Rajawali Hitam 7
Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
"Nenek Cia, kebetulan sekali keluargamu lengkap, atau masih kurang seorang lagi? Ah, cucumu yang seorang lagi itu tidak masuk hitungan, bukan?"
"Katakan apa keperluanmu datang berkunjung ke tempat tinggal kami?" kata pula Nenek Cia dengan ketus. Ia tahu orang macam apa adanya Thian-te Mo-ong, maka baru bertemu saja ia sudah merasa tidak senang, akan tetapi diam-diam ia juga terkejut melihat Siang Koan Bhok datang bersama Thian te Mo-ong.
"Keluarga Cia sejak dahulu terkenal sebagai orang-orang yang membenci pemerintah Kerajaan Ceng. Akan tetapi kalian lihat sendiri betapa bodohnya memusuhi Kerajaan yang amat kuat. Kini ternyata Kerajaan Ceng mengulurkan tangan persahabatan kepada kalian, maukah kalian menerimanya?"
"Apa? Jadi engkau sekarang sudah menjadi anjing peliharaan Mancu, Thia te Mo-ong? Engkau membujuk kami untuk bersahabat dengan penjajah Mancu? Tidak sudi!
Katakan kepada majikanmu di kota raja bahwa selama kami masih bernapas, kami akan selalu menentang dan memusuhi penjajah Mancu!"
"Ha-ha-ha, sudah kuduga engkau nenek kepala batu akan menjawab begitu. Apa engkau tidak takut terhadap kekuatan kami? Kami diberi wewenang untuk membasmi keluarga Cia kalau kalian membangkang!"
"Jahanam busuk! Kalian akan mengerahkan tenaga pasukan Mancu. Biar ada seribu orang dari mereka, kami tidak takut dan tidak akan mundur!"
"Nenek sombong! Kami tidak perlu menggunakan tenaga pasukan untuk membasmi kalian. Kita boleh bertanding dengan adil dan jujur, satu lawan satu! Siapa di antara kalian yang menjadi jagoan pertama, silakan maju, akan kami lawan dengan seorang di antara kami."
Cia Tin Siong, Cia Hok dan Cia Bhok melangkah maju, akan tetapi Nenek Cia membentak.
"Mundur kalian! Aku sendiri yang akan maju lebih dulu!"
Nenek Cia melompat ke depan dan memalangkan tongkat nya di depan dada, lalu menghardik kepada Thian-te Mo-ong.
"Nah, aku yang maju. Kalian maju satu demi satu atau semua, aku tidak akan mundur!"
"Nenek sombong! Akulah lawanmu dan dayungku akan melumatkan kepalamu yang keras itu!" Siang Koan Bhok membentak dan diapun melompat maju sambil memutar dayungnya. Hal ini memang sudah diatur oleh Thian-te Moong yang sudah mengetahui tingkat kepandaian Keluarga Cia. Yang paling lihai adalah Nenek Cia maka sebelumnya dia sudah mengatur agar Siang Koan Bhok yang menghadapi nenek tangguh itu.
"Bagus, Siang Koan Bhok, aku tidak takut kepadamu!" bentak Nenek Cia dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, tongkat naganya diputar cepat dan dia menyerang dengan dahsyatnya.
"Trangg! Trakk!" Dayung menangkis bertemu dengan tongkat naga dan nenek itu terhuyung ke belakang sedangkan Siang Koan Bhok hanya mundur dua langkah.
Dari akibat pertemuan dua senjata ini saja sudah dapat dilihat bahwa dalam hal tenaga sin-kang, Siang Koan Bhok masih menang setingkat. Namun nenek itu memang seorang yang amat berani. Walaupun ia tahu pula bahwa tenaganya kalah kuat, namun ia menyerang lagi dengan hebatnya.
Tongkatnya menyambar-nyambar ganas mengeluarkan angin pukulan yang mengeluarkan bunyi berciutan. Akan tetapi Siang Koan Bhok yang tidak berani memandang rendah kepada nenek itu dan diapun mengimbangi dengan permainan keras, mengandalkan tenaga sin-kangnya yang memang lebih kuat. Pertandingan itu berlangsung seru dan dahsyat sekali. Angin pukulan tongkat dan dayung baja itu terasa oleh semua yang hadir di situ, terasa menyambarnyambar.
Tin Han yang menonton dari tempat sembunyinya, mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa neneknya kalah tenaga dan mulailah neneknya itu terdesak. Gerakan tongkatnya tidak setangkas tadi. Setelah bertandingan selama seratus jurus lebih, neneknya yang seringkali tergetar ketika senjatanya bertemu dengan senjata lawan itu mulai kehabisan tenaga.
Kekhawatiran Tin Han segera terbukti. Ketika itu, Nenek Cia mengerahkan seluruh tenaganya menghantamkan tongkat naganya, agaknya dengan nekat hendak mengadu tenaga. Tongkatnya menyambar seperti seekor naga yang menyerang dan melihat ini, Siang Koan Bhok juga mengerahkan tenaga pada dayung bajanya, menyambut hantaman itu dengan tangkisan yang amat kuat. Tak dapat dicegah lagi, adu tenaga melalui senjata itupun terjadilah.
Dua senjata panjang itu bertemu di udara.
"Darrr. . . .!!!" Terdengar seperti ledakan ketika dua buah senjata itu bertemu di udara. Siang Koan Bhok terdorong mundur tiga langkah, akan tetapi Nenek Cia terhuyung-huyung dan tongkatnya hampir terlepas dari pegangannya.
Pada saat ia kehilangan tenaga dan keseimbangannya itu, mulutnya juga mengeluarkan darah segar tanda bahwa nenek ini telah menderita luka dalam yang parah, Siang Koan Bhok masih mengayun dayung bajanya, mengirim hantaman ke arah kepala Nenek Cia. Agaknya dia hendak memenuhi ancamannya tadi hendak melumatkan kepala nenek itu dengan dayung bajanya. Pada saat itu tampak sesosok bayangan menyambar dan dayung baja yang sudah menyambar itu tertahan di udara. Siang Koan Bhok terkejut sekali dan menarik kembali dayungnya. Pada saat itu, Tin Han sudah menyambar tubuh neneknya yang terhuyung sehingga tidak sampai terjatuh.
"Nek, bagaimana keadaanmu nek?" tanya Tin Han dan segera dia memegang nadi tangan neneknya. Nadinya berdenyut lemah sekali dan Nenek Cia hanya menggeleng kepalanya, lalu melepaskan diri dari rangkulan Tin Han, duduk bersila mengatur pernapasan.
Thian-te Mo-ong segera melangkah maju dan dengan gembira dia berkata lantang.
"Nah, Keluarga Cia, pihakmu telah kalah. Apakah ada lagi yang berani mencoba-coba untuk maju?"
Sebelum lain orang menjawab, Tin Han sudah melompat berdiri dan dia yang menghadapi Thian-te Mo-ong sambil berkata,
"Akulah yang maju mewakili Keluarga Cia!"
Melihat pemuda itu, Thian-te Moong berkata,
"Siapakah engkau, orang muda?"
"Aku bernama Tin Han, cucu dari Nenek Cia."
Melihat Tin Han yang mereka kira telah tewas itu maju, Cia Kun cepat berkata,
"Tin Han, jangan sembrono. Biarkan aku yang maju!" bentaknya.
Tin Han menghibur ayahnya,
"Ayah, kalau Nenek saja kalah, apakah ayah kira mampu menandingi Siang Koan Bhok? Biarkan aku yang maju untuk mencoba-coba, hitunghitung aku menebus dosa dan kalau aku kalah olehnya, barulah ayah yang maju sendiri," kata-kata Tin Han ini terdengar demikian meyakinkan. Diam-diam Cia. Kun, ayahnya berpikir. Mereka semua telah tahu bahwa Tin Han ternyata Si Kedok Hitam yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Siapa tahu pemuda itu benar-benar akan dapat menandingi Siang Koan Bhok! Maka dia mengangguk lalu mundur. Ketika Cia Tin Siong hendak maju melarang adiknya, Cia Kun memberi isyarat agar Tin Siong membiarkan Tin Han main lebih dulu.
