Ceritasilat Novel Online

Dewi Ular 12


Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Bagian 12




Dengan senyum cerah dan sikap lembut penuh kasih sayang Tang Cin Lan, isterinya, berkata,

"Lee-ko, kenapa engkau nampak tergesa-gesa berganti pakaianmu?" Wanita cantik jelita itu mengamati wajah suaminya dengan penuh perhatian

"Ada berita apakah dari Sri Baginda Kaisar?" Biarpun Kaisar Kian Liong masih saudara misan ayahnya, Cin Lan selalu menyebutnya dengan Sri Baginda Kaisar seperti orang lain untuk menghormati Kaisar itu.

Thian Lee balas memandang, lalu memegang pundak isterinya dengan penuh kasih sayang

"Aku mendapatkan tugas yang teramat penting. Di mana Hong San?" Dia menanyakan putera mereka yang kini sudah berusia dua tahun dan sedang lucu-lucunya.

"Dia baru saja tidur siang di kamarnya, dijaga oleh pengasuh," jawab Cin Lan yang disambung pertanyaan,

"Tugas apakah yang begitu penting, Lee-ko?"

"Agaknya kita harus berpisah, aku harus meninggalkan rumah beberapa waktu lamanya, entah berapa lama dan mudah-mudahan saja segera tugas itu dapat kuselesaikan sehingga aku dapat segera pulang."

Mereka duduk di ruangan dalam, berhadapan. Cin Lan menatap wajah suaminya dan alisnya yang hitam melengkung indah itu berkerut

"Pergi ke manakah dan apakah tugas itu?"

"Sri Baginda Kaisar mendengar berita bahwa di pantai timur dan daerahnya terdapat gejala-gejala pemberontakan, bahkan mungkin para pemberontak itu bersekutu dengan orang-orang Jepang yang biasanya menjadi bajak laut dan merampok di sepanjang pantai. Karena kabarnya orang-orang Jepang itu banyak yang pandai, bahkan sudah ada usaha pembunuhan terhadap Panglima Un di sana, maka Baginda Kaisar mengutus aku sendiri untuk melakukan penyelidikan ke sana dan memadamkan pemberontakan."

"Kau membawa pasukan?"

"Tidak. Bagaimana aku akan dapat melakukan penyelidikan kalau aku berangkat membawa pasukan? Kita belum tahu siapa yang hendak memberontak, siapa yang terlibat dan siapa yang memimpin. Nanti, kalau aku sudah berhasil dengan penyelidikanku dan bahwa di sana benar-benar terjadi usaha pemberontakan, baru aku akan minta bantuan Un-ciangkun untuk memberi pasukannya guna membasmi pemberontak itu."

"Jadi engkau hendak melakukan penyelidikan seorang diri saja, Lee-ko?" Cin Lan memandang dengan khawatir.

Thian Lee tersenyum dan memegang tangan isterinya di atas meja

"Kenapa, Lan-moi? Bukankah sudah biasa bagiku untuk melakukan tugas seorang diri saja? Menempuh bahaya dalam tugas adalah biasa, tidak perlu dirisaukan."

"Bukan begitu, Lee-ko. Dahulu engkau adalah seorang biasa, seorang pendekar yang merantau dan malang-melintang di dunia kang-ouw. Akan tetapi sekarang engkau adalah seorang penglima besar yang mengepalai banyak sekali pasukan, kenapa pergi seorang diri? Bukankah banyak anak buahmu yang cakap untuk melaksanakan tugas itu? Engkau dapat menyebar ratusan orang mata-mata untuk menyelidiki keadaan di pantai timur saja."

"Tidak mungkin hal itu kulakukan, isteriku. Itu berarti bahwa aku kurang bertanggung jawab terhadap tugas ini.

Sri Baginda Kaisar mengutus aku sendiri untuk menyelidiki karena di sana terdapat banyak orang pandai, bagaimana aku dapat tinggal diam di rumah dan menyuruh para pembantuku melakukan tugas yang panting ini?"

"Akan tetapi engkau adalah seorang panglima besar, Lee-ko. Aku khawatir bahwa banyak orang diam-diam memusuhimu karena iri. Kalau engkau nekat untuk pergi seorang diri, biarlah aku akan menemanimu!"

Thian Lee bangkit dari tempat duduknya, menghampiri isterinya dan merangkulnya

"Cin Lan, mengapa engkau begini? Aku adalah suamimu yang akan melaksanakan tugas, bagaimana engkau dapat ikut denganku? Engkau seharusnya berada di rumah, menjaga dan merawat Hong San, anak kita yang baru dua tahun usianya. Kalau dia mencari ayah ibunya yang keduanya tidak ada, apakah hal itu tidak akan membuat dia bersedih dan rewel?"

"Akan tetapi aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Lee-ko!"

"Sejak kapan isteriku yang tercinta meragukan kemampuanku? Aku tidak akan mudah tertimpa malapetaka, Lan-moi. Engkau tahu benar bahwa aku dapat menjaga dan membela diri dari marabahaya. Apa akan kata orang kalau mereka mengetahui bahwa isteri seorang panglima besar mengkhawatirkan keselamatan suaminya dan mengawal suaminya yang sedang bertugas? Tentu kita akan menjadi bahan olok-olok. Jangan khawatir. Aku pasti akan kembali membawa kemenangan. Kau tahu, di Hui-cu sana terdapat pasukan kerajaan sehingga aku dapat memperoleh bantuan mereka."

Akhirnya Cin Lan menyadari kesalahan dan ia tidak mampu membantah lagi. Bagaimanapun juga, perintah Kaisar tidak boleh dianggap ringan begitu saja. Ia telah bersikap sebagai seorang isteri yang cengeng dan penakut!

"Baiklah, Lee-ko. Engkau boleh pergi seorang diri, akan tetapi dengan janji bahwa setelah seratus hari engkau sudah harus pulang atau setidaknya memberi kabar. Kalau lewat seratus hari engkau belum pulang, aku pasti akan menyusul dan membantumu."

Terpaksa Thian Lee berjanji kepada isterinya

"Mudah-mudahan saja sebelum lewat seratus hari akan selesailah tugasku itu. Jangan khawatir, Lan-moi."

"Dan kapan engkau akan berangkat?"

"Besok, pagi-pagi sekali karena aku akan pergi dengan menyamar, agar jangan ada orang mengenalku."

Demikianlah, semalam itu Cin Lan tidak pernah mau melepaskan rangkulannya, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum sinar matahari menerangi bumi, Thian Lee sudah berangkat, memakai pakaian seperti seorang pemuda pelajar biasa dan membawa buntalan pakaian, tidak lupa membawa Jit-goat-kiam (Pedang Matahari dan Bulan) yang disembunyikan dalam buntalan pakaiannya. Dia membiarkan kuncir rambutnya tergantung lepas di punggungnya dan kepalanya memakai sebuah topi lebar. Tak seorang pun tahu bahwa pemuda sederhana ini adalah Panglima Besar Kerajaan.

Un-ciangkun atau Un Kiong, panglima yang tinggal di kota Hui-cu sudah beberapa kali didatangi penjahat yang hendak membunuhnya. Dia tahu bahwa ada persekutuan rahasia di daerahnya. Dia mendengar bahwa sering kali kelihatan orang Jepang berkeliaran di kota Hui-cu dan sekitarnya. Karena itu, dia pun menaruh curiga dan menyebar mata-mata untuk mengamati gerak-gerik orang-orang Jepang itu. Bahkan dia mengutus beberapa orang perwira memimpin seregu perajurit mengadakan perondaan di sekeliling kota Hui-cu dan menangkap kalau ada orang Jepang yang mencurigakan, bahkan memeriksa orang-orang asing yang lewat di daerah itu.

Pada saat pagi, serombongan perajurit yang dipimpin perwiranya mengadakan perjalanan di bukit di sebelah timur Hui-cu. Mereka berjumlah dua losin orang perajurit dan seorang perwira ini adalah satu di antara regu-regu pasukan yang dikirim, oleh Un-ciangkun untuk melakukan perondaan di sekitar wilayah Hui-cu. Para perajurit yang menjadi anggauta regu ini, seperti juga regu-regu yang lain, merupakan perajurit pilihan yang pandai ilmu silat dan bertubuh kuat.

