Pedang Naga Kemala 15
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
"Apa itu?"
"Aku menemukan sebuah guha yang dalamnya terdapat sebuah sumber air yang mengeluarkan asap berbau aneh. Dan di situ nampak sesosok mayat terendam, akan tetapi mayat itu sama sekali tidak membusuk. Banyak pula tengkorak manusia kulihat di dalam guha itu. Ihh, mengerikan dan aku segera pergi meninggalkan tempat itu."
"Ehhh? Menarik sekali! Mari kita ke sana."
"Untuk apa, suhu?"
"Menarik sekali ceritamu. Tentu ada hal-hal yang penting di situ. Bawa aku ke sana, Hong Hong." Demikianlah, kedua orang guru dan murid itu lalu melakukan perjalanan dan pada pagi hari itu mereka sudah tiba di lereng puncak di Pegunungan Tapie-san seperti yang diceritakan oleh Lian Hong kepada gurunya.
Setelah tiba di puncak, Lian Hong membawa suhunya ke guha itu. Guha itu aneh sekali. Mulut guha lebar akan tetapi tidak berapa tinggi sehingga ketika memasuki guha San-tok yang agak jangkung harus menunduk. Dan di sebelah dalam guha itu tumbuh sebatang pohon yang daunnya sudah rontok semua, tinggal cabang dan ranting yang sudah mengering. Melihat keadaan ini, mudah diduga bahwa guha ini dahulunya bukan guha dan terbentuk dengan runtuhnya batu-batu besar dari puncak menimbun tempat itu sehingga pohon itupun tertimbun batu dan kini berada di dalam sebuah guha. Begitu memasuki guha itu, yang nampak adalah sebatang pohon yang tinggal batang, cabang dan rantingnya, dan terciumlah bau yang aneh dan keras. Juga nampak asap mengepul, terasa hawa yang agak panas.
"Di sinilah tempatnya, suhu," kata Lian Hong dan gadis ini sudah berlutut di tepi sebuah kolam kecil di mana terdapat air yang bergolak dan mengeluarkan asap yang berbau belerang. Di tepi kolam itu terdapat batu-batu besar dan nampak ada beberapa buah tengkorak manusia di situ. Akan tetapi yang amat mengerikan, di tengah-tengah kolam itu nampak seorang Kakek tua renta yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua. Kakek itu nampak terendam di dalam air sebatas dada, kelihatan seperti orang tidur saja, tubuhnya tak bergerak-gerak dan kedua matanya terpejam.
"Ah-ah-ah, sungguh menarik...!" kata San-tok yang berdiri di tepi kolam sambil meneliti keadaan kolam itu.
"Aneh akan tetapi tidak ada apa-apanya, suhu. Aku pernah datang ke sini dan melihat keadaan ini, aku lalu cepat pergi lagi. Ketika menyelidiki jejak Koan Jit, jejak itu membawaku ke sini, akan tetapi di sini aku kehilangan jejaknya. Tidak nampak seorangpun manusia di puncak ini sehingga aku tidak dapat mencari keterangan lagi tentang dia."
"Hemm, kalau Koan Jit sampai mendatangi tempat ini, berarti amat penting. Mungkin ada rahasia tersembunyi di tempat ini. Mari kita selidiki," kata Kakek itu dan mulailah dia melakukan penyelidikan, meneliti dinding batu di sekitar tempat itu. Akan tetapi tidak ada sesuatu yang aneh. Semua dinding adalah batu-batu yang wajar saja dan makin jelaslah kini bahwa tempat itu, mata air panas dan pohon itu, tadinya merupakan tempat terbuka dan kemudian tertimbun oleh batu-batu dari puncak yang agaknya longsor ke bawah. Akan tetapi peristiwa itu tentu telah terjadi lama sekali sehingga membentuk sebuah guha aneh ini. Lian Hong juga membantu suhunya melakukan penyelidikan. Sampai beberapa jam lamanya mereka mencaricari tanpa hasil.
"Suhu, kalau ada rahasianya, agaknya terdapat dalam kolam air ini," tiba-tiba Lian Hong berkata.
"Lihat, mayat Kakek itu tidak membusuk, ini saja menunjukkan bahwa air sumber ini, yang bergolak seperti mendidih dan mengeluarkan asap berbau aneh, mengandung sesuatu yang luar biasa, yang membuat mayat itu tidak rusak."
"Ha, engkau benar, Hong Hong. Tentu rahasianya terdapat di dalam sumber atau mata airitu. Orang itu agaknya sejak dahulu duduk di situ sampai mati dan air panas yang mengandung belerang itu membuat mayatnya tidak rusak. Sudah beberapa kali aku melihat sumber air seperti ini yang keluar dari dalam perut bumi. Tidak ada yang aneh mengenai air seperti itu. Akan tetapi kolam ini seperti dibuat merendam tubuhnya. Lihat batu-batuan itu, bukankah batu-batu besar itu seperti sengaja diletakkan di situ untuk membentuk kolam? Dan air yang luber mengalir keluar melalui samping guha. Kalau batu-batu itu digempur dan dibongkar, tentu dasarnya akan nampak dan siapa tahu di situ letak rahasianya."
Dibantu oleh muridnya, San-tok lalu membongkar batu-batu besar itu. Kepandaian dan tenaga sakti guru dan murid itu memungkinkan mereka membongkar batu-batu besar danakhirnya air yang berbau belerang itupun mengalir turun karena batu-batu yang menjadi bendungan itu bobol. Air mengalir dengan cepatnya dan kini rendaman pada tubuh mayat itu semakin dangkal saja. Setelah air itu hanya tinggal sejengkal saja dalamnya dan hanya menutupi kaki yang bersila itu sampai sebatas perut, nampaklah coretan-coretan itu merupakan huruf-huruf yang agaknya ditulis dengan memperhunakan jari tangan saja!
"Aih, benar, tulisan-tulisan itulah yang amat penting dan agaknya tidak ditemukan oleh Koan Jit!" kata San-tok dengan girang. Biarpun dia seorang datuk kau m sesat, namun San-tokdi waktu mudanya pernah mempelajari ilmu kesusasteraan dengan tekun sehingga dia mampu membaca dan mengerti huruf-huruf yang agak kuno itu. Lian Hong sendiri yang sejak kecil ikut San-tok, hanya sempat mempelajari ilmu membaca sekedarnya saja maka tentu ia tidak mampu kalau harus membaca tulisan huruf-huruf kuno itu. Dengan suara bisik-bisik yang hanya dapat didengar oleh Lian Hong, San-tok lalu membaca huruf-huruf itu satu demi satu sehingga dapat dirangkai menjadi kalimat-kalimat yang jelas.
"Srigala-srigala hina pencari pusaka
satu demi satu mampus di tangan Kwi Ong-ya!
Tetapi karena Thian-te-pai gerombolan hina
memaksa aku bersembunyi di sini dan bertapa!
Giok-liong-kiam pusaka pembuka rahasia
penyimpan benda-benda pusaka berharga
tak mungkin ditemukan siapapun juga
tanpa bantuan Giok-liong-kiam ke dua!
Akulah pembuat Giok-liong-kiam ke dua
dari batu sumber menggantikan kemala!
Di dalam gagangnya tersimpan rahasia
tempat simpanan Giok-liong-kiam pertama!"
Setelah membaca semua kalimat itu, San-tok tiba-tiba tertawa bergelak. Lian Hong yang belum begitu mengerti akan arti tulisan itu, memandang heran dan bertanya,
"Suhu, mengapa suhu tertawa setelah membaca tulisan itu?"
"Ha-ha-ha, betapa lucunya! Agaknya si Kwi-ong (Raja Setan) ini selain lihai, juga amat cerdik dan licin, pandai berkelakar pula. Hong Hong, dari tulisannya ini jelaslah bahwa si Koan Jit itu, murid pertama si gendut Thian-tok, hanya menguasai Giok-liong-kiam palsu. Ha-ha, yang dijadikan rebutan selama ini oleh semua tokoh kang-ouw, yang menimbulkan kekacauan dan keributan itu bukan Giok-liong-kiam aseli, melainkan tiruan yang dibuat oleh Kwi-ong ini. Ha-ha-ha!"