Akan tetapi Thian-te Mo-ong tertawa bergelak. Kini dia tahu bahwa Tin Han adalah seorang cucu lain dari Nenek Cia yang dikabarkan tidak memiliki ilmu silat, melainkan hanya pandai sastra, maka dia mengambil keuntungan ini dan berkata,
"Saudara Siang Koan Bhok telah menangkan pertandingan, harap beristirahat dulu. Biarkan aku sendiri yang akan menghadapi pemuda ini!" Berkata demikian, Thian-te Mo-ong melangkah maju menghadapi Tin Han tanpa mencabut sepasang pedangnya. Jelas bahwa dia memandang ringan lawannya.
"Cia Tin Han, engkau boleh maju menyerangku!" tantangnya.
Tin Han juga bertangan kosong. Dia masih menyimpan pedang Pek-kongkiam di buntalannya. Buntalan pakaian itu kini dia gantungkan pada sebatang cabang pohon yang tumbuh di situ, lalu dengan tangan kosong dia menghadapi lawannya.
Ibunya, Nyonya Cia Kun, memandang dengan penuh kekhawatiran dan tiba-tiba is berkata,
"Tin Han, pergunakanlah pedangku ini!"
Akan tetapi Tin Han menoleh kepadanya dan berkata,
"Tidak usah, ibu. melawan kakek tua ini tidak perlu aku menggunakan pedang. Kedua tangan dan kakiku juga sudah cukup!" Ibunya mengerutkan alisnya mendengar ini dan menganggap ucapan puteranya yang kedua itu sebagai gertak sambal belaka dan ia menjadi amat khawatir. Ia tahu bahwa ilmu kepandaian Thian-te Mo-ong amat tinggi, mungkin setingkat dengan kepandaian suaminya.
Bagaimana kini puteranya yang biasanya lembut dan tidak pandai berkelahi itu berani memandang rendah kepada kakek itu? Akan tetapi karena Tin Han menolak dipinjami pedang, iapun tidak dapat memaksa, hanya menonton dengan hati terguncang dan tegang. Thian-te Mo-ong yang juga mendengar kata-kata Tin Han itu menjadi merah mukanya. Pemuda itu berani memandang rendah kepadanya! Kalau tadinya dia hanya ingin mengalahkan Tin Han, kini timbul keinginannya untuk membunuh pemuda sombong itu.
"Cia Tin Han, jangan banyak bicara. Cepat serang aku!" tantangnya.
"Baik, aku akan menyerangmu dengan pukulan tangan kanan lalu dilanjutkan tamparan tangan kiri. Awas serangan!"
Mana ada orang hendak menyerang memberitahu lebih dulu dengan serangan bagaimana dia akan melakukannya? Dan benar saja, tangan kanannya menyambar dan memukul ke arah dada Thian-te Mo-ong dan ketika kakek itu mengelak, disusul tamparan tangan kirinya menyambar ke arah muka Thian-te Mo-ong. Dan gerakan tangan kiri yang menampar itu sedemikian cepatnya sehingga tidak dapat dielakkan lagi oleh kakek itu yang terpaksa menangkis dengan tangan kanannya.
"Dukk...... Tangkisan itu dilakukan dengan kuatnya akan tetapi akibatnya, Thian-te Mo-ong terhuyung ke belakang!
Bukan main kagetnya kakek ini karena dari pertemuan tangan itu dia mendapat kenyataan bahwa pemuda itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuatnya. Thian-te Mo-ong menjadi marah sekali dan dia segera mengerahkan tenaga sin-kangnya dan menyerang dengan ilmu Pek-swat Tok-ciang (Tangan Beracun Salju Putih) yang amat ampuh itu. Pukulan ini selain mendatangkan hawa dingin yang amat kuat, juga mengandung racun dan siapa terkena pukulan ini tentu akan keracunan dan darahnya dapat menjadi beku karena kedinginan!
�Wuuuttt.. .....!� Pukulan itu menyambar ke arah dada Tin Han, akan tetapi dengan mudahnya Tin Han mengelak.
Thian-te Mo-ong yang merasa penasaran sekali sudah menyusulkan serangan pukulan yang bertubi-tubi. Hawa dingin menyambar ke arah Tin Han. Pemuda ini mengandalkan kecepatan gerakannya untuk mengelak dan ketika dia menangkis dengan tangannya, kembali dua tenaga saling bertemu dan kembali Thian-te Mo-ong terhuyung dan merasa betapa lengannya nyeri dan tulang lengannya seperti bertemu dengan tongkat baja saja. Dia terhuyung ke belakang dan meringis kesakitan dan dalam beberapa gebrakan itu saja maklumlah dia bahwa pemuda itu bukan hanya menggertak sambal atau membual, akan tetapi benar-benar memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Sementara itu, Keluarga Cia yang menonton pertandingan itu, termasuk Nenek Cia yang masih duduk bersila, menjadi kaget, heran dan kagum bukan main. Dalam beberapa gebrakan saja Tin Han mampu membuat kakek itu terhuyung dua kali! Hal ini sama sekali tidak diduga oleh mereka. Ketika mereka tahu bahwa Tin Han adalah Si Kedok Hitam, merekapun hanya menduga bahwa Tin Han telah mempelajari ilmu silat, namun pemuda itu masih kalah oleh neneknya. Akan tetapi kini Tin Han mampu membuat seorang datuk seperti Thian-te Mo-ong terhuyung dua kali hanya dalam beberapa gebrakan saja!
Thian-te Mo-ong maklum bahwa dia terancam kekalahan. Dia menjadi marah sekali dan ketika kedua tangannya bergerak, dia telah melolos sepasang pedangnya. Sambil melintangkan sepa sang pedangnya di depan dada, dia berkata dengan lantang.
"Setan cilik, sekali ini engkau akan mampus di ujung pedangku. Hayo cepat keluarkan senjatamu!"
"Tin Han, pakailah pedang ini!" kembali ibunya berseru.
Tin Han menoleh kepada ibunya dan tersenyum.
"Belum, Belum perlu menggunakan pedang. Biarlah kakek ini menggunakan sepasang pedang pemotong leher ayam itu, aku masih sanggup menghadapinya dengan tangan kosong!"
Semua orang terbelalak! Thian-te Mo-ong adalah seorang datuk dari selatan, ilmu silatnya tinggi, apalagi kalau dia sudah mengeluarkan sepasang pedangnya, dia menjadi lihai bukan main. Nenek Cia sendiri tentu tidak berani menghadapi sepasang pedang Thian to Mo-ong hanya dengan tangan kosong saja! Keluarga Cia menjadi kaget, akan tetapi sekarang mereka menjadi khawatir sekali.
"Hei, Thian-te Mo-ong! Tidak malukah engkau, seorang datuk besar, melawan seorang pemuda bertangan kosong menggunakan sepasang pedangmu? Anak kecilpun akan menertawakanmu dan menganggapmu seorang pengecut, apalagi dunia kang-ouw!" teriak Cia Kun yang merasa khawatir sekali akan keadaan puteranya.
"Aku menggunakan pedang, siapapun juga boleh maju melawanku. Kalau bocah setan ini tidak mau menggunakan senjata, itu adalah salahnya sendiri. Anak setan, keluarkan senjatamu atau engkau akan menjadi setan penasaran tanpa kepala!"
Tin Han bukan seorang yang sombong. Kalau dia tidak mau menggunakan senjata menghadapi sepasang pedang Thian-te Mo-ong, hal itu bukan karena kesombongannya, melainkan dia sudah memperhitungkannya dengan baik bahwa tanpa senjatapun dia akan mampu menandingi kakek itu.
"Thian-te Mo-ong, majulah dan pergunakan pedangmu, aku cukup dengan sepasang kaki dan sepasang tanganku saja!"
Thian-te Mo-ong menjadi merah mukanya saking marahnya. Kemarahan membuat dia kehilangan rasa malunya dan cepat dia memutar kedua pedangnya dan membentak,
"Lihat pedangku!"
