Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Pedang Kilat 2


Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Bagian 2




Si buta mendengarkan penuh perhatian beberapa kali mengangguk-angguk.

"Bagaimana engkau bisa mengetahui hahwa lima orang tadi adalah mereka yang telah membunuh orang tuamu dan membakar rumahmu?" tanyanya.

"Bukankah ketika peristiwa itu terjadi engkau tidak berada di rumah?"

"Benar, lo-cian-pwe. Akan tetapi dari jauh teecu melihat kebakaran itu. Teecu cepat pulang dan masih sempat teecu menerima pesan terakhir dari ayah sebelum dia meninggal. Dia hanya sempat berkata bahwa yang melakukan pembunuhan itu adalah lima orang berkedok hitam dan seorang di antara mereka buntung tangan kanannya, agaknya buntung ketika berkelahi mengeroyok ayah. Kelima orang tadi tepat seperti yang dikatakan ayah, bahkan mereka tadi sudah mengaku bahwa merekalah pembunuhnya, dan mereka hendak membunuh saya untuk membasmi rumput berikut akar-akarnya."

Si buta itu kembali mengangguk.

"Jadi kalau begitu, engkau sudah tidak memiliki keluarga ataupun tempat tinggal lagi ?"

"Begitulah, lo-cian-pwe. Oleh karena itu, mohon kemurahan hati lo-cian-pwe ...

"

"Hemm, sebetulnya aku tak pernah ingin mempunyai murid agar tidak harus mewariskan ilmu yang hanya dapat dipakai untuk membunuh orang. Akan tetapi agaknya memang sudah ditentukan oleh Tuhan bahwa aku, Tiauw Sun Ong, terpaksa harus meninggalkan Ilmu kepada seorang murid, yaitu engkau, Bun Houw."

Bun Houw segera menjatuhkan diri lagi berlutut dan mencium ujung sepatu orang buta itu.

"Terima kasih, suhu! Teecu bersumpah bahwa teecu akan mempergunakan ilmu-ilmu dari suhu hanya untuk menentang kejahatan, seperti yang pernah dilakukan mendiang ayah teecu!"

"Hemmm ? Menjadi pendekar? Ingat bahwa ayahmu yang menjadi pendekar itupun akhirnya tewas di tangan orang-orang jahat!"

"Lebih baik tewas sebagai pendekar dari pada mati sebagai seorang jahat, demikian ayah selalu memesan kepada teecu. Matinya seorang pendekar di tangan penjahat berarti mati dalam menunaikan tugas yang amat gagah dan mulia bagi seorang manusia."

Si buta yang bernama Tiauw Sun Ong itu tersenyum dan mengangguk-angguk.

"Ayahmu memang hebat dan aku kagum padanya. Adapun aku ... aku hanya seorang bangsawan yang terbuang ...

"

"Suhu! Ketika mendengar nama suhu, teecu mengira bahwa suhu memiliki nama seperti seorang bangsawan tinggi, seorang pangeran ... jadi benarkah itu ?"

Si buta itu kembali menarik napas panjang dan diapun berkata lembut,

"Bawalah aku kepada batu-batu yang enak diduduki. Bun Houw, agar kita dapat bicara dengan santai."

Bun Houw cepat memegang tongkat gurunya dan menuntun gurunya menuju ke kiri di mana terdapat batu-batu yang halus dan rata. Di situ mereka duduk berhadapan.

"Sudah sepatutnya engkau mengenal siapa orang buta yang menjadi gurumu ini, Bun Houw. Dahulu sekali, kurang lebih tigapuluh tahun yang lalu, aku adalah seorang pangeran yang hidup mewah dan mulia di istana kaisar. Kaisar adalah kakak tiriku, dia putera permaisuri sedangkan aku hanyalah putera selir. Akan tetapi kaisar amat sayang kepadaku, maka aku diberi kedudukan tinggi dan selalu dekat dengannya, membantu tugasnya di dalam Istana. Lalu godaan yang mendatangkan malapetaka itupun muncul dalam bentuk tubuh seorang selir kakakku, yaitu kaisar. Selir terkasih yang amat cantik jelita. Kami saling jatuh cinta dan terjadilah hubungan gelap yang mesra di antara kami. Aku seperti mabok, lupa bahwa wanita itu adalah selir terkasih dari kakakku. Kami berdua meneguk anggur larangan itu sepuasnya sampai mabok dan akhirnya akibat buruk itupun terjadilah. Kami tertangkap basah. Aku merasa menyesal dan malu. Kubutakan sendiri kedua mataku di depan kakakku, kemudian aku lolos dari istana. Entah apa yang terjadi dengan selir kakakku itu."

Bun Houw memandang wajah orang buta itu dengan hati penuh perasaan iba. Sungguh menyedihkan sekali riwayat gurunya ini.

"Akan tetapi, suhu. Mengapa suhu melakukan penghukuman atas diri sendiri yang demikian hebatnya?"

Tiauw Sun Ong atau yang di dunia kang-ouw terkenal dengan sebutan Si Buta Dari Utara itu menarik napas panjang.

"Begitulah orang muda seperti aku dahulu. Mudah tertarik, mudah jatuh cinta, mudah membenci, mudah gembira, mudah marah. Pendeknya mudah diombang-ambingkan perasaan dikemudikan napsu. Namun, penyesalan di belakang tiada gunanya. Aku hidup terlunta-lunta, bahkan ingin mati saja. Namun akhirnya aku bertemu dengan seorang tosu yang memberi banyak nasihat. Aku sadar, timbul pula gairah hidupku dan aku bahkan mempelajari ilmu silat sampai mendalam. Demikianlah riwayat gurumu ini, Bun Houw."

Kemudian, guru dan murid itu pergi meninggalkan tempat itu, dan mulai hari itu. Bun Houw menerima gemblengan ilmu-Ilmu silat yang amat hebat dari Si Buta, terutama sekali ilmu lotok jalan darah. Ilmu tongkat dan Ilmu pedang yang amat dahsyat.

"Bun Houw, Ilmu pedangku ini memang merupakan ilmu pedang yang khas untuk orang buta. Oleh karena itu, untuk dapat menguasainya dengan sempurna, pada saat mempelajari dan melatih dirimu dalam ilmu silat pedang itu, engkau harus berlaku seperti orang buta, yaitu engkau sama sekali tidak mempengunakan daya penglihatanmu dan harus memejamkan kedua matamu!"

Biar pun di dalam hatinya Bun Houw merasa heran mengapa dia yang pandai melihat harus tidak mempengunakan penglihatannya, namun sebagai seorang murid yang patuh, dia selalu mentaati pesan gurunya itu. Setiap kali berlatih silat yang diajarkan gurunya, dia menutup kedua matanya, dan hanya mengandalkan ketajaman pendengaran dan indera lainnya. Bahkan di waktu tidak berlatih silatpun gurunya menganjurkan agar dia seringkali menutupkan kedua matanya dan mencoba untuk melakukan pekerjaan tanpa bantuan penglihatannya.

"Terutama untuk melatih ketajaman pendengaranmu," demikian gurunya memberi nasihat.

Dan akibatnya memang hebat. Hasilnya memang di luar dugaan. Setelah lewat beberapa tahun saja, panca indera yang lain dari pemuda itu menjadi tajam bukan main. Terutama sekali pendengarannya. Kalau dia berlatih bersama gurunya, dengan pendengarannya saja dia mampu mengikuti semua gerakan tubuh gurunya. Pendengarannya menjadi amat tajam, dan kepekaan tumbuh dengan amat suburnya di ujung Jari-jari tangan dan kakinya karena seringkah dipakainya untuk meraba-raba, penciumannya juga menjadi amat tajam. Bahkan perasaannya bertambah peka seolah-olah Indra ke tujuh bangkit dengan cepat karena kekurangan satu indera, yaitu mata.

