Si Pedang Tumpul 8
Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
Kini Lili menghadapi Souw Kiat dan berkata dengan nada meremehkan.
"Nah, pangcu. Apakah engkau juga masih berkeras tidak mau menyerahkan kedudukan kepada suciku ini?"
Wajah Souw Kiat nampak suram. Diapun sudah melihat sendiri kekalahan wakilnya dan diapun tahu bahwa melawan gadis remaja itu saja, dia tidak akan menang, Dia tidak sanggup mengalahkan Lu Pi seperti yang dilakukan gadis itu, sedemikian mudahnya! Apa lagi kalau harus melawan kakak seperguruan gadis itu, seorang wanita yang tidak muda lagi walaupun masih nampak segar dan cantik, yang tentu lebih lihai lagi dibandingkan adik seperguruannya.
"Aku Souw Kiat menjadi Hek I Kai-pangcu mengandalkan kepandaian silatku. Kalau ada yang hendak merampas kedudukan ini, harus juga melalui adu kepandaian," katanya akan tetapi dengan lemah seolah-olah tidak bersemangat.
"Kalau begitu bangkitlah dan mari kita mengadu kepandaian!" tantang Lili.
"Sumoi, apakah engkau ingin menjadi ketua Perkumpulan pengemis ini?" tanya Sui In.
Lili terbelalak dan menggeleng kepala kuat-kuat.
"Aih, siapa ingin mengetuai para jembel ini, suci? Tidak, aku hanya mewakilimu merampas kedudukan ketua di sini!"
"Kalau tidak, mundurlah, sumoi. Aku yang ingin menjadi ketua, maka harus aku pula yang merampas kedudukan itu dari tangan Souw-pangcu."
Dengan tenang Sui In bangkit dan melangkah ke tengah ruangan itu, lalu memandang kepada Souw Kiat dan berkata.
"Souw-pangcu, aku Cu Sui In menantangmu untuk mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih pantas menjadi ketua Hek I Kai-pang!"
Souw Kiat bangkit dan dengan lemas dia melangkah ke tengah ruangan menghadapi wanita cantik itu. Dia maklum bahwa kedudukannya terancam.
Souw Kiat memberi hormat dan berkata.
"Cu-lihiap, sungguh sikap lihiap ini amat membingungkan hati kami. Bagaimana seorang wanita cantik seperti lihiap begitu ingin menjadi pemimpin besar kai-pang? Apakah alasannya? Dan sebelum kita bertanding, kalau boleh kami mengetahui, dari partai manakah lihiap datang? Kami Hek I Kai-pang selalu menghargai kegagahan dan ingin bersahabat dengan semua golongan."
"Sudah kukatakan tadi, aku ingin menjadi ketua Hek I Kai-pang agar aku mendapat dukungan kalau ada pemilihan pemimpin besar Kai-pang. Tujuanku bukan menjadi pemimpin besar kai-pang, melainkan agar aku dapat mewakili seluruh kai-pang untuk mengadakan pemilihan beng-cu."
Souw Kiat terbelalak.
"Apakah ..... apakah? lihiap yang semuda ini berkeinginan menjadi beng-cu?"
Sui In menggeleng kepala.
"Bukan aku calon beng-cu, melainkan ayahku."
"Siapakah ayah lihiap? Bolehkah kami mengetahui nama besarnya?"
"Ayahku adalah See-thian Coa-ong Cu Kiat."
Mendengar ini, terdengar seruan-seruan kaget dan Souw Kiat sendiri segera memberi hormat lagi kepada Sui In.
"Ah, kiranya lihiap puteri locianpwe See-thian Coa-ong!"
"Lu-siauwte, engkau tidak perlu merasa penasaran! Engkau telah dikalahkan seorang murid dari locianpwe See-thian Coa-ong!" seru ketua Hek I Kai-pang itu kepada wakilnya dan wajah Lu Pi yang tadinya muram kini berseri. Kalau dikalahkan seorang murid dari datuk besar itu tentu saja lain halnya. Namanya tidak akan rusak, berarti dia tidak dikalahkan oleh gadis sembarangan!
"Cu-lihiap, kalau begitu kiranya tidak perlu lihiap menjadi ketua Hek I Kai-pang. Kelak kalau ada pemilihan pimpinan seluruh kai-pang, lihiap akan kami dukung sebagai calon."
"Souw-toako, bagaimana mungkin itu? Kalau Cu-lihiap bukan ketua kai-pang, bahkan bukan anggauta, bagaimana mungkin diajukan sebagai calon pemimpin seluruh kai-pang?" Lu-pangcu mengingatkan ketuanya.
Souw Kiat mengangguk dan mengerutkan alisnya.
"Benar juga ucapan Lu-siauwte. Bagaimana mungkin kami kelak mendukung kalau lihiap bukan seorang ketua ?" Dia menghela napas panjang.
"Agaknya tidak dapat dihindarkan lagi, terpaksa aku mohon petunjukmu, lihiap. Kalau aku kalah, maka barulah lihiap berhak menjadi ketua Hek I Kai-pang."
"Hemm, silakan maju, pangcu," kata Sui In dan dengan sikap tenang ia menanti ketua itu untuk bergerak menyerang. Akan tetapi Souw Kiat nampak tidak bersemangat. Begitu mendengar bahwa, wanita cantik ini puteri See-thian Coa-ong, dia sudah menjadi jerih. Apa lagi tadi ia melihat wakilnya dengan amat mudah dikalahkan sumoi dari wanita ini.
"Cu-lihiap, dalam hal ilmu silat aku tidak akan menang melawanmu. Akan tetapi kalau lihiap mampu mengalahkan aku dalam hal tenaga sin-kang, aku akan mengaku kalah, dan akan merasa bangga mempunyai ketua baru seperti lihiap."
Sui In tersenyum.
"Baik, kau mulailah!"
Ketua Hek I Kai-pang yang bertubuh tinggi besar itu lalu berdiri tegak, kedua lengannya diangkat ke atas kedua tangan dikembangkan dan diapun mengerahkan tenaga, membuat gerakan seperti memetik buah-buah dari atas, kemudian kedua tangan diturunkan ke bawah dan terdengar bunyi tulang-tulang lengannya berkerotokan. Kedua tangannya berkembang ke bawah dan kembali membuat gerakan seperti mencabuti rumput-rumput dari bawah, kemudian kedua tangan naik lagi. dengan jari-jari terbuka menempel di kanan kiri pinggang. Mukanya berubah merah, seluruh tubuhnya tergetar, terisi tenaga sin-kang yang dihimpunnya tadi.
Sui In maklum bahwa lawan telah mengumpulkan tenaga sakti dan siap menyerangnya, maka iapun mengangkat kedua tangan ke atas, lurus, lain kedua tangan itu turun membuat gerakan melengkung seperti membentuk lingkaran, berhenti di depan dada seperti memondong anak, perlahan-lahan kedua tangan itu diturunkan ke kanan kiri tubuh, tergantung lepas dan lurus seperti tidak bertenaga lagi. Ia tersenyum dan berkata.
"Aku telah siap, pang-cu. Mulailah!"
Souw Kiat tidak menjawab, melangkah maju sampai dekat di depan wanita itu. Hidungnya mencium keharuman yang keluar dari pakaian Sui In dan dengan cepat dia mematikan penciuman itu agar tidak mengganggu konsentrasinya. Kemudian, sambil mengerahkan tenaga dari bawah pusar, disalurkannya ke seluruh kedua lengannya, diapun membuat gerakan mendorong dengan kedua tangan terbuka, ke arah dada Sui In. Terdengar angin yang dahsyat menyambar keluar dari kedua tangan itu.
Sui In segera menyambutnya dengan kedua tangan pula yang diluruskan ke depan, dengan jari terbuka pula.
"Plakkkk" Dua pasang telapak tangan itu saling bertemu, melekat dan mulailah keduanya mengerahkan tenaga sakti mereka untuk saling mendorong dan mengalahkan lawan. Nampaknya kedua orang itu seperti main-main saja, namun semua orang maklum bahwa adu tenaga yang dilakukan secara diam tanpa bergerak ini bahkan lebih berbahaya dari pada adu silat yang penuh pukulan, tendangan, elakan dan tangkisan.