Akan tetapi Tin Han memperlihatkan siapa dia yang sesungguhnya. Gerakannya menjadi luar biasanya cepatnya, tubuhnya berkelebatan di antara dua sinar pedang lawan yang bergulunggulung. Gerakan yang lebih cepat dari pada pedang di tangan lawan ini membuat dia leluasa mengelak dan kadang dengan kaki atau tangannya dia menangkis ke arah perge langan tangan lawan. Thian-te Mo-ong hampir tidak percaya kepada matanya sendiri. Pemuda itu lenyap begitu saja ketika pedangnya membacok atau menusuk dan muncul di samping atau di belakangnya. Dia menyerang dengan membuta dan limapuluh jurus telah lewat tanpa dia mampu menyentuh ujung baju pemuda itu dengan sepasang pedangnya.
Tin Han menggunakan gerakan seperti seekor burung rajawali. Ketika sepasang pedang membacok dengan cara bersilang seperti mengguntingnya, tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas dan ketika turun, kedua tangannya sudah menyambar ke arah kepala Thian-te Mo-ong. Kakek ini terkejut sekali melihat pemuda itu menukik dan mencengkeram ke arah kepalanya. Dia melempar diri ke samping dan sepasang pedangnya membacok. Akan tetapi tubuh Tin Han sudah berjungkir balik dengan cepat sekali dan tahu-tahu pemuda itu telah berada di belakang tubuh Thian-te Moong dan sekali tangannya menampar, pundak kanan kakek itu terkena tamparan sehingga terasa lumpuh dan pedang yang dipegang tangan kanannya, terlepas dan terlempar jauh. Kakek itu terkejut dan membalikkan tubuhnya, pedang kirinya menyambar, menusuk ke arah dada Tin Han. Pemuda itu menggunakan kedua tangan menangkap dan menjepit pedang itu, mengerahkan tenaganya dan terdengar bunyi "krekk!" pedang itupun patah menjadi dua potong!
Sebelum kakek itu hilang kagetnya, kaki Thian Han telah mencuat dan menendang, mengenai perut Thian-te Moong dan terjengkanglah kakek itu, lalu tubuhnya terbanting keras ke atas tanah! Kemenangan itu tidak saja membuat pihak Siang Koan Bhok menjadi terkejut bukan main, akan tetapi juga semua Ke luarga Cia menjadi terkejut, heran dan juga kagum!
Yang amat bergembira adalah Nenek Cia. Nenek ini saking gembiranya sampai melupakan bahwa ia menderita luka dalam yang parah. Ia bangkit berdiri dan berteriak riang.
"Siang Koan Bhok, pihakmu sekarang kalah. Keadaan kita sama, satu menang dan satu kalah. Apakah pihakmu ada yang hendak maju lagi?" tantangnya. Akan tetapi begitu dia mengeluarkan suara keras ini, tubuhnya limbung dan terhuyung hampir jatuh. Untung Tin Han cepat merangkulnya dan memapahnya ke bawah pohon.
"Bagus, Tin Han. Engkau tidak percuma menjadi anggauta Keluarga Cia! Lepaskan aku, biarkan aku menonton pertandingan berikutnya," katanya sambil terengah-engah dan duduk bersila kembali. Tin Han membantunya duduk lalu dia bangkit berdiri pula.
Siang Koan Bhok menjadi marah bukan main. Dia maklum bahwa di antara kawannya, tidak ada yang akan dapat menandingi pemuda itu, maka diapun melompat ke depan dan menggoyang dayung bajanya.
"Sekarang aku sendiri yang maju! Hayo, siapa berani menghadapiku, majulah!"
Tentu saja di pihak Keluarga Cia tidak ada yang berani maju. Nenek Cia saja kalah oleh Siang Koan Bhok ini, siapa lagi yang akan mampu menandingi? Tin Han menghampiri buntalan pakaian yang digantungkan di cabang pohon, lalu mengambil pedang Pek- kong- kiam dan dihunusnya pedang itu.
"Akulah yang akan menandingimu, Siang Koan Bhok!" katanya dan dia melintangkan pedang Pek- kong-kiam di depan dadanya.
"Bagus. Aku memang mengharapkan engkau yang akan menandingiku agar aku dapat membalaskan kekalahan Thian-te Mo-ong! Cia Tin Han, lihat senjataku!" Siang Koan Bhok lalu menggerakkan dayung bajanya untuk menyerang dan menghantamkannya ke arah kepala Tin Han. Pemuda ini cepat mengelak dan diapun membalas dengan tikaman pedangnya. Siang Koan Bhok menggerakkan dayungnya menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaga sinkangnya dengan maksud untuk memukul runtuh pedang itu.
"Trangg..... !" Tampak bunga api berpijar ketika pedang bertemu dayung baja. Kedua senjata itu terpental dan keduanya merasa betapa tangan yang memegang senjata tergetar hebat, tanda bahwa tenaga mereka berdua seimbang! Hal ini mengejutkan Siang Koan Bhok. Kalau ada orang, apalagi masih begitu muda, dapat menandingi tenaganya. maka itu adalah hebat sekali. Hampir dia tidak dapat percaya. Dia tidak tahu bahwa pemuda itu telah menguasai Khong-sim Sin-kang (Tenaga Sakti Hati Kosong) yang amat dahsyat.
Pertandingan itu berlangsung paling seru. Siang Koan Bhok adalah Datuk Timur yang berilmu tinggi, tingkatnya melebihi para datuk lainnya. Ditambah lagi dengan senjata dayungnya yang dahsyat, dia merupakan lawan yang amat tangguh dan sukar dikalahkan. Akan tetapi, sekali ini dia bertemu dengan Cia Tin Han yang telah menguasai ilmu silat Hek-tiauw-kun (Silat Rajawali Hitam) dan ilmu tenaga dalam Khong-sim Sin-kang yang dahsyat. Pertandingan itu menjadi hebat, saling serang dan saling berusaha mengalahkan lawan.
Kalau tenaga sin-kang mereka seimbang, tidak demikian dengan ginkang (ilmu meringankan tubuh) mereka. Tin Han yang jauh lebih muda itu memiliki gerakan yang lebih cepat dan inilah keuntungannya. Biarpun senjata lawan lebih panjang, namun dengan kecepatan gerakannya, dia dapat mulai mendesak lawan dalam perkelahian jarak dekat. Tin Han bertindak cerdik. Kalau perkelahian itu dilakukan dalam jarak renggang, dialah yang akan mengalami kerugian karena senjata lawan dapat menjangkaunya sedangkan pedangnya sukar menyentuh lawan. Akan tetapi dengan kemenangan gin-kangnya, dia mendesak dalam pertandingan jarak dekat. Pedangnya dapat bergerak leluasa, sebaliknya dayung lawan terlalu panjang untuk pertandingan jarak dekat. Kalau Siang Koan Bhok meloncat mundur untuk mengambil jarak jauh, dengan kecepatan gerakannya Tin Han sudah mendekatinya lagi dan memaksanya untuk bertanding dalam jarak dekat!
Setelah lewat seratus jurus mereka bertanding, mulailah Siang Koan Bhok terdesak hebat oleh pedang yang sinarnya putih menyilaukan mata itu. Biarpun pertahanan Siang Koan Bhok luar biasa kuatnya, namun dengan senjata panjangnya harus melakukan perkelahian jarak dekat, gerakannya tidak leluasa dan beberapa kali hampir saja tubuhnya tersentuh pedang.
"Haiiiitttt..... !" Tin Han mengeluarkan bentakan lantang dan pedangnya menyambar dari atas ke bawah membacok ke arah kepala. Siang Koan Bhok. Cepat gerakan pedang yang menyerang itu sehingga tidak ada lain jalan bagi Siang Koan Bhok untuk menghindarkan diri selain memalangkan dayungnya di atas kepala untuk melindungi kepalanya dari bacokan pedang.
"Hyaattt!!" Kesempatan yang sedetik itu cukup bagi Tin Han untuk menggunakan tangan kirinya dengan jari-jari tangan terbuka melancarkan pukulan dorongan ke arah dada Siang Koan Bhok yang terbuka karena kedua tangannya memegang dayung yang dilintangkan di atas kepalanya.
"Dukk!" Tubuh Siang Koan Bhok yang terkena pukulan dengan tenaga Khong-sim Sin-kang itu seperti layang-layang putus talinya, terhuyung-huyung ke belakang kemudian dia roboh miring di atas tanah, dari mulutnya keluar darah segar. Dia telah terluka parah oleh pukulan tangan kiri Tin Han tadi.
