Pedang Naga Kemala 3
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
"Bukk...! Dess...! Kekkk...!" Tiga orang teman Si Kaki Besi terjungkal ketika dua pukulan mengenai lambung dan sebuah tendangan mengenai selakangan. Mereka roboh dan munta darah, lalu pingsan. A Ceng mendesak terus, kini menyerang Si Kaki Besi dengan pukulan maut kea rah leher. Akan tetapi Si Kaki Besi agaknya lebih pandai dari pada kawan-kawannya. Dia dapat mendengar angin tendangan itu dan cepat meloncat ke belakang. Ketika dia mendengar gerakan A Ceng menyerbu ke depan, cepat dia menggerakkan kedua kakinya bergantian dan memang Si Kaki Besi ini tidak sia-sia saja mempunyai julukan itu. Kedua kakinya dapat melakukan tendangan berantai yang amat cepat dan amat kuat sehingga biarpun A Ceng yang menjadi kaget cepat mengelak ke samping, tetap saja sebuah tendangan menyerempet pahanya dan diapun roboh terguling.
Akan tetapi tendangan itu tidak tepat sekali dan A Ceng bergulingan menjauh sehingga tendangan-tendangan berikutnya yang dilakukan ngawur itu tidak mengenai sasaran. Sayang bagi Si Kaki Besi bahwa dia belum dapat membuka kedua matanya yang masih terasa pedas dan perih terkena pasir yang tadi disambitkan A Ceng. Maka kini dia hanya menyerang dengan ngawur, mengandalkan pendengarannya saja. Sementara itu A Ceng atau yang lebih tepat sebenarnya bernama Phek Kiat itu, sudah meloncat lagi dan menjadi marah sekali. Lawannya yang sudah tak mampu membuka mata itu masih dapat menendangnya sehingga hampir saja dia celaka. Dengan cepat dan kuat dia lalu menyerang dari samping. Si Kaki Besi mendengar angin serangan ini dan berusaha menangkis, akan tetapi tangkisannya luput dan sebuah pukulan yang keras mengenai lambungnya.
"Bukk...!" Tubuh yang gendut itu terpelanting. Sebelum dia dapat bangkit, sebuah tendangan mengenai dadanya dan kembali dia terjengkang. Phek Kiat tidak memberi kesempatan lagi kepadanya dan menghujankan pukulan dan tendangan. Sebuah tendangan yang tepat mengenai tengkuk membuat Si Kaki Besi itu roboh terkulai dan tidak mampu bergerak lagi.
Melihat empat orang lawannya sudah menggeletak tak berkutik lagi, si muka hijau itu menyeringai puas dan kini nampaklah bentuk mukanya yang kejam, sinar matanya yang licik dan senyumnya yang menyeramkan. Diperbaiki lagi buntalannya dan diapun cepat meninggalkan tempat itu. Peristiwa itu terjadi amat cepatnya, di tempat sunyi dan gelap sehingga terjadi tanpa diketahui orang lain. Akan tetapi agaknya tidak demikian. Ketika A Ceng atau Phek Kiat meninggalkan tempat itu dengan berlari cepat dan ringan, sesosok bayangan berkelebat dan terus membayangi orang bermuka kehijauan itu. Bayangan ini memiliki gerakan yang amat cepat dan ringan sehingga langkah kakinya ketika berlari tidak menimbulkan suara apapun. Namun, Phek Kiat agaknya merasa sesuatu yang tidak enak maka beberapa kali dia menoleh dengan tiba-tiba.
Hebat sekali gerakan bayangan itu. Begitu Phek Kiat menoleh, dia sudah menyelinap dengan kecepatan seperti terbang dan setiap kali Phek Kiat menengok, dia tidak melihat apa-apa karena bayangan itu telah bersembunyi di balik pohon atau dinding rumah. Phek Kiat melanjutkan larinya menuju ke pinggir kota yang sepi dan di bagian ini tidak ada rumahnya karena daerahnya terdapat banyak rawa dan sawah. Phek Kiat tiba di atas sebuah jembatan yang tua. Sunyi dan gelap di tempat ini, hanya diterangi bintang-bintang yang memenuhi langit. Dan begitu tiba di tempat itu, Phek Kiat bersuit perlahan. Tak lama kemudian suitan itu dibalas orang dan muncullah seorang laki-laki dari bawah jembatan. Agaknya sejak tadi dia sudah menanti di situ dan seperti juga Phek Kiat, orang itu juga membawa sebuah buntalan hitam.
"Sin-touw (Maling Sakti), engkau sudah di sini pula? Bagus!" kata Phek Kiat dengan hati lega dan girang, apa lagi melihat betapa orang berpakaian hitam-hitam itu memondong sebuah buntalan hitam yang bentuknya persegi panjang.
"Phek Kiat, aku belum pernah melanggar janji. Engkau... sudah membawa... itu"?" tanya si baju hitam yang disebut Maling Sakti itu dengan suara agak gugup, lalu menoleh ke kanan kiri seolah-olah merasa takut kalau-kalau pembicaraan mereka dilihat atau didengar orang lain. Akan tetapi tempat itu sunyi, tidak nampak sesuatu selain berkelap-kelipnya bintang-bintang di langit dan tidak terdengar sesuatu kecuali kerik jengkerik di sawah-sawah kering.
"Ha, jangan khawatir, sobat. Akupun bukan orang yang suka melanggar janji. Nih, sudah kubawa, lengkap seperti yang kau minta. Tiga puluh kati, sedikitpun tidak kurang, barang murni tidak campuran pula." Phek Kiat menunjuk bungkusannya.
"Sobat Phek, tolong, beri aku sedikit dulu, sudah tiga hari aku tidak mengisap, badanku sakit semua rasanya, tolonglah... kau tentu membawa yang sudah dicampur tembakau, bukan?" Si baju hitam itu mengeluarkan sebuah pipa cangklong kecil dari balik bajunya, pipa yang biasanya dia pakai untuk menghisap madat. Kedua tangannya gemetar ketika dia mengeluarkan pipa itu. Melihat ini, Phek Kiat tersenyum dan matanya bersinar aneh.
"Tentu saja, Sin-touw. Akan tetapi sejak tadi sudah ingin sekali melihat benda itu. Berilah aku lihat sebentar saja, dan aku akan memberi madat sampai engkau dapat menghisap sepuasmu. Coba buka dan perlihatkan padaku benda itu," kata Phek Kiat sambil memandang ke arah buntalan kain hitam yang persegi panjang itu.
Maling Sakti itu agaknya sudah percaya benar kepada Phek Kiat, atau memang dia sudah amat ketagihan candu, maka diapun segera membuka buntalan kain hitam dan nampaklah sebuah peti hitam pula. Dibukanya tutup peti itu dengan sebuah kunci dan begitu tutup peti itu terbuka, nampaklah sebuah benda berkilauan, benda yang berwarna hijau kemerahan, berbentuk sebatang pedang kecil berukir tubuh naga dan benda itu terbuat dari batu giok yang luar biasa indahnya! Sepasang mata Phek Kiat terbelalak penuh kagum. Sungguh selama ini tidak pernah dia dapat membayangkan akan dapat melihat benda pusaka ini, bukan hanya melihatnya, bahkan sebentar lagi benda itu akan menjadi miliknya!
"Giok-liong-kiam...!" bisiknya.
"Ya, Giok-liong-kiam...!" kata pula Sin-touw dengan suara penuh kebanggaan. Siapa yang takkan merasa bangga telah berhasil mencuri sebuah benda keramat, pusaka yang dikagumi dan diinginkan oleh seluruh tokoh besar dunia persilatan? Hanya dialah yang mampu dan julukannya Sin-touw kiranya pantas diabadikan karena dia telah berhasil memiliki benda pusaka ini. Akan tetapi semenjak dia berhasil mencuri benda pusaka ini kurang lebih setengah tahun yang lalu, hidupnya menjadi sengsara! Dia harus melarikan diri terus dan selalu bersembunyi, tidak pernah berani muncul di siang hari.