Souw Kiat memang cerdik. Melihat ilmu silat Lili tadi saja, dia tahu bahwa dalam ilmu silat dia bukan tandingan wanita cantik ini. Akan tetapi dia memiliki sin-kang yang terkenal kuat, maka dia hendak mencari kemenangan melalui adu tenaga sakti. Ketika mula-mula kedua telapak tangannya bertemu dengan tangan wanita itu, dia merasa betapa telapak tangan itu lembut, lunak dan hangat. Dia lalu mengerahkan tenaga untuk mendorong, akan tetapi bertemu dengan tenaga lunak itu, tenaganya seperti batu ditekankan ke air, tenggelam! Kemudian, telapak tangan yang halus itu menjadi panas sekali. Souw Kiat cepat mengerahkan tenaganya untuk melawan hawa panas yang seperti membakar telapak tangannya. Namun, kedua telapak tangan halus itu makin lama semakin panas dan ada tenaga dorongan yang amat kuat keluar dari tangan itu. Souw Kiat mengerahkan seluruh tenaga untuk bertahan dan tak lama kemudian, dahi dan lehernya sudah penuh keringat, dan dari kepalanya mengepul uap. Merasa betapa kedua kakinya mulai goyah dan kuda-kudanya terbongkar, dia makin mempertahankan sekuat tenaga. Semua orang yang menyaksikan pertandingan ini, walaupun tidak dapat merasakan, namun dapat melihat perbedaan antara kedua orang yang sedang bertanding sin-kang itu. Kalau Souw Kiat berpeluh, kepalanya beruap dan mukanya sebentar merah sebentar pucat, wanita cantik itu masih tenang saja, nampak santai dan tersenyum mengejek.
Tiba-tiba Sui In mengeluarkan bentakan melengking dan tubuh Souw Kiat terangkat ke atas Kedua kakinya naik sampai satu meter dari tanah! Biarpun Souw Kiat berusaha untuk membuat tubuhnya menjadi berat, tetap saja dia tidak mampu menandingi tenaga yang mengangkat tubuhnya itu. Mukanya berubah pucat karena dia berada dalam bahaya maut!
Kalau dilanjutkan adu tenaga sin-kang ini, dia akan terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik dan akan terluka parah, mungkin tewas. Dia berusaha melepaskan kedua tangan dari tangan lawan, namun dua pasang tangan yang bertemu itu seperti telah melekat dan tidak dapat dipisahkan lagi!
Mendadak, Sui In mengeluarkan bentakan nyaring, kedua tangannya mendorong dan tubuh Souw Kiat terlempar sampai empat lima meter jauhnya dan tubuhnya terbanting keras di atas lantai. Dia menderita nyeri pada pinggul yang terbanting, akan tetapi tidak menderlta luka dalam. Tahulah dia bahwa wanita itu selain sakti, juga tidak mempunyai niat buruk terhadap dirinya yang tadi sudah berada di ambang maut, Diapun bangkit, memberi hormat dengan hati kagum dan berkata.
"Saya mengaku kalah dan terima kasih atas pengampunan lihiap."
"Hemm, sekarang engkau membolehkan aku menjadi ketua Hek I Kai-pang? Atau masih ada anggauta kai-pang lainnya yang merasa tidak suka?" tanya Sui In.
Tidak ada seorangpun yang berani menjawab. Bahkan mereka harus mengakui bahwa wanita cantik ini jauh lebih lihai dari pada pangcu mereka, dan sudah sepatutnya menjadi ketua baru. Akan tetapi, merekapun tidak suka mendukungnya karena Hek I Kai-pang tentu akan menjadi bahan tertawaan para kai-pang yang lain kalau mereka mendengar bahwa Hek I Kai-pang diketuai oleh seorang wanita muda yang cantik.
"Cu-lihiap, saya dan seluruh anggauta Hek I Kai-pang, tentu akan suka sekali kalau lihiap memimpin kami. Akan tetapi saya khawatir justeru Cu-lihiap sendiri yang tidak mau menjadi ketua kami."
Lili bangkit dari tempat duduknya dan menudingkan telunjuk kanannya ke arah Souw Kiat.
"Heii, Souw-pangcu. Jangan kau plintat-plintut! Hek I Kai-pang selama ini dipimpin oleh orang-orang yang tidak becus, maka mudah saja menjadi permainan perkumpulan lain seperti Hwa I Kai-pang. Sekarang, suci dengan mudah mengalahkanmu, maka ia berhak menjadi pangcu. Kenapa engkau malah mengatakan bahwa suci tidak mau menjadi ketua? Omongan macam apa itu ?"
"Harap ji-wi lihiap (berdua pendekar wanita) tidak salah paham dan suka mendengarkan keterangan kami," kata Souw Kiat.
"Hek I Kai-pang sejak puluhan tahun telah mempunyai suatu peraturan tertentu yang sama sekali tidak boleh dilanggar mengenai pengangkatan seorang ketua baru. Selain seorang ketua baru harus menjadi orang yang paling tinggi ilmu kepandaiannya di antara seluruh anggauta, juga sebagai ketua baru dia harus lebih dahulu melakukan sendiri pekerjaan mengemis selama satu bulan, dan dia tidak boleh mengenakan pakaian lain kecuali pakaian hitam. Nah, apakah Cu-lihiap suka memenuhi syarat dalam peraturan itu?"
Dua orang wanita itu saling pandang. Lili tertawa akan tetapi sucinya cemberut dan mengerutkan allsnya "Mengemis? Sebulan dan selalu berpakaian hitam? Wah, aku tidak suka melakukan itu, Souw-pangcul" katanya kemudian.
"Akan tetapi aku tetap ingin didukung oleh Hek I Kai-pang dalam pemilihan pemimpin besar kai-pang nanti!"
Kini ketua dan wakil ketua Hek I Kai-pang yang mengerutkan alis dengan bingung.
Tiba-tiba Lu Pi memandang kepada ketuanya dengan wajah berseri.
"Ah, hal itu bisa diatur, Souw-toako! Dalam peraturan kita, tidak ada disebut tentang ketua kehormatan! Maka, kita dapat mengangkat Cu-lihiap dan Tang-lihiap sebagai ketua dan wakil ketua kehormatan. Karena tidak ada dalam peraturan, maka mereka tidak terikat oleh peraturan dan persyaratan itu. Dan kelak, dalam pemilihan, tentu kita dapat mendukung Cu-lihiap sebagai calon pemimpin besar kai-pang karena mereka telah kita terima sebagai ketua-ketua kehormatan!"
"Bagus sekali! Engkau benar, siauw-te. Nah, ji-wi lihiap mendengar sendiri usul Lu-siauwte yang amat baik. Apakah ji-wi juga setuju dengan usul itu?"
Sui In mengangguk.
"Teserah kepada kalian. Bagiku yang terpenting, kalian harus mendukung aku dalam pemilihan pemimpin kai-pang."
Untuk menghormati ketua dan wakil ketua kehormatan itu, Souw-Pangcu dan Lu-Pangcu lalu mengadakan penyambutan dengan pesta. Dan dalam kesempatan ini, Souw Kiat menceritakan tentang keadaan kai-pang (perkumpulan pengemis) di empat penjuru dan tentang pemilihan pemimpin besar kai-pang yang akan diadakan sebulan lagi di kota Lok-yang.
Ada empat kai-pang terbesar yang menguasai empat daerah. Di barat adalah Hek I Kai-pang dengan pakaian hitam, di timur Hwa I Kai-pang dengan pakaian kembang-kembang, di utara terdapat Ang-kin Kai-pang dengan tanda sabuk merah di pinggang para anggautanya dan yang berkuasa di selatan adalah Lam-kiang Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Sungai Selatan) yang ditandai dengan topi butut hitam yang dipakai para anggautanya.
