Ceritasilat Novel Online

Dewi Ular 14


Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



Thian Lee menjadi sernakin besar kecurigaannya. Agaknya dapat dipastikan bahwa dua orang tokoh sesat ini telah bersekongkol dengan orang Jepang. Dan anak buah mereka itu tentulah anak buah pemberontak. Dia pun mengamuk dengan Jit-goat-sin-kiamnya sehingga robohlah beberapa orang lagi terkena sambaran sinar pedangnya.

Melihat betapa tangguhnya Thian Lee, kedua orang tokoh sesat itu menjadi terkejut dan juga penasaran sekali. Juga orang Jepang yang rnemainkan samurai itu. Ketika suatu saat samurai itu berkelebat ke arah pinggang. Thian Lee, pendekar ini menangkis dengan pedangnya dari atas ke bawah dan membarengi melepas dengan sebuah tendangan yang dengan tepat rnengenai dada Si Jepang itu sehingga terlempar dan jatuh terguling-guling. Akan tetapi agaknya dia cukup tangguh dan cepat dia sudah bangkit berdiri lagi dan agaknya dia mengerti bahwa kalau dilanjutkan, pihaknya tentu akan menderita kerugian besar. Apalagi cuaca sudah mulai gelap, maka dia pun berseru,

"Lari......!"

Agaknya seruan Si Jepang ini berpengaruh karena para pengeroyok segera melarikan ke dalam gelap sambil menarik teman-teman mereka yang terluka. Thian Lee meloncat hendak mengejar karena dia ingin menangkap seorang di antara mereka untuk ditanyai, akan tetapi tiba-tiba terdengar ledakan nyaring dan tampak asap tebal sehingga terpaksa Thian Lee menghentikan pengejarannya karena dia khawatir kalau-kalau asap itu mengandung racun. Terpaksa dia kembali lagi keluar dari hutan yang mulai gelap itu.

Pengalaman di dalam hutan itu membuat Thian Lee semakin bersemangat untuk melakukan penyelidikan. Sudah jelas sekarang bahwa memang ada komplotan yang menentang pemerintah dan yang berusaha untuk membunuh orang orang berpangkat. Buktinya Un-ciangkun tewas terbunuh dan dia dua kali terancam bahaya maut. Bagaimana dengan pembesar yang lain? Dia sudah menyelidiki dan mendengar bahwa Ji-taijin yang menjadi kepala daerah itu adalah seorang yang bijaksana dan mencintai rakyatnya. Pembesar seperti itu tentu dimusuhi juga oleh komplotan pemberontak. Dia lalu langsung saja menunjukkan langkah kakinya ke rumah tempat tinggal Ji-taijin. Ketika dia tiba di depan gardu di mana para perajurit berjaga didepan rumah gedung tempat tinggal Ji-taijin dia dihentikan oleh belasan orang penjaga.

"Orang muda, engkau siapakah dan apa maksudmu datang ke sini?" tanya kepala jaga sambil memandang penuh kecurigaan. Bahkan semua penjaga sudah mengepungnya dan bersiap-siaga dengan senjata mereka. Melihat ini, Thian Lee menduga bahwa pernah ada ancaman atas diri pembesa itu sehingga penjagaan diperketat.

"Aku bukan musuh dan datang dengan maksud baik. Harap kalian laporkan kepada Ji-taijin bahwa aku adalah Song Thian Lee, datang dari kota raja membawa berita penting bagi Ji-taijin."

Melihat sikap ramah dan lunak dari Thian Lee, kepala jaga juga bersikap lembut dan dia menyuruh Thian Lee menunggu setentar sedangkan dia pergi melapor ke dalam.

Tak lama kemudian dia keluar lagi berkata kepada Thian Lee

"Engkau dipersilakan masuk, Saudara Song. Akan tetapi karena kami belum mengenalmu dan tidak tahu apa keperluanmu dengan kunjungan ini, demi keselamatan Ji-taijin, terpaksa engkau harus meninggalkan buntalan itu di sini dan masuk ke dalam gedung dengan pengawalan."

Thian Lee mengangguk. Cukup teliti para penjaga ini, pikirnya. Dia lalu menyerahkan buntalan pakaiannya yang juga terisi pedangnya, kemudian dia melangkah memasuki gedung dikawal oleh enam orang penjaga yang bertubuh kokoh dan yang telah rnencabut pedang mereka. Dia membawa masuk ke ruangan tamu, disuruh duduk dengan enam orang itu berjaga di kanan kirinya.

Pintu dari dalam terbuka dan seorang laki-laki setengah tua muncul dalam ruangan itu. Dia adalah Ji Kian atau Ji-taijin yang bertubuh tinggi kurus dengan sepasang mata tajam namun sikapnya lembut dan sinar rnatanya ramah. Sejenak Ji-taijin mengamati wajah Thian Lee yang cepat bangkit berdiri dan memberi hormat, kemudian pembesar yang diikuti oleh enam orang pengawal yang berdiri di belakangnya itu memberi isyarat kepada enam orang pengawalnya dan enam orang penjaga yang mengawal Thian Lee agar mereka meninggalkan mereka berdua. Sekali pandang saja tahulah Ji-taijin bahwa Thian Lee seorang baik-baik yang tidak mengandung niat jahat terhadap dirinya dan dia pun tahu bahwa para pengawal itu tidak pergi begitu saja melainkan berjaga di luar kamar tamu, siap untuk setiap saat menyerbu ke dalam kamar.

Setelah semua pengawal pergi, Ji-taijin lalu mempersilakan Thian Lee duduk

"Engkau bernama Song Thian Lee dan datang dari kota raja? Harap perkenalkan siapa dirimu dan apa maksud kedatanganmu berkunjung kepadaku?"

Thian Lee mengeluarkan surat kuasa dari saku dalam bajunya, lalu memperlihatkan kepada Ji-taijin. Ketika membaca surat kuasa dan mengetahui bahwa Song Thian Lee yang kini menghadapnya bukan lain adalah Song-thai-ciangkun yang amat terkenal, Ji-taijin terkejut sekali. Dia mengembalikan surat kuasa dan segera memberi hormat dengan membungkuk dalam.

"Tidak tahu bahwa Song-ciangkun yang datang berkunjung, harap maafkan bahwa kami menyambut kurang hormat," katanya dengan hormat.

Thian Lee cepat membalas penghormatan itu.,

"Jangan terlalu sungkan, taijin, mari kita duduk dan bicara secara terbuka. Kedatanganku di Hui-cu ini untuk melaksanakan tugas yang diberikan Sri Baginda kepadaku, yaitu untuk menyelidiki gejala-gejala pemberontakan yang tampak di daerah ini. Apa yang dapat Taijin beri tahu kepadaku mengenai gejala ini?"

Setelah berpikir sejenak, Ji-taijin lalu menjawab,

"Kami di sini tidak melihat adanya gejala pemberontakan. Yang kami ketahui adalah adanya gejala permusuhan terhadap para pejabat pemerintah. Kami sendiri sudah dua kali kedatangan seorang berkedok hitam. Entah apa yang dikehendakinya, akan tetapi yang terakhir kali muncul adalah untuk meninggalkan surat ini."

Ji-taijin menyerahkan surat peringatan yang diterimanya dari Si Kedok Hitam, seperti dia perlihatkan kepada Souw Lee Cin dahulu. Thian Lee menerima surat itu dan membacanya dengan teliti. Dia lalu mengembalikan surat itu kepada Ji-taijin.

"Bagaimana pendapat Ji-taijin mengenai surat ini? Siapa kira-kira yang mengirim surat peringatan ini?"
"Kami tidak tahu, Ciangkun. Karena para petugas pun hanya melihat sekelebatan saja orang berkedok hitam itu. Yang jelas, ilmu kepandaiannya amat tinggi. Dan agaknya Un-ciangkun juga terbunuh oleh orang yang sama. Semenjak itu kami selalu mengadakan penjagaan ketat, kalau-kalau dia juga menghendaki nyawa kami, Ciangkun."

"Apakah Ji-taijin kira ini ada hubungannya dengan gerakan pemberontakan?"

