wajah Bun Sam dan sepasang matanya mengeluarkan sinar marah.

   "Iblis tua, kau kira aku takut padamu?" katanya perlahan.

   "Taihiap, untuk apa melayani kehendak supek yang sudah tua dan suka berlaku seperti anak kecil? Harap kau bersabar dan jangan menurutkan nafsu hati." Pangeran Ciong pura pura menghibur dan mencegah kemarahan Bun Sam.

   "Aku harus pergi ke sana sekarang juga. Perkenankan aku bicara sebentar dengan anak isteriku."

   Ciong Pak Sui lalu mengiringkan Pun Sam menuju ke dalam dan Sian Hwa dipanggil bersama Siauw Yang,. Pun Hui dari tempat duduknya memandang dengan penuh perhatian dan gelisah, tidak tahu apa yang telah terjadi.
Bun Sam memberikan surat kepada Sian Hwa dan Siauw Yang.

   "Ayah, mari kita menyerbunya ke sana!" seru Siauw Yang dengan marah sekali.

   "Tidak, Siauw Yang Aku harus pergi sendiri, tidak sudi aku disangka pengecut!"

   "Akan tetapi, orang tua itu penuh akal busuk. Bagaimana kalau dia menjebakmu?" kata Sian Hwa dengan hati hati.

   Bun Sam tersenyum. "Percayakah kau bahwa iblis tua itu akan mampu menjebak aku? Tenanglah dan kau bersama Siauw Yang dan Pun Hui duduklah saja di sini menghormati pernikahan Pangeran Ciong. Aku takkan pergi lama asal saja aku bisa mendapatkan perahu yang baik."

   "Jangan khawatir, taihiap. Tentang perahu biar Thio Kim yang menyediakan. Sebetulnya kalau bisa, aku sendiri mengharap agar jangan taihiap melakukan keributan di sana, akan tetapi aku sebagai orang luar tentu saja tidak berhak mencampuri urusan ini. Percayalah, isteri dan puterimu serta muridmu akan aman di sini dan akan dilayani baik baik sebagaimana mestinya."

   Ciong Pak Sui lalu memanggil Thio Kim dan kepada orang kepercayaannya ini ia berpesan agar menyediakan segala keperluan Thian te Kiam ong untuk menyeberang ke Pulau Sam liong to. Setelah berpamitan kepada anak isterinya, Bun Sam lalu keluar diantar oleh Thio Kim. Sian Hwa memandang dengan penuh kecemasan, sedangkan Siauw Yang memandang dengan penuh kekecewaan karena tidak boleh ikut.

   Ketika mereka kembali ke tempat duduk mereka, telah terjadi hal yang cukup menarik. Pun Hui yang kini duduk seorang diri di antara semua tamu laki laki, tiba tiba melihat seorang gadis baju merah memasuki ruang tamu dan langsung duduk di antara para tamu wanita.

   Berobah wajah Pun Hui melihat gadis ini, karena dia mengenal gadis itu bukan lain adalah Ong Siang Cu, murid Lam hai Lo mo! Akan tetapi di dalam tempat itu, ia harus berbuat apakah? Ia ingin memberi ingat kepada Siauw Yang, akan tetapi tidak pantas sekali kalau ia seorang tamu laki laki pergi menjumpai seorang tamu wanita di kelompok wanita itu! Maka ia hanya duduk dengan hati berdebar dan ia memperhatikan Siang Cu yang duduk hampir tidak kelihatan di antara tamu tamu wanita.

   Mari kita ikuti perjalanan Song Bun Sam, pendekar perkasa yang gagah berani itu. Benar saja, Thio Kim dapat mempersiapkan sebuah perahu yang amat baik, yang telah ada di pinggir laut. Bun Sam lalu mendayung perahunya ia telah tahu dari Siauw Yang arah dari pulau pulau Chousan itu dan tahu di mana adanya Pulau Sam liong to.

   Cuaca bersih sekali dan ombak tidak ada. Laut tenang seperti air telaga. Bun Sam mendayung perahunya cepat cepat dan tidak menghiraukan cahaya matahari yang mulai naik tinggi. Hatinya penuh gairah, ingin sekali ia lekas lekas bertemu muka dengan musuh besarnya. Selain hendak membinasakan manusia berbahaya itu, juga ia hendak memaksanya mengaku tentang pembunuhan yang dilakukan oleh kakek itu kepada Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee, menculik puteri mereka. Apakah puteri itu yang kini menjadi muridnya seperti yang diceriakan oleh Pun Hui?

