Ceritasilat Novel Online

Kemelut Kerajaan Mancu 12


Kemelut Kerajaan Mancu Karya Kho Ping Hoo Bagian 12




Prajurit muda itu memandang dengan mata mencorong.

"Tidak tahukah kalian bahwa saat ini Pangeran Cu Kiong mendatangkan banyak sekali jagoan lihai untuk mendukungnya? Aku baru kemarin tiba dan sudah mendapat kepercayaan untuk membawa tawanan penting, ini membuktikan bahwa Pangeran Cu percaya kepadaku! Dan kalian ini pengawal-pengawal biasa berani mencurigaiku?" Prajurit muda itu segera mengeluarkan sehelai surat perintah yang ada cap dari Pangeran Cu Kiong. Di situ tertulis bahwa dia harus mengambil tawanan bernama Huang-ho Sian-li dan membawanya ke persidangan di istana kaisar!

Melihat ini, lima orang prajurit tentu saja percaya dan takut. Cap dari pangeran itu tidak meragukan lagi dan seorang dari mereka segera mengeluarkan kunci besar untuk membuka pintu kamar tahanan.

"Hati-hati, kawan. Ia lihai sekali, jangan-jangan ia akan mengamuk dan dapat meloloskan diri," kata lima orang itu sambil memasang anak panah pada gendewa mereka, bersiap-siap mencegah kalau Huang-ho Sian-li mengamuk.

Akan tetapi prajurit muda itu berkata, "Hemm, jangan khawatir, kawan-kawan. Aku sudah biasa menghadapi lawan-lawan tangguh dan Pangeran Cu juga sudah percaya kepadaku. Aku akan menotoknya dan membuat tawanan ini tidak akan mampu mengamuk."

Thian Hwa mendengarkan semua itu dan dengan heran ia memandang wajah prajurit muda yang tampan itu. Pada saat mereka bertemu pandang, Thian Hwa melihat prajurit muda itu mengedipkan sebelah mata kepadanya. Ia merasa heran dan jantungnya berdebar tegang. Prajurit muda ini pasti berniat menolongnya. Ia tidak boleh gegabah mengamuk karena di sana ada Ngo-beng Kui-ong yang amat lihai, dan mendengar ucapan pemuda itu serta isyarat kedip mata itu, Thian Hwa mengambil keputusan untuk menurut saja. Setelah daun pintu dibuka dan prajurit muda itu dengan lompatan yang amat ringan dan cepat mendekatinya lalu menotok kedua pundaknya, Thian Hwa merasa semakin heran. Ia sama sekali tidak merasakan apa-apa, tidak merasa lemas karena totokan itu.

"Nah, ia sudah kutotok dan kubuat tidak berdaya!" kata prajurit muda itu dan Thian Hwa segera membuat dirinya sendiri terkulai lemas!

"Nah, aku akan memondongnya dan membawanya ke istana di mana Pangeran Cu Kiong sudah menanti!" kata prajurit muda itu kepada lima orang rekannya.

Prajurit muda itu bukan lain adalah Si Han Bu. Setelah bertemu Pangeran Ciu Wan Kong dan Cui Sam, suami dan ayah kandung gurunya, dia merasa gembira sekali. Akan tetapi mendengar betapa Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa, puteri kandung gurunya, kini difitnah membunuh seorang pangeran dan berada dalam tahanan Pangeran Cu Kiong, dia merasa khawatir sekali. Dia mengambil keputusan untuk menolong dan membebaskan gadis itu, demi gurunya! Puteri kandung gurunya itu hanya harus dia tolong dan dia bebaskan.

Demikianlah, pagi-pagi sekali hari itu dia menyelidiki gedung istana milik Pangeran Cu Kiong dan setelah melihat Pangeran Cu Kiong dan para pengikutnya meninggalkan gedung, dia melompat masuk melalui pagar tembok di belakang. Setelah mengintai cukup lama akhirnya dia melihat kesempatan baik. Dia dapat menyusup ke dalam dan dapat menemukan kamar tidur Pangeran Cu Kiong yang kebetulan kosong. Di atas meja dalam kamar itulah dia menemukan cap pangeran itu. Cepat dia membuat surat perintah dengan membubuhi cap itu untuk membawa pergi tahanan bernama Huang-ho Sian-li! Kemudian, dia dapat menangkap seorang prajurit yang bentuk tubuhnya sama dengannya, melucuti dan dia lalu mengenakan pakaian prajurit itu.

Tubuh prajurit yang sudah ditotoknya lumpuh itu lalu disembunyikan di balik sebuah almari dan dia lalu cepat mencari tempat tahanan di bagian belakang kompleks gedung istana itu. Setelah dia menemukan tempat itu dia berlagak seperti seorang prajurit kepercayaan Pangeran Cu Kiong untuk mengambil tawanan, "menotok" Thian Hwa dan memanggul tubuh yang "lemas" itu keluar dari dalam kamar tahanan.

Akan tetapi ternyata seorang di antara lima prajurit penjaga itu merasa curiga dan dia membangunkan Ngo-beng Kui-ong. Ketika kakek itu terbangun dan melihat tawanannya dipondong seorang prajurit, dia mengeluarkan suara bentakan marah.

"Tahan...!"

Melihat kakek itu mengeluarkan sebatang tongkat ular yang tiba-tiba seperti hidup, Han Bu dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang lawan yang sakti dan tangguh sekali. Maka dia melepaskan Thian Hwa dari panggulannya dan berbisik.

"Nona, kita robohkan mereka!"

Tanpa dikomando lagi, begitu mendengar bentakan Ngo-beng Kui-ong, Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sudah siap melawan. Ia melompat dari atas panggulan pundak Han Bu dan begitu ia menggerakkan kedua tangan kakinya, tiga orang prajurit yang belum siap menggunakan anak panah mereka telah roboh dan tidak dapat bangkit kembali. Han Bu juga menggunakan pedangnya dan dua orang prajurit lainnya roboh! Akan tetapi, terdengar suara orang-orang di luar tempat tahanan itu dan hal ini berarti bahwa para prajurit lain agaknya mendengar keributan itu dan sedang mendatangi tempat itu.

"Nona, cepat pergi lapor ayahmu, jangan sampai engkau tertawan lagi!" kata Han Bu sambil menghadapi kakek yang seperti mayat hidup itu.

Thian Hwa meragu. Biarpun ia tidak mengenal pemuda ini, akan tetapi pemuda ini telah menolongnya dan membebaskannya dari tahanan. Bagaimana mungkin kini harus meninggalkannya seorang diri menghadapi tengkorak hidup yang ia tahu amat lihai itu? Akan tetapi Han Bu yang lebih mengkhawatirkan gadis itu karena banyak prajurit mendatangi, segera berkata.

"Nona Huang-ho Sian-li, ayahmu menanti-nantimu. Cepat pergilah. Aku akan menahan mereka di sini. Ingat engkau harus selamatkan Pangeran Mahkota!"

"Dan engkau sendiri?" tanya Thian Hwa ragu.

"Ha-ha, jangan pikirkan aku!"

Pada saat itu, Ngo-beng Kui-ong membentak nyaring dan dia sudah melemparkan tongkat ularnya ke udara dan tongkat itu kini berubah menjadi ular hidup yang meluncur ke arah tubuh pemuda itu.

Dengan mengeluarkan suara mendesis-desis dan menyemburkan uap hitam, ular itu meluncur dan menyerang ke arah kepala Han Bu. Akan tetapi dengan tenangnya Han Bu sudah mengelebatkan pedangnya, menyerang dan membacok-bacok ke arah ular itu. Ular itu pun agaknya tidak mau terbabat pedang dan gerakannya cepat sekali, seolah menjadi seekor burung yang pandai terbang, dan tetap menyambar-nyambar sambil menyemburkan uap hitamnya. Akan tetapi, biarpun Thian Hwa sudah menduga bahwa uap hitam itu tentu beracun, agaknya pemuda itu sama sekali tidak merasakannya. Ia tidak tahu bahwa pemuda itu adalah murid Im Yang Sian-kouw atau cucu murid Bu Beng Kiam-sian yang selain terkenal sebagai Dewa Pedang, juga merupakan seorang ahli pengobatan yang pandai. Sebagai cucu murid seorang ahli pengobatan tentu saja Han Bu juga mempelajari ilmu itu dan kini, berhadapan dengan Ngo-beng Kui-ong yang dia duga kemungkinan besar suka mempergunakan racun, dia sudah membekali dirinya dengan menelan sebutir pel kebal racun sehingga ketika tongkat ular itu mengeluarkan asap hitam beracun, dia sama sekali tidak terpengaruh.