"Kami kira tidak begitu, Ciangkun. Kami lebih condong mengira bahwa orang berkedok itu adalah sebangsa pendekar patriot yang membenci semua orang Han yang menjadi pejabat pemerintah."

"Ji-taijin, engkau sebagai kepala daerah Hui-cu tentu lebih mengetahui, siapa pendekar-pendekar patriot yang tinggal di daerah Hui-cu."

"Yang paling terkenal adalah keluarga Cia, namun kami menyangsikan apakah mereka yang mengirim Si Kedok Hitam itu. Selama ini mereka tidak pernah melakukan hal-hal yang jahat, bahkan sebaliknya, keluarga Cia selalu menentang kejahatan."

"Hemm, akan tetapi mereka membenci pejabat yang berbangsa Han, berarti mereka membenci engkau, Ji-taijin."

"Tidak tahulah, akan tetapi melihat kenyataan bahwa mereka tidak menyerangku, hanya memperingatkan, memang ada kecenderungan menuduh mereka. Akan tetapi, tanpa bukti, bagaimana kita dapat menuduh mereka, Ciangkun?"

"Apakah Taijin pernah mendengar dari para penyelidik Taijin bahwa akhir-akhir ini terdapat orang Jepang yang berkeliaran di Hui-cu?" tanya Thian Lee sambil memandang tajam penuh selidik ke arah wajah pembesar itu. Akan tetapi dia melihat bahwa wajah pembesar itu tidak mernperlihatkan sesuatu yang mencurigakan dan wajar-wajar saja.

"Memang pernah kami mendengarnya, Ciangkun. Akan tetapi karena orang Jepang itu tidak melakukan gangguan, maka dia pun tidak terlalu diperhatikan."

"Menurut Taijin, bagaimana dengan sikap mendiang Un-ciangkun? Apakah dia itu dapat dipercaya dan tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia berhubungan dengan pemberontak?"

"Ah, kami berani menanggung bahwa mendiang Un-ciangkun bersih dari sangkaan seperti itu. Dia seorang panglima yang tegas dan adil, berwibawa dan bijaksana. Tidak mungkin dia hendak memberontak! Kami berhubungan dekat sekali sehingga kalau dia akan melakukan penyelewengan, kami tentu akan mengetahui, Ciangkun."

Thian Lee mengangguk-angguk

"Bagaimana pendapat Ciangkun mengenai diri Lai-ciangkun? Apakah dia pun sama seperti Un-ciangkun?"

"Wakil komandan itu? Kami tidak mengetahui dengan jelas, Ciangkun. Hubungan antara kami dan Un-ciangkun adalah lebih hubungan pribadi antara sahabat, maka kami tidak begitu dekat dengan Lai-ciangkun."

Thian Lee mengangguk-angguk. Kecurigaannya terhadap keluarga Cia mengendur dengan keterangan yang bersungguh-sungguh dari Ji-taijin ini dan agaknya Ji-taijin seorang yang dapat dipercaya dan meyakinkan.

"Baiklah, terima kasih atas semua keteranganmu, Ji-taijin. Aku mohon pamit untuk meneruskan penyelidikanku."

"Apakah Ciangkun tidak akan beristirahat? Harap bermalam di sini saja!"

"Terima kasih, Taijin. Aku belum mau beristirahat dan harus melanjutkan penyelidikanku," kata Thian Lee sambil bangkit dari tempat duduknya.

"Apakah Ciangkun membutuhkan bantuan? Kami mempunyai beberapa orang yang lumayan ilmu silatnya. Kalau engkau membutuhkan"..."

"Tidak, terima kasih. Aku lebih leluasa bekerja sendiri." Thian Lee lalu berpamit dan keluar dari gedung itu. Tak lama kemudian dia pun menghilang ke dalam bayangan pohon-pohon yang gelap.

Lee Cin masih beada di kota Hui-cu dan ia mendengar tentang pembunuhan atas dir Un-ciangkun. Hatinya merasa penasaran sekali. Besar dugaannya bahwa keluarga Cia tentu ada hubungannya dengan pembunuhan itu. Bukankah dua orang saudara itu, Cia Hok dan Cia Bhok, pernah mengadakan pertemuan dengan Yasuki dan Phoa-ciangkun? Dan mereka merencanakan untuk membunuh Un-ciangkun dan Ji-taijin! Jelas ada hubungan antara keluarga Cia dan para pemberontak termasuk orang Jepang. Bukankah ia melihat sendiri betapa Yasuki dijamu oleh Nenek Cia?

Ia harus menyelidiki keluarga Cia! Timbul pula dugaan yang meyakinkan di hatinya bahwa Kedok Hitam tentu anggauta keluarga Cia, mungkin sekali Tin Siong karena kepandaian pemuda itu juga hebat. Atau setidaknya, andaikata Si Kedok Hitam bukan anggauta keluarga mereka, keluarga Cia tersangkut pula dalam pembunuhan terhadap diri Un-ciangkun. Akan tetapi ia teringat kepada Tin Han. Mungkinkah pemuda itu tersangkut dalam persekutuan itu? Rasanya tidak mungkin!

Tiba-tiba timbul kecurigaannya. Mungkin yang tersangkut itu hanya beberapa orang saja dari mereka. Jelas Cia Hok dan Cia Bhok tersangkut, akan tetapi belum tentu Nenek Cia, Tin Siong dan Tin Han ada hubungannya dengan mereka. Bahkan keadaan mereka ini berbahaya kalau hendak menghalangi sepak terjang para pennberontak itu. Jangan-jangan mereka malah dimusuhi sendiri oleh komplotan itu. Pikirannya menjadi bingung dan malam itu, setengah iseng setengah mengharapkan akan memperoleh petunjuk, ia pun meninggalkan rurnah penginapan dan pergi menuju ke gedung tempat tinggal keluarga Cia secara bersembunyi.

Malam itu gelap. Sesosok bayangan yang amat ringan dan gesit gerakannya rnelompati pagar tembok rumah kediaman keluarga Cia, menyelinap di antara pohon-pohon dalam taman dan terus menghampiri gedung itu. Akan tetapi setelah dia tiba di pekarangan rumah yang berada di samping di mana tergantung sebuah lampu yang cukup besar dan terang, tiba-tiba dua orang laki-laki melompat menghadangnya. Dua orang ini adalah Cia Hok dan Cia Bhok yang tadi melihat gerak-gerik bayangan itu. Bayangan itu adalah Song Thian Lee. Pemuda itu terkejut juga melihat munculnya dua orang itu dan tahulah bahwa rumah keluarga itu terjaga dan dua orang ini memiliki ilmu kepandaian yang lumayan tingginya.

Tanpa banyak cakap lagi Cia Hok dan Cia Bhok sudah mencabut pedang mereka dan langsung menyerang Thian Lee dengan dahsyat. Namun Thian Lee dapat mengelak dengan mudah dan dia pun membalas serangan mereka dengan tamparan tangannya. Dia melawan dengan tangan kosong saja karena dia tidak berniat melukai dua orang itu. Maksudnya hanya untuk mengukur sampai di mana kelihaian keluarga Cia sebelum dia mengajak mereka bicara. Melihat lawan tidak mencabut pedang yang berada di punggungnya, Cia Hok dan Cia Bhok menjadi penasaran sekali. Mereka berdua yang berpedang hanya dilawan tangan kosong belaka oleh laki-laki yang tidak dikenal ini. Maka mereka lalu menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Namun semua serangan mereka sia-sia belaka. Dengan kelincahan tubuh yang luar biasa cepat gerakannya, orang itu selalu dapat mengelak. Bahkan adakalanya dia menangkis pedang itu dengan telapak tangannya dari samping! Tahulah mereka bahwa mereka bukan menghadapi seorang maling biasa, melainkan seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.

Setelah puas menyelidiki ilmu pedang mereka, ketika pedang Cia Hok membacok dari atas ke arah kepalanya, Thian Lee miringkan tubuhnya dan ketika pedang itu meluncur dari atas ke bawah di samping tubuhnya, cepat dia memukul dengan tangan miring ke arah pergelangan tangan Cia Hok yang memegang pedang.