Bukit di mana regu ini meronda nampak sunyi sekali. Pagi itu udara cerah dan para perajurit berjalan sambil bicara. dengan gembira. Kecerahan udara pagi itu membuat hati mereka cerah gembira pula. Mereka semua berjalan kaki, meninggalkan kuda mereka di kaki bukit karena di bukit itu sempit dan berjalan kaki lebih leluasa daripada naik kuda.

Tiba-tiba dari arah depan datang seorang pemuda yang menarik perhatian mereka. Pemuda itu bertubuh tegap dan mengenakan pakaian serba putih, wajahnya tampan dan mulutnya terhias senyum dingin.
Perwira yang memimpin pasukan itu memandang dengan curiga. Memang aneh dan mencurigakan melihat seorang pemuda berpakaian sebagai seorang tuan muda berkeliaran di tempat sunyi seperti itu. Apalagi melihat gagang sepasang pedang berada di punggungnya.

"Sobat, berhenti dulu!" perwira itu menegur ketika mereka berhadapan.

Pemuda itu adalah Ouw Kwan Lok. Hatinya sedang tidak senang karena dia mengenang dua peristiwa yang amat membuatnya penasaran dan kecewa. Pertama ketika dia menawan Ceng Ceng untuk dijadikan kekasihnya akan tetapi terpaksa dia melepaskan korbannya ketika datang Thian-tok yang datang menolong gadis itu. Peristiwa itu terjadi setahun yang lalu, akan tetapi kalau dia teringat masih saja hatinya merasa penasaran dan kecewa. Kedua kalinya ketika dia bertemu dengan Souw Lee Cin. Dengan bantuan dua orang perarnpok dia berhasil menjebak Lee Cin sehingga gadis itu terbius dan pingsan, lalu oleh dua orang pembantunya gadis yang pingsan itu dibawa kepadanya. Bagaikan daging sudah berada di bibir, tiba-tiba daging itu terlepas ketika Lee Cin ternyata hanya pura-pura pingsan dan bahkan hampir mengalahkan dalam perkelahian. Kalau teringat akan kedua peristiwa itu, hati Kwan Lok menjadi tidak senang, penasaran dan kecewa. Di pagi hari itu, dia sedang teringat akan kegagalan-kegagalan itu dan biarpun mulutnya tersenyum, sebenarnya hatinya sedang mengkal.

Itulah sebabnya ketika perwira kepala regu itu menegur dan menyuruhnya berhenti, hati yang sedang mengkal itu menjadi semakin marah. Biarpun suaranya masih lembut dan mulutnya masih tersenyum, namun di dalam ucapannya terkandung kemarahan.

"Aku tidak ada urusan dengan kalian, mengapa kalian menyuruhku berhenti?"

Komandan regu itu menjadi marah karena dia menganggap pemuda itu congkak, walaupun ucapannya lembut

"Hayo katakan siapa engkau dan apa keperluanmu berkeliaran di sini, di mana tempat tinggalmu dan mau apa engkau membawa-bawa pedang!" bentaknya.

Kwan Lok tersenyum lebar dengan pandang mata mengejek

"Namaku Ouw Kwan Lok, tempat tinggalku tidak tetap maka aku merantau dan sampai di tempat ini. Pedang ini kubawa untuk mengusir anjing-anjing yang hendak mengganggu aku dalam perjalananku!"

Komandan regu itu menjadi semakin marah karena dia menganggap bahwa dia bersama anak buahnya yang dimaki anjing-anjing! "Tidak tahukah engkau akan aturan kami bahwa orang biasa tidak diperbolehkan membawa senjata? Hayo berikan sepasang pedang itu kepadaku dan engkau boleh melanjutkan perjalanan."

"Ini adalah sepasang pedangku sendiri, mengapa engkau minta?"

"Kami harus merampas senjata tajam siapa pun, siapa tahu senjata tajam itu akan kau pergunakan untuk merampok!"

"Perwira bermata buta! Apakah engkau tidak dapat membedakan antara perampok dan orang baik-baik? Aku bukan perampok dan sepasang pedang ini tidak akan kuberikan kepada siapa pun."

"Engkau akan melawan pasukan pemerintah?"

"Kau kira aku takut menghadapi serombongan anjing yang hanya pandai menyalak?" jawab Kwan Lok dengan pertanyaan yang menghina.

Perwira itu menjadi marah dan dia memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menyerang pemuda berpakaian serba putih yang berani dan kurang ajar itu.

Para perajurit yang juga sudah marah melihat sikap Kwan Lok yang menantang dan menghina, sudah mencabut golok masing-masing dan mengeroyok pemuda itu. Serangan mereka bagaikan gelombang datangnya, bertubi-tubi banyak golok menyambar ke arah tubuh Kwan Lok. Pemuda ini cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan berloncatan ke sana sini. Karena pengeroyoknya berjumlah dua puluh lima orang dan rata-rata mereka memiliki ilmu golok yang lumayan, maka Kwan Lok terpaksa mencabut sepasang pedangnya dan mengamuk.

Akan tetapi, perwira itu pun memiliki ilmu pedang yang lumayan dan dibantu pengeroyokan dua losin perajurit, mereka mendesak Kwan Lok. Pemuda ini menjadi marah. Tangan kirinya berkali-kali bergerak dan ada sinar menyambar dari tangan kirinya, merobohkan empat orang perajurit yang terkena sambitan pisau terbangnya. Kemudian dia memutar sepasang pedangnya dan mengamuk. Pedangnya bergerak demikian hebatnya sehingga kembali empat operajurit roboh oleh sambaran sepasang pedangnya.

Tiba-tiba datang pula dua losin perajurit. Mereka adalah regu lain yang mengadakan perondaan di bawah bukit dan mereka melihat betapa rekan-rekan mereka sedang bertempur di lereng bukit itu. Maka, komandan regu mereka cepat memimpin mereka mengejar ke lereng bukit dan melihat betapa regu pertama mengeroyok seorang pemuda.berpakaian putih yang amat lihai, regu dua tanpa diminta segera menyerbu dan ikut pula mengeroyok!

Betapa lihainya Kwan Lok, dikeroyok oleh empat puluh orang lebih itu dia menjadi terdesak. Dua orang perwira itu memberi perintah kepada anak buah mereka sehingga mereka mengepung ketat dan menyerang dari semua jurusan. Kwan Lok terpaksa memutar kedua pedangnya untuk menyelimuti tubuhnya agar terlindung dari hujan bacokan golok. Untuk melarikan diri, sukar baginya karena perajurit yang banyak jumlahnya itu telah mengepungnya secara berlapis-lapis.

Pada saat itu, muncul seorang pemuda lain yang juga tampan dan gagah, berpakaian mewah. Dia muncul bersama seorang yang bertubuh pendek kokoh berusia sekitar empat puluh tahun dan ada sebatang pedang bengkok tergantung di punggungnya. Pemuda tampan berpakaian mewah itu bukan lain Siangkoan Tek, sedangkan orang katai itu adalah Yasuki, orang Jepang yang ahli bermain pedang samurai itu. Ketika Yasuki bertemu dengan Siangkoan Tek di jalan, Yasuki segera mengenal pemuda itu. Memang Siangkoan Bhok, majikan Pulau Naga itu amat dikenal oleh semua bajak laut, terutama lagi oleh para bajak laut Jepang yang harus mengakui kehebatan orang-orang Pulau Naga, maka para bajak laut Jepang itu dengan cerdik bersikap sebagai sahabat dengan Pulau Naga, bahkan mereka selalu mengirim barang berharga sebagai tanda persahabatan dan sebagai bagi hasil bajakan mereka. Demikianlah, begitu bertemu Siangkoan Tek, Yasuki mengenalnya dan menghormatinya. Mereka becakap-cakap dan Yasuki mulai membujuk Siangkoan Tek untuk membantu persekutuan mereka untuk menentang pemerintah Mancu.

