Pedang Naga Kemala 13
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
Perampokan terjadi di mana-mana terhadap para pengungsi atau pencurian terhadap rumah-rumah yang ditinggalkan. Opsir Hellway tentu saja tidak mau tinggal diam melihat keadaan yang gawat itu. Pagi-pagi sekali dia bersama isteri dan puterinya, berkendaraan kereta meninggalkan rumah mereka untuk melarikan diri ke kapal, dikawal oleh belasan orang pengawal kulit putih dan Bangsa India yang membawa senapan. Sheila dan ibunya duduk di dalam kereta itu, sedangkan opsir Hellway dan para pengawal berjaga di luar kereta. Barang-barang berharga beberapa buah peti penuh berada dalam kereta itu pula. Dari dalam kereta, Sheila mengintai melalui jendela kereta dan wajah gadis ini agak pucat. Peristiwa berdarah yang terjadi di kota Kanton itu sungguh mengguncang batinnya dan menusuk perasaannya yang lembut.
Ia tidak suka akan kekerasan dan kini terjadi kekerasan di mana-mana. Ia mendengar tentang perkelahian-perkelahian, di mana banyak orang kulit putih menjadi korban pembantaian akan tetapi lebih banyak lagi penyerbu-penyerbu yang tewas disambar peluru senjata-senjata api orang kulit putih. Permusuhan yang terjadi tiba-tiba ini, kebencian yang memancar dari pandang mata para penduduk, membuat ia terkejut dan ketakutan. Tak disangkanya akan menjadi begini buruk hubungan antara bangsanya dan pribumi. Dan di lubuk hatinya ia menyalahkan semua ini kepada bangsanya sendiri. Pembakaran madat yang amat banyak itu, yang menjadi awal kekacauan ini, keributan dan perkelahian, semua ini menjadi akibat dari pada sebab, dan sebabnya terletak pada bangsanya sendiri.
Kalau bangsanya tidak memperdagangkan madat, kalau bangsanya tidak hanya memikirkan keuntungan, dan berhubungan dengan bangsa pribumi sebagai sahabat-sahabat sejati yang bekerja sama atas dasar saling menguntungkan, pasti tidak akan terjadi kekacauan dan pembunuhan-pembunuhan itu. Dari balik tirai jendela kereta, Sheila melihat asap di mana-mana, tanda bahwa ada rumah-rumah yang terbakar. Dan banyak orang lalu lalang, pengungsi-pengungsi yang membawa buntalan, menggendong atau menggandeng anak, wajah-wajah yang ketakutan, kebingungan. Tiba-tiba terdengar letusan-letusan senjata api dan Sheila melihat banyak pria membawa senjata tombak, pedang atau golok, bergerak cepat berkelebatan di luar kereta!
"Cepp...!" Sebatang anak panah menancap di dekat jendela kereta. Sheila cepat menarik dirinya ke dalam kereta.
"Sheila, cepat tutup jendela itu dan berlindung. Jaga ibumu! Kereta kita diserang penjahat!" Terdengar bentakan Ayahnya.
"Ohhh... Tuhan, lindungi kami...!" Ibunya menjerit lirih dan menangis.
"Ibu, tenanglah...!" Sheila merangkul ibunya.
Akan tetapi ia sendiri kehilangan ketenangannya ketika suara tembakan semakin gencar dan teriakan-teriakan para pengepung, mereka yang kena tembak atau terkena anak panah. Karena ingin sekali mengetahui keadaan mereka, Sheila mengintai lagi. Kereta mereka masih berjalan, akan tetapi tiba-tiba kereta terguncang-guncang dan akhirnya berhenti dan miring karena roda sebelah kiri terperosok ke dalam selokan! Alangkah kagetnya melihat bahwa kini yang mengawal mereka tinggal lima orang lagi yang masih sibuk menembakkan senapan ke kanan kiri, dan ia menahan jeritnya ketika melihat Ayahnya terhuyung dan menhampiri kereta dengan dada tertancap anak panah. Ayahnya hampir roboh, bersandar kereta.
"Sheila maklum akan bahaya yang mengancam mereka. Ibunya sudah hampir pingsan melihat suaminya berlumuran darah, maka Sheila lalu setengah menyeretnya keluar dari kereta.
"Larilah... ke pantai... cepat!" kata Ayahnya dan Opsir Hellway ini sambil menahan rasa nyeri menembakkan lagi pistol-pistolnya ke kanan kiri ketika melihat bayangan orang-orang berkelebat. Anak panah masih menyambar-nyambar ganas. Kiranya terjadi pertempuran antara pistol senapan melawan anak panah dari para penyerbu yang kini menyerang dengan anak panah sambil bersembunyi di balik pintu-pintu gerbang, pohon-pohon dan semak-semak. Lima orang pengawal itu melawan mati-matian setelah beberapa orang kawan mereka tadi roboh oleh anak panah. Dan kini karena kereta terperosok, mereka melawan sambil berlindung pada kereta.
"Dor-dor-dorrr...!" Kembali Opsir Hellway menembak secara beruntun dan dua orang penyerbu terpekik dan terjungkal.
"Sheila, cepat...!" Teriaknya. Ibu Sheila menjerit dan tidak mau meninggalkan suaminya, akan tetapi Sheila memaksa ibunya dan menarik tangan ibunya.
"Sheila... aughhh...!" Opsir Hellway tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia sudah terpelanting roboh karena kehabisan banyak darah. Nyonya Hellway menjerit dan berlari kembali menghampiri suaminya setelah berhasil melepaskan rangkulan puterinya. Ia menubruk suaminya dan pada saat itu, sebatang anak panah menyambar dan menembus leher nyonya itu. Ia mengeluarkan suara aneh dan terkulai di atas mayat suaminya.
"Mama...! Papa...!" Sheila menjerit.
"Nona Sheila, larilah ke pantai...!" Seorang pengawal berseru ketika melihat gadis itu hendak kembali ke kereta melihat Ayah bundanya roboh. Mendengar ini, Sheila maklum bahwa kembali ke kereta berarti bunuh diri. Biarpun hatinya merasa berat sekali untuk meninggalkan orang tuanya yang tewas, namun ia tahu bahwa saat itu yang terpenting adalah melarikan diri sampai ke kapal dengan selamat, maka sambil menahan tangisnya yang mengguguk ia lari meninggalkan tempat itu. Pantai tidak jauh lagi, dan banyak orang berbondong lari ke jurusan itu. Akan tetapi, belum jauh ia lari meninggalkan kereta keluarganya yang rebah miring di tepi jalan, tiba-tiba saja muncul tiga orang laki-laki yang tinggi besar, tiga orang yang memegang golok dan yang memandangnya dengan menyeringai. Seorang di antara mereka, yang mukanya bopeng segera tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, sungguh kita untung sekali, kawan-kawan! Kuda betina putih ini menyerahkan diri kepada kita!" kata si bopeng sambil tersenyum cengar-cengir dan mereka bertiga itu mendekati Sheila. Dengan tubuh gemetar gadis itu berkata,
"Ahh... harap jangan ganggu aku. Biarkan aku pergi..." Seorang di antara mereka yang matanya kemerahan mengelebatkan goloknya yang berkilauan saking tajamnya itu ke depan Sheila sehingga gadis itu terbelalak dan mukanya pucat, melangkah mundur.
"kita bunuh saja noni ini, biar kusayat-sayat kulitnya, kupotong sedikit demi sedikit!"
"Aih, sayang kalau dibunuh begitu saja. Lihat begitu montok kelinci ini!" kata orang ke tiga.
"Benar, tidak boleh dibunuh begitu saja. Terlalu enak baginya. Kita permainkan dulu sepuasnya. Heh-heh, sejak kemarin kita kelelahan berkelahi, biar hari ini kita bersenang-senang dan mengaso," kata si muka bopeng yang agaknya menjadi pemimpin mereka dan tiba-tiba saja si muka bopeng menerjang ke depan dan tangan kirinya tahu-tahu sudah mencengkeram lengan tangan kanan Sheila. Gadis ini terkejut dan meronta, berusaha melepaskan tangannya, akan tetapi cengkeraman itu kuat sekali sehingga rontaannya hanya membikin pergelangan tangannya terasa nyeri.