Enam tahun lewat dengan cepatnya. Kini Bun Houw telah menjadi seorang pemuda berusia duapuluh satu tahun, dan biarpun usianya itu masih amat muda, namun berkat gemblengan kepahitan hidup dia telah menjadi seorang dewasa yang telah matang. Selama enam tahun, hampir tak henti-hentinya dia menggembleng diri dengan latihan-latihan berat sehingga suhunya merasa amat gembira dan kagum. Dan dalam waktu enam tahun, Bun Houw telah dapat menguasai ilmu-ilmu suhunya dengan baik, bahkan hampir sempurna dan hampir dia dapat menandingi tingkat gurunya. Dan dia mampu hidup dalam dua macam dunia. Dunia terang, yaitu dengan membuka mata seperti orang biasa, dan dunia gelap, dunianya orang buta. Dia sanggup berhari hari lamanya terus menutupkan kedua matanya seperti orang yang benar-benar buta, tanpa merasa canggung ataupun sengsara karena inderanya yang lain sudah demikian tajam mampu menggantikan pekerjaan mata. Mungkin karena latihan tidak mempengunakan kedua matanya inilah maka Bun Houw kini memiliki mata yang seperti sayu dan dibuka sedikit saja, seperti mata orang yang menanggung duka nestapa, akan tetapi dari balik kelopak mata yang hanya dibuka sedikit itu nampak mata yang mencorong bagaikan kilat menyambar. Apalagi kalau sewaktu-waktu dia membuka kedua matanya agak lebar, nampaklah sepasang mata yang amat tajam!

Selain berlatih silat, setiap harinya Bun Houw bekerja di sawah ladang milik suhunya yang berada di belakang rumah. Mereka tinggal di tereng sebuah bukit. Bukit itu tanahnya subur sekali dan semua penghuni dusun-dusun di kaki bukit bersawah ladang di tereng bukit itu. Guru Bun Houw membeli sebidang tanah di tereng dan dengan bantuan muridnya mendirikan sebuah pondok untuk mereka berdua. Para penghuni dusun yang kesemuanya petani, mengenal mereka sebagai guru dan murid yang baik budi dan ramah, namun diliputi penuh rahasia.

Hasil sawah ladang yang dikerjakan Bun Houw dan gurunya sudah lebih dari cukup untuk keperluan hidup mereka berdua, untuk makan dan membeli pakaian. Bun Houw semakin kagum dan mencinta gurunya. Biarpun gurunya itu dahulunya seorang pangeran, hidup di istana indah dan dimuliakan orang, namun kini gurunya tak pernah mau ketinggalan menggarap sawah ladang, mencangkul, menanam bahkan memelihara dan ikut pula menuai hasilnya. Gurunya seperti seorang petani tulen! Karena setiap hari bekerja di ladang, maka Bun Houw memiliki kebiasaan seperti para petani lainnya di daerah itu, iyalah memakai sebuah caping lebar dan ringan terbuat dari pada bambu yang amat tipis. Caping lebar seperti itu, dengan tali melibat bawah dagunya, dapat melindunginya dari panas dan hujan, semacam payung kecil. Dan dia selalu mengecat capingnya dengan warna hitam.

Pada pagi hari itu, ketika matahari mulai terbit, Bun Houw sudah memakai capingnya dan memanggul sebuah cangkul, bertelanjang kaki dan dada. Nampak dadanya yang bidang, dengan kulit yang kecoklatan karena sering terbakar sinar matahari. Dia baru saja mandi di air sumber tak jauh dari pondok setelah pagi tadi, pagi sekali, dia sudah bangun, berlatih silat, memikul air dari sumber ke pondok memenuhi bak air, baru kemudian dia mandi.

Kini dia sudah siap pergi ke ladang.

"Bun Houw ... !"

Gurunya sudah duduk di belakang pondok, di atas sebuah bangku lebar buatan Bun Houw yang menjadi tempat kesayangan gurunya untuk duduk menghirup udara segar.

Bun Houw terheran. Biasanya, pagi-pagi sekali suhunya sudah bangun akan tetapi duduk bersamadhi di dalam kamarnya, baru keluar setelah sinar matahari menerangi bumi. Akan tetapi kini gurunya sudah duduk di situ.

"Suhu!" Bun Houw menghampiri dan berlutut di depan gurunya.

"Sepagi ini suhu sudah keluar?"

"Mulai pagi hari ini, aku yang akan bekerja di sawah ladang, Bun Houw."

"Akan tetapi, setiap hari suhu juga bekerja di sawah ladang!"

"Hanya membantumu. Akan tetapi mulai hari ini, aku sendiri yang akan mengolah tanah karena engkau harus pergi dari sini."

"Akhh ... ?" Bun Houw terkejut bukan main mendengar ucapan gurunya itu.

"Apa ... maksud suhu? Apakah suhu hendak mengutus teecu (murid) pergi turun bukit ke dusun?"

Orang buta itu menggeleng kepala.

"Memang turun bukit, akan tetapi bukan ke dusun di kaki bukit itu, melainkan jauh dan tidak kembali lagi ke sini."

"Suhu ...!" Baru dia tahu bahwa suhunya bermaksud mengusirnya! "Teecu ingin tinggal bersama suhu di sini!"

"Ha-ha-ha, orang muda! Apakah engkau ingin selamanya di sini dan menjadi karatan di bukit ini? Kalau begitu, apa artinya engkau bersusah payah mempelajari Ilmu selama enam tahun ini? Sebatang cangkul diasah setiap hari sampai menjadi tajam sekali, apa artinya kalau tidak dipengunakan? Lupakah engkau akan cita-citamu untuk melanjutkan perjuangan ayahmu sebagal seorang pendekar yang melindungi kaum lemah tertindas, menentang penjahat yang jahat ?"

Bun Houw teringat dan wajahnya berubah merah. Memang, dia telah menjadi seorang yang berkepandaian cukup, akan tetapi bagaikan seekor jago, dia adalah seperti seekor jago yang selalu dikurung dan diberi makan enak-enak sehingga dia menjadi keenakan dan gemuk. Dan kini, suhunya mengingatkan dia akan cita-citanya yang seperti telah dilupakannya karena dia ingin hidup tenang dan tenteram, enak-enakan terus di tempat sunyi itu.

"Maaf, suhu. Teecu tidak bermaksud melupakan cita-cita itu, hanya saja ... bagaimana teecu tega meninggalkan suhu hidup seorang diri saja di tempat ini ? Siapa yang akan melayani suhu, siapa yang akan mengerjakan sawah ladang suhu?"

"Bun Houw, kaukira aku ingin menjadi seorang tua yang dimanjakan? Bukankah setiap hari aku juga bekerja? Apa sih sukarnya mencukupi kebutuhan badanku ini ? Jangan khawatir, aku akan tetap dapat hidup di sini, biarpun tidak ada engkau. Aku mengambilmu sebagai murid bukan untuk mendapatkan seorang pembantu dan pelayan!"

"Maafkan kelancangan teecu, suhu!" Bun Houw berkata, terkejut karena suhunya seperti orang yang tersinggung.

Tiauw Sun Ong menghela napas dan mengelus jenggotnya.

"Sudahlah, kini pelajaranmu sudah tamat dan sudah tiba saatnya engkau harus merantau dan mempengunakan segala Ilmu yang kaupelajari di sini. Bawalah semua pakaianmu dan aku tidak dapat memberi bekal apa-apa kecuali ini." Dia menyerahkan sebuah kantung kain kuning kepada Bun Houw.

Ketika pemuda itu menerimanya, dia terkejut melihat isi kantung itu karena ternyata berisi uang emas, sedikitnya ada sepuluh tail banyaknya!"

"Ah, untuk apa emas ini, suhu? Begini banyak ...

"

"Aku masih mempunyai yang lain. Bun Houw. itu milikku yang kubawa dari Istana dahulu. kausimpanlah, dapat kaupengunakan untuk biaya hidup. Ketahuilah, dalam perantauan engkau amat membutuhkan uang, tidak seperti di sini engkau dapat hidup dari hasil tanah. Dan engkau terimalah pusakaku ini, pergunakan sepatutnya karena selama berada di tanganku, Lui-kong-kiam (Pedang Kilai) ini tak pernah kupengunakan untuk melakukan kejahatan, bahkan tidak pernah membunuh orang!" Dia menyerahkan tongkatnya yang kelihatan butut itu, akan tetapi yang di sebelah dalamnya tersembunyi sebatang pedang pusaka yang ampuh.