Keselamatannya terancam karena banyak sekali orang pandai mencarinya, begitu terdengar berita di dunia kang-ouw bahwa pusaka Giok-liong-kiam lenyap dari ketua perkumpulan Thian-te-pai (Perkumpulan Langit Bumi)! Bukan hanya jagoan-jagoan Thian-te-pai yang mencari jejaknya, bahkan tokoh-tokoh besar dari semua golongan juga mencari maling yang telah melarikan pusaka itu. Bahkan juga dari istana muncul jagoan-jagoan yang berkeliaran mencari pusaka itu. Seolah-olah terjadi perlumbaan untuk memperebutkan benda pusaka itu. Setelah kini benda pusaka itu bukan lagi menjadi pusaka Thian-te-pai, karena sudah berhasil dicuri orang, maka semua golongan mencarinya dan kini siapa yang berhasil merampasnya dari si pencuri, berarti berhak untuk memiliki pusaka keramat Giok-liong-kiam atau Pedang Naga Kemala.
Inilah sebabnya maka Sin-touw yang merasa hidupnya terancam, ketika bertemu dengan Phek-Kiat yang sudah lama dikenalnya sebagai seorang penjahat yang cerdik dan licik, dia mengadakan perjanjian dengan orang itu. Dia yang sudah ketagihan candu, setuju untuk menukarkan benda pusaka itu dengan tiga puluh kati madat murni. Tiga puluh kati! Jumlah yang tidak sedikit dan mahal sekali harganya. Dan bukan itu saja. Juga Phek Kiat berjanji untuk mencukupi semua kebutuhannya akan madat kalau yang tiga puluh kati itu sudah habis. Berarti selama hidupnya dia tidak akan kekurangan candu. Kesenangannya terpenuhi, keselamatannya tidak terancam lagi dan selain itu, yang lebih penting lagi, dia tahu di mana adanya pusaka itu.
Dia seperti menitipkannya saja kepada Phek Kiat, mengalihkan bahaya yang mengancam kepada orang she Phek itu. Dan kalau sewaktu-waktu dia hendak mengambil kembali benda pusaka itu, apa sukarnya baginya untuk mencari Phek Kiat? Bahkan, kalau keadaan memaksa, dia dapat menjual orang itu kepada tokoh pandai yang mengejar, dan untuk keterangan bahwa dia tahu dimana adanya benda pusaka itu, tentu dia akan memperoleh hadiah yang amat besar pula. Dia harus dapat mengeduk keuntungan sebanyaknya dari Giok liong-kiam tanpa membahayakan keselamatan diri sendiri. Sin-touw menutupkan kembali peti hitam itu dan lenyaplah sinar berkilauan hijau tadi. Dan kembali dia menyodorkan pipa cangklong tembakau kepada Phek Kiat.
"Nah, sekarang isilah cangklong agar aku dapat menghisapnya dulu barang beberapa kali sedotan."
"Baiklah, sobat, baiklah," kata Phek Kiat yang segera mengeluarkan sebuah kantong dari saku bajunya. Kantong itu dibuka dan dia mengambil atau menjumput tembakau madat dengan tiga buah jari tangannya, lalu mengisi mulut pipa cangklong itu dengan tembakau sampai penuh padat. Akan tetapi, tiba-tiba sekali Sin-touw yang sejak tadi sudah menempelkan mulutnya pada ujung pipanya, mengerahkan tenaganya meniup.
"Srrrr...! " Sebatang jarum hitam halus menyambar dari sebuah lubang rahasia di bawah cangklong dan karena jaraknya amat dekat, jarum yang tiba-tiba meluncur itu dengan tepat sekali mengenai tenggorokan Phek Kiat yang sama sekali tidak menduganya dan tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak. Tahu-tahu jarum itu telah menusuk tenggorokannya. Dia terkejut dan merasa tenggorokannya panas dan perih sekali. Dia terbelalak memandang pencuri itu.
"Keparat...! kau ... kau ...!" Dia menerjang ke depan, mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghantam. Akan tetapi, Sin-touw sudah bersiap siaga, sekali menggerakkan kakinya dia sudah meloncat jauh ke belakang sehingga tubrukan A Ceng atau Phek Kiat mengenai tempat kosong dan tubuh itupun terguling. Phek Kiat bukanlah seorang lemah, akan tetapi jarum yang menancap hampir seluruhnya ke dalam tenggorokannya itu bukan jarum sembarangan, melainkan jarum yang mengandung racun amat keras sehingga begitu tempat yang lemah itu tertusuk, racun dalam jarum itu sudah terbawa oleh darah dan menjalar amat cepatnya. Leher itu seketika menjadi bengkak dan Phek Kiat merasa kepalanya pening berputar sehingga dia roboh dan berkelojotan. Sin-touw tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha..., baru engkau tahu akan kelihaian Sin-touw, ha-ha-ha!" Dia merasa girang sekali. Akal ini baru diperolehnya tadi ketika dia menanti munculnya Phek Kiat di bawah jembatan.
Dia teringat bahwa Phek Kiat adalah seorang penjahat yang amat licin dan keji dan mulailah dia merasa menyesal mengapa dia memilih Phek Kiat sebagai orang yang akan menyimpan Giok-liong-kiam. Bagaimana kalau kelak dia ditipunya? Bagaimana kalau Phek Kiat di luar tahunya menjual pusaka itu dengan harga yang amat tinggi, beberapa kali lipat dari sekedar tiga puluh kati candu? Dan hal ini amat boleh jadi mengingat bahwa Phek Kiat adalah seorang yang berwatak rendah. Lebih baik mencari orang lain yang lebih dapat dipercaya, demikian timbul pikirannya dan diapun mencari akal untuk membatalkan jual beli itu dengan membunuh Phek Kiat. Dan candu tiga puluh kati itu akan menjadi miliknya, dengan gratis karena pusaka Giok-liong-kiam masih akan tetap berada padanya.
"Ha-ha-ha-ha!" Si Maling Sakti tertawa lagi, lalu merenggut buntalan dari pundak tubuh Phek Kiat yang sudah kaku tak bergerak lagi. Dibukanya buntalan itu dan ketika dia melihat candu sebanyak itu, kembali dia tertawa girang.
"Aku harus memberi selamat kepada diri sendiri dengan mengisap sepuasnya!" Dia lalu menyeret tubuh tubuh Phek Kiat yang sudah tidak bernyawa itu ke bawah jembatan.
Kemudian diapun mengikat dua bungkusan itu menjadi satu dan menggendongnya di punggung. Setelah duduk di dekat mayat Phek Kiat, dia lalu menyalakan tembakau di mulut pipa cangklongnya dan mulailah dia mengisap tembakau madat. Wajahnya berseri gembira dan matanya terpejam ketika dia menyedot asap candu itu sampai memenuhi paru-parunya. Terasa nikmat sekali dan dia menghisap terus-menerus dan sambung-menyambung. Akan tetapi tiba-tiba dia tersentak kaget, pipa cangklong itu dibuangnya dan diapun meloncat bangun, menekan dadanya. Akan tetapi, dia terguling roboh dan muntah-muntah, kedua tangannya mencengkeram ke arah dadanya dan ditarik-tariknya bajunya sehingga robek-robek. Mukanya kini berobah kehitaman, tidak lagi berseri-seri melainkan penuh ketakutan dan kemarahan.
"Celaka...! Jahanam keparat...!" Dia memaki dan dengan marah dia menendang mayat Phek Kiat.
Akan tetapi baru dua kali dia menendang, tubuhnya terguling dan berkelojotan dan tak lama kemudian nyawanya menyusul Phek Kiat. Kiranya tembakau madat yang oleh Phek Kiat dimasukkan ke dalam pipa cangklong itu bukanlah tembakau biasa, melainkan tembakau madat yang sudah dicampuri racun yang jahat sekali. Baru menyedot satu kali saja sudah cukup untuk membunuh orang, apa lagi Sin-touw yang menghisapnya berkali-kali sampai paru-parunya penuh! Setelah tubuh Sin-touw tidak bergerak lagi, mencullah sesosok bayangan hitam yang gerakkannya gesit. Dia meloncat turun ke bawah jembatan, sejenak berdiri memandang dua mayat itu dan dia tertawa terkekeh. Suara ketawanya aneh menyeramkan, seperti ringkik kuda dan perutnya yang gendut bergoyang-goyang.