"Lepaskan aku, ahh, lepaskan aku...!"
Gadis itu menjerit-jerit, akan tetapi sambil tertawa-tawa, tiga orang itu kini menangkap kedua tangannya dan si muka buruk menyeretnya ke dalam sebuah bekas rumah orang kulit putih yang sudah hancur dan sebagian sudah terbakar habis. Setelah tiba di ruangan dalam yang penuh dengan bekas-bekas porak poranda, Sheila yang maklum bahwa dirinya terancam malapetaka hebat, meronta-ronta sekuat tenaga. Karena tidak menyangka-nyangka, Sheila dapat melepaskan diri dan lari. Akan tetapi, baru saja dara itu lari sampai di samping bekas gedung itu, si muka bopeng sudah berhasil menubruknya dari belakang sehingga gadis itupun terguling di atas rumput. Akan tetapi ia menyepak-nyepak dan meronta-ronta. Dalam pergulatan ini, gaunnya terobek sehingga nampak pahanya yang berkulit putih. Melihat ini, si muka bopeng menjadi semakin liar.
"Pegang tangan dan kakinya, biar aku dulu baru kalian nanti!" katanya terengah-engah karena Sheila memang bertenaga besar dan gadis ini melawan sekuat tenaga dan mati-matian. Akan tetapi kini, dua orang pria memegangi kaki dan tangannya sehingga ia tidak mampu lagi meronta, hanya menggerak-gerakkan pinggul dan kepalanya saja sambil menjerit-jerit. Si muka bopeng terkekeh dan menubruk.
"Dessss...!" Sebuah tendangan yang amat keras dari samping mengenai pangkal paha si muka bopeng dan tubuhnya terlempar dan terguling-guling.
Dua orang kawannya terkejut dan marahlah mereka ketika melihat bahwa yang menendang kawan mereka itu adalah seorang laki-laki yang berpakaian sederhana dan memakai topi bambu sederhana dan lebar. Laki-laki ini tubuhnya sedang saja, akan tetapi nampak kokoh kuat. Bajunya terbuka di bagian dada, memperlihatkan dada bidang yang ditumbuhi bulu halus. Dari pakaian yang ketat dan ringkas itu, membayang otot-otot lengan dan kakinya. Seorang pria yang nampak kuat sekali, berwajah sederhana namun gagah dan sinar matanya tajam dan jernih penuh kejujuran dan keterbukaan, juga keberanian. Si muka bopeng juga sudah bangkit berdiri, mukanya merah matanya melotot dan dia menyambar goloknya yang tadi diletakkan di atas tanah ketika dia hendak memperkosa Sheila.
"Jahanam keparat!" bentaknya marah sambil mengelebatkan goloknya.
"Siapakah anjing yang tak tahu diri, berani sekali menentang kami Tung-hai Sam-liong (Tiga Naga Laut Timur)?" Pemuda itu adalah Gan Seng Bu. Mendengar julukan yang amat muluk dan besar itu, dia menahan senyum. Sebagai seorang yang selama ini aktip dalam pergerakan menentang pemerintah penjajah, tentu saja dia mengenal tokoh-tokoh di sekitar Kanton. Dan tidak ada golongan pendekar atau tokoh sesat sekalipun di daerah ini yang memiliki julukan seperti itu. Hal ini hanya menunjukkan bahwa tiga orang ini hanyalah bajingan-bajingan kecil yang suka memakai nama-nama besar, akan tetapi tetap saja nama itu tidak terkenal karena tindakan-tindakan mereka hanyalah kejahatan-kejahatan kecil dan rendah saja sehingga nama julukan itupun tidak dihiraukan orang.
Banyak sekali terdapat penjahat-penjahat kecil seperti ini, segala tukang copet, maling dan rampok kecil saja menggunakan nama-nama julukan yang setinggi langit. Akan tetapi kegelian hatinya melihat lagak mereka dan mendengar julukan mereka tidak mengusir rasa muak dan marah dari dalam lubuk hati Seng Bu. Dia memang murid seorang datuk sesat yang teramat jahat seperti Thia-tok itu, akan tetapi di dalam dadanya terkandung api kegagahan yang membuat dia muak melihat tiga orang pria yang kuat hendak memperkosa seorang gadis, walaupun gadis kulit putih sekalipun. Bagi orang-orang yang berjiwa gagah, tidak ada kejahatan yang lebih hina dan rendah dari pada kejahatan pria memperkosa atau menghina wanita dengan kekerasan.
"Kalian berjuluk naga akan tetapi perbuatan kalian lebih hina dari pada tiga ekor cacing busuk!" Seng Bu memaki. Belum habis kata-katanya, si bopeng sudah menyerang dengan goloknya, menggerakkan golok itu yang menyambar dahsyat ke arah leher Seng Bu, disusul oleh dua orang kawannya yang juga sudah menggerakkan golok menyerang pemuda itu. Melihat ini, Sheila terkejut dan merasa ngeri. Gadis ini tadi cepat bangkit duduk setelah tiga orang yang hendak memperkosanya itu melepaskannya dan ia kini berdiri di sudut dengan wajah pucat. Melihat betapa tiga orang laki-laki jahat itu kini menggerakkan golok yang tajam menyerang pemuda gagah yang menolongnya, Sheila tak dapat menahan dirinya berseru nyaring.
"Jangan bunuh dia...! Ah, jangan...!" Akan tetapi teriakannya segera terhenti dan memandang terbelalak. Ia hampir tidak dapat percaya akan pandangannya sendiri.
Pemuda yang menolongnya itu diserang oleh tiga orang lawannya, dengan golok tajam dan tiga batang golok itu menyambar-nyambar ganas. Agaknya sudah tidak mungkin lagi pemuda itu akan dapat menyelamatkan diri dari serangan tiga orang pengeroyoknya. Akan tetapi, secara aneh sekali ia melihat betapa pemuda itu, kini topi bambunya terlepas dari kepala dan tergantung dengan tali kepunggungnya, berloncatan seperti seekor burung saja, menyelinap di antara sinar golok dan begitu pemuda itu menggerakkan kaki tangannya, terdengar teriakan-teriakan keras dan tiga orang penjahat itu tahu-tahu sudah terlempar ke kanan kiri dan terbanting roboh tak mampu bangkit kembali! Entah mati entah hidup, akan tetapi jelas bahwa mereka bertiga itu diam tak bergerak-gerak walaupun tidak nampak ada luka di tubuh mereka.
Pemuda gagah perkasa itu menyambar sebatang golok yang terlepas dari tangan pemiliknya. Sheila tidak mengenal pemuda itu dan tidak tahu orang macam apa adanya pemuda itu. Melihat betapa pemuda itu merobohkan tiga orang pengeroyoknya dan kini memegang golok, hatinya menjadi ngeri dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan kakinya dan lari pontang-panting. Robeknya gaun bagian depan sebatas paha itu malah menguntungkan baginya karena ia dapat berlari kencang dengan langkah lebar. Karena kebingungan dan ketakutan, Sheila malah lari kembali ke arah kereta. Melihat tubuh Ayah ibunya yang masih menggeletak di dekat kereta, Sheila menjerit dan lupalah ia akan rasa takutnya. Ia lalu lari menghampiri mayat-mayat itu dan menubruk mayat ibunya, menangis mengguguk.