"Apakah yang suhu maksudkan dengan semua itu? Aku tidak mengerti..." Kakek itu masih tertawa bergelak, kemudian setelah ketawanya mereda, baru dia menerangkan kepada muridnya.
"Dari tulisannya itu dapat kita ketahui semuanya, Hong Hong. Kakek luar biasa ini berjuluk Kwi-ong, julukan yang jumawa sekali. Agaknya dialah yang dahulu berhasil menguasai Giok-liong-kiam yang aseli. Tentu banyak tokoh persilatan yang berusaha merebut pusaka itu, akan tetapi dia berhasil membunuh mereka satu demi satu. Lihat saja tengkorak-tengkorak yang berserakan di sini, agaknya itulah musuh-musuhnya yang dibunuhnya karena hendak merampas Giok-liong-kiam. Akan tetapi dari tulisannya dapat diduga bahwa dia merasa gentar menghadapi desakan Thian-te-pai yang agaknya pada waktu itu memiliki banyak orang pandai. Thian-te-pai memaksa dia bersembunyi dan bertapa, dan dia lalu memperoleh akal, menyembunyikan pusaka Giok-liong-kiam di suatu tempat rahasia lalu dia membuat sebuah Giok-liong-kiam palsu. Ha-ha, dia membuatnya dari batu kali atau batu di sumber ini sebagai pengganti kemala. Dan agaknya pusaka palsu inilah yang akhirnya terjatuh juga ke tangan Thian-te-pang atau Thian-te-pai dan menjadi pusaka simpanan perkumpulan itu sampai akhirnya dicuri orang dan menjadi perebutan, dan akhirnya dicuri dari tangan Thian-tok oleh muridnya sendiri. Ha-ha, kalau diingat betapa kita semua ribut-ribut memperebutkan benda palsu! Akan tetapi, hanya Kwi-ong inilah yang tahu bahwa rahasia tempat penyimpanan Giok-liong-kiam yang aseli berada di dalam gagang Giok-liong-kiam yang palsu. Dan kini agaknya hanya kita yang mengetahuinya. Biarpun pusaka di tangan Koan Jit itu palsu, akan tetapi bagi kita masih tetap berharga karena di dalam gagangnya terkandung rahasia penyimpanan yang aseli. Dan agaknya, pusaka Giok-liong-kiam itu diperebutkan orang bukan hanya karena pusaka itu berharga dan amat langka, melainkan pusaka itupun menyembunyikan rahasia penyimpanan benda-benda pusaka yang amat berharga. Mengertikah engkau kini, Hong Hong?" Lian Hong mengangguk dan memandang kagum kepada mayat telanjang yang terendam air sampai ke perut itu.
"Bukan main. Kakek ini dahulunya tentu pandai sekali, suhu." Gurunya mengangguk, akan tetapi Kakek ini masih terus menyelidiki batu-batu di sekitar tempat mayat itu duduk bersila dan akhirnya dia menemukan apa yang dicari. Yaitu coretan huruf-huruf kecil di sebuah batu yang merupakan catatan tentang Giok-liong-kiam!
Agaknya ditempat inilah Kwi-ong membuat pusaka yang palsu dan dia membuat catatan-catatan Giok-liongkiam aseli agar pelmasuan itu dapat dibuat sebaik mungkin. Catatan itu menggambarkan macam Giok-liong-kiam, ukurannya san sebagainya. San-tok lalu mengeluarkan sebuah kipas dan dengan teliti dia mencatat semua itu di atas kipasnya. Setelah selesai, dibantu oleh Lian Hong, Kakek ini lalu kembali memasang batu-batu besar sebagai bendungan dan tak lama kemudian, air sumber yang terbendung itu membuat kolam yang merendam tubuh Kwi-ong berikut batu-batu di sekelilingnya. Akan tetapi terlebih dahulu San-tok yang cerdik itu melenyapkan tulisan-tulisan di permukaan batu dengan gempuran-gempuran, menggunakan batu lain sehingga permukaan batu itu hancur dan tulisannyapun lenyap.
"Hong Hong, engkau sudah melihat semua ini dan kini makin jelas pula betapa pentingnya kita dapat menguasai Giok-liong-kiam. Aku akan kembali ke Wuyi-san di mana aku akan mencoba akal yang pernah dipergunakan Kwi-ong, dan engkau pergilah menyelidiki di mana adanya Koan Jit. Akan tetapi jangan engkau turun tangan karena hal itu tentu amat berbahaya."
"Suhu menyuruh aku menyelidiki, akan tetapi kalau sudah kuketahui tempatnya, aku tidak boleh turun tangan. Apa maksud suhu?"
"Aku akan membuat Giok-liong-kiam palsu seperti yang pernah dilakukan Kwi-ong. Aku sudah mencatat segala bentuk dan ukurannya. Sementara aku mencoba membuat yang palsu itu, engkau pergi mencarinya. Setelah engkau berhasil, cepat mengabarkan padaku. Kita harus dapat menukar pusaka di tangan Koan Jit itu dengan yang palsu." Lian Hong semakin tidak mengerti. Ia mengerutkan alisnya dan memandang wajah suhunya dengan heran.
"Suhu ini aneh sekali. Sudah mengerti bahwa pusaka di tangan Koan Jit itu palsu, mengapa kini suhu hendak menukarnya lagi dengan yang palsu buatan suhu? Kalau memang sudah kita ketahui tempatnya, kita rampas saja pusaka itu, kenapa susah-susah hendak menukarnya seolah-olah suhu takut kepada Koan Jit itu?" Kakek kurus itu tertawa lebar.
"Ha-ha-ha, engkau belum mengerti, muridku yang baik. Aku tidak takut kepada Koan Jit, bahkan terhadap gurunya sekalipun aku tidak takut. Akan tetapi ketahuilah, semua orang di dunia persilatan berlumba untuk memperebutkan pusaka itu. Kini mereka semua tahu bahwa pusaka itu berada di tangan Koan Jit sehingga mereka semua tentu akan mencari Koan Jit. Kalau kita merampas pusaka itu begitu saja dari tangan Koan Jit, tentu perhatian semua tokoh persilatan berbalik kepada kita dan kehidupan kita tentu tidak akan tenteram lagi. Ingat saja halnya Kwi-ong yang akhirnya mati di tempat ini tanpa dapat menikmati pusaka yang dikuasainya. Maka, kita menukar pusaka itu dan biarkan semua orang mencari dan memusuhi Koan Jit sedangkan kita diam-diam memiliki pusaka itu dan mencari rahasianya. Bagaimana kau pikir?" Lian Hong memandang kagum kepada suhunya.
"Wah, ternyata suhu tidak kalah lihai dan cerdiknya dibandingkan dengan Kwi-ong!" Ia memuji dari dalam hatinya.
"Ha-ha-ha, baru engkau mengenal suhumu, ya? Nah, kita sekarang berpisah di sini. Aku kembali ke Wuyi-san dan engkau pergilah dan mencari Koan Jit. Orang macam dia tentu suka akan daerah yang bergolak. Dan perang madat mendatangkan pergolakan di selatan. Maka, sebaiknya ke sanalah engkau mencari. Semua orang kang-ouw berkumpul di sana dan lebih mudah bagimu untuk mencari keterangan."
Guru dan murid inipun saling berpisah. Untuk kedua kalinya Lian Hong melakukan perjalanan seorang diri dalam usahanya mencari jejak Koan Jit yang amat licin bagai belut itu. Thian-Te-Pai atau Thian-te pang amat terkenal di jaman itu karena perkumpulan ini merupakan satu di antara perkumpulan-perkumpulan yang gigih menentang pemerintah penjajah Mancu. Mereka terdiri dari orang-orang gagah segala aliran yang bergabung dalam satu wadah, sejak bertahun-tahun mengadakan penentangan, pengacauan dan perlawanan terhadap pasukan pemerintah Mancu, mengobarkan pemberontakan di mana-mana. Banyak sudah anggauta mereka yang tewas dalam pertempuran-pertempuran melawan pasukan pemerintah, namun mereka tidak pernah jera.
