Ceritasilat Novel Online

Jodoh Si Naga Langit 11


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 11




"Moguhai......!!" Kuang Lin memanggil, akan tetapi gadis itu telah membalapkan kudanya dan telah jauh, sama sekali tidak menoleh atau menjawab. Kuang Lin berdiri mengikuti bayangan gadis itu dengan matanya, menghela napas panjang lalu dia pun menunggang kudanya, kembali ke kota raja. Dia harus melaporkan kepada ayahnya tentang kegagalan usahanya membujuk Moguhai.

Pulau yang berada di Laut Timur itu terpencil. Dari jauh tampak bentuknya melengkung seperti tubuh seekor udang. Karena bentuknya inilah maka pulau ini disebut Pulau Udang. Sebetulnya pulau itu tidak terlalu jauh dari pantai daratan dan mudah dikunjungi para nelayan. Akan tetapi tidak ada seorang pun nelayan berani berkunjung ke pulau itu, bahkan mendekatinya pun tidak berani. Mereka hanya berani mencari ikan paling dekat dua lie jauhnya dari Pulau Udang.

Semua orang tahu belaka bahwa pulau itu dikuasai seorang yang amat ditakuti. Tocu (Majikan Pulau) itu adalah Tung-sai (Singa Timur) Kui Tong yang dikenal sebagai seorang datuk kang-ouw yang menyeramkan. Setelah setiap orang nelayan berani mendekati pulau itu tewas, maka tidak ada lagi yang berani melanggar batas yang ditetapkan penguasa pulau itu, yakni tidak lebih dekat dari dua lie dari pulau.

Yang tinggal di Pulau Udang adalah Tung-sai Kui Tong dan anak buahya yang bersama keluarga mereka tinggal di pulau itu. Jumlah mereka berikut keluarga mereka ada tiga ratusan orang. Yang menjadi kepala dari keluarga-keluarga itu adalah murid atau anak buah Pulau Udang. Di antara mereka, yang menjadi pengawal pribadi Singa Timur, adalah limabelas orang gagu tuli. Seperti telah diceritakan di bagian depan, tadinya pengawal pribadi ini ada duapuluh orang, akan tetapi lima orang di antara mereka tewas di tangan Can Kok.

Kui Tong yang bertubuh tinggi besar bermuka singa yang menyeramkan, hidup bagaikan seorang raja di pulau itu. Tidak seperti para pria yang memiliki kekuasaan dan kekayaan seperti dia, Kui Tong hanya mempunyai seorang isteri. Padahal pada jaman itu, setiap orang pria yang kaya dan berkuasa, memiliki sedikitnya tiga orang selir di samping isterinya.

Kui Tong mempunyai seorang isteri yang amat dicintanya. Dia berusia enampuluh tahun lebih dan isterinya berusia empatpuluhan tahun, seorang wanita yang cantik dan lembut. Mereka mempunyai seorang anak perempuan yang kini telah berusia delapanbelas tahun bernama Kui Leng Hwa. Gadis ini cantik dan lembut seperti ibunya, akan tetapi ia sama sekali bukan gadis lemah. Sejak kecil ia telah mempelajari ilmu silat dari Ayahnya yang amat mencintainya.

Hari itu menjelang sore dan para anak buah Pulau Udang sudah pulang ke pondok masing-masing setelah melaksanakan pekerjaan sehari-hari mereka. Ada yang menjadi nelayan dan ada pula yang menggarap tanah di pulau itu.

Tiba-tiba semua orang dikejutkan suara menggereng atau mengaum seperti auman singa yang menggetarkan seluruh pulau. Mereka hanya menengok ke arah rumah induk tempat tinggal ketua atau majikan mereka dan tidak ada yang berani bersuara. Mereka merasa gentar sekali karena mengenal bahwa suara dahsyat itu adalah suara majikan mereka yang mengeluarkan auman seperti itu apabila dia sedang marah.

Mereka semua tahu bahwa kalau suara itu dikerahkan dan dipusatkan untuk menyerang lawan, suara itu menjadi ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa Sakti) yang dapat merobohkan lawan. Orang yang tidak amat kuat tenaga saktinya, diserang dengan auman ini dapat roboh dan mati seketika karena jantung mereka terguncang hebat! Akan tetapi auman yang sekarang dikeluarkan majikan mereka itu, hanya menggetarkan seluruh pulau dengan gemanya dan tidak mengandung tenaga menyerang, tanda bahwa majikan mereka sedang marah besar.

Di ruangan sebelah dalam rumah besar itu, Kui Tong memang sedang marah bukan main. Dia duduk di atas kursi menghadapi sebuah meja besar. Di sudut kamar, menghadapnya, berdiri seorang wanita setengah tua dan seorang gadis. Dua orang wanita ini cantik jelita dan memiliki bentuk wajah yang mirip satu sama lain. Mereka adalah Nyonya Kui dan puterinya, Kui Leng Hwa. Mereka berdua berdiri dan Leng Hwa merangkul pundak ibunya seolah hendak melindunginya. Mereka berdua sedang menghadapi Kui Tong yang marah-marah.

"Engkau tidak bisa memaksa anak kita yang satu-satunya ini untuk berjodoh dengan keponakanmu yang gila itu! Seekor harimau pun tidak akan mencelakakan anaknya! Apakah engkau hendak menyengsarakan kehidupan Leng Hwa dengan memaksanya menjadi isteri orang gila?" kata Nyonya Kui, suaranya tetap lembut walaupun ia marah sekali.

"Siapa bilang Can Kok gila? Dia menjadi seorang yang sakti luar biasa, maka wataknya menjadi aneh. Akan tetapi dialah harapan kami, Empat Datuk Besar, untuk membalaskan sakit hati kami dan untuk itu, sudah sepatutnya kalau dia menjadi mantuku!" Kui Tong membentak. Dia marah sekali, mukanya yang seperti muka singa itu berubah merah, akan tetapi dia tidak berani menentang pandang mata isterinya karena Datuk Besar yang sesat dan kejam ini tiba-tiba menjadi lemah kalau bertemu dengan sinar mata isterinya. Dia amat mencinta isterinya, lebih dari apa pun di dunia ini!

"Ayah, aku tidak mau menjadi isteri Can Kok. Daripada menjadi isteri orang gila itu, lebih baik aku mati!" Tiba-tiba Kui Leng Hwa berkata dengan tegas.

"Brakkkk!!" Meja itu hancur berkeping-keping ketika Kui Tong menghan-tamnya dengan tamparan tangannya. Dia bangkit berdiri dan matanya mencorong karena marah, memandang kepada puterinya.

"Apa? Engkau bilang lebih baik mati? Kalau begitu matilah!" Dia menyambar sebatang tombak dari rak, yaitu senjata andalannya yang membuat dia disebut Bu-tek Sin-jio (Tombak Sakti Tanpa Tanding) dan siap membunuh puterinya dengan tombak itu.

Akan tetapi tiba-tiba Nyonya Kui menghadang di depannya dan membu-sungkan dadanya.

"Langkahi mayatku dulu kalau engkau hendak membunuh anakku!" Nyonya yang biasanya lembut itu kini menatap wajah suaminya dengan sinar mata bersinar-sinar. Sejenak mereka saling berpandangan. Akan tetapi tidak lama. Kui Tong Datuk Besar yang terkenal sebagai Singa Timur dan yang ditakuti orang-orang di dunia kang-ouw tidak kuat bertahan beradu pandang dengan isterinya yang lembut dan lemah itu. Dia menundukkan pandang matanya.

"Sialan!" Dia menggerutu lalu dia menancapkan tombaknya di lantai. Tombak itu menghunjam lantai sampai setengahnya dan dia lalu meninggalkan ruangan itu dengan muka tunduk.

"Ibu......!" Leng Hwa kini menubruk dan merangkul ibunya sambil menangis. Tadi, di depan ayahnya yang marah-marah dan yang siap membunuhnya, gadis ini tidak tampak gentar dan sama sekali tidak menangis. Akan tetapi setelah ayahnya pergi, ia tidak mampu menahan kesedihan hatinya dan merangkul ibunya sambil menangis.

Mengagumkan sekali sikap Nyonya Kui, wanita yang lembut dan lemah itu. Ia sama sekali tidak menangis, hanya alisnya berkerut dan ia berkata kepada puterinya.

