Pedang Naga Kemala 25
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 25
"Tuan, dalam peraturan kami para pendekar, mengalah berarti membiarkan lawan menyerang sampai tiga kali. Tuan sudah memukulku sampai tiga kali, harap berhenti, kalau tidak, terpaksa aku akan membela diri dan akan membalas serangan yang keempat." Admiral Elliot yang melihat ini, menjadi tertarik sekali.
Sebagai seorang admiral, pangkat yang amat tinggi karena dialah yang memimpin seluruh armada yang beroperasi di negeri Cina, tentu saja dia memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan anak buahnya, walaupun terbatas sebagian besar pada teorinya saja. Dari gerakan-gerakan Sui Coan ketika mengelak tadi, dia dapat menduga bahwa pemuda itu ternyata "berisi." Maka dia merasa tertarik sekali dan ingin menyaksikan apakah benar dalam serangan keempat, pemuda yang bagi seorang Cina cukup jangkung itu akan mampu membalas opsirnya, seorang yang dia tahu cukup tangguh. Opsir itu adalah Sersan Bullbone, seorang yang bertubuh kokoh bagaikan banteng. Mendengar ucapan Siu Coan itu, sersan tadi malah menjadi semakin berang. Ucapan itu tidak dianggap sebagai orang yang mengalah, melainkan sebagai tantangan.
"Apa? Engkau mau membalas? Boleh, boleh sekali! Memang dalam perkelahian, orang boleh saja membalas."
Bagaimanapun juga, dia adalah seorang petinju yang juga mengutamakan sportivitas, bahkan dia pikir kalau pemuda itu balas menyerang, dia akan berhasil mencari lowongan untuk memasukkan serangannya. Setelah berkata demikian, karena tadi Siu Coan mundur, Sersan Bullbone lalu mendesak maju tiga langkah dan kini kedua tangannya yang dikepal sudah melakukan serangan bertubi-tubi, dari kanan kiri, cepat sekali seperti kitiran angin. Akan tetapi sebagai seorang petinju, sasaran pukulan-pukulannya hanyalah dari pinggang ke atas, dan hal ini nampak jelas oleh Sui Coan. Tiba-tiba Siu Coan merendahkan tubuhnya berjongkok, kakinya menyapu kaki lawannya. Sersan Bullbone terpelanting karena kakinya diserampang oleh kaki Siu Coan yang terlatih keras seperti batangan besi itu.
"Curang! Curang!" Terdengar teriakan di sana- sini. Siu Coan tidak mengerti arti kata Bahasa Inggeris itu dan diapun sudah mundur lagi dan memandang musuhnya yang kini merangkak bangun.
"Itu tidak boleh kau lakukan!" kata Admiral Elliot yang kini merasa tertarik sekali, mendahului anak buahnya yang agaknya hendak mengeroyok. Melihat sang admiral sendiri turun tangan mencampuri, semua orang diam tidak berani bergerak.
"Maaf, Tuan besar," kata Siu Coan kepada admiral itu.
"Mengapa tidak boleh? Tadi sudah kukatakan bahwa kalau dia menyerang lagi untuk keempat kalinya, aku terpaksa akan membalas."
"Benar, akan tetapi engkau menyerang bagian kaki. Menurut ilmu tinju kami, serangan hanya boleh dilakukan dari pinggang ke atas, itupun bagian depan, tidak boleh bagian belakang, dan harus dilakukan dengan pukulan tangan, tidak boleh dengan anggauta tubuh yang lain." Mendengar penjelasan ini, Siu Coan mengangguk mendengar tentang peraturan tinju di antara orang kulit putih. Bahkan dia pernah menyaksikan pertandingan tinju seperti itu yang dianggap amat aneh dan lucu. Orang bertanding dan berkeiahi kenapa mesti pakai aturan dan larangan segala macam? Bukankah berkelahi itu mencari kemenangan dengan cara apapun juga? Lihat saja kalau harimau berkelahi, ayam berkelahi, tanpa ada aturan-aturan yang mengikat.
Dia berpikir sejenak. Memang tidak mudah kalau ilmu silatnya dibatasi dalam perkelahian seperti itu. Bayangkan saja. Semua bagian tubuh lain, tendangan kaki yang mematikan, lutut, siku, bahkan kepala kalau perlu, semua itu untuk dipergunakan menyerang. Dan lebih lucu lagi, yang diserang hanya pinggang ke atas, sedangkan bagian-bagian lain yang mematikan tidak boleh disentuh! Dan tangan harus dikepal pula. Padahal, untuk mencapai bagian-bagian yang sempit seperti tenggorokan, mata dan untuk menotok jalan darah atau mematahkan tulang iga, semua itu hanya dapat dilakukan dengan menggunakan jari-jari tangan. Kalau jari-jari dikepal, tentu hanya dapat dipakai untuk menjotos saja. Bahkan pinggiran tangan yang dapat dipakai membabat seperti golok atau pedang tak dapat dipergunakan lagi.
"Bagaimana? Beranikah engkau melawan aku dengan peraturan tinju seperti itu?" Kini Sersan Bullbone menantang, akan tetapi sikapnya tidak segalak tadi. Pertama, karena dia dapat pula menduga bahwa tentu pemuda ini pandai silat seperti opsir Koan Jit, dan juga di situ disaksikan oleh Admiral Elliot, maka dia tidak boleh bersikap sewenang-wenang. Siu Coan tersenyum.
"Tuan, sebetulnya tadi saya tertarik menyaksikan pertandingan itu dan ingin memasuki karena tadi ada tantangan dari enam orang itu. Aku tidak ingin berkelahi, melainkan bertanding untuk mengadu ilmu bela diri. Akan tetapi kalau Tuan mendesak dan mau coba-coba, boleh saja. Hanya, aku tidak suka kalau tanganku dibungkus, karena dengan demikian, aku merasa seperti tidak mempunyai tangan saja." Semua orang tersenyum mendengar ini dan Sersan Bullbone tertawa.
"Aha, kalau tanganku ini dibiarkan terbuka tanpa dilindungi sarung tangan, pukulanku bisa mematahkan tulang rahangmu, mungkin kepalamu."
"Bagi kami, kalah atau menang, mati atau hidup merupakan akibat pertandingan yang tak patut disesalkan lagi."
"Baik, majulah. Akan tetapi ingat, hanya menggunakan kepalan tangan untuk menghantam dari pingging ke atas, dari depan. Tahu?"
"Baik, aku mengerti," jawab Siu Coan. Kini keduanya sudah berhadapan dan opsir itu sudah membuat gerakan mengelilingi Siu Coan dengan lagak seorang petinju jagoan.
Tubuhnya agak membongkok, kedua lengannya dipasang, yang kiri di depan dagu, yang kanan di dekat rusuk, keduanya dikepal, kedua kakinya membuat gerakan seperti menari-nari dan dia mengelilingi Siu Coan. Siu Coan berdiri tanpa bergerak, hanya matanya yang mengikuti gerak-gerik lawan. Kalau lawan mengitarinya di belakangnya, dia diam saja. Bukankah tidak boleh memukul dari belakang, pikirnya. Tiba-tiba dari samping, opsir itu melancarkan pukulan straight ke arah dagu kanan Siu Coan. Pemuda tidak mau memperpanjang pertandingan itu, maka begitu pukulan melayang datang ke arah dagunya, diam-diam dia mengerahkan sinkangnya untuk melindungi dagu itu. Tepat pada saat pukulan yang keras itu menghantam dagunya, dia membarengi dengan jotosan lunak saja ke arah pangkal leher lawan.