Bahkan anggauta mereka semakin banyak saja, terdiri dari orang-orang gagah segala aliran dan suku. Selain ini, juga mereka mengadakan hubungan baik dengan perkumpulan-perkumpulan lain yang mempunyai tujuan sama, yaitu menentang pemerintah Ceng dan kalau mungkin menghalau penjajah Mancu dari tanah air. Ketika terjadi perang madat yang berlangsung selama tiga tahun itu, orang-orang Thiante-pang juga bergerak. Akan tetapi karena mereka menjadikan pemerintah Mancu sebagai sasaran utama, maka perang antara pemerintah melawan orang-orang kulit putih itu membuat mereka seolah-olah memperoleh bantuan dari orang-orang kulit putih. Karena itu, mereka sengaja tidak menyerang orang kulit putih, melainkan menghantam pemerintah yang sedang sibuk melawan musuh asing itu.
Biarpun demikian, bukan berarti bahwa Thian-te-pang suka bersekongkol dengan orang-orang kulit putih. Maka, setelah perang dihentikan dan pemerintah Ceng yang dipimpin kaisar yang lemah itu tunduk kepada orang kulit putih, menyerahkan banyak kota dan perlakuan istimewa terhadap orang-orang kulit putih, diam-diam para pendekar, termasuk orang-orang Thian-te-pang, menjadi marah bukan main. Pada waktu itu, Thian-te-pang diketuai oleh seorang Kakek berusia enam puluh tahun lebih yang bernama Ma Ki Sun, seorang ahli silat yang pandai, seorang gagah sejati yang sejak muda sudah bangkit menentang pemerintah penjajah. Dia diwakili oleh Coa Bhok, sutenya sendiri yang juga lihai ilmu silatnya. Mereka berdualah yang memimpin Thian-te-pang.
Akan tetapi, selama beberapa tahun ini, Thian-te-pang seolah-olah kehilangan pamornya, seperti menyuram akibat lenyapnya pusaka Giok-liong-kiam dari tangan mereka. Pusaka ini tadinya dianggap semacam simbol kekuatan dan semangat Thian-te-pang, dan membuat mereka dihargai dan dikagumi di dunia kang-ouw. Akan tetapi setelah Giok-liong-kiam lenyap dicuri orang, pandangan dunia persilatan terhadap Thian-te-pang agak menurun. Mereka menganggap bahwa lenyapnya pusaka itu menunjukkan kelemahan Thian-te-pang yang tidak mampu menjaga pusaka sendiri sampai dapat dicuri orang. Tentu saja pihak Thian-te-pang sudah berusaha mati-matian untuk mencari pencurinya dan merampas kembali pusaka mereka sehingga ketika terjadi perebutan, murid pertama Thian-te-pang yang bernama Lui Siok Ek ikut pula memperebutkan.
Bahkan ketika para tokoh mendatangi Siauw-bin-hud, wakil ketua Thian-te-pang yang bernama Coa Bhok juga hadir. Namun, semua usaha mereka sia-sia belaka. Giok-liong-kiam tetap tak dapat mereka temukan. Seperti telah kita ketahui, ketika terjadi perang madat, orang-orang Thian-te-pang banyak yang berjuang di Kanton dan daerahnya, dan banyak pula menarik orang-orang gagah untuk bekerja sama dengan mereka. Di antara orang-orang gagah ini terdapat Ong Siu Coan yang telah berpisah dari sutenya, yaitu Gan Seng Bu yang pergi bersama isterinya, Sheila. Melihat adanya kesempatan baik untuk memenuhi cita-citanya melalui Thian-te-pang yang besar dan kuat, ketika pasukan itu kembali ke Bukit Kijang Putih di Propinsi Hunan, Siu Coan ikut pula bersama rombongan orang-orang Thian-te-pang.
Para murid dan anggauta Thian-te-pang tentu saja menerimanya dengan tangan terbuka karena mereka semua sudah mengenal kelihaian pemuda ini. Thian-te-pang mengadakan rapat, dipimpin oleh Ma Ki Sun dan sute atau wakilnya, Coa Bhok. Siu Coan yang diterima sebagai seorang sahabat dan tamu, juga diperkenalkan hadir. Yang hadir di dalam ruangan luas itu adalah para tokoh Thian-te-pang, murid-murid kepala dan komandan-komandan regu, tidak kurang dari lima puluh orang banyaknya, memenuhi ruangan yang biasanya menjadi tempat berlatih silat para anggauta dan murid Thian-te-pang. Ma Ki Sun dan Coa Bhok mempunyai murid-murid yang jumlahnya dua puluh orang lebih, dan para murid ini lalu melatih silat kepada para anggauta Thian-te-pang. Siu Coan yang hadir sebagai tamu, mengamati keadaan di situ.
Dilihatnya bahwa tempat yang menjadi markas besar Thian-te-pang ini merupakan sebuah perkampungan yang dilengkapi dengan tembok tinggi seperti benteng di lereng Bukit Kijang Putih itu. Tempat yang baik sekali dan kuat untuk pertahanan. Dan di dalamnya terdapat segala macam senjata, juga mempunyai anggauta yang tidak kurang dari tigaratus orang banyaknya, tersebar di mana-mana. Pendeknya, sebuah perkumpulan yang cukup kuat. Dia memperhatikan Ma Ki Sun, ketua perkumpulan itu, dan wakilnya. Ma Ki Sun sudah berusia sedikitnya enam puluh tiga tahun, bertubuh tinggi kurus dengan mata yang sebelah kiri buta dan tidak berbiji lagi. Dengan mata sebelah ini dia pernah malang melintang sebagai seorang pendekar di selatan sehingga di dikenal dengan julukan It-gan Lam-eng (Pendekar Selatan Mata Satu).
Seperti juga para anggauta Thian-te-pang, di baju ketua ini, di bagian dada, terdapat lukisan bulatan yang mengambarkan Im-yang, akan tetapi berbeda dengan para anggauta yang lukisannya disulam benang biasa, lukisan di baju sang ketua ini disulam dengan benang emas. Sikapnya penuh wibawa dan matanya yang tunggal itu melirik ke kanan kiri dengan tajam dan sinarnya mencorong. Orang ke dua, yang menjadi wakil ketua dan juga sutenya, bernama Coa Bhok, nampak tinggi kurus pula, akan tetapi sikapnya angkuh, nampak dari tarikan mulutnya yang agak sinis dan dagu serta pandang matanya yang membayangkan kekerasan hati. Di tempat itu sudah diatur meja sembahyang, lengkap dengan hidangan dan lilin-lilin yang dinyalakan. Kemudian, Coa Bhok sebagai wakil suhengnya, bangkit berdiri dari tempat duduknya dan terdengar suaranya yang lantang dan tegas.
"Para murid dan anggauta Thian-te-pang. Sebelum rapat dimulai, lebih dulu akan diadakan upacara sembahyang untuk menghormat arwah para pahlawan yang telah gugur dalam perang yang lalu." Setelah berkata demikian, diapun duduk kembali, memberi kesempatan kepada suhengnya sebagai ketua untuk mengucapkan "Amanat"nya. Ma Ki Sun bangkit berdiri, tubuhnya lebih jangkung dari pada sutenya. Justeru matanya yang tinggal satu itulah yang mendatangkan wibawa besar, pikir Siu Coan sambil melihat dan mendengarkan penuh perhatian.
"Anak-anak sekalian!" terdengar Kakek mata satu itu berkata.
"Kita adalah pendekarpendekar tanah air, patriot-patriot bangsa yang berjuang tanpa pamrih, hanya dengan satu tujuan, yaitu membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah! Akan tetapi, perjuangan kita tidak akan sia-sia. Bangsa kita akan terbebas dari belenggu penjajahan, dan kalau kita gugur, nama kita akan dipuja selamanya sebagai pahlawan. Karena itu, kita tidak boleh melupakan kawan-kawan seperjuangan yang gugur baru-baru ini dan marilah kita sembahyangi mereka agar roh mereka mendapat tempat yang baik, dan nama mereka akan dipuja selamanya."