"Ibu..., bawalah aku... bawalah aku...!" Tangisnya. Tiba-tiba sebuah tangan yang amat kuat menangkap pergelangan lengan kanannya dan Sheila seketika menghentikan tangisnya. Tubuhnya tiba-tiba ditarik ke atas dan ia terpaksa bangkit berdiri. Dengan air mata berlinang dan muka pucat sekali ia menatap wajah orang yang menariknya. Tasa takutnya berkurang ketika ia melihat bahwa yang menariknya bangun dan kini memegang lengan kirinya itu bukan lain adalah pemuda yang tadi merobohkan tiga orang jahat itu. Sheila terbelalak menatap wajah pria itu, wajah yang gagah sekali akan tetapi yang pada saat itu diliputi kekerasan, kejantanan yang mengagumkan akan tetapi juga mengerikan. Apa lagi melihat tangan pria ini memegang sebatang golok yang demikian tajam dan runcing.
"Le... lepaskan aku..." kata Sheila lirih dan memelas. Pria itu mengendurkan pegangannya, agaknya rasa halus dan lunak dan hangat dari lengan yang dipegangnya itu mengejutkan dan membuatnya risi. Akan tetapi dia tidak melepaskan pegangannya.
"Kau harus pergi dari sini, nona." Akhirnya dia berkata.
"Tidak...! Tidak..., aku ingin bersama Ayah ibuku...!" Ia menengok kembali ke arah dua buah mayat di dekat kereta.
"Nona, jangan bodoh. Mereka itu sudah tewas dan engkau masih hidup. Mari kita pergi dari sini, cepat...!" Seng Bu lalu menarik lengan gadis itu. Sheila meronta dan mempertahankan, akan tetapi ia merasa betapa tenaga pemuda itu luar biasa kuatnya. Ia tetap mogok sehingga tubuhnya terseret sampai berada di sisi lain dari kereta yang miring itu dan kini mayat Ayah ibunya yang berada di balik kereta tidak nampak lagi. Seng Bu berhenti menyeret dan membalik sambil menghardik gadis itu.
"Apakah engkau ingin mati tinggal di sini?" Dibentak secara kasar begitu, Sheila menjadi tersinggung dan timbul kemarahannya. Ia menentang pandang mata pemuda itu dengan sepasang matanya yang jeli akan tetapi yang pada saat itu basah dengan air mata. Sejenak mereka saling tatap dan terpaksa Seng Bu menundukkan pandang matanya, tidak tahan melawan lebih lama. Jantungnya berdebar tegang. Sudah sering dia melihat wanita kulit putih, walaupun dari jarak jauh.
Baru sekarang dia berdekatan, bahkan memegang lengannya yang halus lunak dan hangat. Dari dekat, nampak jelas sekali rambut itu. Rambut yang seperti benang emas, yang pernah membuat dia bergidik ketika melihat untuk pertama kalinya. Tak pernah dia dapat membayangkan bagaimana rambut kepala tidak hitam atau putih beruban, melainkan kuning emas! Dan mata itu. Begitu lebar dan indah, dengan manik mata bukan hitam putih, melainkan biru dan kelihatan dalam seperti lautan biru! Dan kulit yang putih sekali itu, tiada cacat sedikitpun, tidak seperti kulit orang-orang kulit putih yang pernah dia lihat penuh totol-totol merah. Gadis ini cantik bukan main. Buah dada yang hanya separuh tertutup gaun tipis itu nampak begitu padat, membusung dan nampak keras dan penuh. Dia tidak berani memandang lebih lama lagi dan menunduk.
"Nona, engkau akan mati kalau tinggal lebih lama di sini..." akhirnya dia berkata.
"Aku tidak takut mati. Lepaskan dan biarkan aku mati di sini!" jawab Sheila dengan tegas walaupun ia tidak meronta lagi. Seng Bu menjadi marah dan jengkel. Keadaan amat gawat dan berbahaya. Dia termasuk kelompok seperti Thian-te-pang yang tidak memusuhi orang kulit putih karena pada waktu itu, orang kulit putih dianggap malah berjasa dengan menentang pemerintah Mancu. Yang dimusuhi oleh kelompoknya hanyalah pemerintah penjajah dan dalam hal ini, dia sendiri hanya terbawa-bawa dan ikut-ikutan dengan suhengnya saja yang menjadi tokoh penting dalam Thian-te-pang sekarang. Akan tetapi, pada waktu itu pergolakan terjadi di Kanton dan golongan anti orang kulit putih amat banyak dan amat kuat. Mereka adalah pendekar-pendekar yang timbul kemarahannya karena orang kulit putih menyebar madat,
Lalu ada pula golongan-golongan penjahat yang menyelundup atau menyusup ke dalam perjuangan para pendekar ini, mereka ini menyusup untuk dapat merampok rumah-rumah orang kulit putih yang kaya, dengan dalih memusuhi mereka seperti para pendekar. Tiga orang yang tadi dirobohkannya adalah penjahat-penjahat pula. Dia dan golongannya sama sekali bukan pembela orang kulit putih, hanya tidak memusuhi mereka pada saat itu. Kalau tadi dia menyelamatkan gadis kulit putih ini hanya terdorong oleh perasaannya, oleh sifat kegagahannya yang tidak mau membiarkan tiga orang laki-laki memperkosa seorang gadis yang tidak berdaya. Dan kini, setelah bersusah payah menolong, dan hendak menyelamatkan gadis itu dari tempat berbahaya itu, si gadis menolak dan memilih mati!
"Nona, kalau mereka datang dan membunuhmu, hal itu tidak perlu kita pusingkan lagi. Akan tetapi bagaimana kalau mereka membawamu dan memperlakukan seperti tiga orang penjahat tadi? Apakah engkau menghendaki hal itu terjadi atas dirimu?" Ucapan itu seperti sengatan yang menyakitkan. Wajah gadis itu berobah pucat dan ia sudah menengok ke kanan kiri dengan sikap ketakutan.
"Jangan...! Tolonglah aku..."
"Kalau begitu, mari kita pergi. Kita harus cepat pergi dari sini, lebih cepat lebih baik." Baru sekarang Sheila teringat akan pesan Ayahnya. Ia harus cepat pergi ke kapal! Peristiwa yang amat mengguncangkan batinnya tadi sempat membuat ia lupa lagi akan niatnya melarikan diri.
"Ouhhh... tolonglah saya, tolong antarkan saya ke kapal. Saya harus segera pergi ke sana, menyelamatkan diri...!" katanya dan menuding ke arah pantai yang masih agak jauh dari tempat itu.
Seng Bu menengok ke timur. Tentu saja, menggunakan kepandaiannya, dia akan dapat menerobos dan membawa nona ini sampai ke pantai, ke kapal. Akan tetapi ada dua hal yang membuat dia mengambil keputusan untuk tidak melakukan hal ini. Pertama, andaikata dia berhasil melarikan nona ini sampai ke kapal, dia sendiri tentu akan dicurigai dan tidak merupakan hal yang mustahil kalau dia langsung saja ditembak dan dibunuh oleh orang kulit putih. Dan ke dua, entah bagaimana, dia tidak ingin melihat gadis itu pergi meninggalkan dia! Seng Bu menggelengkan kepala.
"Tidak mungkin, nona. Lihat, ada kebakaran-kebakaran di sana. Mereka telah menghadang di jalan dan mereka bahkan akan menyerang kapal-kapal itu. Kalau nona ke sana, sebelum sampai di kapal tentu akan tertawan." Dia tidak berbohong karena kalau Sheila pergi sendirian ke pantai, tentu dara itu akan terhadang dan tertangkap. Tentu saja kalau dia yang membawanya, dengan mengandalkan kepandaiannya, banyak kemungkinan gadis itu akan selamat sampai di pantai! Sheila menjadi bingung. Dengan matanya yang lebar dan basah ia lalu memandang wajah pemuda itu.
"Habis... lalu aku harus pergi kemana?"
"Mari ikut bersamaku, nona. Aku akan menyelamatkanmu. Percayalah, aku akan melindungimu dengan taruhan nyawaku, nona." Sepasang mata yang basah itu terbelalak, penuh keheranan, penuh terima kasih dan keharuan. Kata-kata pemuda itu, apa lagi yang terakhir, menimbulkan kesan mendalam di hati Sheila dan wajah itu nampak demikian simpatik, demikian mengagumkan sehingga terasa ada kedamaian dan keamanan yang menenangkan di hatinya.