"Terima kasih, suhu!" Sekali ini Bun Houw girang bukan main. Tentu saja pedang itu tidak asing baginya. Ketika dia digembleng ilmu pedang oleh gurunya, pedang Lui-kong-kiam itulah yang dia pengunakan untuk berlatih. Setelah menerima uang dan pedang dari suhunya, dan diberi wejangan agar dia berhati hati dalam perantauannya, dan juga diberi tahu tentang tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw yang diketahui suaranya, maka Bun Houw berangkat meninggalkan tereng bukit itu, memanggul buntalan pakaian dan menyelipkan tongkat butut berisi pedang itu di pinggangnya. Caping lebar hitam itu tidak ketinggalan, akan tetapi karena hari masih pagi dan matahari belum panas, caping itu tengantung di punggung menutupi buntalannya.

Cia Kun Ti juga seorang pedagang yang cukup berhasil di kota Nan-ping. Akan tetapi dia bekerja terlalu keras. Hal ini mungkin karena dia merasa rendah diri terhadap isterinya. Cia Kun Ti dahulunya adalah seorang karyawan dari ayah isterinya dan dia diambil mantu oleh majikannya itu. Setelah dia membuka toko sendiri, tentu saja modalnya adalah milik isterinya dan dia hanya mengerjakannya saja. Maka diapun bekerja keras sehingga makin lama tokonya menjadi semakin maju. Akan tetapi, tetap saja dia merasa rendah diri dan selalu tunduk di bawah kemauan isterinya yang menguasai segalanya. Urusan apapun yang timbul dalam rumah tangga dan keluarga mereka, selalu keputusan terakhir berada di tangan isterinya! Mereka hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu Cia Ling Ay, yang seperti kita ketahui, ketika terjadi malapetaka menimpa keluarga Kwa, usianya empa belas tahun, Isteri Cia Kun Ti pulalah yang memaksa suaminya agar pertunangan antara Ling Ay dan Bun Houw diputus, dibatalkan! Hal ini amat menyedihkan hati Ling Ay yang merasa kasihan kepada Bun Houw, juga diam-diam Cia Kun Ti menderita tekanan batin karena dia merasa berdosa kepada mendiang Kwa Tin, sahabat baiknya. Mereka telah saling mengikat perjodohan antara anak mereka itu, dengan sumpah, akan tetapi ketika keluarga Kwa dilanda malapetaka dan Kwa Bun Houw menjadi yatim piatu dan kehilangan segalanya, dia tidak dapat mengulurkan tangan menolong calon mantu itu, bahkan memutuskan ikatan perjodohan!"

Ketika datang pinangan dari Cun-taijin, kepala daerah yang meminang Ling Ay untuk dijodohkan seorang puteranya, isteri Cia Kun Ti pula yang mendesak agar suaminya menerima pinangan itu tanpa banyak pikir lagi,

"Perlu apa kita bersangsi lagi? Kita seolah-olah kejatuhan bulan purnama! Sungguh, Tuhan telah memberkahi kita, memberkahi anak kita. Cun Tai-jin (Pembesar Cun) adalah orang nomor satu di Nan-ping! Dia bagaikan seorang raja saja di kota ini, orang yang paling berkuasa. Bukan hanya itu. Juga keluarga Cun selain berpangkat tinggi, mereka kaya raya pula. Kalau kita menjadi besan mereka, berarti nama keluarga kita akan terangkat tinggi, kita dihormati orang, dan anak kitapun hidup dalam kemuliaan dan kemewahan!" demikian antara lain isteri Cia Kun Ti mendesak suaminya.

"Akan tetapi, yang akan menikah adalah Ling Ay. Sudah sepatutnya kalan kila mendengar dulu pendapatnya, ia adalah anak tunggal kita, senangkah hatimu kalau kelak melihat Ia hidup menderita ?"

"Menderita? Menderita bagaimana maksudmu? Engkau tentu sudah mengenal siapa itu Cun Kongcu (Tuan Muda Cun). Dia masih muda, dia pun ganteng dan tampan, pandai, bangsawan, kaya raya. Mau Apalagi ? Semua orang tua ingin mempunyai mantu dia, semua gadis ingin mempunyai suami seperti dia! Dan engkau masih banyak rewel ? Kita harus bersembahyang ke semua kuil, mengucap syukur dan terima kasih kepada Thian bahwa anak kita yang dipilih oleh Cun Kongcu!"

Perjumpaan Kembali dengan mantan Tunangan
UCAPAN isteri Cia Kun Ti itu memang tidak keliru. Cun Kongcu, atau nama lengkapnya Cun Hok Seng, adalah seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun yang tampan. Ayahnya, kepala daerah Cun yang menjadi orang paling berkuasa di kota Nan-ping dan yang mencalonkan putera dan anak tunggal itu menjadi pembesar kelak, telah memberinya pendidikan sastra sehingga Cun Hok Seng menjadi seorang terpelajar yang dikagumi banyak gadis dan orang tua mereka.

Pertemuan antara Cun Hok Seng dan Cia Ling Ay terjadi secara kebetulan saja. Ketika itu, Cia Ling Ay ikut dengan ayah dan ibunya pergi ke kuil untuk bersembahyang. Hal ini terjadi atas permintaan Ling Ay yang diam-diam bermaksud untuk sembahyang memintakan berkah dan perlindungan untuk Kwa Bun Houw yang telah pergi selama empat tahun lebih dan tidak ada beritanya. Biarpun ia tahu bahwa tidak mungkin tali perjodohan antara mereka disambung lagi, namun ia merasa kasihan kepada bekas tunangan itu dan akan merasa ikut gembira kalau pemuda itu berada dalam keadaan selamat.

Ling Ay telah berubah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik manis, berusia delapanbelas tahun, bagaikan setangkai bunga sedang mekar semerbak mengharum. Ketika ia dan ibunya memasuki kuil, banyak pasang mata memandangnya penuh kagum, terutama sekali mata pria muda yang kebetulan berada di tempat itu. Sudah menjadi kebiasaan buruk para pemuda, kalau mereka sedang bergerombol dan melihat seorang wanita cantik, tentu timbul keinginan mereka untuk menggoda. Demikian pula dengan enam orang pemuda yang kebetulan berada di halaman kuil itu. Begitu melihat Ling Ay dan ibunya, mereka sejak tadi sudah memandangi gadis itu penuh kagum, saling bisik dan tersenyum-senyum. Kemudian, merekapun menghampiri Ling Ay dan ibunya, sengaja mereka menghadang.

"Nona, bolehkah kami menemani nona bersembahyang!"

"Apakan nona hendak bersembahyang mencari jodioh?"

"Tak usah mencari jauh-jauh, nona. Pilihlah seorang di antara kami!"

Mereka itu menggoda sambil menyeringai. Wajah Ling Ay berubah merah, kemudian pucat karena merasa jerih dan khawatir kalau kalau para pemuda itu akan mengganggunya, Nyonya Cia Kun Ti memandang dengan mata melotot dan wajah berubah merah padam. Ia marah sekali.

"Kalian ini orang-orang muda sungguh tidak sopan dan kurang ajar! Belum saling mengenal kalian sudah berani mengajak anakku bicara." bentaknya marah.

"Aduh, bibi! Galak amat kepada calon mantumu."

"Bibi, sekarangpun berkenalan kan belum terlambat,"

"Anak bibi sungguh manis sekali!"

Pada saat itu, muncullah Cun Hok Seng. Dengan alis berkerut pemuda yang juga hendak bersembahyang ini melihat dan mendengar sikap lima orang pemuda berandalan itu dan dia cepat menghampiri, lalu menegur dengan suara garang.