Bahkan tongkat ular yang tidak berani bertemu sambaran pedang itu menjadi repot menghindarkan diri dari bacokan pedang dan akhirnya, ketika Ngo-beng Kui-ong berseru, tongkat itu terbang kembali ke tangannya. Melihat betapa pemuda itu cukup lihai menghadapi Ngo-beng Kui-ong dan melihat pula betapa belasan orang prajurit kini menyerbu dan memasuki tempat tahanan itu, Huang-ho Sian-li cepat memungut pedang milik prajurit yang sudah ia robohkan tadi lalu mengamuk dan menerjang keluar! Terjadilah pertempuran hebat di mana Huang-ho Sian-li mengamuk dikeroyok lima belas orang prajurit pengawal.

Thian Hwa teringat akan seruan pemuda yang menolongnya itu agar ia melapor kepada ayahnya. Hal ini berarti bahwa pemuda itu sudah bertemu ayahnya dan mungkin saja ayahnya yang menyuruhnya menolongnya, juga pemuda itu berseru agar ia menyelamatkan Pangeran Mahkota. Apa yang terjadi dengan Pangeran Mahkota? Apa yang terjadi dengan keluarga Bouw Hun Ki? Pemuda itu benar juga. Ia harus lebih dulu dapat meloloskan diri dan melihat keadaan di luar tempat tahanan ini, baru ia akan berunding dengan Pangeran Bouw Hun Ki dan yang lain-lain apa yang harus dilakukannya. Maka ia mempercepat gerakan pedang rampasannya dan empat orang pengeroyok roboh mandi darah. Yang lain terkejut dan mundur dengan jerih melihat kelihaian gadis itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Thian Hwa untuk melompat keluar dari tempat itu, dan terus lari ke tembok taman lalu melompat dan keluar dari lingkungan gedung tempat tinggal Pangeran Cu Kiong!

Sementara itu, melihat Thian Hwa sudah lolos, Han Bu merasa lega. Kelegaan yang hanya sebentar karena dia segera diserang oleh Ngo-beng Kui-ong dan mendapat kenyataan bahwa kakek yang seperti mayat hidup ini ternyata lihai bukan main! Juga para prajurit yang ditinggalkan Thian Hwa dan tidak berhasil mengejarnya, kini mengepung pemuda yang memakai pakaian prajurit itu sehingga sama sekali tidak ada jalan bagi Han Bu untuk meloloskan diri. Kini setelah tongkat ular itu berada di tangan Ngo-beng Kui-ong, kakek itu berani mempergunakannya untuk diadu dengan pedang Im-yang-kiam dan ternyata tongkat itu kuat sekali karena didukung tenaga sakti yang dahsyat dari Si Mayat Hidup. Maka Han Bu berada dalam keadaan gawat. Dia baru tahu bahwa lawannya yang tampaknya lemah ini ternyata memiliki tenaga sakti yang amat kuat dan ilmu silat yang amat aneh dan tinggi tingkatnya sehingga agaknya gurunya sendiri pun belum tentu akan mampu menandingi kakek ini!

"Hei, kakek tua, tahan dulu!" Tiba-tiba Han Bu berseru dan melompat ke belakang. Akan tetapi para prajurit sudah menghadang di belakangnya.

"Hoa-ha-ha, kau mau lari ke mana?" Ngo-beng Kui-ong tertawa.

"Siapa mau lari? Aku hanya ingin tahu dulu siapa yang menjadi lawanku agar aku tidak sampai membunuh orang tanpa kukenal siapa yang menjadi korban pedangku ini!"

"Ha-ha, memang baik sekali agar engkau mati setelah mengenal namaku. Aku adalah Ngo-beng Kui-ong. Nah, engkau pun jangan mati tanpa nama. Siapa namamu sebelum aku membunuhmu!"

"Aku tidak akan mati, maka tidak perlu meninggalkan nama," kata Han Bu dan tiba-tiba saja dia menyerang dengan terjangan dahsyat. Pedangnya berputar dan menusuk ke arah muka lawan, lalu siap menoreh ke bawah ke arah ulu hati kalau tusukannya gagal.

"Tranggg...!" Tongkat ular itu menangkis pedang dan sejenak Han Bu tidak mampu menarik kembali pedangnya yang menempel pada tongkat. Kakek itu mengamati pedang yang berwarna separuh hitam separuh putih itu. Dia berseru kaget, mendorongnya sehingga tenaga yang amat kuat membuat Han Bu terpaksa mundur tiga langkah dan kakek itu berseru.

"Dari mana engkau mendapatkan Im-yang Po-kiam ini? Bukankah Im-yang Po-kiam ini pedang milik Im Yang Sian-kouw dari Beng-san?"

Han Bu merasa heran dan juga bangga. Agaknya kakek lihai ini mengenal gurunya! Maka sambil membusungkan dadanya dia berkata lantang.

"Dengarlah baik-baik, wahai Ngo-beng Kui-ong! Aku bernama Si Han Bu dan Im-yang Sian-kouw adalah Guruku! Subo menghadiahkan pedang ini kepadaku!"

"Ha-ha-ha, bocah sombong! Murid Im-yang Sian-kouw, cucu murid mendiang Bu Beng Kiam-sian, berani melawan aku, Ngo-beng Kui-ong! Heh, bocah ingusan, tahukah engkau, Bu Beng Kiam-sian adalah teman seperjuanganku! Dan Im-yang Sian-kouw, heh-heh, janda cantik itu, sombong sekali berani menolak aku. Sekarang, engkau berani menantangku? Ho-ho, sudah bosan hidupkah engkau?"

"Engkau yang sudah bosan hidup karena sudah tua renta, Ngo-beng Kui-ong. Hendak kulihat bagaimana daya tahan seorang yang sudah mendekati ajal sepertimu, tentu saja kalau engkau tidak begitu pengecut untuk mengeroyokku!"

"Huh, bocah sombong. Siapa yang akan mengeroyokmu? Sambut ini!" bentak Ngo-beng Kui-ong marah. Han Bu memang sengaja berlagak sombong untuk membuat penasaran hati kakek itu dan mengalihkan perhatian sehingga kakek tua renta itu lupa bahwa tawanan yang dijaganya telah lolos. Dan usaha Han Bu ini berhasil baik. Ngo-beng Kui-ong agaknya sudah lupa sama sekali akan tawanannya!

Melihat serangan yang amat dahsyat itu, Han Bu tidak berani main-main. Dia cepat mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan ilmu pedang Im-yang Kiam-sian dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya memainkan Im-yang Po-san, yaitu senjata kipasnya yang juga amat lihai.

Para prajurit hanya berani mengepung, tidak berani turun tangan karena mereka semua maklum bahwa kakek itu memiliki watak yang amat aneh dan keras. Mengeroyok tanpa diperintah bisa saja berakibat mereka dibunuh sendiri oleh kakek itu.

Pertempuran berjalan cukup ramai. Hal ini karena Ngo-beng Kui-ong tidak ingin membunuh Han Bu, melainkan ingin menangkapnya hidup-hidup. Dia mempunyai sebuah rencana bagi pemuda itu. Dahulu, kakek ini memang seorang sahabat dari Bu Beng Kiam-sian. Mereka sama-sama mempelajari ilmu, saling menukar ilmu, hidup sebagai datuk-datuk yang gagah perkasa dan patriotik. Ketika Im-yang Sian-kouw yang dulu bernama Cui Eng menjadi murid Bu-beng Kiam-sian, Ngo-beng Kui-ong sempat tergila-gila kepada janda muda itu dan beberapa kali dia membujuk rayu dan meminang agar Cui Eng menjadi isterinya dan dijanjikan akan diberi semua ilmu yang dikuasainya. Pada waktu itu Ngo-beng Kui-ong berusia hampir enam puluh tahun dan masih gagah, tidak seperti sekarang. Akan tetapi Cui Eng menolak dan Ngo-beng Kui-ong tidak berani memaksa karena tentu saja dia merasa sungkan kepada Bu Beng Kiam-sian yang melindungi Cui Eng. Juga dia sendiri bukanlah orang yang suka memaksakan kehendak memenuhi nafsunya.