"Manusia-manusia hina, kalian memang tidak pantas untuk hidup lebih lama lagi di dunia ini. Orang-orang macam kalian mana pantas menjamah Giol-liong-kiam?" Dia lalu menggerakkan tangannya dan tahu-tahu buntalan kain hitam persegi panjang itu sudah direngutnya dari punggung mayat Sin-touw. Dibukanya buntalan itu dan ketika dia membuka tutup peti, matanya bersinar-sinar melihat pedang kemala yang berkilauan kehijauan itu. Ditutupnya kembali peti itu dan tiba-tiba dia memandang ke kanan kiri seperti orang khwatir. Hati siapakah yang tidak merasa gelisah setelah berhasil memperoleh Giok-liong-kiam?
Benda pusaka ini diinginkan oleh semua orang di dunia persilatan, baik dari golongan sesat maupun para pendekar. Bahkan orang-orang dari istana juga menginginkannya. Belum lagi diingat orang-orang dari Thian-te-pai yang ingin merampas kembali benda pusaka perkumpulan mereka. Para tokoh dunia persilatan, baik dari golongan hitam maupun golongan pendekar, ingin menguasai Giok-liong-kiam karena benda pusaka ini menjadi lambang dari keunggulan seseorang, menjadi bukti ketinggian tingkat kepandaiannya dan bahkan sebelum benda itu terjatuh ke tangan Thian-te-pay, pernah Giok-liong-kiam dianjurkan oleh para datuk persilatan untuk menjadi tanda kuasa seseorang Bu-Lim Beng-cu (Ketua Dunia Persilatan) yang diakui oleh semua orang di dunia kang-ouw! Ada pula golongan sesat yang menginginkan benda itu bukan karena kekeramatannya, melainkan karena harganya.
Benda itu amat berharga karena selain batu kemala hijau kemerahan itu merupakan kemala pilihan yang sukar didapatkan di dunia ini, juga ukir-ukiran berbentuk pedang naga itu amat halus dan indahnya, kabarnya dilakukan oleh seorang ahli ukir di jaman ahala Tang, ahli ukir dari istana yang kenamaan, seribu tahun yang lalu. Sukar dinilai berapa harganya benda itu dan agaknya orang-orang yang kaya raya akan berlumba membelinya dengan harga yang paling tinggi sekalipun! Tidaklah mengherankan kalau terjadi pembunuhan-pembunuhan keji semenjak orang tahu bahwa A Ceng atau Phek Kiat sedang melakukan urusan yang ada kaitannya dengan Giok-liong-kiam. Mula-mula dengan matinya Si Kaki Besi dan tiga orang kawannya yang hendak merampas tiga puluh kati madat dari tangan Phek Kiat, kemudian kematian Phek Kiat dan Sin-touw yang saling membunuh untuk memperebutkan Giok-liong-kiam dan madat yang banyak itu.
Dan kini, si Gendut berpakaian serba hitam itu dengan jantung berdebar penuh ketegangan menggendong Giol-liong-kiam baik-baik dan merasa cemas. Akan tetapi diapun lalu mengambil buntalan madat karena madat sebanyak tiga puluh kati itu merupakan harta yang amat banyak pula. Sambil menyeringai puas dan girang si gendut berpakaian hitam itu melompat ke luar dari bawah jembatan, setelah merasa yakin bahwa tempat itu sunyi dan tidak ada orang lain kecuali dia yang menyaksikan perkelahian antara Phek Kiat dan Sin- touw yang mengakibatkan keduanya tewas itu. Setelah kedua kakinya dengan ringan sekali hinggap di atas jembatan, dia celingukan lagi dan makin legalah hatinya ketika melihat kesunyian sekeliling jembatan itu.
Malam itu juga dia harus dapat keluar dari kota Kanton, pikirnya. Dia tidak akan merasa aman sebelum meninggalkan Kanton. Dengan kepandaiannya yang tinggi, si gendut baju hitam itu dapat lolos dari kota dengan jalan melompati pagar tembok kota di bagian yang sunyi tidak terjaga. Setelah meloncat ke luar dari tembok, dia lalu mempercepat gerakan kakinya, berlari seperti terbang menuju ke utara. Tujuannya adalah ke kota Sau-koan di mana dia mempunyai seorang sahabat yang dapat dimintai tolong agar membantunya menyembunyikan diri untuk sementara. Menjelang pagi, selagi dia menuruni sebuah bukit kecil, tiba-tiba dia mendengar derap kaki kuda dari belakang. Dia terkejut sekali. Akan tetapi setelah dia mendengarkan dengan teliti dan ternyata yang datang dari belakang itu hanya seekor kuda saja, hatinya menjadi tenang.
Kalau hanya menghadapi seorang lawan saja, dia tidak takut. Apa lagi yang datang dari belakang itu belum tentu seorang musuh, mungkin sekali hanya orang yang kebetulan lewat saja. Karena itu, setelah mempererat gendongannya, dia melanjutkan perjalanan dengan jalan seenaknya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Tak lama kemudian, setelah derap kaki kuda itu semakin keras suaranya, muncullah seorang penunggang kuda yang membalapkan kudanya mendahului si baju hitam. Si gendut baju hitam ini melirik dan dia melihat seorang laki-laki tinggi besar menunggang kuda yang besar pula. Seorang laki-laki biasa saja yang pandai menunggang kuda dan agaknya tergesa-gesa. Akan tetapi ketika si gendut itu melihat baju orang itu, jantungnya berdebar tegang, Baju Kulit Harimau!
Teringatlah dia akan nama Lam-hai Ngo-houw (Lima Harimau Laut Selatan) yang terkenal di Kanton, lima orang kakak beradik yang ditakuti, karena mereka adalah orang-orang kuat yang kadang-kadang mengandalkan kekuatan dan kepandaian silat mereka untuk memaksakan kehendak mereka kepada orang-orang atau golongan yang lebih lemah. Ciri khas mereka adalah baju harimau mereka. Biar dalam musim panas sekalipun mereka tak pernah menanggalkan baju harimau mereka. Akan tetapi, penunggang kuda ini hanya seorang saja, pikir si gendut baju hitam. Dan kabarnya Lam-hai Ngo-Houw selalu maju berlima. Mungkin bukan mereka, dan andaikata benar orang ini seorang di antara Lima Harimau itu, takut apa? Orang itu tentu tidak tahu apa isi dua buntalan di punggungnya. Juga dia tidak pernah berkenalan dengan Lam-hai Ngo-houw dan tidak mempunyai urusan apapun juga.
Tanpa sebab, tidak mungkin Lam-hai Ngo-houw mau mengganggu dirinya. Hatinya lebih tenang melihat betapa penunggang kuda itu membalap terus dan agaknya sama sekali tidak memperhatikan dirinya. Karena hatinya lega, si gendut itu lalu beristirahat di dalam sebuah hutan dan pada keesokan harinya, setelah matahari mulai mengusir kegelapan malam, diapun melanjutkan perjalanan menuju ke utara. Dia tahu bahwa setelah dia keluar dari dalam hutan ini, kota Saukoan tinggal belasan li saja lagi jauhnya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika tiba-tiba dia mendengar suara auman harimau dari depan! Seekor harimau! Dia merasa heran sekali karena dia bukan seorang asing di daerah ini dan dia tahu betul bahwa di hutan ini tidak pernah orang bertemu harimau. Akan tetapi auman itu jelas merupakan auman harimau.