"Dukk!" Tanpa dapat dihindarkan lagi pedang itu terpental lepas dari tangan Cia Hok yang terasa lumpuh seketika dan sebelum Cia Hok dapat menghindar sebuah tendangan mengenai pahanya dan dia pun terpelanting jatuh. Walaupun tidak terluka parah, Cia Hok terkejut bukan main melihat kenyataan betapa dia begitu mudah dikalahkan. Cia Bhok marah dan cepat menusukkan pedangnya ke arah ulu hati Thian Lee. Pemuda itu menerima pedang itu dengan kedua tangannya. Kedua telapak tangan menjepit ujung pedang dan Cia Bhok tidak dapat menggerakkan pedangnya lagi! Dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong pedangnya agar rnengenai ulu hati lawan, namun pedangnya seperti telah melekat dengan kedua telapak tangan lawan, sama sekali tidak dapat didorong atau dicabut. Dengan penasaran dia lalu mengerahkan Hek-tok-ciang di tangan kirinya, lalu memukul dengan tiba-tiba ke arah pundak Thian Lee. Thian Lee maklum akan datangnya pukulan ampuh, akan tetapi dia nnengerahkan sin-kangnya ke pundak dan menerima hantaman telapak tangan kiri itu.

"Plak.... trakkk!" Pundak terpukul, akan tetapi sedikit pun tidak tergoyangkan, sedangkan ketika dia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya, pedang itu patah menjadi dua potong! Cia Bhok yang tadi memukul dengan tangan kiri, merasa seolah menghantam papan baja yang amat kuat, tenaganya membalik dan karena pada saat itu pedangnya patah maka dia pun terhuyung ke belakang!
Selagi Thian Lee hendak membuka mulut dan minta maaf, tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan terdengar suara melengking. Sebatang suling perak telah menotok ke arah lehernya dengan gerakan cepat dan dahsyat sekali!

Thian Lee menarik tubuh atasnya ke belakang dan kakinya menyapu ke arah kedua kaki orang yang baru saja melayang turun sehingga orang itu melompat lagi ke atas untuk menghindarkan sapuan kaki Thian Lee. Kemudian dia menyerang lagi dengan suling peraknya. Suling itu berubah menjadi gulungan sinar perak yang menyilaukan mata, mengepung dan mendesak Thian Lee dengan serangan bertubi-tubi.
Thian Lee merasa kagum. Tingkat kepandaian pemuda tampan yang memegang suling perak ini ternyata lebih tinggi daripada tingkat kedua orang setengah tua itu. Bangkit kegembiraannya untuk menguji kepandaian pemuda tampan yang lihai ini dan dia pun mencabut Jit-goat-kiam yang tergantung di punggungnya. Thian Lee mengambil sikap bertahan. Dia membiarkan dirinya dihujani serangan dengan suling perak oleh lawannya tanpa membalas. Dia menangkis dan mengelak dengan kecepatan yang luar biasa sehingga penyerangnya yang bukan lain adalah Cia Tin Siong itu menjadi pening. Dia merasa seolah menyerang sebuah bayangan saja. Ke mana pun sulingnya menyambar, selalu bertemu pedang atau hanya mengenai udara kosong belaka. Hal ini membuat Tin Siong menjadi penasaran sekali.

Rasanya selama dia menguasai ilmu-ilmu silat dari ayah dan neneknya, belum pernah dia bertemu dengan seorang lawan yang begini pandai. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya melalui suling peraknya, namun suling itu selalu gagal mengenai tubuh lawan.
Setelah membiarkan lawannya menyerang terus selama tiga puluh jurus lebih, dan menghabiskan semua jurusnya, barulah puas rasa hati Thian Lee. Dia melihat bahwa suling perak itu dimainkan dengan ilmu pedang bercampur dengan ilmu menotok jalan darah, maka ilmu yang dimainkan dengan suling perak itu menjadi berbahaya bukan main. Dia merasa kagum dan maklum bahwa keluarga Cia memiliki anggauta keluarga yang pandai dan berjumlah banyak. Dia ingin tahu apakah masih ada anggauta keluarga yang lebih lihai daripada pemuda bersuling ini.

Setelah mulai membalas, Tin Siang menjadi terkejut melihat serangan balasan yang amat dahsyat dari lawannya. Dia sudah berusaha memutar sulingnya melindungi seluruh tubuhnya, akan tetapi ketika suling peraknya menangkis, tiba-tiba sulingnya itu tidak dapat ditarik lepas dari pedang lawan, seolah telah menempel dengan pedang. Dia mengerahkan tenaga membetot suling, lalu mendorong dan sekaligus tangan kirinya memukul dengan pengerahan ilmu pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam). Thian Lee melihat telapak tangan menghitam memukul ke arah dadanya. Dia pun mendorongkan tangan kirinya menyambut serangan itu.

"Plakk......!" Tubuh Tin Siong terpental sampai empat meter sedangkan Thian Lee yang merasakan pukulan panas hanya bergoyang sedikit, tanda bahwa tenaga sin-kangnya masih menang jauh.
Tiga orang anggauta keluarga Cia itu terkejut bukan main, juga merasa khawatir karena lawan ini ternyata bukan main lihainya. Pada saat itu, sesosok bayangan menyambar dan sebatang pedang bersinar merah menyambar dengan tusukan dahsyat ke arah dada Thian Lee. Thian Lee cepat menangkis dengan pedangnya.

"Tranggg......!!" Thian Lee terdorong ke belakang akan tetapi penyerang itu juga hampir terpelanting, akan tetapi dapat membuat gerakan jungkir balik sehingga tubuhnya turun ke atas tanah dengan pedang bersinar merah itu melintang di depan dada. Dua pasang mata yang mencorong saling pandang.
"Engkau....??" Lee Cin yang tadi menyerang itu berseru kaget dan heran.

"Eh, engkau ini..... Cin-moi....??" Thian Lee juga berseru heran melihat gadis perkasa yang sudah dikenalnya dengan amat akrabnya itu berada di situ. Mereka kembali saling pandang dan otomatis tangan mereka menyimpan lagi pedang yang tadi terpegang.

"Lee-ko, kenapa engkau berada di sini? Dan mengapa berkelahi dengan keluarga Cia?"

Thian Lee tersenyum

"Hanya untuk rnenguji kepandaian mereka karena aku telah lama mendengar akan kelihaian keluarga Cia."

Lee Cin lalu memutar tubuhnya menghadapi Tin Siong, Cia Hok dan Cia Bhok. Ia membungkuk dan berkata,

"Harap maafkan dia. Dia adalah sahabat baikku bernama Song Thian Lee, bukan orang jahat."

Thian Lee tersenyum dan mengangkat kedua tangan depan dada, mernberi hormat kepada tiga orang itu lalu berkata,

"Maafkan saya. Mari, Cin-moi, kita pergi dari sini. Banyak yang harus kita saling bicarakan."

"Baik, Lee-ko." Lee Cin kembali memberi hormat kepada tiga orang itu dan bersama Thian Lee ia berlebat lenyap dari depan tiga orang itu.

"Bukan main! Hebat sekali kepandaiannyal" kata Cia Bhok sambil menghela napas panjang.

"Siapa orang itu?" tanya Cia Tin Siong dengan alis berkerut. Tidak senang hatinya melihat keakraban di antara Lee Cin dan pemuda itu.

"Namanya Song Thian Lee?" kata Cia Hok

"Ah, aku teringat sekarang! Song Thian Lee adalah pemuda perkasa yang dahulu ikut menghancurkan persekutuan pejuang yang dipimpin oleh Pangeran Tang Gi Lok! Dialah pendekar muda yang kemudian diangkat menjadi Panglima Besar oleh Kaisar Mancu!"

"Ah, sayang sekali dia menghambakan diri kepada Kaisar Mancu!" kata Cia Bhok sambil menarik napas panjang.

Cia Tin Siong mengepal tinjunya

"Kalau begitu dia harus disingkirkan. Orang itu berbahaya sekali!" Mereka bertiga lalu kembali memasuki rumah untuk melaporkan peristima itu kepada Nenek Cia.