Kemudian, ketika pasukan Mancu menyerang dan menduduki Cina, Ngo-beng Kui-ong ikut melakukan perlawanan. Setelah Jenderal Wu Sam Kwi melarikan diri ke selatan dan membentuk pemerintahan sendiri lalu masih melakukan perlawanan mati-matian terhadap pemerintah penjajah Mancu, dengan sendirinya Ngo-beng Kui-ong condong membantunya, apalagi muridnya, Lam-hai Cin-jin, menjadi Koksu (Guru Negara), penasihat Jenderal Wu Sam Kwi. Walaupun dia sudah tua dan tidak secara langsung membantu Wu Sam Kwi, namun ketika muridnya, Lam-hai Cin-jin minta bantuannya mewakili Wu Sam Kwi dalam persekutuannya dengan Pangeran Cu Kiong, dia tergerak dan berangkat juga.

Demikianlah, ketika kini tiba-tiba dia berhadapan lawannya, seorang pemuda yang mengaku sebagai murid Im-yang Sian-kouw, Ngo-beng Kui-ong memiliki rencana bagi pemuda itu. Dia hendak menangkapnya hidup-hidup untuk kelak menyenangkan hati Im-yang Sian-kouw. Walaupun andaikata wanita yang membuatnya tergila-gila itu tetap tidak mau menjadi isterinya, setidaknya Im Yang Sian-kouw dapat diharapkan bantuannya mendukung pemerintah Jenderal Wu Sam Kwi!

Ketika melihat betapa pemuda itu memang sudah mewarisi ilmu pedang dan ilmu kipas yang lihai dari Bu-beng Kiam-sian melalui gurunya, yaitu Im-yang Sian-kouw, maklumlah Kui-beng Kui-ong bahwa untuk merobohkan pemuda ini tanpa melukai tidaklah mudah dan jalan satu-satunya hanyalah menggunakan tenaga sakti dibantu kekuatan sihirnya.

Maka, setelah berkemak-kemik membaca mantera, dia mendorongkan tangan kirinya ke arah Han Bu sambil berseru.

"Robohlah engkau!"

Hawa dorongan itu dahsyat bukan main. Angin yang menyambar bagaikan badai dan di dalamnya terkandung pula wibawa yang mempengaruhi diri Han Bu. Ada sesuatu yang seolah memaksa dirinya untuk kehilangan daya tahannya dan biarpun dia mencoba untuk bertahan, tetap saja dia terpelanting dan sebelum dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, kakek itu melompat dan menotoknya sehingga pemuda itu tidak mampu bergerak lagi.

Para prajurit kini berlompatan mendekat dan mereka sudah menggerakkan golok dan pedang untuk membunuh Han Bu. Akan tetapi Han Bu berseru.

"Ngo-beng Kui-ong, apa engkau tidak berani membunuh aku sendiri dan menyuruh anjing-anjingmu ini mengeroyok aku yang sudah tidak mampu bergerak? Pengecut besar!"

Mendengar ini, Ngo-beng Kui-ong menggerakkan tangannya dan angin menyambar amat kuatnya membuat beberapa orang prajurit yang menghampiri Han Bu berpelantingan!

"Tidak ada yang boleh membunuh pemuda ini! Mundur kalian semua!"

Para prajurit ketakutan dan mundur, mengepung dari jarak jauh.

"Ngo-beng Kui-ong, sekarang engkau hendak membunuh aku yang kaubuat tidak berdaya dengan ilmu iblismu? Huh, tak tahu malu. Kalau memang kau gagah, hayo jangan pergunakan ilmu setan dan tewaskan aku dalam perkelahian adu ilmu silat yang jujur dan adil, kalau kau berani!"

"Ho-ho, jangan berlagak, bocah sombong! Engkau ketakutan maka engkau berlagak pemberani."

"Ha-ha-ha, kakek tua bangka! Siapa takut mati? Aku adalah murid Subo Im-yang Sian-kouw dan cucu murid Sukong Bu Beng Kiam-sian, mana mungkin takut mati? Berarti engkau bohong dan belum mengenal kegagahan mereka!"

"Huh, bagaimanapun juga, aku akan membunuhmu. Akan tetapi mengingat akan persahabatanku dengan Janda Im-yang Sian-kouw yang menjadi gurumu, biarlah aku memberi kelunakan padamu. Engkau boleh memilih sendiri cara kematianmu. Kalau pilihanmu benar, engkau akan mendapat kehormatan mati di tanganku. Kau tahu, mati di tangan Ngo-beng Kui-ong merupakan kehormatan besar bagi seorang kang-ouw! Akan tetapi kalau pilihanmu tidak benar, engkau akan kuserahkan kepada para anjing ini biar mereka yang mengeroyokmu sampai engkau mampus dengan cara rendah dan hina! Nah, engkau boleh pilih!"

Han Bu adalah seorang pemuda yang lincah jenaka, pemberani dan banyak akalnya. Mendengar ucapan itu, dia memutar otaknya, mencari akal. Kemudian, dengan wajah cerah, dalam keadaan rebah telentang dan tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, dia bertanya.

"Ngo-beng Kui-ong, apakah engkau ini benar-benar seorang datuk ilmu silat yang terkenal dan dapat dipercaya janjinya? Ataukah hanya seorang Siauw-jin (Manusia Rendah) yang suka menjilat ludah sendiri, mengingkari janjinya?"

"Bocah setan! Tentu saja aku selalu memegang teguh ucapan dan janjiku!"

"Hemm, kau tadi bilang bahwa aku boleh memilih dan kalau pilihanku tepat, maka aku akan mati terhormat di tanganmu, sebaliknya kalau pilihanku keliru, aku akan mati dikeroyok anjing-anjing ini. Benarkah demikian janjimu?"

"Benar sekali dan aku tidak akan mengingkarinya!"

"Berani engkau bersumpah bahwa engkau tidak akan melanggar janjimu sendiri? Ingat, janjimu disaksikan Bumi dan Langit, juga didengarkan oleh belasan anak buahmu ini. Sebagai seorang datuk besar, tentu engkau tidak akan menjilat ludahmu sendiri!"

Ngo-beng Kui-ong marah sekali. Dia merasa dipermainkan anak yang pantas menjadi cucunya, bahkan cucu buyutnya! "Bocah setan! Siapa hendak mengingkari janji? Tidak sudi aku bersumpah, akan tetapi biar semua orang ini menjadi saksi bahwa kalau engkau memilih benar, engkau akan mati terhormat di tanganku, sebaliknya kalau engkau memilih keliru, engkau akan mati dikeroyok anak buah ini!"

Han Bu mengerutkan alisnya. Wah, tidak enak semua! Akan tetapi, lebih baik, seratus kali lebih baik mati sebagai seekor harimau yang mati-matian membela diri daripada sebagai seekor babi yang hanya menguik-nguik menghadapi kematian tanpa melawan hanya berkaok-kaok ketakutan!

"Ngo-beng Kui-ong, satu hal lagi. Kalau aku memilih benar sehingga aku mati di tanganmu, aku minta agar aku dibebaskan dari totokan sehingga aku dapat melawanmu dan mati karena kalah dalam perkelahian. Bagaimana?"

"Tentu saja! Kalau pilihanmu benar, engkau akan melawanku sampai mati, akan tetapi kalau pilihanmu keliru, dalam keadaan tertotok engkau akan dihabisi mereka. Nah, jangan banyak cerewet lagi seperti seorang nenek bawel, cepat lakukan pilihanmu!"

Setelah memutar otaknya dan menahan napas, dengan nekat Han Bu lalu berkata lantang sehingga terdengar oleh semua prajurit yang berada di situ.

"Aku, memilih mati di tangan prajurit ini!"