"Sungguh tidak tahu malu sekali! Kalian ini orang-orang tidak tahu susila, hendak mencemarkan kesucian kuil ini?"

Melihat seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan berani mencampuri lima orang berandalan itu hendak marah. Akan tetapi mereka meiihat dua orang pengawal berpakaian perajurit yang bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, berwajah keren berada di belakang pemuda itu dan mereka melotot marah. Melihat ini, mereka menjadi jerih, Apalagi ketika seorang di antara mereka mengenal Cun Hok Seng. Dia cepat memberi hormat dan berkata dengan suara merendah.

"Kiranya Cun Kongcu! Maafkan kami, kami hanya ingin berkenalan dan bersendau gurau."

"Bukan begitu caranya orang yang ingin berkenalan. Hayo kalian pergi dari sini, atau ingin kusuruh tangkap dan seret ke pengadilan?"

Lima orang itu kini ketakutan karena yang lain kini mengenal pula pemuda itu sebagai putera kepala daerah! Mereka cepat memberi hormat lalu pergi meninggalkan kuil tanpa berkata apapun.

Itulah awal perjumpaan Cun Hok Seng dan Ling Ay. Ibu Ling Ay cepat menghaturkan terima kasih dan bersama puterinya memasuki kuil untuk bersembahyang. Sedangkan Cun Hok Seng terpesona dan sampai lama dia berdiri bengong saja. Akhirnya, dua orang pengawalnya yang menyadarkannya dan dari pengawal itulah Hok Seng tahu bahwa gadis yang membetot sukmanya tadi adalah puteri dari Cia Ku Ti, seorang pedagang di Nan-ping. Dan kemudian, kepala daerah mengutus seorang perantara untuk mengajukan pinangan setelah beberapa kali puteranya minta agar dijodohkan dengan puleri C"a Kun Ti itu.

Ketika pinangan itu diajukan, Cia Kun Ti tidak segera menerimanya melainkan minta waktu untuk berpikir-pikir dan hal inilah yang membuat isterinya marah-marah setelah perantara itu pulang. Watak C"a Kun Ti berbeda dengan isterinya. Dia lama sekali tidak memikirkan kepentingan diri sendiri menghadapi perjodohan puterinya, melainkan dia mementingkan kebahagiaan puterinya. Bagaimana dia dapat menerima pinangan begitu saja tanpa lebih dulu mengetahui bagaimana pendapat puterinya, orang yang akan melaksanakan atau menjalaninya? Namun, keraguannya ini membuat isterinya marah-marah sehingga ia mengomel dan memaksa agar suaminya menerima pinangan itu.

"Baiklah ... aku segera akan memberi kabar kepada Cun Tai jin dan menerima pinangannya itu dengan hormat. Akan tetapi, bagaimanapun juga kita harus memberitahu kepada anak kita." Tanpa menanti ucapan isterinya lebih lanjut, Cia Kun Ti lalu memanggil puterinya.

Cia Ling Ay yang sedang sibuk di dapur bersama seorang pembantu rumah tangga, segera keluar dan menuju ke ruangan duduk di mana ayahnya dan ibunya sudah duduk menantinya. Melihat wajah kedua orang tuanya; itu nampak bersungguh-sungguh, ia lalu duduk di dekat Ibunya.

"Ada urusan apakah ayah memanggilku," tanyanya.

"Ling Ay, kami memanggilmu untuk minta pertimbanganmu tentang ...

"

"Bukan minta pertimbangan, melainkan untuk menyampaikan berita yang amat membanggakan hati kepadamu, Ling Ay." isteri Cia Kun Ti memotong ucapan suaminya.

"Kita telah kedatangan seorang utusan dari keluarga Cun Taijin, anakku. Engkau tahu, yang kumaksudkan dengan Cun Taijin adalah kepala daerah di kota ini. Orang nomor satu di sini, paling berkuasa, paling kaya, paling terhormat ...

"

"Ada urusan apakah dengan kita, ibu ?"' Ling Ay memotong Ibunya agar rangkaian kata "yang paling" itu tidak berkepanjangan.

"Urusannya ? Engkau tentu tidak pernah dapat menduganya, atau mungkin engkau sudah bermimpi kejatuhan bulan ? Aih, anakku yang manis, sungguh hati ibumu penuh dengan kebanggaan dan suka cita. Tahukah engkau mengapa Cun Taijin mengirim utusan ke sini ? Untuk meminangmu!" Ibu itu sambil tersenyum bangga memandang wajah puterinya.

Akan tetapi Ling Ay mengerutkan alisnya dan ia nampak kaget sekali.

"Meminang aku ...?"

"Ya, engkaulah yang dipilih, anakku! Dan engkau tentu masih ingat. Pemuda yang ganteng itu, yang sopan santun dan menolongmu, di kuil itu. Dialah yang akan menjadi suamimu. Dia itu Cun Kongcu, putera tunggal Cun Taijin. Wah, engkau akan menjadi wanita yang paling mulia di kota ini!"

Akan tetapi, wajah gadis itu sama sekali tidak memperlihatkan perasaan seperti ibunya. Bahkan ia mengerutkan alisnya karena pada saat itu terbayanglah wajah Kwa Bun Houw, terbayang ketika pemuda itu meninggalkan rumahnya dengan muka pucat dan kepala menunduk. Empat tahun yang lalu. ia masih seorang gadis remaja berusia empat-belas tahun. Sampai sekarang pun ia tidakk pernah dapat melupakan Bun Houw. pemuda yang pernah menjadi tuuangannya itu. Ia tidak pernah tahu apakah ia mencinta Bun Houw, karena ketika mereka ditunangkan, ia masih kecil dan ia masih belum mengerti benar apa artinya cinta. Akan tetapi buktinya, sampai sekarang ia tidak pernah dapat melupakan Bun Houw, walaupun setiap kali teringat, yang terasa olehnya hanyalah perasaan iba yang mendalam.

Ia selalu membayangkan betapa sakit perasaan hati pemuda itu ketika meninggalkan rumahnya, dan ia tidak tahu apa yang terjadi dengan pemuda itu yang telah kehilangan segala-galanya. Orang tuanya, harta miliknya bahkan tunangannya!

"Ling Ay, bagaimana pendapatmu dengan pinangan itu?" pertanyaan ayahnya ini menyadarkan Ling Ay dari lamunan. Lenyaplah bayangan wajah Bun Houw dan kini samar-samar ia teringat kepada pemuda yang pernah menegur para pemuda berandalan di kuil itu. Seorang pemuda yang memang tampan dan sopan, pikirnya, akan tetapi sama sekali ia tidak pernah merasa tertarik. Bahkan kini berita bahwa pemuda itu adalah putera tunggal Cun Taijin, dan telah meminangnya, tidak membuat hatinya merasa tertarik sama sekali.

"Ling Ay, kami telah menerima pinangan itu dengan hati gembira dan bangga sekali. Kami yakin engkaupun temu akan menjadi gembira. Bayangkan saja. Engkau akan hidup di dalam gedung seperti istana, dilayani banyak pelayan, dijaga pasukan pengawal, dihormati orang seluruh kota, hidup bermewah-mewahan dan mulia, naik turun kereta, mengenakan perhiasan lengkap dari emas permata ..."

"Sudahlah, ibu. Kalau memang ayah dan ibu sudah menerima pinangan itu, untuk apa ditanyakan lagi kepadaku?"

"Aih, anakku, jadi engkau setuju?" Ibunya merangkulnya dengan gembira.

Akan tetapi, Cia Kun Ti memandang puterinya dengan penuh perhatian.

"Anakku, mengapa engkau tidak gembira mendengar bahwa engkau akan menjadi mantu kepala daerah? Apakah engkau tidak setuju? Nyalakanlah pendapatmu agar hati ayah ibumu menjadi lega."