Siangkoan Tek segera menyatakan persetujuan. Ayahnya sendiri pun tidak suka kepada Pemerintah Mancu, dan mereka sudah sering bentrok dengan pasukan Mancu. Bahkan ketika dia menawan Hwe Li, dia diserbu pasukan kerajaan dan dia sendiri menganggap kerajaan Mancu sebagai pihak pihak yang harus ditentang dan dimusuhi.

Yasuki lalu mengajak Siangkoan Tek untuk pergi ke Hui-cu dan dalam perjalanan itu mereka melihat Ouw Kwan Lok dikeroyok empat puluh lebih perajurit kerajaan. Mereka berdua kagum melihat sepak terjang Ouw Kwan Lok yang menghadapi pengeroyokan itu.

"Pemuda itu lihai sekali," kata Yasuki,

"dan dia dikeroyok oleh pasukan pemerintah. Kalau dia dapat ditarik menjadi sekutu, tentu akan baik sekali dan memperkuat keadaan kita. Mari kita bantu dia, Siangkoan-kongcu."

Siangkoan Tek setuju karena dia pun tertarik kepada pemuda berpakaian putih yang tampan dan juga lihai itu. Mereka berdua lalu menerjang dari luar kepungan. Dengan terjunnya dua orang ini dalam pertempuran, pihak pasukan menjadi kocar-kacir. Kekuatan mereka terpecah-pecah untuk mengeroyok tiga orang lihai itu.

Akan tetapi ketika pihak pasukan sedang terdesak, muncul Lee Cin! Gadis perkasa ini segera mengenal tiga orang yang dikeroyok para perajurit itu. Ouw Kwan Lok pernah menawannya sampai dua kali dengan cara curang sekali. Pemuda berpakaian putih itu tentu saja menjadi musuh besarnya, Siangkoan Tek juga bukan pemuda baik-baik, ia mengenal putera datuk besar majikan Pulau Naga itu. Adapun orang ke tiga adalah Yasuki yang pernah bertanding dengannya di rumah keluarga Cia. Maka, melihat mereka bertiga dikeroyok pasukan, mudah saja ia mengambil keputusan untuk membantu pihak mana.

"Tiga orang itu penjahat-penjahat besar, jangan sampai lobos!" teriaknya dan dia sudah mencabut Ang-coa-kiam dan menerjang ke dalam pertempuran, langsung saja ia menyerang Ouw Kwan Lok yang paling dibencinya di antara tiga orang itu.

Ouw Kwan Lok terkejut sekali melihat sinar merah menyambarnya, apalagi ketika melihat bahwa yang menyerangnya adalah Souw Lee Cin yang kelihaiannya sudah dia rasakan. Dia cepat menangkis dengan pedang kanannya, sedangkan pedang kiri menahan senjata para pasukan yang mengeroyoknya.
"Keryok yang lain, biar yang satu ini aku yang menghajarnya!" teriak Lee Cin kepada para perajurit. Maklum bahwa mereka mendapat bantuan seorang gadis cantik yang amat lihai, para perajurit yang tadinya mengeroyok Kwan Lok segera berbalik dan membantu teman-teman yang mengeroyok Siangkoan Tek den Yasuki. Bantuan Lee Cin membuat keadaan berimbang kembali, bahkan ia sendiri sudah mendesak Ouw Kwan Lok yang sudah jerih terhadapnya.

Karena Lee Cin maklum bahwa dua orang yang lain itu juga lihai dan belum tentu pengeroyokan para perajurit dapat mengalahkan mereka, dikerahkan tenaganya dapat segera mengalahkan Kwan Lok. Ia bukan saja memainkan Ang-coa-kiamsut yang dahsyat, akan tetapi juga menggunakan tangan kirinya untuk menyelingi serangan serangan dengan totokan It-yang-ci yang amat hebat itu.

Yasuki terkejut juga melihat munculnya Lee Cin karena ia pun pernah dirobohkan oleh pendekar wanita yang cantik itu. Niatnya bukan untuk mengalahkan pasukan itu, melainkan lebih untuk menarik hati Kwan Lok agar mau dibujuk untuk bersekutu dengan pihaknya. Maka karena khawatir kalau Kwan Lok akan celaka di tangan Lee Cin, dia pun berteriak dengan keras,

"Kita lari! Tiada gunanya dilanjutkan!"

Agaknya Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok juga mengerti bahwa pihak mereka akan menderita kerugian kalau pertempuran itu dilanjutkan, terutama sekali Kwan Lok. Maka mendengar seruan ini, dia lalu membalik dan menyerang para pengeroyok untuk membuka jaian. Demikian pula Siangkoan Tek. Akhirnya, dalam keadaan para pengeroyok menjadi kacau sehingga Lee Cin juga terhalang oleh gerakan mereka, tiga orang itu meloncat dan melarikan diri.

Lee Cin merasa penasaran sekali. Ia sudah hampir dapat merobohkan dan membunuh Ouw Kwan Lok yang jahat, akan tetapi pemuda itu dapat membebaskan diri melalui kekacauan para pengeroyok. Karena merasa bahwa ia mampu mengengejar, ia lalu meloncat dan melakukan pengejaran dengan cepat sambil berseru,

"Penjahat cabul, engkau hendak lari ke mana?"

Tiga orang itu berlari cepat, akan tetapi gerakan Lee Cin lebih cepat lagi. Para perajurit lalu melakukan pengejaran, akan tetapi mereka tertinggal jauh. Hanya Lee Cin sendiri yang masih terus mengejar ketika tiga orang itu menyusup ke dalam hutan kecil.

Ketika Lee Cin meloncat pula ke hutan dan melakukan pengejaran sampai ke tengah hutan, tiba-tiba tiga orang yang dikejarnya itu berhenti dan membalikkan tubuh, langsung menyambut Lee Cin dengan serangan mereka! Lee Cin menggerakkan pedangnya dan ia lalu dikeroyok tiga. Barulah dara perkasa ini terkejut setelah menghadapi pengeroyokan tiga orang itu. Ia telah masuk perangkap! Akan tetapi sama sekali ia tidak menjadi jerih dan dengan cepat menggerakkan pedangnya melawan mereka.
Dibandingkan dengan Ouw Kwan Lok atau Siangkoan Tek, ilmu kepandaian Lee Cin lebih menang sedikit. Melawan seorang di antara mereka saja, biarpun mampu menang akan tetapi akan makan waktu cukup banyak. Kini ia harus menghadapi pengeroyokan mereka, masih ditambah lagi dengan Yasuki yang menggunakan pedang samurainya! Tentu saja Lee Cin segera terdesak. Akan tetapi ia tidak menyesal dan tak takut sedikit pun juga. Ia akan melawan sampai mati!

"Tangkap ia, jangan bunuh!" teriak Ouw Kwan Lok kepada dua orang yang membantunya.

"Ya, jangan bunuh!" kata pula Siangkoan Tek yang sejak lama telah tergila-gila kepada Lee Cin. Bahkan di dalam hatinya dia sudah mengambil keputusan untuk memperisteri Lee Cin. Hanya gadis inilah yang dipilih, yang dirasa cocok untuk menjadi isterinya.

Mendengar teriakan mereka, Yasuki ingin menyenangkan hati kedua orang pemuda yang diharapkan membantu gerakannya itu. Dia lalu mengambil sebuah benda bulat sebesar telur ayam dari saku bajunya dan membantingnya di depan Lee Cin. Terdengar ledakan keras dan asap tebal bergulung-gulung di depan Lee Cin dan membuat gadis itu tidak dapat melihat dengan jelas. Kesempatan itu dipergunakan oleh tiga orang pengeroyoknya untuk menerjang dan mengirim serangan dengan tangan kosong agar tidak melukainya.

"Dukkkk!!" Lee Cin mencoba untuk mengelak, akan tetapi sebuah totokan dari tangan Siangkoan Tek mengenai pundaknya dan ia pun roboh terpelanting dan pedangnya terlepas dari tangannya.
Siangkoan Tek menyambar tubuh gadis itu dan segera dipondongnya, sedangkan Ouw Kwan Lok mengambil pedang ular merah yang terlepas dari tangan gadis itu.