Tentu saja Keluarga Cia merasa gembira bukan main. Dengan kemenangan Tin Han itu berarti kemenangan mereka semua terhadap rombongan Thian-te Mo-ong yang datang menyerbu itu. Sementara itu, melihat kekalahan Siang Koan Bhok, Thian-te Mo-ong menjadi putus harapan dan sambil memapah Siang Koan Bhok, diapun mengajak teman-temannya meninggalkan tempat itu tanpa sepatahpun kata dan mereka semua pergi dengan kepala ditundukkan.
"Bagus, engkau...... engkau telah menyelamatkan nama baik keluarga kita! kata nenek Cia terengah-engah.
"Mari kita bicara di dalam saja," kata Cia Kun dan diapun membantu ibunya untuk bangkit berdiri dan memapahnya memasuki pondok besar di tengah.
Tin Han juga ikut masuk dan ketika dia memeriksa keadaan neneknya lagi, dia mengerutkan alisnya, Neneknya telah terluka dalam yang amat parah. Nenek itu dengan muka pucat rebah terlentang di pembaringannya, napasnya terengah-engah. Biarpun Cia Kun telah meminumkan obat luka dalam, akan tetapi keadaannya masih tetap parah.
"Tin Han. ...... , sebelum mati, aku ingin mendengar ..... dari mu...... bagaimana engkau...... dapat memiliki ...... semua kepandaian itu...... dan bagaimana ketika terjatuh ke jurang itu engkau tidak sampai mati.....
" Nenek Cia berkata dengan susah payah karena napasnya tersendat-sendat.
Maklum bahwa keadaannya neneknya sudah parah, Tin Han lalu cepat menceritakan keadaan dirinya.
"Harap nenek, ayah ibu dan para paman memaafkan aku," katanya.
"Aku telah bertemu dengan suhu Bu Beng Lo-jin yang mengajarkan ilmu silat sejak aku kecil, akan tetapi beliau tidak mau namanya disebut. Oleh karena itu aku tidak memberitahu kepada siapapun juga. Untuk mempergunakan ilmu yang kupelajari, terpaksa aku mengenakan pakaian dan topeng hitam agar tidak diketahui orang. Ketika aku terkena tendangan nenek dan terjatuh ke dalam jurang. Aku tertolong oleh suhu Thai Kek Cai-jin dengan burung rajawali hitamnya. Selama beberapa bulan aku dilatih oleh suhu Thai Kek Cai-jin mempelajari dua macam ilmu. Sesudah itu, aku lalu kembali ke dunia ramai. Di tengah perjalanan aku bertemu dengan seorang panglima Kerajaan Mancu yang ternyata bersekongkol dengan Thian-te Mo-ong.
Kerajaan Manchu telah berhasil menarik orang-orang kangouw golongan sesat untuk membantu Kerajaan Mancu menghancurkan para pendekar yang berjiwa patriot. Kemudian aku membayangi rombongan Thian-te Mo-ong yang melakukan serangan terhadap Panglima atau lebih tepat bekas panglima Song Thian Lee. Suami isteri itu dikeroyok dan aku membantu mereka sehingga gerombolan itu dapat diusir. Karena aku mendengar dari percakapan antara panglima itu dan Thian-te Moong bahwa mereka akan membasmi Keluarga Cia kalau keluarga kita, tidak mau menjadi antek Mancu, aku lalu membayangi gerombolan itu yang kini diperkuat oleh Siang Koan Bhok. Dan setelah melihat nenek dikalahkan Siang Koan Bhok, aku tidak tahan lagi dan segera keluar untuk menandingi mereka."
"Penjajah Mancu keparat! Jadi mereka mempergunakan golongan sesat untuk membasmi para pendekar patriot!" seru Nenek Cia marah.
"Itulah, nek. Golongan sesat adalah orang-orang jahat. Mereka mau mengerjakan apa saja demi uang, mereka tidak segan untuk mengkhianati bangsa dan tanah air sendiri. Seperti kukatakan dahulu, kita keliru kalau bergabung dengan mereka, apa lagi dengan orang-orang Jepang dan para pemberontak Mancu sendiri. Perjuangan kita haruslah suci dan bersih, mengandalkan kekuatan rakyat jelata untuk menentang dan mengusir penjajah Mancu. Sekarang yang menjadi beng-cu kabarnya adalah seorang bernama Ouw Kwan Lok murid Siang Koan Bhok dan berpusat di Pulau Naga. Mungkin sekali mereka akan mempengaruhi atau mencoba mempengaruhi seluruh dunia kang-ouw agar suka menjadi kaki tangan penguasa Mancu. Setidaknya mereka tentu akan menarik semua tokoh sesat melalui Beng-cu yang baru, dan hal ini merupakan bahaya besar karena kekuatan mereka tentu besar sekali. Dan mereka akan mencoba untuk membasmi para pendekar yang tidak mau bekerja sama."
"Aihh.... selama ini..... aku..... telah bodoh...... seperti mimpi buruk. Aku hanya berpendapat bahwa perjuangan harus dilakukan dengan menghimpun semua tenaga. Tidak tahu bahwa para tokoh kang-ouw yang sesat itu mudah saja berkhianat seperti itu. Aku..... aku menyesal sekali..... apa lagi kalau kuingat bahwa aku nyaris telah membunuh cucu sendiri yang ternyata memiliki pendirian yang lebih luhur dan bersih......
" Nenek itu terbatuk-batuk dan darah keluar dari mulutnya. Keadaannya sudah parah sekali.
Ia lalu menggapai puteranya, Cia Kun, untuk mendekat, juga menggapai Cia Hok dan Cia Bhok.
"Dengarkan kalian bertiga. ...... mulai saat ini..... kalian harus berubah sikap..... jangan lagi bekerja sama dengan kaum sesat atau orang asing. Tin Han benar, ikutilah petunjuknya..... berjuanglah dengan jalan bersih...... mengandalkan kekuatan para pendekar dan rakyat jelata.. Kuserahkan kepada Tin Han untuk memimpin kalian......
" Nenek itu bicara dengan suara lirih dan napas satu-satu, kemudian setelah habis bicara, ia terkulai. Tiga orang puteranya menggoyang-goyang tubuhnya, akan retapi nenek itu sudah tidak dapat sadar kembali. Ia meninggal dunia dalam keadaan terluka parah, meninggal dalam rubungan keluarga. Semua orang menangisi kematiannya. Seorang nenek yang berhati sekeras baja, yang tetap membenci penjajah Mancu sampai ke tulang sumsumnya.
Setelah selesai mengubur jenazah Nenek Cia sebagaimana mestinya, keluarga itu berkumpul dan bercakap-cakap.
"Ayah, dan ibu dan kedua paman. Kalau menurut pendapatku sebaiknya kalau kita meninggalkan tempat ini.
Tempat ini sudah diketahui musuh, dan sewaktu-waktu mereka tentu akan datang dan menggempur kita. Kalau mereka membawa pasukan besar, kita tentu tidak akan mampu melawan dan tidak sempat lari menyelamatkan diri.
Karena pemerintah sudah menganggap kita sebagai pemberontak-pemberontak yang harus dibasmi, maka mulai sekarang kita menjadi buruan pemerintah. Dan kukira amat tidak menguntungkan kalau kita melakukan perjalanan bersama. Akan lebih mudah di ketahui musuh. Sebaiknya kita berpencaran dan melakukan tugas kita seperti sebagaimana mestinya, sebagaimana pendekar yang menentang kejahatan dan penindasan. Kita musuhi orang-orang jahat, kita menentang pembesar yang sewenang-wenang sambil menunggu saatnya yang baik untuk membantu gerakan rakyat yang hendak menumbangkan kekuasaan pemerintah penjajah Mancu."
Para orang tua itu mengangguk setuju.
"Engkau benar, Tin Han," kata Cia Kun sambil memandang kepada puteranya yang kedua itu dengan kagum.