"Masih banyak perkumpulan pengemis lainnya, akan tetapi mereka semua hanyalah perkumpulan-perkumpulan kecil yang bernaung di bawah panji kekuasaan empat perkumpulan pengemis yang besar itu," Souw Pangcu melanjutkan keterangannya.
"Empat perkumpulan besar itulah yang pada bulan depan nanti akan mengadakan pertemuan untuk memilih seorang pemimpin besar kai-pang yang menjadi penasihat dan sesepuh, yang berwenang memutuskan kalau terdapat pertikaian dan persaingan di antara keempat kai-pang."
"Aku pernah mendengar bahwa seluruh kai-pang sudah mempunyai seorang pemimpin besar yang amat sakti dan bijaksana. Ayahku mengenal baik tokoh ini, apakah sekarang dia tidak lagi memimpin para kai-pang!" tanya Sui In.
Souw Pangcu mengangguk-angguk.
"Memang benar sekali, Cu-lihiap. Dahulu para kai-pang telah mempunyai seorang sesepuh yang sakti dan bijaksana, yaitu Pek-sim Lo-kai (Pengemis Tua Hati Putih). Selama ada beliau, para kai-pang tidak ada yang berani melakukan penyelewengan dan mereka hidup rukun dan saling bantu dengan kai-pang lainnya. Akan tetapi, semenjak beberapa tahun yang lalu, beliau menghilang dan tak seorangpun mengetahui di mana adanya, masih hidup ataukah sudah mati. Beliau dahulu memimpin kami untuk menentang penjajah Mongol dengan gerakan bawah tanah, bahkan membantu pergerakan Kerajaan Beng. Akan tetapi setelah penjajah Mongol berhasil digulingkan, beliau menghilang. Mungkin karena kini rakyat tidak terjajah lagi, negara berada di bawah pemerintahan Kerajaan Beng, bangsa sendiri, beliau menganggap tidak perlu lagi memimpin para kai-pang."
Sui In juga menceritakan rencananya.
"Kai-sar Thai-cu sendiri yang memerintahkan agar dunia persilatan memilih seorang beng-cu (pemimpin rakyat) agar pemerintah mudah mengadakan hubungan dengan para tokoh dunia persilatan. Nah, dalam rangka inilah aku ingin menjadi pemimpin para kai-pang. Aku ingin mewakili kai-pang dalam pemilihan beng-cu itu dan para kai-pang harus mendukung ayahku sebagai calon beng-cu." Mendengar ini, para pimpinan pengemis itu merasa lega.
Kiranya, wanita ini sama sekali bukan menginginkan kedudukan ketua Hek I Kai-pang ataupun pemimpin besar kai-pang, melainkan menginginkan kedudukan beng-cu untuk ayahnya. Tentu saja hal itu tidak ada sangkut-pautnya secara langsung dengan Hek I Kai-pang, maka dengan hati lega Souw-pangcu menyatakan kesanggupannya untuk membantu dan memberi dukungan.
Karena pemilihan permimpin besar kai-pang masih sebulan lagi, maka Sui In dan Lili meninggalkan perkumpulan itu, memasuki kota Lok-yang dan menghabiskan waktu untuk berpesiar ke seluruh daerah Lok-yang di mana terdapat banyak daerah wisata yang indah.
Dataran tandus di kaki pegunungan, di sebelah dalam Tembok Besar itu merupakan daerah yang amat sunyi. Letaknya di sebelah utara kota Peking. Daerah yang berbukit-bukit dan kadang diseling gurun pasir dan tandus itu merupakan daerah yang mati. Akan tetapi, ketika pasukan rakyat mengejar tentara Mongol pada akhir perang yang meruntuhkan kekuasaan Mongol, daerah ini merupakan daerah pertempuran besar-besaran. Banyak perajurit kedua pihak tewas di daerah ini. Juga banyak pula para pengungsi dan penduduk dusun yang ikut pula dibantai di tempat ini.
Biarpun perang itu sudah berlalu selama belasan tahun, namun masih banyak ditemukan rangka-rangka manusia berserakan di situ, tengkotak-tengkorak dan bahkan senjata.senjata tajam yang sudah berkarat.
Pada siang hari itu, seorang kakek melintasi daerah tandus yang terakhir dan kini dia melepas lelah di hutan pertama, di bawah pohon besar yang rindang, berteduh dari terik matahari. Di dalam perjalanan tadi dia memungut sebuah tengkorak yang bersih, dan kini dia duduk di bawah pohon sambil memegangi tengkorak itu, menghadapkan muka tengkorak kepadanya dan dia mengajak tengkorak itu bercakap-cakap!
Dia seorang pria tua, mungkin mendekati tujuhpuluh tahun usianya. Pakaiannya jelek sekali, sudah robek di sana sini dan penuh tambalan. Akan tetapi anehnya, pakaian yang butut itu nampak bersih, seperti habis dicuci. Kedua kakinya telanjang tanpa alas kaki, dan celana yang robek dan buntung sebatas lutut itu memperlihatkan betis yang kecil kurus hampir tak berdaging. Kakek ini tubuhnya sedang akan tetapi kurus, kepalanya besar dan mukanya seperti muka singa karena rambut, cambang, kumis dan jenggotnya tebal dan awut-awutan melingkari muka itu.
Rambutnya sudah banyak yang putih, demikian pula kumis dan jenggotnya, dibiarkan tumbuh liar tak terpelihara rapi. Akan tetapi rambut dan kumis jenggotnya halus seperti kapas, juga bersih, tanda bahwa biarpun dia tidak pernah menyisir rambutnya akan tetapi rambut dan kumis jenggot itu sering dicuci bersih. Sepasang matanya seperti mata kanak-kanak, nampak berseri gembira, mulutnya yang sudah tidak bergigi lagi itupun selalu tersenyum, bibirnya merah tanda bahwa dia sehat.
Kalau dikatakan dia seorang kakek jembel, kurang pantas karena pakaian dan seluruh tubuhnya nampak sehat dan bersih. Akan tetapi kalau bukan jembel, kenapa pakaiannya penuh tambalan dan robek-robek. Sebuah caping lebar tergantung di punggungnya, baru saja dilepas dari atas kepalanya ketika dia menjatuhkan diri duduk di bawah pohon itu. Kini dia bicara kepada tengkorak yang dipegangnya, seperti orang bicara kepada seorang sahabatnya saja.
"Hayo jawablah!" Dia mengulang.
"Selagi hidup engkau tentu cerewet bukan main, kenapa sekarang diam dalam seribu bahasa?" Dia terkekeh. Suara kakek itu lirih dan ringan, seperti suara anak-anak.
"Hayo katakan, apakah engkau dahulu seorang wanita yang cantik jelita ataukah wanita yang buruk rupa? Seorang laki-laki yang jantan perkasa ataukah seorang laki-laki yang lemah berpenyakitan? Apakah engkau dahulu seorang panglima? Ataukah perajurit biasa ? Hartawan ataukah pengemis?"
Kalau ada orang lain melihat dan mendengatnya di saat itu, tentu kakek ini akan dianggap seorang yang tidak waras, seorang gila atau setidaknya sinting.
"Coba jawab. Engkau dahulu seorang pembesar yang jujur bijaksana, ataukah seorang pembesar yang korup dan penindas rakyat? Seorang hartawan yang dermawan ataukah yang pelit? Ataukah engkau seorang pendeta yang penuh kasih sayang dan arif bijaksana, ataukah seorang pendeta munafik yang pura-pura alim? Ha..ha..ha, apapun adanya engkau dahulu, sekarang tiada lebih hanya sebuah tengkorak! Mana itu kecantikan atau ketampananmu, mana hartamu, mana kedudukanmu? Ha..ha..ha, engkau kini hanya pantas untuk menakut-nakuti anak-anak saja!" Kakek itu tertawa-tawa.