"Dukkk" desss"" Akibatnya, tubuh yang kokoh itu terpelanting dan roboh tak mampu bangkit kembali karena pingsan! Knocked-out dalam satu pukulan saja! Tentu saja semua orang terbelalak menyaksikan itu. Mereka tadi melihat dengan jelas betapa pukulan Sersan Bullbone tepat mengenai dagu Siu Coan, akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak merasakannya,
Karena dagunya terlindung tenaga sakti, sedangkan pukulannya yang hanya dilakukan dengan tenaga terkendali itu cukup membuat sang sersan roboh pingsan! Sersan itu sendiri kalau tidak keburu pingsan, tentu akan bengong terlongong. Ketika pukulannya yang keras tadi mengenai dagu lawan, dia merasa seperti memukul benda lunak, seperti memukul sebuah balon yang terisi angin saja! Dan pukulan lawan ke arah pangkal lehernya seperti ada geledek menyambarnya! Terdengar tepuk tangan dan yang bertepuk tangan adalah Admiral Elliot. Melihat ini, banyak perajurit bertepuk tangan memuji. Dan sang Admiral lalu menggapaikan tangannya memanggil Sui Coan. Memang ini yang dikehendaki pemuda itu, maka diapun lalu menghampiri dan berkata halus.
"Harap maafkan, Tuan besar. Aku tidak sengaja membikin celaka Tuan itu." Dia menunjuk ke arah tubuh Bullbone yang mulai bergerak dan bangkit dibantu teman-temannya. Admiral Elliot memandang pemuda yang tinggi itu dengan sinar mata penuh selidik. Sebagai seorang Admiral, tentu saja Elliot bukan orang bodoh. Dia sedang menaksir-naksir dan melakukan penyelidikan dengan pandang matanya terhadap pemuda ini? Musuhkah? Mata-mata musuhkah? Atau seorang penjahat yang melarikan diri dari pemerintah Ceng, seperti juga Koan? Ataukah seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi dan hanya ingin bertualang? Ataukah seorang yang haus akan kedudukan dan kemuliaan seperti Koan Jit? Dengan bahasa daerah yang dikuasainya dengan baik, Admiral Elliot lalu tiba-tiba saja mengajukan pertanyaan kepada Siu Coan.
"Orang muda, sebenarnya apa kehendakmu maka engkau berani datang ke tempat kami dan memamerkan kepandaianmu?" Kalau bukan Siu Coan yang ditanya seperti itu, tentu akan menjadi panik dan gugup. Pertanyaan itu diajukan dalam bahasa daerah yang fasih, hal yang sama sekali tidak tersangka-sangka, dan pertanyaan itu demikian tepat dan langsung mengenai sasaran. Karena memang sesungguhnya, dia datang untuk memamerkan ilmu kepandaiannya! Dia harus berhati-hati terhadap admiral ini, pikirnya, karena dia tahu bahwa pembesar ini benar-benar seorang yang cerdik sekali. Dia lalu menjura dengan cara bangsanya, memberi hormat dan berkata.
"Orang muda, sebenarnya apa kehendakmu maka engkau berani datang ke tempat kami dan memamerkan kepandaianmu?" Kalau bukan Siu Coan yang ditanya seperti itu, tentu akan menjadi panik dan gugup. Pertanyaan itu diajukan dalam bahasa daerah yang fasih, hal yang sama sekali tidak tersangka-sangka, dan pertanyaan itu demikian tepat dan langsung mengenai sasaran. Karena memang sesungguhnya, dia datang untuk memamerkan ilmu kepandaiannya! Dia harus berhati-hati terhadap admiral ini, pikirnya, karena dia tahu bahwa pembesar ini benar-benar seorang yang cerdik sekali. Dia lalu menjura dengan cara bangsanya, memberi hormat dan berkata.
"Maafkan saya, Tuan. Saya sama sekali tidak bermaksud memamerkan kepandaian, melainkan karena sejak kecil saya memang suka akan olah raga bela diri. Melihat betapa saudara-saudara yang gagah di sini memperlihatkan ilmu itu dan mengadu kepandaian, lalu mendengar tantangan tadi, timbul kegembiraan hati saya untuk mencoba-coba. Hanya bermaksud untuk bersahabat melalui adu ilmu silat, bukan untuk bermusuhan, Tuan. Di kalangan bangsa kami terdapat peribahasa bahwa tidak akan menjadi sahabat baik sebelum saling mengadu ilmu masing-masing."
Admiral itu tersenyum. Sebagai seorang pembesar tinggi yang bertugas di negeri Gina, tentu saja di banyak mempelajari tentang keadaan di negara itu, tentang para pejuang, para pendekar dan para sasterawannya. Dia dapat menduga bahwa pemuda ini memang hanya seorang pendekar yang suka akan petualangan saja, akan tetapi masih "bersih" dari pada pengaruh politik yang membuat orang menjadi pro sana anti sini.
"Baiklah kalau begitu, apakah engkau yakin dapat mengalahkan seorang di antara enam orang jagoan kami itu?" Dia menunjuk ke arah enam orang yang masih berkumpul di situ, yang tadi juga menonton pertandingan antara sersan Bullbone dan Siu Coan. Mereka merasa jerih juga kalau harus berhadapan dengan pemuda sederhana itu sendirian saja.
"Saya yakin, Tuan."
"Bagaimana kalau kau dikeroyok dua, masih yakinkah akan menang?"
"Kalau tidak dibatasi dengan peraturan tinju, melainkan perkelahian biasa boleh menggunakan cara bagaimana saja untuk memperoleh kemenangan, saya yakin akan mampu mengalahkan dua orang di antara mereka," jawab Siu Coan, bukan dengan nada sombong melainkan dengan sikap sederhana dan suara meyakinkan, sehingga menyenangkan hati admiral itu. Pemuda ini pasti memiliki kepandaian hebat, mungkin tidak banyak selisihnya dengan kelihaian Koan Jit, maka berani menjawab seperti itu, dan sikapnya juga amat sopan dan sederhana, sama sekali berbeda dengan sikap Koan Jit yang kelihatan congkak dan mengandalkan kehebatan dirinya sendiri.
"Hemmm..." Admiral Elliot meraba dagunya yang halus, akan tetapi jenggot yang pagi tadi dicukur bersih sudah mulai memarut jari-jari tangannya.
"Bagaimana kalau dikeroyok tiga? Beranikah kau ?" Dia memakai pertanyaan dengan kata berani, bukan yakin menang lagi. Dia ingin menguji ketabahan hati pemuda ini, dan jawaban Sui Coan yang tetap sederhana itu mengejutkan hatinya.
"Saya berani, Tuan." Admiral itu memandang kepada Siu Coan penuh perhatian. Benarkah anak ini akan mampu menghadapi pengeroyokan tiga orang jagoan itu? Dia sendiri dikeroyok dua saja akan berpikir-pikir dulu!
"Bagaimana kalau mereka berenam maju semua? Berani jugakah engkau?"
"Saya berani, Tuan," jawab Siu Coan tanpa ragu-ragu. Memang dia ingin memperlihatkan kelihaiannya agar dapat "terpakai", maka diapun tidak ragu-ragu untuk menantang.
"Bgus! Akan kubuktikan omonganmu. Akan tetapi, dalam perkelahian, kepalan tangan tidak mempunyai mata, kalau sampai engkau kena pukulan keras dan menderita sakit atau sampai mati sekalipun, jangan kau persalahkan aku, karena engkau sendiri yang menerima tantangan untuk dikeroyok enam orang sekaligus."
"Saya tidak akan menyalahkan siapa-siapa dan tidak akan menyesal, Tuan." Admiral itu lalu memanggil enam orang itu dan menerangkan dalam bahasa Inggeris bahwa pemuda Cina ini berani menghadapi mereka dengan sekaligus dikeroyok enam orang. Enam orang itu terbelalak, saling pandang dan kemudian terkekeh-kekeh. Ketika semua prajurit yang tidak mengerti omongan antara admiral dan Siu Coan tadi mendengar bahwa pemuda itu berani dikeroyok enam orang jagoan yang dipilih itu, merekapun tertawa-tawa tidak percaya. Akan tetapi Sui Coan sudah siap untuk memperlihatkan kepandaiannya, maka dengan sikap tenang dia telah melangkah ke dalam tengah arena itu, lalu berdiri tegak dan bertolak pinggang, lalu berkata dengan suara Inggeris yang patah-patah.