"Memang ebaiknya kita berpencar sehingga lebih leluasa kita bergerak dan tidak mudah didapatkan orang-orangnya pemerintah. Aku akan pergi berdua dengan ibumu. Tin Siong sebaiknya pergi seorang diri untuk menambah pengalaman. Adik Cia Hok dan Cia Bhok boleh memilih jalannya sendiri-sendiri atau pergi berdua. Dan engkau juga mengambil jalanmu sendiri."
"Akan tetapi, bagaimana kita akan dapat bertemu kembali?" kata Tin Siong kepada ayahnya.
"Kita jadikan kota Hiu-cu di kaki bukit Lo-sian, tempat tinggal kita dahulu, menjadi tempat pertemuan. Setiap tahun, di waktu Sin-cia (Tabun Baru Im lek) kita datang ke sana dan berkumpul."
"Itu baik sekali," kata Tin Han gembira.
"Dengan demikian setiap tahun kita dapat saling bertemu dan berkumpul di sana. Selain itu, harap ayah, ibu, para paman dan kakak Tin Siong ketahui bahwa saya biasanya melakukan tugas pendekar dengan bertopeng dan berpakaian hitam, dan saya memakai nama Hek-tiauw Enghiong. Kalau ada yang mendengar nama itu di suatu tempat, boleh menjumpaiku."
"Baik, Tin Han. Dan sekarang sebaiknya kita pergi dengan cepat sebelum tempat ini diserbu lagi." Mereka saling mengucapkan selamat berpisah dan menuruni Bukit Cemara dengan mengambil jalan masing-masing.
-ooOoo-
Lee Cin meninggalkan Hong-san. Kepada orang tuanya ia hanya mengatakan bahwa ia ingin merantau untuk meluaskan pengalaman dan untuk melaksanakan tugasnya sebagai pendekar wanita yang menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Tentu saja Souw Tek Bun dan Ang-tok Mo-li Bu Siang dapat memaklumi keinginan Lee Cin ini dan merekapun tidak menahannya. Lee Cin meninggalkan ayah ibunya dengan hati tenang dan lega. Ayahnya telah berkumpul kembali dengan ibunya dan ia merasa berbahagia sekali. Ia maklum bahwa ibunya dahulu hidup sebagai seorang datuk sesat, akan tetapi ia percaya bahwa di bawah bimbingan ayahnya, ibunya akan kembali ke jalan benar. Ia sendiri juga telah menyadari bahwa hidupnya dahulu ketika ia masih berada di bawah bimbingan ibunya, terisi penuh keganasan dan keliaran.
Akan tetapi setelah ia hidup dengan ayah kandungnya, ia tahu mana jalan yang benar dan mana yang tidak. Apa lagi setelah ia bertemu dan bergaul dengan Thian Lee, ia mendapatkan contoh yang lebih baik lagi dan kini ia sama sekali telah meninggalkan wataknya yang keras dan ganas dan bersikap sebagai seorang pendekar wanita pembela kebenaran dan keadilan. Lee Cin mengadakan perjalanan menuruni bukit Hongsan yang tinggi. Ia berjalan seenaknya seorang diri, tampak sebagai seorang dara yang lincah dan berwajah cantik jelita dan riang. Pakaiannya berkembang, biarpun potongannya sederhana namun bersih dan pantas sekali ia memakainya.
Mukanya yang bulat telur itu tampak berseri, mulutnya yang kecil mungil dan berbibir merah membasah tampak tersenyum. Hidungnya yang mancung menjungat ke atas, tampak lucu sekali, apa lagi di kanan kiri pipinya terhias lesung pipit yang menambah manisnya wajah. Sepasang matanya tajam mencorong, memandang dunia dengan penuh semangat hidup. Pedang Ang-coa-kiam yang tipis itu melingkari pinggangnya, dipergunakan sebagai sabuk dan suling ularnya terselip di pinggangnya. Setelah hari menjelang sore, tibalah ia di sebuah dusun yang berada di kaki bukit Hong-san. Ketika ia melewati dusun yang cukup besar itu, ia mendengar suara tangis.
Sayup-sayup terdengar tangis itu dan ketika ia memperhatikan, tangis itu terdengar dari sebuah rumah yang dirias dengan kertas-kertas dan kain berwarna, seperti biasanya kalau orang dusun mengadakan perayaan untuk suatu keperluan. Tentu saja ia merasa heran. Orang yang mengadakan perayaan, biasanya bergembira, akan tetapi mengapa dari rumah yang sedang mengadakan perayaan itu terdengar tangis yang demikian menyedihkan? Ia merasa curiga dan cepat ia melompat naik ke atas wuwungan rumah dari mana terdengar tangis itu.
Ia mengintai ke dalam sebuah kamar dan di kamar itulah melihat seorang gadis sedang menangis tersedu-sedu dan seorang wanita setengah tua yang berusaha menghiburnya.
"Siok Hwa, sudahlah jangan menangis. Apa yang kautangisi? Engkau akan menjadi isteri kepala dusun, walaupun hanya isteri ke tiga. Suamimu kaya raya, berpengaruh dan besar kekuasaannya. Kalau engkau sudah menjadi isterinya, apa saja yang kauinginkan akan dapat terlaksana."
Dengan terisak-isak, gadis yang bernama Siok Hwa itu merintih dan mengeluh.
"Ibu, aku tidak suka menjadi isterinya. Aku tidak sudi..... !�
"Hushh, apa engkau hendak membikin celaka ayah ibumu? Ayahmu mempunyai hutang yang tak terhitung besarnya dari Lurah Kwa, dan sudah menerima banyak hadiah darinya. Siapa lagi yang akan mampu membalas kebaikannya kalau bukan engkau anak kami? Apa engkau ingin melihat ayahmu mati dipukuli oleh para tukang pukul Lurah Kwa?"
Gadis itu menangis semakin sedih dan mendengar ini, tergeraklah hati Lee Cin. Ia meloncat turun dan membuka jendela kamar itu dari luar, lalu melompat masuk. Tentu saja ibu dan anak itu terkejut bukan main melihat ada seorang gadis melompat masuk ke dalam kamar mereka.
"Jangan kaget, bibi. Aku datang untuk menolong kalian!" Ibu itu seorang wanita berusia empatpuluh tahunan dan ia memandang kepada Lee Cin dengan alis berkerut. Bagaimana seorang gadis akan dapat menolong mereka?
"Nona, siapakah engkau dan bagaimana engkau akan dapat menolong kami?"
"Aku akan menolong kalian, akan tetapi ceritakan dulu apa yang menyebabkan adik ini menangis demikian sedihnya. Adik yang baik, maukah engkau menceritakan kepadaku mengapa engkau menangis?"
Gadis yang usianya sekitar delapan belas tahun itu menghentikan isaknya dan ia memandang kepada Lee Cin dengan penuh harapan.
Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Enci yang baik, aku menangis sedih karena hendak dipaksa harus menikah dengan kepala dusun."
"Kenapa menangis? Bukankah menikah merupakan peristiwa yang membahagiakan?"
"Bagaimana aku dapat berbahagia? Aku tidak suka menjadi isteri kepala dusun itu. Aku tidak sudi menjadi isterinya yang ke tiga."
"Bibi, kalau anakmu tidak mau dikawinkan, mengapa engkau memaksanya" ?
"Aduh, apa yang dapat kami lakukan, nona? Kami semua terpaksa dan tidak dapat menolak. Bagaimana kami dapat menolaknya? Hutang kami kepada kepala dusun sudah bertumpuk-tumpuk. Ketika musim kemarau panjang, ketika terjadi banjir dan ketika kami kematian seorang anak laki-laki kami, terpaksa kami terlibat hutang yang besar kepada kepala dusun. Hutang itu setelah bebeberapa tahun menjadi berlipat ganda dengan bunga-bunganya dan kami sama sekali tidak mungkin dapat membayarnya kembali.
Kemudian kepala dusun menawarkan jasa baiknya. Dia akan membebaskan semua hutang kami bahkan memberi hadiah berupa sawah kalau kami menyetujui permintaannya, yaitu mengangkat anak kami Siok Hwa ini menjadi isterinya yang ke tiga. Kami tidak mungkin dapat menolak pinangannya itu, nona. Bagaimana nona dapat menolong kami dalam hal ini?"