   Dengan pukulan dayung yang luar biasa kuatnya, sebentar saja Bun Sam telah melewati "barisan batu karang" yang amat berbahaya. Namun bagi Bun Sam, halangan ini dianggapnya remeh belaka. Setiap kali perahunya hendak membentur bukit karang, dengan dayungnya ia dapat menolak karang itu dan membuat perahunya meluncur terus, berlenggak lenggok melalui batu batu karang yang berbahaya itu.

   Kemudian serombongan ikan hiu menyerangnya. Namun dengan tenang sekali Bun Sam mencabut pedang dan sekali tubuhnya menyambar, empat ekor ikan hiu putus kepalanya dan tubuh mereka mengambang di permukaan laut menjadi keroyokan kawan kawannya! Bun Sam mendayung terus, kini terlihat olehnya deretan pulau pulau kecil. Dengan hati mantap ia mendayung perahunya ke kanan, menurut petunjuk dan Siauw Yang karena puterinya itu sudah berpengalaman di atas laut kepulauan ini.

   Pulau ke tujuh di sebelah kiri Pulau Kura kura, pikir Bun Sam. Setelah melihat adanya sebuah pulau berbentuk Kura kura, ia lalu membelok ke kiri, menuju pulau ke tujuh di sebelah kiri pulau itu.

   Setelah perahunya tiba di dekat Pulau Sam liong to, tiba tiba Bun Sam melihat dua benda mengambang di permukaan laut. Tertimpa sinar matahari, dua benda itu terlihat seperti dua ekor ikan kehitaman dan ketika ia mendayung perahunya mendekat, tenyata bahwa dua benda itu adalah dua".. mayat manusia! Ia terkejut sekali dan cepat mendekatkan perahunya.

   Setelah perahunya menyentuh dua mayat itu, hampir baja Bun Sam menjerit. Mayat mayat itu bukan lain adalan jenazah jenazah dan Mo bin Sin kun dan Yap Than Giok!

   "Suthai! Thian Giok.... Bagaimana kalian sampai menjadi seperti ini".?" Dengan air mata bercucuran Bun Sam mengangkat dua jenazah yang sudah hampir rusak semua pakaiannya itu ke dalam perahunya secepat mungkin ke pulau itu.

   Setelah menyeret perahunya ke atas pulau, Bun Sam lalu memondong dua jenazah itu ke tengah pulau, tanpa memperdulikan sekelilingnya, ia tidak takut akan serangan gelap, karena seluruh perhatiannya dicurahkan kepada dua jenazah itu. Satelah mencari tempat yang baik, ia lalu menggali tanah untuk mengubur jenazah jenazah itu.

   Bun Sam bekerja keras, tidak memperdulikan banyak pasang mata yang mengintainya dan balik balik batu karang dan pohon. Bukan dia tidak tahu bahwa ada orang lain yang mengintai, namun ia hendak menyelesaikan pekerjaan ini lebih dahulu. Dadanya terasa panas membakar, karena ia dapat menduga siapakah yang telah membunuh dua orang yang ia sayang ini.

   "Lam hai Lo mo, tunggulah saja kau...." berkali kali bibirnja bergerak gerak mengancam.

   Bun Sam merasa heran ketika hendak mengubur kedua jenazah itu, ia melihat tanda tapak tiga jari merah di atas jidat mereka. Tanda apakah itu? Namun dengan hati ngeri ia dapat mengerti bahwa tanda itu ditimbulkan oleh pukulan tiga jari tangan yang mempergunakan tenaga lweekang mujijad dan warna merah itu akibat dari semacam racun jahat yang dipergunakan pada jari jari yang memukulnya!

   "Jahanam benar, siapa lagi kalau bukan Lam hai Lo mo yang dapat mempergunakan ilmu sejahat ini?" katanya di dalam hati, kemudian dengan penuh hormat ia mengubur dua jenazah itu ke dalam dua lubang yang dibuatnya.

   Baru saja ia selesai menimbuni lobang lobang itu dengan tanah, terdengar suara ketawa seperti ringkik kuda, akan tetapi Bun Sam tetap tidak gentar dan melanjutkan menimbuni tanah kuburan itu dengan tenang.

   Tiba tiba berlompatan beberapa orang dari balik batu karang dan pohon pohon, dan mereka ini dengan sikap mengancam lalu mengurung Bun Sam yang masih berlutut di depan kuburan Mo bin Sin kun sebagai penghorma tan terakhir.