"Tuan-tuan berenam, silahkan maju mengeroyokku!" Enam orang itu kembali saling pandang dan tertawa-tawa, mereka semua ragu-ragu dan menganggap Siu Coan dan admiral itu hanya berkelakar saja, bagaimanapun juga mereka adalah juara-juara tinju, juara-juara bermain anggar, dan bermain bayonet. Bagaimana kini mereka berenam disuruh mengeroyok seorang pemuda Cina yang tubuhnya, dibandingkan mereka, amat kurus dan kecil itu? Sekali tonjok saja agaknya pemuda itu akan knocked-out dan tidak akan bangun lagi.
"Admiral... apakah ini sebuah perintah?" tanya seorang di antara mereka. Admiral Elliot yang sedang gembira dan di dalam hati menduga bahwa enam orang itu belum tentu akan menang, tersenyum dan berkata.
"Aku perintahkan kalian maju mengeroyok pemuda itu, kalahkan dia tetapi jangan bunuh dia kalau bisa."
"Baik, Admiral. Siap melaksanakan perintah!" jawab mereka berenam sambil memberi hormat. Sejak tadi mereka itu tidak berbaju yaitu ketika tadi mereka berlatih tinju dan gumul, dan mereka hanya memakai celana panjang dengan sabuk kulit putih dan sepatu boot yang tebal. Mereka itu rata-rata memiliki tubuh yang penuh dengan otot-otot yang kekar dan kuat, dan muka yang bengis, pandang mata tajam penuh keberanian dan kecerdikan. Setelah memberi hormat, mereka lalu maju menghampiri Siu Coan yang masih berdiri tegak dengan kedua tangan di pinggang. Semua prajurit yang berada di situ merasa gembira dan tegang. Mereka disuguhi pertunjukan yang luar biasa! Bahkan ada yang berteriak-teriak menantang teman bertaruh.
"Siapa berani bertaruh se puluh pond lawan lima puluh pond, aku berpegang kepada enam orang jagoan kita!" Biarpun taruhan itu satu lawan lima, tidak ada yang melayani.
"Dua puluh lima pond, dalam waktu kurang dari semenit, pemuda itu tentu roboh!" Ramailah orang bertaruh, akan tetapi bukan bertaruh atas kemenangan Siu Coan, hanya bertaruh berapa lama pemuda itu akan dapat bertahan dikeroyok enam orang itu.
Dan admiral itupun hanya tersenyum-senyum saja melihat kegembiraan anak buahnya, karena dia sendiri juga gembira dan senang. Enam orang itupun bukan orang-orang biasa saja. Mereka adalah jagoan-jagoan berkelahi dan setiap orang jagoan tentu tidak mau begitu bodoh memandang rendah lawan yang belum dikenalnya. Mereka kini berindap-indap mengurung Siu Coan yang masih tetap berdiri tegak saja, seolah-olah tidak tahu bahwa di belakangnya ada dua orang, di depannya dua orang dan di kanan kirinya masing-masing satu orang. Melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memperhatikan belakangnya, dua orang yang berada di belakangnya melihat kesempatan amat baik itu lalu menubruk ke depan. Yang seorang menonjok ke arah pungung dan seorang lagi menjambak rambut.
Semua orang mengira bahwa sekali serangan itu sudah akan cukup untuk merobohkan Siu Coan. Akan tetapi seorang ahli silat selihai Siu Coan, murid dari Thian-tok seorang di antara Empat Racun Dunia, telah memiliki pendengaran yang terlatih dan amat tajam, juga perasaannya sedemikian pekanya seolah-olah dia memiliki mata di belakang kepalanya. Oleh karena itu, walaupun dia diserang dan belakang, dia dapat mengikuti setiap gerakan kedua orang penyerangnya. Dan begitu dia meloncat ke kiri, kedua serangan itupun luput karena gerakan Siu Coan sedemikian cepatnya sehingga bagi kedua orang penyerangnya, dia seolah-olah pandai menghilang saja. Melihat ini, dua orang yang berada di kanan kirinya juga cepat menyerang. Akan tetapi Siu Coan menangkis dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga.
Pada saat yang bersamaan pula, dua orang yang berada di depannya sudah menyerang dengan pukulan-pukulan yang dahsyat. Sampai berkerontokan bunyi otot-ototnya di kedua lengannya ketika mereka mengirim jotosan-jotosan. Akan tetapi, dua kali kaki kanan Siu Coan bergerak dan ujung sepatunya sudah menotok ke arah lutut mereka, sehingga tanpa dapat dicegah lagi, kedua orang itu jatuh berlutut, sedangkan dua orang yang ditangkis tadi kini mengaduh-aduh sambil memegangi lengan mereka yang terasa nyeri dan kiut-miut rasanya, menusuk-nusuk sampai ke tulang sumsum. Memang aneh sekali melihat betapa dua lengan yang besar berotot itu, begitu bertemu dengan tangkisan lengan Siu Coan yang kalau dibandingkan dengan mereka nampak kecil itu, lalu menjadi kesakitan seperti itu.
Dua orang yang tadi luput menubruk, membalikkan tubuh dan mengirim hantaman-hantaman, akan tetapi Siu Coan tidak mengelak, melainkan cepat dari samping menangkap pergelangan tangan mereka, menarik sambil meminjam tenaga, dan kedua orang itu telah saling bertumbukan beradu muka. Tentu saja mereka menjadi kesakitan dan menutupi hidung yang bocor keluar darah karena saling berciuman terlalu keras. Semua orang memandang dengan bengong, bahkan Admiral Elliot sejak tadi tidak pernah mengedipkan matanya, kini memandang dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Kalau dia tidak melihat dengan mata sendiri, tak mungkin dia dapat percaya bahwa seorang pemuda Cina yang demikian sederhana, dalam satu gebrakan saja mampu merobohkan enam orang jagoannya yang ahli bermain tinju dan bertubuh kuat sekali.
Dia tidak ingat bahwa mereka roboh karena terpukul bagian anggauta tubuh yang lemah. Dua orang tertangkis lengannya dengan lengan yang mengandung sin-kang sehingga tulang lengan seolah-olah retak-retak rasanya. Dua orang lagi tertotok ujung sepatu tepat pada lututnya sehingga tentu saja membuat mereka jatuh berlutut, dan dua orang pula mukanya diadu sedemikian kerasnya sampai hidung mereka berdarah. Admiral Elliot menjadi kagum dan mulai timbul kepercayaannya bahwa pemuda ini benar seorang pendekar seperti Koan Jit. Dan sudah merasa iri bahwa Kapten Charles Elliot, saudara sepupunya, telah berhasil memperhamba seorang ahli silat selihai Koan Jit. Kini ada pemuda ini, kalau dia sampai dapat menarik pemuda ini menjadi pembantunya, maka dia tidak kalah oleh saudara sepupu yang masih menjadi orang bawahannya itu.
"Orang muda, siapakah engkau?" Pertanyaan ini mengandung banyak penyelidikan, bukan sekedar bertanya nama. Siu Coan juga maklum akan hal itu, maka diapun berterus terang kepada admiral itu. Setelah menghampiri dan memberi hormat, diapun berkata.
"Tuan besar, nama saya adalah Ong Siu Coan. Seorang pendekar perantau yang tidak mencampuri urusan pemberontakan. Tentu Tuan pernah mendengar nama Koan Jit, bukan?"
"Tentu! kau kenal dia?"
"Bukan hanya kenal. Dia adalah kakak seperguruan saya, Tuan."
"Ohhh...!" Wajah admiral itu menjadi girang bukan main. Dia mendapatkan adik seperguruan Koan Jit yang lihai itu, yang kini menjadi komandan pasukan Harimau Terbang yang amat terkenal dan banyak jasanya terhadap kumpeni,
"Jadi engkau adik seperguruannya? Dia menjadi pembantu Kapten Charles Elliot! Eh, Ong Siu Coan, bagaimana kalau engkau diadu dengan Koan Jit, siapa yang lebih unggul?" Siu Coan tersenyum. Pertanyaan seperti itu sudah diduganya, dan dia sudah pula mempersiapkan jawabannya.