Siu Coan tersenyum di dalam hatinya, senyum mengejek. Mungkin nama beberapa orang pentolan saja yang akan diingat selamanya, akan tetapi nama para perajurit biasa, siapa yang akan mengingatnya? Nama itupun akan terlupa. Perjuangan tanpa pamrih? Mana mungkin itu, cemooh hatinya. Menumbangkan penjajah hanya merupakan jalan saja, tidak hanya habis sampai di situ. Aku jelas tidak mau berjuang tanpa pamrih, dengan sia-sia. Akan tetapi ketika sang ketua dan wakilnya bersembahyang dan memberi kesempatan kepada para tamu untuk bersembahyang, Siu Coan juga bersembahyang,
Akan tetapi tidak seperti mereka yang mengangkat hio membara, melainkan dengan cara membungkuk sedikit di depan meja sembahyang. Tentu saja semua orang memandang dengan heran, akan tetapi mereka yang tahu bahwa pemuda ini tertarik akan Agama Kristen yang dibawa oleh orang kulit putih, hanya tersenyum mengejek. Betapapun juga, tidak ada yang berani menegurnya karena mereka semua maklum akan kelihaian pemuda ini. Ma Ki Sun mengerutkan alisnya, akan tetapi juga tidak menegur, mengingat bahwa pemuda ini hanya seorang tamu dan kabarnya telah banyak berjasa dalam perang membantu perjuangan Thian-te-pang. Setelah semua orang selesai sembahyang dan meja sembahyang disingkirkan, dimulailah rapat itu. Mula-mula sang ketua membicarakan soal pusaka Giok-liong-kiam.
"Mendapatkan kembali pusaka itu merupakan kewajiban kita, akan tetapi tidak begitu mutlak perlu," kata Ma Ki Sun.
"Yang penting adalah soal perjuangan. Seperti kita semua ketahui, pemerintah penjajah Mancu yang mulai bobrok itu telah secara tak tahu malu menakluk kepada orang-orang kulit putih dan menyerahkan kota-kota penting begitu saja kepada mereka. Penjilat-penjilat tak tahu malu itu sungguh terkutuk! Madat akan dimasukkan lagi dan bangsa kita akan dijejali barang beracun itu sampai akhirnya kita menjadi bangsa yang lemah dan pemadatan! Ini harus kita tentang! Kita harus mengerahkan tenaga untuk mengganggu dan menyerang mereka, sekarang kita mulai mendekati Kota Raja dan mengadakan kekacauan di daerah Kota Raja!"
Akan tetapi, para murid dan anggauta Thian-te-pang nampak saling pandang dan agaknya tidak semangat menyambut anjuran sang ketua ini. Hal ini adalah hasil dari permainan kasakkusuk yang dilakukan Siu Coan selama ini di antara mereka. Dengan cerdik dia, tanpa mencela secara terang-terangan, mengatakan bahwa Thian-te-pang perlu memperoleh pimpinan baru yang perkasa dan pandai. Dan dia sengaja menyinggung betapa pusaka Giok-liong-kiam merupakan lambang kebesaran Thian-te-pang dan hilangnya pusaka itu menunjukkan kemerosotan Thian-tepang,
Maka perlu segera didapatkan kembali. Dan sekarang, sang ketua bahkan meremehkan Giok-liong-kiam, dan mengajak mereka untuk mengganggu daerah Kota Raja yang amat berbahaya karena di daerah itu penjagaan pasukan kerajaan amatlah kuatnya. Melakukan pengacauan di daerah Kota Raja sama saja dengan membunuh diri! Karena itulah, mereka saling pandang dan tidak menyambut ucapan sang ketua itu dengan semangat seperti biasanya. Apa lagi mereka masih lelah, baru saja pulang dari pertempuran-pertempuran yang melelahkan di mana mereka kehilangan banyak teman. Melihat sikap para anak buah ini, Ma Ki Sun dan sutenya saling pandang. Kemudian sutenya, Coa Bhok, berseru dengan suara lantang,
"Apakah di antara kalian ada yang hendak mengajukan usul?" Tentu saja para murid dan para anggauta itu tidak berani menentang kehendak ketua mereka, maka merekapun kini hanya saling pandang dan akhirnya mereka memandang kepada Siu Coan. Pemuda ini tersenyum dan bangkit dari tempat duduknya.
"Pangcu, aku ingin mengajukan usul-usul!"
"Ong-sicu!" jawab Coa Bhok dengan alis berkerut. Ini adalah rapat para anggauta Thian-te-pang, sicu sebagai orang luar tidak berhak mencampuri. Maaf, kami tidak dapat menerima usul dari luar." Sedikit banyak Coa Bhok sudah mendengar tentang pemuda ini dari para muridnya. Seorang pemuda yang lihai, akan tetapi aneh. Tak seorangpun mengetahui asalusulnya, dari perguruan mana, dan juga bahwa sute dari pemuda ini telah menikah dengan seorang wanita kulit putih. Orang seperti itu mana boleh dipercaya? Apa lagi tadi pemuda itu melakukan sembahyang secara aneh dan melanggar adat kebiasaan. Siu Coan tidak mundur oleh teguran ini.
"Maaf, aku terpaksa mencampuri karena melihat hal-hal yang baik dalam Thian-te-pang. Aku menganggap Thian-te-pang sebagai saudara seperjuangan, dan aku tahu bahwa para anggauta ingin sekali mengajukan usul-usul namun mereka tidak berani. Kini aku akan maju sebagai wakil pembicara mereka. Saudara-saudara, bagaimana kalau aku menjadi wakil pembicara kalian untuk menyampaikan segala ketidakpuasan yang menekan batin kalian? Setujukah?" Sudah banyak Siu Coan mempengaruhi para anggauta Thian-te-pai, apa lagi mereka yang kagum menyaksikan sepak terjangnya, maka mereka ini serentak menyatakan setuju dan suara ini diikuti saja oleh para anggauta lain yang agaknya sudah kehilangan pegangan itu.
"Setujuuuuu...!" Terdengar suara serentak mereka. Ma Ki Sun dan Coa Bhok saling pandang dan akhirnya Ma Ki Sun mengangguk.
"Baiklah," kata Coa Bhok denga suara kering dan ketus.
"Kalau memang para anggauta menghendaki, engkau boleh menyatakan usul-usulmu, Ong-sicu."
"Terima kasih, akan tetapi sebelumnya aku minta agar pangcu berjanji bahwa sebelum aku selesai menyatakan usul-usulku, maka usul-usulku tidak boleh dipotong. Berjanjilah bahwa aku akan diperbolehkan menyatakan usul-usulku sampai aku habis bicara." Ma Ki Sun melambaikan tangannya dengan tidak sabar.
"Baik, bicaralah, orang muda!"
"Aku hanya menjadi juru pembicara para anggauta Thian-te-pang. Kami semua merasa tidak puas terhadap kebijaksanaan yang diambil oleh pimpinan. Pertama, setelah Giok-liong-kiam dicuri orang dan terlepas dari tangan kita, maka pamor Thian-te-pang menjadi suram. Karena itu, urusan mencari dan merampas kembali Giok-liong-kiam merupakan hal terpenting dan menyangkut kehormatan dan nama besar Thian-te-pang sendiri. Maka kami tidak setuju kalau dinomorduakan. Giok-liong-kiam harus didapatkan kembali lebih dulu!" Siu Coan berhenti sebentar untuk memberi kesempatan para anggauta menyatakan persetujuan mereka. Kemudian dia menyambung dengan cepat,
"Ke dua, melakukan pengacauan dan menyerang ke daerah Kota Raja pada saat ini adalah sama sekali tidak tepat. Pemerintah penjajah baru saja berbaik dengan orang-orang kulit putih sehingga kedudukan mereka kuat, sebaliknya kita baru saja bertempur dan kehilangan banyak tenaga. Kita harus menghimpun kekuatan lebih dulu, bergabung dengan golongan lain kalau perlu, dan setelah kita kuat benar barulah kita bergerak. Akan tetapi, jangan jadikan Thian-te-pang sebagai kelompok pengacau-pengacau tak berarti saja. Kita bercita-cita, bukan hanya untuk menjadi sekedar pengacau, melainkan kalau mungkin kita akan gulingkan pemerintah penjajah Mancu!" Kembali terdengar tepuk tangan dan seruan-seruan pujian dari para anggauta. Mereka telah dibangkitkan oleh ucapan Siu Coan.