"Sudahlah, Leng Hwa. Mari kita bicara di dalam kamar." Ia mengajak puterinya masuk ke kamar Leng Hwa dan keduanya duduk di tepi pembaringan.

"Nah, sekarang katakan terus terang. Engkau mati-matian menolak kehendak Ayahmu untuk menjodohkanmu dengan Can Kok. Sesungguhnya, apa alasannya? Apakah hanya karena Can Kok itu seperti orang yang miring otaknya?"

"Ibu, bagaimana mungkin aku dapat menjadi isteri seorang yang gila dan mengerikan itu? Dahulu, Can Kok memang seorang pemuda yang baik dan sejak kecil menjadi teman baikku. Akan tetapi setelah dia dilatih oleh Empat Datuk Besar, dia menjadi gila dan mengerikan. Bahkan dia telah membunuh lima orang pengawal tuli gagu dari Ayah. Dulu memang aku tidak menolak ketika Ayah merencanakan untuk menjodohkan aku dengan Can Kok. Akan tetapi sekarang, ah, aku tidak sudi, Ibu."

"Akan tetapi, mengapa engkau memilih mati daripada menikah dengan dia, Leng Hwa?"

"Aku...... aku sudah bersumpah, lbu......"

"Bersumpah?"

"Ya, aku sudah bersumpah tidak akan menikah dan kalau dipaksa lebih baik mati kalau tidak......"

"Ya......?"

"......kalau tidak dengan dia...... ah, Ibu tentu telah tahu"""

"Hemm, engkau sungguh mencinta Ho Lam itu?"

Gadis itu menjadi merah kedua pipinya dan ia mengangguk.

"Dia seorang yang amat baik, Ibu. Dia lembut, bijaksana, dan selalu bersikap menentang kalau ada anak buah Pulau Udang melakukan kekejaman."

Ibunya menghela napas panjang.

"Ya, dia keponakanku dan dia memang lain. Karena wataknya yang bersih dia dibenci oleh Ayahmu dan sekiranya dia bukan keponakanku yang kulindungi, tentu dia sudah dibunuh Ayahmu sejak dulu. Akan tetapi dia yatim. piatu, tiada sanak keluarga......, hanya aku satu-satunya keluarga. Aku adik Ayahnya......"

"Kami sudah berjanji sehidup semati, Ibu. Aku siap hidup sederhana dan seadanya, sebagai isterinya."

Nyonya Kui menghela napas panjang.

"Aku dapat memahami perasaanmu, Leng Hwa, dan aku tidak menyalahkanmu. Aku bahkan setuju sepenuhnya kalau dapat berjodoh dengan Ho Lam. Akan tetapi apakah Ho Lam juga amat mencintamu?"

"Dia sanggup mengorbankan apa saja, bahkan nyawanya untukku, Ibu."

"Hemm. Ayahmu tentu akan mati-matian menentang perjodohanmu dengan Ho Lam."

"Kami sudah mengambil keputusan bulat, ibu. Kami akan nekat dan siap untuk mati di tangan Ayah, kalau Ayah memang tega kepadaku."

"Ayahmu pasti tega. Biarpun dia amat sayang kepadamu, namun dia jauh lebih sayang kepada dirinya sendiri. Tidak ada jalan lain, Leng Hwa. Engkau harus pergi bersama Ho Lam dari pulau ini. Malam ini juga sebelum terlambat!"

"lbu......!"

"Sudahlah engkau harus menurut kata-kataku. Ini jalan satu-satunya. Kalau terlambat, jangan harap engkau akan dapat berjodoh dengan Ho Lam. Ayahmu tidak akan membunuhmu, akan tetapi dia dapat memaksamu. Dia itu licik dan cerdik. Dia dapat menggunakan racun untuk menjebakmu sehingga engkau akan menyerahkan diri dengan rela kepada siapa pun yang dikehendaki Ayahmu. Cepat berkemas! Aku sendiri yang akan mengatur agar Ho Lam bersiap-siap dan menyediakan perahu untuk kalian."

Malam itu Pulau Udang kedatangan seorang tamu yang sudah dikenal oleh semua anggauta Pulau Udang, dan juga ditakuti karena tamu itu pernah membunuh lima orang pengawal Kui Tong yang gagu dan tuli. Tamu itu bukan lain adalah Can Kok. Para petugas jaga tidak ada yang berani menentangnya, bahkan menyambutnya dengan hormat lalu melaporkan kedatangan itu kepada Kui Tong. Mendengar akan kunjungan pemuda itu, dengan girang Kui Tong keluar menyambut.

"Ah, engkau Can Kok? Aku girang sekali engkau pulang!" kata datuk itu sambil tersenyum dengan wajah berseri. Dia merasa bangga kepada Can Kok. Pemuda ini adalah keponakannya, juga muridnya dan kini dia tahu bahwa pemuda ini telah memiliki ilmu kepandaian hebat, lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri. Sungguh membanggakan sekali untuk memamerkan Can Kok sebagai keponakan dan muridnya!

"Paman," kata Can Kok sambil memberi hormat.

Kui Tong merasa girang bahwa kini Can Kok tidak liar lagi. Agaknya pemuda itu telah mulai terbiasa dan dapat mengendalikan tenaga sakti yang amat dahsyat dalam dirinya, yang membuat dia ketika itu menjadi liar tak terkendali sehingga mengamuk, bahkan membunuh lima orang pengawalnya di Pulau lblis itu. Dia lalu menggandeng tangan pemuda itu.

"Mari masuk, kita bicara di dalam, Can Kok!"

Setelah duduk berdua dalam ruangan, Kui Tong segera bertanya, "Bagaimana hasilnya usahamu mencari dan membunuh Tiong Lee Cin-jin, Can Kok'?"

"Untuk membicarakan itulah aku datang ini, Paman. Aku belum dapat menemukan di mana adanya Tiong Lee Cin-jin. Akan tetapi aku telah bertemu dengan dua orang muridnya."

"Siapa mereka?"

"Mereka berjuluk Pek Hong Niocu dan Ang Hwa Sian-li."

"Ah, aku pernah mendengar nama gadis-gadis tokoh kang-ouw itu! Hemm, jadi mereka adalah murid-murid Tiong Lee Cin-jin? Lalu bagaimana, apakah engkau sudah menangkap atau membunuh mereka?"

Can Kok menggeleng kepalanya.

"Ketika itu aku bertemu dengan Kui Tung."

"Eh? Siapa orang yang namanya mirip dengan namaku itu?"

"Kui Tung adalah murid Suhu Lam-kai (Pengemis Selatan) Gui Lin dan kami berdua bertanding melawan dua orang gadis murid Tiong Lee Cin-jin. Sebetulnya kami sudah hampir dapat menundukkan mereka ketika tiba-tiba muncul sekitar seratus orang pasukan pemerintah. Sayang sekali, Paman. Aku tidak berhasil menangkap atau membunuh mereka."

"Bagaimana tingkat kepandaian mereka?"

"Sudah cukup tinggi. Murid Suhu Lam-kai masih kalah setingkat dibandingkan seorang di antara mereka. Akan tetapi aku masih dapat mengungguli mereka kalau bertanding satu lawan satu. Karena aku belum berhasil menemukan di mana adanya musuh besar kita itu, Paman, maka aku datang untuk minta petunjuk Paman. Dan pula, mengingat bahwa Tiong Lee Cin-jin mempunyai murid-murid lihai, maka setelah kita mengetahui di mana dia berada, agar jangan sampai gagal, sebaiknya Paman dan ketiga Suhu lainnya bersama aku menyerbu agar dia dapat kita bunuh."

"Kui Tong mengangguk-angguk.

"Hemm, memang Tiong Lee Cin-jin memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Engkau benar, Can Kok. Kita semua harus bekerja sama. Aku mengundang See-ong (Raja Barat), Pak-sian (Dewa Utara) dan Lam-kai (Pengemis Selatan) untuk datang dan berkumpul di sini. Siapa tahu di antara mereka ada yang sudah dapat mengetahui di mana adanya Tiong Lee Cin-jin. Kalau sudah diketahui tempat tinggalnya, kita semua beramai-ramai menyerbu ke sana dan membunuhnya. Akan tetapi Sementara itu, aku hendak membicarakan hal yang amat penting denganmu, Can Kok."