"Yasuki, kelak saja kita bicara, sekarang aku hendak pergi dulu!" kata Siangkoan Tek sambil melangkah hendak membawa pergi Lee Cin yang sudah tak berdaya dan dipondongnya. Akan tetapi sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Ouw Kwan Lok sudah berada di depannya dengan alis berkerut.

"Hendak kau bawa ke mana gadis itu?" bentak Ouw Kwan Lok.

"Ia calon isteriku!" jawab Siangkoan Tek.

"Enak saja kau bicara. Gadis itu adalah musuh besarku. Tidak boleh engkau membawanya pergi. Serahkan kepadaku!"

"Serahkan kepadamu? Apakah engkau gila, sobat?" kata Siangkoan Tek sambil mengerutkan alisnya.

"Gadis itu adalah Souw Lee Cin, ia milikku!" kata pula Ouw Kwan Lok sambil menatap tajam wajah Siangkoan Tek.

"Siapa bilang ia milikmu? Ia calon isteriku!"

Melihat kedua orang pemuda itu sudah saling melotot dengan marah, Yasuki segera melompat ke depan

"Aih, kenapa kalian saling berebutan? Melihat gadis ini menyerang kita, jelas ia bukan sahabat siapa pun di antara kita. Karena itu, daripada kalian berebutan, sebaiknya diambil jalan yang ditempuh orang-orang gagah. Biar kalian bertanding dengan taruhan gadis ini. Siapa yang menang boleh memilikinya, dan yang kalah tidak boleh menuntut. Beranikah kalian bertanding dan saling mengalahkan untuk mendapatkan gadis ini?"

"Tentu saja aku berani!" kata Ouw Kwan Lok.

"Siapa yang takut?" kata pula Siangkoan Tek.

"Bagus, biar aku yang menjaga agar gadis itu tidak kabur." Setelah berkata demikian, Yasuki mengambil tubuh Lee Cin dari pondongan Siangkoan Tek dan merebahkan tubuh yang lemas tak berdaya itu ke atas tanah

"Akan tetapi sebelum bertanding, sebaiknya kalau engkau memperkenalkan dirimu terlebih dulu, sobat!" kata lagi Yasuki sambil memandang kepada Ouw Kwan Lok

"Kita sudah bekerja sama melawan pasukan tadi, berarti kita sudah sepatutnya menjadi sahabat. Namaku sendiri adalah Yasuki, dan Kongcu ini adalah Kongcu Siangkoan Tek, putera dari majikan Pulau Naga." Dia memperkenalkan dirinya dan juga Siangkoan Tek.

Mendengar nama majikan Pulau Naga, Kwan Lok diam-diam terkejut dan memandang Siangkoan Tek penuh perhatian. Pemuda itu lebih muda dua tahun darinya, pakaiannya mewah, gerak-geriknya lembut, wajahnya amat tampan dan sinar matanya menunjukkan kecerdikan. Dia terkejut akan tetapi tidak takut, dan dia pun memperkenalkan dirinya, mengaku siapa guru-gurunya karena dia tahu bahwa di depannya adalah seorang putera datuk sesat.

"Namaku Ouw Kwan Lok. Guruku yang pertama adalah mendiang Pak-thian-ong dan guruku ke dua adalah Mo-ong." Sengaja dia menyebut nama kedua orang gurunya yang keduanya juga datuk-datuk besar untuk mengimbangi kebesaran nama datuk Siangkoan Bhok majikan Pulau Naga!

Benar saja dugaannya. Mendengar nama-nama kedua orang guru itu, Siangkoan Tek tampak kaget. Dia bertemu dengan orang segolongan! Akan tetapi bagaimana mungkin dia mau mengalah kalau itu mengenai diri Lee Cin, gadis yang membuatnya tergila-gila sejak lama? Dia benar-benar hendak memperisteri Lee Cin, bukan sekedar mempermainkannya seperti para wanita lain yang pernah didapatkannya. Dia merasa bahwa ada dua orang wanita yang cocok dan pantas menjadi isterinya, yaitu Tang Cin Lan telah menjadi isteri Song Thian Lee, maka tinggal Souw Lee Cin inilah yang harus menjadi isterinya! Maka, siapa pun yang akan menghalanginya, akan dianggap musuhnya. Akan tetapi dia pun maklum bahwa pemuda seperti Ouw Kwan Lok ini amat menguntungkan kalau dijadikan sekutu, persekutuan untuk menggulingkan Kerajaan Ceng. Siapa tahu usaha itu berhasil dan kelak dia akan mendapat kesempatan untuk menjadi raja baru! Atau setidaknya menjadi bangsawan tinggi. Hal ini tidak kalah pentingnya Souw Lee Cin yang akan dia peristeri.

"Ah, kiranya engkau adalah murid kedua datuk itu! Pantas engkau lihai dan pemberani. Akan tetapi sekali lagi kuberitahukan kepadamu, sobat bahwa Souw Lee Cin ini adalah wanita yang sudah lama kuidam-idamkan menjadi isteriku."

"Saudara Siangkoan Tek, aku pun mengenal nama besar ayahmu. Maafkanlah kalau terpaksa aku tidak mau mengalah karena aku pun tergila-gila kepada Souw Lee Cin, di samping ia adalah musuh besar guru-guruku yang harus kubalaskan dendamnya kepadanya."

"Kalau begitu kita bertanding untuk memperebutkan gadis ini?" tanya Siangkoan Tek.

Ouw Kwan Lok menghela napas panjang

"Aku menyesal sekali. Akan tetapi agaknya tidak ada lain jalan bagi kita kecuali mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih berhak memilikinya."

"Karena kalian bertanding bukan karena permusuhan, aku mengusulkan agar diadakan pertandingan dengan tangan kosong saja," kata Yasuki.

Dua orang pemuda itu saling pandang lalu menganggukkan kepala tanda setuju. Siangkoan Tek memasang kuda-kuda yang gagah sebagai pembukaan ilmu silatnya. Dia hendak memainkan ilmu silat Kui-liong-kun (Silat Naga Iblis) yang diajarkan ayahnya, lalu berkata,

"Silakan, saudara Ouw, aku sudah siap!"

Ouw Kwan Lok juga segera memasang kuda-kuda ilmu silat Hek-wan-kun (Silat Lutung Hitam) yang merupakan ilmu silat utara yang bercampur dengan ilmu gulat. Ilmu ini dia pelajari dari mendiang Pak-thian-ong Dorhai, datuk besar dari utara itu.

"Lihat serangan!" bentak Ouw Kwan Lok dan kedua tangannya bergantian mencengkeram dan memukul ke depan dengan dahsyat, bertenaga besar dan cepat sekali. Akan tetapi Siangkoan Tek sudah siap dengan ilmu silat Kui-liong-kun. Dia membuat gerakan melebar ke kiri menghindarkan dua serangan kedua tangan itu dan membalas dengan sodokan tangan ke arah lambung lawan. Akan tetapi Kwan Lok juga dapat mengelak dengan cepat, kemudian kembali dia menyerang, sekali ini kaki kanannya menendang dan ketika tubuh lawan condong ke kanan untuk mengelak, tangan kirinya menyambar untuk menangkap pundak lawan. Kalau tangan kiri itu dapat menangkap pundak, tentu akan dilanjutkan dengan tarikan dan bantingan. Akan tetapi, kembali Siangkoan Tek merendahkan pundaknya untuk mengelak dan tangan kanannya sudah menghantam ke arah kepala lawan. Pukulan ini cepat sekali datangnya sehingga terpaksa Kwan Lok yang tidak keburu mengelak itu memutar lengan kirinya dan menangkis pukulan itu.

"Dessss......!!" Dua lengan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang. Keduanya terkejut karena mendapat kenyataan bahwa tenaga mereka seimbang. Karena maklum bahwa tenaga lawannya tidak kalah kuatnya, Siangkoan Tek mengubah caranya bersilat. Kini dia bersilat dengan lembut gemulai seperti seorang wanita menari dan inilah Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) yang amat hebat dari Siangkoan Bhok!