"Ke tiga, kami sama sekali tidak setuju dengan ucapan ketua ketika diadakan upacara sembahyang tadi. Buat apa kita berjuang mati-matian, mengorbankan nyawa kalau sekedar mencari nama kosong belaka? Kita berjuang harus dengan cita-cita, dengan pamrih luhur! Thian-te-pang harus berjuang bukan hanya untuk dicap sebagai pahlawan kalau mati, melainkan untuk merampas tahta kerajaan dan kalau berhasil kelak, setiap orang anggauta Thian-te-pang, tidak terkecuali, harus mendapatkan kedudukan atau pangkat sesuai dengan jasa-jasa mereka! Dengan demikian, tidak akan percuma kalau sekarang kita berjuang dengan taruhan nyawa juga, sehingga kelak dapat memperoleh pahala untuk mengangkat nama dan derajat keluarga, juga menjamin kemakmuran bagi kehidupan mereka!"
Sekali ini, tepuk tangan dan sorak-sorai menyambut ucapan Siu Coan sehingga tidak dapat disangsikan
(Lanjut ke Jilid 15)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)
Jilid 15
lagi dukungan mereka terhadap Siu Coan. Ma Ki Sun dan Coa Bhok dengan muka pucat saling pandang dan keduanya merasa betapa ada bahaya besar mengancam mereka, setidaknya kedudukan mereka. Akan tetapi sebelum mereka sempat bicara, kembali Siu Coan sudah mengangkat kedua tangan keatas, dan terdengar suaranya melengking mengatasi semua suara bising. Dua orang pimpinan Thia-te-pang terkejut karena mereka maklum bahwa suara itu didukung oleh tenaga khikang yang amat kuat!
"Saudara-saudara sekalian, harap tenang!" dan kini semua orang diam, memperhatikan Siu Coan dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar penuh semangat.
"Masih ada satu hal lagi yang teramat penting, lebih penting dari pada yang terdahulu. Kami berpendapat bahwa pimpinan Thian-te-pang sekarang ini sudah tidak becus, sudah terlalu tua dan tidak mungkin dapat memajukan Thian-te-pang, maka kami usulkan agar diganti oleh tenaga muda yang lebih bersemangat!" Sekali ini, semua anggauta terdiam dan wajah mereka berobah, dengan penuh ketegangan mereka memandang ke arah Ma Ki Sun dan Coa Bhok. Tentu saja sebagai murid-murid Thiante-pang mereka tidak berani mendukung ucapan itu walaupun di dalam hati, mereka setuju sekali. Ma Ki Sun dan Coa Bhok kini saling pandang dengan muka pucat dan Coa Bhok sudah meloncat berdiri.
"Orang she Ong! Sikapmu sungguh keterlaluan dan tidak bersahabat! Apakah engkau hendak mengajak murid-murid kami berkhianat?"
"Coa-pangcu harap sabar dulu. Aku sama sekali tidak mengajak mereka berkhianat, melainkan bicara sejujurnya saja. Pimpinan Thian-te-pang tidak becus mendapatkan kembali pusaka Giok-liong-kiam dan telah memperlihatkan kepemimpinan yang tidak baik. Maka, wajarlah kalau pimpinan sekarang yang sudah terlalu tua dan lemah mundur saja untuk diganti oleh yang muda dan kuat!" Coa Bhok tersenyum mengejek.
"Orang she Ong. Mereka semua adalah murid-murid kami, siapakah di antara mereka yang dapat melebihi kekuatan kami?"
"Wah, banyak!" kata Ong Siu Coan.
"Di antaranya aku sendiripun mampu melebihi kekuatan kalian."
"Keparat!" Kini Coa Bhok meloncat ke depan menghadapi Siu Coan yang juga sudah meninggalkan kursinya dan berdiri di tengah-tengah ruangan itu. Keduanya kini saling berhadapan seperti dua ekor jago yang siap untuk saling serang.
"Jadi engkau menghendaki kedudukan ketua Thian-te-pang?"
"Kalau kalian yang sudah tua dan lemah tahu diri, aku akan sanggup memimpin Thian-tepang jauh lebih baik dari pada kalian orang-orang tua yang sudah lemah!"
"Jahanam bermulut besar! Ingin kulihat apakah kepandaianmu juga sebesar mulutmu!" bentak Coa Bhok yang sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. Berkata demikian, wakil ketua Thia-te-pang ini sudah mencabut sebatang pedang. Dia marah sekali, akan tetapi sebagai seorang wakil ketua sebuah perkumpulan besar yang merasa dirinya telah menduduki tingkat tinggi, dia merasa tidak enak kalau harus menyerang seorang lawan yang begitu muda dengan senjata tanpa memberi kesempatan kepada lawan.
"Ong Siu Coan, keluarkanlah senjatamu!" tantangnya sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Akan tetapi Siu Coan tersenyum, suaranya lantang terdengar oleh semua orang ketika dia bicara. Pada waktu itu, keributan itu sudah terdengar oleh orang-orang yang berada di luar ruangan sehingga kini lubang pintu dan jendela penuh dengan kepala-kepala tersembul memandang ke dalam, kepala para anggauta Thian-te-pang.
"Aku datang bukan untuk berkelahi, melainkan mengatakan hal-hal yang sebenarnya. Akan tetapi kalau Coa-pangcu yang bernafsu untuk menyerang dan membunuhku, silahkan. Aku sendiri sama sekali tidak takut menghadapi pedangmu dengan tangan kosong saja." Ucapan ini sekaligus merupakan teguran bahwa dia sebagai tamu akan diserang oleh tuan rumah yang memulai perkelahian itu, akan tetapi juga suatu sikap memandang rendah dan menentang yang membuat wajah wakil ketua Thian-te-pang itu sebentar menjadi pucat sebentar menjadi merah.
"Orang she Ong! Kalau tidak engkau yang menggeletak mati di ujung pedangku, akulah yang harus mampus di tanganmu. Lihat senjata!" Dan Kakek itu sudah menerjang maju dan mengirim serangan dengan pedangnya secara kilat dan dahsyat sekali. Betapapun cepatnya tusukan pedang yang menuju ke arah tenggorokan Siu Coan itu, namun Siu Coan lebih cepat lagi. Tubuhnya sudah mencelat ke kiri dan tusukan itu mengenai angin kosong.
Sebagai seorang ahli pedang yang tangguh, begitu pedangnya luput mengenai sasaran, pergelangan tangannya bergerak dan pedang itu membuat gerakan memutar terus menyambar dengan bacokan yang lebih dahsyat lagi ke arah leher Siu Coan. Pemuda itu merendahkan tubuh membiarkan pedang lewat dan cepat dia meloncat ke atas ketika pedang itu sudah datang lagi dari lain jurusan membabat kedua kakinya! Pedang itu terus bergerak cepat menghujankan serangan dan sebentar kemudian pedang itu sudah lenyap bentuknya dan berobah menjadi segulungan sinar putih yang menyambar-nyambar. Akan tetapi bentuk tubuh Siu Coan juga sudah lenyap. Hanya bayangan tubuhnya saja yang berloncatan ke sana-sini sehingga pedang yang bayangannya berobah banyak itu seolah-olah hanya menyerang bayangan kosong saja!