Tiba-tiba dia terlonjak kaget ketika terdengar auman harimau lain lagi, kini datang dari arah belakangnya! Ketika terdengar lagi suara auman dari kanan kiri, keheranannya berobah menjadi kegelisahan dan mukanya berobah agak pucat. Tidak mungkin ada harimau demikian banyaknya tersesat di dalam hutan Ini! Harimau! Lima ekor banyaknya! Tiba-tiba wajah si gendut menjadi semakin pucat dan dia siap siaga menghadapi segala kemungkinan karena dia teringat akan penunggang kuda berjubah harimau semalam. Dan ketika tiba-tiba bermunculan lima orang berjubah harimau dari semua penjuru, si gendut jubah hitam itu tidak begitu kaget lagi karena memang dia sudah menduga bahwa tentu suara-suara harimau itu perbuatan Lam-hai Ngo-houw yang agaknya sengaja menghadangnya di tempat ini.
Tahulah dia sekarang bahwa penunggang kuda semalam itu hanya ingin memperoleh keyakinan bahwa dia memang memasuki hutan ini. Diam-diam dia merasa menyesal sekali atas kelengahannya sendiri. Kalau dia berhati-hati dan sudah menduga lebih dulu akan berurusan dengan Lam-hai Ngo-houw, tentu malam tadi diam-diam dia melarikan diri. Banyak terdapat kesempatan baginya untuk diam-diam merobah tujuan perjalanan semalam. Akan tetapi kini sudah terlanjur dan pula, andaikata dia merobah tujuan dan melarikan diri, siapa tahu lima orang jahanam ini sudah selalu mengintai dan membayanginya. Dia menabahkan hatinya dan berhenti melangkah, memandang kepada laki-laki tinggi besar berkumis tebal yang agaknya menjadi pemimpin dari lima orang berjubah harimau itu.
"Maafkan saya," katanya dengan sikap merendah.
"Saya adalah seorang perantau yang tidak mempunyai apa-apa dan tidak pernah mengganggu orang. Ada keperluan apakah ngo-wi menghadang perjalanan saya?" Si kumis tebal menyeringai dan memandang tajam, bukan ke arah wajah si gendut, melainkan ke arah punggungnya. Hal ini saja membuat si gendut menjadi semakin gelisah dan dia sudah dapat menduga bahwa lima orang ini agaknya tahu akan isi kedua bungkusannya.
"Hemm, bukankah engkau yang berjuluk Tai-lek Hek-wan (Lutung Hitam Tenaga Besar) dari Nan-leng?" Si gendut yang dijuluki Lutung Hitam itu terkejut. Kiranya lima orang ini sudah mengenalnya! Maka diapun tidak mau berpura-pura lagi dan cepat menjura,
"Saya seorang perantau dari Nan-leng merasa gembira sekali dapat bertemu dengan Lam-hai Ngo-houw yang terkenal gagah perkasa!"
"Hemm, mengapa bergembira?" tanya si kumis tebal dengan suara bernada ejekan.
"Bertemu dengan orang-orang segolongan, berarti bertemu dengan saudara sendiri. Persatuan antara kita akan menciptakan kekuatan untuk menghadapi lawan kita bersama. Sebaliknya perpecahan di antara kita hanya akan mendatangkan kelemahan dan menguntungkan pihak lawan." Lima orang itu saling pandang.
"Siapakah lawan yang kau maksudkan, Hek-wan?" tanya si kumis tebal. Tai-lek Hek-wan menarik napas panjang.
"Bnyak sekali! Terutama sekali orang-orang yang berhati sombong selalu mengejarku dan kalau aku tidak bertemu dengan kalian berlima, tentu aku akan celaka. Aku minta bantuan kalian agar kita dapat bekerja sama, dan segala keuntungan yang kudapatkan, tidak akan kumakan sendiri. Buktinya, inilah kuberikan untuk kalian!" Dia lalu menurunkan buntalan madat dan melemparkannya kepada si kumis tebal. Orang tinggi besar ini menerima buntalan itu dan membukanya, diikuti oleh empat orang adiknya. Ketika mereka melihat isi buntalan yang ternyata adalah madat murni yang demikian banyaknya, mereka terbelalak.
"Madat...?" Si kumis tebal berseru.
"Dan ini masih murni...?" Si gendut tertawa, merasa menang dan berhasil mengambil hati mereka sebagai kawan. Untuk sementara ini dia harus mempergunakan akal menambah teman, bukan menambah musuh. Dia tidak takut menhadapi lima orang ini, akan tetapi selama Giok-liong-kiam belum dia simpan dan sembunyikan dengan baik, berbahayalah menentang mereka ini sambil membawa benda pusaka itu.
"Ha-ha, itu baru sebagian, Lam-hai Ngo-houw. Kalau kalian mau bersekutu dengan aku, masih banyak lagi kelak bagian kalian. Bagaimana? Ataukah kalian mau nekat menggangguku, belum tentu kalian menang dan kalian akan menghadapi semua pendekar yang melakukan pengejaran kepadaku?" Lima orang itu adalah tukang-tukang pukul bayaran yang sudah biasa menerima pembayaran untuk melakukan perbuatan-perbuatan jahat dan kekerasan. Kini ada orang yang memberi hadiah madat demikian banyaknya, tentu saja hati mereka senang sekali. Mereka bukan pemadatan, akan tetapi mereka yang menjadi penduduk Kanton tentu saja tahu betapa mahalnya benda itu.
"Dan... Giok-liong-kiam...?" Akhirnya si kumis tebal bertanya sambil memandang ke arah buntalan yang ke dua dan yang berada di punggung Tai-lek Hek-wan. Si Lutung Hitam ini tersenyum, namun hatinya mendongkol sekali. Kiranya lima orang kasar itu sudah tahu pula akan Giok-liong-kiam!
"Itulah yang menggelisahkan hatiku, kawan," katanya dengan sikap sebagai seorang atasan terhadap para pembantunya.
"Dengan kelihaianku, aku berhasil mendapatkannya. Akan tetapi betapa banyaknya orang yang hendak memperebutkannya, dan bukan hanya orang-orang biasa. Karena itu, kita harus bersatu menghadapi mereka. Dan kelak, kalau aku berhasil menjualnya dengan harga tinggi, kita bagi bersama." Kembali lima orang itu saling pandang dan akhirnya si kumis tebal mengangguk-angguk.
"Baiklah, melihat pemberianmu ini kepada kami, kami menilai, bahwa engkau seorang kawan baik. Akan tetapi kelak jangan lupakan kami kalau benda itu sudah menjadi uang." Sebelum Hek-wan menjawab, tiba-tiba terdengar suara ketawa yang lirih namun jelas sekali seolah-olah suara itu berada di dekat telinga mereka berenam. Suara ketawa wanita yang tidak nampak orangnya, merdu dan juga halus menusuk anak telinga, seperti suara ketawa kuntilanak dalam dongeng. Tentu saja enam orang kasar itu, apa lagi setelah kini mereka bersatu, tidak takut menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi menghadapi mahluk yang tidak nampak, hanya terdengar suara ketawanya saja yang demikian merdu, mereka terbelalak dan memandang ke kanan kiri tanpa hasil karena tidak nampak seorang wanita di sekeliling tempat itu.
"Hik-hik, tikus-tikus kecil mana ada harga untuk bicara tentang Giok-liong-kiam?" Tiba-tiba suara ketawa itu disusul kata-kata mengejek dan kini suara itu datangnya dari atas. Enam orang itu memandang ke atas dan tiba-tiba dari atas melayang turun bayangan merah yang menyambar ke arah Hek-wan. Tentu saja si Lutung Hitam terkejut sekali, maklum bahwa orang ini menyeranganya untuk merampas buntalan Giok-liong-kiam. Dia cepat mengelak dengan meloncat ke kiri sambil menggerakkan kakinya menendang ke arah tubuh yang menyambar dari atas bagaikan seekor burung walet cepatnya itu.
"Plakkk...!" Kaki Hek-wan yang menendang bertemu dengan tangan yang dimiringkan dan akibatnya, tubuh Hek-wan terjengkang dan bergulingan.