"Ah, di antara saudara seperguruan tentu saja tidak akan bertanding, Tuan. Akan tetapi, apa yang pernah dipelajari oleh Koan Jit juga pernah saya pelajari. Di antara kami berdua, boleh dibilang sama kuat. Dia lebih tua dan lebih berpengalaman, akan tetapi saya lebih muda dan lebih kuat tenaga saya." Girang sekali hati Admiral Elliot, akan tetapi hatinya masih belum yakin benar. Koan Jit sudah memperlihatkan kelihaiannya, pernah merobohkan keroyokan puluhan orang kuli pelabuhan yang kuat-kuat, dan bahkan pernah pula diuji kemampuannya oleh Peter Dull sendiri, dihujani peluru pistol namun dapat menghindarkan diri.
"Song Siu Coan, setelah engkau menguji kepandaaianmu, lalu apa yang kau kehendaki dari kami?"
"Tuan besar, terus terang saja, saya masih menganggur tidak tahu harus bekerja apa. Saya hanya bisa ilmu berkelahi saja dan saya tidak suka menjadi tukang pukul, apalagi menjadi penjahat. Kalau sekiranya Tuan suka, saya ingin minta pekerjaan di sini."
"Oho, bagus... bagus..." Admiral Elliot kegirangan.
"Akan tetapi kami belum percaya benar kemampuanmu. Bagaimana kalau engkau menghadapi enam orang jagoan kami itu, akan tetapi mereka menggunakan bayonet. Sanggupkah engkau mengalahkan mereka?" Mendengar ucapan itu, Siu Coan mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada admiral itu. Pandang matanya demikian mencorong seperti hendak menembus jantung admiral itu sehingga Admiral Elliot terkejut dan tidak berani menentang pandang itu.
"Tuan besar, mengapa Tuan menyuruh orang-orang untuk membunuh atau berusaha membunuh aku dengan senapan? Bukankah menurut pelajaran agama Tuan dikatakan bahwa kita harus mencintai sesama hidup kita, bahkan ada pelajaran yang mengatakan agar mencintai musuh-musuh kita? Kenapa sekarang Tuan hendak membunuh saya yang tidak berdosa?" Admiral itu membelalakkan matanya.
"Haii! kau tahu apa tentang Agama Kristen?" Siu Coan membuat tanda salib dengan tangannya.
"Ya Tuhan...! kau ... kau ... seorang Kristen?" Siu Coan mengangguk. Admiral Elliot mengangguk angguk, hatinya merasa bertambah girang. Namun dia masih berhati-hati, tidak percaya begitu saja dan dia lalu mengajukan beberapa pertanyaan tentang sejarah dalam agama Kristen, tentang nabi-nabi Musa, Daud, dan yang lain. Semua dapat dijawab dengan lancar oleh Siu Coan.
"Bgus? Jangan khawatir, maksudku kau melayani serangan enam orang pembantuku ini yang akan menyerangmu dengan bayonet dengan senapan yang kosong. Mereka tidak akan menembakmu. Tahukah kau bahwa Koan Jit akan dapat mengalahkan mereka seperti itu?"
"Baiklah, Tuan. Aku percaya penuh kepada Tuan, karena menurut pengetahuanku, seorang Kristen tidak boleh membohong atau menipu. Nah, aku siap sudah." Dan diapun berdiri memasang kuda-kuda. Menghadapi pengeroyokan enam orang itu yang tadi menyerangnya dengan tangan kosong, dan menghadapi mereka dengan senjata senapan berbayonet walaupun senapan itu tidak diisi peluru, sama sekali tidak boleh disamakan. Dia tadi sudah melihat ketika mereka berlatih menggunakan bayonet dan memang mereka itu sigap sekali, pandai menggunakan senjata itu.
Hanya diapun tahu bahwa senjata itu amat kaku, sebenarnya tidak praktis dipergunakan untuk berkelahi, tidak seperti pedang, golok atau tombak. Maka, diapun tidak memandang rendah dan kini dia memasang kuda-kuda dengan gagahnya. Kuat lemahnya pasangan kuda-kuda tidak tergantung dan indah tidaknya gaya kuda-kuda itu, akan tetapi untuk menimbulkan kesan, Siu Coan sengaja memasang kuda-kuda yang amat gagah gerakan dan gayanya. Dia berdiri dengan satu kaki kiri, kaki kanannya diangkat dan ditekuk seperti kalau seekor burung berdiri, tangan kanannya diangkat tinggi di atas kepala dan tangan kanannya membentuk cengkeraman di depan pusat. Kuda-kuda seperti ini kalau dilihat oleh seorang ahli silat tinggi tentu akan menggelikan, karena kuda-kuda ini ringkih sekali walaupun perubahannya dapat dilakukan dengan cepat.
Kini enam orang yang tadi sudah kalah, mengambil senapan tanpa peluru dan sudah dipasangi bayonet yang amat tajam runcing berkilau tertimpa sinar matahari pagi. Semua orang yang nonton menjadi semakin tegang. Kini pemandangan itu bukan hanya mengadu kepala dan tendangan, melainkan menggunakan bayonet yang tajam. Sekali saja perut tergores bayonet itu, tentu akan tersayat dan ususnya akan terburai keluar. Leherpun akan dapat terbabat putus. Apalagi yang mempergunakan bayonet-bayonet itu adalah enam orang sekaligus, enam orang yang sudah ahli memainkan bayonet-bayonet itu. Siu Coan juga tidak berani main-main. Begitu enam orang itu mengurung dan seorang di antara mereka maju menusukkan bayonet ke arah perutnya, diapun sudah mengeluarkan kepandaiannya yang sesungguhnya.
Tubuhnya meloncat ke atas dan dia juga mengeluarkan suara lengkingan nyaring sekali, itulah lengkingan Sin-houw Ho-kang, yaitu auman seperti suara harimau mengaum yang dapat membuat jantung lawan tergetar hebat dan membuat mereka kesima. Memang auman ini diambil dari auman singa atau harimau. Kalau binatang yang disebut raja hutan itu berburu mangsa, dengan aumannya yang menggetarkan jantung itu, dia dapat membuat calon korbannya, kijang atau binatang lain, seketika menjadi lumpuh tak mampu lari lagi saking kaget dan takutnya. Ilmu inilah yang ditiru oleh orang-orang lihai seperti juga ditiru oleh Thian-tok dan yang diturunkan kepada para muridnya. Begitu Siu Coan mengeluarkan pekik itu, enam orang itu menjadi panik dan pada saat itu,
Dengan jurus-jurus Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, Siu Coan sudah menyambar-nyambar turun dan dalam waktu singkat saja, dia telah mampu merampas semua senjata dari tangan enam orang pengeroyoknya itu. Enam orang itu tentu saja tidak mau senjatanya dirampas dan mereka mempertahankannya dengan mati-matian, bahkan masih melanjutkan dengan serangan tangan kosong kepada bayangan yang berkelebatan di antara mereka itu. Akan tetapi kini Siu Coan membagi-bagi tamparan tangan kiri dan tendangan-tendangan kakinya. Setiap kali menampar atau menendang, orang-orang itu tentu mengaduh dan terpelanting roboh. Kemudian Siu Coan melompat dan sekali tubuhnya melayang, dia sudah berada di dekat Admiral Elliot dan enam batang senapan berikut bayonetnya itu telah disandangnya di pundak kanan dengan rapinya! Semua orang melongo.