"Baiklah, aku tidak tahu harus ke mana... aku tidak punya siapa-siapa lagi..."
"Mari, nona," kata Seng Bu yang melihat bayangan banyak orang datang dari sebelah selatan. Dia menggandeng tangan Sheila, tidak lagi memegang pergelangan lengannya dan menarik gadis itu, diajaknya lari ke barat.
Akan tetapi, baru kurang lebih satu mil mereka berjalan, tiba-tiba Sheila terpekik dan memandang ke depan dengan mata terbelalak. Di depan mereka nampak serombongan orang laki-laki yang jumlahnya dua puluh orang lebih, semua memegang senjata dan nampak mereka itu menyeramkan sekali, dengan senjata di tangan, dengan pakaian kusut, mata beringas dan sikap membayangkan kekerasan. Dan bukan hanya Sheila yang terkejut, akan tetapi Seng Bu juga kaget sekali. Dia mengenal mereka itu sebagai golongan anti kulit putih! Celaka, pikirnya, tak mungkin menyembunyikan kenyataan bahwa gadis yang berjalan di sampingnya adalah seorang gadis kulit putih dan tentu mereka takkan tinggal diam! Dan yang membuat hatinya merasa tidak enak adalah ketika dia mengenal mereka itu sebagai pendekar-pendekar pejuang, bukan orang-orang jahat.
"Maaf, terpaksa aku memperlakukanmu sebagai tawananku!" Seng Bu berbisik dan kini dia sudah menyambak rambut kuning emas yang panjang itu dan menyeretnya.
"Auuwww...!" Sheila menjerit kaget dan ketakutan, tidak mengerti mengapa kini penolongnya bersikap demikian terhadap dirinya. Kini rombongan orang dari depan itu telah berada di situ. Mereka nampak gagah perkasa dan kuat, akan tetapi karena pada saat itu mereka berada dalam suasana perang, di mana semua kebencian ditumpahkan melalui darah, mereka kelihatan beringas dan liar.
"Iblis putih betina!" Terdengar seruan-seruan mereka. Mereka adalah orang-orang yang membenci orang kulit putih dan menyebut orang kulit putih itu"iblis putih." Ramailah dua puluh lima orang itu kini mengurung Seng Bu yang menyeret rambut Sheila. Melihat pemuda ini menyeret rambut Sheila, mereka berteriak-teriak dan tertawa-tawa.
"Hei, kawan!" teriak pemimpin mereka, seorang laki-laki yang berusia lima puluh tahun lebih, berperut gendut dan memegang sebatang ruyung besar.
"Dari mana kau memperoleh iblis putih betina ini dan kenapa tidak langsung saja dibunuh?" Seng Bu tersenyum.
"Aku telah membunuh seluruh keluarganya dan dia kubawa untuk kusiksa di depan makam Ayahku yang
(Lanjut ke Jilid 13)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)
Jilid 13
tewas karena madat. Baru akan kubunuh dia di depan makam Ayah agar disiram dengan darahnya!" Hampir pingsan Sheila mendengar kata-kata penolongnya yang kini menyeret rambutnya itu. Ia menjadi bimbang. Bagaimana kalau benar seperti yang dikatakan pemuda itu bahwa ia sedang dibawa untuk disembelih di atas makam Ayah pemuda ini? Ia bergidik dan hanya merintih di dalam hati, hanya dapat memejamkan mata dan berdoa kepada Tuhan agar melindungi dirinya. Mendengar ucapan Seng Bu, terdengar suara ketawa dan orang-orang itu memuji Seng Bu.
"Bgus, memang iblis-iblis putih patut disembelih semua diatas makam korban madat. Selamat, kawan, semoga kebaktianmu itu diterima oleh arwah orang tuamu," kata si gendut yang lalu memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk melanjutkan perjalanan.
"Hayo cepat!" Seng Bu menghardik Sheila dan mendorongnya sehingga gadis itu terhuyung dan jatuh bangun, ditertawai oleh rombongan orang itu. Akan tetapi tiba-tiba seorang di antara rombongan itu berseru,
"Haiii! Ia adalah puteri Opsir Hellway!" Seng Bu tidak memperdulikan seruan itu karena dia sendiripun tidak tahu siapa adanya gadis ini, akan tetapi tiba-tiba si gendut berteriak keras,
"Hai, kawan. Berhenti dulu!" Dengan sikap tenang, sambil memegang lengan Sheila, Seng Bu berhenti dan membalikkan tubuhnya. Si gendut itu dengan langkah lebar menghampirinya, diikuti seorang laki-laki bermata juling.
"Benarkah katamu, A-kong?" tanya si gendut kepada si mata juling. Si mata juling mendekat dan sepasang matanya yang juling meneliti Sheila. Gadis inipun merasa seperti pernah melihat laki-laki bermata juling ini.
"Tidak salah lagi! Ketika aku mengunjungi keponakanku yang bekerja sebagai pelayan di rumahnya aku pernah melihat gadis ini!" kata si juling dan sekarang Sheila teringat bahwa memang si juling ini pernah mengunjungi seorang di antara para pelayannya yang oleh pelayan itu diperkenalkan sebagai seorang pamannya dari dusun. Si gendut kini menghadapi Seng Bu.
"Kawan, gadis ini adalah puteri Opsir Hellway."
"Kalau begitu, mengapa? Aku tidak tahu siapa, akan tetapi siapapun gadis ini, ia harus menjadi korban di makam Ayahku!" kata Seng Bu dengan sikap tenang.
"Tidak, kawan. Ia puteri opsir, merupakan tangkapan penting. Ia harus kami bawa sebagai tawanan penting. Pemimpin kami akan girang sekali mendapatkan tawanan opsir itu. Opsir itu di samping Kapten Elliot merupakan musuh-musuh besar, dan puterinya tentu merupakan tawanan penting sekali!"
"Tidak bisa. Akulah yang menangkapnya dan ia adalah tawananku!" kata Seng Bu. Si gendut mengerutkan alisnya.
"Kawan, kami adalah para pejuang, dan dalam perjuangan, urusan pribadi harus dikesampingkan. Berikan gadis ini kepada kami dan jasamu akan kami catat, kami laporkan kepada atasan kami!"
"Aku tidak perduli. Gadis ini menjadi tawananku dan siapapun tidak boleh merampasnya!"
"Kau mau menjadi pengkhianat?" Bentak si gendut.
"Aku bukan anak buahmu, aku tidak mengkhianati siapa-siapa."
"Tidak perlu banyak cakap, rampas saja gadis itu!" terdengar teriakan-teriakan. Seng Bu maklum akan gawatnya keadaan, maka cepat ia menotok jalan darah di pundak Sheila yang membuat gadis itu seketika menjadi lemas dan tidak mampu bergerak, kemudian dengan tangan kirinya Seng Bu memondong tubuh yang lemas itu di atas pundak kirinya. Sejenak jari-jarinya menyentuh kulit daging yang lunak dan halus, akan tetapi semua perasaan aneh ini ditekannya dan diapun meloncat ke depan.
Orang-orang itu berteriak-teriak dan beberapa orang sudah menghadang. Akan tetapi Seng Bu menerjang mereka dan empat orang terpelanting ke kanan kiri ketika kaki tangannya bergerak. Seng Bu hanya menggerakkan golok untuk menangkis senjata-senjata yang diarahkan kepadanya, terutama sekali untuk menjaga agar tubuh yang dipondongnya tidak sampai terkena bacokan atau tusukan. Begitu goloknya menangkis sambil mengerahkan tenaganya, dia membuat beberapa buah senjata lawan beterbangan. Tentu saja orang-orang itu merasa terkejut bukan main. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu demikian lihainya. Hal ini menimbulkan kecurigaan mereka dan mereka lalu mengepung. Si gendut yang memegang ruyung besar itu lalu menubruk, menggerakkan ruyungnya menghantam ke arah tubuh Sheila yang dipanggul di atas pundak kiri Seng Bu.