Dia merasa ada angin menyambar ketika dia bergulingan dan cepat dia menggerakkan tangan untuk menangkis atau mencengkeram. Akan tetapi tiba-tiba dia merasa buntalan di punggungnya terlepas dan ketika dia meloncat berdiri buntalan persegi panjang itu telah berada di tangan seorang wanita cantik berpakaian merah! Tentu saja si gendut ini menjadi terkejut dan marah sekali. Giok-liong-kiam telah dirampas orang sedemikian mudahnya. Dan kini wanita berpakaian serba merah itu, yang usianya sekitar tiga puluhan tahun, dengan amat tenang berdiri mengamat-amati peti hitam panjang lalu membuka tutupnya dan melihat isinya yang membuat matanya terbelalak lebar dan wajahnya berseri, mulutnya tersenyum kagum dan wanita itu mengguman lirih,
"Giok-liong-kiam... Indah sekali..."
"Kembalikan barangku! " Hek-wan membentak dan tubuhnya sudah menerjang ke depan dengan cepatnya. Gerakan Tai-lek Hek-wan ini selain cepat juga amat kuat karena dia terkenal sekali memiliki tenaga yang besar. Dan kecepatan gerakannya inipun sesuai dengan julukannya Lutung Hitam, karena memang dia dapat bergerak cepat dan lincah seperti seekor monyet atau lutung.
"Wuuuttt!" Tubrukan Hek-wan untuk merampas pedang kemala dengan tangan kiri dan menyerang dengan tangan kanan yang mencengkeram ke arah kepala wanita itu hanya mengenai tempat kosong saja karena wanita itu tahu-tahu sudah menyingkir dengan gerak langkah kaki ringan dan aneh, tanpa menghentikan pekerjaannya mengagumi pedang itu! Kembali Hek-wan menubruk, akan tetapi sekali lagi serangannya dielakkan dengan amat mudahnya. Tahulah Tai-lek Hek-wan bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang amat pandai, maka untuk ketiga kalinya dia menyerang, sepenuhnya menyerang, bukan seperti tadi perhatiannya dipecah untuk merampas Giok-liong-kiam. Dan serangan seorang bertenaga besar seperti Tai-lek Hek-wan amatlah berbahaya dan agaknya hal inipun diketahui oleh wanita itu yang sudah mengalungkan bungkusan itu di lehernya. Wanita itu bukan hanya mengelak sekarang, melainkan menangkis dari samping.
"Heiiittt...!" Dan tangkisan tangan yang kecil lunak itu membuat Hek-wan terpelanting kehilangan keseimbangan badannya! Terkejutlah Hek-wan. Dia berhasil melompat bangun.
"Ngo-houw, bantulah!" teriaknya tanpa malu-malu lagi karena kini dia hampir yakin bahwa dia berhadapan dengan lawan yang lebih tinggi tingkat ilmu silatnya. Lam-hai Ngo-houw yang dipimpin oleh si kumis tebal itupun cepat bergerak mengurung. Mereka melihat betapa Giok-liong-kiam sudah berpindah tangan, maka mereka harus turun tangan membantu Hek-wan untuk merampas benda berharga itu kembali dari tangan wanita berpakaian merah. Orang ke tiga dari Lam-hai Ngo-houw yang berusia tiga puluh lima tahun adalah seorang laki-laki yang mata keranjang, Melihat kecantikan wanita berpakaian merah itu, sejak tadi dia sudah melongo penuh kagum. Kini, sambil mengepung bersama teman-temannya, diapun membujuk,
"Manis, mengapa seorang cantik seperti engkau membahayakan diri memperebutkan sebuah pedang kemala? Ikutlah aku, dan aku akan membelikan tusuk konde kemala dan barang-barang indah lain, juga engkau akan terlindung dan aman...!" Sungguh merupakan rayuan yang menggelikan karena pada saat itu, si wanita sedang dikepung dan diancam oleh enam orang laki-laki yang kuat-kuat. Wanita itu agaknya tidak marah mendengar rayuan itu. Melihat betapa lima orang Lam-hai Ngo-houw memasang kuda-kuda dengan kedua tangan membentuk cakar harimau, sedangkan Tai-lek Hek-wan juga memasang kuda-kuda seperti ilmu Silat Monyet, iapun terkekeh dengan suara yang agak genit.
"Hi-hi-hik, seekor lutung dan lima ekor harimau! Tapi kalian bisa berbuat apa terhadap seekor burung bangau yang dapat terbang?" Tiba-tiba saja tubuhnya sudah melompat tinggi ke atas dan mulailah ia melancarkan serangan-serangan dari atas dengan kecepatan yang mengejutkan. Sebelum enam orang itu tahu apa yang terjadi, mereka melihat warna merah menyambar-nyambar dari atas dengan totokan-totokan jari tangan yang cepat sekali. Mereka berusaha menangkis dan mengelak, akan tetapi dua di antara Lam-hai Ngo-houw yang kurang cepat mengelak, terkena totokan pada ubun-ubun kepala mereka. Ubun-ubun kepala itu pecah berlubang dan merekapun roboh berkelojotan dan tewas seketika.! Tentu saja tiga orang Lam-hai Ngo-houw terkejut setengah mati melihat robohnya dua orang adik mereka dalam segebrakan saja itu.
Mereka berlima merupakan jagoan-jagoan di Kanton yang sudah terkenal dan ditakuti karena ilmu silat mereka yang tinggi. Tentu saja merekapun tahu bahwa banyak orang pandai di dunia ini dan mereka tidak berani mengaku yang paling pandai, akan tetapi dalam segebrakan saja harus kehilangan dua orang saudara yang roboh tewas, hal ini sungguh sukar untuk dapat mereka terima. Apa lagi kalau diingat bahwa mereka berlima, bahkan berenam dengan Tai-lek Hek-wan yang mereka tahu juga memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Biarpun mereka dapat menduga bahwa lawan yang satu ini memang lihai bukan main, namun kemarahan dan sakit hati membuat mereka kehilangan rasa gentar dan merekapun mengeluarkan suara gerengan-gerengan seperti harimau marah.
Gerakan mereka kini semakin ganas dan kedua tangan mereka membentuk cakar harimau dengan kuat sehingga tangan dan jari-jarinya itu seperti telah menjadi kaku dan keras. Si kumis tebal lebih hebat lagi. Ketika melihat Hek-wan menyerang ganas kepada wanita itu, dibantu oleh dua orang adiknya yang juga telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang, dia mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat ke atas dan menerkam punggung wanita itu, kedua tangannya yang membentuk cakar harimau itu mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala. Wanita itu terkejut bukan main. Ia sedang menghadapi terjangan Hek-wan dan dua orang Ngo-Houw yang lain, dan tiba-tiba ada angin keras sekali menyambar dari belakang atas!
"Heiiiittt!" Ia membentak dan mengelak, Tubrukan itu luput akan tetapi terdengar bunyi kain robek dan ternyata buntalan Giok-liong-kiam itu robek dan peti panjang itu terlepas dan jatuh dari pinggang si wanita. Dan sebelum wanita itu dapat mengambilnya kembali, tiga orang Ngo-houw sudah menerjangnya lagi dan melihat kesempatan ini, Hek-wan yang cerdik sudah bergulingan ke arah Giok-liong-kiam dan sudah berhasil menyambar peti itu! Cepat dia membungkusnya lagi dan menggantungkan di lehernya! Melihat ini, wanita baju merah itu tentu saja marah bukan main, akan tetapi dalam kemarahannya, ia malah tersenyum-senyum, agaknya sama sekali tidak khawatir akan kehilangan pusaka itu karena ia yakin akan mampu mengalahkan empat orang ini.