"Jangan khawatir, bibi. Aku akan menolong kalian. Sekarang panggil dulu ke sini suamimu, aku ingin bicara dengannya."
Melihat sikap Lee Cin yang demikian tegas, wanita itu terkesan juga dan ia segera keluar dari dalam kamar untuk memanggil suaminya.
Lee Cin duduk di kursi depan tempat tidur di mana Siok Hwa duduk dan ia berkata menghibur,
"Tenanglah dan percayalah, engkau tidak akan dipaksa menjadi isteri ke tiga kepala dusun."
"Akan tetapi, bagaimana....... ?"
"Serahkan saja kepadaku. Biarkan aku bicara dulu dengan ayahmu," kata Lee Cin sambil memandang wajah calon pengantin yang manis itu.
Pintu kamar terbuka dari luar dan masuklah seorang laki-laki setengah tua bersama wanita tadi. Laki-laki itu mengerutkan alisnya ketika melihat Lee Cin dan segera dia bertanya dengan suara tidak yakin.
"Siapakah engkau, nona dan apa maumu masuk ke rumah kami?"
"Siapa aku tidak penting diketahui paman. Yang penting aku tertarik oleh suara tangis anakmu dan ingin menolong kalian. Sebetulnya bagaimana urusanmu dengan kepala dusun sehingga engkau terpaksa hendak menyerahkan anakmu kepadanya?"
Laki-laki itu menghela napas.
"Nasib kami buruk sekali. Malapetaka karena musim kering, lalu banjir dan kematian anak kami membuat kami berhutang uang banyak sekali kepada kepala dusun Kwa. Sekarang hutang itu telah bertumpuk dan ketika dia meminang anak perempuan kami, bagaimana kami dapat menolaknya? Utang kami akan dibebaskan dan di samping itu, kami mendapatkan hadiah uang dan tanah. Dan selain itu, sebagai isteri ke tiga kepala dusun, anak kami tentu akan hidup serba terhormat dan kecukupan. Mengapa mesti ditolak?"
"Akan tetapi anakmu tidak suka di peristeri kepala dusun itu. Ia yang akan menjalani, maka tidak boleh kalian hendak memaksanya."
"Nona, engkau tidak tahu. Kalau kami menerimanya, keadaan kami semua selamat. Sebaliknya kalau kami menolak, hutang kami akan ditagihnya dan kalau kami tidak dapat membayarnya, para tukang pukul kepala dusun tentu akan memukuli aku sampai mati. Apa yang dapat kulakukan?"
"Tenangkan hatimu, paman. Aku akan menolongmu. Kapan adik Siok Hwa ini akan di kirimkan kepada kepala dusun ?"
"Sore ini juga kami harus mengantarnya dengan joli ke rumah kepala dusun. Kami sedang membujuk-bujuknya untuk suka berdandan sebagai seorang mempelai wanita."
�Sekarang begini saja, paman. Suruh adik ini bersembunyi dan aku akan menggantikannya duduk dalam joli. Biar mereka membawa aku ke rumah kepala dusun!"
Suami isteri itu terbelalak, hampir tidak percaya akan kata-kata Lee Cin. Gadis itu demikian cantik jelita, jauh lebih cantik dari pada anak perempuan mereka.
"Apakah engkau ingin menjadi isteri ke tiga kepala dusun, nona?" tanya ayah Siok Hwa.
"Hemm, siapa sudi ? Akan tetapi aku akan menggantikan tempat adik ini dan aku yang akan memaksa kepala dusun untuk mengurungkan niatnya."
"Akan tetapi, kalau diurungkan tentu dia akan menggunakan kekerasan untuk menagih hutang-hutang kami"
"Jangan khawatir. Dia tidak akan berani lagi menagih hutangmu. Sekarang, mana pakaian pengantinnya ? Biar kupakai di luar pakaianku agar lebih mudah aku menyamar sebagai adik Siok Hwa."
Suami isteri itu masih khawatir, akan tetapi mereka menurut segera pakaian pengantin dikenakan pada Lee Cin, di pakai diluar pakaiannya sendiri dan juga kepalanya ditutup kerudung yang menyembunyikan wajahnya.
Setelah itu, joli dan pengiring yang dikirim kepala dusun datang. Pengantin wanita lalu dituntun keluar dan masuk ke dalam joli. Musik dipukul dan dimainkan di sepanjang jalan sehingga iring-iringan pengantin itu menarik perhatian banyak orang. Bahkan banyak anak-anak mengikuti rombongan itu yang menuju ke rumah kepala dusun Kwa. Di rumah kepala dusun ini juga telah diadakan persiapan untuk menyambut mempelai wanita. Rumah kepala dusun dirias dengan meriah dan para tamu sudah memenuhi ruangan depan di mana terdapat meja-meja dan kursi.
Ketika rombongan pengantin wanita tiba, pengantin wanita dituntun keluar dari joli dan dibawa duduk ke kursi pengantin yang sudah tersedia. Kepala dusun Kwa sebagai pengantin pria juga sudah menyambut dan duduk di samping pengantin wanita yang menundukkan mukanya yang berkerudung. Pesta dimulai dan pengantin wanita lalu dibimbing masuk ke dalam sebuah kamar pengantin yang berbau semerbak harum karena sejak tadi sudah diberi asap hio yang harum. Pengantin pria menemani para tamu makan minum di luar.
Akhirnya saat yang dinanti-nanti Lee Cin tiba. Para tamu bubaran dan meninggalkan rumah itu. Kepala dusun Kwa, pengantin pria itu segera memasuki kamar dan mengunci pintunya dari dalam.
"Nah, sekarang kita berdua saja, manis, heh-heh-heh!"
Lurah Kwa lalu menghampiri pengantin wanita yang duduk di tepi pembaringan. Dijulurkan tangannya untuk membuka kerudung muka pengantin wanita sambil tersenyum lebar. Penutup muka itu dibuka, kepala dusun Kwa memandang wajah mempelai dan dia terbelalak kaget. Ini bukan Siok Hwa walaupun wajahnya bahkan lebih cantik dari Siok Kwa!
"Kau ....... siapakah?" tanya kepala dusun Kwa, akan tetapi hatinya tidak kecewa bahkan tegang gembira mendapat kenyataan betapa cantik jelitanya pengantin wanita itu.
Lee Cin bangkit dan sekali tangannya menampar, pipi kanan Lurah Kwa sudah terkena tamparannya.
"Plakk!" tubuh Lurah Kwa terpelanting dan terputar saking kerasnya tamparan itu.
"Aduh........ ahhhh....... !" Akan tetapi sebelum dia sempat berteriak, Lee Cin sudah menyusulkan totokan jari tangannya yang membuat lurah Kwa tidak mampu mengeluarkan suara lagi. Akan tetapi dia yang biasa memerintah dan memperlakukan orang sesuka hatinya, masih merasa penasaran. Dia bangkit berdiri dan biarpun dia sudah tidak mampu bersuara, dia masih dapat menggerakkan kaki tangannya dan dia mencoba memukul wanita yang berani memukulnya itu.
Akan tetapi sebelum pukulannya mengenai Lee Cin, gadis itu sudah memapakinya dengan sebuah tendangan yang mengenai perut yang agak gendut itu dan kembali tubuh lurah Kwa terjengkang dan terbanting keras ke atas lantai. Darah bercucuran dari bibirnya yang pecah-pecah dan dia meringis karena merasa perutnya mendadak menjadi mulas setelah terkena tendangan tadi.
Setelah mendapatkan hajaran keras, Lalu Lurah Kwa tahu bahwa wanita ini bukan orang sembarangan. Apa lagi ketika Lee Cin menyambar sebatang pedang milik Lurah Kwa yang tergantung di dinding lalu menempelkan pedang itu di lehernya. Wajah Lurah Kwa menjadi pucat sekali dan dia menjatuhkan dirinya berlutut! Karena dia masih belum dapat mengeluarkan suara, dia hanya membentur-benturkan kepalanya di lantai dan mulutnya mengeluarkan suara ah- eh- uh-uh seperti seorang gagu.
"Lurah Kwa pemeras keparat! Aku akan memenggal kepalamu di sini juga!" kata Lee Cin sambil membebaskan totokannya dengan jari tangan kiri. Lurah itu dapat mengeluarkan suara lagi dan dia segera meratap sambil berlutut.