"Wuuuutttt... tranggg!!" Golok Seng Bu menangkis dan si gendut hampir terpelanting. Dia mengeluarkan seruan kaget. Si gendut yang memimpin kelompok orang itu terkenal dengan julukan Gajah Sakti. Dari julukannya ini saja dapat diduga bahwa dia tentu memiliki tenaga yang kuat seperti gajah. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ruyungnya yang besar dan berat itu tadi ditangkis oleh Seng Bu, tubuhnya terpelanting dan hampir saja terlempar! Seng Bu tidak ingin melayani orang-orang itu lebih lama lagi.
Setelah dengan tamparan gagang golok dan tendangan kaki dia merobohkan beberapa orang penghalang di depan, tubuhnya meloncat jauh ke depan. Melihat betapa pemuda itu, sambil memondong tubuh gadis itu, dapat melayang jauh ke depan seperti terbang, semua orang melongo dan menjadi jerih. Kiranya yang mereka keroyok adalah seorang yang memiliki kepandaian sehebat itu! Karena mengejarpun tidak akan ada gunanya, si gendut dan teman-temannya hanya memandang sampai bayangan Seng Bu yang memondong tubuh Sheila lenyap di dalam gerombolan pohon-pohon lebat dalam sebuah hutan. Sampai beberapa lamanya Seng Bu berlari kencang. Bari setelah dia merasa yakin bahwa tidak ada orang yang mengejarnya lagi, dia berhenti dan dengan hati-hati dia menurunkan tubuh Sheila sambil membebaskan totokannya.
Kembali jari-jari tangannya menyentuh kulit daging yang lunak halus dan hamgat ketika dia menurunkan tubuh itu dan hidungnya mencium bau keringat wanita bercampur dengan minyak harum yang keluar dari tubuh dan rambut Sheila. Jantungnya berdebar kencang, akan tetapi Seng Bu dapat menekan batinnya sehingga jantungnya berdenyut normal kembali. Kini Sheila berdiri memandang dengan bengong dan sepasang matanya menatap wajah Seng Bu penuh selidik. Ia sedang menimbang-nimbang, sedang menduga-duga, dengan siapa ia berhadapan, orang macam apa adanya pemuda ini dan baik ataukah buruk niat yang terkandung di hati dalam dada yang bidang itu. Dan diapun kagum bukan main karena kini ia merasa yakin bahwa pemuda ini adalah seorang pendekar ahli silat seperti yang pernah dibacanya dan didengarnya dari dongeng para pelayannya.
"Kau... kembali telah menolong dan menyelamatkan aku dari tangan gerombolan itu."
"Karena itulah kukatakan tadi bahwa engkau harus cepat pergi. Terlalu berbahaya di daerah ini dan banyak sekali rombongan seperti mereka itu."
"Siapakah gerombolan itu?"
"Mereka bukan gerombolan jahat, sama sekali bukan seperti tiga orang bajingan yang menangkapmu pertama kali itu. Tidak, mereka tadi adalah sepasukan patriot, orang-orang gagah yang memusuhi orang kulit putih." Baru dia teringat bahwa yang diajak bicara adalah seorang gadis kulit putih.
"Maaf, aku tidak dapat menyalakan mereka..." Dan dengan berani Seng Bu menentang pandang mata itu. Sheila menarik napas panjang, lalu berkata lirih.
"Tidak, akupun tidak dapat menyalakan mereka!" Ucapan ini mengejutkan dan mengherankan hati Seng Bu dan dialah yang kini memandang wajah gadis itu penuh selidik.
"Apa? Benarkah itu? Mereka memusuhi bangsamu, bahkan membunuh bangsamu, juga orang tuamu terbunuh oleh mereka dan kau tidak menyalakan mereka? Apa maksudmu?" Kembali Sheila menarik napas panjang.
"Bngsaku bersalah, aku sudah sejak lama tidak setuju dengan perdagangan candu mereka. Benda itu berbahaya, meracuni rakyat. Aku melihat akibat-akibat mengerikan dari madat itu. Jadi kalau sekarang bangsamu marah dan memusuhi bangsaku, bagaimana aku dapat menyalakan mereka? Andaikata aku menjadi mereka, akupun akan berbuat demikian!" Seng Bu terbelalak, matanya memandang kagum.
"Aihh, engkau... engkau seorang gadis yang bijaksana sekali!"
"Dan engkau... engkau tentu seorang pendekar yang pandai ilmu silat."
Seng Bu semakin heran.
"Eh, bagaimana engkau bisa tahu tentang pendekar silat?"
"Aku banyak membaca tentang pendekar dan banyak mendengar dari para pelayanku.." Seng Bu mengangguk-angguk.
"Kiranya nona seorang terpelajar. Ah, baru teringat aku bahwa nona, biarpun seorang asing kulit putih, akan tetapi pandai sekali berbahasa daerah dan kata-katamu sopan halus seperti orang terpelajar."
"Sejak berusia empat tahun aku tinggal di sini, tentu saja aku pandai bahasa sini. Benarkah engkau menolongku dengan maksud baik, ingin menyelamatkan aku? Tidak akan kau bawa untuk..." wajah gadis itu memandang jijik.
"Untuk apa. Nona?"
"Untuk kau bunuh di makam Ayahmu agar darah ku membasahi makam Ayahmu...?" Ia bergidik ngeri. Seng Bu menggeleng kepala.
"Tidak, tadi hanya kupakai agar mereka mau membiarkan aku membawamu pergi. Siapa kira ada yang mengenalmu. Jadi kau anak opsir?" Sheila mengangguk.
"Ayah dan ibu telah tewas..." dan tiba-tiba ia menangis lagi, menangis terisak-isak karena teringat akan mayat Ayah ibunya yang menggeletak di dekat kereta. Seng Bu memandang gadis yang kini tak dapat menahan kesedihannya itu. Sheila merasa betapa tubuhnya lemas tak bertenaga lagi setelah kini terlepas dari bahaya dan teringat akan Ayah bundanya. Ia menjatuhkan diri duduk di atas rumput, tak memperdulikan betapa pakaiannya menjadi kotor. Ia menutupi muka dengan kedua tangan, akan tetapi isaknya makin keras dan air mata mengalir keluar dari celah-celah jari tangannya. Seng Bu merasa kasihan sekali dan diapun menghiburnya dengan suara lirih.
"Sudahlah, nona. Mereka sudah tewas, ditangisi sampai bagaimanapun tidak ada gunanya. Yang sudah mati tidak perlu dipikirkan lagi, yang penting memikirkan yang masih hidup dan engkau masih hidup, nona."
Seng Bu bukan orang yang pandai mengatur kata-kata, maka ucapan yang keluar dari lubuk hatinya ini walaupun mempunyai maksud yang amat baik, namun tidak dimengerti oleh Sheila dan gadis itu menjadi makin mengguguk karena seolah-olah diingatkan oleh pemuda itu bahwa hanya ialah seorang yang masih hidup seorang diri saja di dunia yang penuh bahaya ini, di sebuah negeri asing yang kejam terhadap dirinya. Melihat seorang gadis menangis demikian sedihnya, hal yang baru pertama kali ini dialami oleh Seng Bu, hati pemuda ini diliputi keharuan dan rasa kasihan yang mendalam dan suara tangis itu demikian memilukan hatinya sehingga tanpa disadarinya lagi kedua matanya menjadi basah!
"Aku... aku memang masih hidup... akan tetapi apa artinya? Aku... aku tidak punya siapa-siapa lagi, aku hidup sebatangkara di sini...!" kata Sheila di antara tangisnya.
"Nona, engkau tidak sendirian dalam hal ini. Akupun hidup sebatangkara, tidak punya siapa-siapa lagi, Ayah ibuku juga... sudah mati semua, terbunuh..." Sheila yang tadinya sesenggukan itu tiba-tiba saja menghentikan tangisnya, mengangkat muka dari lindungan kedua tangannya dan dengan mata merah basah memandang wajah Seng Bu, sinar matanya penuh selidik dan kedua alisnya berkerut.