"Lee-ko, bagaimana keadaanmu, Le-ko? Bagaimana pula kabarnya dengan Enci Cin Lan? Sudahkah kalian mempunyai keturunan?" Lee Cin menghujani Thian Lee dengan pertanyaan yang bertubi. Ia merasa gembira bukan main dapat bertemu dengan Song Thian Lee, pria yang pernah merebut hatinya, yang pernah dicintanya sepenuh hatinya. Memang selama ini ia sudah dapat melupakan Thian Lee, dapat menerima kenyataan bahwa cinta sepihak tidak dapat dilanjutkan dalam pernikahan. Ia sudah rela bahwa Thian Lee menikah dengan Tang Cin Lan yang dicinta pemuda itu. Akan tetapi tetap saja pertemuan ini mendatangkan perasaan girang dalam hatinya, segar sejuk rasanya seperti setangkai bunga yang terkena siraman embun pagi. Udara mendadak cerah, awan tersapu angin sehingga tampaklah bulan sepotong yang tadi tertutup awan. Cuaca menjadi remang-remang dan mereka duduk di jalan yang sunyi, di atas batu-batu besar yang terdapat di tempat itu. Thian Lee tersenyum menerima pertanyaan bertubi itu. Dia sendiri pun merasa sangat gembira dengan pertemuan yang tidak terduga-duga ini.

"Keadaanku baik-baik saja, Cin-moi. Juga isteriku berada dalam keadaan sehat dan selamat. Kami telah mempunyai seorang anak laki-laki bernama Song Hong San yang kini telah berusia dua tahun. Dan bagaimana dengan keadaanmu selama ini, Lee-moi? Apakah engkau masih tinggal bersama ayahmu, Paman Souw Tek Bun di Hong-san?"

"Aku pun baik-baik saja, Lee-ko. Benar, aku tinggal di Hong-san bersama ayahku. Akan tetapi, apa yang membawamu datang ke tempat ini, dan mengapa pula engkau bertanding dengan keluarga Cia? Aku tidak percaya bahwa engkau hanya menguji kepandaian mereka. Dan lagi, engkau seorang panglima besar mengapa melakukan perjalanan dengan pakaian rakyat biasa? Apa yang telah terjadi?"
"Aku pun terkejut dan heran sekali melihat engkau membantu mereka. Akan tetapi biarlah aku bercerita lebih dulu. Aku diutus oleh Kaisar untuk melakukan penyelidikan di daerah timur ini, karena terdengar berita bahwa di daerah ini ada gejala-gejala pemberontakan. Engkau pun tentu sudah mendengar betapa Un-ciang-kun terbunuh orang-orang yang menyerang rumahnya. Nah, aku melakukan penyelidikan dan mengambil kesimpulan bahwa Un-ciangkun tentu terbunuh oleh orang-orang yang mempunyai niat untuk memberontak. Aku pun sudah mengunjungi Ji-taijin yang juga pernah didatangi orang dengan niat tidak baik pula. Menurut perhitunganku, di sini bergerak pendekar-pendekar patriot yang membenci orang-orang Han. yang menjadi pembesar. Karena aku mendengar bahwa keluarga Cia juga merupakan pendekar-pendekar patriot, maka aku datang untuk menyelidiki mereka. Aku ketahuan dan terjadilah perkelahian itu. Akan tetapi aku hanya ingin mengukur kepandaian mereka, tidak bermaksud mencelakai mereka. Nah, sekarang tiba giliranmu untuk bercerita mengapa engkau berada di sini dan agaknya engkau mengenal pula keluarga Cia."

Mendengar pertanyaan ini Lee Cin tertawa. Thian Lee tersenyum melihat dan mendengar gadis ini tertawa. Tawa Lee Cin masih seperti dulu, riang jenaka dan bebas.

"Hemm, kenapa engkau tertawa, Cin-moi? Ada yang lucu dalam ceritaku tadi?"

"Lucu sekali! Ternyata keberadaanmu di sini sama benar dengan kedatanganku di Hui-cu. Pengalaman kita juga hampir sama! Aku pun telah menyelidiki keluarga Cia dan aku sudah mendengar semua akan kematian Un-ciangkun dan akan Ji-taijin yang memperoleh surat ancaman. Semua yang kau ketahui, sudah kuketahui dan mungkin aku banyak tahu tentang semua itu. Hanya bedanya, kalau engkau datang menjadi penyelidik utusan Kaisar, aku datang ke sini untuk mencari orang yang melukai ayahku."
"Ayahmu dilukai orang? Mengapa dan siapa yang melakukannya?"

"Orang itu berkedok dan ketika aku sedang tidak berada di rumah, dia mendatangi Ayah, menegur Ayah dan mengatakan Ayah sebagai antek Mancu, kemudian menyerang Ayah. Terjadi perkelahian dan Ayah terluka oleh pukulan yang mendatangkan bekas telapak tangan hitam. Ayah telah dapat disembuhkan dan karena panasaran aku lalu mencari Si Kedok Hitam itu. Ketika aku mendengar bahwa keluarga Cia memiliki ilmu pukulan Hek-tok-ciang, aku lalu menyelidiki ke sini. Dan kebetulan sekali aku bertemu sendiri dengan Si Kedok Hitam yang ketika itu mendatangi rumah Ji-taijin. Kami sempat bertanding. Dia memang lihai akan tetapi sebelum seorang di antara kami kalah atau menang, dia sudah melarikan diri, Aku sudah menyelidiki di keluarga Cia, akan tetapi tidak menemukan Si Kedok Hitam. Kurasa dia bukan anggauta keluarga Cia yang sudah kucoba pula ilmu kepandaian mereka. Dalam penyelidikanku terhadap Si Kedok Hitam itulah aku sempat menemui Ji-taijin dan juga mendiang Un-ciangkun.
Mereka berdua hanya tahu bahwa mereka didatangi Si Kedok Hitam, akan tetapi tidak dapat menduga siapa orangnya. Malam ini, karena masih penasaran aku datang lagi kepada keluarga Cia untuk mengintai dan menyelidiki. Melihat ada orang bertanding dengan mereka dan mereka terdesak, aku segera membantu karena aku telah berkenalan cukup baik dengan mereka. Nah, demikian ceritaku, Lee-ko. Bukankah pengalaman kita mirip sekali?"

Thian Lee mengangguk-angguk

"Sungguh suatu kebetulan yang mengherankan, akan tetapi menguntungkan aku, Cin-moi. Dengan semua keteranganmu itu, aku dapat memperoleh tambahan pengetahuan dan tentu saja setelah kita bertemu di sini, aku boleh mengharapkan bantuanmu dalam penyelidikan ini."

"Masih ada lagi keteranganku yang tentu amat penting bagimu, Lee-ko. Ketahuilah bahwa dua orang di antara keluarga Cia, yaitu dua orang setengah tua yang tadi berada di sana, bernama Cia Hok dan Cia Bhok, mereka mengadakan persekutuan dengan orang Jepang bernama Yasuki dan juga dengan seorang perwira bernama Phoa-ciangkun."

Thian Lee terkejut sekali dan juga girang mendengar berita ini

"Benarkah itu, Cin-moi? Beritamu ini sungguh teramat penting bagiku. Bagaimana engkau dapat mengetahui akan hal itu?"
"Aku mengetahuinya secara kebetulan saja, Lee-ko. Ketika itu aku menjadi tamu keluarga Cia dan pada suatu malam, secara kebetulan sekali ketika aku berada di dalam taman, aku melihat rnereka berdua bercakap-cakap dengan Yasuki dan Phoa-ciangkun. Dalam pembicaraan singkat yang kudengar ketika mereka berjalan di taman itu, mereka merencanakan pembunuhan terhadap Ji-taijin dan Un-ciangkun."

"Bagus! Kini jelaslah sudah bahwa keluarga Cia terlibat dalam usaha pemberontakan dan bergabung dengan orang jepang. Adapun panglima yang hendak berkhianat adalah Phoa-ciangkun yang memimpin pasukan di sepanjang pantai timur. Kesaksianmu ini sudah cukup untuk menangkap keluarga Cia dan Panglima Phoa, Cin-moi."