Belum pernah mereka melihat yang seperti itu. Dan Admiral Elliot tersenyum gembira sekali, lalu merangkul pundak Su Coan dan diajaknya pemuda itu memasuki benteng setelah senapan-senapan itu dikembalikan kepada enam orang yang masih belum tahu benar apa yang telah terjadi menimpa diri mereka. Mulai saat itu, Siu Coan memulai suatu kehidupan yang baru. Dia memperoleh kepercayaan, menjadi pengawal pribadi Admiral Elliot dan juga bertugas melatih ilmu bela diri kepada para opsir dan juga sersan dan kopral. Tentu saja Siu Coan yang tidak ingin ilmu silat dikuasai orang-orang bule itu, hanya mengajarkan pukulan-pukulan biasa saja, dengan jurus-jurus yang hanya nampaknya saja hebat akan tetapi sebetulnya tidak ada artinya kalau dipergunakan untuk membela diri.
Akan tetapi dia bersungguh-sungguh menjadi pengawal pribadi Admiral Elliot, karena dia tahu bahwa dengan dekat pembesar yang paling berkuasa di antara semua pembesar Inggeris itu, akan mudah baginya untuk memperoleh kedudukan. Dia bukan mencari kedudukan di dalam pasukan Inggeris, melainkan mencari jalan untuk menuju kepada cita-citanya yang amat tinggi, yaitu membentuk pasukan istimewa yang kelak akan menjadi balatentara besar dimana dia menjadi kaisarnya! Berkali-kali Admiral Elliot yang cerdik itu mencoba kesetiaannya, antara lain dengan menyuruh orang-orang rahasia untuk berusaha menyerang Admiral Elliot itu. Dan selalu Siu Coan yang turun tangan menyelamatkan admiral itu dan ancaman semua serangan buatan itu. Setelah menghambakan diri kepada admiral itu selama beberapa bulan, Siu Coan telah mendapatkan kepercayaan besar,
Bahkan memperoleh sebuah bangunan dalam benteng itu dan hidup mewah. Admiral itu juga bukan orang bodoh dan dia pandai sekali mempergunakan tenaga yang baik. Segala keperluan hidup Siu Coan dilengkapi, bahkan berlebihan, dan Siu Coan hidup dengan penuh kemewahan. Dia memelihara pelayan-pelayan wanita yang cantik-cantik dalam jumlah belasan orang. Tentu saja bukan pelayan-pelayan biasa yang hanya mencuci pakaian, membersihkan rumah atau memasakkan makanan untuknya. Kalau perlu, juga melayaninya di dalam kamar menemaninya tidur! Hidupnya sudah seperti seorang raja kecil, akan tetapi tentu saja hal ini masih jauh dari pada memuaskan hati Siu Coan yang bercita-cita menjadi seorang kaisar yang sungguh-sungguh. Pekerjaannya tidaklah berat sekali.
Kalau admiral sedang berada di kantor, maka dia tidak perlu mengawal. Kantor itu sudah dikepung oleh pasukan besar jumlahnya yang amat kuat, Maka tidak perlu lagi dikawal. Hanya kalau admiral itu keluar benteng, selain dikawal oleh pasukan, Siu Coan juga harus selalu mendampinginya. Dan latihan yang diberikan kepada para opsir juga tidak setiap hari, cukup dia memberi satu dua jurus yang dia perintahkan agar mereka itu melatihnya sampai sempurna, dan cukup sepekan sekali dia menguji dan memeriksa mereka! Karena banyak menganggur ini, Sui Coan mendapatkan banyak kesempatan untuk memperdalam pengetahuannya tentang Agama Kristen, yang dipelajarinya dan para pendeta yang bertugas di dalam benteng itu. Pada suatu hari, Siu Coan dipanggil oleh Admiral Elliot. Setelah pemuda itu menghadap, pembesar itu berkata.
"Siu Coan, ada pekerjaan penting bagimu."
"Apakah paduka akan keluar benteng dan pergi ke kota lain. Admiral?"
"Tidak, sekali ini bukan bertugas mengawalku."
"Ehh? Lalu tugas apa, Admiral?"
"Menyelidiki kenapa di dusun Boan-ciu, yang sebagian besar penghuninya tadinya sudah tunduk dan mau masuk menjadi Kristen di bawah pimpinan Pendeta Allan, kini tiba- tiba saja memberontak."
"Memberontak? Apa yang telah mereka lakukan?" Siu Coan bertanya terkejut.
"Belum serius. Akan tetapi mereka itu membantah kalau diadakan ceramah, bahkan ada ancaman-ancaman dilontarkan terhadap Pendeta Allan. Aku khawatir sekali karena hanya dengan agama itulah maka bangsamu dapat diajak berunding dengan damai. kau pergilah ke dusun Boan-ciu dan coba selidiki, apa yang terjadi dan siapa biang keladinya. Kalau ada yang memang menjadi pengacaunya, tangkap atau bunuh saja." Hati Siu Coan merasa tidak enak, ini merupakan tugas yang lain lagi dan asing baginya. Dia harus berurusan dengan bangsanya sendiri yang memberontak. Mana mungkin? Justeru dia sendiri berjiwa pemberontak! Akan tetapi karena pemberontakan itu ditujukan kepada seorang pendeta Kristen, diapun cepat berangkat mencari pendeta itu dan minta penjelasan darinya mengapa ada orang orang di dusun Boan-ciu yang memberontak.
"Bpak Pendeta, apakah sebenarnya yang telah terjadi di Boan-ciu? Saya menerima tugas dari Admiral untuk melakukan penyelidikan tentang hal itu." Pendeta yang usianya paling banyak lima puluh tahun itu menarik nafas panjang.
"Bru kurang lebih satu bulan ini, mulai terjadi perubahan itu. Tadinya, penduduk di sana amat patuh dan selalu dalam keadaan damai dan tenteram. Gereja pun selalu penuh dengan pengunjung dan banyak malah yang sudah menjadi Kristen secara sesungguhnya. Akan tetapi kurang lebih sebulan yang lalu, mulailah terjadi pembangkangan-pembangkangan."
"Dalam bentuk bagaimana?"
"Pertanyaan-pertanyaan aneh dan bantahan-bantahan, bahkan kecaman-kecaman pedas terhadap bangsa kulit putih. Dan agaknya memang ada penggeraknya dari belakang. Akan tetapi yang mengajukan kecaman itu bahkan orang-orang yang tadinya tekun sekali, sehingga sukar bagiku untuk menyelidiki siapa biang keladinya. Tentu ada orang-orang yang membujuk mereka dari belakang."
"Baiklah, sekarang katakan, siapa namanya orang-orang yang suka mengajukan protes dan kecaman-kecaman itu?"
"Bnyak, akan tetapi pemrotes-pemrotes yang paling keras adalah dua orang saja, yaitu Lie Kiat dan Tan Liok. Mereka itu bekerja sebagai tukang kayu di Boan-ciu."
"Baiklah, nanti pada hari Minggu, saya akan menghadiri ceramah Bapak dan akan saya buktikan sendiri bagaimana cara mereka itu." Pada hari Minggu pagi, seperti biasa di sebuah rumah besar yang dijadikan gereja oleh Pendeta Allan, sudah berkumpul tidak kurang dari lima puluh orang, laki-laki, perempuan, tua muda.
Mereka itu rata-rata mengenakan pakaian baru atau setidaknya pakaian bersih dan rambut mereka tersisir rapi. Siu Coan duduk di sudut paling belakang sehingga dia dapat mengamati semua pengunjung dengan cermat. Ketika Pendeta Allan memimpin sembahyang, semua masih terjadi seperti biasa dan normal. Semua orang ikut bersembahyang. Juga ketika pendeta itu memimpin nyanyian dengan suaranya yang lantang namun dengan logat yang kaku, semua orang ikut pula bernyanyi memuji nama Tuhan. Akan tetapi setelah pendeta itu mulai berceramah menerangkan ayat-ayat suci dan memberi penafsirannya dan memberi contoh-contohnya, mulailah para pengunjung itu nampak gelisah.
"Bertobat akan dosa-dosanya berarti harus mulai hidup baru, menjauhi dosa, harus penuh cinta kasih terhadap sesama manusia. Kasihilah sesamamu seperti kalian mengasihi dirimu sendiri! Demikianlah sabda dari Tuhan. Bahkan lebih dari itu, cintailah musuh-musuhmu! Apabila engkau ditampar pipi kirimu berikanlah pipi kananmu. Semua itu adalah pelajaran-pelajaran yang mengandung cinta kasih murni, dan siapa yang beriman dan melaksanakan segala perintah Tuhan, dialah yang berhak memperoleh tempat di sisi Tuhan, di kerajaan Sorga!"