"Aih, Ingin pernyataan Apalagi? Anak kita tidak menolak, itu berarti ia sudah setuju. Ia tidak begitu bodoh untuk menolaknya! Menolak pinangan kepala daerah? Wah, hanya orang-orang gila yang akan menolak keberuntungan seperti itu!" kata isterinya.

Ling Ay melepaskan dirinya dari rangkulan ibnnya, lalu ia mundur selangkah, memandang wajah ayah dan ibunya dan betapa heran rasa hati orang tua gadis itu melihat bahwa kedua mata gadis itu basah. Ayahnya makin ragu, mengira bahwa anaknya tidak setuju maka menangis, sebaliknya ibunya mengira gadisnya menangis saking bahagianya!"

"Ayah dan ibu, apa yang harus kukatakan lagi? Apa artinya pendapat pribadiku dalam saat ini? Kalau ayah dan ibu sudah menerima pinangan itu, sudah menyetujui, dapatkah aku menolaknya? Maka, terserah saja kepada ayah! dan ibu ...

"

"Tapi kau ... kau menangis? Ling Ay, mengapa engkau berduka?" tanya ayahnya.

"Engkau ini sungguh bodoh! Anak kita menangis saking gembiranya, bukan karena bersedih!"

Ling Ay memejamkan kedua matanya karena air matanya kini turun semakin deras.

"Ayah dan ibu ...

" Ia mengusap air mata dengan saputangan.

"Aku ... aku ... teringat! kepada koko Kwa Bun Houw dan merasa kasihan sekali kepadanya ...

" Dan iapun lari meninggalkan ruangan itu, memasuki kamar sendiri.

Suami isteri itu saling pandang.

"Ah, kiranya ia masih teringat kepada anak yatim piatu miskin itu?" kata isteri Cia Kun Ti, lalu ia menyerang suaminya.

"Ini semua salahmu! Engkau bertanya yang macam-macam saja!" Wanita itu lalu lari ke kamar anaknya dan mengetuk-ngetuk pintu kamar itu yang dikunci dari dalam. Akan tetapi ia mendengar suara Ling Ay.

"Ibu, biarkan aku sendiri. Aku sudah menerima kehendak ibu, jangan ganggu aku lagi. aku ingin beristirahat ...

" Ibunya terpaksa pergi dan mematuki kamarnya sendiri sambil bersungut-sungut.

Cia Kun Ti yang ditinggal seorang diri di ruangan duduk, lalu menghela napas panjang. Dia ikut merasa sedih kalau-kalau anaknya itu berduka dan hanya menerima perjodohan itu karena terpaksa saja. Akan tetapi, diam-diam dia merasa girang bahwa puterinya itu ternyata seorang yang berbudi baik, tidak pernah melupakan bekas tunangan yang diperlakukan dengan tidak adil dan semena-mena itu. Akan tetapi, dia tidak dapat berbuat sesuatu dan pertunangan dengan Kwa Bun Houw itu sudah putus, pemuda itu sudah bertahun-tahun tidak pernah ada beritanya, Apalagi sekarang dia harus menerima pinangan putera kepala daerah. Teringat ini, diapun cepat berkemas untuk mengenakan pakaian yang pantas karena dia harus berkunjung ke rumah keluarga kepala daerah untuk menyampaikan persetujuannya atas pinangan itu.

Tanah kuburan yang biasanya sunyi itu kini penuh orang. Sejak pagi banyak orang datang berkunjung karena hari itu adalah hari Ceng-beng, yaitu hari yang merupakan hari besar bagi para keluarga untuk mengunjungi tanah kuburan nenek moyang mereka. Para keluarga ini melakukan sembahyang di depan makam orang tua atau kakek nenek mereka, membersihkan makam-makam keluarga itu.

Makam-makam yang sunyi itu nampak biasa saja. Sukar dibayangkan bagaimana perataan para penghuni makam itu andaikata masih memiliki perasaan seperti ketika masih hidup. Mereka yang telah mati itu hanyi setahun sekali menerima kunjungan sanak saudara, anak cucu. Setahun sekali, dalam waktu sejam dua jam saja, para keluarga itu datang berkunjung dan bersembahyang. Setelah itu, anak cucu itu segera pergi lagi, dan makam kembali menjadi sunyi. Penghuni makam dibiarkan sunyi sendiri, menanti sampai kunjungan berikutnya yang akan mereka terima setahun kemudian! Selama "menunggu" itu, tak seorangpun di antara para anak cucu yang ingat akan makam itu, dan makam dibiarkan terlantar, hanya menjadi tempat mainan para penggembala kambing.

Akan tetapi pada hari Ceng-beng itu, para anak cucu datang dengan pakaian yang baru, membawa hidangan untuk sembahyang dan ramailah keadaan di tanah kuburan yang biasanya amat sunyi itu. Serombongan keluarga yang memasuki tanah kuburan itu tentu merupakan keluarga yang penting dan terpandang. Buktinya, hampir semua pengunjung tanah kuburan yang berpapasan dengan keluarga ini, segera memberi hormat, dan yang berada agak jauh, segera saling bisik membicarakan keluarga itu. Keluarga itu terdiri dari sepasang suami Isteri yang masih muda. Juga sepasang suami isteri setengah tua dan diiringkan oleh enam orang pelayan dan lima orang pengawal yang berpakaian seragam. Keluarga pembesar!


Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Memang demikianlah. Suami-isteri muda itu adalah Cun Hok Seng dan isterinya, yaitu Cia Ling Ay! Sudah setahun mereka menikah dan kini Cun Hok Seng berusia duapuluh enam tahun, sedangkan Cia Ling Ay berusia duapuluh tahun. Mereka menikah setelah setahun bertunangan. Adapun suami Isteri setengah tua itu adalah Cia Kun Ti dan isierinya. Jelaslah bahwa yang menerima penghormatan semua orang itu adalah Cun Hok Seng, putera kepala daerah itu. Akan tetapi, yang merasa amat bangga sekali adalah nyonya Cia Kun Ti, Ibu Ling Ay. Padahal ia hanya membonceng saja, membonceng kehormatan dan kemuliaan mantunya, akan tetapi karena semua orang itu menghormat ke arah rombongan mantunya, maka iapun merasa terhormat dan seolah-olah ialah yang dihormati mereka!"

Semua orang mengejar kehormatan ini! Semua orang bertingkah dan berharap agar mereka mendapat penghormatan dari orang lain.

Semakin dihormat, semakin banggalah rasa hati ini, semakin merasa betapa dirinya ini "besar". Pengejaran kehormatan ini sesungguhnya bukan lain hanyalah ketinggian hati, keinginan nafsu yang hendak mengangkat diri sendiri setinggi mungkin, yang menilai diri sendiri yang paling besar dan paling tinggi, paling hebat. Karena itu setiap, kali rasa diri besar ini terlanggar, akan marahlah si-aku. Sama juga dengan pengejaran harta benda yang dianggap akan merdatangkan kebahagiaan, demikian pula pengejaran terhadap kehormatan di dasari anggapan bahwa kehormatan akan mendatangkan kebahagiaan melalui kebanggaan. Padahal, kebahagiaan tidak mungkin dicapai melalui kesenangan berharta besar atau melalui kebanggaan berkedudukan tinggi. Segala macam bentuk kesenangan bukanlah makanan jiwa. melainkan sekedar permainan nafsu belaka dan biasanya, nafsu selalu mengejar yang lebih sehingga kesenangan yang dinikmati itu dalam waktu singkat saja sudah terasa hambar karena keinginan mengejar yang lebih. Dan akibatnya maka muncullah kekecewaan dan penyesalan kalau yang dikejar itu tidak tercapai, atau kebosanan kalaupun tercapai karena kenyataan tidaklah sesenang yang dibayangkan selagi dalam pengejaran. Kesenangan jelas bukan kebahagiaan. Dan semua orang mengejar kebahagitan. Apakah sesungguhnya kebahagiaan? Demikian timbul pertanyaan abadi sejak dahulu. Semua orang mengejar kebahagiaan! Dan makin dikejar semakin tak nampak! Maka penting sekali mempelajari apa sesungguhnya kebahagiaan yang dikejar oleh setiap orang manusia ini. Apakah hanya sebuah kata? Kata kosong belaka ?