Ketika merasakan betapa kedua tangan lawannya menyambar-nyambar dan mendatangkan hawa panas, maklumlah Ouw Kwan Liok bahwa lawannya menggunakan pukulan beracun. Dia pun mengubah silatnya, kini dia bersilat dengan ilmu silat Pek-swat-tok-ciang (Tangan Beracun Salju Putih). Kedua tangannya berubah pucat seperti tangan mayat dan dari kedua tangannya menyambar hawa dingin sekali. Perkelahian itu semakin seru dan Yasuki yang menonton dari samping itu merasa bulu tengkuknya meremang menyaksikan betapa kedua orang muda itu menggunakan pukulan yang demikian dahsyatnya. Yang satu mengeluarkan hawa panas dan yang lain mengeluarkan hawa dingin.

Sampai seratus jurus mereka saling serang namun belum tampak siapa yang lebih unggul. Sementara itu, Lee Cin yang melihat kedua orang muda itu bertanding merasa mendapat kesempatan. Diam-diam ia mencoba untuk mengerahkan tenaganya agar totokannya terbuka Namun, ia belum berhasil sehingga dahinya penuh keringat, hanya kedua kakinya saja yang dapat bergerak-gerak sedikit. Sebelum ia berhasil membuat seluruh tubuhnya bergerak, Yasuki menoleh kepadanya. Orang Jepang ini melihat gadis itu menggerak-gerakkan kakinya. Dia segera meloncat mendekati, melolos sabuknya yang berwarna merah dan segera mengikat kedua kaki tangan Lee Cin agar gadis itu tidak dapat meloloskan diri. Yasuki tidak pandai ilmu totok, akan tetapi dia mengerti bahwa kalau totokan itu sudah punah, gadis lihai itu tentu dapat bergerak kembali. Maka sebelum totokan itu punah, dia mengikat kaki tangannya sehingga gadis itu benar-benar tak berdaya!

Lee Cin benar-benar merasa tidak berdaya sekarang. Totokannya saja belum berhasil ia buka, kini kaki tangannya malah diikat dengan tali sutera yang amat kuat. Akan tetapi biarpun ia tidak berdaya bukan berarti bahwa ia putus asa. Gadis perkasa ini tidak akan putus asa selagi ia masih bernapas! Pedangnya dirampas Ouw Kwan Lok. Yang ada hanya sulingnya yang terselip di pinggang. Akan tetapi ia pun tidak dapat mengambil sulingnya karena kedua tangannya diikat ke belakang tubuhnya. Andaikata dapat juga, untuk apa? Memanggil ular? Kedatangan banyak ular tidak akan mampu membebaskannya, apalagi tiga orang itu amat lihai, tentu tidak takut akan ular. Bahkan andaikata ia dapat memegang sulingnya, benda itu tidak dapat ia pergunakan untuk melepaskan tali yang mengikat kaki tangannya.

Ia maklum bahwa siapapun juga yang menang dalam pertandingan itu, tetap saja ia akan celaka. Hanya agaknya malapetaka yang akan menimpa dirinya apabila terjatuh ke tangan Ouw Kwan Lok akan lebih mengerikan. Ia tahu akan niat pemuda itu. Pemuda itu hendak membalaskan sakit hati guru-gurunya, tentu akan menyiksa dan membunuhnya setelah mempermainkannya sebagai pemuas nafsunya. Mengerikan! Kalau terjatuh ke dalam tangan Siangkoan Tek mungkin masih ada harapan untuk lolos, karena pemuda itu menghendaki ia menjadi isterinya, dan tentu akan senang kalau ia menyerahkan diri dengan sukarela daripada dengan paksaan. Ia melirik ke arah mereka.

Lebih dari seratus jurus mereka bertanding akan tetapi belum ada yang menang dan kalah. Siangkoan Tek melompat ke belakang sambil berseru,

"Tahan dulu!"

Ouw Kwan Lok menghentikan gerakannya. Keduanya sudah berkeringat. Pertandingan yang seimbang itu menguras tenaga

"Mengapa berhenti?" tanya Kwan Lok.

"Kita sudah bertanding lebih dari seratus jurus dan tidak ada yang mendesak atau terdesak. Kita seimbang dalam ilmu silat tangan kosong. Untuk menentukan kemenangan, bagaimana kalau kita menggunakan senjata?"

"Bagus, aku pun pikir lebih baik begitu!" kata Ouw Kwan Lok. Dia lalu mencabut pedang Ang-coa-kiam yang terselip di ikat pinggang, lalu menyerahkan pedang itu kepada Yasuki

"Biarlah pedang ini menjadi tambahan taruhan pertandingan ini!" Setelah Yasuki menerima Ang-coa-kiam dan meletakkannya di dekat Lee Cin seolah-olah gadis dan pedang itu yang menjadi taruhan di antara kedua orang pemuda itu, Ouw Kwan Lok lalu mencabut sepasang pedangnya dan memasang kuda-kuda di depan Siangkoan Tek.
Pemuda itu juga mencabut pedang tunggalnya dan kembali mereka berhadapan sambil memasang kuda-kuda dan saling pandang dengan sinar mata tajam, seolah dua ekor ayam jantan yang siap berlagak dan bertanding. Diam-diam Yasuki yang mengerutkan alis dan merasa khawatir, maka kembali dia memperingatkan karena dia tidak ingin kehilangan seorang di antara dua pemuda itu.

"Harap kalian ingat bahwa ini hanya pertandingan adu silat, bukan permusuhan. Kita berada di antara orang-orang sendiri!"

Siangkoan Tek tersenyum. Ouw Kwan Lok juga tersenyum. Keduanya mengerti dan tidak merasa khawatir karena mereka yang telah menguasai ilmu pedang dengan baik, tentu saja dapat menguasai gerakan pedang mereka dan dapat menahan kalau pedang akan melukai atau membunuh lawan.
"Silakan, Saudara Ouw!" Tantang Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok juga tidak ragu-ragu lagi, menggerakkan sepasang pedangnya di atas kepala dan di depan dada.

"Lihat serangan pedangku!" dia berteriak dan cepat sekali sepasang pedangnya bergerak dan menyerang. Namun Siangkoan Te k juga sudah siap, dengan mudah dia mengelak dan pedangnya membalas dengan sambaran ke arah leher lawan.

"Tranggg....!" Dua batang pedang bertemu dan bunga api berpijar. Keduanya mundur untuk memeriksa pedang masing-masing. Ternyata pedang mereka tidak rusak, maka mereka menerjang maju lagi dan terjadilah pertandingan yang lebih hebat daripada tadi karena kini yang menyambar-nyambar dahsyat adalah tiga batang pedang yang membentuk lingkaran-lingkaran sinar yang menyilaukan mata.
Lee Cin masih berusaha untuk memunahkan totokan yang membuat ia tidak mampu bergerak. Kalau tadi ia mengharapkan bahwa kedua orang itu akan saling serang dan saling bunuh, harapannya itu menghilang ketika dara ini melihat cara mereka bertanding. Baik tadi maupun sekarang menggunakan pedang, ia tahu bahwa mereka tidak akan saling melukai atau membunuh. Dengan demikian, harapan untuk dapat lolos dari bahaya makin jauh lagi darinya. Betapapun juga, kalau saja ia dapat membebaskan diri dari totokan dan ikatan sabuk sutera itu, tentu ia dapat berusaha untuk meloloskan diri dari ancaman bahaya.

Yasuki yang amat tertarik oleh pertandingan pedang antara kedua orang pemuda itu yang kini terlibat dalam pertandingan yang amat seru. Jago dari Jepang ini kagum sekali dan dia tahu benar bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi seorang di antara kedua orang pemuda itu. Saking tertarik dan asyiknya dia menonton pertandingan, sampai dia tidak menyadari bahwa ada bayangan orang mengintai tak jauh di belakangnya, di balik sebatang pohon. Akan tetapi Lee Cin yang menghadap ke arah itu, dapat melihat ini dan jantungnya berdebar penuh harapan. Ia tidak tahu siapa bayangan itu dan apa maunya, akan tetapi ia seperti dapat firasat bahwa orang itu tentu akan menolongnya.