Can Kok menatap wajah Paman tuanya.

"Ada urusan apakah, Paman?"

"Begini Can Kok. Engkau sejak kecil telah ikut denganku di sini dan kami semua sudah menganggap engkau sebagai keluarga sendiri. Katakan, Can Kok, bagaimana pendapatmu tentang Leng Hwa, anakku?"

"Hemm, apa maksudmu Paman? Pendapatku tentang Adik Leng Hwa? Ah, mengapa? Ia baik sekali."

"Maksudku, menurut pandanganmu, apakah ia cukup cantik menarik?"

"Wah, Paman ini aneh. Tentu saja Leng Hwa cantik sekali dan menarik. Jarang aku bertemu seorang gadis secantik Leng Hwa!"

"Dan cukup pandai?"

"Pandai dan cerdik."

"Can Kok, begini maksud aku dan Bibimu. Kami ingin menjodohkan Leng Hwa denganmu. Bagaimana pendapatmu?"

Sepasang mata itu mencorong dan terbelalak sejenak, lalu biasa kembali.

"Wah, Paman, tentu saja aku merasa girang sekali! Memang sejak dulu aku merasa kagum kepada Adik Leng Hwa dan alangkah senangnya kalau ia menjadi isteriku!" kata Can Kok dan ucapannya ini saja sudah menunjukkan bahwa sikapnya memang sudah luar biasa. Agaknya dia tidak lagi mempunyai perasaan rikuh terhadap datuk yang menjadi gurunya dan juga pengganti orang tuanya itu.

"Ha-ha-ha-ha!" Tung-sai Si Singa Timur tertawa bergelak dan suara tawanya bergema di pulau itu, menggetarkan hati orang yang mendengarnya.

"Bagus! Bagus sekali!" Dia lalu bertepuk tangan. Ini merupakan isyarat bagi para pelayan yang berada di dalam rumah bahwa majikannya itu memanggil mereka. Seorang pelayan wanita yang kebetulan berada di luar ruangan itu dan mendengar panggilan ini, segera memasuki ruangan dengan sikap hormat.

"Cepat panggil Toanio (Nyonya Besar) dan Siocia (Nona) ke sini!" perintah Tung-sai Kui Tong yang masih menyeringai tanda gembira hatinya.

Tak lama kemudian terdengar langkah kaki lembut dan muncullah Nyonya Kui, memasuki ruangan itu dengan alis berkerut dan sinar mata menunjukkan kegelisahan.

"Mana Leng Hwa? Aku minta ia datang ke sini. Kami ingin membicarakan urusan perjodohannya!"

Can Kok yang melihat bibinya, hanya mengangguk saja tanpa bangkit dari kursinya.

"Bibi, harap undang Adik Leng ke sini, aku sudah merasa rindu padanya," katanya.

Nyonya Kui menekan rasa tidak senangnya dan ia, tidak memperdulikan ucapan pemuda itu, melainkan berkata kepada suaminya.

"Leng Hwa tidak berada dalam kamarnya."

"Eh? Ke mana ia pergi?"

"Aku tidak tahu. Sejak tadi sudah kucari-cari di seluruh ruangan dan taman, akan tetapi ia tidak ada. Dan ketika aku memeriksa kamarnya, aku menemukan bahwa sebagian dari pakaiannya yang baru telah tidak ada."

"Apa? Keparat! Ia minggat?" bentak Tung-sai sambil bangkit berdiri, lalu dia melangkah lebar keluar dari ruangan itu menuju ke kamar puterinya, diikuti oleh Can Kok yang tidak berkata apa-apa.

Nyonya Kui berlari kembali ke kamarnya dan menahan tangisnya.

Setelah tiba di kamar Leng Hwa, Tung-sai menggeledah kamar itu dengan marah-marah. Lalu dia berteriak memanggil pelayan yang biasa melayani puterinya. Pelayan itu, seorang wanita berusia empatpuluh tahunan, masuk dengan tubuh gemetar dan wajah pucat.

"Hayo katakan ke mana Nona pergi!" bentak Singa Timur itu.

"Saya...... saya tidak tahu, Tuan Besar ...... sejak sore tadi Nona mengeram diri dalam kamar dan melarang siapa pun memasuki kamarnya."

"Bodoh! Sejak kapan ia tidak berada di kamarnya?" Si Singa Timur membentak.

"Sa...... saya tidak tahu...... kami semua baru tahu bahwa Nona tidak berada lagi dalam kamarnya ketika Nyonya Besar membuka pintu kamar dan ternyata Nona sudah tidak berada dalam kamar. Kami semua mencarinya akan tetapi Siocia (Nona) tidak dapat ditemukan."

"Keparat! Apa artinya engkau menjadi pelayan kalau begitu? Lebih baik mampus saja!" Si Singa Timur melangkah maju dan hendak membunuh wanita pelayan yang ketakutan dan sudah terkulai dan berlutut saking takutnya itu.

"Jangan pukul ia!" tiba-tiba terdengar bentakan lembut dan Nyonya Kui muncul lalu melangkah menghampiri pelayan itu, menariknya bangun.

"Pergilah ke belakang sana!" katanya, kemudian setelah pelayan pergi wanita itu mendekati suaminya.

"Mengapa menyalahkan orang lain? Kalau anak kita pergi, engkaulah yang menjadi biang keladinya, engkaulah penyebabnya! Engkau memaksanya untuk menikah! Mungkin kini ia telah mati membunuh diri dan engkaulah pembunuhnya! Engkau membunuh anakku......!" Nyonya itu menangis dan Si Singa Timur berdiri bagaikan patung. Hilang semua kegalakan dan kemarahannya, bahkan dia tertegun mendengar kemungkinan anaknya bunuh diri. Bagaimanapun juga, datuk ini amat mencinta puterinya.

Tiba-tiba Can Kok berkata.

"Paman, tidak mungkin orang membunuh diri membawa pergi pakaian-pakaiannya!"

"Ah, benar!" Si Singa Timur seperti sadar.

"Ia tidak bunuh diri, melainkan minggat! Mari kita cari, Can Kok!"

Dua orang itu lalu berlari keluar dari rumah meninggalkan Nyonya Kui yang kembali ke kamarnya dengan kaki gemetar. Ia merasa khawatir sekali. Ia tadi hampir berhasil membuat suaminya percaya bahwa anaknya membunuh diri sehingga tidak akan melakukan pengejaran. Akan tetapi siapa kira, pemuda gila itu yang menyadarkannya dan kini mereka mulai mencari Leng Hwa. Ah, bagaimana kalau mereka sampai dapat menyusul dan menemukannya?

Wanita itu gelisah sekali dan ia menjatuhkan diri menelungkup di atas pembaringannya dan menangis terisak-isak, mengeluh dan memohon kepada Thian (Tuhan) agar puterinya diselamatkan. Ia yang mengatur kepergian Leng Hwa. Diaturnya sejak mulai gelap tadi agar Leng Hwa dan Ho Lam, pemuda putera seorang anggauta Pulau Udang yang sudah tua, dapat melarikan diri dari pulau itu dalam sebuah perahu tanpa terlihat oleh siapa pun.

Tung-sai yang diikuti Can Kok mencari-cari di seluruh pulau, bertanya kepada semua anggauta Pulau Udang. Akan tetapi tak seorang pun mengetahui atau melihat Leng Hwa dan mereka tidak berhasil menemukan gadis itu. Melihat majikan mereka marah-marah mencari Leng Hwa, semua orang menjadi panik dan ikut mencari.

"Paman, aku yakin bahwa Adik Leng Hwa pasti melarikan diri dari pulau dengan menggunakan perahu. Sebaiknya Paman periksa apakah ada perahu yang hilang."

"Ah, engkau benar, Can Kok!" Tung-sai lalu memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa kalau-kalau ada perahu yang tidak berada di pulau. Pada waktu malam, biasanya semua perahu pasti ada di pulau. Para anak buah itu dengan gugup melaksanakan perintah dan tak lama kemudian mereka melaporkan bahwa ada sebuah perahu yang hilang, yaitu perahunya Ho Lam.