Kebahagiaan jelas bukan kedukaan karena justeru di dalam penderitaan dukalah manusia merindukan kebahagiaan kebahagian bukan pula kesenangan karena semua orang yang merasakan kesenangan akhirnya mengakui bahwa kesenangan hanyalah sekelumit dan sementara saja sifatnya. Kalau kedukaan bukan kebahagiaan, dan kesenangan juga bukan kebahagiaan, lalu apa? Apakah kebahagiaan yang didambakan seluruh manusia di dunia ini? Tidak mungkinkah dirasakan orang selagi dia masih hidup? Apakah kebahagiaan hanya bagian orang yang sudah mati dan hanya terdapat di akhirat? Semua pertanyaan ini timbul dan tak seorangpun yang mampu menggambarkan bagaimana sesungguhnya kebahagiaan itu. Bagaimana rasanya dan bagaimana keadaan seseorang yang benar-benar berbahagia! Agaknya pertanyaan yang sudah diajukan manusia sejak ribuan tahun yang lalu ini takkan pernah dapat dijawab. Bagaimana mungkin menjawabnya kalau bahagia merupakan suatu keadaan yang tak tengambarkan? Suatu keadaan tabir batin yang hanya dapat dirasakan oleh yang bersingkutan ? Sekali dibicarakan atau diceritakan, maka cerita atau penggambaran itu tidak mungkin sama dengan yang digambarkan!

Bahagia bukan duka bukan suka. Kalau ada duka, tidak ada bahagia, kalau ada suka tidak ada bahagia. Jelas bahwa bahagia berada di atas suka duka. Merupakan anugerah Tuhan, dan hanya Tuban yang akan dapat menjadikan seseorang berbahagia. Tak mungkin dicapai melalui usaha akal pikiran karena kebagiaan berada di atas akal pikiran yang menjadi sumber suka dan duka. Dan karena itu merupakan ciptaan Tuhan, pekerjaan Tuhan, maka manusia tak mungkin dapat mencampuri. Seperti halnya kelahiran dan kematian. Kita hanya dapat PASRAH, menyerah kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Bijaksana, yang akan mengatur segalanya ! Hanya pasrah, penuh keiklasan dan ketawakalan. Betapapun juga, manusia hanyalah ciptaan, dan kekuasaan berada di tangan Sang Pencipta!

Sebelum Cun Hok Seng dan isterinya, ayah dan ibu mertuanya, tiba di tanah kuburan itu, lebih dulu serombongan orang yang menjadi pembantu mereka telah datang dan mempersiapkan segala keperluan sembahyang untuk putra kepala daerah Nan-ping dan keluarganya itu. Dan tentu saja persiapan sembahyang itu yang termewah di antara peralatan sembahyang semua pengunjung tanah atau taman kuburan itu.

Mereka berkunjung ke taman kuburan itu untuk menyembahyangi kakek dan nenek, juga nenek moyang mereka. Nenek moyang kedua pihak, keluarga Cun dan keluarga Cia. Tentu saja yang didahulukan adalah kuburan keluarga Cun, dan peralatan sembahyangan telah diatur lengkap oleh para pembantu di tanah kuburan keluarga Cun. Makam makam keluarga ini paling besar dan megah, bukan hanya liong-pai (batu nisan) yang besar dengan ukiran ukiran indah, bahkan dibangun seperti kuil dengan atap bergenting tebal dan dihias ukiran-ukiran naga.

Sebagian besar orang berani mengorbankan harta benda mereka untuk pembuatan bong-pai dan bangunan makam yang seindahnya. Indah dan mewah. Tentu saja dengan dalih bahwa mereka menghormati dan mencinta nenek moyang dan orang tua yang sudah meninggal dunia. Bahkan keroyalan mereka membuang uang untuk membuat makam yang megah ini jauh melebihi kerelaan mereka memberikan harta benda kepada orang tua mereka ketika orang tua itu masih hidup!

Sungguh sayang sekali, di balik perbuatan menghamburkan harta benda untuk membuat makam yang amat indah dan mewah ini tersembunyi pamrih rendah. Pertama, pamrih agar mereka dipuji orang lain dan dianggap sebagai anak-anak yang u-houw (berbakti) kepada orang tua dan nenek moyang, di samping pamrih menyombongkan dan memamerkan harta kekayaan mereka. Ke dua, pamrih agar mereka itu, dengan cara "berkorban" seperti itu, akan memperoleh doa restu dari arwah orang tua dan nenek moyang sehingga rejeki yang mereka terima akan berlimpahan, jauh melampaui segala biaya yang mereka keluarkan untuk pembuatan makam yang megah itu. Dan pamrih kedua ini mereka percaya benar. Bahkan mereka itu dalam ketahyulan mereka, mengirim bongkahan bongkahan emas, kereta, rumah gedung, yang mereka lakukan dengan cara membuat semua itu dari kertas dan bambu, kemudian membakar semua benda palsu ini dengan kepercayaan bahwa semua benda itu di akhirat akan benar benar menjadi benda-benda aseli dan dapat dipengunakan untuk kesejahteraan arwah nenek moyang. Hal ini tentu saja akan membuat arwah nenek moyang merasa senang dan melimpahkan berkah kepada anak cucu atau buyut yang u-houw (berbakti) itu. Sungguh merupakan suatu ketahyulan yang bodoh sekali, karena yang jelas sekali, perbuatan itu hanya mendatangkan keuntungan besar kepada orang orang yang pekerjaannya membuat benda benda palsu dan kertas itu dan yang mengatur persembahyangan karena mereka akan menerima upah yang amat besar.

Padahal, houw atau kebaktian memang merupakan suatu kebajikan, suatu kewajiban dan keharusan bagi setiap orang manusia beradab. Bakti kepada orang tua merupakan kasih sayang yang besar, terdorong oleh budi yang telah kita terima dari orang tua, semenjak kita dilahirkan, dibesarkan oleh orang tua. Kasih sayang ini tentu saja hanya dapat dibuktikan dengan sikap dan perbuatan kita terhadap orang tua selagi mereka masih hidup dan sesudah mereka meninggal dunia, kebaktian itu masih dapat dilanjutkan dengan menjaga semua perbuatan kita agar jangan sampai kita mengotori atau menodai nama baik orang tua kita dengan perbuatan yang jahat. Inilah houw atau kebaktian dalam arti yang sedalam-dalamnya. Houw atau kebaktian sesungguhnya hanyalah pelaksanaan dari perasaan cinta atau kasih sayang terhadap orang tua!"

Setelah persembahyangan terhadap makam-makam nenek moyang keluarga Cun selesai dilakukan, barulah rombongan Cun Hok Seng, isterinya dan kedua mertuanya itu melakukan sembahyang di depan kuburan nenek moyang keluarga Cia.

Cia Ling Ay atau Nyonya Cun Hok Seng yang sudah selesai bersembahyang di depan makam nenek moyang keluarga orang tuanya, tiba-tiba teringat akan kuburan Kwa Tin dan nyonya Kwa Tin, yaitu ayah dan Ibu Kwa Bun Houw. Ia merasa kasihan sekali kepada Bun Houw dan walaupun ia telah menjadi isteri orang lain, sering kali ia termenung membayangkan wajah bekas tunangan itu. Kini, setelah selesai melakukan sembahyang kepada nenek moyang keluarganya, ia teringat kepada makam ayah dan ibu Kwa Bun Houw. Ia melihat suaminya sedang bercakap. cakap dengan beberapa orang pria yang agaknya juga orang-orang berpangkat yang datang ke tanah kuburan dengan maksud yang sama, dan ayah ibunya juga sedang sibuk dengan peralatan sembahyangan, iapun merasa iseng dan melangkahlah nyonya muda ini menuju ke makam ayah dan ibu bekas tunangannya itu yang letaknya tidak berapa jauh dari kuburan nenek moyang keluarga orang tuanya, ia membawa segenggam hio swa (dupa biting) yang sudah disulutnya dan dengan hati terharu ia melihat sepasang kuburan sederhana yang batu nisannya berlumut dan kotor, depan batu nisan ditumbuhi rumput tebal. Makam yang sama sekali tidak terawat.