Debar jantungnya makin menguat dan harapannya semakin menebal ketika akhirnya ia melihat bahwa bayangan itu adalah seorang berpakaian serba hitam dan memakai kedok hitam yang hanya memperlihatkan sepasang mata yang mencorong tajam. Si Kedok Hitam! Kembali orang aneh itu akan menolongnya!

Si Kedok Hitam menyelinap dari pohon ke pohon dan akhirnya tiba dekat sekali dengan tempat itu. Tiba-tiba dia meloncat ke dekat Lee Cin, tangan kirinya menotok jalan darah membebaskan Lee Cin dari totokan yang membikin ia tak mampu bergerak dan sekali pedangnya berkelebat, ikatan kaki tangan pada tubuh Lee Cin juga putus. Gadis itu cepat menggulingkan tubuhnya ke arah pedangnya dan menyambar pedang itu lalu melompat berdiri.

Setelah Lee Cin bebas, agaknya baru Yasuki mendengar gerakannya. Dia menoleh dan kaget bukan main melihat Lee Cin sudah berdiri dengan Ang-coa-kiam di tangan dan di sebelahnya terdapat seorang berkedok hitam yang matanya mencorong bersinar-sinar!


Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Celaka! Ada musuh datang!" teriaknya kepada dua orang pemuda yang sedang bertanding sambil cepat mencabut samurainya dan menyerang ke arah Si Kedok Hitam karena untuk menyerang Lee Cin, dia merasa jetih. Akan tetapi, Si Kedok Hitam dengan amat mudahnya mengelak dari sambaran samurai dan biarpun samurai itu terus mengejarnya, dia tetap mengandalkan kelincahan tubuhnya untuk mengelak ke sana-sini. Kemudian, ketika dia mendapat kesempatan, kakinya menendang dengan cepat seperti kilat menyambar dan tubuh Yasuki terlempar ke belakang bagaikan daun kering ditiup angin. Yasuki terkejut sekali dan dadanya terasa nyeri ketika dia terbanting kemudian mencoba untuk cepat berdiri lagi, akan tetapi dia menyeringai karena dadanya terasa sesak.

Pada saat itu, Ouw Kwan Lok dan Siangkoan Tek berlompatan ke belakang dan memutar tubuh. Mereka kaget bukan main melihat Yasuki terlempar dan terbanting, sedangkan Lee Cin sudah berdiri bebas dengan pedang di tangan di samping seorang berkedok hitam. Yang lebih terkejut adalah Kwan Lok karena dia pernah bertemu dengan Si Kedok Hitam dan mengenal kelihaiannya.

Lee Cin tidak membuang waktu lagi. Cepat ia melompat ke depan dan menyerang Kwan Lok dengan Ang-coa-kiam yang bersinar merah. Di antara kedua orang pemuda itu, Kwan Lok yang paling dibencinya, maka langsung ia menyerang pemuda itu dengan pedangnya. Terpaksa Kwan Lok menangkis dan segera keduanya bertanding dengan seru.

Siangkoan Tek juga kaget melihat Lee Cin sudah bebas. Melihat Si Kedok Hitam, maklumlah dia bahwa orang ini yang telah menolong Lee Cin. Maka dia pun cepat menyerang Si Kedok Hitam dengan pedangnya dan segera kedua orang ini pun terlibat dalam perkelahian yang seru. Ketika Si Kedok Hitam menangkis pedangnya, barulah Siangkoan Tek terkejut karena tangannya yang memegang pedang tergetar hebat, tanda bahwa Si Kedok Hitam itu memiliki tenaga sakti yang kuat sekali. Dia mempercepat serangannya dan kini mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Kui-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Iblis). Namun, Si Kedok Hitam dapat mengimbanginya dengan ilmu pedangnya yang cepat dan mengandung tenaga. Yasuki menjadi gelisah sekali. Dia tahu bahwa Si Kedok Hitam juga memiliki kepandaian tinggi sehingga belum tentu Siangkoan Tek dapat menang. Terutama sekali dia melihat betapa Lee Cin mengamuk dan mendesak terus kepada Kwan Lok sehingga biarpun pemuda itu menggunakan sepasang pedang, dia terpaksa banyak main mundur.

Melihat keadaan yang tidak menguntungkan ini, Yasuki mengambil dua buah benda seperti bola dari saku bajunya dan berseru kepada dua orang pemuda itu

"Mari, cepat kita pergi!" Dan dia lalu membanting kedua buah bola itu. Terdengar dua kali suara ledakan dan tampak asap putih mengepul tebal. Melihat ini, Lee Cin teringat betapa tadi dia dapat tertawan juga karena Si Jepang itu mempergunakan alat peledak. Maka ia cepat berseru kepada Si Kedok Hitam.

"Cepat menghindar ke belakang!" Ia sendiri melompat dengan cepat menjauhi asap tebal yang mengaburkan pandangan mata itu. Ternyata Si Kedok Hitam juga sudah melompat ke belakang. Ketika kemudian mereka mencari-cari tiga orang itu sudah tidak berada di situ lagi, telah melarikan diri dengan bantuan asap tebal sehingga tidak tampak oleh Lee Cin dan Si Kedok Hitam.

Lee Cin membanting-banting kaki dengan hati kesal

"Mereka dapat melarikan diri lagi!"

"Mereka sudah pergi, tidak dapat dikejar lagi. Dua orang itu memang lihai sekali."

"Sobat, kembali engkau telah menyelamatkan aku dari malapetaka yang hebat. Dua kali engkau menolongku. Akan tetapi bagaimana mungkin aku akan dapat membalas budi kebaikanmu itu kalau aku tidak tahu engkau ini siapa? Karena itu, kumohon kepadamu, perkenalkanlah wajah dan namamu kepadaku."

Si Kedok Hitam menghela napas panjang

"Aku mempunyai alasan yang kuat untuk menyembunyikan wajahku di balik kedok ini, Nona. Karena itu maafkan kalau aku belum dapat memperkenalkan diri kepadamu. Dan tentang pertolongan itu, tidak perlu dipikir apalagi dibalas. Semua itu kulakukan sebagai kewajibanku dan aku yakin engkaupun juga akan menolong siapa saja tanpa pamrih sedikit pun untuk diingat atau dibalas."

Khawatir kalau Si Kedok Hitam segera meninggalkannya, cepat Lee Cin berkata,

"Baiklah, kalau engkau tidak mau memperkenalkan diri, aku pun tidak dapat memaksamu. Akan tetapi perlu kuperingatkan kepadamu bahwa keluarga Cia berada dalam bahaya besar."

Si Kedok Hitam memandang dan sinar matanya yang tajam itu penuh selidik

"Apa maksudmu, Nona?"

"Aku tahu bahwa keluarga Cia mengadakan hubungan persekutuan dengan orang Jepang bernama Yasuki itu. Kini Yasuki berada bersama dua orang pemuda itu, maka hal itu berarti bahwa ke luarga Cia juga mengadakan hubungan dengan mereka. Inilah sebabnya kukatakan bahwa keluarga Cia berada dalam bahaya besar."

"Siapakah kedua orang muda yang lihai itu, Nona?"

"Engkau tidak mengenal mereka? Yang bertanding denganrnu tadi adalah Siangkoan Tek, putera dari majikan Pulau Naga Siangkoan Bhok yang juga berjuluk Tung-hai-ong, datuk besar dari timur. Adapun orang ke dua yang bertanding denganku tadi bernama Ouw Kang Lok dan dia adalah murid mendiang Pak-thian-ong dan Thian-te Mo-ong, datuk dari utara dan selatan."

"Ah, pantas saja ilmu silat mereka demikian lihail" kata Si Kedok Hitam.

"Itulah sebabnya mengapa kukatakan bahwa keluarga Cia terancam bahaya besar kalau mereka mengadakan hubungan dengan dua orang dari golongan sesat itu. Tentu keluarga Cia akan dimusuhi oleh pemerintah dan juga oleh para pendekar."

"Akan tetapi mengapa engkau ceritakan hal itu kepadaku?"