"Heii, tengkorak! Selagi hidup haruslah ada manfaatnya! Jadilah seperti para pemimpin yang membimbing rakyat dengan bijaksana dan adil menuju ke arah kehidupan yang makmur, seperti para cerdik pandai yang memberi pelajaran yang bermanfaat bagi orang lain, seperti para pendekar yang selalu menegakkan dan membela kebenaran dan keadilan, seperti para pendeta yang benar-benar mengabdi kepada Tuhan, memberi penyuluhan dan bimbingan kepada orang lain ke arah jalan benar. Mereka meninggalkan hasil karya dan nama baik mereka, sehingga matipun tidak menyesal karena sudah berjasa semasa hidupnya. Dan engkau, apa jasamu terhadap orang lain, terhadap negara dan bangsa, dan terutama terhadap Tuhan?"
Kini kakek itu tidak tertawa lagi, melainkan menghela napas panjang. Kemudian terdengar lagi dia berkata.
"Kuharap saja engkau dahulu bukan seperti para muda yang tidak jujur, yang suka mengintai orang dan tidak berani muncul secara berterang, tengkorak. Kalau begitu halnya, engkau tidak pantas kuajak bicara!" Dia meletakkan tengkorak itu di atas tanah dan pada saat itu, dari balik sebatang pohon besar berloncatan keluar seorang pemuda dan seorang gadis.
Mereka tadi bersembunyi sambil mengintai dan mendengarkan ulah kakek jambel itu dengan terheran-heran, dan ucapan terakhir kakek itu yang menyindir mereka yang sedang mengintai, mengejutkan mereka dan keduanya segera berloncatan keluar. Mereka menghampiri kakek itu dan memberi hormat.
"Kakek yang baik, harap maafkan kami yang tadi bersembunyi di sana." Kata pemuda itu dengan sikap yang sopan.
Kakek itu terkekeh dan memandang kepada dua orang muda itu dan hatinya merasa senang. Dia adalah seorang kakek yang sudah banyak makan garam, sudah luas sekali pengalamannya dan dia dapat menilai orang hanya dengan melihat sinar matanya saja.
Pemuda itu berusia duapuluh satu tahun, berkulit gelap, tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya tampan dan gagah. Dahinya lebar, sepasang alis tebal berbentuk golok melindungi sepasang mata yang lebar dan bersinar-sinar. Akan tetapi mata yang bersinar tajam itu amat lembut dan ini saja sudah menyenangkan hati si kakek, apa lagi melihat pemuda itu begitu muncul sudah minta maaf kepadanya!
Dan gadis yang muncul bersama gadis itupun mengagumkan hatinya. Dara itupun sebaya dengan si pemuda, wajahnya lonjong dengan dagu runcing. Setitik tahi lalat menghias dagu kanannya. Matanya juga tajam bersinar, namun lembut. Bibirnya merah segar dan sikapnya halus dan anggun.
"He..he..heh!" kakek jambel itu terkekeh setelah mengamati wajah kedua orang muda itu. Wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan.
"Kenapa kalian minta maaf kepadaku? Tempat ini bukan milikku. Siapa saja boleh datang dan pergi. Akan tetapi kenapa kalian main sembunyi-sembunyi? Kalian bukan sepasang kekasih yang melarikan diri dari orang tua kalian, bukan?"
Wajah dua orang muda itu berubah kemerahan, akan tetapi keduanya tersenyum dan tidak menjadi marah. Ucapan kakek itu wajar dan sebagai kelakar yang sopan, tidak bermaksud menghina.
"Sama sekali bukan, locianpwe (orang tua gagah)."
"Heii! Kenapa engkau menyebut aku seorang jembel tua dengan sebutan locianpwe! Aku hanya pandai makan dan minta-minta!"
"Harap locianpwe tidak merendahkan diri. Locianpwe tadi dapat mengetahui bahwa kami bersembunyi, hal itu saja sudah menunjukkan bahwa locianpwe memiliki penglihatan dan pendengaran yang tajam sekali," kata pemuda itu.
Kakek itu memandang dengan kagum.
"Haii, engkau cerdik juga. Nah, katakan mengapa kalian bersembunyi tadi."
"Kami melihat dan mendengar semua kata-katamu, locianpwe. Karena kami tidak ingin mengganggumu, maka kami bersembunyi. Ucapan locianpwe kepada tengkorak tadi sungguh menyentuh perasaan kami. Akan tetapi, locianpwe, mengapa locianpwe seperti orang yang berputus-asa dan melihat dunia ini dari seginya yang mengecewakan dan menyedihkan belaka? Bukankah masih banyak segi lain yang menggembirakan?"
Tiba-tiba sepasang mata yang lembut dan ramah itu mencorong, mengejutkan hati pemuda itu. Lalu kakek itu menghela napas panjang, pandang matanya melembut kembali.
"Aihhh, siapa yang tidak akan merasa kecewa dan bersedih, orang muda? Kalau aku mengenang semua peristiwa yang terjadi selama beberapa tahun ini, sejak perang yang meruntuhkan pemerintah penjajah Mongol. Aihh, sungguh menyedihkan ......"
Pemuda itu mengerutkan alisnya.
"Akan tetapi, locianpwe, bukankah peristiwa itu amat membahagiakan rakyat? Bukankah perang itu yang berhasil melepaskan rakyat dari pada cengkeraman penjajah? Kenapa locianpwe malah menyatakan kecewa dan sedih? Bukankah sudah selayaknya kalau kita bersyukur, bahkan kalau bisa membantu perjuangan rakyat mengusir penjajah?"
Kakek itu menatap wajah pemuda yang bicara dengan sikap penasaran itu beberapa lamanya, kemudian dia tertawa bergelak sambil memandang ke angkasa.
"Ha..ha..ha..ha, lucunya! Engkau memberi kuliah kepadaku tentang perjuangan? Ha..ha..ha, orang muda, ketahuilah bahwa selama perang melawan Mongol, aku selalu berada di garis terdepan!"
Pemuda dan gadis itu cepat memberi hormat.
"Kiranya locianpwe seorang pahlawan!" kata gadis itu, baru pertama kali bicara.
"Apa pahlawan? Apa artinya sebutan itu? Kalian tahu, ketika rakyat bergerak dan berjuang melawan penjajah Mongol, aku merasa bangga dan gembira bukan main. Hampir dapat dikatakan bahwa semua golongan, tidak perduli dari aliran mana, bersatu padu dan bekerja sama, bahu membahu dalam perjuangan, rela setiap saat berkorban nyawa. Akan tetapi, kegembiraan itu hanya sebentar! Aih, seperti awan tipis tertiup angin saja. Segera terganti kedukaan ketika aku melihat betapa perang itu mengakibatkan jatuhnya korban yang teramat besar. Banyak rakyat jelata yang tidak berdosa menjadi korban, Tidak perduli wanita, kanak-kanak, orang-orang jompo, semua tak terkecuali, banyak yang roboh dibantai orang! Perang itu mengakibatkan banjir darah!"
"Apa anehnya hal itu, locianpwe? Setiap peperangan tentu saja menjatuhkan banyak korban. Setiap perjuangan tentu saja membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan rakyat tidak sia-sia, locianpwe. Mereka yang tewas dalam perang itu. baik dia perajurit maupun rakyat, adalah pahlawan dan darah mereka yang membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah. Kematian mereka yang mendatangkan kebebasan dan kemakmuran .........."
"Kemakmuran siapa, orang muda? Inilah yang menyedihkan hatiku. Kami dahulu dengan senang hati membantu perjuangan yang dipimpin pendekar Cu Goan Ciang yang gagah perkasa, bahkan sampai sekarangpun, setelah menjadi Kaisar Thai-cu, kami masih menaruh rasa hormat kepada dia. Dia memang seorang pejuang sejati, seorang pemimpin sejati. Sekarang. pun dia menjadi kaisar yang bijaksana, yang tidak mabok kemenangan, tidak mabok kemuliaan dan kesenangan. Dia terus membangun yang rusak oleh perang, dibantu oleh para pejabat yang setia dan bijaksana .........."
"Nah, bukankah hal itu menggembirakan sekali, locianpwe?"