"Hemm, kalian masih belum mau menyerah?" bantak wanita baju merah itu sambil tersenyum mengejek, akan tetapi karena serangan tiga orang itu benar-benar amat berbahaya, wanita itupun kembali berloncatan ke atas dengan amat lincahnya. Melihat ini, diam-diam Tai-lek Hek-wan terkejut dan khawatir sekali. Dia adalah seorang yang amat cerdik dan melihat tewasnya dua orang di antara Lam-hai Ngo-houw, diapun maklum bahwa wanita ini benar-benar seorang lawan yang amat tangguh dan amat berbahayalah kalau sampai dia melanjutkan perlawanan. Yang penting adalah menyelamatkan Giok-liong-kiam, pikirnya. Maka, begitu melihat tiga orang Lam-hai Ngo-houw sudah menyerang lagi dan sekali ini serangan mereka penuh dengan rasa dendam sehingga amat hebat, diapun mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri! Melihat ini, wanita itu berteriak,
"Eh, pengecut, hendak lari kemana engkau?" Tubuhnya bergerak hendak mengejar, akan tetapi karena tiga orang harimau itu menyerangnya dengan amat ganas, iapun tidak mudah melepaskan diri begitu saja.
"Tikus-tikus tolol, kau mau ditipu lutung itu yang melarikan pusaka sedangkan kalian dijadikan korban?" Wanita itu membentak. Bentakan ini agaknya menyadarkan tiga orang Lam-hai Ngo-houw itu.
Biarpun mereka mendendam kepada wanita ini untuk kematian dua orang saudara mereka, namun pada hakekatnya mereka adalah orang-orang yang berwatak jahat dan amat leba akan harta, maka merekapun seperti disadarkan akan kelicikan Tai-lek Hek-wan dan mereka mengendurkan kurungan mereka. Kesempatan ini dipergunakan oleh si wanita baju merah untuk meloncat, lolos dari kepungan dan mengejar Lutung Hitam. Tiga orang Lam-hai Ngo-houw itupun cepat melakukan pengejaran, mengejar Hek-wan akan tetapi juga mengejar wanita itu. Tai-lek Hek-wan sudah mengerahkan ilmunya berlari cepat, akan tetapi betapa kaget hatinya ketika tahu-tahu ada bayangan merah berkelebat dan wanita itu sudah menghadang di depannya dengan senyum mengejek.
Marahlah Lutung Hitam ini, marah dan juga putus asa, maka dengan nekat diapun menubruk ke depan menyerang wanita yang menghadangnya. Seperti juga tadi, kecepatan gerakan Lutung Hitam itu tidak ada artinya bagi si wanita baju merah yang ternyata memiliki gerakan lebih cepat lagi. Wanita itu sudah mengelak ke kiri dan tiba-tiba kakinya mencuat dalam sebuah tendangan mengarah perut Hek-wan. Lutung Hitam itu terkejut dan hanya dengan bergulingan menjatuhkan dirinya dia dapat menyelamatkan perutnya dari ciuman sepatu yang akan membahayakan keselamatannya itu. Akan tetapi pada saat itu, tiga orang Lam-hai Ngo-houw sudah tiba pula di situ dengan marah si kumis tebal menubruk ke arah tubuh Hek-wan yang bergulingan untuk merampas buntalan di punggungnya.
"Dukk...!" Hek-wan menangkis dan keduanya terpental.
"Sobat, kenapa berbalik menyerangku? Mari kita keroyok wanita iblis itu!" Tai-lek Hek-wan berseru kaget.
"Pengecut, tak perlu merayu!" bentak si kumis tebal yang terus saja menyerang lagi dengan marahnya, Sementara itu,dua orang adiknya sudah mengeroyok si baju merah yang melayani mereka sambil tersenyum simpul karena girang hati wanita itu sudah berhasil membakar hati si kumis tebal. Baginya sesungguhnya sama saja. Andaikata dikeroyok sekalipun, ia yakin akan dapat merobohkan mereka semua. Apa lagi sekarang si kumis tebal yang marah dan merupakan orang pertama paling lihai dari Lam-hai Ngo-houw telah menumpahkan kemarahannya kepada Tai-lek Hek-wan sehingga ia hanya menghadapi dua orang lawan, tentu dianggapnya amat ringan. Ternyata kekuatan antara si kumis tebal dan Tai-lek Hek-wan seimbang dan selisihnya hanya sedikit saja.
Kalau perkelahian itu dilanjutkan, akhirnya si kumis tebal tentu akan kalah. Sudah tiga kali dia terkena pukulan dan tendangan dari Lutung Hitam akan tetapi ternyata orang pertama dari Lam-hai Ngo-houw itu kuat sekali tubuhnya dan belum juga roboh. Sementara itu, dengan mudahnya wanita baju merah itu telah merobohkan dua orang pengeroyoknya denga totokan-totokan yang membuat kedua lawan itu roboh dengan mata mendelik dan napas putus. Kini wanita baju merah itu berdiri sambil tersenyum lebar, geli dan juga gembira menonton Tai-lek Hek-wan dan ketua Lam-hai Ngo-houw saling gebuk. Akan tetapi yang dilihatnya bukanlah kedua orang itu, melainkan dua buah buntalan yang berada di punggung mereka. Melihat robohnya dua orang lagi, wajah Tai-lek Hek-wan berobah pucat. Sambil menangkis sebuah pukulan dari si kumis tebal, dia menghardik,
"Tolol! Dua orang adikmu sudah roboh pula, tinggal kita berdua yang terancam maut dan engkau masih menyerangku seperti orang gila?" Si kumis tebal menoleh dan barulah dia terkejut bukan main. Tadi dia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menyerang Hek-wan sehingga dia tidak memperhatikan dua orang adiknya dan kini dia melihat betapa dua orang adiknya telah menggeletak tak bernyawa lagi sedangkan wanita baju merah itu berdiri sambil tersenyum-senyum mengejek. Dapat dibayangkan betapa sedih dan marah hatinya. Empat orang adik-adiknya telah tewas semua di tangan wanita cantik ini.
"Aurrggghhh...! Gerengan seperti seekor harimau keluar dari dalam dadanya dan biarpun harimau keluar dari dalam dadanya dan biarpun sudah terkena pukulan dan tendangan Hek-wan, si kumis tebal ini mengerahkan seluruh tenaganya, menubruk kea rah wanita baju merah. Melihat ini, Hek-wan lalu membalikkan tubuhnya dan... Lari tunggang langgang sekuat tenaga!
"Hemm...!" Wanita baju merah itu melompat ke kiri dan tangannya menyambar ke samping "Plakk!" Tubuh si kumis tebal terpelanting dan roboh berkelojotan karena pelipisnya berlubang terkena tusukan dua jari tangan wanita itu. Tanpa menengok lagi kepada korbannya yang ia yakin tentu akan tewas, wanita itu sudah berloncatan dengan amat cepatnya mengejar Tai-lek Hek-wan! Si Lutung Hitam menjadi panik dan wajahnya sudah pucat sekali ketika untuk kedua kalinya wanita baju merah itu sudah menghadang di depannya sambil tersenyum manis, senyum yang baginya tidak manis lagi melainkan menyeramkan! Dia bukan orang nekat seperti Lam-hai-houw. Sebaliknya, si gendut ini cerdik bukan main.
Kecerdikannya sudah nampak ketika dia membiarkan Sin-touw dan Phek Kiat saling bunuh sehingga dia mampu memperoleh Giok-liong-kiam dan madat yang amat banyak tanpa mengeluarkan sedikitpun tenaga. Juga dia sudah mampu menggerakkan hati Lam-hai Ngo-houw sehingga lima orang itu mau bersekutu dengan dia. Sekarang, melihat betapa Lam-hai Ngo-houw sudah tewas semua, diapun tidak begitu bodoh untuk menjadi nekat. Betapapun besar harganya Giok-liong-kiam, tentu saja masih tidak melebihi nyawanya sendiri. Apa artinya Giok-liong-kiam kalau dia sudah tidak bernyawa seperti kelima orang Lam-hai Ngo-houw itu? Tanpa malu-malu lagi Tai-lek Hek-wan lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita baju merah itu, berkali-kali menyentuh tanah dengan dahinya dan kedua tangannya segera menurunkan buntalan Giok-liong-kiam.