"Orang tuamu... Mereka mati karena... madat...?" Suaranya mengandung penuh kekhawatiran, dan teringatlah ia akan kata-kata ancaman yang dipergunakan oleh pemuda itu kepada gerombolan yang tadi hendak menawannya. Seng Bu menggeleng kepala.
"Sama sekali tidak. Mereka tewas... karena kekacauan yang timbul oleh pemberontakan. Aku melihat... mereka terbunuh tanpa dapat berbuat apa-apa..." Seng Bu menghentikan kata-katanya dan kesedihan memenuhi hatinya karena percakapan itu mengingatkan dia akan keadaan dirinya sendiri, akan kematian Ayah bundanya dan akan semua kesengsaraan yang pernah dialaminya dan baru sekali ini dia bicarakan dengan orang lain.
Tanpa terasa olehnya, kedua matanya menjadi basah, bahkan ada dua butir air mata mengalir turun di atas pipinya. Melihat betapa pemuda yang demikian gagah perkasa itu menitikan air mata, Sheila menjadi terharu sekali. Gadis ini kini tidak merasa begitu berduka lagi, melainkan terharu dan kasihan kepada Seng Bu. Kini air mata yang jatuh menitik dari kedua matanya berbeda lagi dengan air matanya yang tadi, seperti juga air mata yang jatuh dari mata Seng Bu berbeda dengan air mata yang membasahi kedua matanya sebelum dia terkenang akan keadaan dirinya sendiri. Tangis merupakan suatu peristiwa amat penting dari kehidupan, bahkan air mata tidak terpisahkan dari kehidupan seorang manusia.
Kebohongan besarlah kalau seorang mengatakan bahwa dia tidak pernah menangis! Setidaknya, tentu dia pernah menangis dalam hatinya. Dan tentu dia banyak menangis pula di waktu masih kecil, setiap hari menangis entah berapa kali. Bahkan menurut penyelidikan para cendekiawan, tangis merupakan suatu keharusan bagi manusia karena tangis merupakan obat yang amat mujarab, merupakan suatu pelepasan segala ganjalan, pelampiasan segala kekecewaan dan kemarahan. Tanpa tangis, mungkin usia manusia menjadi lebih pendek dari pada kepanjangan usia pada umumnya seperti sekarang ini. Tangis bukan hanya menjadi tanda kedukaan hatinya, bahkan kegembiraan yang besar, manusia menitikkan air mata seperti orang menangis.
Kegembiraan besar mendatangkan keharuan yang membuat orang menangis pula. Agaknya hanya dalam suara tangis sajalah terdapat suatu kesungguhan, suatu kewajaran, walaupun tentu saja ada tangis yang dibuat-buat. Betapapun juga, tangis tidaklah sepalsu tawa. Suara pertama dari manusia adalah tangis. Begitu terlahir, manusia dari bangsa apapun juga, mengeluarkan suara pertama itu, ialah menangis. Dan suara ini adalah suara kemanusiaan, suara suci karena dikeluarkan dari mulut manusia sebagai gerakan pertama kali, keluar tanpa dikehendaki, suara yang sama sekali tidak mengandung emosi, atau pamrih. Karena itu, suara yang wajar ini dikenal oleh seluruh manusia di dunia tanpa membedakan bangsa dan bahasa, menjadi satu-satunya suara yang amat dekat dengan manusia berbangsa apapun juga.
Dari suara tangis, kita tidak akan mampu membedakan apakah tangis itu keluar dari mulut seorang berbangsa ini atau itu. Kelahiran manusia diiringi tangis, tangisnya sendiri. Kematiannyapun diiringi tangis, tangis mereka yang ditinggalkan. Kehidupan itu sendiri, antara lahir dan mati, penuh dengan selingan tangis! Sesungguhnya, tangis merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari hidup, dan tangis merupakan pertanda dari keadaan batin yang macam-macam pula. Tangis duka didasari oleh rasa iba diri, seperti yang dilakukan oleh Sheila dan Seng Bu ketika keduanya teringat akan keadaan diri mereka masing-masing. Ada pula tangis haru yang didasari oleh rasa iba terhadap orang lain. Ada tangis karena kegembiraan yang besar. Tangis karena kemarahan. Tangis merupakan pencerminan keadaan batin yang diusik emosi.
Demikian dekatnya tangis dengan kehidupan kita sehingga tangis inipun mudah sekali menular. Berada di antara banyak orang yang sedang menangis, sukarlah bagi kita menahan diri agar tidak ikut menitikkan air mata. Gan Seng Bu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, yang sejak kecil sudah digembleng oleh keadaan yang pahit, oleh kesukaran, kemudian digembleng ilmu oleh seorang datuk sesat yang sakti. Semenjak menjadi murid Thian-tok, dia tidak lagi pernah menangis, seolah-olah hatinya telah membeku. Hanya karena memang pada dasarnya dia tidak suka akan kejahatan, dan memiliki watak gagah perkasa, maka dia tidak terseret oleh watak gurunya yang aneh, jahat dan amat kejam itu. Akan tetapi, begitu bertemu dengan Sheila, terjadilah perobahan yang besar dan luar biasa, yang membuat Seng Bu sendiri menjadi bingung dan terkejut.
Dalam waktu sehari, bahkan baru beberapa jam saja, setelah bertemu dengan Sheila, dia beberapa kali mengalami guncangan batin, jantungnya berdebar penuh ketegangan, penuh kekhawatiran, dan lebih hebat lagi, kini dia sampai dua kali menitikan air mata dalam keadaan yang berbeda! Pertama, keharuan dan iba terhadap diri gadis itu membuat dia tidak dapat menahan air matanya, dan kini, setelah teringat akan keadaan diri sendiri, dia menitikkan air mata karena iba diri dan duka. Kedukaan, saling iba, dan persamaan nasib itu mendekatkan dua hati yang bertemu dalam keadaan yang demikian mengharukan dan menyedihkan. Mereka duduk di atas rumput, kini tidak bicara, hanya sinar mata mereka saling pandang dengan penuh getaran perasaan.
"Engkau sungguh patut dikasihani, nona." Akhirnya Seng Bu berkata untuk menghibur hati sendiri. Memang tidak ada cara yang paling mujarab untuk mengobati kesedihan diri sendiri dari pada mengalihkan perhatian kepada nasib lain orang, sehingga iba diri berobah menjadi iba kepada orang lain.
"Engkau lah yang patut dikasihani," jawab Sheila. Mereka saling merasa kasihan, dan mereka sama sekali tidak sadar bahwa rasa iba ini merupakan jembatan yang dekat sekali untuk menyeberang kepada cinta asmara.
"Tidak, nona. Aku adalah orang dari negeri ini, dan aku langsung terlibat, bahkan aku juga ikut aktip dalam pergolakan sehingga sudah sepantasnya kalau aku menjadi korban gelombang ini. Akan tetapi engkau, engkau seorang asing dan engkau sama sekali tidak tahu-menahu tentang semua ini... dan engkau menjadi korban..."
"Tidak! Pandanganmu itu keliru, sahabat yang gagah. Setiap orang tentu menjadi sebab dari pada akibat yang menimpa dirinya sendiri. Ayah bertugas di sini, dan Ayah ikut pula mendorong kereta kejahatan yang berupa penyelundupan madat ke negeri ini. Itulah sebab terjadinya musibah hari ini. Dan apa bila ada angin ribut melanda, angin tidak memilih pohon apa saja tentu akan dilandanya, daun apa saja, bunga apa saja mungkin rontok oleh amukan angin dan badai. Biar aku tinggal di negeriku sendiri, kalau di sana terjadi badai seperti di sini, kalau terjadi pergolakan, mungkin saja aku tertimpa dan menjadi korban. Dalam hal ini, aku tidak menyalahkan siapa-siapa, melainkan kesalahan pihakku sendiri, orang tuaku dan bangsaku." Seng Bu tertegun. Demikian mendalam arti kata-kata gadis itu, demikian bijaksana sehingga sukar ditangkapnya secara jelas, namun samar-samar dia dapat mengerti. Memang gadis itu seorang yang bijaksana, luas pengetahuannya biarpun usianya masih muda, karena ia banyak membaca.