"Ampunkan saya, lihiap. Ampunkan nyawa saya........ apakah yang lihiap kehendaki dari saya?"
"Sebetulnya aku menghendaki nyawamu untuk menebus semua perbuatanmu yang kotor! Engkau mempergunakan kekuasaan dan kekayaanmu untuk menindas rakyat di dusun ini. Engkau tidak menggunakan kekayaanmu untuk menolong sesama manusia, sebaliknya menggunakan uangmu untuk menipu mereka, memberi pinjaman dengan bunga besar dan kalau mereka tidak mampu membayar lagi, engkau minta mereka menyerahkan anak gadisnya atau mungkin juga sawah ladang mereka! Engkau juga memelihara banyak tukang pukul untuk memaksakan kehendakmu kepada rakyat. Orang macam engkau ini tidak pantas menjadi kepala dusun dan sepantasnya dihukum mati!"
"Ah, ampunkan saya, lihiap. Saya tidak berani lagi.....
"
Lurah Kwa meratap ketakutan karena pedang itu menempel ketat di lehernya dan dia sudah merasa ngeri membayangkan kepalanya akan terlepas dari tubuhnya.
"Engkau harus membebaskan Siok Hwa dan tidak menuntut kembalinya hutang orang tuanya kepadamu!
Awas, kalau engkau masih melanjutkan penekananmu kepada mereka, aku akan datang untuk mengambil kepalamu!"
"Baik, lihiap...... Saya..... tidak..... akan mengganggu mereka lagi."
"Dan tidak mengganggu para penduduk lainnya. Mulai sekarang, bubarkan semua tukang pukulmu dan jadilah kepala dusun yang baik, yang memperhatikan kepentingan pendudukmu. Mengerti?"
"Baik,. lihiap."
"Nah, sekarang kumaafkan engkau dan kepada semua penduduk katakanlah bahwa engkau tidak jadi menikah dengan Siok Hwa."
"Baik, lihiap...."
Lee Cin lalu membuka daun pintu kamar itu lalu melangkah keluar. Akan tetapi baru saja ia melangkah, tempat itu telah penuh dengan belasan orang laki-laki. Mereka adalah tukang-tukang pukul Lurah Kwa yang merasa curiga ketika mendengar suara-suara yang tidak wajar dari dalam kamar pengantin. Ketika mereka melihat seorang wanita keluar membawa pedang, mereka lalu cepat mengepungnya dan seorang di antara mereka membentak.
"Siapakah engkau ?"
Lurah Kwa muncul di pintu dan melihat betapa Lee Cin sudah dikepung para jagoannya, cepat berseru,
"Tangkap wanita pengacau itu!"
Para tukang pukul itu mendengar seruan Lurah Kwa lain menggerakkan golok mereka mengancam Lee Cin.
"Menyerah kau sebelum kami mengambil tindakan kekerasan!"
Lee Cin tersenyum mengejek.
"Anjing- anjing macam kalian ini bisanya hanya menggonggong dan menggigit orang-orang yang lemah tak berdaya. Majulah kalau hendak menangkap aku!"
Dua orang tukang pukul yang memandang randah gadis cantik itu menubruk dari belakang untuk menangkap kedua lengan Lee Cin. Akan tetapi Lee Cin mendengar gerakan mereka dari belakang dan sekali memutar tubuhnya, kakinya telah mencuat dan menyambar ke arah mereka.
Dua orang tukang pukul itu berteriak dan tubuh mereka terjengkang dan terbanting ke belakang. Terkejutlah para tukang pukul itu dan mereka menggunakan golok mereka untuk menyerang Lee Cin. Akan tetapi Lee Cin memutar pedang rampasannya tadi dan terdengar suara berdentang-dentang ketika pedangnya menangkis semua golok itu dan banyak golok terlepas dari pegangan para pengeroyok dan terlempar ke kanan kiri ketika ditangkis pedang. Tenaga sinkang yang terkandung dalam pedang di tangan Lee Cin terlampau kuat bagi mereka. Lee Cin tidak berhenti sampai di situ saja, tangan kirinya dan kedua kakinya silih berganti bergerak membagi tamparan dan tendangan. Dalam waktu singkat saja belasan orang pengeroyok itu jatuh malang melintang dan mengaduh-aduh tidak dapat melanjutkan pengeroyokan mereka.
Melihat betapa cepatnya belasan orang anak buahnya roboh, Lurah Kwa menjadi ketakutan dan dia segera melarikan diri. Akan tetapi Lee Cin menggerakkan pedangnya dan pedang itu meluncur ke arah kaki Lurah Kwa.
"Singggg..... ..... capp..... .!� Lurah Kwa terguling roboh dengan paha kiri tertusuk pedang sampai tembus.
"Aduh ..... ampun, lihiap....!" Dia merintih ketakutan melihat Lee Cin menghampirinya. Gadis itu mencabut pedang yang menancap di paha Lurah Kwa.
"Jahanam kau! Baru saja berjanji akan mengubah kelakuanmu, engkau malah mengerahkan anjing-anjingmu untuk mengeroyokku. Engkau memang layak mampus!" Lee Cin mengelebatkan di depan mata Lurah "A mpun. ..... , ampun, lihiap... saya.... saya.... tidak berani lagi...." Lurah Kwa menangis dan melihat keadaan Lurah Kwa kedua orang isterinya dan anak-anaknya yang sudah bermunculan mendengar suara ribut-ribut, ikut pula berlutut mintakan ampun suami dan ayah mereka.
"Hemm, melihat keluargamu, aku masih suka mengampunimu. Akan terapi kalau lain waktu engkau masih bermain gila mengandalkan kekuasaan dan uangmu, aku tentu akan datang menabas kepalamu! Sekarang sebagai pelajaran, rasakan ini!"
Pedang itu berkelebat dan Lurah Kwa menjerit kesakitan sambil mendekap telinga kirinya. Daun telinganya yang kiri telah buntung terbabat pedang itu. Lee Cin lalu melempar pedang itu yang menancap sampai setengahnya di daun pintu.
"Ingat, kata-kataku, mulai besok bubarkan semua anjing peliharaanmu ini dan mulailah memimpin rakyat dusun ini dengan baik dan tidak menggunakan kekerasan!"
Setelah berkata demi kian Lee Cin lain meninggalkan dusun itu dan kembali ke rumah Siok Hwa. Siok Hwa dan kedua orang tuanya yang menanti dengan jantung berdebar tegang dan khawatir, begitu melihat Lee Cin kembali seorang diri segera menghujani dengan pertanyaan.
Lee Cin tersenyum.
"Beres, mulai sekarang kalian hiduplah dengan tenang dan jangan takut kepada Lurah Kwa. Dia sekarang menjadi seorang Lurah yang baik. Hutangmu telah bebas dan kalian boleh bekerja lagi dengan sebaiknya. Hanya kuanjurkan kepadamu, sebaiknya kalian segera kawinkan anak perempuan kalian ini dengan pemuda yang disukainya, agar di belakang hari tidak ada lagi orang yang mengganggunya."
Suami isteri petani itu dan Siok Hwa segera menjatuhkan diri berlutut di depan Lee Cin. Lee Cin membangunkan mereka.
"Tidak perlu begitu. Aku hanya melakukan tugasku dan sebaliknya aku minta tolong kepada kalian agar malam ini aku diperbolehkan bermalam di sini."
Tentu saja keluarga petani itu setuju bahkan merasa girang sekali. Akan tetapi Lee Cin tidak ingin merepotkan mereka dan minta tidur sekamar dengan Siok Hwa. Setelah berdua saja di dalam kamar, Lee Cin bercakap-cakap lebih dulu dengan Siok Hwa sebelum tidur.
"Adik Siok Hwa, kenapa engkau tidak mau dijadikan isteri ke tiga Lurah Kwa? Kalau aku tidak salah, banyak gadis yang ingin dijadikan isteri kepala seorang kepala dusun yang kaya dan berkuasa. Mengapa engkau tidak mau?"