Semua mata yang nonton perkelahian itu hampir tak pernah dikejapkan. Semua orang memandang dengan hati tegang. Para murid dan anggauta Thian-te-pang maklum betapa lihainya wakil ketua itu bermain pedang dan kini Siu Coan menghadapinya dengan tangan kosong saja! Mereka sudah membayangkan bahwa tak lama lagi tentu tubuh pemuda itu akan roboh mandi darah, tewas atau terluka berat. Akan tetapi, makin cepat pedang itu berkelebat, makin cepat pula tubuh Siu Coan bergerak menghindar sehingga jangankan tubuh pemuda itu dilanggar pedang, bahkan ujung baju pemuda itupun tidak pernah tergores pedang sama sekali! Dan agaknya pemuda itu dapat menghindarkan diri dengan amat mudahnya, hal ini terbukti dari suara ketawanya yang kadang-kadang terdengar, bahkan terdengar pula suaranya penuh ejekan.
"Nah, bukankah kau sudah terlalu tua dan gerakanmu terlalu lemah dan lamban, Coa-pangcu?" Mendengar suara ketawa dan ejekan ini, para penonton menjadi terheran-heran dan kagum bukan main. Dianggap oleh mereka bahwa agaknya tidak masuk akal kalau ada orang mampu menghadapi pedang Coa Bhok dengan tangan kosong, dan masih sempat tertawa-tawa bahkan mengeluarkan suara mengejek.
Mereka tahu bahwa Siu Coan lihai, akan tetapi tidak pernah menduga bahwa pemuda itu memiliki kesaktian seperti itu! Juga ketua Thian-te-pang, Ma Ki Sun, terbelalak kaget. Kakek ini adalah suhengnya dari Coa Bhok dan lebih lihai dari pada sutenya. Akan tetapi dia tidaklah seangkuh Coa Bhok yang terlalu percaya akan kepandaian sendiri sehingga suka memandang ringan orang lain. Melihat betapa selama lebih dari dua puluh jurus sutenya yang menggunakan pedang itu terus menerus menyerang pemuda itu tanpa berhasil sedikitpun juga, bahkan melihat pemuda itu benar-benar memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada sutenya. Dia merasa heran dan terkejut akan kenyataan ini, akan tetapi dia masih cukup waspada untuk berseru kepada sutenya.
"Sute, sudahlah, jangan berkelahi lagi!" katanya dengan maksud agar sutenya tidak menderita malu dan bahkan agar sutenya tidak menderita malu dan bahkan mungkin terancam bahaya. Akan tetapi, Coa Bhok sudah memuncak kemarahannya. Kehebatan lawan dan ejekan lawan tadi sudah meracuni batinnya dan dia merasa lebih baik mati dari pada harus menghentikan serangannya dan mengaku kalah!
"Biarlah, suheng. Dia atau aku yang mati!" teriaknya dan dia memperhebat serangannya. Siu Coan bukan seorang bodoh. Tadinya sedikitpun tidak terlintas dalam benaknya untuk merobohkan lawannya dengan luka berat, apa lagi membunuhnya. Dia tahu bahwa dua orang Kakek ini, bagaimanapun juga, merupakan guru-guru dari para anggauta Thian-te-pang sehinnga mereka itu masih akan mampu mempengaruhi para anggauta. Dia bermaksud untuk menanamkan kekuasaannya di Thian-te-pang tanpa mengganggu para pimpinannya, hanya menundukkan saja dan dia dapat mempergunakan kekuatan Thian-te-pang untuk mencapai tujuannya.
Akan tetapi, melihat sikap Coa Bhok, tahulah dia bahwa orang ini kalau dibiarkan hidup, akhirnya tentu akan menjadi orang yang selalu memusuhinya, baik berterang ataupun dengan menggelap. Cegahan ketua Thian-te-pang tadi meyakinkan hatinya bahwa dengan ketua itu dia masih boleh mengharapkan kerja sama, akan tetapi terhadap Coa Bhok yang keras hati ini harus diambil tindakan tegas, akan tetapi harus diatur sedemikian rupa agar para anggauta Thiante-pang tidak akan menjadi sakit hati kepadanya. Siu Coan membiarkan lawannya mengamuk terus. Dengan ilmu silat Ngo-heng Lianhoan Kun-hoat yang amat hebat dari Thian-tok, dia mampu menghindarkan semua serangan itu. Dan kini kadang-kadang dia menangkis dengan tangannya, tangan yang sudah diisi dan dialiri tenaga ilmu kebal Kim-ciong-ko.
Ilmu Kim-ciong-ko ini dapat membuat tubuhnya seperti dilindungi baju emas saja. Sebetulnya, melihat ilmu ini saja yang membuat kedua tangan pemuda itu mampu menangkis pedangnya tanpa lecet sedikitpun juga, sudah cukup bagi Coa Bhok untuk menyadari bahwa dia kalah jauh. Namun Kakek ini keras hati dan dia menganggap bahwa Siu Coan sudah melontarkan penghinaan terhadap dia dan suhengnya, maka dia tetap tidak mau mundur dan menyerang terus walaupun kini napasnya mulai empas-empis. Bersilat pedang memang lebih cepat melelahkan, karena membutuhkan tenaga tambahan untuk menggerakkan pedang. Walaupun pedangnya itu pedang tipis dan tidak sangat berat, akan tetapi kalau harus menyerang terus sejak tadi, tenaganya mulai berkurang juga.
Siu Coan cukup waspada. Dia melihat lowongan baik. Kalau hanya untuk merobohkan Kakek itu saja, sejak tadipun dia akan mampu melakukannya. Akan tetapi merobohkan lawan seperti yang dikehendakinya, membutuhkan waktu karena dia harus mencari kesempatan baik dan gerak cepat yang luar biasa. Tiba-tiba saja, tanpa dapat dilihat oleh semua orang kecuali ketua Thian-te-pang bagaimana terjadinya, Kakek Coa Bhok mengeluarkan teriakan mengaduh dan tubuh Kakek itu roboh miring dan tewas seketika dengan tubuh mandi darah, pedang yang gagangnya masih dipegangnya itu telah menusuk dadanya sendiri sampai tembus! Karena pedang itu tepat menembus jantung, maka Kakek itupun tewas seketika. Semua orang terkejut dan terbelalak. Siu Coan berdiri dan memandang mayat itu, menarik napas panjang dan berkata,
"Coa-pangcu sungguh keras hati, memilih bunuh diri dari pada menderita kekalahan. Sayang, sayang...!" Barulah para anggauta Thian-te-pang maklum bahwa wakil ketua itu telah membunuh diri karena merasa akan menderita kekalahan. Mereka menjadi semakin kagum terhadap pemuda itu dan mereka juga semakin tegang, ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh ketua mereka terhadap Siu Coan. Ma Ki Sun bangkit dari kursinya, menanggalkan jubahnya yang lebar, lalu memerintahkan murid-muridnya untuk menyingkirkan mayat sutenya.
"Urus jenazahnya baik-baik," katanya dengan suara datar. Setelah mayat itu diangkut, dia lalu melangkah perlahan menghampiri Siu Coan yang masih berdiri di tengah ruangan itu. Di lantai masih ada darah dan melihat ini, sakit juga rasa hati Ma Ki Sun, teringat betapa sutenya sejak muda membantunya dan sutenya adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, seorang patriot yang gagah berani. Akan tetapi tak disangkanya, sutenya tewas di tangan seorang pemuda yang sama sekali tidak ada nama, walaupun harus diakuinya bahwa kepandaian pemuda itu benar-benar amat hebat. Sejenak mereka saling pandang, pandang mata ketua itu penuh selidik, pandang mata Siu Coan menanti dengan sikap waspada.
"Orang muda, sebetulnya apakah yang kau cari di sini?" tanyanya dengan suara lirih dan tegas.
Siu Coan menjura dengan hormat.
"Harap pangcu maafkan kalau peristiwa berekor seperti ini. Adalah Coa-pangcu yang memaksaku..."
"Aku mengerti, orang muda. Akan tetapi, apakah sebenarnya kehendakmu?" Melihat mata yang hanya satu itu memandangnya penuh selidik, seolah-olah dapat menembus dan menjenguk isi hatinya, diam-diam Siu Coan bergidik dan dia cepat-cepat menjawab dengan suara lantang agar terdengar oleh semua orang.