"Bohong! Bohong besar!" Tiba-tiba terdengar suara orang, dan Siu-Coan yang sejak tadi menaruh perhatian dan mengamati, melihat bahwa yang mengucapkannya adalah seorang nenek, akan tetapi dia tahu bahwa tak jauh dari nenek itu adalah seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang menggerak-gerakkan bibirnya. Dia terkejut. Gerakan bibir itu seperti orang yang menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara dari Jauh)! Agaknya orang itulah yang mengirim suaranya membisikkan kata-kata itu kepada si nenek yang hanya menirukan saja! Pendeta Allan memandang ke arah nenek itu dan wajahnya berubah. Wajah yang tadinya nampak lembut itu berubah keras dan alisnya berkerut.
"Saudaraku yang baik, kenapa kau berkata bohong? Apanya yang bohong besar?" Tiba-tiba terdengar jawaban, bukan dan nenek itu, melainkan dan seorang Kakek yang duduk di sudut, suaranya agak gemetar.
"Bohong kalau kita mencinta sesama seperti mencinta diri sendiri. Lebih bohong besar lagi kalau kita mencinta musuh-musuh kita!" Tentu saja keadaan menjadi ribut, ada yang pro ada yang kontra. Akan tetapi Siu Coan sudah melihat bahwa ada seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan yang berpakaian serba biru, mengajukan pertanyaan tadi. Bersamaan dengan itu, terlihat juga seorang laki-laki tiga puluh tahunan tadi, menggerakkan bibirnya dengan ilmu mengirim suara dari jauh yang sama, akan tetapi sekali ini agaknya suaranya dikirimkan kepada Kakek itu, sedangkan yang pertama mengirimkan suaranya kepada si nenek. Kini Pendeta Allan memandang Kakek dan nenek itu bergantian, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas.
"Ya Tuhan, semoga dosa kalian diampuni. Mengapa kalian berdua berani menyangkal kebenaran Alkitab? Dan siapakah kalian mendapatkan pikiran yang seperti itu?"
"Ini adalah suara bisikan hati saya sendiri," ratap si nenek hampir menangis.
"Saya mendengar bisikan itu jelas sekali di dalam telinga dan hati, tak dapat dibantah..."
"Hemm, itu bisikan setan!" kata Pendeta Allan.
"Dan bagaimana dengan engkau, Lao Ceng?" tanyanya kepada Kakek itu, Kakek yang biasanya patuh dalam agama. Kakek itu mengangguk dan menelan ludah beberapa kali sebelum menjawab.
"Saya juga demikian, saya mendengar bisikan dalam hati saya, maka saya langsung mengeluarkan saja suara hati saya itu."
"Akan tetapi, nenek dan Kakek yang baik, apa alasan kalian mengatakan bahwa semua pelajaran itu bohong?" Pada saat itu, selagi Kakek dan nenek itu nampak kebingungan, Siu Coan sudah berjalan maju ke atas mimbar, mendekati pendeta itu dan diapun berkata sambil memandang kepada dua orang yang tadi bisikkan kata-kata itu kepada Kakek dan nenek.
"Orang yang mampu mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh adalah orang-orang gagah. Akan tetapi perbuatan bersembunyi dan menyuruh orang-orang lain untuk bicara sedangkan diri sendiri bersembunyi, sama dengan melempar batu bersembunyi tangan, dan perbuatan itu adalah perbuatan yang rendah dan pengecut!" Orang yang memakai baju kuning dan berusia tiga puluh tahun segera bangkit berdiri dan berkata suaranya lantang.
"Sebaliknya, orang Cina yang membantu orang bule untuk merusak bangsa sendiri adalah seorang pengkhianat yang tak patut diampuni!" Siu Coan terkejut dan dia memandang tajam. Biarpun dia tidak teringat pernah bertemu dengan orang ini, namun dia dapat menduga bahwa tentu orang ini seorang pejuang yang menyelundup ke dalam gereja dan membuat kacau. Dia tidak merasa mengkhianati bangsanya, maka ucapan itu tidak membuat mukanya menjadi merah. Dia masih tersenyum ramah dan menjura ke arah orang itu.
"Aih, kiranya di tempat ini ada seorang pendekar yang berilmu tinggi. Ketahuilah, saudara... bahwa di dalam gereja tidak ada permusuhan, tidak ada perbedaan bangsa atau kulit. Di depan Tuhan Allah, semua manusia sama saja, apapun warna kulitnya. Kalau saudara merasa tidak setuju dengan pelajaran Agama Kristen dan hendak memprotes, kenapa tidak dilakukan sendiri." Kini si baju biru yang bertubuh tinggi besar itu bangkit pula dan berkata lantang.
"Kami bukan anggauta gereja, karena itu terpaksa kami meminjam mulut anggauta gereja untuk menyatakan rasa penasaran hati kami." Kini Pendeta Allan yang sudah merasa girang karena Siu Coan dapat membongkar rahasia itu dan menemukan biang keladinya, lalu berseru dengan suaranya yang halus.
"Ya Tuhan, semoga diampuni dosa-dosa kalian! Saudaraku yang baik, sebetulnya mengapakah anda berdua menyangkal kebenaran ajaran dari Alkitab?" Kini si baju kuning yang menjawab.
"Kami tidak tahu menahu tentang isi Alkitab, akan tetapi mendengar ceramahmu, kami sama sekali merasa bahwa semua ceramahmu itu bohong belaka. Engkau mengajarkan tentang cinta kasih sesama manusia. Apakah engkau dan bangsamu itu mempunyai rasa cinta kasih terhadap sesama?
"Pelajaranmu menganjurkan cinta kasih, akan tetapi apa yang telah kalian lakukan di tanah air kami? Meracuni bangsa kami, memerangi bangsa kami, membunuh, menyiksa, menjajah dan menginjak-injak kebebasan bangsa kami. Kalian mengajarkan cinta kasih, akan tetapi melaksanakan permusuhan dan kebencian!
"Bukankah itu berarti bahwa semua ceramahmu itu bohong belaka? Dan pelajaran tentang mencinta musuh-musuhmu itu. Huh, pernahkah engkau mencinta bangsa kami yang kalian musuhi?" Ucapan orang ini demikian penuh semangat, terasa sampai ke dalam hati para pendengar di dalam gereja itu, sehingga kini pandang mata mereka terhadap pendeta itu seketika berubah. Diam-diam Siu Coan memuji orang ini yang pandai sekali melakukan penyerangan dengan kata-kata. Mendengar ucapan itu, sang pendeta merangkap kedua tangan di depan dada sambil memejamkan mata dan seperti orang berdoa, kemudian dia membuka mata dan berkata.
(Lanjut ke Jilid 25)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)
Jilid 25
"Saudaraku yang baik. Memang manusia adalah makhluk yang lemah dan penuh dosa. Karena itulah maka diturunkan Yesus ke dunia untuk menebus dosa dan untuk mengajarkan kebaikan kepada umat manusia. Tidak hanya terbatas pada Bangsa Cina, juga Bangsa Inggeris, merupakan manusia-manusia penuh dosa yang harus bertobat." Kini orang berbaju biru segera berseru.
"Kalau begitu, apa perlunya kau mengajarkan kami tentang cinta kasih dan mencinta musuh? Kami orang-orang tertindas kau ajarkan untuk mencinta musuh, bukankah berarti engkau menyuruh kami diam saja dan mandah diperlakukan semena-mena dan menderita tekanan dan bangsamu?