Bacaan, kalau dilakukan dengan tekun, kalau dilakukan dengan pencurahan perhatian, merupakan sumber pengetahuan dan pengertian dan memupuk kebijaksanaan. Seorang bijaksana akan melihat bahwa segala akibat itu tentu bersebab, dan kalau diteliti, maka segala akibat yang menimpa diri sendiri sudah pasti sebabnya bersumber pada diri sendiri pula. Kita sudah terbiasa sejak kecil untuk mencari kesalahan di luar diri sendiri, untuk mencari kambing hitam atau keranjang sampah. Hal ini sama sekali tidak ada manfaatnya, bahkan mengeruhkan pikiran, menimbulkan dendam dan permusuhan, kebencian kepada yang berada di luar diri. Mengapa kita tidak pernah mau menjenguk ke dalam diri sendiri untuk mencari sebab dari pada setiap akibat yang timbul dan yang menimpa diri kita sendiri?
Bukankah hal ini timbul karena kita sudah membuat dan menciptakan sebuah gambaran tentang diri kita sendiri, sebuah gambaran yang menjadi raja "Aku"? Aku yang paling baik, paling benar, dan paling patut dikasihani, menjadikan kita menjadi rendah diri atau tinggi hati, satu di antara dua. Keakuan yang membuat kita enggan untuk mencari kesalahan pada diri sendiri. Kalau kita tertipu seseorang, kita condong untuk mencurahkan semua perhatian kepada si penipu, menyalahkannya, menuntutnya, membencinya, mendendam dan mencari jalan untuk membalasnya berikut bunganya. Mengapa kita tidak menghentikan pencurahan keluar itu dan mencari sebabnya dalam diri sendiri? Kalau kita melakukan hal itu, maka akan nampaklah oleh kita sebabnya yang terutama adalah pada diri kita,
Yaitu karena kita lengah, karena kita bodoh, karena kita lemah, maka kita sampai tertipu. Pengamatan terhadap diiri sendiri ini jauh lebih besar manfaatnya, dapat membuat kita sadar dan menganggap peristiwa itu sebagai suatu pengalaman berharga, sebagai pelajaran sehingga selanjutnya kita akan berhati-hati, akan waspada sehingga tidak sampai tertipu lagi. Pandangan keluar, sebaliknya, mendatangkan emosi, dendam dan kebencian dan tidak akan menambah kewaspadaan kita sehingga kelak mungkin saja hal yang sama terulang lagi karena kelengahan kita sendiri. Dalam menghadapi setiap peristiwa yang menimpa kita, demikian kata orang bijaksana, kita tidak menyalahkan Tuhan tidak mengutuk Setan, melainkan mencari sebab-musababnya dalam diri kita sendiri!
"Nona, engkau tabah menghadapi semua penderitaan, membuat aku kagum sekali," akhirnya Seng Bu menyatakan kekaguman hatinya.
"Aku bukan apa-apa kalau dibandingkan denganmu, sobat. Engkau gagah perkasa, engkau berbudi mulia, biarpun aku seorang asing sama sekali bagimu, bahkan dari bangsa asing yang telah banyak menimbulkan kesengsaraan kepada bangsamu, engkau masih mau menolongku, bahkan melindungiku dengan taruhan nyawa. Bolehkah aku mengenal namamu?"
"Namaku Gan Seng Bu, hidup sebatangkara saja di dunia ini."
"Gan Seng Bu? Nama yang gagah."
"Dan engkau siapakah, nona?"
"Namaku Sheila."
"Sheila...? Sheila...?" Seng Bu tidak memberi komentar, akan tetapi beberapa kali bibirnya bergerak menyebut nama Sheila dengan lembut dan tidak kaku. Diam-diam Sheila merasa girang bahwa namanya Sheila, sebuah nama yang tidak akan sukar terucapkan oleh mulut pribumi yang sukar menyebut huruf "r." Coba namanya Margaret atau lain nama yang menggunakan huruf itu tentu akan sukar bagi Seng Bu untuk menyebutnya. Tidak, nama Sheila tidak sukar bagi lidah Seng Bu.
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biarlah aku menyebutmu Seng Bu saja dan engkau menyebutku Sheila tanpa nona, bagaimana?" Ketika Seng Bu mengangguk tersenyum, Sheila juga tersenyum dan pada saat itu keduanya sudah lupa sama sekali akan keharuan dan kesedihan mereka tadi. Memang, suka atau duka hanyalah permainan pikiran belaka yang menimbulkan emosi, kalau pikiran tidak lagi tertuju kepada hal itu, tentu tidak ada pula duka atau suka!
"Seng Bu, setelah engkau mengajakku sampai ke tempat ini, lalu selanjutnya bagaimanakah? Aku seharusnya pergi ke kapal dan menyelamatkan diri dengan orang-orang kulit putih lainnya. Akan tetapi jalan ke sana sudah terputus dan aku berada di sini. Bagaimana selanjutnya? Engkau tidak akan meninggalkan aku begini saja di sini, bukan?"
"Aih, tentu saja tidak, Sheila. Aku tidak akan berbuat kepalang tanggung. Aku sudah berani mengajakmu ke sini, aku harus dapat mempertanggungjawabkan dan selanjutnya aku akan melindungimu sampai... sampai engkau selamat benar." Makin yakinlah hati Sheila akan kegagahan Seng Bu, akan kesungguhan hatinya melindunginya dan hatinya mulai pasrah. Ia akan merasa aman kalau selalu berada di dekat pemuda ini, dalam keadaan bagaimanapun juga.
"Terima kasih, Seng Bu. Akan tetapi, ke mana selanjutnya kita akan pergi?" Ia menatap wajah yang gagah itu.
"Apakah engkau mempunyai rumah?" Seng Bu tersenyum dan semua bayangan kekerasan meninggalkan garis-garis wajahnya ketika dia tersenyum. Dia menggeleng kepalanya dan Sheila melihat kuncir rambut yang hitam gemuk dan panjang itu bergoyang di depan dada pemuda itu. Rambut yang hitam mengkilap, gemuk panjang, bagus sekali.
"Aku adalah seorang yang hidup sebatangkara, tidak memiliki apa-apa, Sheila. Juga tidak mempunyai rumah. Akan tetapi untuk sementara ini, aku tinggal bersama kawan-kawan lain di dalam sebuah hutan di mana dibangun pondok darurat besar di mana kami tinggal bersama."
"Kawan-kawan?"
"Ya, kawan-kawan seperjuangan, orang-orang gagah yang mempunyai cita-cita yang serupa, yaitu mengenyahkan penjajah asing dari tanah air."
"Ah, sekarang aku tahu!" Sheila berkata dengan sikap gembira.
"Aku sudah pernah baca dan mendengar tentang pendekar-pendekar patriot yang bercita-cita membebaskan tanah air dari cengkeraman pemerintah Mancu. Ada perkumpulan Tombak Merah, Pintu Besar, Thian-te-pang. Yang manakah perkumpulanmu?" Seng Bu menggeleng kepalanya.
"Aku bebas, tidak terikat perkumpulan yang manapun, Sheila. Akan tetapi ada kukenal mereka itu karena kami setujuan, dan yang kini berkumpul dan bersembunyi di dalam hutan itu, sebagian besar memang anggauta-anggauta Thian-te-pang, sebagian pula adalah pejuang-pejuang sukarela seperti aku, termasuk suhengku yang menjadi tokoh Thian-te-pai yang terkenal pula." Sheila lalu diajak melanjutkan perjalanan oleh Seng Bu, memasuki sebuah hutan besar dan di tengah-tengah hutan itu Sheila dan Seng Bu disambut oleh puluhan orang. Mereka semua terheran-heran melihat munculnya Seng Bu bersama seorang gadis kulit putih yang cantik jelita. Mereka itu semua semua adalah orang-orang yang sejak kecil dididik memusuhi penjajah Mancu, dan merupakan pejuang-pejuang yang ingin meruntuhkan kekuasaan Mancu, tidak mempunyai rasa permusuhan terhadap bangsa kulit putih walaupun hal ini bukan berarti bahwa mereka menyukai orang kulit putih.