"Pangcu, aku hanya ingin agar Thian-te-pang menjadi sebuah perkumpulan patriot yang kuat dan kelak akan berhasil menggulingkan kerajaan penjajah Mancu. Aku ingin menghimpun seluruh kekuatan para pejuang untuk bersatu dan menghalau penjajah dari tanah air."
"Hemm, jadi engkau ingin menjadi ketua Thian-te-pang?"
"Bukan hanya Thian-te-pang, melainkan aku ingin memimpin seluruh pasukan pejuang yang menentang pemerintah penjajah, ingin mendirikan sebuah kekuatan baru yang meliputi segenap rakyat jelata untuk bangkit melawan penjajah!" Ucapan ini keluar dari lubuk hati Siu Coan, terdengar penuh semangat sehingga membakar semangat para anggauta Thian-te-pang yang menyebabkan perasaan suka dan kagum mereka terhadap Siu Coan meningkat. Sikap Siu Coan ini agaknya mulai meyakinkan hati Ma Ki Sun pula. Dia bukan seorang yang ambisius dan diapun mengerti bahwa karena usianya sudah makin menua, sudah wajarlah kalau Thian-te-pang dipegang oleh tenaga muda dan mungkin saja akan menjadi semakin kuat dan maju.
"Baiklah, Ong-sicu. Akan tetapi karena saat ini aku yang menjadi pangcu, kalau engkau ingin mengambil alih kursi pimpinan, engkau harus dapat pula mengalahkan aku."
Siu Coan merasa tidak enak dan khawatir kalau-kalau para anggauta Thian-te-pang yang dia tahu sudah mulai suka kepadanya, akan berobah sikap kalau dia sampai mencelakai ketua Thian-te-pang yang juga menjadi guru mereka ini. Kalau tadi para anggauta Thian-te-pang tidak marah melihat tewasnya Coa Bhok adalah karena mereka melihat Coa Bhok seperti membunuh diri, dan melihat adanya ketua Thian-te-pang di situ yang akan mengambil keputusan. Tentu saja Coa Bhok tadi bukan membunuh diri, melainkan dibunuhnya sedemikian rupa sehingga nampaknya seperti bunuh diri. Ketika dia memperoleh kesempatan, dengan kecepatan kilat dia menotok tengkuk Kakek itu sehingga tubuhnya kaku dan pada detik berikutnya, dia menusukkan pedang yang masih dipegang tangan kanan Kakek itu ke dalam dada Kakek itu sendiri!
"Pangcu, aku tidak ingin berkelahi!"
"Akupun bukan menantangmu berkelahi seperti yang dilakukan sute tadi, melainkan sebagai peraturan belaka. Siapa yang hendak menjadi ketua Thian-te-pang selagi ketuanya yang lama masih ada dan belum mengundurkan diri, maka calon ketua baru itu harus mampu mengalahkan ketua lama. Nah, aku sudah siap, majulah orang muda!"
Tidak seperti sutenya, kini Ma Ki Sun tidak mempergunakan senjata, walaupun dia juga seorang ahli pedang. Kakek ini, melihat perkelahian tadi saja, sudah maklum bahwa diapun bukan lawan pemuda ini! Walaupun dia menggunakan pedang, akhirnya dia akan kalah juga. Dengan maju tanpa pedang, dia akan dapat melihat apa sesungguhnya kehendak pemuda ini dan bagaimana sikapnya. Apakah pemuda ini tetap akan membunuhnya? Kalau demikian, dia masih ada kesempatan untuk memperingatkan para muridnya dan membuka kedok Siu Coan yang tadi membunuh Coa Bhok. Tidak ada jalan lain bagi Siu Coan kecuali menerima tantangan ketua Thian-te-pang itu.
"Baik, pangcu, aku sudah siap," katanya.
Karena maklum akan lihainya pemuda itu, Ma Ki Sun tidak bersikap sungkan-sungkan lagi dan diapun membuka serangan, disambut dengan tenang oleh Siu Coan. Terjadilah perkelahian tangan kosong yang seru, lebih seru dari pada tadi karena kini Ma Ki Sun bersilat dengan hati-hati dan diam-diam dia mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan tenaga sinkangnya. Akan tetapi, Siu Coan yang ingin memberi muka kepada Kakek ini, demi berhasilnya apa yang dicita-citakan, menandinginya dengan seimbang. Kalau dia menghendaki, pemuda ini tentu akan mampu merobohkannya, karena sesungguhnya, ilmu yang dikuasai pemuda ini masih setingkat lebih tinggi dari pada ketua Thian-te-pang. Namun, Siu Coan tidak mau merobohkan lawannya dan selalu menangkis, mengelak dan membalas serangan sekedarnya saja.
Ma Ki Sun bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang ahli silat tinggi yang sudah banyak pengalaman pula. Dia tahu bahwa memang lawannya banyak mengalah. Apa lagi ketika pada suatu saat dia menyerang, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas karena ditotok, akan tetapi sebelum dia roboh, pemuda itu sudah membebaskan kembali totokannya. Semua ini terjadi sedemikian cepatnya sehingga hanya diketahui dan dirasakan oleh Ma Ki Sun sendiri saja. Diam-diam dia merasa semakin kagum. Pemuda ini benar-benar hebat. Kalau memang benar pemuda itu mempunyai watak baik, seorang pendekar sejati, maka diapun ikut bergembira bahwa pihak pejuang memperoleh seorang tenaga muda yang demikian baiknya. Akan tetapi dia bergidik membayangkan bahwa pemuda itu termasuk golongan sesat yang akan menyelewengkan perjuangan.
"Dukk!" Dua lengan bertemu dan Siu Coan menambah sedikit tenaganya, sehingga pertemuan tenaga melalui lengan itu membuat ketua Thian-te-pang terhuyung ke belakang dengan napas terengah-engah dan muka pucat penuh keringat.
"Ong-sicu, engkau memang hebat dan pantas menjadi ketua Thian-te-pang!" kata Kakek itu. Tentu saja Siu Coan gembira bukan main dan dia sudah cepat memberi hormat kepada Kakek itu, lalu berkata lantang, ditujukan kepada semua anggauta Thian-te-pang.
"Aku bukan datang untuk merampas kedudukan ketua! Aku datang untuk membantu Thian-te-pang menjadi sebuah perkumpulan yang besar, mengembalikan kehormatan Thian-te-pang, memperoleh kembali Giok-liong-kiam dan memperbesar perkumpulan ini menjadi kekuatan yang kelak akan menjadi pelopor bagi semua patriot untuk mengenyahkan penjajah dari tanah air!" Para anggauta Thian-te-pang bersorak gembira. Juga Ma Ki Sun merasa gembira sekali. Memang sutenya tewas di tangan pemuda ini. Akan tetapi sesungguhnya, dia melihat sendiri tadi, bahwa pemuda ini sama sekali tidak berniat membunuh sutenya sebelum sutenya dengan nekat menghendaki adu nyawa.
Kiranya pemuda ini hanya ingin diterima menjadi seorang anggauta kehormatan saja yang tentu akan membantu kemajuan Thian-te-pang, sedangkan kedudukan ketua masih diberikan kepadanya! Demikianlah, mulai hari itu, Thian-te-pang menerima Ong Siu Coan sebagai seorang pemimpin tanpa kedudukan! Karena maklum bahwa pemuda ini lihai bukan main, semua mata para anggauta ditujukan kepadanya dan pemuda inipun dengan cerdiknya lalu merobah cara berlatih silat, memberi petunjuk beberapa pukulan yang lihai sehingga mereka semua semakin tunduk kepadanya. Akan tetapi, pertama-tama yang dilakukannya adalah mengerahkan mereka itu untuk menyelidiki di mana adanya Koan Jit. Tentu saja dengan dalih bahwa Thian-te-pang harus mendapatkan kembali pusakanya itu agar nama dan kehormatannya dapat terangkat lagi.