"Ah, tidak salah lagi, Paman. Pasti si keparat Ho Lam itu yang melarikan Adik Leng Hwa!"

"Hmm, Ho Lam adalah keponakan isteriku. Tentu Ibunya Leng Hwa yang merencanakan ini semua!"

Tergesa-gesa Tung-sai dan Can Kok berlari dari pantai pulau, kembali ke rumah dan dengan kasar Singa Timur itu membuka pintu kamarnya. Isterinya masih menelungkup di atas pembaringan sambil menangis.

Tung-sai mengguncang pundak isterinya. Ketika wanita itu bangkit duduk, dia berkata dengan marah.

"Tentu engkau yang telah menyuruh keponakanmu, si jahanam Ho Lam itu untuk membawa minggat Leng Hwa!"

Wanita itu tiba-tiba menghentikan tangisnya, dengan muka masih basah air mata lalu berkata dengan lantang.

"Benar! Aku yang menyuruh mereka pergi! Habis kau mau apa? Mau membunuh aku? Bunuhlah, aku pun lebih suka mati dari pada menderita batin sengsara menghadapi kekejamanmu!" Wanita itu mengedikkan kepalanya dan membusungkan dadanya, menantang. Si Singa Timur yang biasanya galak itu tertegun melihat isterinya menantang seperti itu.

"Paman, mereka tentu belum pergi jauh. Biar aku mengejar mereka dan membunuh jahanam Ho Lam itu dan membawa kembali Adik Leng Hwa!" Tanpa menanti jawaban, Can Kok sudah berkelebat keluar dari rumah itu.

"Aih, mengapa engkau melakukan ini?" Tung-sai mengeluh sambil menatap wajah isterinya yang amat disayangnya itu.

"Mengapa? Tanyalah kepada dirimu sendiri. Anak kita itu sudah saling mencinta dengan Ho Lam, mereka sudah bersumpah sehidup semati. Akan tetapi engkau hendak memaksanya berjodoh dengan Can Kok itu. Biarlah mereka berdua kabur saja meninggalkan pulau neraka ini, terbang bebas seperti sepasang burung merpati menuju kebebasan dan kebahagiaan. Jangan kejar mereka! jangan ganggu mereka!"

Tung-sai ingin menumpahkan kemarahannya, namun seperti biasa, menghadapi isterinya dia mati kutu.

"Keparat!" Dia memaki seperti kepada diri sendiri lalu dia pun berkelebat lari meninggalkan isterinya yang menangis kembali di atas pembaringannya karena hatinya merasa khawatir bukan main me-mikirkan keselamatan puterinya.

Ketika tiba di pantai pulau, Tung-sai mendengar dari anak buahnya bahwa Can Kok sudah sejak tadi naik perahu kecil meninggalkan pulau. Tung-sai lalu memerintahkan pengawal-pengawalnya yang gagu tuli itu mempersiapkan perahunya dan tak lama kemudian perahunya sudah berlayar meninggalkan pulau untuk ikut melakukan pengejaran terhadap puterinya yang melarikan diri bersama Ho Lam, keponakan isterinya.

Pemuda itu mendayung perahu kecil dengan sekuat tenaga. Dari cara dia mendayung, dapat diketahui bahwa pemuda itu adalah seorang ahli dan juga memiliki tenaga besar. Perahu kecil itu meluncur cepat di permukaan air lautan yang pada malam itu tenang. Hulu perahu yang runcing bagaikan sebatang pedang menusuk dan membelah air. Rambut dan kain pengikat rambut pemuda itu berkibar tertiup angin saking lajunya perahu meluncur. Ketika merasa betapa perahu yang meluncur semakin kuat, pemuda itu menoleh dan dia melihat gadis yang duduk di belakangnya itu ternyata telah menggunakan dayung cadangan untuk membantunya mendayung perahu.

"Hwa-moi (Adik Hwa), engkau tidak perlu membantu, nanti engkau lelah," tegurnya dengan lembut.

"Ah, tidak mengapa, Lam-ko (Kakak Lam). Aku juga terbiasa dan pandai mendayung. Kita lari bersama, harus bekerja sama. Masa engkau bersusah payah mendayung, aku hanya enak-enak saja?"

"Leng Hwa, kalau Ayahmu sudah mengetahui bahwa kita berdua melarikan diri, dia tentu akan mengejar dan akan celakalah kita."

"Aku tidak takut menghadapi segala akibatnya, Lam-ko. Apakah engkau takut?"

"Aku tidak mengkhawatirkan diriku sendiri, untukmu aku rela mengorbankan nyawa sekalipun! Akan tetapi aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Hwa-moi."

"Mengapa khawatir, Koko? Apa pun yang terjadi, kita hadapi berdua. Kalau kita harus mati, kita mati berdua! Syukur kalau Thian melindungi kita sehingga kita dapat hidup berdua selamanya."

"Terima kasih, Moi-moi...... kini aku tidak khawatir lagi. Aku berbahagia sekali dan akan selalu berbahagia selama aku bersamamu, hidup ataupun mati."

Kini mereka tidak bicara lagi, melainkan mengerahkan seluruh tenaga dan perhatian untuk mendayung perahu itu ke daratan sana. Sinar lampu kecil-kecil di daratan itu seolah menggapai-gapai agar mereka datang lebih cepat ke sana. Dua orang muda ini memang sudah cukup lama menjalin cinta. Mereka bergaul sejak kecil di pulau itu dan setelah mulai dewasa, mereka saling tertarik dan akhirnya saling jatuh cinta. Akan tetapi, mereka adalah sepasang orang muda yang patut dijadikan tauladan.

Mereka saling mencinta sepenuh hati, merasa kehilangan dan rindu kalau tidak bertemu sehari saja. Akan tetapi keduanya dapat menjaga diri, saling menghormati dan menghargai. Mereka saling menjaga ke-hormatan masing-masing, tidak mau membiarkan diri terseret oleh nafsu berahi. Mereka yakin benar bahwa menjaga kesusilaan dan kehormatan masing-masing sebelum menikah itu merupakan modal batin yang paling berharga dan indah untuk membangun rumah tangga kelak.

Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Nafsu berahi, seperti nafsu-nafsu lain, bukanlah sesuatu yang buruk, bahkan semua nafsu merupakan anugerah dari Tuhan yang sudah diikutkan manusia sejak dia lahir. Akan tetapi, kalau nafsu berahi yang membawa kepada hubungan badan itu dilakukan oleh mereka yang bukan suami isteri, maka hubungan itu menjadi kotor dan mencemarkan cinta itu sendiri. Akan tetapi, kalau suami isteri yang melakukan, maka hal itu bukan saja wajar, bahkan indah dan bersih dari dosa. Malah dapat dikatakan bahwa hubungan suami isteri tanpa nafsu berahi, adalah tidak mungkin. Sebaliknya hubungan berahi kalau dilakukan oleh bukan suami isteri, adalah kotor dan berdosa!

Cinta kasih yang mengikat hati Ho Lam dan Leng Hwa murni dan bersih dan semua ini berkat pendidikan Nyonya Kui Tong yang memiliki budi pekerti baik, sama sekali berbeda dari suaminya, datuk Si Singa Timur yang kejam itu. Nyonya Kui mendidik puterinya sejak kecil, juga ia mendidik Ho Lam yang menjadi keponakannya itu dengan budi pekerti baik sehingga kedua orang muda itu memiliki batin yang kuat untuk mengekang gairah nafsu mereka sendiri dan dapat membedakan mana cinta dan mana pula cinta berahi.

Dapat dibayangkan betapa lega rasa hati mereka ketika akhirnya perahu mereka tiba di pantai daratan. Bulan sepotong tersenyum di langit cerah. Dua orang nelayan setengah tua yang sedang bersiap-siap untuk keperluan mencari ikan pagi nanti, menghampiri perahu mereka karena tadinya mereka mengira bahwa perahu kecil yang mendarat itu adalah perahu rekan mereka yang mencari ikan di waktu malam. Akan tetapi mereka terheran-heran ketika tiba dekat mereka melihat seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang turun dari perahu, sama sekali bukan nelayan! Sepasang orang muda itu pun tidak membawa ikan hasil tangkapan, atau jala dan pancing, melainkan membawa dua buntalan pakaian seperti orang yang sedang melakukan perjalanan.