Tidak, kebanyakan dari mereka tidak suka kepada orang kulit putih, terutama sekali dengan adanya penyebaran madat. Namun, mereka tidak memusuhi bangsa asing ini secara terbuka. Oleh karena itu, biarpun Sheila disambut dengan penuh keheranan, namun tidak ada yang memusuhi atau ingin mengganggunya. Seng Bu lalu memperkenalkan Sheila sebagai seorang gadis yang kehilangan semua keluarganya yang tewas oleh mereka yang anti bangsa kulit putih dan bahwa dia telah menyelamatkan gadis itu dari gangguan penjahat-penjahat yang hendak memperkosanya. Mendengar ini, orang-orang yang kebanyakan berjiwa pendekar itu ikut merasa simpati dan mereka menyambut kedatangan Sheila dengan sikap ramah, apa lagi setelah mendengar dari mulut Sheila sendiri betapa gadis asing yang pandai bicara daerah ini mengagumi perjuangan mereka.
Sheila pandai bicara daerah, dan sikapnya juga ramah, wajahnya manis menarik, maka sebentar saja semua orang merasa suka dan kasihan kepadanya. Di dalam rombongan besar ini terdapat pula wanita-wanita, ada wanita yang menjadi anggauta keluarga para pejuang itu, ada pula wanita gagah yang memang menjadi anggauta pasukan. Mereka yang tidak suka akan kekerasan bekerja sebagai pelayan dapur umum. Karena adanya para wanita yang menerima Sheila sebagai seorang sahabat, maka gadis inipun merasa senang dan tidak terasing hidup di antara para pejuang itu. Dan lucunya, para wanita di dalam rombongan itu, dan juga sebagian besar di antara mereka, diam-diam menganggap bahwa Sheila adalah pacar atau calon isteri Gan Seng Bu!
Semua orang menganggap hal ini sebagai suatu yang lumrah, bahkan ketika mendengar desas-desus ini, baik Seng Bu maupun Sheila hanya senyum-senyum saja. Hanya ada satu orang yang menerima berita ini dengan alis berkerut, dengan hati yang tidak suka dan orang ini bukan lain adalah Ong Siu Coan! Mula-mula Ong Siu Coan juga bukan merupakan anggauta Thian-te-pang. Akan tetapi sejak kecil dia memang bercita-cita untuk menentang pemerintah Mancu dan berjuang untuk mengusir penjajah dari tanah air. Maka, begitu bertemu dengan perkumpulan seperti Thian-tepang yang terdiri dari orang-orang yang memiliki cita-cita demikian pula, hatinya segera tertarik dan diapun menggabungkan diri.
Dan Siu Coan merupakan seorang pejuang yang gagah perkasa, berilmu tinggi sehingga sebentar saja namanya terkenal sekali di antara orang-orang Thian-tepang, bahkan dia dianggap sebagai seorang tokoh Thian-te-pang walaupun dia tidak menjadi anggauta secara syah. Dalam perkelahian dan penyerbuan terhadap pasukan pemerintah, Siu Coan selalu berada di depan dan dicontoh oleh lain-lainnya, bahkan menjadi pemimpin mereka. Ketika berjumpa dengan sutenya dalam keributan di sekitar Kanton, Siu Coan membujuk sutenya untuk bergabung. Seng Bu tidak memiliki cita-cita seperti suhengnya, namun dia berjiwa pendekar dan melihat bahwa Thian-te-pang terdiri dari orang-orang gagah yang juga membela kau m lemah, diapun tidak berkeberatan untuk menggabungkan diri.
Ketika melihat sutenya pulang ke hutan bersama seorang gadis kulit putih yang cantik, mula-mula Siu Coan hanya tersenyum saja dan menyambut dengan sikap biasa saja. Akan tetapi, aneh sekali, begitu mendengar bahwa gadis itu adalah pacar dan calon isteri Seng Bu, mulailah timbul perasaan tidak enak di dalam hatinya. Dia sendiri tidak tahu bahwa itu adalah permulaan perasaan iri! Mulailah dia memperhatikan Sheila dan makin diperhatikan, makin kagum dia karena baru sekarang dia melihat bahwa Sheila adalah seorang gadis yang cantik sekali, dan memiliki bentuk tubuh yang amat menggairahkan! Perlu diketahui bahwa Thian-tok yang menjadi guru dua orang pemuda itu adalah seorang datuk sesat yang berhati kejam sekali.
Juga Thian-tok, seperti kebanyakan datuk sesat lalinnya, mempunyai watak mata keranjang dan suka menggoda wanita. Memang, setelah usianya tua sekali, yaitu setelah menjadi guru kedua orang muda itu, kegilaannya akan wanita tidaklah seperti dahulu di waktu muda. Dahulu Thian-tok terkenal sebagai pengganggu wanita, tidak perduli wanita itu isteri orang yang sudah mempunyai anak, ataukah gadis yang masih remaja, asal dia tertarik tentu akan diculiknya begitu saja. Ketika dia menjadi guru Siu Coan dan Seng Bu, hanya beberapa kali saja dia menculik wanita dan hal inipun diketahui oleh dua orang muridnya. Diam-diam Seng Bu hanya merasa tidak senang, akan tetapi tidak berani menentang gurunya. Sebaliknya, Siu Coan diam-diam merasa senang dan bahkan mencoba untuk mengintai apa yang diperbuat oleh suhunya.
Dan secara diam-diam pula, di luar tahu sutenya, beberapa kali Siu Coan juga mengikuti jejak gurunya, mengganggu wanita dengan paksa atau dengan halus. Demikianlah, terdapat suatu watak buruk tersembunyi di balik lubuk hati Siu Coan yang kelihatannya bersikap sebagai seorang pejuang, seorang patriot dan pendekar yang gagah perkasa itu. Dan melihat Sheila, timbul pula gairahnya yang didorong oleh perasaan iri dan cemburu terhadap sutenya, apa lagi melihat betapa Sheila selalu bersikap manis dan mesra terhadap Seng Bu. Mulailah dia mendekati gadis kulit putih itu, mula-mula hal ini dilakukan ketika Seng Bu sedang tidak ada, dan secara wajar seperti seorang sahabat. Dibandingkan dengan Seng Bu, Siu Coan lebih pandai bicara, pandai membawa diri dan menyesuaikan diri dengan keadaan sekelilingnya.
Juga dia lebih pandai dalam hal kesusasteraan, lebih luas pengetahuan umumnya, dan tentu saja jauh lebih pandai dibandingkan dengan Seng Bu mengenai tulisan dan bacaan karena di waktu kecilnya Siu Coan pernah bersekolah, tidak seperti Seng Bu yang hanya anak keluarga pemburu yang kasar. Oleh karena itu setelah Siu Coan melakukan pendekatan, tidak mengherankan kalau Sheila cepat tertarik sekali dan nampak bergaul akrab dengan Siu Coan. Sheila kini menjadi semakin kagum saja setelah hidup di tengah-tengah para pendekar dan pejuang itu. Ia mengagumi kejujuran mereka, kegagahan mereka, dan betapa orang-orang ini hanya untuk menunjang sebuah cita-cita membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah, rela hidup demikian bersahaja, kehilangan keluarga, bahkan mempertaruhkan nyawa demi cita-cita mereka. Ia merasa kagum sekali.
Rajawali Hitam Eps 7 Dewi Ular Eps 1 Kemelut Kerajaan Mancu Eps 13