Mendengar ini, para prajurit tertawa riuh, dan Ngo-beng Kui-ong juga tertawa.

"Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau hanya seorang pengecut dan takut melawan aku, maka memilih mati seperti seekor tikus! Baik, kalau itu pilihanmu, engkau akan mampus dicincang para prajurit ini dan arwahmu tidak boleh menyalahkan siapa pun karena ini merupakan pilihanmu sendiri!" Dia tertawa lagi terbahak.

"Tidak kusangka murid Im-yang Sian-kouw setolol ini!"

Para prajurit sudah gatal tangan dan siap untuk mencincang tubuh pemuda pengacau itu dengan golok dan pedang mereka.

"Tahan!" Han Bu berseru.

"Ngo-beng Kui-ong, bukan aku yang tolol, akan tetapi engkau yang hendak menjilat ludahmu sendiri. Datuk macam apa engkau hendak mengingkari janjimu, hah?"

Kakek itu terkejut dan marah.

"Bocah setan, siapa mengingkari janji?"

"Coba pergunakan otakmu yang tumpul karena sudah terlalu tua itu. Apa pilihanku tadi?"

"Engkau memilih mati di tangan para prajurit!"

"Benar, dan engkau sekarang hendak melaksanakan itu, menyuruh para prajurit membunuhku? Kalau begitu berarti pilihanku benar! Padahal kalau pilihanku benar, aku tidak harus dibunuh para prajurit, melainkan melawan sampai mati. Nah, masih ingat, bukan? Ataukah engkau sudah pikun dan pura-pura lupa?"

Ngo-beng Kui-ong tertegun dan bengong seperti orang bodoh, dan para prajurit saling pandang lalu mengangguk-angguk. Mereka dapat melihat kebenaran omongan pemuda itu. Pemuda itu memilih mati di tangan mereka, kalau hal ini dilaksanakan, berarti pilihannya benar dan kalau pilihannya benar, seperti dijanjikan kakek itu, dia tidak seharusnya mati di tangan para prajurit!

Agaknya Ngo-beng Kui-ong akhirnya dapat menyadari kebenaran ini. Tidak, anak muda itu tidak boleh mati dikeroyok prajurit karena kalau hal itu terjadi, maka pilihannya benar dan kalau pilihannya benar, menurut janji dia akan mendapat kehormatan melawannya dan mati di tangannya.

"Ah, benar juga, aku keliru, Si Han Bu. Baiklah, sekarang aku akan membebaskan dan memberi kesempatan kepadamu untuk bertanding melawan aku sampai mati!" Kakek itu hendak melawan Han Bu dan sekali tangannya berkelebat, dia sudah membebaskan pemuda itu dari totokan yang ampuh. Han Bu melompat berdiri dan segera berseru.

"Tahan dulu, Ngo-beng Kui-ong! Engkau tidak jadi menjilat ludah yang ini, akan tetapi siap untuk menjilat ludahmu yang lain. Sungguh tidak tahu malu. Aku tidak sudi bertanding melawanmu karena itu menyalahi apa yang telah kaujanjikan!"

"Lho! Apa lagi ini? Aku melanggar janji yang mana?"

"Dasar sudah pikun dan bodoh! Apa janjimu tadi? Kalau aku salah pilih aku akan mati di tangan para prajurit, bukan? Nah, apa yang kupilih? Aku memilih mati di tangan para prajurit, kalau sekarang aku harus mati di tanganmu, berarti pilihanku tadi salah dan kalau salah, tidak semestinya aku mati di tanganmu! Seharusnya mati di tangan para prajurit!"

Kakek itu melongo dan menghitung-hitung. Kalau pemuda yang memilih mati di tangan para prajurit itu dibiarkan mati dikeroyok, berarti pilihannya benar dan tidak boleh mati dikeroyok. Sebaliknya kalau mati di tangannya, berarti pilihannya keliru dan seharusnya mati dikeroyok.

"Lho, bagaimana ini...?" Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya dengan bingung.

"Menyuruh para prajurit membunuhmu salah, aku sendiri yang membunuhmu juga salah! Lalu bagaimana?"

Para prajurit juga geleng-geleng kepala karena bingung dan mereka semua baru menyadari bahwa mereka telah diakali oleh pemuda itu! Akan tetapi Ngo-beng Kui-ong tidak berdaya karena tentu saja dia tidak mau melanggar janjinya sendiri yang disaksikan demikian banyaknya prajurit.

"Memang tidak semestinya engkau membunuhku, Ngo-beng Kui-ong. Kalau betul engkau dahulu sahabat kakek guruku mendiang Bu Beng Kiam-sian dan juga sahabat ibu guruku Im-yang Sian-kouw, bagaimana engkau akan dapat bertemu mereka kalau engkau membunuh aku?"

Selagi kakek itu kebingungan tak mampu menjawab, terdengar suara berisik di luar bangunan itu, Ngo-beng Kui-ong cepat menotok Han Bu yang tidak siap sehingga pemuda itu terkulai lumpuh kembali. Kakek itu lalu mengangkat tubuh Han Bu dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang tadi dipergunakan untuk menawan Huang-ho Sian-li. Setelah melemparkan pemuda itu ke dalam kamar tahanan, pintunya lalu ditutup dan digembok dari luar.

Han Bu merasa lega. Setidaknya dia gembira karena pertama, dia dapat meloloskan Huang-ho Sian-li, dan ke dua, dia dapat mengakali Ngo-beng Kui-ong sehingga kakek itu menjadi serba salah dan tidak dapat membunuhnya. Akan tetapi, dalam keadaan telentang dan tertotok, rebah di atas pembaringan kayu, kini dia melihat munculnya beberapa orang yang membuat dia dapat merasakan bahwa keadaan dirinya tetap saja gawat.

Yang muncul adalah Pangeran Cu Kiong sendiri bersama Lam-hai Cin-jin, Thio Kwan, Yu Kok Lun, dan Ang-mo Niocu yang cantik genit.

"Locianpwe Ngo-beng Kui-ong, apa yang kami dengar dari laporan para pengawal itu? Bagaimana Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa dapat lolos dari tahanan?" Pangeran Cu Kiong yang masih marah karena persidangan itu gagal dan ditunda, kini mendengar bahwa Huang-ho Sian-li musuh yang paling berbahaya baginya itu telah lolos dari tempat tahanan! Tentu saja dia menjadi marah sekali, matanya terbelalak merah dan kalau saja bukan Ngo-beng Kui-ong yang melakukan penjagaan dan bertanggung jawab atas lolosnya tawanan, tentu dia sudah turun tangan membunuhnya!

"AH, aku tertidur ketika Huang-ho Sian-li ditolong dan dikeluarkan oleh bocah ini. Sekarang dia yang meloloskan Huang-ho Sian-li telah kutangkap!" kata kakek itu, sama sekali tidak merasa menyesal karena dia yang sudah tua tidak begitu mementingkan tentang rencana Pangeran Cu Kiong. Dia datang ke kota raja hanya sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi untuk membantu murid keponakannya, yaitu Lam-hai Cin-jin.

Mendengar bahwa ada orang telah meloloskan Huang-ho Sian-li dari tawanan, dan orang itu kini sudah tertangkap, Pangeran Cu Kiong bertanya, marah.

"Mana Si Jahanam yang telah membikin lolosnya Huang-ho Sian-li?"

Ngo-beng Kui-ong sambil menyeringai menuding ke arah dalam kamar tahanan.

"Itu dia orangnya!"

"Keparat, biar kubunuh dia!" Pangeran Cu Kiong sudah mencabut pedangnya, hendak menyuruh buka pintu kamar penjara karena dia ingin melampiaskan kemarahannya kepada orang yang telah mengeluarkan Huang-ho Sian-li dari tahanan.

"Eitt, nanti dulu, Pangeran. Jangan bunuh dia!" Ngo-beng Kui-ong mencegah dan berdiri menghadang di depan pintu kamar penjara.

Pangeran Cu Kiong menjadi marah sekali dan Lam-hai Cin-jin juga khawatir akan sikap susioknya (paman gurunya) yang sudah tua renta dan suka bersikap ugal-ugalan tanpa pandang bulu itu.