"Uhhh, engkau hanya tahu satu tidak tahu selebihnya yang jauh lebih banyak. Aku melihat hal-hal yang menyedihkan sebagai akibat perang, atau menyusul perjuangan yang luhur itu. Kalau dahulu, semua golongan bersatu padu menyerang penjajah, ehh, sekarang malah terjadi perpecahan antara kita dengan kita sendiri, karena saling berebutan! Saling memperebutkan pengaruh, kedudukan dan kekuasaan yang pada hakekatnya saling memperebutkan kesenangan duniawi! Orang-orang tidak mungkin akan memperebutkan pengaruh, kedudukan dan kekuasaan kalau di situ tidak terdapat kesenangan! Jadi, yang diperebutkan adalah kesenangan! Dan dalam perebutan ini, mereka tidak segan-segan untuk saling serang dan saling bunuh! Bukan itu saja, akan tetapi lihat keadaan para pembesar! Mereka tidak pantas disebut pemimpin, mereka adalah pembesar yang membesarkan perut sendiri. Mereka melakukan korupsi, mencuri dan menipu uang negara, menindas yang bawah menjilat yang atas, bahkan banyak yang lebih tamak dan lebih murka dibandingkan penjajah Mongol sendiri! Dan Kaisar yang bijaksana itu bagaimana mungkin dapat mengetahui semua yang terjadi di antara laksaan orang pejabatnya?"
"Akan tetapi, locianpwe, aku tidak setuju! Tidak semua pejabat seperti yang locianpwe katakan tadi! Masih banyak yang merupakan pejabat sejati, setia kepada pemerintah, jujur dan tidak mementingkan diri sendiri!" Gadis itu kini berseru penasaran.
"Ha..ha..ha, hanya berapa gelintir orang saja yang seperti itu? Dan ..... eh, kenapa aku bicara dan berdebat dengan dua orang muda yang sama sekali tidak kukenal?" Dia menepuk kepala sendiri dan mengomel, akan tetapi sambil tersenyum.
"Bu Lee Ki, engkau tua bangka pikun. Sekali waktu bisa celaka oleh celotehmu sendiri!"
Melihat kakek itu kini mengatupkan bibir kuat-kuat dan duduknya bahkan membelakangi mereka, pemuda itu saling pandang dengan si gadis dan keduanya tersenyum.
"Locianpwe, maafkan kami berdua yang masih muda dan lupa untuk memperkenalkan diri kepada locianpwe. Namaku Sin Wan dan ini adalah sumoiku bernama Lim Kui Siang.
Kakek itu tidak menoleh, masih duduk membelakangi mereka, seperti acuh saja. Sin Wan dan Kui Siang kembali saling pandang.
Mereka berdua baru saja meninggalkan guru mereka yang tinggal seorang, yaitu Ciu-sian (Dewa Arak) Tong Kui yang telah berhasil mengajarkan Sam-sian Sin-ciang kepada dua orang muridnya itu. Selama hampir setahun dua orang murid itu dengan tekun melatih diri dengan ilmu silat baru hasil ciptaan Tiga Dewa. Setelah Dewa Arak melihat bahwa dua orang muridnya sudah benar-benar menguasai ilmu silat sakti itu, diapun menyuruh mereka turun gunung.
"Aku hendak menghabiskan sisa hidupku di sini, menanti uluran tangan maut yang akan membawa aku menyusul dua orang gurumu yang sudah lebih dahulu meninggalkan kita. Kalian pergilah dan pergunakan semua kepandaian yang pernah kalian pelajarl dari kami demi keadilan dan kebenaran. Kui Siang, sebaiknya engkau kembali ke kota raja. Tentu semua harta peninggalan orang tuamu berikut rumahmu masih dirawat baik-baik oleh Ciang-Ciangkun. Dan engkau, Sin Wan, terserah kepadamu hendak ke mana, akan tetapi ..... biarlah sekarang kuceritakan kepada kalian suatu keinginan hati yang sudah kami sepakati bertiga ketika dua orang gurumu yang lain masih hidup. Kami ingin melihat kalian menjadi suami isteri ........"
"Suhu ....!" Kui Siang berseru lirih dan mukanya menjadi merah sekali. Ia hanya menunduk. Juga wajah Sin Wan menjadi kemerahan, dan diapun tidak berani berkutik, hanya menunduk.
Sejak masih kecil, hatinya sudah penuh kasih sayang terhadap Kui Siang. Dia menganggap gadis itu seperti adiknya sendiri, Demikian pula Kui Siang nampak sayang kepadanya. Mungkin kebersihan hati mereka berdua saja yang belum sempat membiarkan panah asmara menembus hati mereka. Karena itu, begitu Dewa Arak secara terang-terangan menyatakan keinginannya, juga keinginan dua orang guru mereka yang telah tiada, mereka menjadi tertegun dan malu.
"Aihhh, Sin Wan dan Kui Siang. Kalian sudah tahu akan watakku. Aku menjunjung tinggi kebebasan setiap orang dan dalam hal perjodohan, tentu saja tidak boleh ada penekanan dari orang lain. Aku hanya memberitahukan keinginan kami bertiga, hanya mengusulkan saja. Sama sekali tidak akan memaksakan. Terserah kepada kalian berdua. Hanya aku yakin, kedua orang gurumu yang sudah tiada, juga aku sendiri, akan merasa gembira dan puas sekali kalau kalian menjadi suami isteri. Nah, sekarang pergilah kalian, dan jangan mencari aku di sini karena mungkin aku tidak berada di sini lagi. Kalau aku ingin bertemu kalian, aku yang akan mencari kalian."
Demikianlah, dua orang murid itu lalu meninggalkan Dewa Arak dan karena ia tidak mempunyai tujuan lain, Kui Siang pergi ke kota raja, ditemani Sin Wan. Pemuda inipun tidak mempunyai tujuan. Dia hanya menemani sumoinya pulang ke kota raja, baru kemudian dia akan melanjutkan perjalanan, entah ke mana. Mereka sengaja mengambil jalan memutar untuk mencari pengalaman dan pada hari itu, tibalah mereka di hutan dekat daerah tandus itu dan tertarik oleh ulah kakek tua jembe! yang bicara dengan sebuah tengkorak.
Kini, kakek tua jembel itu masih duduk membelakangi mereka. Karena Sin Wan dan Kui Siang menganggap bahwa kakek itu menjadi marah dan tidak mau lagi bicara dengan mereka, maka Sin Wan memberi isyarat dengan matanya kepada sumoinya. Kalau orang tua ini tidak lagi mau bicara, merekapun tidak sepantasnya mengganggunya.
"Maafkan, locianpwe. Kami berdua telah lancang mengganggu locianpwe dan sekarang kami hendak pergi saja."
Akan tetapi baru saja keduanya bangkit berdiri, terdengar kakek itu bertanya tanpa menoleh.
Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nanti dulu, katakan dulu siapa guru kalian."
Sin Wan saling pandang dengan Kui Siang. Mereka ragu-ragu. Kakek jembel yang tadinya kelihatan amat ramah itu kini seperti orang yang angkuh. Mereka sudah memperkenalkan diri, akan tetapi kakek itu tidak mengatakan siapa dia, dan kini malah menanyakan nama guru mereka. Pada hal mereka tahu benar bahwa tiga orang guru mereka sama sekali tidak ingin nama mereka disebut-sebut kalau tidak penting sekali. Agaknya, kakek itu dapat membaca isi hati mereka.
"Hemm, jangan kalian menaruh curiga kepadaku. Aku Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki tidak ingin banyak bicara dengan sembarang orang. Katakan siapa guru kalian agar aku dapat memutuskan untuk melanjutkan percakapan kita ataukah tidak."
Mendengar nama julukan Pek-sim Lo-kai (Pengemis Tua Berhatl Putih) itu, dua orang muda ini tercengang. Mereka pernah mendengar disebut nama julukan itu oleh Dewa Arak, dan guru mereka itu mengatakan bahwa Pek-sim Lo-kai adalah seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang tidak palsu dan amat dihormatinya.
"Aih, kiranya locianpwe adalah pemimpin besar seluruh kai-pang!" seru Sin Wan.