   "Ha, ha, ha, Song Bun Sam. Jangan menghentikan pekerjaanmu, kau masih harus menggali dua lobang lagi. Ha, ha, hi, hi, hi,!" terdengar seorang di antara mereka ketawa besar. Ia ini adalah Lam hai Lo mo si kakek buntung yang pada saat itu wajahnya lebih menyeramkan lagi daripada biasanya sehingga kawan kawannya sendiri menjadi ngeri melihatnya.

   Dengan tenang dan perlahan Song Bun Sam bangkit dan berlutut. Sepasang matanya melirik ke kanan kiri seperti seekor harimau terkurung. Sepasang mata yang tajam ini sekarang seakan akan mengeluarkan cahaya berani sehingga setiap orang yang dipandangnya menjadi bergidik.

   Bun Sam memutar tubuhnya lambat lambat dari kiri ke kanan sambil menatap wajah orang orang yang mengurungnya seorang demi seorang, ia pertama tama melihat wajah Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat, dan wajah pendekar besar ini bersinar girang dan juga gemas, girang karena tak disangkanya ia menemukan dua orang yang telah menghina puterinya, dan gemas karena ternyata bahwa Tung hai Sian jin dan puteranya telah bersekutu dengan Lam hai Lo mo pula.

   Kemudian ia melihat seorang musuh besar lain, yakni Sam thouw hud didampingi oleh seorang hwesio lain yang belum dikenalnya. Hwesio itu sesungguhnya adalah Ang tung hud, yang memegang tongkatnya yang lihai, Sam thouw hud telah pula bersiap dengan sepasang senjatanya, yakni Kim liong pang dan kebutan, sedangkan Tung hai Sian jin juga sudah memegang tongkat kepala naganya, Eng Kiat biarpun merasa gemar melihat Thian te Kiam ong, namun pemuda ini sudah mencabut pedangnya.

   Pandangan mata Bun Sam terus memutar ke kanan dan ia melihat lima orang tua. Ia tidak tahu bahwa lima orang tua ini bukan lain adalah See San Ngo sian, lima orang dewa dari Tibet yang semua mengenakan jubah hijau. Paling akhir pandangan matanya bertemu dengan Lam hai Lo mo sendiri diam diam Bun Sam bergidik.

   Tak disangkanya bahwa Lam hai Lo mo masih hidup dan kini melihat musuh besar yang seakan akan bangkit kembali dan kubur itu, ia merasa ngeri juga. Wajah kakek ini sudah rusak dan sebelah kakinya buntung, namun kakek itu masih menyeringai menyeramkan dan wajahnya membayangkan kekejaman yang lebih hebat dari pada dahulu.

   Akan tetapi yang membuat wajah Bun Sam seketika menjadi pucat sekali adalah ketika ia melihat seorang pemuda terbelenggu dan dipegang lengannya oleh kakek buntung ini, karena pemuda itu bukan lain adalah puteranya sendiri, Song Tek Hong! Biarpun keadaannya tidak berdaya sama sekali namun pemuda ini masih kelihatan bersemangat dan tidak gentar sedikit pun juga.

   "Tek Hong".!" Bun Sam berseru, kemudian ia memandang kepada kakek buntung itu dengan mata bernyala.

   "Ha, ha, heh, heh, heh! Bukankah tadi kukatakan bahwa kau harus menggali dua lubang lagi? Untuk puteramu dan untukmu sendiri, karena kau dan dia pasti akan mampus di sini kalau kalian tidak mau menurut kepada perintahku!"

   Mendengar ucapan ini, Bun Sam yang berotak cerdik maklum bahwa puteranya itu hendak dijadikan "alat pemerasan" oleh Lam hai Lo mo. Ia merasa heran bagaimana puteranya tiba tiba telah terjatuh ke dalam tangan mereka ini, bukankah menurut Pun Hui, puteranya ini telah pergi meninggalkan Pulau Sam liong to?

   Tentu pembaca juga merasa heran mengapa Tek Hong telah terlawan oleh Lam hai Lo mo dan untuk mengetahui akan hal ini, baiklah kita mengikuti pengalamaanya. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Tek Hong merasa hancur hatinya oleh pengakuan gadis yang amat menarik hatinya, yaitu Siang Cu, bahwa gadis itu murid terkasih Lam hai Lo mo dan bahwa guru dan murid itulah yang membakar rumah orang tuanya di Tit le!
Penuh kebencian timbul dalam hati Tek Hong terhadap Lam hai Lo mo. Pembakaran rumah masih tidak amat menyakitkan hati karena seperti juga ayah bundanya pemuda ini tidak begitu terikat oleh harta dunia, dan musnahnya rumah berikut barang barangnya tidak begitu disusahkannya. Akan tetapi perbuatan kejam dan Lam hai hai Lo mo yang telah membunuh para pelayannya membuatnya marah sekali.