"Masih ada berita yang tentu akan mengejutkanmu, Lee-ko. Engkau tentu masih ingat akan orang yang bernanna Siangkoan Tek, bukan?"

"Siangkoan Tek, putera dari Siangkoan Bhok majikan Pulau Naga, datuk dari timur itu?"

"Benar, dia juga bersekutu dengan orang Jepang. Pernah mereka mengeroyok dan menawan aku, dan aku nyaris celaka kalau tidak ditolong oleh Si Kedok Hitam."

"Si Kedok Hitam yang mengirim surat peringatan kepada Ji-taijin?"

"Ya, dialah orangnya yang sudah dua kali menolongku. Dan selain Siangkoan Tek, masih ada seorang pemuda lain, bernama Ouw K wan Lok yang juga bersekongkol dengan orang Jepang. Pemuda ini adalah murid mendiang Pak-thian-ong dan Thian-te Mo-ong."

"Thian-te Mo-ong? Ah, datuk sesat itu dapat meloloskan diri ketika dikirim ke tempat pembuangan. Kiranya dia mempunyai murid yang bersekongkol dengan pemberontak dan Jepang."

"Ouw Kwan Lok itu lihai juga, Lee-ko. Kita harus waspada menghadapi Ouw Kwan Lok dan Siangkoan Tek."

"Hemm, kalau putera dan murid para datuk sesat itu ditarik pula oleh pemberontak untuk bergabung, maka keadaannya menjadi semakin gawat. Apalagi aku juga menaruh curiga terhadap Lai-ciangkun, pengganti Un-ciangkun. Ketika bermalam di rumahnya, aku diserang orang bertopeng. Aku merobohkan mereka, akan tetapi sebelum aku dapat memeriksa mereka, ada orang menyambitkan pisau dan keduanya tewas. Ini tentu perbuatan orang dalam markas itu, maka aku menaruh curiga kepada Lai-ciangkun."

"Sekarang, apa yang akan kaulakukan, Lee-ko?"

"Aku akan menangkapi mereka semua yang mencurigakan. Keluarga Cia akan kutangkap dulu."

"Nanti dulu, Lee-ko. Aku percaya bahwa tidak semua anggauta keluarga Cia bersekongkol dengan pemberontak. Aku melihat dua orang putera mereka bukanlah orang jahat. Yang bernama Cia Tin Siong itu seorang berjiwa patriot yang gagah perkasa dan aku sudah mengenalnya dengan baik, dan terutama sekali adiknya yang bernama Cia Tin Han, biarpun dia seorang pemuda yang lemah dan tidak mengerti ilmu silat, namun jiwanya patriotis, bahkan dia bercita-cita menjadi seorang patriot sejati yang tidak sudi bersekutu dengan perkumpulan jahat apalagi orang Jepang. Aku khawatir kalau mereka akan tersangkut karena mereka adalah dua orang anggauta keluarga Cia."

"Engkau mengenal keluarga Cia lebih baik, Cin-moi. Kalau menurut pendapatmu, siapa saja yang bersekutu dengan orang Jepang dan pemberontak?"

"Yang sudah jelas kudengarkan sendiri ketika berembuk adalah Cia Hok dan Cia Bhok. Yang kucurigai adalah Nenek Cia yang menjamu orang Jepang itu. Entah kalau ayah ibu kedua orang pemuda itu, aku belum dapat menilainya."

"Kalau begitu, aku akan menangkap Cia Hok dan Cia Bhok lebih dulu. Kalau nanti dalam pemeriksaan ada lagi anggauta keluarga mereka yang terlibat, mudah dilakukan penangkapan kembali."

"Akan tetapi biarpun engkau seorang panglima besar, engkau tidak membawa pasukan, bagaimana hendak menangkap orang, Lee-ko?"

Thian Lee tersenyum

"Biarpun aku tidak membawa pasukan, akan tetapi aku membawa surat perintah dari Sri Baginda Kaisar. Dengan surat itu, mudah bagiku untuk memerintahkan Panglima Lai menyediakan pasukan untukku."

"Akan tetapi, bukankah engkau mencurigai Lai-ciangkun? Bagaimana kalau kecurigaanmu itu benar dan dia bersekongkol dengan orang Jepang dan Phoa-ciangkun? Tentu dia akan mengkhianatimu dan tidak akan memberi bantuan pasukan."

Thian Lee mengangguk-angguk

"Engkau hebat, Cin-moi. Kulihat selama beberapa tahun ini semakin cerdik dan kekhawatiranmu itu memang beralasan. Karena itu, aku akan lebih dulu menguasai pasukan, mengambil alih kekuasaan dari tangan Lai-ciangkun sebelum aku bergerak."

"Kalau begitu......"

"Sssssttt""!" Tiba-tiba Thian Lee memotong dan menempelkan telunjuknya pada bibirnya memberi isyarat agar Lee Cin tidak bersuara. Telinganya yang memiliki pendengaran tajam dan peka sekali itu mendengar sesuatu yang tidak wajar, seperti langkah-langkah kaki orang.

Lee Cin segera dapat menangkap isyarat itu dan ia pun mengerahkan pendengarannya untuk menangkap suara yang tidak wajar. Ia mengangguk-angguk, karena ia pun dapat menangkap suara langkah-langkah kaki yang mendatangi dari jauh!

Tiba-tiba nampak obor yang banyak jumlahnya bernyala dan mereka telah dikepung oleh orang-orang yang memegang obor. Keadaan menjadi terang benderang dan dua orang muda itu melihat puluhan orang telah mengepung mereka! Mereka tidak menjadi gugup, akan tetapi segera berlompatan dari batu yang mereka duduki dan berdiri tegak dan siap siaga.

Ketika Lee Cin memandang, ternyata orang-orang itu dipimpin oleh lima orang yang sudah dikenalnya. Mereka adalah dua orang bersaudara Cia, yaitu Cia Hok dan Cia Bhok, lalu orang Jepang Yasuki, dan yang dua orang lagi adalah Siang-koan Tek dan Ouw Kwan Lok. Masih ada lagi dua orang berusia lima puluh tahun yang berdiri di belakang lima orang ini, yang tidak ia kenal.

Akan tetapi Thian Lee mengenal mereka berdua yang bukan lain adalah Hek-bin Mo-kai dan Sin-ciang Mo-kai. Kiranya dua orang tokoh sesat itu telah bergabung dengan persekutuan pemberontak. Dan sekarang dia melihat bukti bahwa dua orang bersaudara Cia itu benar-benar bersekutu dengan pemberontak dan tokoh-tokoh jahat. Hanya keterlibatan Panglima Phoa yang belum tampak buktinya, akan tetapi dia mengira bahwa tentu puluhan orang anak buah itu merupakan anak buah Phoa-ciangkun, dan melihat golok besar di pinggang para anak buah itu, dugaannya semakin keras karena dia mengenal pasukan golok besar yang merupakan pasukan inti yang ditempatkan di perbatasan-perbatasan. Pasukan golok besar adalah pasukan yang terkenal kuat karena para anggautanya memiliki ilmu golok yang sudah lumayan tangguhnya.

Sebagai seorang yang berpengalaman, melihat sepintas lalu saja tahulah Thian Lee bahwa mereka berdua berada dalam bahaya besar. Dia tahu bahwa lima orang di depan itu, ditambah dua orang tokoh sesat merupakan lawan yang tangguh. Tentu saja dia mampu mengalahkan mereka satu demi satu, akan tetapi kalau mereka maju bertujuh, ditambah lagi dengan barisan golok besar yang jumlahnya paling sedikit tiga puluh orang itu, mereka merupakan pengeroyok yang amat kuat. Dia mengkhawatirkan keselamatan Lee Cin maka sambil mengeluarkan pedang Jit-goat-kiam dia berseru,

"Cin-moi, larilah cepat!"

Akan tetapi bagaimana gadis perkasa itu mau melarikan diri meninggalkan sahabatnya yang terancam bahaya maut? Ia pun mengeluarkan Ang-coa-kiam yang tadinya melibat pinggangnya dan berkata,

"Lee-ko, kita hajar semua anjing srigala ini!"