"Selamat malam, Paman berdua," sapa Ho Lam dengan sopan dan ramah.

"Selamat malam, Kongcu (Tuan Muda) dan Siocia (Nona). Sungguh kami merasa heran sekali. Ji-wi (kalian berdua) datang dari mana dan hendak ke manakah malam-malam begini?" tanya seorang di antara mereka yang bertubuh jangkung kurus.

Tiba-tiba Ho Lam mendapat suatu gagasan yang dia anggap baik dan dapat menyelamatkan mereka berdua.

"Paman berdua, maukah kalian menolong kami yang sedang menderita dan terancam bahaya?"

Dua orang laki-laki setengah tua itu saling berpandangan, lalu yang bertubuh pendek gendut menjawab.

"Sudah menjadi kebiasaan para nelayan untuk saling menolong, Kongcu. Bahaya apakah yang mengancam Ji-wi (Anda berdua) dan bagaimana pula kami dapat menolong kalian?"

"Begini, Paman. Aku dan...... isteriku ini sedang melarikan diri karena terancam akan dibunuh orang jahat yang mengejar kami. Karena itu, kami minta tolong kepada kalian, apabila nanti atau besok atau kapan saja ada orang yang datang bertanya kepada kalian tentang diri kami berdua, harap Paman suka mengatakan bahwa Paman berdua tidak tahu dan tidak melihat kami. Maukah Paman berdua menolong kami begitu? Kami akan memberi imbalan atas pertolongan Paman berdua."

"Aih, kalau cuma begitu tentu saja kami akan menolong Ji-wi, Kongcu dan Siocia. Sama sekali kami tidak mengharapkan imbalan karena kami tidak melakukan apa-apa, hanya mengatakan tidak tahu dan tidak melihat Ji-wi. Jangan khawatir, Kongcu, kami pasti akan ingat dan melaksanakan pesanmu ini," kata yang jangkung kurus.

Ho Lam dan Leng Hwa girang bukan main mendengar jawaban ini.

"Benarkah Paman mau menolong kami?" tanya Leng Hwa.

"Paman betul-betul berjanji akan mengatakan tidak melihat kami?"

Orang tinggi kurus itu mengangguk mantap.

"Tentu, Siocia. Kami berjanji."

"Terima kasih, Paman," kata kedua orang muda itu.

"Nah, kami akan melanjutkan perjalanan kami dan perahu kami ini kami berikan kepada Paman berdua."

Dua orang nelayan itu terbelalak "Wah, kami sungguh tidak minta imbalan, Kongcu!" kata yang jangkung.

"Ini bukan imbalan, Paman. Kami memang tidak memerlukan lagi, maka kami berikan kepada Paman agar dapat dipergunakan untuk menangkap ikan. Kami mohon diri, Paman!" kata Ho Lam dan dia lalu menggandeng tangan Leng Hwa dan diajaknya melangkah cepat meninggalkan tempat itu.

Ho Lam cukup cerdik untuk tidak mengambil jalan melalui jalan umum yang terdapat di situ. Dia membelok ke kiri menyusuri pantai menuju ke arah selatan. Dua orang nelayan itu berdiri bengong sambil mengikuti bayangan dua orang muda itu dengan pandang mata sampai bayangan itu lenyap ditelan cuaca yang masih remang-remang gelap karena matahari agak jauh di ufuk timur, masih terbenam kaki langit di ujung lautan.

Tentu saja dua orang nelayan itu girang bukan main. Mereka merasa seolah menerima harta karun. Perahu bagi mereka merupakan modal untuk mencari ikan. Biasanya, mereka yang tidak mempunyai perahu hanya menjala atau memancing ikan di tepi, memasuki lautan sampai sedalam pinggang. Kini, dengan adanya perahu mereka bisa mencari ikan ke tengah lautan dan hasilnya tentu jauh lebih banyak. Apalagi perahu itu masih baik sekali keadaannya. Mereka merasa seperti bermimpi. Dan untuk mendapatkan perahu itu mereka hanya disuruh tutup mulut. Betapa mudahnya dan betapa besar imbalannya!

Akan tetapi, kegirangan hati mereka itu ternyata tidak bertahan lama. Setelah matahari muncul sebagai bola merah yang amat besar di permukaan air laut sebelah timur, dan selagi kedua orang itu hendak mulai dengan kehidupan baru sebagai nelayan berperahu tiba-tiba sebuah perahu meluncur ke tepi dan Can Kok melompat ke darat lalu menarik perahunya ke atas pantai. Dia melihat dua orang nelayan yang sedang siap menyeret perahu ke air dan sebagai seorang yang sejak kecil hidup di Pulau Udang, tentu saja dia segera mengenal perahu dua orang nelayan setengah tua itu. Itu adalah perahu Pulau Udang! Maka cepat dia menghampiri dua orang itu.

Melihat seorang pemuda tampan berpakaian mewah menghampiri mereka, dua orang nelayan itu memandangnya dan Si Gemuk Pendek segera memberi salam.

"Selamat pagi, Kongcu."

Akan tetapi Can Kok tidak menjawab salam itu dan mengamati perahu mereka.

"Hei!" Dia membentak.

"Dari mana kalian mendapatkan perahu itu?"

"Dari...... dari......" Si Gemuk tergagap.

"Kongcu, ini adalah perahu milik kami sendiri," Si Jangkung menjawab tenang.

"Jangan bohong! Tentu ada dua orang yang memberi perahu ini kepada kalian!"

"Kami...... kami......" Si Gemuk tergagap lagi.

"Terus terang saja, Kongcu. Kami menemukan perahu ini di tepi laut, tidak ada yang punya, maka kami lalu mengambilnya," kata Si Jangkung.

"Tidak perlu bohong! Kalian tentu melihat pemuda dan gadis yang naik perahu ini! Hayo katakan, di mana mereka itu sekarang!"

"Kami tidak melihat mereka, Kongcu. Kami tidak tahu......" kata pula Si Jangkung.

"Hayo katakan di mana mereka! Atau kalian ingin kupukul? Kubunuh?" Can Kok membentak dan sekali tangannya bergerak ke arah perahu itu terdengar suara seperti ledakan keras.

"Brakkkk!" Dan perahu itu pecah berkeping-keping.

Dua orang nelayan itu menjadi pucat dan tubuh Si Gemuk gemetar.

"Sekali lagi, katakan di mana pemuda dan gadis itu berada atau ke mana mereka pergi! Kalau tidak, kalian akan kubunuh!"

"Mereka...... mereka......"

"A Sam, diam kau! Kita adalah orang-orang miskin, tidak mempunyai apa-apa, yang ada hanya kehormatan! Kalau kita melanggar janji, berarti kehormatan pun kita tidak punya!" Si Jangkung membentak kawannya.

"Mampus kau!" Can Kok menggerakkan tangan kirinya. Tangannya itu tidak menyentuh si nelayan jangkung karena jaraknya ada dua meter lebih, akan tetapi tubuh Si Jangkung terpelanting seperti disambar kilat dan dia roboh, tewas seketika dengan muka berubah kehitaman!

Melihat ini, Si Gendut menggigil seperti orang terserang penyakit demam dan kedua lututnya menjadi lemas sehingga dia terkulai dan berlutut.

"Kau! Hayo katakan ke mana pemuda dan gadis itu pergi!" Can Kok membentak.

Si Gemuk Pendek semakin menggigil; "Saya...... saya tidak berani......"

Can Kok menggerakkan tangannya dan telunjuknya menotok tengkuk nelayan gemuk.

Nelayan itu roboh dan bergulingan, merintih-rintih dan mengaduh-aduh, seluruh tubuhnya terasa nyeri bukan main, seperti ditusuk-tusuk dari dalam.

"Aduh......, ampun...... ampun...... aduh......"

"Katakan ke mana mereka!"

Dengan menggigil ketakutan, Si Gemuk menudingkan telunjuknya ke arah selatan.

"Mereka...... mereka tadi berjalan ke arah sana......"

"Engkau tidak berbohong?"

"Tidak, sungguh mati...... mereka berjalan ke arah sana......"

"Baik, aku akan mengejar ke sana. Kalau engkau ternyata berbohong, nanti aku akan kembali untuk mencabut nyawamu!" Setelah berkata demikian, Can Kok lalu berkelebat dan berlari cepat menuju ke arah yang ditunjukkan nelayan gemuk, ke arah selatan.