"Daripada kau mengajarkan cinta kasih kepada kami, kenapa engkau tidak menyuruh bangsamu itu menghentikan kejahatan mereka, tidak mengedarkan racun madat kepada bangsa kami, dan meninggalkan tanah air kami dengan aman? Selama hidup, kami tidak pernah mengganggu bangsamu yang negaranyapun kami tidak tahu dimana. Adalah bangsa kalian yang datang dan mengganggu kami, akan tetapi engkau masih menyuruh kami mencinta mereka!" Siu Coan hampir tak dapat menahan ketawanya ketika melihat betapa pendeta itu nampak panik, wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Dia merasa kasihan pula, karena bagaimanapun juga, Siu Coan sudah tertarik akan Agama Kristen. Dia lalu maju, membela pendeta itu dan suaranya lantang sekali terdengar oleh semua orang.
"Ji-wi enghiong (dua saudara gagah), semua yang ji-wi katakan itu memang tidak keliru. Akan tetapi kukira tidak pada tempatnya. Harap ji-wi ketahui bahwa antara agama dan politik, antara agama dan perang, tidak boleh dicampur adukkan sama sekali.
"Agama Kristen tidak mencampuri politik, tidak mencampuri perang. Agama ini mengajarkan cinta kasih dan kebaikan kepada umat manusia, tak perduli berbangsa apa, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, tua atau muda. Yang menimbulkan perang, yang menjual madat, yang melakukan penindasan bukanlah agamanya.
"Dan semua orang, baik yang menindas maupun yang ditindas, baik yang melakukan kejahatan atau yang dijahati, keduanya tidak lepas dari pada dosa. Kalau ji-wi menyerang bapak pendeta Allan ini, sungguh tidak tepat. Beliau hanya tahu akan pelajaran agama, sama sekali tidak tahu menahu tentang perang, tentang madat dan sebagainya."
"Akan tetapi, sebelum orang bule datang, sebelum mereka datang, kita tidak mengenal madat, tidak mengenal agama baru, dan kita hidup dalam tenteram dan damai!" teriak si baju kuning. Siu Coan tersenyum.
"Benarkah itu? Walaupun mungkin tidak ada banyak madat, namun dari See-thian sudah berdatangan madat yang diselundupkan. Dan tentang perang, sejak dahulu kita sudah mengenal perang. Bukankah perang saudara dan perebutan kekuasaan selalu terjadi sejak jaman Sam Kok? Dan siapa pula yang kini berkuasa di tanah air kita ini? Harap ji-wi suka berpikir secara mendalam." Dua orang itu memang hendak membubarkan agama yang dibawa orang bule dan menanamkan permusuhan terhadap orang bule. Mereka adalah pejuang-pejuang golongan yang anti orang kulit putih, maka kini mendengar rencana mereka itu dibantai dan dihalangi oleh Siu Coan yang agaknya membela pendeta itu, mereka menjadi marah.
"Kalau begitu, engkau adalah seorang pengkhianat besar!" bentak si baju kuning sambil melompat ke depan dan diikuti oleh temannya yang berbaju biru. Siu Coan melompat turun dari mimbar menghadapi mereka.
"Ji-wi keliru kalau melakukan kekerasan di sini. Gereja adalah tempat orang beribadat, tempat orang berbakti kepada Thian, bukan tempat bertentangan dan berkelahi."
"Pengkhianat!" bentak mereka, dan keduanya sudah menerjang maju dan mengirim pukulan ke arah Siu Coan. Pukulan-pukulan itu cukup dahsyat dan Siu Coan menyambut dengan tenang saja. Dia menggerakkan kedua tangannya, dibuka jari tangannya dan didorongkan ke depan menyambut.
"Dess!" Dua orang itu terjengkang dan dan mulut mereka mengalir sedikit darah, tanda bahwa mereka telah menderita luka dalam yang biarpun tidak parah namun membuat mereka tidak berani maju lagi.
"Siapakah kau ?" bentak si baju biru, terkejut heran dan juga penasaran.
"Namaku Ong Siu Coan," jawab Siu Coan sederhana. Dua orang itu sejenak memandang kepadanya dengan penuh perhatian, kemudian mereka keluar dan gereja tanpa banyak cakap lagi. Siu Coan lalu berpamit dan Pendeta Allan yang menyatakan terima kasihnya berkali-kali. Jasa Siu Coan dalam gereja itu tentu saja disebarluaskan oleh Pendeta Allan dan tentu saja diketahui oleh Admiral Elliot. Hal ini menambah kejayaan Siu Coan yang semakin dipercaya.
Pada suatu malam, selagi Siu Coan tidur nyenyak setelah tadi ditemani oleh pelayan wanita yang paling disayangnya dan kini pelayan itu sudah disuruhnya tidur di kamarnya sendiri, pemuda ini terbangun dengan kaget. Pendengarannya yang terlatih dan amat peka mendengar sesuatu yang tidak wajar di atas genteng kamarnya. Sebagai seorang ahli silat yang sudah matang ilmunya, biarpun dalam keadaan pulas kelelahan, Siu Coan terbangun hanya karena suara sedikit saja, dan terutama karena ada semacam indra keenam yang membisikkan bahwa ada hal yang tidak wajar. Dengan tenang namun cepat sekali, Siu Coan sudah meloncat turun dan mengenakan sepatunya, juga bajunya karena tadi dia tidur tanpa baju saking panasnya hawa udara malam itu. Lalu terdengar suara di atas genteng itu.
"Demi Iblis, anak ini sungguh bernasib luar biasa baiknya!" Mendengar suara itu, Siu Coan merasa seperti pernah mengenalnya, maka diapun cepat membuka daun jendela dan sekali tubuhnya mencelat, dia telah melayang keluar dari jendela dan naik ke atas genteng kamarnya. Dan siapakah yang dilihatnya di bawah sinar bulan yang suram itu? Bukan lain seorang Kakek tua yang berkepala botak berperut gendut, yang berdiri tegak memandang kepadanya, dan Kakek itu adalah seorang Kakek yang luar biasa sekali, karena bajunya terbuka nampak dada dan perutnya yang amat besar. Tangan kirinya membawa sebuah ciu-ouw (tempat arak) dan di pinggangnya tergantung sebuah mangkok dengan tali.
"Suhu!" Siu Coan terkejut sekali ketika mengenal Thian-tok, dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut di atas genteng. Tidak seperti biasanya, Kakek ini mengerutkan alisnya dan wajahnya tidaklah segembira seperti biasanya, melainkan masih nampak kaget dan terheran-beran.
"Mari kita masuk dan bicara di dalam..." katanya.
"Silahkan suhu," kata Siu Coan yang mendahului gurunya melayang turun, memasuki kamar melalui jendela lalu membuka pintu kamarnya. Gurunya melangkah masuk melalui kamar itu dan mereka duduk di dalam kamar. Siu Coan menepuk tangan dan muncullah belasan orang prajurit yang menjadi pengawalnya di depan pintunya. Mereka ini tentu saja terbelalak heran melihat munculnya seorang Kakek gendut begitu saja tanpa mereka ketahui masuknya.
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan ganggu aku malam ini. Kalau ada pertanyaan dari Admiral, katakan bahwa aku kedatangan tamu yaitu guruku. Sudah... kalian jaga di depan, jangan mendekati kamar ini." Para prajurit itu memberi hormat dan mereka memandang kagum ke arah si Kakek gendut. Mereka semua tahu akan kelihaian Siu Coan. Kalau Kakek gendut itu gurunya, wah... tentu lebih lihai bukan main. Setelah mereka pergi, Siu Coan yang tahu akan kesukaan gurunya, berkata.
"Apakah suhu ingin makan minum dulu sebelum bicara?" Kini Kakek itu dapat tersenyum seperti biasa.