"Ketiga orang suhu kami. Sam-sian, pernah mencerltakan tentang locianpwe!" kata pula Kui Siang.
Tiba-tiba kakek itu meloncat berdiri sambil membalikkan tubuhnya, menghadapi dua orang muda itu, wajahnya berseri dan senyumnya melebar sehingga matanya menjadi sipit sekali, kemudian dia bahkan tertawa ha..ha..he..he seperti tadi lagi.
"Heh..heh..heh, kiranya kalian adalah murid-murid Sam-sian! Ha..ha..ha, kalau begitu kita bukan orang lain karena Sam-Sian sudah lama kuanggap sebagai sahabat-sahabat yang paling baik! Bagaimana kabarnya dengan mereka bertiga? Apakah Ciu-sian tetap mabok-mabokan dan ugal-ugalan, Kiam-sian masih suka berfilsafat dengan pelajaran To, Pek-mau-sian masih suka bersajak?"
Mendengar ini, terbayanglah di depan mata Kui Siang semua itu, wajah ketiga orang gurunya, terutama Kiam-sian dan Pek-mau-sian, dan semua sikap dan gerak-gerik mereka, dan tak tertahankan lagi, kedua matanya menjadi basah.
Biarpun tadi tersenyum dan matanya menyipit nyaris tertutup, ternyata penglihatan kakek itu tajam sekali. Air mata itu belum sempat jatuh, masih tergenang di pelupuk mata, akan tetapi dia sudah cepat menegur.
"Heiiii? Kenapa engkau menangis? Apa yang terjadi dengan Sam-sian?" tanyanya kepada Kui Siang.
Dangan muka ditundukkan karena ia tidak ingin memperlihatkan tangisnya, Kui Siang menjawab.
"Suhu Kiam-sian dan suhu Pek-mau-sian telah meninggal dunia lebih setahun yang lalu."
Mendengar ini, hanya sejenak saja kakek itu tertegun, lalu dia terkekeh lagi.
"Heh..heh..heh, enaknya kalian, Kiam-sian dan Pek-mau-sian! Tidak seperti aku yang masih terseok-seok mengikuti langkah kakiku yang sudah mulai lemah terhuyung ini. Heh..heh. Dan di mana sekarang Dewa Arak?"
Cara kakek itu membicarakan Sam-sian menunjukkan bahwa dia memang sahabat karib mereka, maka Sin Wan yang memberi keterangan.
"Suhu Ciu-sian menyuruh kami meninggalkannya dan suhu hendak merantau, entah ke mana karena tidak memberitahu kepada kami berdua."
"Aihh, masih enak dia dari pada aku. Dia bebas, dan aku? Terikat oleh kaipang-kaipang yang brengsek itu! Dahulu, di jaman perjuangan, mereka itu demikian setia, demikian gagah perkasa dan bersatu! Sekarang? Muak aku melihatnya. Saling bermusuhan, saling berebutan, bahkan banyak yang kemasukan kaum sesat! Sangguh memalukan. Karena itu, lebih baik aku merantau dan menjauhi semua tetek-bengek itu!" Baru sekarang nampak wajah yang biasanya berseri itu digelapkan mendung kemurungan.
"Mereka itu munafik semua munafik! Segala kebaikan, segala kehormatan, segala keramahtamahan, semuanya munafik! Sama dengan bedak gincu saja, untuk menyembunyikan kulit yang buruk."
Dia menarik napas panjang dan memandang wajah Kui Siang.
"Tidak ada hubungannya dengan engkau, anak baik. Engkau memiliki wajah yang cantik dan bersih, tidak membutuhkan bedak gincu lagi!"
Diam-diam Sin Wan terkejut. Menurut guru-gurunya, Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki adalah seorang sakti yang gagah perkasa dan ditakuti, juga disegani oleh kawan dan lawan. Dia lihai akan tetapi berhati lembut, adil dan pandai mengatur sehingga seluruh perkumpulan pengemis dari empat penjuru memilih dia sebagai pemimpin besar yang disebut Thai-pangcu (Ketua Besar) dan ditaati seluruh pimpinan semua perkumpulan pengemis. Akan tetapi, sekarang tokoh ini meninggalkan perkumpulan, melarikan diri dari semua hal yang membuatnya kecewa dan penasaran.
"Maaf, locianpwe. Sudah berapa lamakah locianpwe meninggalkan kai-pang?"
"Heh..heh, biar mereka tahu rasa. Biar mereka memilih sendiri pimpinan mereka, agar pimpinan yang baru itu mampus karena pusing kepala! Aku tidak sudi lagi, aku sudah meninggalkan kesemuanya itu sudah bertahun-tahun sedikitnya ada tujuh tahun!"
"Tapi, locianpwe. Menurut para guruku, hanya locianpwe seorang yang dipandang oleh seluruh pimpinan kai-pang di empat penjuru, hanya locianpwe yang dapat mengatur dan mengarahkan mereka agar mereka tetap berjalan di jalan yang benar. Bukankah locianpwe pula yang dahulu memimpin mereka semua membantu perjuangan menumbangkan pemerintah Mongol? Kenapa locianpwe sekarang malah meninggalkan mereka?"
"Biar! Heh..heh, siapa sudi mengurus orang-orang brengsek itu? Setelah perjuangan selesai, mereka ikut-ikut dengan orang-orang sesat untuk memperebutkan harta benda dan kedudukan, menuntut imbalan jasa atas perjuangan menumbangkan penjajah!"
"Maaf, locianpwe, bukankah itu wajar? Bukankah mereka yang telah berjasa dalam perjuangan memang berhak menerima imbalan?" Sin Wan mengejar, hanya untuk memancing pendapat kakek itu karena dia sendiri sudah melihat betapa sesatnya perbuatan itu.
Sepasang mata itu melotot.
"Hehh? Kau hendak menguji aku atau bersungguh-sungguh? Kalau sungguh-sungguh, tidak pantas engkau menjadi murid Sam-sian, apakah guru-gurumu hanya mengajarkan ilmu pukulan dan tendangan saja dan tidak membuka matamu melihat kenyataan hidup?"
"Maaf, saya mengharapkan petunjuk dan pelajaran yang amat berharga dari locianpwe." kata Sin Wan.
"Hemm, kalau berjuang mengharapkan imbalan jasa, maka itu bukan perjuangan namanya! Makna perjuangan yang luhur, pengabdian kepada nusa bangsa dengan taruhan nyawa, menjadi pudar dan diisi dengan pamrih demi keuntungan diri pribadi. Pejuang seperti itu dapat melakukan penyelewengan dengan mudah karena yang dipentingkan adalah pamrihnya. Berjuang hanya mempunyai satu tekad, yaitu menghalau penjajah dan membebaskan bangsa dan negara dari belenggu kekuasaan Mongol. Itu saja! Tentu saja setelah berhasil, dilanjutkan dengan mengisi kemerdekaan yang telah diperoleh dengan pengorbanan harta dan nyawa itu. Dan pengisiannya juga merupakan perjuangan yang sama luhurnya, yaitu demi negara dan bangsa, bukan demi penuhnya kantung sendiri, demi keuntungan dan kesenangan diri sendiri! Dan lihat, mereka mulai saling bermusuhan berebutan seperti segerombolan anjing kelaparan memperebutkan tulang-tulang yang berserakan. Memalukan!"
"Dan melihat hal seperti itu, locianpwe malah menjauhkan diri? Sudah benarkah tindakan locianpwe itu?" Sin Wan menegur sambil mengerutkan alisnya yang tebal.
"Eh? Apa maksudmu?"
"Locianpwe, perjuangan suci bukan hanya memerdekakan negara dan bangsa lalu disusul dengan usaha memakmurkan rakyatnya saja. Kalau melihat ada orang-orang yang tidak benar dan berambisi menyenangkan diri sendiri, berarti melihat tikus-tikus yang hendak menggerogoti sarana kemakmuran bagi rakyat. Melihat begitu dan mendiamkannya saja, bahkan menjauhkan diri, sudah benarkah itu? Bukankah berusaha dengan tindakan mencegah terjadinya semua penyelewengan itu, menghentikan semua permusuhan antara bangsa sendiri, antara golongan sendiri, membersihkan mereka yang menipu dan mencuri milik negara, menjamin keamanan bagi rakyat jelata, bukankah itupun merupakan perjuangan yang luhur pula?"