"Ampun..., harap Lihiap (pendekar wanita) sudi mengampunkan nyawa saya..., saya" mengaku kalah dan dengan rela menyerahkan Giok-liong-kiam kepada Lihiap..." Wanita cantik itu tersenyum mengejek, geli melihat betapa perut yang gendut itu menghalangi Hek-wan untuk dapat memberi hormat dengan baik. Perutnya mengganjal ketika orang itu berlutut menyembah-nyembah. Sikap Tai-lek Hek-wan yang ia tahu selain cukup lihai juga amat cerdik itu, yang kini menyembah-nyembah-nya dengan begitu merendahkan diri, dianggap cukup berharga untuk menebus nyawa orang itu.
"Hemm, baiklah, monyet. Aku mau mengampuni nyawamu. Coba buka peti itu dan perlihatkan aku Giok-liong-kiam." Wanita itu memang cerdik. Tadi ia sudah melihat Giok-liong-kiam dan tidak meragukan lagi keasliannya. Akan tetapi untuk beberapa saat lamanya pusaka itu telah dapat dirampas kembali oleh Hek-wan, maka ia tidak ingin tertipu dan hendak melihat lebih dahulu apakah benar itu barang yang aseli. Ia sudah cukup mengenal kelicikan orang seperti Tai-lek Hek-wan ini dan bisa saja penjahat itu memberinya peti yang isinya barang beracun yang akan menyerangnya kalau dibukanya.
Akan tetapi, Hek-wan tidak sempat melakukan hal itu dan memang bukan tidak mungkin hal itu dilakukannya, bahkan lebih hebat dari itu kalau saja dia berkesempatan. Kini tidak ada lain jalan baginya kecuali menyerahkan pusaka itu sebagai penukar nyawanya. Dibukanya buntalan dan dibukanya peti hitam itu. Dengan peti terbuka sehingga nampak isinya, dia menyerahkan benda itu dengan kedua tangannya. Wanita cantik itu menjadi girang, melihat bahwa isi peti memang Giok-liong-kiam yang tulen. Akan tetapi pada saat ia hendak menerimanya, tiba-tiba ada angin menyambar dan sinar putih menyambar ke arah peti di tangan Tai-lek Hek-wan. Sinar itu ternyata sebatang tali yang menyambar cepat, seperti ular hidup hendak merampas peti, dibarengi bunyi meledak nyaring.
Melihat ini, wanita baju merah itu terkejut dan marah. Tangannya dikibaskan ke bawah menangkis sambaran tali dan kakinya menendang tubuh Tai-lek Hek-wan sehingga si gendut ini terguling-guling bersama peti yang masih dipegangnya. Memang wanita itu ingin menyingkirkan Hek-wan agar peti itu tidak sampai terampas orang, kemudian ia membalik dan berhadapan dengan orang yang telah menggunakan tali hendak merampas peti itu. Ternyata orang itu adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, bermuka pucat dan tampan, pakaiannya pesolek dan dia tersenyum masam ketika talinya membalik terkena tangkisan si wanita baju merah. Sambil menggulung talinya kini dia berdiri saling pandang dengan si wanita baju merah dan dia tertawa.
"Ha-ha-ha, seorang tokoh Ang hong-pai yang lihai juga!" Wanita cantik baju merah itu cemberut dan memandang dengan sinar mata marah. Siapa takkan marah melihat daging sudah di mulut kini terancam lepas? Ia menudingkan telunjuknya ke arah muka yang putih itu.
"Hemm, agaknya Pek bin Tiat-ciang yang muncul. Apakah sekarang tangan besimu sudah berkarat maka engkau mempergunakan tali untuk mencoba menjadi pencuri?" Wanita itu mengejek. Si muka putih itupun tertawa lagi.
"Ha-ha-ha, siapa yang menjadi pencuri? Monyet gendut inikah, atau engkau, ataukah aku?" Tai-lek Hek-wan masih berdiri sambil mendekap buntalan berisi peti panjang Giok-liong-kiam itu, mukanya pucat dan dia merasa betapa kedua kakinya menggigil. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa dia berhadapan dengan dua orang yang memiliki nama besar yang amat terkenal di seluruh Negara. Kiranya wanita itu adalah seorang tokoh perkumpulan Ang-hong-pai (Perkumpulan Tawon Merah) yang ditakuti dunia kang-ouw seperti orang menakuti gerombolan setan, sedangkan nama Pek-bin Tiat-ciang (Tangan Besi Bermuka Putih) juga tidak kalah terkenalnya, sebagai seorang petualang yang ringan tangan dan mudah saja membunuh orang.
Entah sudah berapa banyaknya orang, baik dari golongan sesat maupun kau m pendekar, yang tewas di tangan jagoan ini. Kedua orang ini termasuk tokoh-tokoh sesat yang lihai sekali. Matilah aku, karena dia maklum bahwa kepandaiannya jauh sekali berada dibawah kedua orang ini. Akan tetapi pikirannya yang cerdikitu diputar mencari akal. Bagaimanapun juga, wanita baju merah itu tadi memperlihatkan sikap lunakdan mau mengampuninya, sedangkan laki-laki muka putih tampan menyeramkan ini belum tentu mau membiarkan dia hidup. Sementara itu, wanita tokoh Ang-hong-pai itu sudah menerjang dengan ganasnya, menggunakan pukulan-pukulan yang dilakukan dengan jari-jari tangan terbuka, totokan-totokan yang mengarah jalan darah yang mematikan.
"Heiiittt...!" bentaknya nyaring ketika kedua tangannya menyambar dengan kecepatan kilat.
"Wah, ganas...!" laki-laki muka putih itupun menggeser kaki dan menangkis dengan cepat pula.
"Plak! Plakk!" laki-laki itu terkejut karena biarpun dia sendiri berjuluk Tiat-ciang (Tangan besi), akan tetapi ketika lengannya bertemu dengan tangan wanita itu, dia merasa seolah-olah bertemu dengan daging lunak tak bertulang.
Tahulah dia bahwa wanita lihai itu dalam menghadapi kekerasan tangannya telah mempergunakan ilmu Bian-kun atau tangan yang berobah menjadi kapas, mempergunakan sin-kang (tenaga sakti) untuk melawan yang keras dengan yang lunak. Menghadapi tangan yang lunak itu, Pek-bin Tiat-ciang merasa seolah-olah tangannya seperti besi memukul kapas di udara, sama sekali tidak berbekas. Maka diapun bersilat dengan hati-hati sekali, maklum bahwa wanita itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sambil membentak marah, diapun lalu mengerahkan tenaga saktinya, tidak lagi berani main-main atau senyum-senyum, melainkan menyerang dengan amat kuat. Angin pukulan bertiup dahsyat ketika Tiat-ciang melakukan serangannya. Akan tetapi wanita itu dengan gerakan indah dapat mengelak sambil mengibaskan tangan menangkis dari samping.
"Rasakan kau !" bentak Tiat-ciang sambil mengeraskan tangannya yang tertangkis karena sekali ini dia mengerahkan seluruh tenaganya yang membuat tangan itu seolah-olah berobah menjadi baja.
"Dukkk...!" Wanita itu menyeringai menahan jeritnya karena tangannya terasa nyeri bukan main. Rasa nyeri seperti menusuk jantungnya, seolah-olah tulang-tulang tangannya menjadi remuk. Karena rasa nyeri ini, tubuhnya agak terhuyung dan kesempatan ini dipergunakan oleh Tiat-ciang untuk menubruk dengan kedua tangan terpentang. Akan tetapi betapa kaget rasa hatinya ketika tiba-tiba dari samping ada angin pukulan menyambar dan ternyata Tai-lek Hek-wan yang menyerangnya! Hek-wan yang cerdik tidak lama mengambil keputusan dan dia sudah maju membantu tokoh Ang-hong-pai. Dia merasa lebih aman kalau tokoh wanita itu yang menang, maka diapun membantu ketika melihat wanita itu terdesak.