"Susiok, mengapa Susiok melarang Pangeran Cu untuk membunuh orang muda itu? Bukankah dia telah bersalah besar membebaskan Huang-ho Sian-li yang menjadi tawanan penting?" Lam-hai Cin-jin menegur paman gurunya.

"Ho-ho-ho, engkau tidak tahu, Cin-jin. Kau tahu siapa pemuda ini? Dia ini murid Im-yang Sian-kouw, cucu murid mendiang Bu Beng Kiam-sian. Kau ingat mereka itu dahulu adalah sahabat-sahabatku. Sekarang aku dapat menangkap murid Im-yang Sian-kouw, ini merupakan senjata baik sekali untuk memaksa ia suka membantu Raja Wu Sam Kwi! Nah, amat menguntungkan, bukan? Kalau dibunuh begitu saja, apa untungnya bagi kita? Pangeran Cu Kiong, hati boleh panas, akan tetapi kepala harus tetap dingin sehingga dapat berpikir dengan baik. Kita pertimbangkan untung ruginya! Aku tetap mempertahankan hidup pemuda ini karena aku mengharapkan gurunya akan mau mendukung Raja Wu Sam Kwi yang membutuhkan banyak bantuan tenaga orang sakti."

Lam-hai Cin-jin tersenyum masam. Tentu saja dia maklum bahwa alasan yang dikemukakan paman gurunya itu walaupun ada benarnya namun sesungguhnya bukan itulah tujuannya. Dia tahu bahwa dahulu paman gurunya itu pernah tergila-gila kepada Im-yang Sian-kouw dan pernah merayu dan berkali-kali meminang janda muda cantik itu untuk menjadi isterinya. Akan tetapi Im-yang Sian-kouw sudah mengambil keputusan untuk menjanda selama hidupnya, maka bujuk rayu dan pinangan itu ditolaknya. Kini agaknya Ngo-beng Kui-ong yang sudah berusia delapan puluh tahun lebih, makin tua semakin bergairah, dan agaknya hendak mempergunakan murid Im-yang Sian-kouw yang ditawannya untuk memaksa janda itu mau menjadi isterinya!

Pangeran Cu Kiong menjadi marah dan kecewa sekali. Huang-ho Sian-li bebas dari tahanan dan tentu akan menimbulkan banyak kesulitan baginya. Biarpun dia merasa marah dan benci sekali kepada pemuda yang telah membebaskan Huang-ho Sian-li, namun melihat Ngo-beng Kui-ong berkeras tidak membiarkan pemuda itu dibunuh, dia pun tidak berani mendesak. Akan rugi sekali kalau dia bentrok dengan kakek tua renta yang sakti itu. Pula, tidak begitu penting artinya baginya kalau pemuda itu dibunuh ataukah tidak. Yang terpenting sekarang dia harus membuat rencana secepatnya untuk menguasai keadaan sebelum Huang-ho Sian-li membuat kesulitan baginya.

Maka dengan muka masih merah karena marah dan mulut bersungut-sungut, Pangeran Cu Kiong memberi isyarat kepada para pembantunya untuk mengadakan perundingan di dalam kamar rahasia. Sekali ini, dia membuat pertemuan terakhir, maka dia mengundang semua pendukungnya. Selain para pembantu tetapnya, yaitu Thio Kwan dan Yu Kok Lun, dan para pendukung tetap, yaitu para utusan Jenderal Wu Sam Kwi seperti Lam-hai Cin-jin, Ang-mo Niocu Yi Hong, Mong Lai orang Mongol yang membantu Wu Sam Kwi, dan Ngo-beng Kui-ong, juga hadir pula para panglima dan pejabat tinggi yang sudah dapat dipengaruhi Pangeran Cu Kiong yang kini menggunakan Tek-pai yang dirampasnya dari Huang-ho Sian-li! Dengan Tek-pai itu, banyak panglima dan pejabat tinggi tertarik dan terbujuk olehnya.

Dalam ruangan rahasia yang tertutup itu kini dipenuhi mereka yang mengadakan perundingan dengan serius, dipimpin oleh Pangeran Cu Kiong yang penuh semangat dan berapi-api.

"Kita harus bertindak sekarang juga atau akan terlambat dan tidak akan ada kesempatan lagi! Tek-pai berada di tanganku dan dengan Tek-pai ini aku dapat bertindak atas nama Kaisar, Ayahku, sedangkan kaisar baru belum diangkat, berarti aku memiliki kekuasaan mutlak. Para pejabat tinggi tentu akan tunduk kepada pemegang Tek-pai. Sekarang aku hendak bertanya, bagaimana ketiga Ciangkun, apakah kalian bertiga sudah mempersiapkan pasukan kalian dan setiap saat sudah siap untuk mengepung istana dan menguasainya?" Berkata demikian, Pangeran Cu Kiong memandang kepada tiga orang panglima perang yang terbujuk olehnya dan menjadi pendukungnya, tentu saja dengan janji akan mendapatkan kedudukan yang jauh lebih tinggi kalau Pangeran Cu Kiong kelak menjadi kaisar.

"Kami sudah siap, Pangeran!" serentak mereka menjawab.

"Bagus! Gui-ciangkun, bagaimana hasil penyelidikanmu tadi? Apa yang dilakukan Pangeran Bouw Hun Ki dan di mana adanya Pangeran Kang Shi?" tanya Pangeran Cu Kiong kepada panglima yang ditugaskan sebagai kepala para penyelidik.

"Menurut hasil penyelidikan para anak buah yang kami sebar di mana-mana, tidak tampak banyak gerakan oleh Pangeran Bouw Hun Ki. Pangeran Mahkota Kang Shi masih berada di sana dan semua kegiatan juga dilakukan di sana. Istana masih sepi dan kabarnya, sebelum terjadi pelantikan kaisar baru, maka Pangeran Kang Shi masih akan tinggal bersama Pangeran Bouw Hun Ki. Para panglima yang setia kepada Kaisar juga belum kelihatan mengadakan persiapan apa pun. Jadi menurut hamba, saat ini memang tepat dan baik sekali apabila Paduka membuat gerakan yang pasti akan berhasil baik selagi pihak musuh sedang lengah."

"Bagus! Sekarang, aku ingin mendengar pendapat Lam-hai Cin-jin, bagaimana langkah yang sebaiknya harus kita ambil."

"Hemm, Pangeran, pada saat ini, kerajaan sedang kosong, belum ada kaisar baru, maka memang saatnya paling tepat untuk bergerak. Satu-satunya yang menjadi penghalang bagi Pangeran untuk dapat naik tahta hanyalah Pangeran Kang Shi. Akan tetapi Pangeran itu masih kecil, jadi bukan dialah yang menjadi penghalang terbesar, melainkan pelindungnya dan pendampingnya, yang bukan lain adalah Pangeran Bouw Hun Ki. Maka, sebaiknya Pangeran mengerahkan semua kekuatan untuk menyerbu ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan membinasakan semua keluarga dan pengikutnya, termasuk Huang-ho Sian-li."

"Saya setuju sekali dengan pendapat Lam-hai Cin-jin," kata Thio Kwan si tinggi kurus muka pucat.

"Terutama sekali Huang-ho Sian-li, kita harus sekali ini dapat membunuhnya. Tidak ada gunanya menawannya hidup-hidup, lebih cepat ia tewas lebih baik."

"Memang tepat sekali," kata Yu Kok Lun yang pendek gemuk.

"Gadis itu berbahaya sekali dan kiranya setelah ia pernah kita tawan, tidak akan mudah lagi menawannya karena ia tentu akan berhati-hati. Maka sebaiknya digunakan siasat yang cerdik. Bagaimana kalau kita tangkap ayahnya? Pangeran Ciu Wan Kong seorang lemah, kalau kita dapat menangkapnya, saya kira Huang-ho Sian-li dapat kita tundukkan."

"Bagus, bagus! Semua usul itu baik sekali dan harus segera dilaksanakan! Dan sekarang, apakah ketiga Ciangkun sudah membuat rencana apa yang akan dilakukan dan sudah membagi tugas kepada pasukan masing-masing?"