"Tidak, larilah dari sini, Cin-moi. Biar aku yang menahan para pemberontak ini!" Thian Lee berseru lagi.
Akan tetapi Lee Cin tetap tidak mau beranjak dari situ

"Kita lawan bersama, Lee-ko. Aku tidak dapat meninggalkanmu!" katanya gagah.

Siangkoan Tek tertawa bergelak, merasa menang karena dua orang itu sudah terkepung erat

"Ha-ha-ha, Song Thian Lee. Dalam keadaan terjepit engkau masih berlagak! Nona Souw Lee Cin, lebih baik engkau menyerah. Aku yang menanggung bahwa engkau tidak akan diganggu karena aku masih mengharapkan engkau menjadi isteriku."

"Siangkoan Tek jahanam busuk! Daripada menjadi isterimu aku lebih baik mati!" jawab Lee Cin sambil menudingkan pedangnya ke arah muka pemuda itu, kemudian gadis ini pun menyerang dan menerjang ke depan, pedangnya berkelebat menusuk ke arah dada Siangkoan Tek. Pemuda tampan ini lalu menggerakkan pedangnya menangkis dan mereka segera bertanding dengan serunya. Pedang Lee Cin berkelebatan dan menyambar-nyambar bagaikan kilat, namun Siangkoan Tek yang merupakan lawan yang tangguh sudah menghadang ke arah mana pedang gadis bergerak sehingga semua serangan Lee Cin dapat ditangkisnya.

Sementara itu, Ouw K wan Lok yang mendengar bahwa pemuda itu adalah Thian Lee, musuh utama kedua gurunya, cepat menerjang maju dengan sepasang pedangnya. Gerakannya diikuti oleh kedua saudara Cia yang sudah tahu betapa lihainya Song Thian Lee yang juga mereka ketahui sebagai Panglima Besar Song itu. Melihat ini, Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai juga terjun ke dalam pertempuran membantu mereka mengeroyok sehingga Thian Lee kini dikeroyok oleh lima orang yang lihai! Namun Thian Lee tidak menjadi gentar. Yang membuatnya khawatir hanyalah Lee Cin yang sudah terlibat perkelahian seru dengan Siangkoan Tek. Dia memutar pedangnya melindungi tubuhnya dari penyerangan lima orang pengeroyoknya. Sementara itu, Yasuki yang melihat Thian Lee sudah clikeroyok lima, segera menggerakkan samurainya untuk membantu Siangkoan Tek mengeroyok Lee Cin.

"Tranggg".. cringgg""!!" Bunga api berpijar-pijar ketika pedang Ang-coa-kiam menangkis samurai dan pedang di tangan Siangkoan Tek. Lee Cin mengamuk. Pedangnya berubah menjadi segulungan sinar merah yang menyambarnyambar ke arah kedua orang pengeroyoknya.

Puluhan orang anak buah yang mengepung tempat itu sejenak memandang jalannya pertempuran dengan mata kagum. Mereka kagum melihat sepak terjang Thian Lee yang biarpun dikeroyok lima masih dapat bergerak dengan gesit, berloncatan ke sana sini dan membalas serangan lima orang pengeroyoknya. Juga mereka kagum melihat gadis cantik itu yang biarpun dikeroyok dua masih juga memainkan pedangnya yang berubah menjadi sinar merah yang bergulung-gulung. Pemimpin mereka lalu bersuit panjang memberi aba-aba dan majulah puluhan orang itu terbagi menjadi dua. Sebagian mengepung Lee Cin dan sebagian lagi mengepung Thian Lee.

Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Lee Cin yang dikeroyok dua oleh Siangkoan Tek dan Yasuki, mengamuk dan pedangnya menyambar-nyambar ganas sehingga kedua orang pengeroyoknya itu tidak mampu mendesaknya, bahkan beberapa kali mereka harus cepat mengelak karena sambaran pedang gadis itu amat berbahaya. Dalam keadaan itu, tiba-tiba sedikitnya lima belas orang telah maju membantu. Mereka memegang golok besar dan ada yang tangan kirinya menggunakan obor untuk menyerang Lee Cin! Gadis ini dikepung ketat dan hujan bacokan dan tusukan menyambar ke arah dirinya. Terpaksa ia harus memutar pedangnya melindungi dirinya dan kalau melihat kesempatan, kakinya atau tangan kirinya bergerak cepat merobohkan seorang pengeroyok. Tiba-tiba terdengar suitan pendek dua kali dan para pengepung yang lima belas orang banyaknya itu berlari berputaran mengubah kedudukan dan ketika mereka menyerang lagi, ternyata empat orang tetap memegang obor yang diangkat tinggi-tinggi sedangkan belasan orang yang lain kini memegang sehelai jala! Siangkoan Tek dan Yasuki masih mencoba untuk mendesak Lee Cin.

Ketika gadis ini menyingkir dengan lompatan ke pinggir, tiba-tiba dua helai jala melayang dan menerkamnya! Ia terkejut sekali, menggunakan pedangnya untuk dibacokkan ke arah kedua helai jala itu, akan tetapi pedangnya hanya dapat membuat jala itu gagal menerkamnya, tidak mampu merusak benang jala yang ternyata amat ulet dan kuat itu. Serangan Siangkoan Tek dan Yasuki sudah datang lagi dan Lee Cin terpaksa memutar pedangnya sambil melangkah mundur! Ia mulai terdesak. Tibatiba kembali ada jala menerkamnya dari belakang. Ia meloncat ke kanan, akan tetapi dari kanan juga menerkam sehelai jala. Ia melompat ke kiri, kini bahkan ada dua jala menyambutnya dengan terkaman.

Ketika ia menangkis dengan pedangnya, dari segala penjuru ada jala menerkam sehingga ia tidak mampu menghindarkan diri lagi. Tubuhnya sudah diselimuti beberapa helai jala dan ia hanya dapat meronta seperti seekor ikan besar masuk ke dalam jala yang kuat. Pedangnya digerakkan ke kanan kiri, akan tetapi tidak dapat merobek jala itu. Siangkoan Tek melompat ke depan dan dari belakang dia menotok pundak Lee Cin, membuat gadis itu terkulai.

Siangkoan Tek lalu mengangkat gadis itu bangkit berdiri, merampas pedangnya, dan melihat betapa Thian Lee masih mengamuk merobohkan banyak anak buah, dia berteriak lantang,

"Song Thian Lee, lihat, aku telah menangkap Souw Lee Cin! Kalau engkau tidak menyerah, aku akan membunuh gadis ini lebih dulu!"

Mendengar seruan itu, Thian Lee terkejut, melompat ke belakang dan memandang. Dia melihat Lee Cin masih terselimuti jala, berdiri dan dipegangi oleh Siangkoan Tek yang menodongkan pedang milik gadis itu di leher Lee Cin! Terjadi pergumulan dalam hati Thian Lee. Kalau dia menyerah, berarti dia akan tewas! Akan tetapi bagaimana dia tega untuk membiarkan mereka membunuh Lee Cin?

"Lee-ko, jangan mau menyerah, mereka tentu akan membunuhmu. Biarkan aku mati, aku tidak takut!" Lee Cin masih sempat berseru sebelum Siangkoan Tek menotok lehernya dan membuat ia terdiam, tidak mampu mengeluarkan kata-kata.

"Song Thian Lee, kalau engkau menyerah, kami berjanji tidak akan membunuhmu sekarang, tergantung pimpinan kami!" kata pula Siangkoan Tek.

Akhirnya Thian Lee mengambil keputusan. Lebih baik mati bersama Lee Cin daripada membiarkan Lee Cin mati di depan matanya. Dia lalu berkata,

"Baik, aku menyerah, jangan bunuh ia!"
Mendengar ini, Ouw Kwan Lok lalu menghampiri Thian Lee dan mengambil pedang Jit-goat-kiam dari tangan panglima itu

"Belenggu kedua tangannya!" perintah Siangkoan Tek.

"Biar kubunuh dia!" teriak Hek-bin Mo-ko dan ruyungnya menyambar ke arah kepala Thian Lee.