Kakek itu membelalakkan mata memandang kepada Sin Wan, akan tetapi tidak marah, melainkan tersenyum lucu.
"Ehh? Ehh, lanjutkan, lanjutkan!" katanya penuh gairah.
"Kehidupan di seluruh alam mayapada ini dikuasai oleh dua unsur, locianpwe, yaitu Im (negatif) dan Yang (positif). Keduanya ini yang memutar seluruh alam dan isinya, seluruh kejadian dan seluruh sifat. Bagaimana ada Yang tanpa Im? Bagaimana ada Terang tanpa Gelap, ada Kebaikan tanpa Keburukan dan sebagainya? Hidup ini merupakan tantangan, locianpwe, justeru di sini letaknya seni hidup. Kita harus hadapi setiap tantangan, menghadapinya dan mengatasinya! Bukan melarikan diri! Inipun perjuangan namanya, perjuangan hidup, yaitu menghadapi dan mengatasi semua tantangan, dengan landasan benar! Tidakkah demikian, locianpwe? Ataukah locianpwe hanya pura-pura saja tidak tahu karena saya yakin locianpwe lebih tahu dari pada kami orang-orang muda ini?"
"Siancai ........! Ini baru suara murid Sam-sian! Hei, orang muda yang baik, engkau menjatakan tadi tentang landasan benar! Nah, kata "benar" ini bagaimana? Setiap orang akan menganggap dirinya benar! Kalau aku sampai berkelahi denganmu, pasti aku akan merasa diriku benar dan engkaupun demikian. Lain, kalau kita berdua merasa benar, lalu siapa yang tidak benar?"
"Locianpwee kalau locianpwe merasa benar dan sayapun merasa benar sehingga kita saling bermusuhan, maka jelaslah bahwa kita berdua sama-sama tidak benar! Kebenaran tak dapat diperebutkan, tidak dapat dimonopoli seseorang. Kebenaran yang dibela dengan kekerasan sehingga bermusuhan, jelas bukan kebenaran lagi."
"Heh..heh..heh, lalu apa maksudmu mengatakan dengan landasan benar tadi? Kebenaran yang mana yang kau maksudkan?"
"Maaf, locianpwe, kalau pengertian saya masih dangkal dan keliru, mohon petunjuk. Kebenaran mutlak, yang Maha Benar hanyalah Tuhan Yang Maha Esa, yang lainnya, yaitu kebenaran yang diaku oleh manusia hanyalah kebenaran semu yang setiap waktu dapat dinyatakan tidak benar, tergantung waktu, keadaan dan lingkungan. Yang saya maksudkan dengan landasan benar tadi, locianpwe, adalah apabila tindak kita tidak didasari pamrih demi kepentingan dan keuntungan diri pribadi. Yang penting itu pamrihnya, bukan perbuatannya. Betapapun baik dan indah nampaknya suatu perbuatan, kalau didasari pamrih yang mementingkan diri pribadi, maka perbuatan itu palsu adanya."
"Heh..heh..heh, engkau terlalu keras, orang muda ..... eh, siapa namamu tadi? Sin Wan? Aku mulai tertarik kepadamu. Di dunia ini mana ada manusia yang bebas dari pamrih? Setidaknya manusia membutuhkan sandang pangan dan papan, dan berhak menikmati hidupnya dan bersenang-senang!"
"Tentu saja, locianpwe. Tuhan tidak mungkin menciptakan manusia untuk bersengsara-sengsara. Akan tetapi sekali kebutuhan akan kesenangan itu menjadi majikan, kita akan diperhamba oleh nafsu dan kita akan dibawa ke jalan sesat."
"Ha..ha..ho..ho..ho, bagus sekali, Sin Wan. Dari Sam-sian kah engkau memperoleh semua pengetahuan akan kehidupan ini?"
"Kewaspadaan akan kehidupan bukanlah pelajaran yang harus dihafalkan dan diingat-ingat, locianpwe, melainkan timbul dari kesadaran akan rasa diri, akan seluruh isi alam dan terutama akan Penciptanya, yaitu Allah Yang Maha Tunggal, Maha Besar, dan Maha Kuasa."
Kakek itu tertawa bergelak, lalu menoleh kepada Kui Siang.
"Dan bagaimana dengan engkau, siapa namamu tadi, Lim Kui Siang? Bagaimana dengan engkau? Bukankah engkau juga murid Sam-sian dan digembleng dengan kebijaksanaan yang sama?"
Kui Siang tersenyum.
"Locianpwe, aku hanyalah seorang gadis bodoh, tidak dapat dibandingkan dengan suheng, baik dalam hal ilmu silat maupun pengetahuan tentang hidup dan filsafat. Dia memang pintar!"
Sin Wan tersenyum.
"Jangan percaya ucapannya, locianpwe. Sumoi hanya merendahkan diri. Ilmu silatnya hebat, saya sendiri belum tentu akan mampu menandinginya. Dan ia adalah puterl seorang bangsawan tinggi yang setia dan baik."
"Suheng ......!" Gadis itu berseru hendak mencegah suhengnya bercerita tentang itu. Namun sudah terlanjur dan Sin Wan yang merasa bersalah segera berkata, suaranya menghibur.
"Maaf sumoi. Kurasa tiada halangannya locianpwe ini mengetahui tentang keadaanmu. Dia adalah sahabat baik dari guru-guru kita."
"Heh..heh..heh, nona Lim Kui Siang, tidak diberitahupun orang mudah saja menduga bahwa engkau tentulah mempunyai darah bangsawan! Hal itu dapat nampak pada sikap dan gerak-gerikmu yang anggun dan lembut. Bangsawan she Lim di kota raja yang setia? Hemm, aku pernah mengenal bangsawan Lim yang menjadi Jaksa Agung di kota raja. Itukah orang tuamu ?"
Kui Siang menggeleng. Sekarang sudah tidak perlu merahasiakan keluarganya yang sudah tiada.
"Bukan, locianpwe, dan harap locianpwe tidak menyebut nona kepadaku. Ayahku tidak menjadi jaksa, melainkan bertugas sebagai pengurus gudang pusaka di kota raja."
"Pengurus gudang pusaka? Ah, kalau begitu tentu seorang yang terpelajar tinggi! Ingin sekali-kali aku menemui orang tuamu dan berkenalan."
"Locianpwe, ayah ibu sumoi sudah meninggal dunia," kata Sin Wan.
"Ahh!" Senyum itu menghilang dari bibir si pengemis tua.
"Kiranya engkau sudah yatim piatu?"
"Ayahku terbunuh orang ketika melaksanakan tugasnya, locianpwe. Ketika pusaka-pusaka kerajaan dicuri orang, ayah menjadi korban, dibunuh oleh pencuri pusaka."
Kakek itu mengangguk-angguk.
"Aku pernah mendengar berita tentang hilangnya pusaka-pusaka itu, akan tetapi karena aku sudah tidak tertarik lagi akan urusan dunia ramai, akupun tidak memperhatikan. Siapa sih orang yang begitu berani mencuri pusaka dari kerajaan?"
"Pencurinya adalah Hui-ciang Se Jit Kong," kata Kui Siang.
"Aha, Si Tangan Api yang tersohor itu? Ingin sekali-kali aku mencoba kelihaian tangan apinya. Kabarnya dia merajalela dan mengalahkan banyak tokoh besar dunia persilatan."
"Dia sudah tewas, locianpwe," kata Sin Wan.
"Ketiga guru kami mendapat tugas dari Kaisar untuk mencari pusaka-pusaka itu dan berhasil merampasnya kembali dari Se Jit Kong yang tewas di tangan mereka."
"Wahai ...... sayang sekali! Nah, Sin Wan, engkau tadi menyalahkan tindakanku yang meninggalkan kai-pang. Nah, katakan, kalau menurut pendapatmu, apa yang harus kulakukan?"