Nelayan gemuk itu merintih-rintih dan ketika dia memandang ke arah mayat temannya, dia mengerang dan menangis. Dia menoleh ke arah perahu pemberian yang kini hancur berkeping-keping dan rintihannya semakin keras. Dia menangis mengguguk. Betapa rasa senang dalam waktu sebentar saja kini berubah menjadi rasa susah dan sakit. Dia mencoba untuk bangkit berdiri, akan tetapi terkulai kembali karena rasa nyeri yang tak tertahankan. Dia ingin kembali ke kampung, minta pertolongan penduduk, akan tetapi dia tidak mampu bangkit berdiri. Dia mencoba maju sambil merangkak-rangkak dan hatinya penuh penyesalan.

Sahabatnya Si Jangkung itu jauh lebih baik nasibnya, pikirnya penuh penyesalan. Sahabatnya itu mempertahankan kesetiaan akan janjinya sampai mati dan kini sudah mati, tidak menderita lagi dan mati sebagai seorang terhormat!

Akan tetapi dia? Dia telah melanggar janji, dia kehilangan kehormatannya dan kini menderita kesakitan yang lebih hebat deritanya daripada kematian sendiri! Sambil menangis seperti anak kecil nelayan gemuk itu merangkak dengan susah payah.

Tiba-tiba sebuah bentakan yang menggetarkan tanah di mana dia merangkak, mengejutkan hatinya.

"Hai! Katakan di mana dua orang pelarian dan pengejarnya tadi!"

Nelayan gemuk berhenti merangkak, berlutut dan mengangkat mukanya. Dia melihat Tung-sai Singa Timur itu berdiri seperti seorang raksasa di depannya, tangan kanan memegang sebatang tombak, menyeramkan sekali. Biarpun dia tidak tahu apa yang terjadi dan siapa orang-orang yang ditanyakan, namun dia dapat menduga bahwa tentu yang ditanyakan adalah pemuda dan gadis pemberi perahu, lalu pemuda pengejarnya tadi.

"Mereka...... mereka ke sana......" Dia menuding ke selatan.

Tung-sai Kui Tong menendang dan tubuh Si Gemuk itu terlempar jauh lalu jatuh berdebuk ke atas tanah. Akan tetapi dia tidak mengeluh dan tidak merasa nyeri. Dia sudah tidak merasakan apa-apa karena tendangan itu membuat dia tewas seketika!

Setelah memberi isyarat kepada sepuluh orang pengawalnya untuk menunggu di situ, kemudian dia pun berlari cepat ke arah selatan, menyusuri pantai.

"Lam-ko, aku lelah sekali......!" Leng Hwa mengeluh. Biarpun ia juga telah menguasai ilmu silat dan tubuhnya cukup kuat, namun ia tidak pernah berlari-larian sampai sejauh dan selama itu.

Sejak malam tadi, setelah memberikan perahu kepada dua orang nelayan, Ho Lam mengajak ia berlari-lari menyusuri pantai menuju ke selatan. Ketika ada gunung karang menghalang pantai, kekasihnya mengajak ia melanjutkan pelarian mereka mendaki bukit karang yang keras, kasar dan tajam meruncing sehingga sepatunya terobek dan telapak kedua kakinya terasa nyeri. Mereka berlari sampai matahari naik tinggi dan hawa udara mulai panas.

"Baiklah, Hwa-moi. Kasihan sekali engkau! Lihat, di atas sana ada guha. Kita beristirahat di sana melepas lelah."

Mereka berdua mendaki bukit itu ke atas dan tiba di depan sebuah guha yang cukup luas. Kebetulan sekali lantai guha itu kering dan rata. Leng Hwa segera menjatuhkan diri duduk di dalam guha, menjulurkan kedua kakinya dan memijati paha dan betisnya.

Ho Lam duduk di dekatnya, memandang ke arah sepatu yang pecah-pecah itu.

"Aduh, kasihan kedua kakimu, Moi-moi. Bukalah sepatunya. Akan kuperiksa apakah kedua kakimu lecet terluka. Aku membawa obat luka."

Setelah gadis itu mengangguk, dengan hati-hati dan sopan Ho Lam membantu gadis itu membuka kedua sepatunya. Kedua kaki yang berkulit putih halus itu kemerah-merahan, akan tetapi tidak terluka parah, hanya lecet-lecet sedikit. Dengan hati-hati Ho Lam mengoleskan obat luka pada bagian yang lecet-lecet itu, lalu membantu Leng Hwa mengenakan sepatunya kembali.

"Aku haus, Lam-ko."

"Untung aku telah siap tadi dan membawa seguci air dan roti daging (bak-pauw) untuk menahan haus dan lapar," kata Ho Lam dan dia mengambil makanan dan minuman itu dari buntalan pakaiannya.

"Aku tidak lapar, hanya haus, Koko." Leng Hwa lalu minum air dari guci itu dan merasa segar.

"Lam-ko, kita akan pergi ke mana?"

"Rencanaku begini, Hwa-moi. Kita pergi dulu ke kota Cin-le yang sehari perjalanan dari sini. Kalau kita berjalan agak cepat, sore atau paling lambat malam nanti kita akan tiba di sana. Nah, di Cin-le nanti kubeli dua ekor kuda dan kita melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda agar lebih cepat dan tidak terlalu melelahkan."

"Pergunakan perhiasanku untuk membeli kuda, Lam-ko. Aku membawa perhiasan pemberian Ibu di dalam buntalan ini."

"Aku juga membawa semua hasil tabunganku, Hwa-moi. Kalau nanti kurang, baru menggunakan perhiasanmu."

"Akan tetapi ke mana kita akan pergi, Koko?"

"Hwa-moi, kita harus pergi sejauh mungkin dari sini, mengganti nama dan tinggal di sebuah dusun yang terpencil. Kita harus bersembunyi sampai beberapa tahun lamanya karena kalau tidak, kita akan dapat ditemukan Ayahmu. Engkau, mau bukan, hidup di tempat sunyi dalam keadaan melarat sebagai petani sederhana?"

Leng Hwa menatap wajah kekasihnya dengan penuh kepasrahan dan menjawab, "Mengapa engkau masih bertanya lagi, Koko? Apakah engkau belum percaya akan kesetiaanku? Aku dengan senang hati akan menemanimu, hidup bersamamu di manapun juga dan dalam keadaan apa pun juga."

"Moi-moi......!" Ho Lam merangkul dan mendekap kepala gadis itu ke dadanya.

"Aku rela berkorban nyawa untukmu! Aku cinta padamu, Hwa-moi!"

"Aku juga, Lam-ko," kata Leng Hwa lirih dan memejamkan mata dalam dekapan kekasihnya itu, merasa sangat berbahagia.

"Lam-ko, kita beristirahat dulu di sini sampai kedua kakiku sembuh dari rasa pegal dan lelah, ya?"

"Baiklah, Hwa-moi. Akan tetapi jangan terlalu lama. Aku khawatir Ayahmu dapat menyusul kita."

"Kalau hal itu terjadi, aku tidak takut, Lam-ko. Aku siap mati bersamamu."

"Hwa-moi...!" Ho Lam mempererat dekapannya dengan hati penuh kasih sayang dan beberapa lamanya keduanya diam tak bergerak dalam suasana mesra itu.

Mungkin saking lelah dan semalam suntuk tidak tidur, ditambah kelegaan hati dalam dekapan kekasihnya setelah mengalami ketegangan dan kegelisahan semalam, tak lama kemudian Leng Hwa tertidur dalam dekapan, bersandar di dada Ho Lam. Melihat ini, Ho Lam tidak tega untuk membangunkan kekasihnya dan dia bahkan tidak mau membuat gerakan agar Leng Hwa dapat tidur dengan pulas.

Akan tetapi hati Ho Lam mulai merasa khawatir juga setelah lewat tiga jam Leng Hwa belum juga bangun. Matahari sudah mulai condong ke barat. Akan tetapi untuk membangunkan kekasihnya, dia tidak tega.