"Takk..... desss......!!" Pukulan ruyung itu tertangkis sepasang pedang Siangkoan Tek dan sebuah tendangan membuat Hek-bin Mo-ko terlempar dan terbanting ke atas tanah.

"Hek-bin Mo-ko, apakah engkau ingin mampus? Aku sudah berjanji tidak akan membunuhnya, tak seorang pun boleh melanggar janjiku!" bentak Siangkoan Tek sambil melotot kepada Hek-bin Mo-ko yang bangkit berdiri sambil menyeringai kesakitan.

"Maafkan aku!" katanya menerima salah.

Malam itu juga kedua orang tawanan itu digiring naik ke sebuah bukit. Para pemegang obor menerangi jalan di depan dan belakang dan akhirnya, menjelang pagi, sampailah mereka di puncak bukit di mana mereka terdapat sebuah bangunan besar. Bangunan itu terjaga oleh puluhan orang anak buah dan Thian Lee bersama Lee Cin digiring masuk ke dalam bangunan besar itu.

Mereka didorong masuk ke dalam sebuah ruangan yang luas. Ruangan itu kosong. Lee Cin dan Thian Lee dengan kedua tangan terbelenggu ke belakang, didorong duduk di atas bangku. Kedua orang muda ini saling pandang sejenak dan keduanya siap siaga menanti segala yang akan nnenimpa diri mereka. Mereka tidak putus asa. Selama mereka masih hidup, mereka tidak akan pernah putus asa dan selalu akan menggunakan segala kesempatan untuk menyelamatkan diri. Pandang mata Lee Cin terhadap Thian Lee mengandung keharuan dan juga teguran. Gadis ini menyesal mengapa Thian Lee mengorbankan diri untuknya, padahal dengan kepandaiannya, kalau dia mau, pemuda itu masih dapat meloloskan diri ketika dikepung. Akan tetapi ia pun merasa terharu sekali. Pemuda yang pernah dicintanya itu ternyata masih mau mengorbankan diri untuk keselamatannya! Thian Lee melihat apa yang terkandung dalam sinar mata Lee Cin, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu.

Mereka semua juga duduk di atas kursi-kursi yang semua menghadap ke arah dinding di mana terdapat pula beberapa buah kursi merapat dinding. Ruangan itu kosong pada dinding tidak ada hiasan apa pun. Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok duduk di depan, mengapit Thian Lee dan Lee Cin. Yasuki duduk di sebelah kiri Soangkoan Tek. Di belakang mereka duduk Cia Hok, Cia Bhok dan dua orang tokoh sesat itu, Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai. Adapun sernua anak buah tidak ikut masuk, mungkin menjaga di luar ruangan, siap untuk menyerbu kalau ada perintah dari dalam. Ruangan itu diterangi oleh empat buah lampu gantung sehingga keadaannya terang sekali dan semua orang kini memandang ke arah pintu besar di sebelah dalam yang daun pintunya masih tertutup. Agaknya dari situlah para pimpinan akan muncul.

Thian Lee dan Lee Cin juga memandang ke arah pintu dengan jantung berdebar tegang. Siapakah pemimpin komplotan ini? Thian Lee sama sekali tidak takut bahwa dirinya menjadi tawanan. Dia hanya menyesal mengapa Lee Cin tidak menuruti nasihatnya untuk melarikan diri. Dia adalah seorang panglima yang melaksanakan tugasnya. Kalau dia harus mati dalam melaksanakan tugas, dia tidak merasa penasaran. Akan tetapi Lee Cin hanya terbawa-bawa olehnya. Gadis itu tidak terlibat sama sekali. Akan tetapi Thian Lee tidak pernah putus asa.

Kedatangannya di Hui-cu sudah diketahui oleh Ji-taijin juga oleh Lai-ciangkun. Kiranya mereka berdua tidak akan berani membiarkan dia, seorang panglima besar, mendapat celaka di daerah mereka. Bukan tidak mungkin sebentar lagi ada pasukan dari Lai-ciangkun yang menyerbu tempat itu dan membebaskannya. Andaikata tidak, dia pun akan dapat membela diri sampai titik darah terakhir.

Akhirnya daun pintu terbuka dan Lee Cin terbelalak memandang kepada Nenek Cia yang memasuki ruangan itu, diikuti oleh Cia Kun. Nyonya Cia Kun dan Cia Tin Siong! Semua orang yang berada di situ bangkit untuk menghormati nenek itu. Nenek Cia memasuki ruangan dengan langkah tegap dan sikapnya angkuh. Ia memegang tongkat naga dan matanya tajam bersinar-sinar ketika ia memandang kepada Thian Lee dan Lee Cin. Di antara mereka, Thian Lee hanya mengenal Cia Tin Siong yang pernah dijumpai dan pernah bertanding dengannya. Yang lain belum pernah dilihatnya. Lee Cin benar-benar terkejut dan heran sekali. Tak disangkanya bahwa keluarga Cia benar-benar berkomplot dengan para pemberontak dan orang Jepang bahkan agaknya Nenek Cia menjadi pemimpin mereka.

Akan tetapi ketika Tin Siong melihat Lee Cin duduk terbelenggu, dia terkejut sekali dan cepat menghampiri Lee Cin untuk melepaskan belenggunya. Akan tetapi. Nenek Cia menghardiknya.

"Tin Siong, mundur kau!"

"Akan tetapi, Nek. Nona Lee Cin tidak bersalah apa-apa. Bahkan ia pernah menjadi tamu kehormatan dan sahabat baik. Mengapa ia ditangkap? Aku tidak setuju, sama sekali tidak setuju kalau Nona Lee Cin diperlakukan seperti ini, Nek! Ia bukan mata-mata Mancu, ia bukan musuh kita!" Tin Siong membantah sambil menghadapi neneknya dengan berani

"Lupakah Nenek bahwa Nenek pernah mengusulkan agar aku menikah dengannya? Aku masih belum lupa, Nek!"

"Tin Siong, engkau hendak membantah aku? Aku tidak akan mengganggunya kalau ternyata ia tidak bersalah. Sekarang duduk dan diamlah, dengarkan saja!" kembali nenek itu menghardik dan Tin Siang duduk sannbil mengerutkan alisnya, memandang kepada Lee Cin dan dalam pandang matanya dia seperti hendak meyakinkan hati Lee Cin bahwa dia akan membela dan melindunginya.

Nenek Cia lalu duduk di kursi tengah yang mepet dinding, Cia Kun duduk di sebelah kanannya bersama Nyonya Cia Kun, dan Tin Siong dengan sikap masih menentang duduk di sebelah kiri nenek itu. Nenek itu memandang kepada Thian Lee dengan matanya yang bersinar tajam dan berapi-api, lalu bertanya, suaranya lantang dan meninggi,

"Apakah engkau yang bernama Song Thian Lee?"

"Benar," jawab Thian Lee singkat

"Dan engkau menjadi Panglima Besar Kerajaan Mancu?"

"Benar pula."

"Hem, tidak malukah engkau, orang muda? Kami mendengar bahwa engkau seorang pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi mengapa engkau tidak menggunakan kepandaianmu untuk menentang penjajah yang menguasai tanah air kita, sebaliknya malah menjadi anteknya? Tidak malukah engkau, Song Thian Lee?"

"Nenek, aku menjadi panglima besar bukan untuk menjadi antek penjajah, melainkan untuk mencegah terjadinya keributan yang hanya akan menyengsarakan rakyat jelata. Dengan kedudukanku aku dapat mencegah para pembesar bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Memperjuangkan kemerdekaan saat ini tidaklah tepat, semua usaha itu akan gagal karena tidak didukung sepenuhnya oleh rakyat. Apalagi kalau perjuangan itu dikotori oleh komplotan orang sesat dan orang asing."

"Itu hanyalah alasan seorang pengkhianat bangsa. Melihat bangsa dan tanah air dijajah orang Mancu, bukannya menentang penjajah malah sebaliknya mengabdi dan menjadi anteknya. Di mana kegagahanmu, orang she Song? Kalau engkau suka insaf akan kegagahanmu, suka menyadari dan mau bergabung dengan kami, kami mungkin akan dapat memaafkanmu."