"Plakkk!" tangkisan Tiat-ciang membuat tubuh Hek-wan terlempar dan diapun bergulingan sampai jauh. Baru dia berhenti ketika tubuhnya tertahan oleh sesuatu. Kiranya yang menahannya itu adalah mayat si kumis tebal, orang pertama Lam-hai Ngo-houw dan tanpa disengaja dia melihat buntalan madat. Teringatlah dia betapa banyaknya madat itu dan betapa benda itu juga merupakan harta yang amat besar. Mengapa tadi dia lupa sama sekali tentang buntalan madat ini? Cepat dia mengambil buntalan itu dan mengalungkannya ke leher. Ketika menengok, dia melihat betapa wanita itu kini mulai mendesak si muka putih! Dan melihat betapa kedua orang itu berkelahi dengan mati-matian, timbul pula niatnya yang terdorong ketamakan dan kecerdikan. Diam-diam diapun melarikan diri, kini membawa dua buntalan itu, buntalan madat dan buntalan Giok-liong-kiam!
"Keparat, kau hendak lari ke mana?" Tiba-tiba terdengar bentakan suara tokoh Ang-hong-pai itu. Hek-wan terkejut dan menengok. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat wanita baju merah dan laki-laki muka putih itu telah berloncatan mengejarnya. Kiranya mereka itu, biarpun sedang berkelahi, tidak pernah melepaskan perhatian mereka terhadap benda yang diperebutkan, yaitu Giok-liong-kiam!
Tadi, ketika Hek-wan membantu tokoh Ang-hong-pai menyerang Pek-bin Tiat-ciang, Si Tangan Besi itu terpaksa menghentikan serangannya terhadap lawannya yang tangguh dan menangkis serangan Hek-wan. Akan tetapi pada saat itu, si wanita yang memiliki gerakan amat cepatnya telah meloncat ke atas, seperti terbang ia turun menerjang dengan amat hebatnya, tangannya menyerang dengan totokan-totokan berbahaya. Tentu saja Pek-bin Tiat-ciang cepat mengelak dan menangkis akan tetapi sebuah tendangan kaki wanita itu yang dilakukan dari belakang, seperti seekor tawon menyengat, telah mengenai pangkal pahanya, membuat Tiat-ciang terhuyung dan selanjutnya wanita itu menyerangnya dengan bertubi-tubi, membuatnya nampak terdesak.
Pada saat itulah Hek-wan melarikan diri. Dua orang yang sedang berkelahi itu tentu saja tidak dapat membiarkan hal ini terjadi. Mereka berkelahi justeru untuk memperebutkan Giok-liong-kiam yang berada di tangan Hek-wan. Kalau Hek-wan berhasil melarikan diri membawa Giok-liong-kiam, perlu apa mereka saling serang lagi? Demikianlah, bagaikan berlumba, keduanya kini melakukan pengejaran. Dapat dibayangkan betapa cemas rasa hati Hek-wan melihat betapa dua orang itu kini mengejarnya! Baru melawan seorang di antara mereka saja dia tidak akan mampu menang, apa lagi kini dikejar oleh mereka berdua! Akan tetapi dia tidak kekurangan akal. Otaknya bekerja dan tahulah dia bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri dan menahan pengejaran mereka aedalah memancing mereka dengan Giok-liong-kiam. Maka diapun lalu berseru keras,
"Lihiap, ini Giok-liong-kiam itu, terimalah!" Dan diapun melemparkan buntalan peti panjang berisi Giok-liong-kiam itu ke arah dua orang yang mengejar di belakangnya. Akalnya berhasil dengan baik. Melihat benda yang amat diinginkan itu kini dilemparkan, dua orang itu tentu saja lalu berlumba untuk lebih dahulu memperolehnya. Benda itu oleh Hek-wan dilemparkan ke arah tokoh Ang-hong-pai, maka wanita itulah yang lebih dulu menyambar peti.
"Brakkk...!" Si Tangan Besi menghantamkan tangannya ke arah peti dan peti itupun pecah, isinya, yaitu pedang naga kemala itu terlempar dari dalam peti dan jatuh ke atas tanah!
Keduanya kini berebutan, berlumba untuk menubruk, dan akibatnya mereka saling bertumbukan. Tentu saja keduanya marah dan tahu bahwa sebelum merobohkan lawan tak mungkin mereka bisa mendapatkan pedang pusaka itu, maka kini mereka membiarkan pedang itu menggeletak di atas tanah dan keduanya sudah saling terjang lagi dalam perkelahian mati-matian yang lebih sengit dari pada tadi. Dengan hati girang, Tai-lek Hek-wan melanjutkan larinya, membawa buntalan madat. Lumayan, pikirnya, tidak terlalu mengecewakanlah memperoleh modal kekayaan berupa tiga puluh kati madat ini walaupun gagal mendapatkan Giok-liong-kiam, pikirnya, yakin bahwa dua orang itu tentu lebih mementingkan Giok-liong-kiam yang diperebutkannya dari pada mengejar dia yang melarikan madat.
Dan dugaannya ini memang betul. Dua orang pandai itu sama sekali tidak memperdulikannya lagi karena kini mereka sudah saling serang mati-matian untuk memperebutkan pedang pusaka yang menggeletak di atas tanah. Ketika dengan hati girang sekali Tai-lek Hek-wan yang melarikan diri itu hampir tiba di tepi hutan, mendadak ada angin dari kiri yang menerjangnya. Hek-wan terkejut dan cepat mengelak, namun percuma saja karena tiba-tiba saja ada tenaga raksasa yang membuatnya terpelanting. Dia berusaha bangkit, akan tetapi mendadakmuncul seorang laki-laki raksasa bermuka hitam yang tertawa-tawa dan kaki orang tinggi besar ini menyambar, Hek-wan melompat sambil menangkis dengan lengannya ketika kaki yang besar itu menendang ke arah tubuhnya.
"Dessss...!" Kembali dia terpelanting dan kini terbanting keras dan tiba-tiba saja terdengarkain robek ketika buntalan madat itu direngut secara paksa dari punggunggya!
"Ehhh...!" Tai-lek Hek-wan meloncat bangun dan memandang marah ketika dia melihat betapa buntalan madat itu kini berada di tangan seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi besar. Laki-laki itu mengenakan pakaian kasar, sikapnya kasar dan wajahnya yang penuh berewok itu menakutkan. Matanya lebar dan mulutnya menyeringai girang ketika dia membuka buntalan dan melihat isi buntalan.
"Ha-ha-ha, kiranya engkau pemadatan besar! Pantas saja begini lemah, tertiup angin saja roboh. Itulah kalau terlalu banyak menghisap madat, hua-ha-ha!" Dia tertawa bergelak, perutnya bergoyang-goyang karena ketika tertawa dia menengadah dan mengangkat kedua lengannya ke atas. Tai-lek Hek-wan melihat kesempatan yang amat baik ini dan diapun meloncat ke depan dan menendang ke arah perut yang bergoyang-goyang itu sekuat tenaganya.
"Klekk...!" Tendangannya tepat mengenai perut, akan tetapi bukan orang itu yang roboh, bahkan tubuhnya sendiri terjengkang dan dia terbanting untuk ke tiga kalinya dan tanpa malu-malu lagi dia mengaduh-aduh sambil memegang kaki kanannya karena tulang-tulang kakinya itu seperti remuk rasanya. Dia tadi seperti menendang sebuah gentong besi saja, keras dan amat kuat sehingga kakinya sendiri yang mengeluarkan bunyi seolah-olah semua tulangnya patah. Akan tetapi karena marah dan kecewa melihat hasil rampasannya kini di tangan orang, dia memaksa diri meloncat bangun lagi.
"Kembalikan barangku...!" Hampir dia menangis ketika mengeluarkan tuntutan ini. Akan tetapi orang tinggi besar itu masih terus tertawa.
Rajawali Hitam Eps 4 Dewi Ular Eps 1 Rajawali Hitam Eps 7