"Karena aku harap engkau akan dapat memperingatkan keluarga Cia. Karena aku yakin bahwa engkau tentulah seorang anggauta keluarga itu. Akan tetapi mengapa engkau memusuhi Yasuki, padahal orang Jepang itu adalah sekutu keluarga Cia. Sobat, engkau membingungkan aku. Setidaknya katakanlah apakah dugaanku benar, bahwa engkau anggauta keluarga Cia?"

"Tidak dapat kukatakan, Nona, dan selamat tinggal!" Si Kedok Hitam berkelebat cepat sekali dan lenyap dari situ. Lee Cin hendak mengejar, akan tetapi ia merasa tidak ada gunanya membujuk Si Kedok Hitam itu untuk membuka rahasia siapa dirinya. Terpaksa ia pun meninggalkan hutan di bukit itu dan di sepanjang perjalanan, kenangan akan Si Kedok Hitam tak pernah dapat ia lupakan. Ada dua hal yang berlawanan mengenai diri orang aneh itu. Ia mengira bahwa Si Kedok Hitarn tentulah anggauta keluarga Cia, mungkin Cia Tin Siong yang juga berilmu tinggi, tampan dan lemah lembut namun gagah perkasa. Mungkin dia tidak menggunakan suling peraknya karena hal itu tentu akan membuka rahasia penyamarannya dan dia mempergunakan sebatang pedang. Akan tetapi andaikata benar, dia itu Cia Tin Siong, kenapa memusuhi Yasuki yang ia tahu sendiri bersekutu dengan keluarga Cia?

Lee Cin menjadi bingung. Hatinya tertarik dan terkesan sekali dengan kepribadian Si Kedok Hitam yang telah dua kali membebaskannya dari ancaman bahaya yang lebih mengerikan daripada maut. Ingin rasanya selalu berdekatan dan bercakap-cakap dengan Si Kedok Hitam. Akan tetapi ia tidak dapat membayangkan bagaimana wajahnya. Mungkin Cia Tin Siong, atau mungkin orang lain sama sekali yang tidak ada hubungannya dengan keluarga Cia. Yang jelas, dia memiliki bentuk tubuh yang sedang dan lembut namun kokoh seperti tubuh Tin Siong. Lee Cin menjadi bimbang dan penasaran.

Karena merasa penasaran dan ingin sekali mengetahui siapa adanya Si Kedok Hitam, Lee Cin lalu mengambil lain jalan. Si Kedok Hitam pernah berkunjung ke rumah Ji-taijin, agaknya mempunyai niat untuk membunuh pembesar yang setia kepada kerajaan itu. Sudah jelas bahwa pembesar itu dimusuhi oleh keluarga Cia dan Yasuki serta panglima yang disebut Phoa-ciangkun seperti yang pernah ia dengar dari percakapan mereka di taman keluarga Cia. Kalau Ji-taijin dimusuhi, besar kemungkinan Ji-taijin mengetahui siapa Si Kedok Hitam yang memusuhi itu. Pikiran ini membuat Lee Cin kembali lagi ke kota Hui-cu.

Hari masih pagi ketika Lee Cin mengunjungi gedung besar tempat tinggal Ji-taijin, kepala daerah Hui. Para perajurit yang berjaga di gardu depan, memandang kepadanya dengan heran. Jarang atau bahkan hampir tak pernah terjadi ada seorang gadis cantik berkunjung dan minta bertemu dengan Ji-taijin. Melihat pakaian gadis cantik itu yang serba ringkas dan suling yang terselip di pinggang, para penjaga itu dapat menduga bahwa Lee Cin tentu seorang gadis kang-ouw, maka timbul kecurigaan mereka.

"Siapakah namamu, Nona dan dari mana engkau datang?" tanya kepala jaga.

"Namaku Souw Lee Cin dan aku datang dari pegunungan Hong-san. Aku ingin bertemu dan bicara dengan Ji-taijin untuk sesuatu urusan yang penting sekali."

Para perajurit itu semakin curiga

"Nona harus memberitahukan lebih dulu urusan apakah yang hendak Nona bicarakan dengan Tai-taijin," kata pula kepala jaga yang mukanya brewok dan tubuhnya tinggi besar.

Lee Cin menjadi hilang kesabarannya. Akan tetapi ia teringat betapa pembesar itu sudah siap siaga untuk menghadapi kunjungan Si Kedok Hitam, maka tentu peraturan ini untuk menjumpainya diperketat karena para penjaga harus berhati-hati menjaga keselamatannya.

"Apakah itu merupakan suatu keharusan dan kenapa?" Lee Gin berbalik tanya kepada kepala jaga itu.

"Tentu saja, Nona. Kalau kami melapor ke dalam tentu kami akan ditanya dengan sejelasnya. Tanpa dapat memberi keterangan yang jelas tentang orang yang ingin bertemu, kami tentu akan dipersalahkan."

Lee Cin berpikir bahwa alasan itu benar juga. Yang hendak dikunjungi adalah seorang pembesar, orang terpenting di Hui-cu karena Ji-taijin adalah kepala daerah, maka tentu saja sebelum menemuinya, pembesar itu tentu ingin tahu lebih dulu apa yang menjadi maksud kunjungannya.

"Katakan bahwa aku datang untuk bicara dengannya tentang Si Kedok Hitam yang pernah mengganggunya."

Benar saja. Ketika mendengar ini, semua penjaga yang jumlahnya kurang lebih lima belas orang itu terbelalak dan segera mengepung Lee Cin!

"Nona Souw, apa yang kau ketahui tentang Si Kedok Hitam? Tahukah engkau di mana dia sekarang bersembunyi? Kami harus menangkapnya!"

"Aku tidak tahu di mana dia bersembunyi. Akan tetapi ketika malam itu dia berkunjung ke gedung ini, di atas atapnya aku pernah bertemu dengannya dan kami sampai bertanding. Akan tetapi dia dapat meloloskan diri dan lari. Karena itulah hari ini aku ingin bicara dengan Ji-taijin tentang dia. Nah, sudah jelaskah? Jangan mengira bahwa aku bermaksud buruk terhadap Ji-taijin. Aku tahu bahwa beliau adalah seorang pembesar yang bijaksana, aku bahkan hendak melindunginya!"

"Kalau begitu, duduklah dulu, Nona Souw. Akan kami kabarkan ke dalam dan kalau Ji-taijin sudah menyatakan bersedia bertemu denganmu, tentu engkau akan kami hadapkan beliau."

Lee Cin mengangguk lalu duduk di atas bangku dalam gardu itu. Para penjaga memandangnya dari luar gardu dengan sinar mata kagum mendengar bahwa gadis itu pernah bertanding dengan Si Kedok Hitam! Kepala jaga itu lalu pergi ke gedung untuk melaporkan maksud kunjungan Lee Cin kepada para pengawal di dalam gedung untuk disampaikan kepada Ji-taijin.

Pembesar kepala daerah Hui-cu itu bernama Ji Kian, berusia empat puluh lima tahun dan dia seorang pejabat pemerintah yang bijaksana dan mencinta rakyatnya. Karena itu semua rakyat di Hui-cu, terutama kaum miskinnya, amat menghormatinya dan menyukainya. Dia seorang dermawan yang dengan gigih berjuang di waktu daerahnya sedang dilanda musim kering berkepanjangan. Dia mengatur penggalian sungai-sungai kecil sehingga saluran air di Hui-cu berjalan lancar, tidak lagi terdapat bajir di kala hujan lebat. Gudang berasnya selalu terbuka bagi mereka yang kekurangan makan. Di waktu hari-hari besar, terutama di hari tahun baru Imlek, dia membagi-bagikan hadiah kepada fakir miskin. Karena Ji-taijin seorang pejabat yang baik dan tidak korup, juga bersikap tegas kepada bawahannya, maka rata-rata para petugas pernerintah di Hui-cu juga bekerja dengan jujur dan baik. Tidak ada bawahan berani melakukan korupsi jika atasannya jujur dan anti korupsi. Sebaliknya, apabila pemimpin tertinggi melakukan korupsi, dengan sendirinya bawahannya tentu akan mencontoh atau setidaknya tidak takut untuk melakukan korupsi karena atasan mereka juga berbuat hal yang sama.