Ling Ay segera menghampiri kedua makam yang berdampingan itu, lalu ia bersembahyang di depan keduanya, ia sama sekali tidak tahu batwa sejak tadi sepasang mata memandangnya, sepasang mata yang mula-mula terbelalak lebar dan memandangnya dengan heran, akan tetepi kini sepasang mata itu berlinang air mata. Setelah bersembahyang sejenak, di dalam hatinya ia mohon ampun kepada bekas calon ayah dan ibu mertuanya itu karena kegagalan perjodohannya dengan putera mereka, Ling Ay menancapkan hio-swa di depan kedua makam. Akan tetapi, ia masih berdiri termenung di depan dua buah makam itu ketika pemilik mata yang sejak tadi mengikuti gerak-geriknya itu menghampirinya dari belakang.

"Maaf ...

" suara itu agak gemetar,

"kenapa engkau bersembahyang di depan makam ayah ibuku ... ?"

Ling Ay mendengar ucapan itu, terkejut dan cepat membalikkan tubuhnya. Kedua matanya terbelalak memandan g kepada pria muda yang berdiri di depannya. Keduanya saling berpandangan, Ling Ay terkejut akan tetapi juga ada perasaan gembira menyelinap di dalam hatinya, bercampur keharuan melihat betapa kedua mata pemuda itu basah.

"Houw-koko ...!" Ling Ay berbisik, merasa seperti dalam mimpi setelah kini ia berdri berhadapan dengan orang yang selama ini seringkali muncul dalam mimpinya.

"Ay-moi , eh, maaf Nyonya ... Cia Ling Ay," Bun Houw pemuda itu tengagap.

"Maaf, aku belum mengetahui nama suamimu ...

"

Ling Ay mengerutkan alisnya. Harus diakuinya bahwa biarpun ia selalu merasa rendah diri dalam keluarga suaminya, juga suaminya jelas bersikap agak tinggi hati dan memandang rendah kepadanya, namun suaminya kelihatan sayang kepadanya, iapun selama setahun ini sudah berusaha untuk bersikap manis kepada suaminya, melayaninya dengan usaha untuk menyenangkan hati suaminya. Namun, harus diakuinya bahwa di lubuk hatinya, ia tidak mempunyai perasaan cinta kepada suaminya! Dan sekarang, berhadapan kembali dengan Bun Houw, setelah perpisahan selama enam tahun, setelah ia menjadi seorang wanita dewasa dan Bun Houw juga menjadi seorang pria dewasa, baru ia merasa bahwa sesungguhnya ia mencinta bekas tunangannya ini! Dan kenyataan ini mendatangkan perasaan nyeri dalam hatinya, seolah-olah jantungnya tertusuk-tusuk dari dalam.

"Houw-ko ... kau ... kau sudah tahu ... ?" pertanyaan ini masih dilakukan dalam bisik-bisik sehingga ia khawatir pemuda itu tidak dapat mendengarnya. Ia tidak tahu bahwa kini pendengaran pemuda itu luar biasa ketajamannya. Bahkan suara-suara halus yang tidak mungkin dapat ditangkap oleh pendengaran orang biasa, dia mampu mendengarnya, maka tentu saja bisikan Ling Ay itu sudah cukup jelas baginya.

Bun Houw mengangguk dan dia meletakkan butalan kain yang dibawanya ke atas tanah berumput, di depan makam ayah ibunya.

"Sejak tadi aku sudah melihat engkau, ayah ibumu, dan ... suamimu. Ah, benar, aku belum menghaturkan selamat kepadamu." Pemuda itu lalu bangkit lagi dan mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat sambil berkata,

"Kiong hi (selamat), engkau telah mendapatkan seorang suami yang tampan, berwibawa dan kaya raya. Agaknya dia seorang pembesar tinggi, bukan?"

Ada perasaan bangga menyelinap di hati Ling Ay, perasaan bangga yang diikuti perasaan nyeri dan juga iba kepada pemuda di depannya itu. Ia mengangguk dan berkata lirih,

"Dia putera kepala daerah Cun di Nan-ping."

"Ah! Kiranya engkau menjadi mantu kepala daerah? Sungguh, aku harus menghaturkan selamat untuk kedua kalinya. Bun Houw mengeraskan hatinya yang tadi menjadi lemah dan terharu ketika bertemu dengan Ling Ay, dan dia berusaha untuk bersikap bijaksana.

"Toanio, sungguh aku merasa ikut berbahagia melihat keadaanmu dan ... terus terang saja, walaupun pertemuan ini menggembirakan hati, namun sebaiknya kalau toanio kembali ke sana, tidak baik dilihat orang kita bicara berdua saja di sini ...

"

"Tapi ... tapi kita adalah sahabat lama ...!" Ling Ay membantah dan pada saat itu terdengar seruan suara seorang wanita.

"Ling Ay ... ! Mau apa engkau berada di sini ...

" Muncullah seorang wanita yang menurut penglihatan Bun Houw berpakaian terlalu menyolok, terlalu mewah sehingga hampir dia tidak mengenal lagi ibu Ling Ay atau Nyonya Cia Kun Ti! Akan tetapi ketika nyonya setengah tua itu menoleh kepadanya, dia segera mengenalnya dan cepat Bun Houw bersoja (dirangkap kedua tangan depan dada) sambil membungkuk.

"Bibi Cia, selamat berjumpa ...!" katanya sopan.

Wanita itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Memang terjadi perubahan besar pada diri Bun Houw. Dia bukan lagi seorang pemuda remaja seperti enam tahun yang lalu. Kini dia telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia duapuluh satu tahun yang bertubuh tegap, pakaiannya sederhana sekali. Akhirnya, wanita itu mengenalnya, hal yang mudah saja karena ia tadi melihat pemuda itu berada di depan makam keluarga Kwi, dan puterinya bicara dengan pemuda itu. SiApalagi kalau bukan Kwa Bun Houw.

"Huh, engkaukah ... ?" katanya dengan sikap angkuh karena memang hati nyonya ini merasa tidak enak dan marah melihat puterinya bicara dengan bekas tunangannya itu. Ia lalu memegang lengan Ling Ay dan menariknya pergi diri situ.

"Ling Ay, hayo kita kembali. Suamimu mencarimu!" Ia sengaja menekankan kata "suamimu" seolah olah hendak memperdengarkannya kepada Bun Houw. Ling Ay tidak membantah dan membiarkan dirinya ditarik ibunya pergi dari situ. Akan tetapi ia masih menoleh satu kali dan memandang kepada Bun Houw yang cepat berkata sambil tersenyum.

"Terima kasih bahwa engkan sudi bersembahyang di depan makam ini!"

Cia Kun Ti yang muncul di belakang isterinya, kini berdiri berhadapan dengan Bun Houw. Melihat ayah Ling Ay. Bun Houw segera memberi hormat.

"Paman Cia. selamat berjumpa."

"Aih, Bun Houw, kiranya engkau ? Engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa. Kemana saja engkau selama bertahun-tahun ini ?" seru Cia Kun Ti dengan kegembiraan yang wajar dan tidak dibuat-buat.

Melihat ini, senang rasa hati Bun Houw. Sikap ayah kandung Ling Ay ini sungguh berbeda jauh dengan sikap ibunya.

"Ah, hanya merantau saja kesana sini meluaskan pengetahuan, paman. Kebetulan hari Ceng Beng ini saya kembali ke Nan-ping, untuk bersembahyang di sini."

Sejenak Cia Kun Ti melihat pemuda itu mengatur peralatan sembahyang di depan kedua makam itu. Pemuda itu hanya membawa beberapa macam buah dan kembang sebagai korban.