   Dan terutama sekali kalau ia mengingat akan keadaan Siang Cu, nona yang dikasihinya dan yang telah terperosok ke dalam lumpur kejahatan karena suhunya yang seperti iblis itu, benar benar membuat hati Tek Hong diliputi penuh kebencian dan dendam.

   "Lam hai Lo mo iblis tua, untuk perbuatanmu terhadap Siang Cu, aku harus membalas dan mengadu nyawa dengan kau!" berkali kali Tek Hong berkata seorang diri dengan penuh kegemasan ketika ia telah siuman kembali dan pingsannya setelah ditinggal pergi oleh Siang Cu seperti yang telah dituturkan di bagian depan.

   Tek Hong sudah tahu bahwa tempat tinggal Lam hai Lo mo bersama muridnya adalah di atas Pulau Sam liong to dan pada waktu ia tiba di pulau itu, kakek itu sedang keluar dari kepulauan itu, demikian pula Siang Cu. Sesudah kakek itu telah membakar rumah orang tuanya, dan telah berpisah dari Siang Cu, kemana lagi perginya kakek itu kalau tidak kembali ke pulaunya?

   Perbuatan kakek itu membakar rumah orang tuanya sedikitnya menunjukkan bahwa kakek itu masih gentar menghadapi ayahnya. Kakek itu membakar rumah, membunuh pelayan pelayan sewaktu orang tuanya tidak ada di rumah. Setelah melakukan perbuatan pengecut itu, tentu kakek itu lebih gentar lagi akan pembalasan ayahnya dan tempat sembunyi terbaik agaknya hanyalah di Pulau Sam liong to.

   Oleh karena berpikir demikian, Tek Hong lalu cepat menuju ke Sam liong to. Pertama tama, karena adiknya belum dapat ditemukan dan mungkin sekali masih berada di sekitar Kepulauan Couwsan. Kedua kalinya, ia hendak mencari Lam hai Lo mo, untuk mengadu nyawa dengan kakek itu karena hatinya sakit bukan main kalau teringat akan keadaan Siang Cu, gadis yang amat dicintanya.

   Dalam kemarahannya yang sebagian besar timbul dari kepatahan hati karena sikap Siang Cu yang biarpun telah mengaku mencintanya namun tetap hendak memusuhi keluarga Song. Tek Hong menjadi nekad dan kurang hati hati. Ia seharusnya maklum bahwa ilmu kepandaian Lam hai Lo mo terlalu kuat baginya. Namun ia tidak gentar menghadapi iblis tua itu dan tanpa berpikir panjang lagi ia lalu mendayung perahu dan menuju ke Pulau Sam liong to.

   Akan tetapi apa yang menantinya di pulau itu? Bukan lain adalah perkumpulan Sam hiat ci pai, lengkap dengan semua anggauta pengurusnya. Begitu ia mendaratkan perahunya di pulau itu, ia menghadapi Lam hai Lo mo yang dikawani oleh Tung hai Sian Jin, Bong Eng Kiat, Sam thouw hud, Ang tung hud, dan See san Ngo Sian.

   "Lam hai Lo mo, iblis tua penghuni neraka jahanam! Aku datang untuk mengambil kepalamu!" Tek Hong membentak tanpa memperdulikan yang lain ketika ia melihat seorang kakek berwajah buruk dengan kaki hanya sebelah.

   Lam hai Lo mo belum pernah bertemu dengan Tek Hong, maka ia lebih merasa terheran heran daripada marah.

   "Eh, eh, orang muda yang sombong, kau siapakah?" tanyanya sambil memandang dengan bibir tersenyum menyeringai dan mata membayangkan pandangan rendah.

   Akan tetapi Tung hai Sian jin sudah tertawa bergelak lalu menjawab pertanyaan Lam hai Lo mo ini,

   "Putera Thian te Kiam ong sudah datang menyerahkan nyawa, kau masih tanya lagi dia siapa? Inilah Song Tek Hong, putera dari Song Bun Sam."

   

Pedang Naga Kemala Eps 28 Pedang Naga Kemala Eps 43 Pedang Naga Kemala Eps 9

Cari Blog Ini