Padahal, jauh di sudut hatinya tersimpan keinginan untuk menguasai sendiri pusaka itu apa bila sudah dapat dirampasnya dari Koan Jit. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kecewa rasa hati Siu Coan ketika para anggauta thian-te-pang itu tidak pernah berhasil dalam mencari dan menemukan jejak Koan Jit. Orang yang menjadi suhengnya itu ternyata benar-benar amat licin. Seolah-olah menghilang ditelan bumi saja. Langkah kedua yang diambil oleh Siu Coan adalah mulai menyebarkan agama baru yang dipeluknya, yaitu Agama Kristen yang mulai menarik hatinya. Akan tetapi, dasar wataknya sombong, baru saja berkenalan dengan agama baru itu, dia sudah merasa menjadi ahli, bahkan merasa bahwa pengertiannya yang baru secuwil tentang kitab suci agama itu, sudah menandingi pengertian para pendeta agama itu sendiri.
Dia merasa seolah-olah dia menjadi seorang petugas suci, seorang pendeta yang menyebarkan ajaran agama itu demi kepentingan manusia. Padahal, ayat-ayat suci yang harus dipelajari dan harus ditafsirkan secara benar dan tepat itu, dia tafsirkan sendiri menurut kemauan sendiri, disesuaikan dengan keinginan hatinya. Sikap Siu Coan yang tidak menentang bangsa kulit putih, bahkan kini dia secara terang-terangan hendak menyebarluaskan agama yang oleh para patriot dianggap sebagai agama bangsa kulit putih yang jahat, yang telah menyebar racun madat, mendatangkan kecurigaan dan kekecewaan. Agama baru Kristen itu oleh para patriot juga dianggap sebagai pelajaran yang mengandung racun. Hal ini tidaklah aneh. Pertama adalah karena pada waktu itu, kenyataan bahwa orang kulit putih menyelundupkan madat yang meracuni rakyat,
Membuat semua orang terutama yang berjiwa patriot, membenci orang kulit putih dan tidak percaya kepada mereka. Hal ini mengakibatkan kecurigaan sehingga apapun yang dimasukkan oleh orang kulit putih, juga agama mereka, merupakan sesuatu yang beracun, enak memang, akan tetapi merusak badan dan batin! Ke dua adalah karena pada waktu itu, agama oleh para pedagang kulit putih itu memang dijadikan senjata untuk menaklukkan orang-orang pribumi, melunakkan sikap mereka, memperoleh kepercayaan mereka. Dapat dibuktikan menurut catatan sejarah betapa semua negeri yang akhirnya menjadi jajahan kau m kulit putih, sebelum mengenal bedil orang kulit putih, lebih dahulu mengenal agama mereka.
Sudah menjadi kenyataan pula bahwa masuknya kompeni atau serdadu orang-orang barat itu selalu dipelopori dengan masuknya para pendeta sebagai pembuka jalan. Di dunia ini terdapat banyak sekali agama atau pelajaran kebatinan yang tujuannya sebenarnya hanya satu, yakni : menuntun manusia agar hidup dengan bersih, dalam arti kata tidak saling mengganggu, bahkan saling menolong, memperbesar nyala api cinta kasih antara manusia dan melenyapkan kebencian, iri hati, permusuhan dan sebagainya. Tidak ada satupun di antara agama-agama itu yang mempunyai tujuan buruk! Namun, baiknya agama tidak menjamin baiknya manusia. Bahkan manusia sendirilah yang menentukan apakah agama yang dianutnya itu benar-benar menjadi obor dan petunjuk kebersihan hidup ataukah sebaliknya.
Manusia yang menentukan karena manusia adalah kehidupan ini. Agama adalah agama, tidak baik tidak buruk, suatu pelajaran hidup, makanan rohani juga obat batin. Baik buruknya tergantung si pemakai, ialah manusia. Penggunaan yang benar dari manusia dapat membuat agama sebagai penyedar batin yang menyeleweng, sebagai obor penyuluh bagi batin yang menderita, penuntun bagi manusia yang makin menjauhkan diri dari pada Alam dan pencipta-Nya. Akan tetapi sebaliknya, penggunaan yang keliru dari manusia dapat saja membuat agama menjadi penimbul kemunafikan, menjadi bahan bentrokan antara agama, menjadi pembangkit kesombongan dan ketinggian hati karena merasa diri paling bersih, paling benar dan paling suci.
Hal ini bukan sekedar dongeng, melainkan kenyataan yang dapat kita lihat setiap hari di sekeliling kita, bahkan di dalam batin kita sendiri. Ketidaksenangan yang timbul di kalangan para anggauta Thian-te-pang yang masih setia terhadap Ma Pangcu, membuat mereka curiga dan teliti mengikuti gerak-gerik Siu Coan. Dan akhirnya mereka melihat bahwa jalan hidup pemuda itu jauh dari pada bersih! Pemuda itu bahkan tidak segan-segan untuk melakukan kejahatan-kejahatan. Pernah mereka melihat bayangan pemuda itu memasuki gedung seorang hartawan dan pada keesokan harinya, tersiar berita bahwa hartawan itu kehilangan benda-benda berharga! Dan pernah pula di sebuah kota terjadi penculikan-penculikan wanita cantik dan pada keesokan harinya wanita-wanita itu kedapatan tewas di dalam hutan.
Dan di antara para anggauta pernah melihat Siu Coan pada pagi hari keluar dari dalam hutan itu! Memang tidak mungkin dapat menangkap pemuda itu pada saat dia melakukan kejahatan, tidak mungkin menangkap basah karena pemuda itu amat lihai. Akan tetapi, mereka menjadi semakin curiga. Terutama sekali Ma Ki Sun. Diam-diam Kakek ini lalu mengadakan hubungan dengan para pendekar dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika ada pendekar yang mengenal Siu Coan sebagai murid dari datuk iblis Thian-tok! Diam-diam Ma Pangcu mengumpulkan murid-murid utamanya dan mengundang tokoh-tokoh persilatan, di antaranya dua orang Hwesio Siauw-lim-si dan dua orang tosu Kun-lun-pai. Mereka lalu mengadakan pertemuan di sebuah kuil Siauw-lim-si di belakang Bukit Kijang Putih, tanpa setahu Siu Coan.
"Ong Siu Coan memang memiliki ilmu silat yang amat lihai dan lagaknya seolah-olah dia benar-benar hendak menghimpun kekuatan untuk meruntuhkan kekuatan penjajah. Akan tetapi sepak terjangnya sungguh berlawanan dengan lagaknya. Banyak hal pada dirinya yang amat meragukan dan mengkhawatirkan, karena itu kami mengundang para suhu dan totiang untuk membantu kami memecahkan persoalan ini."
"Bicaralah, pangcu. Kamipun sudah banyak mendengar tentang orang she Ong itu," kata Giok Cin Cu, seorang tokoh Kun-lun-pai yang berpakaian tosu.
"Pertama sekali yang perlu diketahui adalah kenyataan bahwa Ong Siu Coan adalah murid datuk sesat Thian-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia, yang pernah menyamar sebagai Siauw-bin-hud dan merampas pusaka kami Giok-liong-kiam. Bahkan sekarangpun yang melarikan pusaka itu adalah murid pertamanya yang bernama Koan Jit, hal ini kita semua sudah mendengarnya."
"Omitohud...!" Seorang di antara tokoh Siauw-lim-pai berseru kaget.
"Jadi anak murid Thian-tok sekarang menkadi pemimpin Thian-te-pang? Sungguh berbahaya!"
"Ke dua, dia tidak memusuhi orang kulit putih, bahkan condong untuk bersahabat dengan orang kulit putih. Sutenya, murid ke tiga dari Thian-tok, kabarnya bahkan telah menikah dengan seorang gadis kulit putih. Ini merupakan bukti bahwa dia sama sekali tidak memusuhi orang kulit putih yang jelas merupakan ancaman bagi keselamatan bangsa." Mereka yang mendengar keterangan ini mengangguk-angguk maklum. Tidak ada seorangpun di antara para patriot itu yang setuju dengan membanjirnya orang kulit putih di kota-kota yang telah dibuka oleh keputusan Kaisar Tao Kuang yang ketakutan terhadap penyerbuan orang kulit putih itu.
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dewi Ular Eps 10 Dewi Ular Eps 1 Rajawali Hitam Eps 15