"Maaf, sama sekali saya tidak berani menyalahkan tindakan locianpwe. Saya hanya mengingatkan dan mengajak locianpwe bertukar pikiran. Sekarang ini penjajah telah terusir pergi. Negara dan bangsa dipimpin oleh tangan bangsa sendiri yang berarti merupakan tindak lanjut dari perjuangan merebut kemerdekaan. Kalau dahulu, di waktu perjuangan merebut kemerdekaan, locianpwe dengan gigih ikut membantu. Kenapa sekarang tidak? Kiranya justeru sekarang ini, para kai-pang perlu disatupadukan untuk membantu pemerintah mengisi kemerdekaan."
"Heh.. heh, sudah kukatakan, aku muak dengan semua itu! Mereka itu palsu dan penyelewengan terjadi di mana-mana. Kalau aku terjun kembali, bukankah aku akan membiarkan diriku bergelimang dengan penyelewengan? Bermain dengan lumpur tentu kotor!"
"Belum tentu, locianpwe! Sekali emas, biar terpendam dilumpurpun akan tetap emas mengkilat. Sekali teratai, biar hidup di atas lumpurpun akan tetap indah dan bersih. Bahkan kalau locianpwe terjun kembali, locianpwe akan dapat menangani semua penyelewengan itu, membelokkan ke jalan benar. Kalau locianpwe melarikan diri dari kenyataan seperti ini, bukankah hal itu berarti locianpwe memembantu makin memburuknya keadaan? Locianpwe, selagi hidup, kalau tidak membuat tindakan yang bermanfaat bagi dunia, lalu apa artinya hidup?"
Sepasang mata itu terbelalak.
"Heii, orang muda! Enak saja engkau bicara. Orang bicara harus berani mempertanggung jawabkan ucapannya. Pendapatmu itu jangan kaujejalkan dan paksakan saja kepada orang lain untuk melaksanakannya, akan tetapi juga untuk dirimu sendiri! Kalau orang hanya memberi nasihat dan dorongan kepada orang lain akan tetapi diri sendiri tidak berbuat, perbuatan itu seperti sikap para pembesar korup yang menganjurkan ini itu kepada rakyat namun dia sendiri tidak melaksanakannya! Beranikah engkau membantuku kalau aku terjun kembali ke dunia ramai, menertibkan para kai-pang dan membantu pemerintah mengisi kemerdekaan?"
Sin Wan adalah seorang pemuda yang berwatak gagah dan bertanggung jawab. Mendengar pertanyaan itu, tanpa ragu-ragu lagi diapun menjawab.
"Tentu saja saya berani dan sanggup membantu locianpwe!"
"Bagus!" Kakek itu terkekeh girang sekali. Sekarang kalian berdua bersiap-siaplah untuk melawan aku, heh..heh..heh!"
Tentu saja dua orang muda itu terkejut bukan main.
"Apa maksud locianpwe?" Kui Siang berseru.
"Aku tidak ingin berkelahi denganmu!"
"Anak bodoh, siapa yang mau berkelahi dengan siapa? Setiap kali aku bertemu Sam-sian, tentu mereka akan kuajak berlatih silat. Kini mereka tidak berada di sini, dan yang kutemui adalah murid-murid mereka. Nah, sebagai murid, kalian harus mewakili Sam-sian untuk berlatih dengan aku. Bersiaplah, kita berlatih beberapa jurus!"
Sin Wan maklum akan isi hati kakek ini. Setelah menerima kesanggupannya untuk membantu kakek itu terjun lagi ke dunia persilatan, tentu kakek ini ingin menguji kepandaiannya. Dia tidak ingin sumoinya terilbat, karena maklum, betapa besar bahayanya berkecimpung di dunia persilatan di mana terdapat banyak tokoh yang menyeleweng seperti yang disesalkan kakek itu, Maka, diapun berkata.
"Locianpwe, biarlah saya mewakili ketiga orang guru kami. Sumoi adalah seorang wanita yang tidak semestinya terlibat dalam urusan ini, maka biarlah saya sendiri yang menghadapi locianpwe."
"Heh..heh..heh, kalau menghadapi Sam-sian, tentu aku minta mereka maju satu demi satu. Akan tetapi engkau hanya muridnya, bagaimana mungkin dapat menandingi aku? Majulah kalian berdua, baru akan seimbang, heh..heh!"
"Kita sama lihat saja, locianpwe. Kiranya tidak sia-sia ketiga orang guruku selama ini menggembleng dan mengajarkan ilmu-ilmu mereka kepada saya!" kata Sin Wan tenang.
"Ilmu kepandaian sumoi tidak banyak selisihnya dengan saya, maka dengan mengukur tingkat saya, locianpwe sudah akan dapat pula mengetahui kemampuan sumoi."
"Bagus! Melawan seorang di antara Sam-sian, sampai ratusan jurus belum ada yang kalah atau menang. Yang terakhir kalinya, ketika melawan Kiam-sian kami berdua menghabiskan gerakan hampir seribu jurus dan belum ada yang kalah atau menang. Kalau engkau ini muridnya mampu bertahan sampai seratus jurus saja sudah kuanggap bagus sekali. Nah, bersiaplah!"
Kakek itu menggerakkan sebatang tongkat dan caping lebarnya tergantung di punggung. Tongkat itu bukanlah tongkat luar biasa, melainkan sepotong ranting yang baru saja dibersihkan daun-daunnya, masih basah dan besarnya hanya selengan wanita, panjangnya satu meter lebih.
Sin Wan maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan yang amat lihai, yang mampu menandingi mendiang suhunya, Dewa Pedang, sampai beribu jurus! Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi diapun mencabut pedangnya yang butut dari balik jubahnya.
Sinar hijau nampak berkelebat ketika pedang dicabut, akan tetapi biarpun mengeluarkan sinar hijau yang aneh, ketika pedang itu dipegang lurus menunjuk ke langit di depan mukanya, pedang itu hanya merupakan sebatang pedang yang jelek dan tumpul.
"Pedang tumpul ....??!!" kakek itu berseru kagum dengan mata terbelalak.
"Pedang pusaka yang pernah mengangkat nama besar Jenghis Khan! Bukankah itu menjadi pusaka kerajaan?"
"Ketiga orang suhu saya menerima hadiah dari Kaisar karena berhasil mengembalikan pusaka-pusaka yang hilang, dan pedang ini merupakan satu di antara hadiah-hadiah itu, locianpwe."
"Pedang tumpul .......! Bagus, aku ingin melihat apakah engkau patut menjadi majikannya. Nah, sambut seranganku ini!" Tiba-tiba saja tongkat di tangan kakek itu lenyap, berubah menjadi gulungan sinar yang seperti ombak samudera menerjang ke arah Sin Wan.
"Ini Lam-hai-tung-hwat (Ilmu Tongkat Laut Selatan). Ilmuku terbaru yang belum pernah dilihat Sam-sian!" kakek itu berseru dari balik gulungan sinar kelabu yang menyelimuti bayangannya itu.
Maklum bahwa dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya yang paling tinggi, Sin Wan juga tidak membuang waktu lagi. Langsung dia mainkan ilmu yang baru saja dipelajarinya dengan tekun selama setahun dari Dewa Arak, yaitu Sam-sian Sin-ciang! Ilmu ini dapat dimainkan dengan tangan kosong sesuai namanya, yaitu Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa), akan tetapi juga dapat dimainkan dengan menggunakan pedang!
Maka, begitu gulungan sinar kelabu dari tongkat kakek itu menyambar-nyambar dan tiba-tiba dari gulungan sinar itu mencuat sinar kecil meluncur ke arah dadanya dengan totokan yang cepat bagaikan kilat. Sin Wan sudah menggerakkan pedangnya menangkis dan diapun langsung membalas dengan memainkan ilmu silat Sam-sian Sin-ciang.
Pedang Sinar Emas Eps 25 Iblis Dan Bidadari Eps 4 Pedang Sinar Emas Eps 14