"Dan selanjutnya, apakah engkau akan kembali tinggal di Nan-ping? Kalau engkau hendak mulai lagi berdagang seperti mendiang ayahmu, aku suka menbantumu. Bun Houw. Aku dapat menanggung sehingga engkau akan memperoleh dagangan dengan pembayaran cicilan, aku suka membantumu karena aku adalah sahabat baik mendiang ayahmu."

Bun Houw tersenyum dan memandang dengan hati terharu. dia memberi hormat lagi.

"Terima kasih banyak atas kebaikanmu, paman Cia. Di Nan-ping saya sudah tidak mempunyai apa-Apalagi, bagaimana dapat berdagang ? Pula, saya tidak suka berdagang, saya lebih suka merantau."

Cia Kun Ti menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, kegagalannya berbesan dengan sahabat baiknya, mendiang Kwa Tin, sampai sekarang kadang-kadang membuat dia merasa menyesal bukan main dia mengenal benar sababat baiknya itu. dan tahu bahwa Kwa Tin seorang yang gagah perkasa dan berhati mulia, dan diapun suka sekali kepada Bun Houw ini. Hanya karena pengaruh isterinya, terpaksa dia membiarkan anaknya tidak menjadi isteri Bun Houw, dan menjadi isteri putera kepala daerah. dia mencoba-coba untuk menghibur hatinya, dan mengatakan kepada diri sendiri betapa bahagia hidupnya karena kini dia menjadi ayah mertua seorang mantu bangsawan yang membuat dia seorang terhormat. Namun, usahanya ini selalu gagal. Dia melihat kenyataan betapa kehormatan yang diperolehnya sebagai besan kepala daerah adalah kehormatan semu, atau kehormatan yang diperlihatkan orang-orang secara palsu dan pura-pura belaka. Bahkan dia merasa yakin babwa banyak penduduk Nan-ping yang diam-diam mentertawakan dia dan isterinya, Apalagi kalau isterinya berlagak seperti nyonya bangsawan! Dan yang lebih menyakitkan hatinya lagi adalah sikap keluarga besannya. Bukan hanya kedua orang besannya, juga mantunya sendiri seringkali bahkan memandang rendah kepada mereka. Sebagai contohnya, kalau mantunya membutuhkan sesuatu untuk dibicarakan, mantunya itu bukan datang ke rumah mertuanya, melainkan mengutus seorang petugas untuk memanggil mertuanya. Cia Kun Ti merasa seolah olah menjadi semacam bawahan saja dari mantunya.

"Heii, mau apa engkau di situ terus? Kita mau pulang sekarang! Terdengar teguran dan ternyata Nyonya Cia Kun Ti yang menegur suaminya itu dari tempat agak jauh. Baru teriakannya itu saja sudah sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang nyonya bangsawan yang halus budi pekertinya Cia Kun Ti menarik napas panjang, kembali merasa betapa dia kini sebagai seorang pelayan saja. Dia dan isterinya. Pelayan dari mantunya, putera bangsawan! Dia dan Isterinya, bahkan puteri mereka, seolah hanya menjadi pelengkap hidup Cun Hok Seng putera kepala daerah.

"'Bun Houw, aku pergi dulu. Kuharap engkau suka singgah di rumahku. Jangan sungkan, Ling Ay kini telah tinggal di rumah suaminya. Aku kadang merasa kesepian. Engkau singgahlah, Bun Houw. Biarpun engkau tidak menjadi mantuku, engkau tetap putera seorang sahabatku terbaik."

Bun Houw merasa terharu dan cepat memberi hormat.

"Entahlah, paman, akan tetapi sikap dan ucapan paman ini akan selalu teringat olehku dan kuanggap paman seorang sahabat ayahku yang amat baik. Terima kasih, paman." Cia Kun Ti lalu pergi meninggalkan Bun Houw, bergabung dengan isteri dan anaknya dan kembali dia merasa sebagai pelengkap ketika mengikuti rombongan itu melangkah keluar dari tanah kuburan. Dia merasa muak kalau menoleh dan memandang kepada isierinya yang melangkah perlahan seperti seorang permaisuri saja, mengangguk ke kanan kiri kepada orang orang yang memberi hormat kepada rombongan mereka. Dia tahu bahwa bukan isterinya yang menerima penghormatan itu, melainkan putera kepala daerah yang menjadi mantunya. Akan tetapi yang repot menyambut penghormatan itu malah isterinya, mengangguk ke kanan kiri sambil mengatur senyum "bangsawan"!

Satelah Cia Kun Ti pergi, Bun Houw lalu melanjutkan niatnya untuk bersembahyang kepada mendiang ayah dan ibu kandungnya. Selain bersembahyang sebagai tanda penghormatan terhadap ayah ibunya melalui kenangan, juga diam-diam dia memintakan ampun kepada ayah Ibunya atas perbatalan ikatan perjodohannya dengan Ling Ay. Dia minta agar ayah dan ibunya suka mengampuni Ling Ay, dan orang tuanya, terutama ayahnya, dan dalam sembahyang itu dia menjalakan bahwa dia telah rela melihat Ling Ay digandeng pria lain sebagai isttri pria itu.

Setelah tanah kuburan itu menjadi sunyi karena para pengunjungnya sudah pulang semua. Bun Houw tinggal seorang diri. Dia masih duduk di atas tanah berumput tebal di depan makam ayah ibunya, termenung. Pertemuannya dengan Ling Ay menggugah kenangan lama. Pada hal ketika dia berkunjung ke Nan-ping, satu satunya niat di hatinya hanyalah bersembahyang di kuburan ayah ibunya. Sedikit pun dia tidak berniat untuk bertemu dengan Ling Ay dan keluarganya. Dia menganggap bahwa bubungannya dengan keluarga Cia sudah putus dan sudah tidak ada sangkut paut apapun juga antara dia dan wanita itu.

Bun Houw menarik napas panjang, lalu bangkit dan mulai membersihkan tumput dan semak-semak yang mengotori makam kedua orang tuanya. Dia tidak perlu mengenangkan Ling Ay lagi. Ia sudah menjadi iateri orang, Isteri putera kepala daerah pula! Dia tersenyum. Ling Ay menjadi mantu kepala daerah! Sungguh tidak pernah disangkanya. Sukurlah, katanya dalam hati. Sukur bahwa kini Ling Ay menjadi isteri seorang bangsawan yang kaya, dan suaminya itupun seorang laki-laki muda yang tampan. Tentu Ling Ay hidup berbahagia. Diapun sudah rela, dia ikut berbahagia kalau melihat bekas tunangannya itu hidup berbahagia. Akan tetapi, benarkah ini?

Benarlah dia rela? Bun Houw tiba-tiba menghentikan pekerjaannya dan kembali duduk termenung. Kenapa bayangan wajah Ling Ay yang semakin cantik jelita itu selalu nampak olehnya? Kenapa bukan perasaan senang yang terasa di hatinya, walaupun hatinya memaksa agar dia mengaku senang, melainkan rasa perih kalau dia membayangkan Ling Ay digandeng pria lain ? Kenapa ada perasaan iri dan cemburu?

"Kau gilai" Dia memaki diri sendiri dan seperti orang marah dia mengamuk terhadap rumput dan semak-semak, dicabutinya dengan kasar seolah-olah rumput dan semak itu yang membuat dia sengsara.

Karena dia mempengunakan kekuatan tubuhnya, maka dia dapat bekerja dengan cepat dan dalam waktu sebentar saja, semua rumput dan semak yang mengotori makam itu telah dibersihkannya, sehingga dua gundukan tanah itu kini kelihatan seperti baru saja. Hanya batu nisan sederhana yang masih nampak kotor, dengan ukiran kasar dari nama kedua ayah Ibunya. Bun Houw lalu menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dan batu-batu nisan itu menjadi bersih mengkilap.



Kisah Si Naga Langit Eps 12 Kasih Diantara Remaja Eps 24 Kisah Si Naga Langit Eps 14

Cari Blog Ini