Tiba-tiba Ho Lam tersentak kaget dan matanya terbelalak memandang kepada Can Kok yang tahu-tahu telah berdiri di depan guha! Can Kok memandang dengan matanya yang mencorong aneh dan bibirnya tersenyum sinis. Karena Ho Lam tersentak kaget Leng Hwa terbangun. Begitu membuka matanya ia juga melihat Can Kok dan cepat gadis itu melompat dan bangkit berdiri.

"Can Kok, mau apa engkau menyusul kami?" Leng Hwa membentak dan dalam kemarahan dan kebencian ia menyebut nama Can Kok begitu saja, padahal dulu ia akrab dengan pemuda itu dan menyebutnya kakak.

"Adik Leng Hwa yang manis, aku diutus Paman Kui Tong untuk membawamu pulang ke Pulau Udang dan membunuh tikus busuk ini!" Can Kok menudingkan telunjuknya ke arah muka Ho Lam yang juga sudah berdiri di dekat Leng Hwa dengan sikap melindungi kekasihnya itu.

"Suheng (Kakak Seperguruan) Can Kok, di antara kita ada pertalian persaudaraan seperguruan dan hubungan antara kita sejak dulu baik. Apakah engkau tidak merasa kasihan kepada kami berdua? Kami saling mencinta dan kami telah bersumpah untuk sehidup semati. Biarkan kami pergi, Suheng, dan kami tidak akan melupakan budi kebaikanmu ini."

Can Kok tertawa. Tawanya aneh, bergelak namun terdengar mengguguk seperti tangis! Ini menunjukkan bahwa hatinya dibakar kemarahan.

"Ha-ha-hu-hu-huk! Engkau telah berkhianat terhadap Paman, engkau harus mati di tanganku. Adik Leng Hwa ini adalah calon isteriku dan engkau berani membawa lari, keparat!"

"Can Kok, aku tidak sudi menjadi isterimu. Lebih baik mati daripada menjadi isteri seorang gila seperti engkau!" Leng Hwa berteriak dengan marah dan nekat.

"Can-suheng, kami tidak ingin bermusuhan denganmu. Kuharap engkau suka meninggalkan kami, kalau tidak kami terpaksa akan melawan mati-matian!" kata Ho Lam yang tahu bahwa tidak mungkin meloloskan diri dari ancaman Can Kok.

"Hemm, tikus busuk, mampuslah!" Can Kok membentak dan menyerang ke depan dengan dorongan tangan kanan ke arah Ho Lam.

Melihat Can Kok menyerang kekasihnya, Leng Hwa melompat ke depan menyambut serangan jarak jauh itu dengan kedua tangannya, melindungi Ho Lam.

"Wuuuttt...... desss ......!" Tubuh Leng Hwa terpental dan jatuh terjengkang.

"Jahanam!" Ho Lam marah sekali melihat kekasihnya roboh. Dia sudah mencabut pedangnya dan menerjang Can Kok dengan nekat. Gerakannya cukup kuat dan cepat. Namun, dibandingkan dengan Can Kok, kekuatannya itu tidak ada artinya sama sekali.

Can Kok tidak mengelak, akan tetapi ketika pedang itu sudah meluncur dekat hendak menusuk dadanya, tangan kanannya menyambar dan tahu-tahu pedang itu telah ditangkapnya. Sekali renggut pedang itu pun pindah tangan. Ho Lam terkejut, akan tetapi Can Kfok sudah menggerakkan tangannya yang menangkap pedang itu dan sekali sentakan, pedang itu membalik dan meluncur seperti anak panah cepatnya ke arah dada Ho Lam! Ho Lam tidak sempat lagi menghindar.

"Capppp......!!" Pedang itu menancap tepat di tengah dada Ho Lam. Pemuda itu terhuyung ke belakang dan roboh telentang.

Leng Hwa yang tadi hanya terjengkang dan kini sudah bangkit berdiri, terbelalak melihat kekasihnya roboh dengan dada ditembusi pedang.

"Iblis jahat, kau...... kaubunuh Lam-ko......!" Sambil menangis Leng Hwa lalu menyerang Can` Kok dengan pedangnya.

Akan tetapi sekali mengibaskan tangannya, pedang itu terlepas dari tangan Leng Hwa dan sebelum gadis itu dapat menyerang lagi, Can Kok sudah memeIuknya dan ia tidak mampu bergerak. Can Kok tertawa dan menciumi muka Leng Hwa yang meronta-ronta.

"Heh-heh, engkau mencinta tikus ini, ya? Nah, biarlah sebelum mampus tikus ini melihat betapa engkau bermesraan dengan aku!"

Can Kok duduk dekat Ho Lam yang belum tewas, yang telentang dengan mata terbelalak dan pedang menancap di dada. Leng Hwa meronta-ronta, akan tetapi Can Kok merobek bajunya dan sengaja hendak pamer mempermainkan gadis itu di depan Ho Lam yang masih belum mati.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara orang menegur.

"Sungguh perbuatan yang terkutuk dan biadab! Engkau ini iblis berwajah manusia!"

Berbareng dengan teguran itu, ada angin menyambar ke arah Can Kok. Can Kok melepaskan tubuh Leng Hwa yang bajunya telah robek, lalu menangkis ke arah angin yang menyambar dari sebelah kanan.

"Wuuuttt...... desss!!" Can Kok terkejut bukan main dan berseru keras sambil melompat jauh ke belakang ketika dia merasa betapa tangkisannya bertemu dengan hawa yang amat kuat sehingga lengannya tergetar.

Mereka saling pandang dengan sinar mata mencorong. Yang menyerang Can Kok tadi bukan lain adalah Souw Thian Liong!

Seperti kita ketahui, Thian Liong berkunjung ke dusun Kian-cung dekat Telaga See-ouw untuk mengunjungi rumah Han Si Tiong. Di sana dia mendengar bahwa Han Si Tiong telah tewas ketika diserang dua orang muda dan bahwa Han Bi Lan telah pulang kemudian bersama ibunya meninggalkan Kian-cung menuju ke kota raja. Dia menduga bahwa ibu dan anak itu tentu pergi ke rumah Panglima Kwee di kota raja karena Han Bi Lan hendak dijodohkan dengan Kwee Cun Ki, putera Panglima Kwee. Setelah bersembahyang di kuburan Han Si Tiong, Thian Liong lalu melanjutkan perantauannya. Kebetulan dia tiba di bukit dekat pantai itu dan melihat Can Kok hendak memperkosa seorang gadis di depan seorang pemuda yang sudah hampir mati. Dia mendengar ucapan Can Kok dan menjadi marah lalu menyerang pemuda gila itu.

Kini mereka saling berhadapan dalam jarak sekitar tiga tombak. Thian Liong segera mengenal pemuda yang menjadi murid Empat Datuk Besar seperti dilihatnya di Pulau lblis dahulu. Sebaliknya, Can Kok tidak mengenalnya dan Can Kok marah bukan main melihat ada orang berani menghalanginya.

"Keparat, siapa engkau berani mencampuri urusanku?" bentak Can Kok. Kalau saja yang berbuat itu orang lain, tentu dia sudah turun tangan membunuhnya. Akan tetapi, dari tangkisannya tadi, dia tahu bahwa pemuda sederhana di depannya ini seorang yang memiliki kepandaian tinggi, maka dia ingin mengetahui siapa orang ini.

"Can Kok, aku bernama Souw Thian Liong."

"Hemm, engkau mengenal namaku?"

"Tentu saja, engkau Can Kok murid Empat Datuk Besar dan engkau telah menguasai ilmu yang amat tinggi. Hanya sayang seribu sayang, ilmu yang tinggi itu kini diperalat iblis yang menguasai dirimu!"

Tiba-tiba terdengar jerit tangis. Dua orang pemuda itu menengok ke arah Leng Hwa. Tadi perhatian mereka sepenuhnya diarahkan kepada lawan sehingga tidak memperhatikan Leng Hwa. Gadis itu juga tidak memperdulikan mereka, melainkan lari menubruk tubuh Ho Lam yang masih telentang hampir mati dengan mata masih terbuka. Mata pemuda itu basah dan dua butir air mata bergulir turun ke atas pipinya ketika dia memandang Leng Hwa.

"......Hwa...... Hwa-moi......" kedua mata itu terpejam.