"Bergabung dengan pemberontak yang bersekutu dengan tokoh-tokoh jahat dan dengan orang-orang Jepang, mendatangkan kerusuhan dan mengganggu ketenteraman kehidupan rakyat jelata? Tidak, Nek, hal itu tidak akan kulakukan. Dalam keadaan tanah air terjajah seperti sekarang ini, seorang pendekar harus memperhatikan keadaan rakyat jelata. Kalau ada pembesar atau orang berkuasa menindas dan memeras rakyat, tidak peduli dia itu orang Han atau orang Mancu, akan ditentang oleh pendekar dan patriot sejati. Perjuangan seorang patriot sejati adalah murni dan bersih, tidak akan melibatkan diri bersekutu dengan golongan sesat, apalagi dengan penjahat-penjahat asing. Seorang pendekar patriot pada lahirnya menjadi pejabat pemerintah penjajah, namun sesungguhnya dia mengabdi demi kepentingan rakyat, mencegah terjadinya kejahatan yang meresahkan kehidupan rakyat. Pembesar seperti mendiang Un-ciangkun itulah patriot dan pendekar sejati yang bersih, akan tetapi kalian malah membunuhnya. Engkau telah bertindak sesat, Nek, bergabung dengan golongan sesat dan orang Jepang. Harap engkau dapat menginsafi kekeliruanmu itu."

"Jahanam keparat sombong! Engkau yang sudah tertawan hidup matimu di tanganku, masih berani membuka mulut besar! Kalau engkau tidak mau menyadari dan bergabung dengan kami, sekarang juga nyawamu akan kucabut!" Nenek Cia sudah mengangkat tongkatnya ke atas dan tongkat kepala naga itu tergetar dalam tangannya.

Akan tetapi pada saat itu, seorang pemuda muncul dari pintu dan menghampiri Nenek Cia

"Nanti dulu, Nek! Jangan bunuh dia!"

Lee Cin melihat bahwa yang muncul itu adalah Cia Tin Han! Pemuda lemah ini kelihatan gagah dan penuh keberanian menentang neneknya.

"Tin Han, pergi kau!" Tin Siong membentak marah.

"Aku tidak akan pergi sebelum kalian semua mendengar omonganku. Dengar baik-baik, Nek. Apa yang diucapkan orang she Song ini benar sekali! Seorang pendekar patriot berjuang dengan bersih dan murni, satu-satunya pamrih hanya untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraan, membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah! Kalau pendekar patriot bergabung dengan golongan sesat dan dengan bajak laut Jepang, maka perjuangannya menjadi kotor. Golongan sesat dan bajak. Jepang itu tentu hanya mau bergerak demi keuntungan diri mereka sendiri, sama sekali bukan demi kepentingan rakyat. Bahkan mereka adalah orang-orang yang selalu meresahkan kehidupan rakyat jelata!"

"Anak bodoh! Dalarn perjuangan, kita tidak memilih teman. Siapa saja yang mau bergabung untuk menghantam penjajah, dia menjadi sahabat kita! Semua kekuatan harus dipersatukan untuk mengusir penjajah dari tanah air!" kata Nenek Cia penuh semangat.

"Engkau akan gagal, Nek. Benar ucapan orang ini! Engkau akan gagal kalau tidak mendapat dukungan rakyat dalam perjuanganmu. Engkau hanya akan menimbulkan kesengsaraan rakyat dengan gerakanmu ini, akan tetapi tidak akan berhasil. Tahukah engkau betapa besarnya kekuatan pasukan pemerintah? Engkau hanya akan mengorbankan banyak orang. Sekarang belum waktunya untuk berjuang mengenyahkan kaum penjajah Nek."

"Tin Han, engkau jangan banyak mulut. Menyingkirlah, aku harus membunuh panglima besar ini!" Nenek itu menggerakkan tongkatnya. Akan tetapi Tin Han menghadang di depan Thian Lee dan Lee Cin.

"Nenek tidak boleh membunuhnya, juga tidak boleh menawan Cin-moi! Kalau Nenek memaksa, membunuh panglima ini dan mengganggu Cin-moi, aku yang akan melapor ke kota raja bahwa Nenek telah bersekutu dengan pemberontak dan keluarga kita akan terbasmi semua. Lebih baik begitu daripada keluarga kita membikin sengsara rakyat."

"Tin Han!" Kini Cia Kun bangkit berdiri dengan marah

"Berani engkau bersikap seperti ini?"

"Ayah, aku pun bukan seorang yang takut mati. Bagiku, lebih baik mati dalam membela kebenaran daripada hidup bergelimang kejahatan. Pendeknya aku menentang kalau kalian hendak membunuh mereka berdua ini, dan kalian boleh membunuhku lebih dulu!" Pemuda itu berdiri dengan gagahnya, menentang keluarganya.

Tin Han adalah cucu kesayangan Nenek Cia, maka tentu saja nenek itu tidak tega untuk membunuhnya. Bahkan pada saat itu, ketika Tin Siong melompat ke depan untuk memukul adiknya, Nenek Cia membentak,

"Tin Siong, mundur kau!"

Nenek Cia sejenak memandang kepada cucunya yang menentangnya. Pandang matanya bersinar kagum melihat cucunya yang lemah itu berdiri dengan gagahnya melindungi kedua orang itu. Sungguh sikap seorang keluarga Cia yang tulen, penuh keberanian, penuh kegagahan menentang maut.

"Baiklah, Tin Han. Aku belum mau membunuh mereka." Katanya dan ia memberi isyarat kepada kedua puteranya Cia Hok dan Cia Bhok

"Masukkan mereka ke tempat tahanan dan jaga dengan ketat jangan sampai mereka lobos!"

Cia Hok dan Cia Bhok bangkit berdiri lalu mereka berdua menggiring Thian Lee dan Lee Cin yang masih terbelenggu kedua tangan mereka ke bagian belakang bangunan itu di mana terdapat kamarkamar kosong dan kamar ini agaknya memang sengaja dibuat untuk menawan orang, karena selain kosong juga dibuat kuat sekali, dengan pintu dari besi yang kokoh kuat. Bagian atas pintu itu beruji besi yang sebesar lengan tangan orang, arnat Ruatnya sehingga jangan harap untuk dapat lolos dari kamar itu dengan menjebol pintu besi itu.

Pintu kamar tahanan ditutup dan dikunci dari luar. Cia Hok dan Cia Bhok lalu mengumpulkan sedikitnya tiga puluh orang anak buah dan mereka ditugaskan untuk menjaga agar kedua tawanan itu tidak sampai dapat meloloskan diri.

Setelah dua orang saudara Cia itu pergi meninggalkan mereka berdua saja, Lee Cin menyatakan penyesalannya kepada Thian Lee

"Lee-ko, kenapa engkau menyerah? Tidak semestinya engkau menyerah sehingga kini kita berdua ditawan. Kalau ada seorang di antara kita masih bebas, tentu akan dapat berbuat sesuatu untuk menolong yang lain."

"Sudahlah, Cin-moi. Aku menyerah dengan tiga alasan, Pertama, untuk mencegah mereka membunuhmu, ke dua dengan jalan menyerahkan diri aku akan dapat melihat komplotan itu yang ternyata kini dipimpin oleh Nenek Cia. Dan ke tiga, aku yakin mereka tidak begitu bodoh untuk membunuh seorang panglima besar karena kalau hal itu mereka lakukan, tentu pemerintah akan mengirim pasukan besar untuk membasmi mereka."

"Aku juga sama sekali tidak mengira bahwa keluarga Cia ternyata memegang peran penting dalam komplotan ini. Mereka begitu baik terhadap diriku selama aku menjadi tamu mereka. Sungguh menyesal sekali aku dapat mereka kelabui. Kiranya mereka semua terlibat, kecuali agaknya, Han-ko yang tidak."



Kisah Si Pedang Kilat Eps 9 Kemelut Kerajaan Mancu Eps 12 Kisah Si Pedang Kilat Eps 2

Cari Blog Ini