"Boleh, boleh. Asal ada arak baik dan masakan lezat." Siu Coan lalu menarik sebuah tali sutera di dekat pembaringannya. Itulah tanda bagi para pelayan wanita yang tidur di kamar sebelah bahwa dia membutuhkan mereka. Tak lama kemudian, berhamburanlah tujuh orang gadis cantik dengan pakaian yang setengah telanjang dan rambut yang kusut masai karena mereka tadi sudah pergi tidur,
Dan agaknya merekapun sedang mengharap-harapkan dipanggil oleh majikan mereka yang muda dan tampan itu. Maka merekapun datang seperti berlumba! Karuan saja Thian-tok terbelalak memandangi mereka, dan tujuh orang gadis itupun terkejut setengah mati melihat bahwa majikan mereka ternyata duduk menghadapi meja bersama seorang Kakek yang gendut sekali! Mereka menjadi malu-malu dan berusaha menutupi pakaian dan membereskan rambutnya. Akan tetapi, mana mungkin membereskan pakaian yang seperti itu? Pakaian mereka itu adalah pakaian tidur yang memang diharuskan oleh Siu Coan untuk mereka pakai setiap malam. Terbuat dan kain tipis berwarna muda yang tembus pandang dan di bawah pakaian itu tidak ada pakaian apa-apa lagi. Juga potongannya sederhana sekali, hanya dibelitkan pada pundak saja.
"Heh-heh-heh, sungguh engkau hidup enak sekali di sini, Siu Coan! Ini semua selirmu?" Siu Coan tersenyum.
"Mereka adalah pelayan-pelayanku, suhu. Akan tetapi kalau suhu menyukai mereka, suhu boleh memilihnya."
"Ha-ha-ha-ha, sungguh enak sekali hidupmu. Biarlah nanti saja, sekarang mari kita makan minum lalu bicara."
Siu Coan memerintahkan tujuh orang wanita cantik itu untuk menyediakan makanan dan arak, dan sebentar saja semua hidangan itu telah dipersiapkan di dalam kamar itu. Diam-diam Thian-tok merasa kagum. Memang cepat sekali muridnya ini memperoleh kemajuan dan hidupnya sungguh senang, akan tetapi dibandingkan dengan apa yang baru saja dilihatnya di atas genteng tadi, ini masih belum apa-apa! Dilayani oleh wanita-wanita yang cantik dan muda dan berbau harum itu, Thian-tok makan minum sepuasnya. Setelah semua bekas makanan dibersihkan, Siu Coan mengajak suhunya untuk bercakap-cakap di sebuah ruangan dimana tidak akan ada orang lain yang dapat mengintai atau mendengarkan percakapan mereka.
"Kunjungan suhu yang tiba-tiba ini amat mengejutkan hati teecu. Tentu ada keperluan penting sekali, suhu."
"Tentu saja. Kalau tidak penting, untuk apa aku susah payah datang ke sini? Siu Coan, aku datang untuk membunuhmu!" Kalau ada kilat menyambar kepalanya di saat itu, belum tentu Siu Coan akan sekaget seperti ketika mendengar omongan gurunya. Mukanya menjadi pucat sekali dan dia sudah meloncat berdiri, siap untuk melarikan diri atau memanggil para pengawal untuk membela diri. Biarpun yang akan membunuhnya itu gurunya sendiri, dia tidak akan sudi menyerah begitu saja.
"Akan tetapi kenapa, suhu?" Kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Aku tidak jadi membunuhmu sekarang, pikiranku sudah berubah lagi." Siu Coan bernapas lega, akan tetapi mukanya masih pucat. Celaka, Kakek ini sungguh membikin hatinya kecut sekali, nyawanya seperti dipakai mainan saja! Biarpun dia itu gurunya, kalau sekiranya membahayakan dirinya, dia tidak akan segan-segan untuk membunuhnya!
"Suhu, sungguh teecu merasa heran bukan main. Apakah dosaku terhadap suhu maka suhu bersusah payah datang hendak membunuhku?" Akan tetapi suhunya tidak menjawab, melainkan menatap wajah muridnya itu dengan tajam penuh selidik, lalu bertanya.
"Siu Coan, apakah engkau telah merampas Giok-liong-kiam dari tangan Koan Jit?" Siu Coan terkejut dan menggeleng kepala.
"Tidak, suhu... sama sekali belum. Bahkan aku belum sempat bertemu dengan dia. Kedudukannya kuat sekali di dalam pasukan Inggeris."
"Dan apakah engkau menyimpan sebuah pusaka lain yang ampuh?"
"Pusaka? Pusaka apa, suhu? Aku tidak mempunyai pusaka apapun." Gurunya memandangnya penuh selidik.
"Sungguh tidak punya? Mau kau bersumpah bahwa engkau tidak menyimpan pusaka ampuh di dalam kamar ini?"
"Tidak, suhu. Sunguh mati. Untuk apa aku berdusta kepada suhu?"
"Wah, kalau begitu, kiong-hi (selamat)..." Dan tiba-tiba Kakek gendut itu bangkit berdiri dan memberi hormat kepada muridnya seperti biasa orang memberi ucapan selamat. Tentu saja Siu Coan terkejut bukan main dan dia cepat berlutut.
"Suhu, tidak berani teecu menerima penghormatan suhu. Ada apakah maka suhu bersikap seaneh ini?" Kakek itu menarik napas panjang.
"Bngkit dan duduklah." Setelah mereka duduk berhadapan kembali, Thian-tok berkata.
"Siu Coan, ketahuilah bahwa engkau telah ditakdirkan untuk menjadi calon orang besar, bahkan aku tidak akan heran kalau kelak engkau dapat menjadi seorang raja besar!" Ingin Siu Coan tertawa geli. Walaupun cita-cita itu memang ada dalam batinnya, akan tetapi tanpa hujan tanpa angin, gurunya dapat mengatakan demikian, bukankah ucapan itu hanya ngawur dan terlalu muluk saja? Akan tetapi dia tidak berani memperlihatkan kegelian hatinya.
"Terima kasih atas doa restu suhu, akan tetapi bagaimana suhu dapat menduga demikian?"
"Ketahuilah, bahwa tadi aku memang datang dengan maksud untuk membunuhmu. Siapa tidak dongkol mendengar bahwa engkau telah menghambakan diri pada orang bule? Aku mengutusmu bersama Gan Seng Bu untuk menyelidiki Koan Jit dan merampas kembali Giok-liong-kiam.
"Eh, si Gan Seng Bu itu malah kawin dengan seorang perempuan bule, dan kabarnya dia telah tewas di tangan Koan Jit. Dia masih boleh dimaafkan, mungkin dia tewas dalam usahanya merampas Giok-liong-kiam.
"Akan tetapi engkau! Engkau malah enak-enak di sini menjadi antek orang bule dan sama sekali tidak berusaha untuk merampas Giok-liong-kiam. Hati siapa tidak akan merasa panas dan marah?" Kembali Siu Coan terkejut sekali. Nyaris dia terbunuh oleh suhunya malam ini kalau saja tidak telah terjadi sesuatu yang aneh, yang dia sendiri tidak tahu apa, karena tiba-tiba saja suhunya membatalkan niatnya membunuh itu.
"Akan tetapi suhu, harap jangan salah paham. Aku sama sekali bukan menghambakan diri begitu saja kepada orang kulit putih. Kedudukan Koan Jit yang menjadi komandan pasukan Harimau Terbang di pasukan kulit putih, satu-satunya jalan untuk dapat menyelidiki dan mendekatinya adalah kalau aku juga menjadi seorang yang dipercaya. Dan aku berhasil dipercaya oleh Admiral Elliot. Semua ini merupakan usahaku mendekati Koan Jit. Selain itu, aku juga hendak menyusun kekuatan untuk cita-citaku, suhu."
"Cita-cita yang mana?"
"Suhu, aku ingin sekali menyusun kekuatan, membentuk sebuah barisan besar untuk kelak dapat kupergunakan untuk menumbangkan kekuasaan pemerintah penjajah Mancu, dan kalau Tuhan menghendaki, kalau sampai berhasil, aku ingin menjadi kaisar."
"Ha-ha-ha... cocok sekali! Aku yakin engkau akan berhasil!" Tiba-tiba gurunya berkata dengan gembira bukan main. Kembali Siu Coan merasa heran dan kaget.
Kemelut Kerajaan Mancu Eps 13 Gelang Kemala Eps 5 Rajawali Hitam Eps 7