Ketika Ji-taijin mendengar bahwa ada seorang gadis cantik yang diduga seorang gadis kang-ouw ingin bertemu dan bicara dengannya mengenai urusan Si Kedok Hitam, dia terkejut dan terheran. Akan tetapi dia yakin bahwa gadis ini tidak mempunyai niat buruk. Orang yang berniat buruk tidak akan terang-terangan menghadapnya seperti itu, melainkan berusaha masuk seperti maling. Maka, dia pun siap menerima Lee Cin di dalam ruangan tamu yang besar dan tentu saja dia mempersiapkan pengawal-pengawalnya yang berjaga mengepung ruangan itu dan ada pula enam orang yang berjaga di dalam ruangan.

Lee Cin mengetahui bahwa ruangan itu terjaga keras, maka ia tersenyum ketika diantar penjaga memasuki ruangan tamu itu, di mana sudah duduk Ji-taijin yang menantinya. Begitu melihat seorang setengah tua duduk di ruangan itu dengan sikap santai dan dengan senyum di bibir, Lee On segera memberi hormat dengan mengangkat kedua tangannya ke depan dada.

"Harap Taijin suka maafkan kalau saya mengganggu waktu Taijin yang berharga," katanya.
Ji-taijin tersenyum lebar dan menggerakkan tangannya ke arah sebuah kursi di depannya, terhalang meja besar

"Silakan duduk, Nona Souw, dan jangan sungkan-sungkan."

"Terima kasih," kata Lee Cin lalu duduk di atas kursi itu. Ia melirik ke arah enam orang pengawal yang berdiri di belakang pembesar itu dan tersenyum.

"Jangan salah sangka, Nona. Semenjak rumah ini diganggu penjahat, terpaksa kami bersikap hati-hati dan pengawal selalu menemaniku. Akan tetapi mereka adalah pengawal-pengawal pribadi yang dapat dipercaya, maka kalau Nona hendak menceritakan sesuatu kepada kami, silakan dan jangan ragu-ragu. Nah, ceritakan siapa diri Nona dan apa yang mendorong Nona datang menemui kami."

"Taijin, saya bermana Souw Lee Cin dan saya datang jauh dari Pegunungan Hong-san. Saya melakukan perantauan dan kebetulan saja saya lewat di sini. Beberapa hari yang lalu, pada suatu malam saya melihat bayangan orang berkelebat di atas gedung ini. Karena saya mendengar bahwa Ji-taijin adalah seorang pembesar yang bijaksana, aku menyangka buruk dan segera mengejar bayangan itu. Ternyata dia seorang yang berkedok hitam dan saya menyerangnya. Terjadi perkelahian di antara kami dan dia melarikan diri. Nah, kedatangan saya ini untuk menyelidiki siapa adanya Si Kedok Hitam itu, Taijin, karena saya tertarik hendak menangkapnya. Taijin yang menjadi sasaran penyerangannya tentu mengerti mengapa hal itu terjadi dan mungkin Taijin dapat menduga siapa adanya Si Kedok Hitam itu."

Pembesar itu mengangguk-angguk setelah mendengarkan Lee Cin sambil menatap tajam wajah gadis itu penuh selidik

"Kami tertarik sekali mendengar laporan penjaga luar tadi, maka kami bergegas hendak menemuimu, Nona Souw. Kami sendiri sudah menyebar banyak penyelidik untuk mencari orang itu, akan tetapi semua usaha kami tidak berhasil. Setelah kami melakukan penjagaan ketat, penjahat berkedok hitam itu tidak pernah tampak lagi. Dan kemarin, pengawal mendapatkan sepucuk surat tertancap di dinding dengan pisau belati. Karena Nona bermaksud membantu kami menangkap Si Kedok Hitam, maka bolehlah Nona ikut membaca isi surat itu." Ji-taijin mengambil sehelai kertas dari saku bajunya dan memberikannya kepada Lee Cin. Dengan sikap tenang dan hormat Lee Cin menerima surat itu dan membacanya,

Ji-taijin yang terhormat, Karena engkau dikenal sebagai seorang pejabat yang bijaksana, maka aku tidak akan membunuh atau menyakitimu. Akan tetapi ingatlah bahwa engkau adalah seorang Han, maka jangan membiarkan dirimu menjadi antek penjajah Mancu yang memeras rakyat jelata.
Si Kedok Hitam.

Membaca surat yang ditulis dengan huruf-huruf indah dan rapi itu, Lee Cin termangu dan kagum. Dilihat dari tulisannya, jelas dapat diketahui bahwa Si Kedok Hitam adalah seorang terpelajar baik. Kata-katanya hormat dan halus, tulisannya gagah dan lembut. Ia mengembalikan surat itu kepada Ji-taijin yang menyimpannya kembali.

"Kalau menurut bunyi suratnya, dia tidak bermaksud buruk terhadap diri Taijin. Akan tetapi dapatkah Taijin menduga siapa kira-kira orang yang menggunakan nama Si Kedok Hitam itu?"'

"Sudah kami katakan bahwa kami belum mengetahuinya, Nona. Akan tetapi melihat isi suratnya, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang di antara golongan yang menamakan diri mereka patriot pejuang rakyat. Akhir-akhir ini memang kami telah mengetahui bahwa ada gerakan para patriot itu di daerah ini. Akan tetapi karena tidak tampak bukti mereka melakukan hal-hal yang mengacaukan atau merugikan, kami pun tidak melihat bukti dan tidak dapat berbuat sesuatu kecuali berjaga-jaga."

"Hemm, saya mendengar berita di dunia persilatan bahwa keluarga Cia yang tinggal di kota ini adalah keluarga patriot. Benarkah itu, Taijin?"

Pembesar itu memandang kagum dan mengangguk-angguk

"Agaknya pengetahuan Nona cukup luas. Kami juga mendengar demikian. Akan tetapi keluarga itu tidak pernah memperlihatkan sikap bermusuhan dengan para pejabat, bahkan mereka terkenal sebagai keluarga pendekar yang menentang para penjahat, maka kami pun tidak dapat berbuat apa-apa. Patriot atau bukan, selama mereka itu bersikap baik, menentang kejahatan dan menjaga ketenteraman kehidupan rakyat, pasti tidak akan kami tentang."

"Bagaimana dengan berita bahwa ada orang-orang asing dari Jepang yang berkeliaran di daerah ini, Taijin? Saya mendengar bahwa orang-orang Jepang itu bersikap mencurigakan, bukan sebangsa pedagang biasa. Siapa tahu mereka itu mata-mata yang dikirim orang-orang Jepang untuk menyelidiki keadaan di Hui-cu."

Pejabat itu menggeleng kepalanya

"Nona, kami adalah pegawai yang mengurus pemerintahan sipil. Mengenai hal itu, ada pejabat lain yang mengurusinya."

"Misalnya Panglima Un?" Lee Cin bertanya.

"Agaknya pengetahuan Nona memang luas. Dugaanmu benar. Mengenai keamanan pemerintahan, yang bertugas di daerah ini adalah Un-ciangkun. Mungkin dia lebih mengetahui tentang orang-orang Jepang yang kau tanyakan itu."

Lee Cin menganggguk-angguk. Mungkin Un-ciangkun juga lebih tahu tentang Si Kedok Hitam daripada kepala daerah ini. Ia lalu bangkit berdiri dan berkata,

"Banyak terima kasih atas kesediaan Taijin menerima saya dan atas semua keterangan yang saya dapatkan. Saya mohon diri, Taijin, dan mudah-mudahan Si Kedok Hitam tidak akan mengganggu Taijin lagi. Selamat tinggal."

Ji-taijin membalas penghormatan itu karena dia dapat menduga bahwa gadis itu bukan orang sembarangan dan berkata ramah,



Kemelut Kerajaan Mancu Eps 12 Jodoh Si Naga Langit Eps 11 Kemelut Kerajaan Mancu Eps 3

Cari Blog Ini