"Pangeran, kami bertiga telah membagi-bagi tugas. Tiga pasukan kami sudah kami rencanakan untuk bergerak sebagai berikut. Pasukan pertama akan menghadang di pintu gerbang dan mencegah masuknya pasukan dari luar kota raja yang hendak membela Pangeran Mahkota. Pasukan kedua kami perbantukan usaha penyerbuan ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan menghancurkan semua kekuatannya, kemudian pasukan ke dua membantu pasukan ke tiga yang mengepung istana dan kemudian menyerbu setelah saatnya tiba, yaitu kami menunggu komando dari Pangeran."

Pangeran Cu Kiong menggosok-gosok kedua tangannya dengan wajah girang. Dia seolah sudah yakin bahwa usahanya pasti berhasil!

"Bagus, sekarang kita tentukan rencana gerakan besok pagi-pagi sekali seperti berikut. Malam ini, Gui Ciangkun harap bekerja keras memata-matai semua gerakan di gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan di istana sehingga kalau terjadi perubahan kita dapat mengetahui gerakan mereka. Juga malam ini, ketiga pasukan harus sudah dapat menyusup dan siap di tempat masing-masing, yaitu di pintu gerbang, di dekat gedung Pangeran Bouw, dan di dekat istana. Jangan membuat gerakan mengepung lebih dulu karena gerakan itu dapat menarik perhatian orang. Kemudian, begitu ada tanda ayam berkokok, pasukan kedua membantu kedua Locianpwe Lam-hai Cin-jin dan Ngo-beng Kui-ong, Sobat Mong Lai, dan para perwira penyerbu istana Pangeran Bouw Hun Ki, membasmi semua yang melawan termasuk Pangeran Bouw Hun Ki dan Pangeran Kang Shi.

Sementara itu, Thio Kwan dan Yu Kok Lun lebih dulu membawa dua losin prajurit pergi menangkap Pangeran Ciu Wan Kong sehingga kalau dalam pertempuran di istana Pangeran Bouw Hun Ki itu Huang-ho Sian-li mengamuk, kalian dapat memaksa ia menyerah dengan memperlihatkan ayahnya yang disandera. Kemudian, kalau pasukan pertama ternyata tidak menemui pasukan kerajaan yang akan masuk, mereka harus cepat pergi ke istana dan membantu pasukan ke tiga yang mengepung istana. Nah, kalau ada pertanyaan, silakan ajukan sekarang karena ini merupakan perundingan terakhir."

Setelah merundingkan rencana pemberontakan mereka secara rinci, perundingan itu ditutup karena semua orang harus membuat persiapan malam itu juga. Setelah semua meninggalkan ruangan rahasia itu, sebagian para panglima dan pejabat tinggi, pulang ke tempat tinggal masing-masing, dan para pembantu atau pengawal kembali ke kamar masing-masing yang disediakan untuk mereka dalam istana itu, Pangeran Cu Kiong berjalan menuju kamarnya bersama Ang-mo Niocu Yi Hong. Akan tetapi ketika Yi Hong hendak menuju ke kamarnya sendiri, tangannya dipegang Pangeran Cu Kiong.

"Niocu, malam ini engkau harus menemani aku. Besok merupakan hari penentuan dan malam ini aku ingin menikmatinya, siapa tahu merupakan malam terakhir pula bagiku."

"Ih, mengapa bicara begitu, Pangeran? Aku ingin tidur, harus siap dan mengaso agar besok pagi dapat mengerahkan tenaga sepenuhnya."

Kemelut Kerajaan Mancu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Marilah, Niocu, engkau tidur di kamarku saja."

"Pangeran, biarkan aku sendiri saja...." Ang-mo Niocu Yi Hong menarik tangannya yang dipegang, akan tetapi pangeran itu tidak mau melepaskannya.

"Niocu, apakah engkau tidak cinta lagi padaku? Bukankah kita saling mencinta? Ingat, kalau aku berhasil, engkau pun akan mendapat kedudukan tinggi di istanaku...."

Di dalam hatinya Yi Hong tersenyum mengejek. Cinta? Tak pernah ada rasa cinta menyelinap dalam hatinya. Hatinya sejak kecil sudah dijejali dan dipenuhi bibit kebencian terhadap pria sehingga kini yang ada hanya perasaan benci. Kalau ia mau berdekatan dengan pria yang muda dan tampan, ini sama sekali bukan cinta, melainkan hanya nafsu berahi belaka. Akan tetapi biarpun setelah beberapa lamanya menjadi kekasih Pangeran Cu Kiong dan ia mulai merasa bosan, ia menahan diri dan tidak mau memperlihatkannya.

Kini pun ia terpaksa mengalah, bukan karena ada rasa sayang terhadap pangeran yang ia tahu bukannya cinta kepadanya melainkan hendak memanfaatkannya, melainkan karena demi memenuhi tugasnya sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi. Tiada seorang pun laki-laki di dunia ini yang pernah dicintanya dengan kasih yang murni, bahkan Yi Hong tidak pernah merasakan kasih sayang antara dirinya dan ayah kandungnya yang telah tewas terbunuh oleh ibu kandungnya sendiri ketika ia berusia satu tahun! Gurunya sendiri, Lam-hai Cin-jin, yang telah mendidiknya sejak ia berusia sepuluh tahun, juga hanya ia taati dan ia hormati sebagai guru tanpa ada rasa sayang seorang murid kepada gurunya, dan hal ini hanya karena gurunya itu seorang laki-laki!

Kalau ada laki-laki yang benar-benar ia bela, bukan lain adalah Jenderal Wu Sam Kwi. Sejak kecil telah tertanam dalam lubuk hatinya bahwa Jenderal Wu Sam Kwi adalah seorang pahlawan besar yang gagah perkasa, setia kepada tanah air dan bangsa, dan yang ia junjung tinggi. Untuk tokoh yang sudah tua itu, Ang-mo Niocu siap untuk berkorban nyawa sekalipun! Justru karena rasa bakti dan sayangnya kepada Jenderal Wu Sam Kwi, maka Yi Hong membantu Pangeran Cu Kiong dengan sungguh hati, bukan demi keberhasilan pangeran itu, melainkan demi kemenangan dan keberhasilan Jenderal Wu Sam Kwi.

Melihat itu setelah melayani Pangeran Cu Kiong dengan hati muak karena memang sudah bosan dan terpaksa, Yi Hong dapat membujuk pangeran itu untuk menitipkan Tek-pai (Tanda Kekuasaan) dari mendiang Kaisar Shun Chi yang dirampas dari Huang-ho Sian-li itu kepadanya.

"Tek-pai itu merupakan bukti terpenting bagi Paduka," demikian Yi Hong membujuk.

"Dengan Tek-pai di tangan, setidaknya Paduka memiliki kekuasaan yang disegani sebagian besar para pejabat kerajaan, apalagi sebelum ada kaisar baru. Maka, amat berbahaya kalau Paduka pegang sendiri. Juga kalau Paduka sembunyikan, bisa saja diambil atau dicuri orang. Maka, kalau Paduka percaya kepada saya, bagaimana kalau diam-diam Paduka titipkan kepada saya? Tidak akan ada yang menyangka sehingga saya dapat menyelamatkan Tek-pai itu dan tidak sampai dirampas atau dicuri orang."

Pangeran Cu Kiong menganggap usul itu baik sekali, maka pada keesokan harinya pagi-pagi sekali setelah mereka mandi dan berganti pakaian, Tek-pai itu sudah berada di balik ikat pinggang Ang-mo Niocu Yi Hong. Tentu saja tujuan Yi Hong menyimpan Tek-pai itu sama sekali bukan untuk kepentingan Cu Kiong, melainkan untuk kepentingan Jenderal Wu Sam Kwi. Ia mengharapkan barang kali tanda kekuasaan dari kaisar itu akan dapat berarti penting sekali bagi junjungannya di Se-cuan, terutama sekali kalau rencana pemberontakan Pangeran Cu Kiong sampai menemui kegagalan.