"Lam-ko...... tidak...... engkau tidak boleh mati sendiri!" Leng Hwa lalu menggunakan kedua tangannya untuk mencabut pedang yang menancap di dada Ho Lam. Darah muncrat dari dada Ho Lam. Leng Hwa menjerit ketika melihat muncratnya darah itu dan ia pun lalu menusukkan pedang itu ke dadanya sendiri sampai tembus lalu terkulai, dan roboh di atas dada Ho Lam. Darah muncrat-muncrat dari dua dada sepasang kekasih itu, bercampur dan membasahi tubuh mereka yang perlahan-lahan menghembuskan napas terakhir.

Thian Liong merasa ngeri dan terharu, juga menyesal bahwa dia tidak mampu mencegah hal itu terjadi. Dia kini memandang lagi kepada Can Kok, pandang matanya tajam penuh teguran.

"Can Kok, lihat itu korban dari kekejianmu! Kamu bukan manusia, melainkan iblis jahat yang harus dibasmi dari permukaan bumi ini!"

"Ha-ha-ha-hu-hu-huk!" Can Kok tertawa seperti tangis mengguguk karena marahnya.


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Souw Thian Liong bocah sombong. Engkaulah yang akan mampus menemani mereka berdua! Haaiiiiikkkk!" Can Kok sudah menyerang dengan amat dahsyatnya. Tangan kirinya yang terbuka menampar dan dari telapak tangannya itu keluar hawa pukulan yang panas dan telapak tangannya berubah menjadi kemerahan. Inilah Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah), ilmu andalan dari Lam-kai Gui Lin, Pengemis Selatan itu.

Akan tetapi Thian Liong yang sudah tahu akan kelihaian Can Kok, dapat mengelak dengan gesit dan dari samping, tangan kirinya membalas dengan tamparan yang mengandung hawa sakti yang kuat pula. Namun Can Kok dapat pula mengelak.

Can Kok yang juga sudah menduga bahwa lawannya ini tidak seperti para lawan yang pernah dihadapinya, melainkan memiliki kesaktian, kini bersilat dengan gerakan yang amat aneh dan setiap gerakan kedua tangan dan kakinya membawa hawa pukulan yang dahsyat. Inilah ilmu silat gabungan dari ilmu-ilmu Empat Datuk Besar menjadi satu. Aneh, dahsyat dan berbahaya karena setiap sambaran tangan atau kaki itu merupakan serangan maut! Bukan saja serangan-serangannya itu kuat, namun juga mengandung hawa beracun yang jahat.

Thian Liong bersilat dengan tenang dan hati-hati sekali. Ketika dia mengintai di Pulau Iblis dan melihat Can Kok, dia sudah tahu bahwa pemuda yang dipersiapkan oleh Empat Datuk Besar untuk membunuh Gurunya, Tiong Lee Cin-jin ini merupakan lawannya yang paling kuat dan berbahaya. Maka kini setelah tanpa disengaja mereka saling bertemu dan bertanding, dia bersilat dengan hati-hati sekali. Dia mengerahkan seluruh sin-kang (tenaga sakti) dan mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh untuk mengimbangi serangan lawan dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.

"Haaaaiiikkk......!"

"Hyaaaattt...... blaarrr......!" Untuk kesekian kalinya dua tenaga sakti bertemu di udara dan keduanya terdorong ke belakang. Bahkan dalam hal tenaga sakti, kekuatan mereka seimbang.

Hanya ada sebuah perbedaan yang jauh dalam pertandingan hebat tanpa saksi ini karena dua orang yang berada di situ, Ho Lam dan Kui Leng Hwa, telah menjadi mayat. Perbedaan itu adalah bahwa kalau Can Kok mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyerang dengan maksud membunuh, sebaliknya Thian Liong sama sekali tidak mempunyai niat untuk membunuh. Dia hanya ingin merobohkan dan menaklukkan lawannya saja, tidak pernah mau menggunakan serangan maut.

Ketika mereka terdorong ke belakang sehingga mereka berpisah dalam jarak lima-enam tombak, sebelum mereka bergerak menerjang lagi, tiba-tiba terdengar suara yang amat nyaring sehingga menggetarkan seluruh tempat itu. Suara gerengan seperti auman singa!

Dua orang pemuda itu sudah mengenal suara ini, suara yang dikeluarkan dengan ilmu Sai-cu Ho-kang (Suara Sakti Auman Singa) dari Tung-sai Kui Tong! Kalau Thian Liong yang mendengar ini menjadi terkejut dan gentar, sebaliknya Can Kok merasa girang sekali. Lawannya amat kuat dan munculnya Singa Timur itu tentu saja akan memudahkan dia membunuh Souw Thian Liong.

Si Naga Langit ini sebaliknya maklum bahwa dia tidak akan mungkin dapat menandingi pengeroyokan Can Kok dan Singa Timur. Apalagi kini tidak ada pula yang harus ditolong. Sepasang muda-mudi itu telah tewas dan dia tidak dapat melakukan apa-apa lagi. Maka begitu mendengar auman yang menggetarkan itu, Thian Liong segera melompat dan berkelebat pergi dari situ. Can Kok ragu untuk mengejar seorang diri.

Si Singa Timur muncul dengan tombak di tangan kanannya.

"Paman, mari kita kejar Souw Thian Liong!" kata Can Kok dengan girang. Kalau mereka mengejar berdua, besar kemungkinan mereka akan dapat membunuh lawan yang berat itu.

Akan tetapi Tung-sai tidak menjawab. Dia malah melangkah menghampiri dua tubuh yang bertumpuk di depan guha dan mandi darah itu. Ketika mendapat kenyataan bahwa tubuh yang menindih tubuh lain dan yang mandi darah dan sudah tewas itu adalah Kui Leng Hwa, wajahnya yang merah berubah pucat.

"Tidak......!" Tung-sai Kui Tong menancapkan tombaknya di atas tanah lalu dia berlutut dekat dua tubuh yang tumpang tindih itu. Dia membalikkan tubuh Leng Hwa yang tertelungkup seolah masih tidak percaya bahwa yang mati itu adalah puterinya. Ketika wajah Leng Hwa tampak Tung-sai mendekap mukanya dengan kedua tangannya.

"Tidak......! Leng Hwa...... ah, anakku......!" Tiba-tiba Singa Timur ini bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya menghadapi Can Kok. Wajahnya tampak menyeramkan sekali, matanya mencorong seperti mata seekor singa yang marah.

"Siapa membunuh anakku?" bentaknya.

"Paman, aku berhasil membunuh Ho Lam. Akan tetapi pada saat itu muncul jahanam itu dan kami berkelahi sehingga aku tidak sempat mencegah Adik Leng Hwa membunuh diri."

"Bunuh diri?" Kembali Singa Timur menoleh dan memandang ke arah jenazah puterinya. Pedang itu masih menancap di dada Leng Hwa. Kini dia maklum. Ho Lam terbunuh dan puterinya itu, membela kekasihnya dengan membunuh diri! Tiba-tiba kemarahannya ditumpahkan kepada Ho Lam.

Tung-sai menyambar jenazah puterinya dengan rangkulan lengan kirinya sambil mencabut pedang yang tertancap di dada Leng Hwa, kemudian dia membentak-bentak dengan kalap.

"Engkau membunuh anakku! Keparat, engkau membunuh anakku!" Tangan kanan yang memegang pedang itu bergerak.

"Crak-crak-crakk!" Mayat Ho Lam menjadi empat potong. Leher, pinggang, dan lutut terbabat putus. Sambil menggereng-gereng Singa Timur membuang pedang itu dan mencabut tombaknya, la1u berlari sambil memondong jenazah puterinya, menuju pulang. Dia seolah telah lupa kepada Can Kok. Pemuda ini pun tertawa sinis dan berlari mengejar Singa Timur majikan Pulau Udang.

Kedatangan Tung-sai yang memondong jenazah puterinya di Pulau Udang disambut hujan tangis. Seluruh penduduk pulau itu menangisi kematian Kui Leng Hwa. Nyonya Kui menjerit-jerit dan jatuh pingsan melihat puterinya dibawa pulang sebagai mayat yang berlumuran darah.



Pedang Ular Merah Eps 12 Kasih Diantara Remaja Eps 8 Kisah Si Naga Langit Eps 18

Cari Blog Ini