"Enci Lee Cin, bagaimana aku dapat menjadi seorang isteri dari yang tidak kusuka? Menjadi isterinya berarti bahwa selama hidupku aku harus hidup bersamanya.
Bagaimana mungkin selama hidupku aku dapat hidup di samping seorang yang aku tidak suka?"
"Jadi engkau hanya mau dijodohkan dengan seorang pria yang kau sukai?" Wajah Siok Hwa yang manis itu menjadi kemerahan.
"Tentu saja, enci Lee Cin. Apakah engkau tidak berpikir demikian juga? Setelah menikah, aku harus berpisah dari ayah ibuku yang selalu mencintaku, dan hidup di samping seorang laki-laki lain yang sama sekali asing bagiku. Kalau aku tidak menyukai laki-laki itu, bagaimana aku dapat bertahan hidup sampai bertahun-tahun di sampingnya?"
Lee Cin tersenyum dan tidak banyak bertanya lagi. Akan tetapi jawaban Siok Hwa itu sama dengan suara hatinya. Ia sendiri tidak akan sudi diperisteri seorang pria yang tidak disukanya, tidak dicintanya. Ingatan ini langsung saja mengingatkan ia akan pria yang dicintanya, yaitu Tin Han dan hatinya seperti ditusuk rasanya. Tin Han telah lenyap, bagaikan ditelan bumi, entah masih hidup ataukah sudah mati.
"Han-ko," pikirnya,
"kalau engkau masih hidup, betapa inginku untuk berjumpa denganmu, sebaliknya kalau engkau sudah mati, akupun ingin melihat kuburmu. Betapa rindu hatiku kepadamu." Ia mengeluh dalam hatinya dan malam itu ia hampir tidak dapat tidur pulas, penuh dengan mimpi buruk tentang Tin Han.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Lee Cin sudah terbangun dan ia lalu berpamit dari Siok Hwa dan ayah ibunya. Mereka ingin menahannya karena takut kepada Lurah Kwa, akan
tetapi Lee Cin meyakinkan hati mereka bahwa Lurah Kwa tidak mungkin akan mengganggunya lagi.
"Aku yakin bahwa mulai malam tadi, Lurah Kwa sudah bertaubat atas semua kelakuannya yang lalu dan kini dia menjadi seorang kepala dusun yang baik. Percayalah kepadaku," demikian Lee Cin menghibur mereka dan ia lalu melanjutkan perjalanannya meninggalkan dusun itu.
-ooOoo-
Lee Cin tiba di kota Liok-bun yang cukup ramai. Ia bermaksud untuk pergi ke Bukit Lo-sian, untuk mencari kabar tentang Tin Han. Siapa tahu pemuda itu masih hidup dan sudah pulang ke tempat yang dulu menjadi tempat tinggal keluarga Cia itu, yalah di kota Hiu-cu di kaki bukit Lo-sian. Dalam perjalanannya menuju ke bukit Lo-sian, ia melewati kota Liok-bun dan mengambil keputusan untuk melihat-lihat kota itu dan bermalam selama satu dua malam di tempat itu.
Ia menyewa sebuah kamar di rumah penginapan merangkap rumah makan "Hok-tiam" dan setelah menaruh buntalan pakaiannya di dalam kamar, ia lalu keluar dan memasuki rumah makan yang merupakan bagian depan dari rumah penginapan itu. Selagi ia duduk menanti masakan yang dipesannya, ia melihat dua orang berpakaian pengemis serba hitam memasuki rumah makan itu. Seorang pelayan segera menyambutnya dengan wajah tidak senang.
"Hei, kalian berdua! Kalau hendak minta sedekah jangan memasuki rumah makan, tunggu saja di luar nanti kumintakan kepada juragan kami. Jangan masuk rumah makan, kalian hanya menimbulkan jijik kepada para tamu kami! Harap keluar!"
Lee Cin memperhatikan dua orang pengemis itu. Pakaian mereka serba hitam penuh tambalan, namun tampak bersih. Usia mereka sekitar limapuluh tahun dan di punggung masing-masing, mereka menggendong tiga buntalan yang entah berisi apa.
Ketika pelayan itu mendorong-dorong mereka menyuruh mereka keluar, dua orang pengemis itu kelihatan tenang saja dan seorang di antara mereka berkata kepada pelayan rumah makan itu.
"Kami hendak bertemu dengan juragan kalian, beritahukan bahwa kami datang dengan urusan penting."
"Tidak bisa, juragan kami tidak ada waktu untuk bertemu dengan para pengemis. Kalau untuk memberi sumbangan, cukup kami yang melakukannya. Keluarlah atau terpaksa aku akan menyeret kalian keluar!" kata pula pelayan yang bertubuh tinggi besar dan tampak kuat itu.
"Hemm, kalau belum bertemu dengan pemilik rumah makan ini, kami tidak mau keluar," kata pengemis yang tubuhnya tinggi kurus, suaranya tenang sekali.
"Apa! Kalian mau nekat?" Berkata demikian, pelayan rumah makan itu menangkap lengan dua orang pengemis itu, akan tetapi tiba-tiba saja dia terbelalak dan tidak dapat menggerakkan kaki tangannya lagi. Pelayan itu berdiri seperti sebuah patung, tidak mampu bergerak dan tidak mampu bersuara.
Lee Cin yang memperhatikan mereka, melihat betapa pengemis yang bertubuh pendek berkulit hitam tadi menggerakkan jari tangannya menotok sehingga pelayan itu tidak mampu bergerak lagi. Cara menotok pengemis itu cukup lihai dan teringatlah ia akan berita yang pernah didengarnya bahwa di dunia kang-ouw terdapat sebuah perkumpulan pengemis yang terkenal, yaitu Hek I Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Menurut apa yang pernah didengarnya, Hek I Kai-pang dipimpin oleh tokoh-tokoh pengemis yang lihai ilmu silatnya. Perkumpulan pengemis itu dipimpin oleh ketuanya yang dikenal sebagai Hek I Kai-pang (Ketua Perkum pulan Pengemis Baju Hitam) dan ketua ini mempunyai beberapa orang pembantu yang dapat diketahui tingkatnya melihat banyaknya buntalan yang digendongnya. Dua orang pengemis itu menggendong tiga buntalan, berarti mereka adalah tokoh-tokoh Hek I Kaipang bertingkat tiga. Lee Cin tertarik sekali. Melihat cara pengemis itu menotok, ia dapat mengetahui bahwa pengemis itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Kalau mereka yang bertingkat tiga saja seperti itu, dapat dibayangkan betapa lihainya mereka yang bertingkat satu atau lebih lagi ketuanya!
Pengemis tinggi kurus menepuk pundak pelayan itu sambil berkata,
"Sobat, harap laporkan kepada majikanmu bahwa kami datang untuk bertemu dan bicara."
Tepukan pada pundak itu membebaskan totokan tadi dan sekarang si pelayan yang telah merasakan totokan tadi, dengan cepat membungkuk dan mengangguk lalu pergi masuk ke dalam untuk melapor kepada majikannya. Lee Cin terus mengikuti semua itu dengan pandang matanya. Demikian cepat gerakan menotok dan membebaskan tadi sehingga kejadian itu tidak tampak oleh tamu lain. Tak lama kemudian, pemilik rumah makan muncul dan melihat dua orang pengemis itu, dia lalu memberi isyarat agar mereka berdua memasuki kantornya di depan. Agaknya majikan ini sudah tahu dengan siapa dia berhadapan dan melayaninya dengan baik.
Lee Cin cepat memakan hidangannya yang telah disediakan. Ia cepat menyelesaikan makannya dan ketika melihat dua orang pengemis tadi keluar lagi sambil membawa buntalan kain kuning, ia segera membayar harga makanan dan diam-diam membayangi mereka. Ia menjadi tertarik sekali dan ingin mengetahui apa yang akan dilakukan dua orang tokoh Hek I Kai-pang itu. Dua orang pengemis itu agaknya mengumpulkan sumbangan dari para pemilik toko dan rumah penginapan serta rumah makan dan sumbangan-sumbangan itu telah mereka simpan di dalam tiga buntalan yang mereka gendong.
Dewi Ular Eps 8 Dewi Ular Eps 15 Kemelut Kerajaan Mancu Eps 2