***

Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa merasa menyesal sekali bahwa ia terpaksa harus pergi meninggalkan tempat tahanan di istana Pangeran Cu Kiong, meninggalkan pemuda tampan gagah yang telah membebaskannya dari tahanan tanpa dapat menolongnya. Di tempat tinggal Pangeran Cu Kiong terdapat banyak prajurit pengawal. Walaupun hal ini bukan merupakan bahaya bagi seorang yang memiliki kelihaian seperti pemuda yang membebaskannya itu, namun di situ ada pula Ngo-beng Kui-ong yang sakti. Mungkinkah pemuda itu mampu menyelamatkan diri dari mereka? Akan tetapi, ada dua hal yang memaksa Huang-ho Sian-li pergi meninggalkan pemuda itu, walaupun tindakannya ini mendatangkan penyesalan yang mendalam kepadanya.

Pertama pemuda itu yang mendorong ia agar pergi melarikan diri dengan mengatakan bahwa ia harus cepat menemui ayahnya dan yang terpenting menyelamatkan Pangeran Mahkota. Ke dua, kalau ia nekat mengamuk untuk membantu pemuda itu meloloskan diri, kemudian ia tertangkap pula karena lihainya kakek yang seperti mayat hidup itu, lalu bagaimana dengan tugasnya melindungi Pangeran Mahkota? Demikianlah, dengan hati merasa menyesal sekali, terpaksa Thian Hwa meninggalkan istana Pangeran Cu Kiong dan cepat ia kembali ke gedung ayahnya Pangeran Ciu Wan Kong.

"Ayah...!" Ia melompat ke ruangan dalam di mana ayahnya sedang duduk termenung. Pangeran Ciu Wan Kong baru saja kembali dari menghadiri persidangan dalam istana di mana Pangeran Bouw Hun Ki memutuskan untuk menunda persidangan karena Huang-ho Sian-li yang menjadi terdakwa pembunuh Pangeran Leng tidak dihadirkan di situ. Pangeran Ciu termenung dan diam-diam dia merasa khawatir sekali akan nasib puterinya yang menjadi tawanan Pangeran Cu Kiong yang jahat dan kejam. Ketika mendengar panggilan itu dan melihat berkelebatnya bayangan Huang-ho Sian-li yang tiba-tiba sudah berada di ruangan itu, dia melompat berdiri.

"Thian Hwa...!" Saking girangnya, Pangeran Ciu Wan Kong merangkul puterinya. Thian Hwa juga merasa terharu karena ia dapat merasakan rangkulan ayahnya yang penuh kasih sayang itu.

"Ayah...!" Ia pun merangkul dengan hati terharu.

Pangeran Ciu Wan Kong melepaskan rangkulannya dan menyuruh puterinya duduk.

"Terima kasih kepada Tuhan, engkau dapat pulang dengan selamat, Anakku. Nah, ceritakan, bagaimana engkau dapat meloloskan diri dari cengkeraman Pangeran Cu Kiong yang jahat itu dan apa yang telah terjadi?"

"Ayah, aku telah difitnah oleh Pangeran Cu. Dia yang membunuh Pangeran Leng, menggunakan Pek-hwa-ciam milikku yang telah dirampasnya setelah mereka merobohkan dan menangkapku."

"Sudah kami duga hal itu, Thian Hwa. Akan tetapi bagaimana terjadinya? Ceritakan selengkapnya, aku ingin sekali mendengar apa yang terjadi."

Thian Hwa lalu menceritakan apa yang ia alami ketika ia mengunjungi Pangeran Leng Kok Cun di mana telah terdapat Pangeran Cu Kiong dan para jagoannya yang lihai sehingga ia ditawan mereka dan difitnah sebagai pembunuh Pangeran Leng, padahal yang membunuhnya adalah Pangeran Cu Kiong sendiri!

"Pedang, Pek-hwa-ciam, dan Tek-pai pemberian Kaisar dirampas, lalu aku dimasukkan kamar tahanan, dijaga oleh Ngo-beng Kui-ong yang amat sakti dan para prajurit yang siap dengan panah mereka mencegah aku melepaskan diri dari tahanan."

"Ah, masih baik nasibmu engkau tidak dibunuh pangeran yang jahat itu, Anakku...."

"Mereka tentu masih menganggap aku berguna maka mereka tidak atau belum membunuhku, Ayah. Mereka merasa menang karena dapat memfitnahku dengan membunuh Pangeran Leng."

"Akan tetapi, bagaimana engkau dapat meloloskan diri, Thian Hwa?"

"Tadi muncul seorang pemuda yang merobohkan para prajurit dan dia membebaskan aku dari kamar tahanan dengan menyamar sebagai seorang prajurit...."

"Ah, pemuda yang tampan gagah itu? Dia Si Han Bu...!"

"Si Han Bu...?"

"Ya, dia sudah datang berkunjung ke sini. Dia mengaku bernama Si Han Bu, murid dari Im-yang Sian-kouw di Beng-san. Kemunculannya membawa banyak kabar yang demikian baiknya sehingga sulit dipercaya, Anakku!"

"Kabar apakah, Ayah?"

"Kebahagiaan pertama yang dibawanya tentu saja dengan tindakannya yang telah membebaskanmu dari tahanan Pangeran Cu Kiong. Dan kabar ke dua yang membuat kita patut bersyukur kepada Tuhan adalah bahwa... Cui Eng.... masih hidup dan gurunya, Im-yang Sian-kouw, mengetahui di mana adanya...." Suara Pangeran Ciu Wan Kong kini mengandung isak tangis!

"Cui Eng... Ibuku...?" Thian Hwa setengah menjerit.

"Ibu... Ibu... Ibuku masih hidup...?" Ia bangkit dan merangkul ayahnya. Ayah dan anak kembali berangkulan dan kini keduanya menangis!

"Benar, Anakku.... menurut Si Han Bu, gurunya yang bernama Im-yang Sian-kouw mengatakan bahwa Cui Eng ibumu masih hidup dan ia tahu di mana kini ibumu berada...."

Tiba-tiba Thian Hwa melepaskan pelukan ayahnya.

"Ayah, sekarang juga aku akan pergi ke Beng-san, mencari Im-yang Sian-kouw dan bertanya kepadanya di mana adanya ibuku!"

"Nanti dulu, Thian Hwa! Engkau tidak boleh pergi sekarang ini!"

"Kenapa, Ayah? Apakah Ayah sudah lupa kepada Ibu dan Ayah tidak lagi mencinta Ibu maka tidak ingin aku mencari Ibu?"

"Bukan begitu, Thian Hwa. Akan tetapi, engkau harus dapat menentukan mana yang paling penting untuk dilaksanakan paling dulu. Ibumu masih hidup, hal ini merupakan berkah Tuhan, merupakan kebahagiaan yang tiada bandingnya bagi kita berdua dan bagi kong-kongmu, akan tetapi saat ini ibumu berada dalam keadaan baik dan sehat. Sebaliknya, kerajaan terancam bahaya, Pangeran Mahkota terancam keselamatannya padahal engkau telah dipercaya oleh Kaisar untuk melindunginya. Juga kita tidak boleh melupakan Si Han Bu yang mungkin terancam keselamatan nyawanya di istana Pangeran Cu Kiong. Bagaimana mungkin engkau pergi meninggalkan mereka yang terancam bahaya begitu saja? Mari kita lakukan yang terpenting lebih dulu dan ini merupakan perintahku kepadamu sebagai ayah memerintahkan anaknya!"

Betapapun keras hatinya, Thian Hwa dapat melihat kebenaran ucapan ayahnya setelah tadi dalam rangkulan ayahnya ia dapat merasakan kasih sayang orang tua itu, maka setelah menghela napas panjang meredakan guncangan dan ketegangan hatinya mendengar ibunya masih hidup, ia lalu berkata.

"Baiklah, Ayah. Aku akan menaati semua perintahmu."

"Sukurlah, Anakku yang baik. Mari kita cepat pergi menemui Kakanda Pangeran Bouw Hun Ki dan kauceritakan semua pengalamanmu di istana Pangeran Cu Kiong."

Ayah dan anak itu pergi mengunjungi Pangeran Bouw Hun Ki. Ketika Pangeran Bouw Hun Ki, Bouw Hujin, Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, Gui Sian Lin, dan beberapa orang panglima dan pejabat tinggi yang setia kepada Pangeran Mahkota dan membantu usaha Pangeran Bouw melindungi dan membela calon kaisar menerima kedatangan Huang-ho Sian-li bersama Pangeran Ciu Wan Kong, mereka terkejut, heran dan juga girang melihat gadis itu selamat dan berhasil lolos dari penahanan Pangeran Cu Kiong.

Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa segera menceritakan pengalamannya secara lengkap kepada mereka sampai ia dapat terlepas karena pertolongan Si Han Bu yang kini entah bagaimana nasibnya.

"Aih, sungguh aku dan Dinda Pangeran Ciu Wan Kong merasa prihatin, sedih dan malu mempunyai seorang keponakan seperti Pangeran Cu Kiong yang jahat dan licik itu. Kita harus siap siaga menghadapi niatnya yang jelas hendak memberontak dan merebut tahta kerajaan dari Pangeran Mahkota!" kata Pangeran Bouw Hun Ki.

"Memang secepatnya kita harus bertindak, malam ini juga kita membuat persiapan!" kata Bouw Hujin penuh semangat.

"Sekarang, bukan hanya kita melindungi Pangeran Mahkota dan menyelamatkan tahta kerajaan, akan tetapi juga harus menolong dan menyelamatkan pemuda yang telah membebaskan Thian Hwa itu! Aku sendiri yang akan menyelidiki ke istana Pangeran Cu Kiong untuk menolong pemuda bernama Si Han Bu itu!"

"Aku akan menemani Bibi!" kata Thian Hwa dengan gagah.

"Perlahan dulu, jangan terburu-buru dan gegabah," kata Pangeran Bouw Hun Ki.

"Urusan ini sudah menjadi urusan negara, bukan urusan pribadi lagi. Istana Pangeran Cu Kiong sekarang tentu makin diperkuat penjagaannya setelah Thian Hwa lolos dari sana. Kita kumpulkan semua pasukan yang setia dan membuat pertahanan besar-besaran. Para ciangkun yang berada di sini harap cepat menghubungi teman-teman sependirian yang setia kepada pemerintah. Juga pasukan kita yang berada di luar kota raja, malam ini sudah harus memasuki kota raja.

Semua ini perlu diatur sebaik mungkin dan secara rahasia. Ketahuilah, bahwa pihak musuh juga mempunyai banyak pendukung dan mereka cerdik. Kita sudah berhati-hati, sudah menyembunyikan lagi Pangeran Mahkota ke rumah kami ini, di ruangan rahasia bawah tanah, tidak lagi di istana. Namun, mungkin mereka sudah mengetahui atau menduganya. Karena itu, yang terutama kita harus mengungsikan Pangeran Mahkota ke tempat yang benar-benar rahasia dan dijaga amat kuat, baru kita atur yang lain."

"Pangeran, sebaiknya Pangeran Mahkota disembunyikan di dalam benteng induk pasukan kerajaan yang mempunyai tempat persembunyian rahasia dan terjaga kuat oleh pasukan pilihan yang besar jumlahnya!" kata Panglima Ciang.

"Baik, usul itu diterima!" kata Pangeran Bouw Hun Ki yang percaya sepenuhnya kepada panglima ini.

Setelah itu, mereka lalu mengatur rencana untuk menjaga kalau sewaktu-waktu pihak lawan bergerak, dan mengubah posisi mereka yang mungkin sudah diketahui atau diduga musuh. Mereka semua dapat menduga bahwa titik-titik pusat yang akan diserang oleh kekuatan pemberontak tentu istana tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki dan istana kaisar yang tentu akan dikuasai pemberontak. Oleh karena itu, pertahanan pertama diutamakan istana, dan tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki sengaja dikosongkan untuk menjebak lawan! Keselamatan Pangeran Mahkota tidak perlu dikhawatirkan lagi karena selain pihak musuh tidak mungkin tahu atau menduga, juga perbentengan induk pasukan itu kuat bukan main.

Demikianlah, kalau pihak Pangeran Cu Kiong malam itu mengaso untuk persiapan gerakan esok hari, pihak Pangeran Bouw Hun Ki malam itu juga sibuk membuat persiapan untuk menghancurkan apabila pihak pemberontak mengadakan aksi penyerbuan!

Pada keesokan harinya, penduduk kota raja sama sekali tidak menyangka akan terjadi peristiwa menggemparkan. Mereka semua mengira bahwa peristiwa penyerbuan di istana Pangeran Bouw Hun Ki telah selesai dan para penjahat atau pemberontak yang didalangi Pangeran Leng Kok Cun sudah terbasmi, bahkan dalangnya, Pangeran Leng Kok Cun, sudah pula terbunuh. Mereka semua mengira bahwa tentu suasananya kini aman setelah tidak ada yang mendalangi pemberontakan.

Akan tetapi, suasana mulai gempar dan para penghuni banyak yang berlari-larian, mengungsi ketakutan ketika terjadi pertempuran hebat di beberapa tempat. Terutama sekali terjadi pertempuran besar-besaran antara dua pasukan pemerintah yang berbeda pimpinan. Hanya ragam pakaian, bentuk topi, dan bendera mereka saja berbeda, lambang-lambang kesatuan mereka, akan tetapi di antara mereka tidak terdapat pasukan musuh dari luar. Semua adalah pasukan pemerintah. Berarti ini terjadi perang pemberontakan! Pertempuran berkobar mulai pagi-pagi sekali.

Mula-mula, pasukan pemberontak yang menjaga di pintu gerbang selatan, berjumlah seribu orang, tiba-tiba menghadapi serbuan pasukan pemerintah dari luar pintu gerbang dalam jumlah yang seimbang. Akan tetapi baru saja pertempuran dimulai, dari dalam kota raja muncul sekitar seribu orang prajurit pemerintah yang menjepit pasukan pemberontak. Pasukan ke dua dari pemerintah ini ternyata masuk ke dalam kota raja melalui pintu gerbang utara semalam, hal yang sama sekali tidak disangka para pemimpin pemberontak.

Pertempuran ke dua terjadi di depan istana tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki. Akan tetapi pertempuran di sini tidak seimbang. Pertahanan yang dilakukan para prajurit pemerintah di sini lemah sekali sehingga mereka terus mundur, terdesak oleh pasukan pemberontak yang lebih besar jumlahnya.

Pertempuran ke tiga terjadi di depan istana kaisar! Di sini terjadi pertempuran yang sama hebatnya dengan yang terjadi di pintu gerbang kota raja. Pihak pasukan pemberontak mendapat sambutan hebat dari pasukan pemerintah yang tidak kalah banyaknya, bahkan pasukan pemberontak terjepit oleh pasukan yang membanjir keluar dari benteng induk pasukan yang semalam telah menampung bala bantuan dari luar yang masuk ke kota raja melalui pintu-pintu gerbang yang tidak terjaga pasukan pemberontak. Tentu saja pihak pasukan kerajaan dapat mendesak pasukan pemberontak yang menjadi panik menerima penyambutan itu.

Selain di tiga tempat itu, terdapat pula pertempuran-pertempuran kelompok kecil dari para mata-mata dan penyelidik kedua pihak. Bahkan para jagoan pendukung pemberontak yang ikut menyerbu, ketika disambut para pendekar yang membela kerajaan segera memisahkan diri dari pasukan yang bertempur dan mereka memilih bertanding di tempat-tempat yang luas, tidak sempat oleh banyaknya prajurit yang bertempur.

Thio Kwan dan Yu Kok Lun yang memimpin dua losin prajurit menyerbu ke gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong dengan membawa tugas menangkap ayah Huang-ho Sian-li, akan tetapi setelah menyerbu, mereka kecelik karena di gedung itu tidak terdapat siapa pun. Bahkan tidak ada seorang pun pelayan. Yang ada hanya beberapa orang prajurit penjaga yang segera melarikan diri melihat ada prajurit pemberontak menyerbu. Thio Kwan dan Yu Kok Lun kecewa dan marah sekali.



Jodoh Si Naga Langit Eps 10 Kisah Si Pedang Kilat Eps 22 Kisah Si Naga Langit Eps 16

Cari Blog Ini